Anda di halaman 1dari 11

Journal Reading : VIOLENCE IN

SCHIZOPHRENIA AND
BIPOLAR DISORDER
9 Maret 2015 idabagusreza Paperbipolar, JOURNAL, READING, schizophrenia, violence

VIOLENCE IN SCHIZOPHRENIA AND BIPOLAR DISORDER

Jan Volavka

New York University School of Medicine, New York, USA

received: 3.11.2012; revised: 2.12.2012; accepted: 23.12.2012

Violence In Skizophrenia and Bipolar Disorder

RINGKASAN

Latar belakang : Meskipun sebagian besar pasien psikiatri tidak melakukan tindak
kekerasan, penyakit mental yang serius sering dikaitkan dengan peningkatan risiko perilaku
kekerasan. Sebagian besar bukti yang tersedia berkaitan dengan skizofrenia dan gangguan
bipolar.

Metode : MEDLINE data base mencari artikel yang dipublikasikan antara tahun 1966 dan
November 2012 dengan menggunakan kombinasi kata kunci “skizofrenia” atau “gangguan
bipolar” dengan “agresi” atau “kekerasan”. Untuk pencarian pengobatan, nama generik yang
digunakan dalam kombinasi dengan kata kunci “skizofrenia” atau “gangguan bipolar” dan
“agresi”. Tidak ada kendala bahasa diterapkan. Hanya artikel yang berhubungan dengan
orang dewasa yang disertakan. Daftar referensi dicari secara manual untuk menemukan
artikel tambahan.

Hasil : Ada peningkatan yang signifikan secara statistik dari risiko kekerasan yang dilakukan
pasien skizofrenia dan gangguan bipolar dibandingkan dengan populasi umum. Bukti
menunjukkan bahwa risiko kekerasan lebih besar dalam gangguan bipolar daripada di
skizofrenia. Sebagian besar kekerasan dalam gangguan bipolar terjadi selama fase mania.
Risiko kekerasan dalam skizofrenia dan gangguan bipolar meningkat disebabkan karena
penggunaan zat komorbiditas yang salah. Kekerasan antara orang dewasa dengan skizofrenia
dapat mengikuti setidaknya dua jalur berbeda, satu terkait dengan perilaku antisosial, dan lain
yang terkait dengan psikopatologi akut skizofrenia. Clozapine adalah pengobatan yang paling
efektif dari perilaku agresif pada skizofrenia. Muncul bukti yang menunjukkan bahwa
olanzapine merupakan lini kedua pengobatan. Mematuhi pengobatan adalah kunci yang
paling penting. Metode non-farmakologis pengobatan agresi dalam skizofrenia dan gangguan
bipolar semakin penting dilakukan. Pendekatan perilaku secara kognitif sangat membantu
dalam pengobatan. Hal ini dikarenakan pengobatan secara farmakologis saja tidak cukup.
Kesimpulan : Perilaku kekerasan pasien dengan skizofrenia dan gangguan bipolar
merupakan masalah kesehatan masyarakat. Farmakologi dan pendekatan non-farmakologis
harus digunakan untuk mengobati tidak hanya perilaku kekerasan, tetapi juga berkontribusi
komorbiditas seperti penyalahgunaan zat dan gangguan kepribadian. Kepatuhan dalam
pengobatan sangat penting bagi keberhasilan pengelolaan perilaku kekerasan.

Key words: schizophrenia – bipolar disorder – violence – aggression

PENDAHULUAN

Kebanyakan pasien penyakit jiwa tidak melakukan tindak kekerasan. Namun demikian, ada
konsensus umum yang menyatakan bahwa penyakit mental berat, terutama skizofrenia dan
gangguan bipolar, memiliki risiko yang tinggi untuk melakukan tindak kekerasan. Perilaku
kekerasan yang dilakukan oleh pasien kejiwaan merupakan masalah kesehatan masyarakat.
Hal ini dapat mengakibatkan risiko cedera atau kematian pelaku bahkan para korban. Selain
itu, tindak kekerasan yang dilakukan oleh pasien psikiatri akan menimbulkan munculnya
stigma pada penyakit itu sendiri (Torrey 2002). Merawat pasien yang memiliki masalh
kejiwaan memiliki tantangan klinis yang sulit. Emosi keluarga yang merawat orang yang
dicintai tapi direspon dengan tindak kekerasan tidak boleh dianggap remeh.

Pada akhirnya, tindak kekerasan akan menimbulkan peningkatan biaya dikarenakan sering
menjadi penyebab rawat inap dan dapat meningkatkan panjang tinggal di rumah sakit. Biaya
tambahan juga dikenakan apabila masalah ini sampai dibawa ke ranah hukum.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka tujuan dari kajian ini adalah untuk memeriksa
epidemiologi, gambaran klinis dan pengobatan perilaku kekerasan pada skizofrenia dan
gangguan bipolar.

SKIZOFRENIA

Epidemiologi

Suatu studi epidemiologi menghubungkan antara tindak kekerasan dan skizofrenia.


Ditemukan perbandingan prevalensi perilaku kekerasan pada skizofrenia sebanyak 8,4% dan
2,1% pada orang tanpa ganguan jiwa (Swanson et al . 1990). Studi ini juga memaparkan
risiko kekerasan yang dilakukan oleh pasien yang memiliki masalah skizofrenia jauh
meningkat pada pasien yang memiliki ganggian penggunaan zat menurut studi yang
dilakukan Swanson di Amerika serikat. Sebuah studi meta-analisi dari 20 studi
membandingkan risiko kekerasan dari 18.423 pasien yang didiagnosis skizofrenia dan
psikosis lain pada populasi umum. Pada studi itu ditemukan sedikit peningkatan, namun
secara statistic signifikan dengan risiko kekerasan dalam skizofrenia dengan rasio odds ( OR
) dari 2,1 ( 95% confidence interval [ CI ] 1,7-2,7 ) tanpa komorbiditas, dan OR 8,9 ( 95 % CI
5.4 -14,7 ) dengan komorbiditas dengan penyalahgunaan zat. Estimasi risiko kekerasan yang
dilakukan oleh individu dengan penyalahgunaan zat (tanpa psikosis), menunjukkan OR 7,4 (
95 %CI = 4,3-1 ) ( Fazel et al. 2009).

Sebuah studi penelitian lain melakukan analisis data dari National Epidemiologic Survey on
Alcohol and Related Codition (NESARC). Studi ini melakukan penelitian dalam 2
gelombang yang dilakukan pada tahun 2001-2003 dan 2004-2005 (N = 34.653). Indikator
gangguan mental pada gelombang 1 digunakan sebagai perbandingan kekerasan pada
gelombang 1 dan 2 ( Elbogen & Johnson 2009). Hasil dari penelitian menemukan penyakit
mental berat yang terangtung dengan obat memiliki risiko untuk melakukan tindak kekerasan
di masa depan. Gangguan penggunaan zat kormobid merupakan salah satu pencetus
independen.

Namun Van Dorn et al berpendapat analisis Elbogen dapat ditingkatkan sehingga dilakukan
analisi kembali data yang diperoleh dari NESARC (Van Dorn et al . 2012). Van Dorn et al
menemukan bahwa individu dengan penyakit mental berat, terlepas dari status zat
penyalahgunaan, secara signifikan lebih mungkin mengalami kekerasan dibandingkan dengan
yang tidak menggunakan zat atau yang memiliki penyakit mental. Mereka yang memiliki
komorbiditas mental dan gangguan penyalahgunaan zat memiliki risiko tertinggi untuk
tingkat kekerasan. Riwayat dan kondisi saat ini juga dikaitkan dengan kekerasan, termasuk
pelecehan anak dan penelantaran, perilaku antisosial rumah tangga, pesta minuman keras dan
peristiwa kehidupan yang penuh stress (Van Dorn et al. 2012).

Dengan demikian penyalahgunaan zat merupakan faktor risiko yang sangat penting untuk
terjadinya tindak kekerasan dalam skizofrenia. Namun, bukti menunjukkan bahwa jenis
skizofrenia seperti gejala psikotik dan gangguan kepribadian komorbiditas juga cenderung
menjadi faktor risiko tidak tergantung untuk tindak kekerasan dalam skizofrenia (Volavka &
Swanson 2010).

Gambaran Klinis

Kekerasan pada skizofrenia bentuknya berbagai macam tergantung asalnya dan


manifestasinya. Ini berhubungan langsung dengan gejala klinis. Suatu hipotesis
menghubungkan peningkatan kekerasan pada orang-orang dengan penyakit mental menuju
menjadi gejala delusi psikotik sehingga disebut gejala Threat Control Override (TCO) (Link
et al. 1998, Link & Stueve. 1994) . Gejala-gejala ini ditimbulkan oleh pertanyaan seperti
“didominasi oleh kekuatan di luar Anda”, “Pikiran dimasukkan ke dalam kepala Anda” , dan
“orang-orang yang ingin Anda bahayakan”. Namun sebuah studi besar menunjukkan bahwa
meskipun delusi dapat memicu timbulnya kekerasan dalam kasus-kasus individual, delusi
tidak meingkatkan risiko kekerasan secara keseluruhan (Appelbaum et al . 2000).

Perintah halusinasi untuk merugikan orang lain dapat meningkatkan risiko kekerasan,
walaupu tingkat kepatuhan perintah tersebut bervariasi (Junginger tahun 1995, Junginger &
McGuire 2001). Secara umum, gejala positif skizofrenia dikaitkan dengan risiko kekerasan,
sedangkan gejala negatif menunjukkan hubungan sebaliknya (Swanson et al . 2006). Dalam
sebuah studi, kepatuhan dengan obat antipsikotik dikaitkan secara signifikan mengurangi
tindak kekerasan hanya pada kelompok tanpa sejarah perilaku. Dalam kelompok yang
memiliki masalah perilaku, kekerasan tetap tinggi dan tidak secara signifikan berbeda antara
pasien yang patuh terhadap pengobatan dan yang tidak (Swanson et al. 2008b). Karena
hasilnya tidak tergantung pada kepatuhan pasien minum obat, maka dapat disimpulkan bahwa
riwayat gangguan perilaku dikaitkan dengan penurunan efektivitas aktipsikotik. Hipotesis ini
masih harus diuji.

Penemuan ini konsisten dengan pengamatan sebelumnya yang mengindikasikan hanya sekitar
20% dari serangan pada pasien dengan gangguan jiwa dapat diatribusikan langsung pada
gejala psikotik seperti delusi dan halusinasi (Nolan et al. 2003). Serangan-serangan lain
muncul oleh karena bingung, impulsif, atau gangguan kepribadian komorbiditas antisosial.
Dengan demikian, ada beberapa jalur
kekerasan pada skizofrenia, dan etiologi ini memerlukan banyak implikasi untuk pengobatan
(Volavka & Citrome 2011).

Pengobatan Jangka Panjang

Pengobatan Farmakologis

Antipsikotik atipikal merupakan andalan jangka panjang pengobatan pada perilaku agresif
skizofrenia. Clozapine adalah gold standard untuk pengobatan pasien skizofrenia yang
menunjukkan perilaku kekerasan (Frogley et al . 2012, Topiwala & Fazel 2011). Two
randomized controlled double blind trial mengkonfirmasi adanya efek anti agresif pada
clozapine. Percobaan pertama membandingkan clozapine, olanzapine, risperidone, dan
haloperidol pada pasien skizofrenia atau gangguan skizoafektif (Volavka et al . 2002).
Analisis perselisihan item PANSS menunjukkan efikasi superior dari clozapine dibandingkan
dengan risperidone dan haloperidol (Citrome et al . 2001b). Baik rispedone ataupun olazapine
menunjukkan superioritas terhadap haloperidol. Tambahan analisis pada percobaan yang
sama terfokus pada insiden agresi fisik dari pada perselisihan (Volavka et al . 2004).

Hasil menunjukkan keunggulan efikasi dari seluruh antiaggressive dari ketiga atipikal
dibandingkan haloperidol. Percobaan kedua membandingkan clozapine, olanzapine, dan
risperidone pada pasien dengan skizofrenia atau gangguan schizoafektif yang dipilih yang
memiliki resiko untuk tindak kekerasan ( Krakowski et al . 2006). Efikasi clozapine untuk
menurunkan insiden fisik yang lebih baik daripada olanzapine, yang pada gilirannya lebih
baik daripada haloperidol. Meskipun keberhasilan antiaggressive yang sungguh-sungguh
terbukti, clozapine bukanlah obat mujarab (Volavka 2012) . Banyak pasien, sekitar 50 % ,
gagal untuk merespon pengobatan ini (Lieberman et al. 1994). Yang tidak merespon biasanya
pasien dengan riwayat gangguan perilaku seperti yang dibahas di atas (Swanson et al .
2008b). Selanjutnya, clozapine tidak menunjukkan efek antiagresif yang penuh sampai
mencapai dosis yang penuh sekitar 500mg/hari. (Volavka et al . 2004). Juga, pasien kadang
bingung untuk tidak melanjutkan clozapine dengan berbagai alasan, termasuk membutuhkan
monitoring darah. Akhirnya beberapa pasien tidak mau atau tidak melanjutkan pengobatan
clozapine untuk kontraindikasi medis ataupun efek samping.

Olanzapine efektif untuk melawan agresi fisik terbuka (Krakowski et al . 2006) dan melawan
perselisihan pada pasien skizofrenia jangka panjang. Efek antiagresif Olanzapine lebih lemah
daripada Clozapine (Krakowski et al . 2006), dan tidak dapat dibedakan dari antipsikotik
atipikal lainnya (Swanson et al . 2008a). Namun pada episode awal skizofrenia lebih baik
daripada efek Haloperidol, Quetiapine dan Amisulpride untuk melawan perselisihan
(Volavka et al . 2011).

Risperidone mengurangi perilaku kekerasan dan perselisihan dalam studi terbuka skizofrenia
(Chengappa et al . tahun 2000, Bitter et al . 2005). Sebuah analisis dari studi randomized
double blind dari risperidone pada pasien skizofrenia mengkonfirmasi risperidone lebih baik
dari placebo dalam mengurangi perselisihan (Czobor et al. 1995). Perbandingan lainnya
antara risperidone dengan berbagai antipsikotik pada percobaan randomized menunjukkan
tidak ada perbedaan yang signifikan dalam efek antiaggressive (Swanson et al. 2008a).

Aripiprazole. Lima randomized, studi double-blind pada pasien dengan skizofrenia atau
gangguan skizoafektif membandingkan aripiprazole dengan placebo. Tiga studi termasuk
haloperidol sebagai pembanding. Analisis posthoc memperlihatkan aripiprazole lebih baik
daripada placebo dan tidak ada perbedaan yang signifikan antara ariprazole dan haloperidol
dalam mengurangi perselisihan (Volavka et al . 2005).

Quetiapine. Studi terbuka mendukung efektivitas dari quetiapine dalam melawan perselisihan
dan agresi (Citrome et al . 2001a , Villari et al . 2008). Observasi ini dikonfirmasi oleh
analisis percobaan post- hoc randomizes doubleblind menunjukkan keunggulan quetiapine
atas plasebo dalam mengurangi agresi pada pasien skizofrenia (Arango & Bernardo 2005).
Dalam studi lain, efek antiagresif dari quetiapine ini sama dengan antipsikotik atipikal
lainnya, tapi mereka lebih lemah dibandingkan dari perphenazine ( Swanson et al . 2008a ).

Ziprasidone. Analisis Post- hoc efek pada perselisihan menggunakan data dari sebuah studi
randomized, open-label membandingkan ziprasidone dengan haloperidol dalam skizofrenia
dan gangguan skizoafektif ( Citrome et al. 2006). Kedua obat mengurangi perselisihan;
ziprasidone lebih unggul dibandingkan haloperidol hanya selama minggu pertama studi. Efek
antiaggressive ziprasidone yang mirip dengan antipsikotik lain (Swanson et al. 2008a) .

Obat Lain

Antikonvulsan dan Lithium secara luas digunakan untuk pengobatan adjunctive perilaku
agresif di pasien skizofrenia. Tetapi pengobatan ini tidak didukung oleh bukti empiris yang
kuat. Mungkin ini hanya efektif tergantung individu pasien, seperti perawatan harus
dimonitoring secara ketat, dan harus segera dihentikan jika tidak menunjukkan manfaat yang
jelas (Citrome 2009).

Adrenergik beta – blocker menunjukkan tindakan antiagresif pada beberapa studi dan laporan
kasus (Sheppard 1979,Whitman et al . 1987, Yorkston et al . 1977, Caspi et al .2001 ,
Newman & McDermott 2011), dan pendekatan ini telah direkomendasikan untuk perilaku
kekerasan dalam skizofrenia sebagai pengobatan lini kedua ( Kane et al . 2003).

Beta – blocker menurunkan tekanan darah dan denyut nadi, dan efek samping ini sebagian
bertanggung jawab atas menurunnta minat baru dalam menggunakan beta blocker sebagai
pengobatan terhadap perilaku kekerasan. Beta-blocker sudah digantikan oleh antipsikotik .
Namun demikian, antipsikotik yang tidak selalu efektif : efikasi dari adjunctive pada
perawatan dari menetapnya agresif pada pasien skizofrenia harus dilakukan studi kemudia.
Baru-baru ini telah diterbitkan meta-analisis yang mengindikasikan hubungan antara
polimorfisme gen catecholo – o methyl transferasi (COMT) dan kekerasan pada skizofrenia
dapat menghidupkan kembali daerah ini (Singh et al . 2012) ( Bhakta et al . 2012)

Pengobatan non – farmakologis

Perilaku agresif pada kebanyakan pasien gagal untuk merespon perawatan farmakologis
secara adekuat. Ini disebabkan berbagai macam etiologi yang menyebabkan perilaku seperti
ini. Seperti yang didiskusikan di atas, riwayat gangguan perilaku, sebagai komorbid
gangguan kepribadian antisocial, merupakan pencetus terjadinya tindak kekerasan dalam
skizofrenia. Perilaku agresif pada pasien skizofrenia dengan masalah ini tidak disebabkan
langsung oleh psikosis, jadi ini kurang berespom terhadap antipsikosis.

Selain itu, ada pasien perilaku kekerasan yang merespon terhadap obat antipsikotik, namun
menjadi tidak mematuhi pengobatan dan memulai kecanduan obat atau alcohol setelah
mereka pulang dari rumah sakit. Ketidakpatuhan pada pengobatan farmakolog dan kecanduan
zat meningkatkan risiko tindak kekerasan pada skizofrenia Alia-Klein et al. 2007, Swartz et
al. 1998b, Volavka & Citrome 2011). Program standar pengobatan psikiatri memiliki
keberhasilan yang terbatas dalam mengurangi tindak kekerasan dan perilaku criminal pada
beberapa pasien.

Sebuah spesialisasi, perawatan kognitif behavior program dikembangkan untuk beberapa


populasi. Program ini disebut STAIR (Service for Treatment and Abatement of Interpersonal
Risk), yang sudah beroperasi sejak 1997 pada rumah sakit pemerintah pada beberapa bagian
penyakit mental di New York. Program rawat inap ini menargetkan pada penyebab yang
berhubungan dengan kekerasan dan tingkah laku criminal. Kurikulumnya menyangkut
ketergantungan zat. Kursus kognitif skill training merupakan inti dari program. Program ini
sudah mengurangi tingkat penangkapan dan rawat inap dan meningkatkan kepatuhan untuk
pengobatan (Yates et al .2010). Program yang sama sudah dikembangkan di daerah lain
(Haddock et al . 2009, Cullen et al . 2012) .

GANGGUAN BIPOLAR

Prevalensi tingkat kekerasan pada gangguan bipolar setidaknya tidak setinggi skizofrenia.
Kekerasan yang dilakukan oleh gangguan bipolar sudah diketahui para dokter sejak lama,
namun upaya penelitian di bidang ini telah tertinggal dibelakang penelitian pada skizofrenia
(Latalova 2009).

Epidemiologi

Sampel yang digunakan mewakili populasi di Amerika yang dikumpulkan oleh National
Cormobidity Survey (NCS) antara tahun 1991 dan 1992. Diagnosis dan riwayat perilaku
agresif dilaporkan 12,2% pada individu yang telah didiagnosis bipolar dan 8,2% dilakukan
oleh ketergantungan alcohol, 10,9% oleh ketergantungan zat dan 1,9% oleh orang yang tidak
memiliki gangguan. Analog nomer untuk “tahun lalu” didiagnosis adalag 16,0%, 19,8% dan
2,0% (Corrigan & Watson 2005). Dengan demikian, ketika pasien menunjukkan gangguan
gejala bipolar (atau penyalahgunaan zat) selama periode 12 bulan yang dicakup oleh survey
agensi, frekuensi agresif dilaporkan meningkat. Dengan semukian, komorbiditas
meningkatkan frekuensi perilaku agresif.

Penelitian yang dilakukan sekitar tahun 2001-2002 oleh NESARC melibatkan wawancara
untuk menilai prevalensi seumur hidup perilaku agresif serta masa DSM-IV gangguan
psikiatri pada 43.093 yang mewakili populasi di United States (Pulay et al . 2008). Prevalensi
seumur hidup gangguan perilaku agresif setelah umur 15 tahun berjumlah 0,66% pada orang
seumur hidupnya yang tidak memiliki riwayat gangguan psikiatri, tetapi 25,34% dan 13,58%
terjadi pada gangguan bipolar I dan II. Odds ratio masing-masing gangguan adalah 3,72
(2,94-4,70) dan 1,77 (1,26-2,49). Angka-angka ninni merupakan campuran dari gangguan
bipolar murni (tanpa didiagnosa komorbiditas) dan gangguan bipolar dengan diagnosa
komorbiditas. Prevalensi perilaku agresif dalam bipolar murni (tanpa komorbiditas) adalah
2,52% dan 5,12%. Prevalensi ini sebanding dengan perilaku agresif akibat ketergantungan
alcohol murni dan ketergantungan obat, dimana masing-masing 7,22% dan 11,32%. Tingkat
komorbiditas gangguan bipolar dengan ketergantungan alcohol, ketergantungan obat dan
gangguan kepribadian antisocial secara seignifikan meningkat (Grant et al . 2005).
Komorbiditas ini meningkatkan risiko kekerasan.
Suatu set analisis studi yang dilakukan NESARC berusaha untuk menentukan prevalensi
peradilan pidana. Keterlibatan selama episode mania dan untuk mengidentifikasi apakah
gejala manic spesifik berkontribusi terhadap risiko ini (Christopher et al . 2012) . Analisis ini
bertujuan untuk mengerahui tingkat keterlibatan hukum (ditangkap, ditahan di kantor polisi
ataupun dipenjara) dari individu yang memiliki gangguan bipolar satu dengan seumur hidup
episode manic. Diantara 1.044 responde (2,5%) yang memenuhi jriteria karena telah
mengalami episode manic, 13% dilaporkan memiliki keterlibatan hukum yang paling parah
selama episode manik. Keterlibatan hukum lebih mungkin terjadi diantara orang-orang
dengan gejala peningkatan harga diri atau kebesaran, meningkatkan libido, keterlibatan yang
berlebihan dalam aktivitas menyenangkan dengan risiko tinggi kesakitan, memiliki lebih
banyak gejala manic dan memiliki kedua sosial dan gangguan pekerjaan (Christopher et al .
2012)

Data pada diagnosa, informasi sociedemograpic dan perilaku kekerasan sejak 1 Januari 1973
sampai 31 Desember 2004 dikumpulkan untuk studi gangguan bipolar (Fazel et al. 2010b).
Individu dengan 2 atau lebih pembatalan diagnosis bipolar (n=3743), populasi kontrol umum
(n=37.429) dan sibling yang tidak terpengaruh penuh dengan gangguan bipolar (n=4059)
merupakan subjek. Setelah diagnosis awal, 255 individu dengan gangguan bipolar (9,5%)
yang mengakui melakukan kekerasan dibandingkan dengan 629 populasi kontrol umum
(1,7%) (adjusted odd ratio, 6.6; 95% confiedence interval 5,8-7,6) (Fazel et al. 2010a). Risiko
paling meningkat dengan pasien ketergantungan zat komorbid (adjusted odds ratio, 19,9;
95% confidence interval, 14,7-26,9). Namun, masih ada risiko signifikan yang meningkat
walaupun pasien tanpa komorbid ketergantungan zat (adjusted odds ratio, 3,1; 95%
confidence interval, 2,6-3,8) (Fazel et al, 2010a)

Observasi klinis selama rawat inap dan sebelumnya dikatakan meningkatkan risiko kekerasan
selama fase akut episode manic (Binder & McNiel 1988, Barlow et al, 2000). Sebuah studi
membandingkan prevalensi agensi pada gangguan bipolar pada pasien dengan kepribadian
psikopatologi dan pasien (Ballester et al, 2012). Subjek gangguan bipolar I dan II (n=255),
psychopatologi lain (n=85) dan pasien sehat (n=84) sudah direkruit. Agresi dihitung
menggunakan kuisioner. Pasien dengan gangguan bipolar memperlihatkan skor agresi yang
besar yang signifikan dibandingkan grup lain. Independen dari gangguan bipolar yang
memberat dan sikap berlawanan dari episode. Jadi episode mood saat ini memperlihatkan
skor agresi yang tinggi yang tidak ada pada episode mood. Subjek dengan psikosis
memperlihatkan skor total agresi yang tinggi, perselisihan dan kemarahan tanpa psikosis
(Ballester et al, 2012).

Gambaran Klinis

Sebuah faktor analisis menunjukkan bahwa serangan pada gangguan bipolar dikaitkan
dengan paranoid dan mudah tersinggung (Cassidy et al . 1998a). Agresi tersinggung ini tetap
stabil dalam kurun waktu berturut-turut pada episode manik (Cassidy et al . 2002). Dalam
sebuah penelitian, agresi dikaitkan dengan perangai pasien yang cepat marah, tidak
kooperatif, tidal sabar dan kurang wawasan. Analisis ini menunjukkan empat subtype dari
mania, salah satunta berlabel “agresif” ( Sato et al . 2002 ). Dalam sebuah penelitian terhadap
pasien gangguan bipolar, manic ataupun campuran, agresi muncul dalam frekuensi yang
sama denga dua subtype bipolar lainnnya (Cassidy et al . 1998b). Dengan demikian, agresi
disimpulkan sebagai fitur dari episode manic dan episode campuran dari pasien gangguan
bipolar, berkembang dalam konteks yang lekas marah, dan mungkin merupakan sifat individu
yang menetap.
Penelitian sebelumnnya menemukan kalau gejala lainnya terjadi serentak dengan agresi.
Penelitian ini mengambil persepsi yang lebih luas yaitu dengan melihat agresi dalam
gangguan bipolar yang tidak selalu sejalan dengan perilaku agresif. Hubungan psikologis
antara agresi dalam dan luar telah menarik bagi psikiater sejak jaman Freud. Hubungan antara
bunuh diri dan agresi di gangguan bipolar sangat penting. Pasien dengan gangguan bipolar
yang memiliki riwayat bunuh diri dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki sejarah
bunuh diri (Oquendo et al, 2000). Percobaan bunuh diri memiliki skor yang lebih tinggi pada
skala menilai perselisihan dan riwayat seumur hidup pada agresi. Dalam sebuah penelitian
yang serupa dengan pasien bipolar, percobaan bunuh diri dibandingkan dengan yang tidak
memiliki percobaan bunuh diri (Michaelis et al . 2004). Percobaan bunuh diri memiliki skor
yang lebih signifikan pada skala perselisihan (Buss & Durkee, 1957), terutama pada subskala
yang menilai agresi fisik. Mereka juga menunjukkan tingkat impulsif yang lebih tinggi.
Impulsif dan perselisihan berhubungan dengan bunuh diri.

Sebuah studi membandingkan impulsive dan agresi antara 143 kontrol, 138 dengan gangguan
bipolar dan 138 dengan pasien gangguan depresi mayor dengan atau tanpa riwayat percobaan
bunuh diri (Perroud et al . 2011). Kelompok pasien tersebut menunjukkan skor impulsif yang
lebih tinggi dan agresi lebih berat dibandingkan kontrol. Impulsive dibedakan menajadi
gangguan depresi subjek mayor tanpa riwayat usaha bunuh diri dan dengan memiliki riwayat
usaha bunuh diri, tapi tidak dalam subjek bipolar. Sifat impulsive dan agresif berkaitan erat
dengan percobaan bunuh diri (terlepas dari diagnosis) tapi tidak berhubungan dengan non-
bunuh diri. Jadi impulsive dapat dijadikan penanda dalam risiko bunuh diri pada gangguan
depresi mayor tapi tidak pada gangguan bipolar dan berkorelasi kuat dengan sifat agresif
yang berhubungan dengan keinginan bunuh diri (Perroud et al . 2011). Seperti yang
disebutkan dalam studi epidemiologi yang dijelaskan diatas, komorbid dengan gangguan lain
meningkatkan risiko agresi pada pasien yang didiagnosa dengan gangguan bipolar dan
komorbiditas tinggi.

Sebuah studi menunjukkan kalau kecanduan alcohol atau ketergantungan komorbid berkisar
antara 31,9% dan 47,3%, kecanduan atau ketergantungan komorbid antara 15,1-34,2%,
tergantung pada onset usia (Perlis et al. 2004). Onset awal berhubungan dengan risiko tinggi
pada komorbid. Studi lain menemukan 17-64% pada ketergantungan zat komorbid dengan
gangguan bipolar (Baldassano 2006). Dampak penyalahgunaan alcohol pada gejala yang ada
telah dilakukan pemeriksaan pada pasien dengan akut bipolar mania dengan atau tanpa
penyalahgunaan zat (Salloum et al. 2002). Kelompok komorbid menunjukkan level yang
lebih tinggi pada kompulsif dan perilaku agresif. Umumnya, bukti untuk peran pada
gangguan penggunaan zat pada patofisologi agresi dalam psikiatri sangat besar ( Swartz et al
, 1998a , Fazel et al. 2010a).

Komorbiditas gangguan bipolar dengan gangguan kepribadian antisocial ditunjukkan pada


sampel NESARC yang sudah dijelaskan diatas (Grant et al. 2005). Ini juga dijelaskan pada
bukti kasus (Thorneloe & Crews 1981) dan observasi pada fasilitas forensic dan penjara
(Good. 1978). Komorbid ini tentu meningkatkan risiko serangan sejak diagnosis sejak
diagnosis gangguan kepribadian antisocial sebagian ditentukan oleh itu. Analisis NESARC
tidak memberikan tingkat kecepatan komorbid yang spesifik pada gangguan bipolar dengan
garis bawah gangguan kepribadian (Grant et al. 2005). Namun, komorbid meningkatkan
risiko pada perilaku menyerang, yang ditunjukkan pada penelitian pasien bipolar (Garno et al
. 2008). Dalam penelitian tersebut, sifat menyerang dinilai dengan menggunakan skala
Brown-Goodwin Brown et al. 1979), dan riwayat trauma pada masa kanak-kanak yang
dipastikan dengan menggunakan kuisioner. Sifat menyerang sangat terkait dengan adanya
gangguan komorbid juga sama terkaitnya dengan trauma masa anak-anak dan keparahan
episode mania sekarang dan gejala depresi ( Garno et al . 2008).

Sebagai tambahan untuk meningkatkan risiko penyerangan, komorbid dengan


menggaris bawahi gangguan kepribadian juga berhubungan dengan tingginya impulsif pada
pasien dengan gangguan bipolar (Carpiniello et al. 2011). Ini tidak mengejutkan, sejak impuls
penyerangan sebagai komponen inti pada gangguan kepribadian ( Latalova & Prasko 2010).
Disfungsi eksekutif diprediksi kepribadian penyerang pada pasien rawat inap psikiatri (N=85,
27.6% didiagnosa sebagai bipolar) (Serper et al . 2008). Pasien bipolar yang lebih stabil dan
eutimik memperlihatkan tes neuropsychological yang lebih parah untuk fungsi eksekutif
daripada pasien kontrol dan memperlihatkan kurangnya inhibisi (Mur et al . 2007).

Sekarang jelas bahwa “disetorkan” pasien dengan bipolar eutimik memiliki gangguan yang
berbeda pada fungsi eksekutif, verbal memory, kecepatan psikomotor dan perhatian
berkelanjutan (Latalova et al . 2011). Penemuan neurologi dengan peningkatkan sifat yang
menyeluruh dengan impulsive sudah dijelaskan sebelumnya. Bisa dilihat sebagai bagian dari
diathesis yang dipredisposisikan pada pasien bipolar untuk menjadi agresif dengan
pengalaman stress pada gangguan manic.

Gangguan bipolar berhubungan dengan tilikan yang buruk (Latalova 2012).


Terganggunya tilikan berhubungan dengan tingkah agresif pada gangguan psikiatri (Alia –
Klein et al . 2007, Antonius 2005 Ekinci & Ekinci 2012, Lera et al . 2012). Jadi, gangguan
tilikan mungkin menjadi salah satu mekanisme yang menigkatkan risiko dari kekerasan pada
pasien bipolar.

Manajemen Agresi dalam Gangguan Bipolar

Agresi selama episode manic dalam konteks agitasi akut

Agitasi akut merupakan ciri yang wajar pada episode manic. Pelatihan staff pada pengaturan
tingkah laku pada agitasi akut merupakan hal yang penting, sejak intervesi pada mereka
mungkin mencegah eskalasi perilaku yang tidak terkontrol. Intervensi pertama meliputi
pembersihan kamar, memiliki staff memungkinkan untuk membantu dan mendorong pasien
untuk mengungkapkan apa yang dia butuhkan dan keinginannya ( Volavka et al. 2012).
Penggunanaan dari obat sedative atau penenang sangat penting.

Benzodiazepine

Benzodiazepin umumnya digunakan, terutama pada pasien yang kemungkinan mengalami


withdrawal pada alcohol dan sedatif.

Lorazepam merupakan benzodiazepine yang dapat diserap intramuscular, tidak memiliki


metabolit dan waktu paruh antara 10-20 jam. Dosis 0,5-2,0 setiap 1-6 jam. Hati-hati
penggunaannya saat pasien memiliki kemungkinan respiratory depression. Lorazepam tidak
direkomendasikan untuk penggunaan jangka panjang karena berpotensi untuk toleransi dan
ketergantungan.

Antipsikotik
Generasi pertama antipsikotik sudah digunakan untuk menangani pasien gelisah pada mani
akut. Obat ini terus digunakan, tapi memiliki potensi untuk mengalami efek samping
ekstrapiramal seperti akathisia (yang mungkin membingungkan dengan dengan gelisah) dan
distonia akut. Kombinasi perawatan pada generasi pertama antipsikotik, seperti haloperidol,
dengan lorazepam didukung dengan hasil randomized, double blind, clinical trial yang
membandingkan intramuscular haloperidol 5 mg, intramuscular lorazepam 2 mg atau
kombinasi keduanya pada pasien psikotik, agitasi dan pasien agresif yang dirawat pada ruang
emergency (n=98) ( Battaglia et al . 1997 ). Efek samping haloperidol dapat dikurangi dengan
pemberian bersama promethazine seperti yang dijabarkan oleh beberapa studi yang
diidentifikasikan dalam review Cochrane ( Huf et al . 2009).

Antipsikotik generasi kedua juga digunakan untuk mengobati agitasu. Tiga tersedia dalam
formula short acting intramuscular (ziprasidone, olanzapine dan aripiprazole) dengan ukuran
efek untuk mengurangi agitasi mirip dengan yang mengobservasi haloperidol atau lorazepam
(Citrome 2007). Keuntungan utama pada generasi pertama antipsikotik adalah kecenderungan
yang lebih rendah pada efek samping ekstrapiramidal.

Dalam perkembangan klinis pengunaan loxapine yang dihirup, dimana obat dihirup
menggunankan perangkat genggam yang menghasilkan kondensasi aerosol termal yang
dihasilkan bebas dari bahan pengisi atau propelan, sehingga pengiriman ke paru-paru lebih
cepat dan bisa cepat dibawa ke sistem sirkulasi ( Citrome 2012). Inhalasi loxapine memiliki
efek yang cepat, toleransi yang baik pada pengobatan agitasi akut pada pasien gangguan
bipolar I ( Kwentus et al. 2012).

Long Term Management

Manajemen farmakologi

Sensitif dan agresi merupakan ciri utama dari mania dan kesusksesan pengobatan
pada episode mania diharapakan dapat mengurangi atau menghilangkan perilaku agresif. Jadi
pengobatan antiagresif jangka panjang pada pasien manic mirip dengan pengobatan umum
pada gangguan bipolar. Beberapa informasi umum diluar.

Manajemen non farmakologi

Cognitif Behaviour Treatment (CBT) telah digunakan untuk mengatasi berbagai aspek
gangguan bipolar yang meningkatkan risiko agresi, termasuk gangguan kepribadian
komorbid dan gangguan penyalahgunaan zat sebagai ketidakpatuhan pengobatan. Sebuah
randomized control study pada pasien bipolar terfokus pada kepatuhan pengobatan (Cochran
1984). Dibandingkan dengan grup kontrol, pasien yang mendapatkan 6 sesi CBT
menunjukkan tentang kepatuhan pengobatan, pemahaman pengobatan yang baik dan
menurunkan tingkat rawat inap di rumah sakit. Penggunaan manual CBT pada pasien
gangguan bipolar sudah tersedia ( Basco & Rush 2007). Bagian dari manual secara khusu
diarahkan pada kepatuhan pengobatan dan masalah penggunaan zat.

Anggota keluarga merupakan korban serangan yang paling sering oleh pasien yang
didiagnosis dengan gangguan jiwa. Family-focus psychoeducational treatment ditujukkan
pada masalah komunikasi di keluarga, pada keluarga yang kekurangan informasi tentang
penyakit pasien dan kurangnya kemampuan untuk mengatasi konflik ( Herman et al. 2004).
KESIMPULAN

Kebanyakan pasien dengan skizofrenia dan gangguan bipolar tidak melakukan tindak
kekerasan. Namun demikian, risiko kekerasan pada pasien dengan gangguan ini lebih besar
daripada populasi umum. Risiko ini tinggi pada pasien skizofrenia dan gangguan bipolar
dengan komorbid penyalahgunaan penggunaan zat dan gangguan kepribadian, tapi ini tetap
ada walaupun tanpa komorbid. Pengobatan farmakologi merupakan alat prinsip untuk
mengatasi kekerasan psikosis. Walaupun demikian, efektivitas sangat terbatas oleh karena
memiliki risiko resisten, ketidakpatuhan pengobatan dan fakta bahwa beberapa perilaku
kekerasan pada pasien didiagnosa dengan skizofrenia atau gangguan bipolar yang tidak
langsung disebabkan oleh psikosis. Komorbid lebih sering berdampak pada pasien yang
memiliki tingkah laku kekerasan dan deteksi dan pengobatan merupakan hal terpenting.
Perawatan psikososial juga merupakan komponen penting manajemen pada pasien yang
memilki tingkah laku kekerasan pada psikosis.

Anda mungkin juga menyukai