CHILD ABUSE
Pembimbing:
dr. Nurifah, SpA
Penulis:
Shabrina Radyaning Windria (1102015220)
i
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan makalah presentasi kasus yang berjudul
“Child
Abuse”. Saya ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
1. dr. Nurifah, Sp.A selaku pembimbing laporan kasus yang
telah membimbing dan memberikan arahan ilmu kepada penulis.
2. Para perawat dan pegawai SMF Ilmu Kesehatan Anak RS Bhayangkara Tk.
I Raden Said Sukanto Jakarta yang telah banyak membantu penulis
dalam kegiatan klinik sehari-hari.
3. Teman-teman sejawat rekan kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI……………………………………………………………………...ii
BAB I: ILUSTRASI KASUS.................................................................................1
BAB II: TINJAUAN PUSTAKA........................................................................13
2.1. Definisi…………….....................................................................13
2.2........................................................................................................................Epid
emiologi.........................................................................................................13
2.3 Klasifikasi………..............................................................................13
2.4 Diagnosis.......................................................................................................14
2.5 Tatalaksana………........................................................................................17
2.6 Komplikasi………………………………………………………………...…18
BAB III: ANALISA KASUS...............................................................................20
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………...24
BAB I
ILUSTRASI KASUS
I. Identitas Pasien
2
III. Pemeriksaan Fisik
Tanda Vital :
a. Frekuensi nadi : 96 x/menit (teratur, kuat, penuh)
b. Frekuensi napas : 18 x/menit (teratur, tipe pernapasan torako
abdominal)
c. Suhu : 36,6 °C (suhu aksila)
d. Tekanan darah : 100/70 mmHg
e. SaO2 : 99%
Status Generalis
Kepala : Normocephali
Mata : Kelopak kedua mata tidak cekung dan tidak edema,
konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik, pupil
bulat isokor, RCL +/+, RCTL +/+, air mata ada
Telinga : Deformitas -/-, sekret -/-, nyeri tekan -/-
Hidung : Deformitas - , tidak terdapat pernafasan cuping hidung
- Mulut : Bibir lembab, coated tongue (-)
Tenggorokan : Faring tidak hiperemis,
T2/T2 Leher : Pembesaran KGB (- )
Thoraks : Bentuk dan gerak dada tampak simetris saat statis
dan dinamis, tidak ada retraksi intercostal
Paru
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS IV linea midklavikula
sinistra Perkusi : Batas jantung kanan di ICS IV linea sternalis dekstra,
batas jantung kiri di ICS V linea midklavikula sinistra,
batas pinggang jantung di ICS III linea parasternalis
sinistra.
Abdomen
Inspeksi : Tampak datar
Auskultasi : Bising usus (+) 7 kali/menit
(adekuat) Perkusi : Timpani seluruh lapang abdomen
Palpasi : Supel, BU (+), nyeri tekan (-), hepar dan lien
tidak teraba, turgor cepat
Ekstremitas : Akral hangat, tidak ada edema, turgor kulit
baik, CRT < 2 detik
IV. Pemeriksaan Penunjang
V. Resume
VI. Diagnosis
a. Child Abuse
VIII. Prognosis
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : dubia bonam
Quo ad sanationam : bonam
Follow – up
19 September 2021
S O A P
Perdarahan HR : 96 x/menit Child abuse IVFD RL 20 tpm
pervaginam RR : 20 x/menit Cefotaxime
sebelum Suhu : 2x500 mg IV
36.5℃
Ranitidine
masuk rumah
2x25mg IV
sakit. Mata :
Transamin
konjungtiva
3x250 mg PO
pucat -/-
Konsul
Mukosa oral :
psikologi
basah, tampak
pucat
Paru : Ves +/
+, Rh -/-, Wh -/-
Cor : S1S2
reguler, gallop -,
murmur –
Abdomen :
supel, bising
usus +,
nyeri tekan +
(Iliaca sinistra,
suprapubik dan
iliaca dextra),
timpani
Ekstremitas :
akral hangat,
10
Mata : Ranitidine
konjungtiva 2x25mg IV
pucat -/- Transamin
Mukosa oral : 3x250 mg
basah, merah IV
muda
Paru : Ves +/+, Evaluasi setelah
Rh -/-, Wh -/- USG dengan
Cor : S1S2 dokter Obgyn
reguler, gallop -,
murmur –
Abdomen :
supel, bising
usus +,
nyeri tekan -,
timpani
Ekstremitas :
akral hangat,
11
Paru : Ves +/+,
Rh -/-, Wh -/-
Cor : S1S2
reguler, gallop -,
murmur –
Abdomen :
supel, bising
usus +, nyeri
tekan -, timpani
Ekstremitas :
akral hangat,
CRT < 2 detik
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
2.2 Epidemiologi
2.3 Klasifikasi
2.4 Diagnosis
Pediatrik
1. Physical abuse
Diagnosis physical abuse tidak dapat ditegakkan. Anamnesis
seringkali menjadi tidak akurat karena riwayat perlakuan kekerasan
terhadap anak sering tidak diakui, dan pada pengakuan korban sulit
terungkap karena anak tersebut kadang justru dibawah kendali
pelakunya, serta karena usia korban yang relative sangat muda sehingga
sulit untuk menceritakan kembali kejadian kekerasan yang dia alami.
Diagnosis dapat ditegakkan jika terdapat temuan klinis dan
adanya riawayat kekerasan terhadap anak. Meskipun berbagai organ dapat
terkena pada kekerasan fisik, namun beberapa organ tertentu sering
ditemukan mengalami cedera. Memar merupakan tanda yang paling
sering dijumpai pada kekerasan fisik terhadap anak, misalnya saja
bekas tamparan pada muka yang menimbulkan memar, atau pada bagian
tubuh lainnya. Tanda memar pada anak sehat secara umum terdistribusi
pada daerah yang merupakan tempat penonjolan tulang-tulang tubuh,
namun memar akibat kekerasan biasanya terdistribusi selain di tempat
tersebut, misalnya saja di telinga atau leher, atau di bahu. Memar juga
merupakan tanda fisik yang tidak lazim ditemukan pada bayi, hanya
sekitar 2% saja ditemukan pada bayi sehat pada pemeriksaan rutin prakek
klinis sehari-hari. Oleh sebab itu,
memar dapat merupakan petunjuk eksternal adanya tindak abuse pada
anak, dan dapat mengarahkan adanya kemungkinan trauma internal di
daerah trauma. 1
2. Sexual abuse
Child sexual abuse yaitu melibatkan anak-anak dalam
aktifitas seksual yang sebenarnya anak-anak tersebut tidak mengerti,
dimana mereka tidak dapat memilih dan memberikan persetujuan untuk
melakukan itu, serta hal tersebut masih bersifat tabu. Sexual abuse dapat
dilakukan suatu waktu atau sekali saja, namun dapat pula dilakukan
kronis atau berulang- ulang untuk waktu yang lama. Kebanyakan
pelaku adalah dewasa atau remaja yang mengetahui anak tersebut
serta memiliki power untuk mengontrolnya. Bentuk perbuatan
seksual ini bersifat manupulatif dan memaksa namun tidak melibatkan
kekerasan fisik. Meskipun suatu tindak pemerkosaan (assault) sering
juga dilakukan oleh orang asing, dan tidak berkali-kali. Pelaku lebih
banyak laki-laki dibandingkan perempuan dan termasuk orang tua
korban, guru, anggota keluarga lain, atau individu lain yang dapat
menjangkau anak-anak. Semua pelaku berusaha
menyembunyikan perbuatannya dengan memaksa dan mengancam
korban.1 Diperkirakan sekitar 80% korban adalah perempuan
meskipun
jarang sekali ada laporan sexual abuse pada anak laki-laki. Anak-
anak umumnya datang atau mengungkapkan sexual abuse yang terjadi
padanya setelah mereka tidak mampu menyembunyikannya lagi. Mereka
tidak dapat menutupi bahwa pelaku adalah orang tua, teman, atau
gurunya. Anak-anak umumnya menunda untuk mengungkapkan selama
beberapa minggu, bulan, atau bahkan bertahun-tahun setelah sexual
abuse, khususnya jika pelaku ingin melakukan kembali perbuatannya.
Sexual abuse harus dapat diidentifikasi dari masalah perilaku anak yang
mucul akibat perbuatan tersebut, meskipun tidak ada perilaku yang
patognomonik untuk sexual abuse. Perilaku hiperseksual mungkin akan
meningkatkan kemungkinan abuse, meskipun beberapa anak dengan
perilaku ini menunjukkan perilaku seksual yang inappropriate pada
televise atau video atau dengan menonton
aktifitas seksual dewasa. Sexual abuse dapat dikenali melalui
rusaknya selaput dara vagina, jejas penetrasi, atau trauma anal atau
adanya infeksi transmisi seksual.1
Pada banyak kasus, diagnosis sexual abuse dibuat berdasarkan
pengakuan dari anak. Pada kasus dimana sexual abuse dilaporkan ke
kepolisian atau pihak yang berwenang, dan anak-anak diinterview
sebelum dilakukan pemeriksaan medis secara lengkap, anamnesis forensic
oleh dokter tentang peristiwa sexual abuse tidak diperlukan, yang
dilakukan oleh dokter hanya pemeriksaan medisnya saja. Sudah banyak
komunitas yang berfungsi untuk menggali kasus-kasus seperti sexual
abuse. Namun jika tidak ada profesional lain yang mengungkap sexual
abuse pada anak, atau jika anak terungkap secara spontan kepada dokter,
maka anak tersebut harus diberikan pertanyaan open-ended dan non-
leading. Pada semua kasus, anak harus dianamnesis sesuai dengan isu
medisnya yang berhubungan dengan abuse, misalnya onset pemerkosaan
dan gejala-gejala yang muncul (perdarahan, discharge, atau nyeri
genital).1
Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara lengkap, dengan inspeksi
teliti pada genital dan anus. Kebanyakan sexual abuse pada anak
menunjukkan genitalia yang normal saat pemeriksaan medis. Trauma
genital mungkin akan tampak jelas lebih kurang 72 jam pasca kejadian
dan adanya laporan tentang perdarahan genital oleh anak tersebut, namun
diagnosa hanya dapat ditegakkan pada sekitar 5-10% anak yang
mengalami sexual abuse. Banyak tipe sexual abuse (coitus vulvar, kontak
oro genital,
atau “cumbuan”) yang tidak menimbulkan trauma jaringan, dan
penyembuhan mukosa genital terjadi dengan cepat dan lengkap pasca
trauma seiring dengan waktu hingga saat pemeriksaan dilakukan.
Untuk anak yang dalam 72 jam menunjukkan klinis tanda jejas
pemerkosaan, harus diperhatikan apakah terdapat trauma akut dan
munculnya perdarahan atau semen pada anak. Pengumpulan bukti
forensic dibutuhkan pada beberapa kasus dan memberikan hail yang lebih
besar dalam 24 jam pasca perkosaan akut. Beberapa temuan klinis dapat
mengarahkan diagnostik kejahatan
seksual, namun spesifitas terbanyak adalah onset akut, laserasi atau
ekimosis hymen, atau anus, transeksi komplit hymen, skar anogenital
dengan penyebab yang tidak jelas, hamil saat remaja dengan atau
tanpa riwayat mengalai kejahatan seksual.1
Pemeriksaan laboratorium sexual abuse pada anak sesuai
dengan usia, hasil anamnesia dan gejala-gejala yang ada. Skrining
umum untuk infeksi transmisi seksual pada anak prepubertas tidak
selalu diperlukan karena resiko infeksi rendah pada anak-anak
asimptomatik usia muda. Tipe kejahatan, identifikasi dan mencari tau
riwayat medis pelaku, dan epidemiologi infeksi transmisi seksual di
masyarakat juga perlu diketahui. Banyak klinisi menggunakan uji
amplifikasi asam nukleat untuk skrining infeksi transmisi seksual pada
sexual abuse terhadap anak karena pemeriksaan ini memiliki sensitifitas
yang baik untuk STIs (soft tissue infection) pada anak dan remaja.
Diagnosis infeksi transmisi seksual terbanyak pada anak-anak usia muda
dilaporkan pada anak yang memiliki riwayat sexual abuse.1
Manajemen anak dengan sexual abuse termasuk terapi
medikamentosa untuk trauma dan infeksi, membuat catatan medic
dengan hati-hati berdasarkan pernyataan verbal dan temuan fisik, karena
menyangkut kepentingan hukum dan kesehatan anak tersebut. Orang
tua harus selalu diinformasikan tentang suspek abuse pada anaknya dan
perlu laporan pada pihak yang berwenang untuk keamanan dan
kesejahteraan anak tersebut. Tindak criminal pada anak diinvestigasi oleh
pihak hukum, sehingga polisi melakukan penyidikan pada beberapa
(tidak semua) yang ditetapkan sebagai tersangka. Pihak dokter hanya
mendengarkan dan membuat medical record dan preparasi secara hati-
hati sesuai dengan kepentingan penyidikan, serta memberikan edukasi
tentang kondisi medis umum dan diagnosis anak tersebut.1
2.5 Tatalaksana
Tata laksana kekerasan pada anak mencakup aspek medis,
psikologis, dan medikolegal, sehingga memerlukan
keterlibatan
multidisplin. Tata laksana medis meliputi tata laksana
kegawatdaruratan, cedera, dan infeksi. Dokumentasi medis harus
lengkap termasuk semua pernyataan verbal dan temuan pemeriksaan.
Advokasi berkelanjutan untuk menjamin keselamatan dan kesehatan anak
perlu dilakukan.
Tata laksana psikologis pada pasien dilakukan secara individu dan
pendekatan psikososial terhadap keluarga untuk menghindari
terulangnya kembali kekerasan pada anak. Seringkali anak korban
kekerasan berasal dari keluarga yang memiliki masalah, seperti hubungan
orangtua yang tidak baik, salah satu orang tua memiliki gangguan
kepribadian yang cenderung mudah melakukan kekerasan (abusive
parent), dan lainnya. Tenaga kesehatan perlu melakukan persuasi yang
dilanjutkan dengan konseling dan edukasi terhadap orang tua tentang
pentingnya perlindungan anak. Pendampingan oleh psikiater atau
psikolog dibutuhkan untuk melalukan terapi keluarga bersama-sama,
sedangkan penanganan dari aspek hukum yaitu diprosesnya kasus
kekerasan seksual secara hukum, yang meliputi pengalihan hak asuh
anak sementara (saat terapi), penetapan keluarga di bawah pengawasan,
dan pemberian sanksi hukum terhadap pelaku.2,5,8
2.6 Komplikas
i
Orang dewasa yang memiliki riwayat korban kekerasan pada masa kanak-
kanak berada pada risiko yang lebih tinggi dalam berbagai masalah emosional
dan fisik, serta masalah ekonomi. Masalah fisik yang paling umum adalah
masalah neurologis dan muskuloskeletal, diikuti oleh penyakit pernapasan,
jantung, dan pencernaan. Dibandingkan dengan orang dewasa tanpa riwayat
viktimisasi pelecehan anak, mereka yang dilecehkan saat anak-anak
berisiko untuk mencapai tingkat
pendidikan, pekerjaan, pendapatan, dan aset yang lebih rendah. Risiko
tersebut ternyata lebih besar pada wanita dibandingkan pria. Orang dewasa
yang selamat dari pelecehan juga berisiko lebih tinggi dipenjara dan kekerasan
keluarga yang terjadi di lingkuan mereka sendiri.9
BAB III
ANALISA
KASUS
20
seksual. Jumlah
perempuan
yang
mengalami kejadian
serupa dicatat sejumlah
2.603.770 anak,
atau
diperkirakan 1 dari 2
Klasifikasi Kekerasan Pada kasus pasien
terhadap anak dikategorikan masuk
dapat berupa ke
kekerasan fisik, dalam kekerasan
kekerasan seksual, seksual yang
emosional dilakukan oleh
dan saudaranya sendiri.
penelantaran. Pasien tidak mampu
Kekerasan fisik menolak dan tidak
adalah segala bentuk memahami bahwa
perlakuan yang yang dialaminya adalah
menyakitkan yang kontak seksual.
menimbulkan cedera
fisik.
Kekerasan seksual
adalah segala bentuk
perlakuan seksual
terhadap anak dimana
anak dalam keadaan
tidak memahami, atau
tidak mampu menolak
yang ditandai dengan
adanya kontak seksual
antara anak dengan
orang dewasa atau
dengan anak lainnya
yang mana bertujuan
untuk memberikan
kepuasan bagi orang
terdekat.
Kekerasan emosional
adalah segala bentuk
perlakuan pada anak
yang menunjukkan
kegagaln dalam
menciptakan
lingkungan yang
mendukung untuk
tumbuh kembang anak
21
kegagalan dari orang
tua dan lingkungan
anak untuk
menyediakan segala
kebutuhan anak untuk
tumbuh dan
berkembang dengan
Diagnosis Diagnosis sexual Pada pasien tidak
abuse dibuat dapat dilakukan
berdasarkan pengakuan anamnesis secara
dari anak. langsung. Pasien
Pada kasus dimana cenderung
sexual abuse menghindari
dilaporkan ke pertanyaan. Informasi
kepolisian atau pihak lebih banyak
yang berwenang, dan didapatkan oleh Ibu
anak-anak diinterview pasien.
sebelum dilakukan Dalam pemeriksaan
pemeriksaan medis fisik ditemukan
secara lengkap, adanya perdarahan
anamnesis forensic pervaginam.
oleh dokter tentang Pemeriksaan fisik
peristiwa sexual abuse lain dalam batas
tidak diperlukan, yang normal. Dilakukan
dilakukan oleh dokter pemeriksaan USG
hanya abdomen dengan hasil
dalam batas
melakukan normal
pemeriksaan medis .
Tatalaksana Pemeriksaan
Tata laksana fisik
kekerasan Tatalaksana yang
pada anak mencakup diberikan pada pasien
aspek medis, psikologis, • IVFD RL 20tpm
dan medikolegal, • Cefotaxime 2x500
sehingga memerlukan mg IV
keterlibatan multidisplin. • Ranitidine 2x25mg IV
Tata laksana medis • Transamin 3x250
meliputi tata mg PO
laksana • Pemeriksaan
kegawatdaruratan,
cedera, dan infeksi. darah perifer
Dokumentasi medis lengkap
harus lengkap termasuk • USG abdomen
semua pernyataan • Kolaborasi
verbal dan temuan
pemeriksaan. Advokasi dengan Obstetri
berkelanjutan untuk Ginekologi
kesehatan anak perlu
dilakukan.
Tata laksana psikologis
pada pasien dilakukan
secara individu dan
pendekatan psikososial
terhadap keluarga
untuk menghindari
terulangnya kembali
kekerasan pada anak.
Seringkali anak
korban kekerasan
berasal dari keluarga
yang memiliki
masalah,
seperti hubungan
orangtua yang tidak
baik, salah satu orang
tua memiliki gangguan
kepribadian
yang
cenderung mudah
melakukan kekerasan
(abusive parent), dan
lainnya.
Tenaga
kesehatan
perlu
melakukan persuasi
yang dilanjutkan dengan
konseling dan edukasi
terhadap orang tua
tentang pentingnya
perlindungan
anak.
Pendampingan oleh
psikiater atau psikolog
dibutuhkan untuk
melalukan terapi
keluarga bersama-sama,
sedangkan penanganan
dari aspek hukum yaitu
diprosesnya kasus
kekerasan seksual
secara hukum, yang
meliputi pengalihan hak
asuh anak sementara
DAFTAR PUSTAKA
7. Derr, R. & B. Galm. Preventing and Combating Child Abuse and Neglect.
National Report Workstream 2-Germany. 2012;31-48