Autisme
Oleh:
Pembimbing:
dr. Yenny Fitrizar
Laporan Kasus
Autisme
Oleh:
0408482182002
Fidella Ayu Aldora, S.Ked 2
Jennifer Finnalia Husin, 0408482182002
S.Ked 3
Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
ujian kepaniteraan klinik senior di Bagian Rehabilitasi Medik Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya RSUP Dr. Mohammad Hoesin
Palembang periode 30 April-15 Mei 2018
Latar Belakang
Autisme, merupakan salah satu gangguan perkembangan yang semakin
meningkat saat ini, menimbulkan kecemasan yang dalam bagi para orangtua.
Hingga saat ini belum dapat ditemukan penyebab pasti dari gangguan autisme ini,
sehingga belum dapat dikembangkan cara pencegahan dan penanganan yang
tepat. Pada awalnya autisme dipandang sebagai gangguan yang disebabkan oleh
faktor psikologis yaitu pola pengasuhan orangtua yang tidak hangat secara
emosional, tetapi barulah sekitar tahun 1960 dimulai penelitian neurologis yang
membuktikan bahwa autisme disebabkan oleh adanya abnormalitas pada otak
(Yeni, Murni, & Oktora, 2009).
Autisme dapat terjadi pada semua kelompok masyarakat kaya, miskin, di
desa di kota, berpendidikan maupun tidak serta pada semua kelompok etnis dan
budaya di dunia. Jumlah anak yang terkena autisme semakin meningkat pesat di
berbagai belahan dunia, kondisi ini menyebabkan banyak orangtua menjadi was-
was sehingga sedikit saja anak menunjukkan gejala yang dirasa kurang normal
selalu dikaitkan dengan gangguan autisme. Di California pada tahun 2002
disimpulkan terdapat 9 kasus autisme per-harinya. Di Amerika Serikat disebutkan
autisme terjadi pada 15.000-60.000 anak dibawah 15 tahun. Di Indonesia yang
berpenduduk 200 juta lebih, hingga saat ini belum diketahui berapa persisnya
jumlah penderita, namun diperkirakan jumlah anak autisme dapat mencapai
150-200 ribu orang. Perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah 2,6 - 4 :
1, namun anak perempuan yang terkena akan menunjukkan gejala yang lebih
berat (Yeni, Murni, & Oktora, 2009).
Autisme termasuk kasus yang jarang, biasanya identifikasinya melalui
pemeriksaan yang teliti di rumah sakit, dokter atau sekolah khusus. Dewasa ini
terdapat kecenderungan peningkatan kasus-kasus autisme pada anak (autisme
infantil) yang datang pada praktek neurologi dan praktek dokter lainnya.
Umumnya keluhan utama yang disampaikan oleh orang tua adalah keterlambatan
bicara, perilaku aneh dan acuh tak acuh, atau cemas apakah anaknya tuli (Yeni,
Murni, & Oktora, 2009).
Terapi anak autisme membutuhkan deteksi dini, intervensi edukasi yang
intensif, lingkungan yang terstruktur, atensi individual, staf yang terlatih baik, dan
peran serta orang tua sehingga melibatkan banyak bidang, baik bidang
kedokteran, pendidikan, psikologi maupun bidang sosial. Dalam bidang
kedokteran, untuk menangani masalah autisme dengan pengobatan khususnya
medika mentosa, di bidang pendidikan dapat dilakukan dengan memberikan
latihan pada orang tua penderita. Terapi perkembangan perilaku dapat dilakukan
dalam bidang psikologi, sedangkan mendirikan yayasan autisme sebagai lembaga
yang mampu secara profesional menangani masalah autisme adalah salah satu
contoh yang dilakukan dalam bidang sosial (Yeni, Murni, & Oktora, 2009).
Prognosis untuk penderita autisme tidak selalu buruk. Pada gangguan
autisme, anak yang mempunyai IQ diatas 70 dan mampu menggunakan
komunikasi bahasa mempunyai prognosis yang baik. Berdasarkan gangguan pada
otak, autisme tidak dapat sembuh total tetapi gejalanya dapat dikurangi, perilaku
dapat diubah ke arah positif dengan berbagai terapi. Sejauh ini masih belum
terdapat kejelasan secara pasti mengenai penyebab dan faktor risikonya sehingga
strategi pencegahan yang dilakukan masih belum optimal. Saat ini tujuan
pencegahan mungkin hanya sebatas untuk mencegah agar gangguan yang terjadi
tidak lebih berat lagi, bukan untuk menghindari kejadian autisme (Yeni, Murni, &
Oktora, 2009).
BAB II
LAPORAN KASUS
5. RIWAYAT PEKERJAAN
-
A. Pemeriksaan Umum
Keadaan umum : baik
Kesadaran : E4V5M6 (GCS 15)
Tinggi Badan/ Berat Badan :
Cara berjalan/Gait
- Antalgik gait : tidak ada
Bahasa/ bicara
Komunikasi verbal : buruk
Komunikasi non verbal : buruk
Tanda vital
Tekanan Darah : 90/60 mm/Hg
Nadi : 100x/menit, isi cukup irama teratur
Pernafasan : 30 x/menit
Suhu : 36,5oC
Kulit : normal
Status Psikis
Sikap : tidak kooperatif Orientasi : normal
Ekspresi wajah : baik Perhatian : buruk
B. Saraf - saraf otak
C. Kepala
Bentuk : normal
Ukuran : normo cephali
Posisi
- Mata : normal
- Mulut : simetris
Fleksi jari-jariNama
tangan: ARKAN
0-90 0-90 Umur 0-90
0-90 / Jenis : 3 TAHUN/ L
PUTERA. C
Ekstensi paha 55
Ekstensi lutut 55
Fleksi lutut 55
Pasien dibawa ke poli Rehabilitasi Medik RSMH dengan keluhan anak belum dapat berbicara
dengan jelas pada saat usia saat ini. Hal ini dirasakan oleh ibu sejak kurang lebih 3 bulan yang
lalu. Ibu menyadari jika anaknya tidak sama dengan anak lainnya yang seusia pasien saat ini. Ibu
pasien mengatakan kalau anaknya belum bisa berbicara, hanya bicara (mengoceh) tanpa arti. Ibu
pasien juga mengatakan, anaknya belum bisa mengucapkan “papa-mama” secara spesifik, bahasa
yang diucapkan tidak bisa dimengerti, dipanggil tidak menoleh, diberi perintah tidak dilakukan,
serta bila menginginkan sesuatu tidak meminta dengan mengucapkan namun dengan menarik
tangan ibunya. Ibu pasien juga mengaku anaknya sangat senang berlari dan melompat, cenderung
suka main sendiri dan sangat aktif serta tidak dapat fokus pada satu hal dan cenderung asik
dengan dunianya sendiri. Saat ini anak baru bisa mengoceh tanpa arti dan belum bisa membentuk
kalimat. Pasien sulit untuk tidur malam, tidur malam selalu diatas jam 22.00. Pasien juga sulit
untuk tidur siang, sangat jarang sekali tidur siang. Hal ini semakin lama semakin sulit bagi anak
untuk dapat diam ketika anak mulai dapat aktif bermain sendiri dan bertambah parah pada satu
tahun ini. Anak selalu bergerak kesana kemari tanpa tujuan, sangat suka berlari tanpa tujuan dan
melompat kesana sini, serta susah bila diajak bermain dengan orang lain. Anak sering mengoceh
sendiri, dengan kata kata yang tidak bisa dimengerti orang lain, suka tersenyum dan tertawa
sendiri bila memandangi sesuatu. Pasien hanya bisa membentuk sepatah patah kata, tidak pernah
bisa membentuk sebuah kata lengkap atau kalimat. Tidak bisa mengerti perintah jelas dari orang
lain. Sulit diajak komunikasi dengan orang lain, Nafsu makan pasien berubah-ubah seringkali
Ruangmau
baik, namun kadang buruk dan hanya : POLIKLINIK No.Rek.Med
minum susu melalui dot saja.: Tidak
1045276
ada keluhan lain
EVALUASI / DIAGNOSIS
yang diderita anak, tidak ada muntah,
Nama : ARKAN Umur / Jenis : 3 TAHUN/
PUTERA. C L dan tanda-tanda vital dalam batas
Dari pemeriksaan fisik didapatkan sensorium compos mentis
normal. Pasien tidak kooperatif dan perhatiannya buruk.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan diagnosis autisme
VI. EVALUASI
DIAGNOSIS KLINIS
Diagnosis:
Autisme
Edukasi :
❖ Konsul ke dokter spesialis kejiwaan, untuk pertimbangan penggunaan terapi medikamentosa
❖ Konsul ke bagian rehabilitasi medik untuk dilakukan terapi wicara dan okupasi
IX . PROGNOSA
- Medik : Bonam
- Fungsional : Dubia ad bonam
X . FOLLOW UP
Keluhan : Anak belum dapat berbicara dengan jelas pada usia saat ini (3 tahun)
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Autisme
Autisme berasal dari kata “autos” yang berarti segala sesuatu yang
mengarah pada diri sendiri. Dalam kamus psikologi umum (1982), autism
berarti preokupasi terhadap pikiran dan khayalan sendiri atau dengan kata
lain lebih banyak berorientasi kepada pikiran subyektifnya sendiri daripada
melihat kenyataan atau realita kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu
penderita autisme sering disebut orang yang hidup di “alamnya” sendiri.
Autisme merupakan salah satu kelompok gangguan pada anak yang
ditandai dengan munculnya gangguan dan keterlambatan dalam bidang
kognitif, komunikasi, ketertarikan pada interaksi sosial, dan perilakunya
(Sadock, 2007).
B. Epidemiologi
Penyandang autisme pada anak (autisme infantile) dalam kurun waktu
10 sampai 20 tahun terakhir semakin meningkat di dunia. Prevalensi anak
autis di dunia pada tahun 1987 diperkirakan 1 berbanding 5.000 kelahiran.
Sepuluh tahun kemudian yaitu tahun 1997, angka itu berubah menjadi 1
berbanding 500 kelahiran. Sedangkan, pada tahun 2000 prevalensi anak
autisme meningkat menjadi 1 banding 150 kelahiran dan tahun 2001
perbandingannya berubah menjadi 1:100 kelahiran. Secara global
prevalensinya berkisar 4 per 10.000 penduduk, dan pengidap autisme laki-
laki lebih banyak dibandingkan wanita (lebih kurang 4 kalinya). Sedangkan
penyandang autis di Indonesia diperkirakan lebih dari 400.000 anak (Lubis,
2009). Penelitian yang dilakukan di Brick Township, New Jersey (Bertrand,
2001) melaporkan angka prevalensi autis yaitu 40 per 10.000 untuk anak
3-10 tahun dengan autisme dan 67 per 10.000 untuk seluruh spektrum
autisme pada anak-anak. Penelitian terbaru di Canada menyatakan bahwa
prevalensi autisme mencapai 0,6 sampai 0,7% atau satu berbanding 150
kelahiran (Fombonne, 2009).
C. Etiologi
Etiologi pasti dari autis belum sepenuhnya jelas. Beberapa teori yang
menjelaskan tentang aurisme infantil yaitu:
1. Teori psikoanalitik
Teori yang dikemukakan oleh Bruto Bettelheim (1967) menyatakan
bahwa autisme terjadi karena penolakan orangtua terhadap anaknya.
Anak menolak orang tuanya dan mampu merasakan persaan negatif
mereka. Anak tersebut meyakini bahwa dia tidak memiliki dampak
apapun pada dunia sehingga menciptakan “benteng kekosongan” untuk
melindungi dirinya dari penderitaan dan kekecewaan (Lubis, 2009).
2. Genetik
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa laki-laki 3-4 kali beresiko
lebih tinggi dari wanita. Sementara risiko autis jika memiliki saudara
kandung yang juga autis sekitar 3% (Kasran, 2003). Kelainan dari gen
pembentuk metalotianin juga berpengaruh pada kejadian autis.
Metalotianin adalah kelompok protein yang merupakan mekanisme
kontrol tubuh terhadap tembaga dan seng. Fungsi lainnya yaitu
perkembangan sel saraf, detoksifikasi logam berat, pematangan saluran
cerna, dan penguat sistem imun. Disfungsi metalotianin akan
menyebabkan penurunan produksi asam lambung, ketidakmampuan
tubuh untuk membuang logam berat dan kelainan sisten imun yang sering
ditemukan pada orang autis. Teori ini juga dapat menerangkan penyebab
lebih berisikonya laki-laki dibanding perempuan. Hal ini disebabkan
karena sintesis metalotianin ditingkatkan oleh estrogen dan progesteron
(Kasran, 2003).
3. Studi biokimia dan riset neurologis
Pemeriksaan post-mortem otak dari beberapa penderita autistik
menunjukkan adanya dua daerah di dalam sistem limbik yang kurang
berkembang yaitu amygdala dan hippocampus. Kedua daerah ini
bertanggung jawab atas emosi, agresi, sensory input, dan belajar.
Penelitian ini juga menemukan adanya defisiensi sel Purkinye di
serebelum. Dengan menggunakan Magnetic Resonance Imaging (MRI),
telah ditemukan dua daerah di serebelum, lobulus VI dan VII, yang pada
individu autistik secara nyata lebih kecil dari pada orang normal. Satu
dari kedua daerah ini dipahami sebagai pusat yang bertanggung jawab
atas perhatian. Dari segi biokimia jaringan otak, banyak penderita-
penderita autistik menunjukkan kenaikan dari serotonin dalam darah dan
cairan serebrospinal dibandingkan dengan orang normal (Kasran,2003).
D. Patogenesis Autisme
Penyebab terjadinya autisme sangat beraneka ragam dan tidak ada
satupun yang spesifik sebagai penyebab utama dari autisme. Ada indikasi
bahwa faktor genetik berperan dalam kejadian autisme. Dalam suatu studi
yang melibatkan anak kembar terlihat bahwa dua kembar monozygot
(kembar identik) kemungkinan 90% akan sama-sama mengalami autisme;
kemungkinan pada dua kembar dizygot (kembar fraternal) hanya sekitar
5-10% saja (Kasran, 2003).
Sampai sejauh ini tidak adagen spesifik autisme yang teridentifikasi
meskipun baru-baru ini telah dikemukakan terdapat keterkaitan antaragen
serotonin-transporter. Selain itu adanya teori opioid yang mengemukakan
bahwa autisme timbul dari beban yang berlebihan pada susunan saraf pusat
oleh opioid pada saat usia dini. Opioid kemungkinan besar adalah eksogen
dan opioid merupakan perombakan yang tidak lengkap dari gluten dan casein
makanan. Meskipun kebenarannya diragukan, teori ini menarik banyak
perhatian. Pada dasarnya, teori ini mengemukakan adanya barrier yang
defisien di dalam mukosa usus, di darah-otak(blood-brain) atau oleh karena
adanya kegagalan peptida usus dan peptida yang beredar dalam darah untuk
mengubah opioid menjadi metabolit yang tidak bersifat racun dan
menimbulkan penyakit (Kasran, 2003). Barrier yang defektif ini mungkin
diwarisi(inherited) atau sekunder karena suatu kelainan. Berbagai uraian
tentang abnormalitas neural pada autisme telah menimbulkan banyak
spekulasi mengenai penyakit ini. Namun, hingga saat ini tidak ada satupun,
baik teori anatomis yang sesuai maupun teori patofisiologi autisme atau tes
diagnostik biologik yang dapat digunakan untuk menjelaskan tentang sebab
utama autisme. Beberapa peneliti telah mengamati beberapa abnormalitas
jaringan otak pada individu yang mengalami autisme, tetapi sebab dari
abnormalitas ini belum diketahui, demikian juga pengaruhnya terhadap
perilaku (Kasran, 2003).
Kelainan yang dapat dilihat terbagi menjadi dua tipe, disfungsi dalam
stuktur neural dari jaringan otak dan abnormalitas biokimia jaringan otak.
Dalam kaitannya dengan struktur otak, pemeriksaan post-mortem otak dari
beberapa penderita autistik menunjukkan adanya dua daerah di dalam sistem
limbik yang kurang berkembang yaitu amygdala dan hippocampus. Kedua
daerah ini bertanggung jawab atas emosi, agresi, sensory input, dan belajar.
Peneliti ini juga menemukan adanya defisiensi sel Purkinye di serebelum.
Dengan menggunakan magnetic resonance imaging, telah ditemukan dua
daerah di serebelum, lobulus VI dan VII, yang pada individu autistik secara
nyata lebih kecil daripada orang normal. Satu dari kedua daerah ini dipahami
sebagai pusat yang bertanggung jawab atas perhatian. Didukung oleh studi
empiris neurofarmakologis dan neurokimia pada autisme, perhatian banyak
dipusatkan pada neurotransmitter dan neuromodulator, pertama sistem
dopamine mesolimbik, kemudian sistem opioid endogen danoksitosin,
selanjutnya pada serotonin, dan ditemukan adanya hubungan antara autisme
dengan kelainan-kelainan pada sistem tersebut (Kasran, 2003).
Sedangkan dari segi biokimia jaringan otak, banyak penderita-penderita
autistik menunjukkan kenaikan dari serotonin dalam darah dan cairan
serebrospinal dibandingkan dengan orang normal. Perlu disinggung bahwa
abnormalitas serotonin ini juga tampak pada penderita down syndrome,
kelainan hiperaktivirtas, dan depresi unipoler. Juga terbukti bahwa pada
individu autistik terdapat kenaikan dari beta-endorphins, suatu substansi di
dalam badan yang mirip opiat. Diperkirakan adanya ketidakpekaan individu
autistik terhadap rasa sakit disebabkan oleh karena peningkatan kadar
betaendorphins ini (Kasran, 2003).
H. Prognosis
Prognosis anak autisme dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
1. Berat ringannya gejala atau kelainan otak.
2. Usia, diagnosis dini sangat penting oleh karena semakin muda umur
anak saat dimulainya terapi semakin besar kemungkinan untuk berhasil.
3. Kecerdasan, makin cerdas anak tersebut makin baik prognosisnya
4. Bicara dan bahasa, 20 % anak autis tidak mampu berbicara seumur
hidup, sedangkan sisanya mempunyai kemampuan bicara dengan
kefasihan yang berbeda-beda.
5. Terapi yang intensif dan terpadu.
Penanganan/intervensi terapi pada anak autisme harus dilakukan
dengan intensif dan terpadu. Seluruh keluarga harus terlibat untuk
memacu komunikasi dengan anak. Penanganan anak autisme
memerlukan kerjasama tim yang terpadu yang berasal dari berbagai
disiplin ilmu antara lain psikiater, psikolog, neurolog, dokter anak,
terapis bicara dan pendidik.
Prognosis untuk penderita autisme tidak selalu buruk. Pada
gangguan autisme, anak yang mempunyai IQ diatas 70 dan mampu
menggunakan komunikasi bahasa mempunyai prognosis yang baik.
Berdasarkan gangguan pada otak, autisme tidak dapat sembuh total tetapi
gejalanya dapat dikurangi, perilaku dapat diubah ke arah positif dengan
berbagai terapi.
BAB IV
ANALISIS KASUS
• Bertrand, J., Mars, A., Boyle, C., Bove, F., Yeargin-Allsop, M., Decoufle,
P. 2001. Prevalence of autism in a United States Population. Pediatrics,
108; 1155-61.
• Fombonne, Eric. 2009. Epidemiology of Pervasive Developmental
Disorders. Pediatrics Research, 6 (65); 591-8.
• Kasran, Suharko.2003. Autisme: Konsep yang Sedang Berkembang.
Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti.
Jurnal Kedokteran Trisakti, Vol. 22 No. 1; 24-30.
• Lubis, Misbah. 2009. Penyesuaian Diri Orang Tua yang Memiliki Anak
A u t i s . D i a m b i l d a r i : h t t p : / / r e p o s i t o r y. u s u . a c . i d / b i t s t r e a m /
123456789/14528/1/09E01232.pdf.
• Rapin, I. 1997. Autism. New Journal English Medicine, Vol 337; 97-104.
• Sadock, B.J dan Alcot, V. 2007. Kaplan and Sadock’s Synopsis of
Psychiatry Behavioural Sciences/Clinical Psychiatry.10th Edition.
University School of Medicine New York; Chapter 42.
• Sartika, Dinda. 2011. Karakteristik Anak Autis di Yayasan Ananda Karsa
Mandiri (YAKARI) Medan. Skripsi: Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara.
• Yeni, A. F., Murni, J. Y., & Oktora, R. 2009. Autisme danPenatalaksanaan.
Diambil dari: http://www.Files-of-DrsMed.tk/.