Anda di halaman 1dari 34

Laporan Kasus

KEJANG DEMAM
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Abulyatama

Disusun oleh:

Rizqina Ajra (19174046)

Pembimbing:
dr. Wahdini, Sp. A

SMF ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN


UNIVERSITAS ABULYATAMA
RSUD
MEURAXA 2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus
dengan judul “Kejang Demam”. Shalawat dan salam penulis haturkan pada Nabi Muhammad
SAW beserta pengikutnya hingga akhir zaman.
Dalam penulisan laporan kasus ini penulis menyadari masih banyak kekurangan serta
jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran diharapkan guna menyempurnakan
laporan kasus ini. Seiring rasa syukur atas terselesaikannya laporan kasus ini, pada
kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. dr. Wahdini, Sp. A atas arahan dan bimbingannya dalam penyusunan laporan kasus ini.

2. Sahabat-sahabat kepaniteraan Klinik Senior Pada Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak,


RSUD Meuraxa yang telah membantu dalam bentuk motivasi dan dukungan
semangat.

Banda Aceh, September 2021

Rizqina Ajra
(19174046)

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................................ii
DAFTAR ISI............................................................................................................................iii
BAB I KASUS...........................................................................................................................1
1.1 Identitas Pasien............................................................................................................1
1.2 Anamnesis...................................................................................................................1
1.3 Pemeriksaan Fisik........................................................................................................3
1.4 Diagnosis Banding.......................................................................................................4
1.5 Diagnosis Kerja...........................................................................................................4
1.6 Tatalaksana..................................................................................................................5
1.7 Follow Up....................................................................................................................5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................................6
2.1 Definisi Kejang Demam..............................................................................................6
2.2 Epidemiologi Kejang Demam.....................................................................................6
2.3 Etiologi Kejang Demam..............................................................................................7
2.4 Patofisiologi Kejang Demam......................................................................................8
2.5 Manifestasi Klinis Kejang Demam.............................................................................9
2.6 Pemeriksaan Fisik Kejang Demam...........................................................................10
2.7 Pemeriksaan Penunjang Kejang Demam...................................................................10
2.8 Komplikasi Kejang Demam......................................................................................11
2.9 Diagnosis Banding Kejang Demam..........................................................................11
2.10 Tatalaksana Kejang Demam......................................................................................13
2.11 Prognosis Kejang Demam.........................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................15

iii
BAB I

KASUS

1.1 Identitas Pasien


Nama : Zahara

No. RM : 148989

Alamat : Lampaya Ro, Aceh Besar

Jenis Kelamin : Perempuan

Tanggal Lahir : 12/10/2020

Tanggal MRS : 30 Agustus 2021 (22.05 WIB)

1.2 Anamnesis
Anamnesis diperoleh melalui alloanamnesis terhadap ibu pasien pada tanggal 31
Agustus 2021 (pukul 14.30 WIB)

A. Keluhan Utama
Kejang

B. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dengan keluhan kejang SMRS yang berlangsung dalam waktu ± 5
menit, kejang terjadi 1 kali dalam 24 jam. Kejang terjadi pada seluruh tubuh, pada
saat kejang pasien tidak sadarkan diri kemudian pada saat kejang berhenti pasien
menangis. Kejang yang dialami pasien merupakan kejang kedua kali setelah satu
bulan yang lalu juga mengalami kejang. Sebelum kejang pasien mengalami
demam yang berlangsung ± 4 hari SMRS yang memberat pada saat malam hari.
Demam yang dialami oleh pasien naik turun dan demam tinggi SMRS. Suhu
sebelum dan saat anak kejang tidak diketahui. Berdasarkan alloanamnesis dengan
ibu pasien, pasien juga terdapat keluhan batuk yang sudah berlangsung ± 4 hari
SMRS. Mual muntah disangkal, nafsu makan pasien menurun. Pasien belum BAB
maupun BAK sejak pagi.

C. Riwayat Penyakit Dahulu


Satu bulan lalu pasien mengalami Kejang

D. Riwayat Pengobatan
Ibuprofen

E. Riwayat Alergi
Disangkal

1
F. Riwayat Penyakit Keluarga
Disangkal

G. Riwayat Kelahiran
Pasien lahir secara spontan dengan usia kehamilan cukup bulan di RSIA, tidak ada
kelainan pasca lahir. Anak lahir dengan berat lahir 4000 gram dan panjang lahir
(ibu tidak mengingatnya),
Kesan: Persalinan dalam batas normal

H. Riwayat Imunisasi
Kesan: Imunisasi lengkap

I. Riwayat Tumbuh Kembang


 Motorik kasar : Sudah mencapai kemampuan motorik kasar sesuai usianya
 Motorik halus : Sudah mencapai kemampuan motorik halus sesuai usianya
 Bahasa : Sudah mencapai kemampuan bahasa sesuai usianya
 Sosial : Sudah mencapai kemampuan sosial sesuai usianya
Kesan : Perkembangan sesuai usia

J. Riwayat Nutrisi
ASI ekslusif hingga usia 6 bulan dilanjutkan dengan MPASI hingga sekarang.
Kesan: kuantitas dan kualitas makan anak baik

2
1.3 Pemeriksaan Fisik
Tanda vital

- Nadi : 90x/menit, irregular, isi tegangan cukup


- Pernafasan : 22x/menit, tipe abdominothoracal
- Suhu : 37, 6°C

BB : 10 kg PB : 76 cm

Status gizi:

Klinis (Baik)

Antropometri (WHO)

BB/U : 93,45% (normal)

TB/U : 93,82 % (normal)

BB/TB : 105,2% (gizi cukup)

Kesan : gizi baik

Kepala : normocephali (LK= cm) , rambut hitam, distribusi


merata, UUB sudah menutup

Mata : mata cekung (-/-), konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-),
pupil isokor, reflex cahaya (+/+)

Telinga : Bentuk normal, secret (-)

Hidung : Bentuk normal, napas cuping hidung (-/-), secret (-/-)

Tenggorok : Uvula ditengah, tonsil hiperemis (-), T1/T1, faring

hiperemis(-) Thorax : normochest, retraksi (-), gerakan simetris kiri kanan

Jantung :

Inspeksi : Iktus cordis tidak tampak

Palpasi : Iktus cordis tidak kuat angkat

Perkusi : Batas jantung tidak membesar

Auskultasi : BJ I-II intesitas normal, regular, bising (-)

Pulmo

Inspeksi : Pengembangan dada kiri=kanan

Palpasi : Fremitus raba kanan=kiri

3
Perkusi : Sonor/ Sonor di semua lapangan paru

Auskultasi : vesicular (+/+), Ronkhi (-/-)

Abdomen

Inspeksi : dinding dada setinggi dinding perut

Palpasi : nyeri tekan (-), hepar tidak teraba, lien tidak teraba, turgor
kembali cepat

Perkusi : tymphani

Auskultasi : peristaltic (+)

Ekstremitas :

Akral dingin Sianosis

-- --
-- --

Oedem Wasting
-- --
-- --

CRT < 2 detik

Pemeriksaan neurologis: -

1.4 Diagnosis Banding


Kejang Demam Sederhana

Kejang Demam Kompleks

Epilepsy

Meningitis

1.5 Diagnosis Kerja


Kejang Demam Sederhana

4
1.6 Tatalaksana
- IVFD 4:1 500 cc/24 jam
- Inj. Ampicilin 250 mg/8 jam
- Inj. Dexamethason 2 mg/8j
- Drip Paracetamol 80 mg/8j
- Nebule Ventolin 1/2 + Nacl 2 cc/ 8 jam
- Cetirizin 1 × 1/3 cth
- Liprolac 1×1
- Cek DR, GDS, elektrolit, foto thorax

1.7 Follow Up
Tanggal S O A P

31/08/2021 Kejang (-) KU: lemah Kejang  IVFD 4:1 500


demam (-) demam cc/24 jam
HR: 90 x/i
batuk (+) Sederhana  Inj.
Mual (-), RR: 22 x/i Ampicilin
muntah (-), 250 mg/8
T: 37°C
minum (baik), jam
nafsu makan  Inj.
menurun, Dexamethas
belum bab & one 2 mg/8
bak sejak pagi jam
 Drip
Paracetamol
80 mg/8
jam
 Nebule Ventolin
1/2 + Nacl 2 cc/
8 jam

 Cetirizin 1 × 1/3
cth

 Liprolac 1×1

01/09/2021 Kejang (-) KU: lemah Kejang  IVFD 4:1 500


demam cc/24 jam
Demam (-) RR: 32 x/i Sederhana
Batuk (+)  Inj. Ampicilin

5
Mual (-) HR: 83 x/i 250 mg/8 jam

Muntah (-) T: 36,8°C  Inj.


Dexamethasone
Minum (baik) 2mg/8 jam
Nafsu makan
 Drip
(baik) Paracetamol 80
mg/8 jam
BAB & BAK
(+)  Nebule Ventolin
1/2 + Nacl 2 cc/
8 jam

 Cetirizin 1 × 1/3
cth

 Liprolac 1×1

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Kejang Demam


Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada anak berumur 6 bulan
sampai 5 tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu di atas 38°C, dengan
metode pengukuran suhu apa pun) yang tidak disebabkan oleh proses intrakranial.

1. Kejang terjadi karena kenaikan suhu tubuh, bukan karena gangguan elektrolit atau
metabolik lainnya.
2. Bila ada riwayat kejang tanpa demam sebelumnya maka tidak disebut sebagai
kejang demam.
3. Anak berumur antara 1-6 bulan masih dapat mengalami kejang demam, namun
jarang sekali.
4. Bayi berusia kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam rekomendasi ini melainkan
termasuk dalam kejang neonatus.1

Kejang demam diklasifikasikan menjadi 2 kelompok, yaitu:


1. Kejang demam sederhana (simple febrile seizure)
2. Kejang demam kompleks (complex febrile seizure)
1. Kejang demam sederhana
 Kejang demam yang berlangsung singkat (kurang dari 15 menit), , bentuk
kejang umum (tonik dan/atau klonik), serta tidak berulang dalam waktu 24 jam.

Keterangan :

1. Kejang demam sederhana merupakan 80% diantara seluruh kejang demam

2. Sebagian besar kejang demam sederhana berlangsung kurang dari 5 menit


dan berhenti sendiri

2. Kejang demam Kompleks


 Kejang demam kompleks, dengan salah satu ciri berikut:
- Kejang lama (> 15 menit)

- Kejang fokal atau parsial satu sis, atau kejang umum yang
didahului kejang parsial

7
- Berulang atau lebih dari 1 kali dalam waktu 24 jam.1
Keterangan :
1) Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau
kejang berulang lebih dari 2 kali dan diantara bangkitan kejang anak
tidak sadar. Kejang lama terjadi pada 8% kejang demam.

2) Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi, atau kejang umum yang
didahului kejang parsial.

3) Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari, dan di
antara 2 bangkitan kejang amnak sadar. Kejang berulang terjadi pada 16
% anak yang mengalami kejang demam.

2.2 Epidemiologi Kejang Demam


Epidemiologi kejang demam di Indonesia belum diketahui secara pasti.
Namun, di dunia diperkirakan kejang demam terjadi lebih sering pada anak usia 6

bulan – 5 tahun. Kejang demam terjadi pada 2-5% anak berumur 6 bulan-5 tahun. 1
Kejang demam sederhana memiliki rentang usia yang secara klasik digambarkan
sebagai 6 hingga 60 bulan. Insiden puncak biasanya pada tahun kedua kehidupan.
Kejang demam lazim terjadi pada 5% anak-anak, dengan lebih dari semua insiden
diperkirakan sekitar 360 / 100.000 dalam kelompok 0-4 tahun. Kebanyakan kejang
demam sederhana; namun, hingga 30% mungkin memiliki beberapa fitur kompleks.
Risiko kekambuhan kejang demam tidak terkait dengan faktor-faktor yang berbeda,
termasuk kelompok muda, durasi kejang yang berkepanjangan, derajat demam, dan
riwayat kejang demam pribadi dan keluarga yang positif. Faktanya, riwayat keluarga
positif kejang demam pada kerabat tingkat pertama diamati pada hingga 40% pasien.
Distribusi gender telah dipelajari dalam literatur. Satu studi sebelumnya menemukan
dominasi laki-laki ringan, tetapi ini belum didukung oleh tinjauan literatur lain.
8
Variasi musiman berkaitan dengan kejadian kejang belum sepenuhnya dipahami.
Penelitian telah menunjukkan bahwa FS cenderung terjadi lebih banyak pada bulan-
bulan musim dingin dan lebih sering terjadi pada malam hari.2

Global

Kejang demam terjadi pada 2 – 5% anak usia 6 bulan – 5 tahun pada negara
maju. 70 – 75% dari kejang demam adalah kejang demam sederhana. Rasio laki-laki-
perempuan adalah sekitar 1,6:1.3

9
2.3 Etiologi Kejang Demam
Etiologi kejang demam adalah kenaikan suhu tubuh yang memicu eksitasi sel
saraf otak sehingga menimbulkan kejang.
Etiologi dan patogenesis kejang demam sampai saat ini masih belum diketahui,
akan tetapi dianggap multifaktorial. Kejang demam adalah respons terkait usia anak dari
otak yang sedang berkembang terhadap penyakit demam, tinggi dan cepatnya suhu
meningkat mempengaruhi terjadinya kejang demam.4 faktor lingkungan dan genetik
juga memiliki peran yaitu pada sekitar sepertiga anak memiliki riwayat keluarga dan
kemungkinan kejang demam pada anak adalah sekitar 20% dan 33% dengan saudara
kandung yang terkena dan orang tua yang terkena dampak masing-masing.5
Semua jenis infeksi bersumber di luar susunan saraf pusat yang menimbulkan
demam dapat menyebabkan kejang demam. Penyakit yang paling sering menimbulkan
kejang demam adalah infeksi saluran pernafasan atas akut terutama faringitis, otitis
media akut (cairan telinga yang tidak segera dibersihkan akan merembes ke saraf di
kepala pada otak akan menyebabkan kejang demam), roseola infantum, influenza A,
human coronavirus, dan disentri karena spesies Shigella.
Infeksi virus, terutama yang berhubungan dengan demam tinggi, meningkatkan
risiko kejang demam karena demam tinggi telah terbukti meningkatkan rangsangan
saraf dan menurunkan ambang kejang. Virus yang paling sering berkorelasi dengan
kejang demam termasuk pada manusia
herpes virus 6, influenza, adenovirus, dan parainfluenza.6 Ada juga risiko demam pasca-
vaksinasi dan kejang demam setelah vaksinasi dengan vaksin pertusis sel utuh (DPT)
difteri-tetanus gabungan, tetapi risiko absolutnya sangat kecil.4
Penyakit virus, vaksinasi tertentu, dan kecenderungan genetik adalah faktor
risiko umum yang dapat memengaruhi sistem saraf yang rentan dan berkembang di
bawah tekanan demam. Faktor risiko lain termasuk pajanan dalam rahim, seperti ibu
yang merokok dan stres ibu; berada di unit perawatan intensif neonatal selama lebih dari
28 hari, keterlambatan perkembangan, memiliki kerabat tingkat pertama dengan riwayat
kejang demam, memiliki kerabat derajat dua dengan riwayat kejang demam, dan
kehadiran penitipan anak.6 Selain itu, pengenalan prenatal terhadap nikotin dan alkohol,
prematuritas, retardasi pertumbuhan intrauterin dan pengobatan postnatal dengan
kortikosteroid dikaitkan dengan kemungkinan tinggi mengalami kejang demam
dibandingkan dengan orang lain yang tidak memiliki faktor risiko tersebut. Baik
paparan stres perinatal atau prenatal dapat mempengaruhi kejang demam karena

10
menurunkan ambang kejang.4 Kekurangan zat besi, seng, selenium, kalsium,
magnesium, asam folat, dan vitamin B12 juga diketahui terkait dengan risiko kejang
demam yang lebih tinggi. Faktor lain yang berkontribusi untuk kejang demam termasuk
riwayat kejang demam di masa lalu, kejang pada kerabat tingkat pertama, tinggal di unit
neonatal selama lebih dari 4 minggu, keterlambatan perkembangan saraf, dan
menghadiri penitipan anak.4

Kejang disertai demam dapat juga disebabkan oleh infeksi susunan saraf
(meningitis, ensefalitis, atau abses otak), epilepsi yang belum terdiagnosis yang
dicetuskan oleh demam, atau kejang demam sederhana. Yang disebutkan terakhir
merupakan predisposisi genetik terhadap kejang dicetuskan oleh demam yang sering
didapatkan pada anak berusia 6 bulan sampai 6 tahun. Keadaan ini terjadi pada 2%
sampai 4% anak; sebagian besar antara usia 1 sampai 2 tahun (usia rerata 22 bulan).
Kejang demam sederhana adalah kejang demam motorik umum mayor yang
berlangsung kurang dari 15 menit dan hanya terjadi satu kali dalam kurun waktu 24
jam pada anak yang normal secara neurologis maupun perkembangan. Jika terdapat
tanda-tanda fokal, lamanya kejang lebih dari 15 menit, anak memiliki gangguan
neurologis sebelumnya, atau kejang terjadi lebih dari satu kali dalam satu kejadian
demam, maka kejang disebut sebagai kejang demam kompleks atau atipik.7

Semua kenaikan suhu tubuh bisa menyebabkan kejang demam. Kenaikan suhu
ini paling sering disebabkan oleh:

Infeksi

Infeksi virus lebih sering menyebabkan demam yang berujung pada kejang
demam bila dibandingkan dengan infeksi bakteri. Infeksi virus menyebabkan
kenaikan suhu tubuh yang tinggi, seperti contohnya adalah campak, cacar air dan
11
rubella.

Demam Pasca-Imunisasi

Pasca-imunisasi, demam dapat terjadi sebagai bagian dari kejadian ikutan pasca
imunisasi (KIPI). Imunisasi yang sering menyebabkan demam adalah imunisasi yang
memiliki kuman hidup yang dilemahkan, yaitu difteri-tetanus-pertussis (DTP) dan
mumps-measles-rubella (MMR). Perlu diinformasikan kepada orang tua bahwa
kejang disebabkan karena demam-nya bukan karena imunisasi.

Faktor Risiko

Faktor risiko kejang demam adalah:

 Usia: 6 bulan – 5 tahun. Kejang demam jarang terjadi di luar usia ini. Bila terjadi
demam dan kejang pada usia di luar rentang ini, maka perlu dipikirkan penyebab lain,
terutama penyebab intrakranial.

 Riwayat keluarga. Anak yang memiliki riwayat keluarga yang memiliki kejang
demam akan lebih berisiko terkena kejang demam

Faktor risiko berulangnya kejang demam adalah:

 Riwayat keluarga dengan kejang demam (derajat pertama)

 Durasi yang terjadi antara demam dan kejang kurang dari 1 jam

 Usia < 18 bulan

 Temperatur yang rendah yang membangkitkan bangkitan kejang.

12
2.4 Patofisiologi Kejang Demam

Sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah
menjadi CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh membran yang terdiri dari permukaan
dalam yaitu lipoid dan permukaan luar yaitu ionik. Dalam keadaan normal membran
sel neuron dapat dilalui dengan mudah ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh
ion Natriun (Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (CI-). Akibatnya
konsentrasi ion K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedang
diluar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan
konsentrasi ion di dalam dan luar sel, maka terdapat perbedaan potensial membran
yang disebut potensial membran dari neuron. Untuk menjaga keseimbangan
potensial membran diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K ATP-ase yang
terdapat pada permukaan sel. Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah
oleh :

a. Perubahan konsentrasi ion diruang ekstraselular


b. Rangsangan yang datang mendadak misalnya mekanisme, kimiawi atau aliran
listrik dari sekitarnya
c. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan
Pada keadaan demam kenaikkan suhu 1⁰C akan mengakibatkan kenaikkan
metabolisme basal 10-15 % dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada anak
3 tahun sirkulasi otak mencapai 65 % dari seluruh tubuh dibandingkan dengan orang
dewasa hanya 15%. Oleh karena itu kenaikkan suhu tubuh dapat mengubah
keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi
dari ion kalium maupun ion natrium akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas
muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas keseluruh sel maupun ke
membran sel disekitarnya dengan bantuan “neurotransmitter” dan terjadi kejang.
Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung tinggi
rendahnya ambang kejang seseorang anak akan menderita kejang pada kenaikan
suhu tertentu. Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak
berbahaya dan tidak meninggalkan gejala sisa. Tetapi kejang demam yang
berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai apnea, meningkatkanya
kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skeletal yang akhirnya terjadi
hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme anerobik,
hipotensi artenal disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh
13
meningkat yang disebabkan makin meningkatnya aktifitas otot dan mengakibatkan
metabolisme otak meningkat. Rangkaian kejadian

14
diatas adalah faktor penyebab hingga terjadinya kerusakan neuron otak selama
berlangsungnya kejang.

Mekanisme primer yang tepat yang mendasari kejang demam masih belum
diketahui tetapi dianggap multifaktorial. Diyakini bahwa kejang demam terjadi
karena kerentanan otak yang sedang berkembang atau belum matang terhadap efek
demam dalam hubungannya dengan faktor lingkungan dan genetik.4
Sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah
menjadi CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan
dalam adalah lipoid dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal membran
sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh
ion Natrium (Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya
konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedangkan di luar
sel neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di
dalam dan di luar sel, maka terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial
membran dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini
diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K ATPase yang terdapat pada permukaan sel.
Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah oleh:
 Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraselular
 Rangsangan yang datang mendadak misalnya mekanisme, kimiawi atau aliran aliran
listrik dari sekitarnya
 Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan

Pada keadaan demam kenaikan suhu 1°C akan mengakibatkan kenaikan


metabolisme basal 10%-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada
seorang anak berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh,
dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh
tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam
waktu yang singkat terjadi difusi dari ion Kalium maupun ion Natrium melalui
membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini
demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel
tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmitter dan terjadilah kejang.
Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda tergantung dari tinggi rendahnya
ambang kejang seseorang anak menderita kejang pada kenaikan suhu tertentu. Pada
anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang telah terjadi pada 38°C sedangkan

15
pada anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 40°C atau
lebih. Dari kenyataan ini disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam lebih sering
terjadi pada ambang kejang yang rendah sehingga dalam penaggulangannya perlu
diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita kejang. Kejang demam yang
berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya dan tidak menimbulkan gejala sisa.
Tetapi pada kejang yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasa disertai terjadinya
apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang
akhirnya terjadinya hiposekmia, hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh
metabolisme anaerobik, hipotensi arterial disertai denyut jantung yang tidak teratur dan
suhu tubuh makin meningkat disebabkan meningkatnya aktifitas otot dan selanjutnya
menyebabkan metabolisme otak meningkat.
Peningkatan temperatur dalam otak berpengaruh terhadap perubahan letupan
aktivitas neuronal. Perubahan temperatur tersebut menghasilkan sitokin yang merupakan
pirogen endogen, jumlah sitokin akan meningkat seiring kejadian demam dan respons
inflamasi akut. Respons terhadap demam biasanya dihubungkan dengan interleukin-1
(IL-1) yang merupakan pirogen endogen atau lipopolisakarida (LPS) dinding bakteri
gram negatif sebagai pirogen eksogen. LPS menstimulus makrofag yang akan
memproduksi pro- dan anti-inflamasi sitokin tumor necrosis factoralpha (TNF-α), IL-6,
interleukin1 receptor antagonist (IL1ra), dan prostaglandin E2 (PGE2). Reaksi sitokin
ini mungkin melalui sel endotelial circumventricular akan menstimulus enzim
cyclooxygenase2 (COX-2) yang akan mengkatalis konversi asam arakidonat menjadi
PGE2 yang kemudian menstimulus pusat termoregulasi di hipotalamus, sehingga terjadi
kenaikan suhu tubuh. Demam juga akan meningkatkan sintesis sitokin di hipokampus.
Pirogen endogen, yakni interleukin 1ß, akan meningkatkan eksitabilitas neuronal
(glutamatergic) dan menghambat GABA ergic, peningkatan eksitabilitas neuronal ini
yang menimbulkan kejang.8
Kejang demam adalah respons terkait usia dari otak yang sedang berkembang
terhadap penyakit demam. Karena ada dorongan saraf yang meningkat terhadap demam
selama proses pematangan otak, hal itu menurunkan ambang kejang dan menyebabkan
kejang demam. Hal ini dijelaskan oleh fakta bahwa kejang demam lebih sering terjadi di
bawah usia 3 tahun ketika ambang kejang paling rendah . Lebih lanjut, telah diketahui
bahwa demam tinggi merupakan faktor risiko yang paling signifikan daripada
peningkatan demam yang tiba-tiba untuk pengembangan kejang demam pertama.4

Studi jalur sinyal hanya menyampaikan pendapat tentang mengapa dan

16
bagaimana anak-anak tertentu mengembangkan FS. Di masa lalu, teori yang paling
umum mengaitkan efek langsung hipertermia pada hiperventilasi kompensasi. Hal
ini diasumsikan menyebabkan alkalosis otak kecil, mengakibatkan peningkatan
rangsangan saraf dan perkembangan selanjutnya dari kejang klinis. Teori,
bagaimanapun, tidak menjelaskan mengapa beberapa anak lebih rentan untuk
mengembangkan fenomena tersebut daripada yang lain. Saat ini kita tahu bahwa ada
peran besar kerentanan genetik berdasarkan sekelompok besar varian gen. Susunan
genetik ini kemungkinan mengakibatkan kerentanan perkembangan saraf, dengan
perubahan ekspresi saluran natrium, disregulasi hipotalamus, dan rangsangan
kortikal dan hipokampus. Pemicu lingkungan, termasuk penyebab bukan demam,
kemudian mungkin terlibat melalui neurotropisitas dan jalur disregulasi metabolik .7
2.5 Manifestasi Klinis Kejang Demam
Dalam beberapa kasus, kejang demam terjadi pada hari pertama terjadinya
demam. Kejang terjadi ≥3 hari setelah onset demam dicurigai. Pada saat kejang,
mayoritas anak memiliki suhu tubuh ≥ 39°C. Kejang demam diklasifikasikan menjadi
kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks berdasaran durasi, karakterisik
fisik, dan pola pengulangan. Kejang demam sederhana terjadi antara 80-85% dari
keseluruhan kasus kejang demam. Penurunan kesaradan pada saat kejang merupakan
ciri tetap. Busa di mulut, sulit bernapas, pallor atau sianosis bisa juga terjadi.

Khasnya, kejang demam sederhana berdifat umum dan berhubungan dengan


gerakan tonik-klonik pada ektremitas dan bola mata yang memutar. Kejang biasanya
berlangsung dalam beberapa detik dan paling lama 15 menit (biasanya kurang dari 5
menit), diikuti oleh periode mengantuk poastiktal singkat serta tidak kambuh dalam
24 jam. Terkadang otot-otot wajah dan respirasi mengalami kejang atonik dan tonik.
Berbeda dengan kejang demam sederhana, kejang demam kompleks biasanya
berlangsung lebih dari 15 menit, kejang fokal (gerakan terbatas pada satu sisi tubuh
atau satu ektremitas. Kejang berulang pada hari yang sama serta periode postikal
mengantuk yang berkepanjangan atau hemiparese transient postikal (Todd’s palsy).
Umumnya, anak dengan kejang demam kompleks lebih muda dan lebih mungkin
mengalami keterlambatan perkembangan dibandingkan mereka yang mengalami
kejang demam sederhana. Mayoritas anak dengan kejang demam kompleks DO SO
dengan kejang pertama, tetapi anak dengan kejang demam sederhana awal mungkin
mengalami kejang demam kompleks kemudian.

17
Kejang demam biasanya terjadi ketika suhu tubuh anak lebih dari 38◦C,
meskipun anak-anak dapat mengembangkan kejang kapan saja selama penyakit
demam dan mungkin hanya mengalami demam setelah kejang berlangsung. Tanda
dan gejala khas kejang demam termasuk kehilangan kesadaran, kesulitan bernapas,
pucat atau membiru, mulut berbusa, mata berputar ke belakang kepala, tatapan tajam,
kedutan umum atau fokal, dan sentakan pada lengan dan kaki. Setelah kejang, anak-
anak mungkin mudah tersinggung, bingung atau mengantuk tetapi akan pulih
sepenuhnya setelah sekitar 30 menit. Ada dua tipe utama kejang demam: kejang
demam sederhana, yang membentuk 70% dari semua kejang demam dan umumnya
tidak memiliki konsekuensi perkembangan saraf jangka panjang, dan kejang demam
kompleks. Karakteristik FS sederhana dan kompleks dijelaskan pada Tabel 1.9

Status epileptikus, tipe kejang demam kompleks yang paling berat. Mengacu
pada kejang demam terus menerus atau intermitten tanpa kesadaran yang berlangsung
lebih dari 30 menit. Mata yang terus-menerus terbuka atau deviasi adalah ciri adanya
aktivitas kejang yang sedang berlangsung. Anak-anak dengan status epilepticus lebih
memungkinkan untuk memiliki kelainan hipokampus dan juga pada peningkatan
risiko untuk status epileptikus berikutnya.

18
2.6 Diagnosis
Ketika seorang anak dengan FS datang ke Unit Gawat Darurat (ED), penting
terutama untuk mengumpulkan riwayat yang rinci dan akurat dan untuk melakukan
evaluasi klinis lengkap, termasuk pemeriksaan neurologis, untuk menyingkirkan
penyebab sekunder dari kejang.10 Selain itu, perlu untuk membedakan antara FS pertama
dan episode pertama kejang afebrile atau epilepsi, dan riwayat yang jelas, baik sebelum
atau segera setelah FS, harus diidentifikasi.
Anamnesis dan pemeriksaan fisis harus diarahkan untuk mencari fokus infeksi
penyebab demam, tipe kejang, serta pengobatan yang telah diberikan sebelumnya.
Selain itu, tanyakan riwayat trauma, riwayat perkembangan dan fungsi neurologis, serta
riwayat kejang demam maupun kejang tanpa demam pada keluarga. Pada kejang
demam, ditemukan perkembangan dan neurologis yang normal. Tidak ditemukan tanda-
tanda meningitis maupun ensefalitis (misalnya kaku kuduk atau penurunan kesadaran).10
Umumnya, riwayat dikumpulkan dari orang tua atau pemberi perawatan dan
harus mencakup sifat dan durasi kejang, keberadaan dan durasi fase pasca iktal,
penyakit atau demam baru-baru ini, penggunaan terapi antibiotik baru-baru ini, gejala
terkait lainnya, riwayat imunisasi dan vaksinasi, riwayat episode FS sebelumnya atau
riwayat vaksinasi. diagnosis epilepsi, kondisi dan penyakit neurologis lainnya, riwayat
keluarga FS, epilepsi, atau penyakit neurologis, penggunaan antipiretik, dan kebutuhan
akan antikonvulsan penyelamat untuk menghentikan kejang, seperti diazepam atau
midazolam. Evaluasi klinis harus fokus pada identifikasi infeksi yang menyebabkan
demam.9 Pengujian harus dilakukan pada anak-anak yang datang dengan tanda dan
gejala penyakit serius atau infeksi intrakranial (pneumonia atau meningitis / ensefalitis),
tetapi tidak perlu dilakukan pada anak-anak berusia lebih tua yang pernah mengalami
fokus infeksi, diimunisasi lengkap, dan hadir dengan FS sederhana. Pada anak-anak
berusia kurang dari satu tahun yang datang dengan episode pertama FS kompleks atau
memiliki gejala yang menunjukkan infeksi intrakranial, penyelidikan lebih lanjut harus
dipertimbangkan, termasuk laboratorium seperti hitung darah lengkap, protein C-reaktif,
urea, kadar kalsium, magnesium, glukosa, dan elektrolit, dan kultur darah jika dicurigai
adanya sepsis bakteri; tes dipstik urin dan kultur; rontgen dada; tes kultur feses; dan
pungsi lumbal (tes ini tidak boleh dilakukan segera setelahnya.9

19
2.7 Pemeriksaan Fisik Kejang Demam
Temuan dari pemeriksaan fisik mengungkapkan anak yang sehat secara neurologis
dan perkembangan. Sangat penting bahwa anak tidak memiliki tanda-tanda meningitis
atau ensefalitis (misalnya, leher kaku atau perubahan status mental yang persisten).

2.8 Pemeriksaan Penunjang Kejang Demam


a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam,
tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam.
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan atas indikasi misalnya darah
perifer, elektrolit, dan gula darah.
b. Punksi Lumbal

Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau


menyingkirkan kemungkinan meningitis. Berdasarkan bukti-bukti terbaru,
saat ini pemeriksaan pungsi lumbal tidak dilakukan secara rutin pada anak
berusia
<12 bulan yang mengalami kejang demam sederhana dengan keadaan umum
baik.
Indikasi pungsi lumbal (level of evidence 2, derajat rekomendasi B):

1. Terdapat tanda dan gejala rangsang meningeal


2. Terdapat kecurigaan adanya infeksi SSP berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan klinis
3. Dipertimbangkan pada anak dengan kejang disertai demam yang
sebelumnya telah mendapat antibiotik dan pemberian antibiotik tersebut
dapat mengaburkan tanda dan gejalameningitis.
c. EEG

Indikasi pemeriksaan EEG:

Pemeriksaan EEG tidak diperlukan untuk kejang demam, KECUALI apabila


bangkitan bersifat fokal.
Keterangan:
EEG hanya dilakukan pada kejang fokal untuk menentukan adanya fokus kejang
di otak yang membutuhkan evaluasi lebih lanjut.

20
d. Pencitraan

Pemeriksaan neuroimaging (CT scan atau MRI kepala) tidak rutin dilakukan
pada anak dengan kejang demam sederhana (level of evidence 2, derajat
rekomendasi B). Pemeriksaan tersebut dilakukan bila terdapat indikasi, seperti
kelainan neurologis fokal yang menetap, misalnya hemiparesis atau paresis
nervus kranialis.(1)
2.9 Komplikasi Kejang Demam
Kejang demam berhubungan dengan peningkatan risiko epilepsy, serta masalah
lainnya. Penelitian terbaru menemukan indikasi hubungan antara kejang demam
dengan Sudden Unexplained Death In Childhood (SUDC), mungkin karena hubungan
antara kejang demam dan epilepsi.

Namun, penelitian ini belum terbukti dan SUDC sangat langka, berefek sekitar
1 dari 100.000 anak. Selain itu, penelitian terbesar dari jenisnya menunjukkan lebih
dari 1,5 juta anak dengan riwayat kejang demam dan tidak ada menemukan bukti
meningkatkan risiko kematian di masa kanak-kanak atau dewasa nantinya.

Kejang demam dapat menyebabkan ketakutan dan kepanikan yang tidak perlu
bagi orang tua karena mereka mengira anak mereka mungkin mengalami kerusakan
otak dan epilepsi di masa depan atau mungkin meninggal setelah kejang demam.

Risiko epilepsi di kemudian hari telah menjadi 1% pada kejang demam


sederhana sementara kejang demam kompleks memiliki hampir 4 - 6%. Ada beberapa
faktor risiko yang mempengaruhi epilepsi pada pasien dengan kejang demam dan
termasuk kejang yang terjadi dalam waktu satu jam setelah onset demam, timbulnya
kejang demam sebelum usia 1 tahun atau setelah usia 3 tahun, beberapa episode
demam. kejang, riwayat keluarga yang positif, defek neurologis yang mendasari, dan
keluarnya epileptiform pada EEG.

Ensefalopati jarang terjadi. Bukti saat ini mengungkapkan bahwa mutasi


missense pada saluran natrium SCN1A dan gen SCN2A mungkin menjadi faktor risiko
yang mendasari kejang demam yang parah. Sklerosis temporal mesial juga merupakan
komplikasi setelah kejang demam berulang dan berkepanjangan dan bertindak sebagai
faktor pemicu untuk epilepsi di masa depan.4

21
2.10 Diagnosis Banding Kejang Demam
Beberapa diagnosis banding dari kejang demam adalah:

Meningitis Bakterial Akut


Pasien tampak lebih letargis dan gelisah, terdapat gangguan kesadaran setelah
kejang, ruam kulit, fontanel membonjol, dan kaku kuduk. Pemeriksaan pungsi lumbal
tidak normal dan kultur liquor cerebrospinalis (LCS) tumbuh bakteri.
Meningitis Viral
Kaku kuduk positif. Pemeriksaan pungsi lumbal tidak normal, kultur bakteri
LCS negatif, tetapi polymerase chain reaction (PCR) kemungkinan positif.
Ensefalitis Viral
Gejala prodromal meliputi gejala infeksi saluran napas atas akut, diikuti nyeri
kepala, kaku kuduk dan kejang. Ruam kulit mungkin timbul. Pemeriksaan pungsi
lumbal dan kultur bakteri LCS tidak spesifik karena dapat menunjukkan hasil yang
normal.
Pemeriksaan virus dapat ditemukan positif (contoh: herpes simpleks)

Ensefalopati Akut

22
Gejala prodromal seperti gejala pada infeksi virus, diikuti dengan gangguan
kesadaran dan kejang dan dapat disebabkan oleh zat beracun (pada Sindroma Reye)
Pemeriksaan pungsi lumbal dapat menunjukkan:
 Peningkatan tekanan LCS, hitung sel dan protein meningkat, dengan penurunan
glukosa
 Peningkatan rasio albumin LCS / serum mengindikasikan adanya gangguan sawar
otak dan menjadi tanda awal dari ensefalopati akibat virus yang akut.
 Peningkatan enzim liver dan kadar amonia di dalam darah.
 Gula darah dapat menurun.
Dapat ditemukan gangguan pada hasil elektroensefalografi (EEG). Dapat
ditemukan hasil MRI yang normal dan tidak normal (contoh: nekrosis talamus
bilateral dan edema otak). Pemeriksaan virus dapat ditemukan positif (contoh:
influenza A).

Epilepsi
Pada epilepsi kejang tidak disertai dengan demam. Pemeriksaan EEG dapat
menunjukkan adanya gelombang epileptiform (contoh: gelombang spike and slow).
Generalized epilepsy with febrile seizure plus (GEFS+), adalah sebuah penyakit
akibat gangguan genetik autosomal dominan. Ditemukan riwayat kejang demam yang
terjadi lebih dari 5 tahun dan riwayat bangkitan kejang tanpa demam.
Hot water epilepsy (HWE), dimana kejang biasanya kompleks-parsial yang
didahului dengan tersiram air panas (40 – 50oC) di kepala. Sering terjadi di India dan
Turki. 7% dari penderita HWE memiliki EEG di antara kejang menunjukkan
temporal spikes.
Sindroma Drevet atau severe myocloninc epilepsy of infancy (SMEI),
merupakan penyakit mutasi genetik. Ditandai dengan epilepsi yang tidak kunjung
membaik, tampak seperti kejang demam pada tahun pertama. Kejang onset dini,
berulang dan tipe kejang yang sering terjadi adalah kejang fokal dan klonik.

Breath-holding spells
Bayi afebris yang apneu, sianosis dan terdapat gerakan menghentak-hentak
pada ekstremitas setelah menangis, atau setelah stimulasi vagal yang tidak disengaja.
Onset usia 6 – 18 bulan.

23
2.11 Tatalaksana Kejang Demam
Penatalaksanaan pasien kejang demam dibagi menjadi tatalaksana yang
dilakukan saat anak sedang dalam keadaan kejang, tatalaksana rumatan, dan
tatalaksana pencegahan terjadinya kejadian kejang demam berulang.

Tatalaksana Saat Kejang

Tatalaksana yang dilakukan saat anak datang dalam keadaan kejang adalah:

 Diazepam intravena 0.2 – 0.5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 2 mg/menit


atau dalam waktu 3-5 menit dengan dosis maksimal 10 mg

 Bila belum terpasang akses intravena atau dilakukan di Rumah, bisa diberikan
diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan bb kurang dari 12 kg dan 10 mg untuk
bb lebih dari 12 kg

 Bila diazepam rektal diberikan oleh orang tua di Rumah, dengan 2 kali pemberian
diazepam rektal berselang 5 menit, kejang masih belum berhenti, anjurkan ke
Rumah Sakit dan diberikan diazepam intravena

 Bila kejang belum berhenti setelah tatalaksana awal, dapat diulangi lagi dengan
cara dan dosis yang sama dengan interval 5 menit. Bila setelah 2 kali pemberian
diazepam rectal masih tetap kejang, dianjurkan ke RS.

 Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari indikasi
terapi antikonvolsun profilaksis.

24
Pemberian obat pada saat demam

Antipiretik

Tidak ditemukan bahwa penggunaan antipiretik mengurangi risiko terjadinya


kejang demam. Meskipun demikian dokter neurologi anak di Indonesia sepakat
bahwa antipiretik tetap dapat diberikan.

Paracetamol: 10-15 mg/kg/kali diberikan tiap 4-6 jam

Ibuprofen: 5-10 mg/kg/kali 3-4 kali sehari

Antikonvulsan

Pemberian antikonvulsan intermitten

Obat antikonvulsan intermitten adalah obat antikonvulsan yang diberikan hanya


pada saat demam.
Profilaksis intermitten diberikan pada kejang demam dengan salah satu faktor
risiko dibawah ini:

- Kelainan neurolpgi berat, misalnya palsi serebral


- Berulang 4 kali atau lebih dalam setahun
- Usia <6 bulan
- Bila kejang terjadi pada suhu tubuh kurang dari 39 derajat Celcius

25
26
- Apabila pada episode kejang demam sebelumnya, suhu tubuh meningkat dengan
cepat

Obat yang digunakan adalah Diazepam oral: 0,3 mg/kg/kali per oral atau
diazepam rectal: 0,5 mg/kg/kali (5 mg untuk berat badan <12 kg dan 10 mg untuk
berat badan ≥12 kg), sebanyak 3 kali sehari, dengan dosis maksimum diazepam 7,5
mg/kali. Diazepam intermitten diberikan selama 48 jam pertama demam. Perlu
diinformasikan pada orangtua bahwa dosis tersebut cukup tinggi dan dapat
menyebabkan ataksia, iritabilitas, serta sedasi.

Pemberian obat antikonvulsan rumat

Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya dan


penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan, maka
pengobatan rumat hanya diberikan terhadap kasus selektif dan dalam jangka pendek.

Indikasi pengobatan rumat:

2.11.1Kejang fokal

2.11.2Kejang lama >15 menit

2.11.3Terdapat kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang,


misalnya palsi serebral, hidrosefalus, hemiparesis.

Keterangan :
 Kelainan neurologis tidak nyata, misalnya keterlambatan perkembangan, BUKAN
merupakan indikasi pengobatan rumat.
 Kejang fokal atau fokal menjadi umum menunjukkan bahwa anak mempunyai
fokus organik yang bersifat fokal.

Jenis antikonvulsan untuk pengobatan rumat

Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam
menurunkan risiko berulangnya kejang. Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat
menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan belajar pada 40-50% kasus. Obat
pilihan saat ini adalah asam valproat. Pada sebagian kecil kasus, terutama yang
berumur kurang dari 2 tahun, asam valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi
hati. Dosis asam valproat adalah 15-40 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis, dan
fenobarbital 3-4 mg/kg/hari dalam 1-2 dosis.

Lama Pengobatan rumat

Pengobatan diberikan selama 1 tahun, penghentian pengobatan rumat untuk


kejang demam tidak membutuhkan tapering off, namun dilakukan pada saat anak
tidak sedang demam.

27
Edukasi pada orang tua

Kejang merupakan peristiwa yang menakutkan bagi setiap orangtua. Pada saat
kejang, sebagian besar orangtua beranggapan bahwa anaknya akan meninggal.
Kecemasan tersebut harus dikurangi dengan cara diantaranya :

 Menyakinkan orangtua bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis


baik

 Memberitahukan cara penanganan kejang

 Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali

 Pemberian obat profilaksis untuk mencegah berulangnya kejang memamng


efektif, tetapi harus diingat adanya efefk samping obat.
Beberapa hal yang harus dikerjakan bila anak kejang
1) Tetap tenang tidak panik
2) Longgarkan pakaian yang ketat terutama disekitar leher.
3) Bila anak tidak sadar, posisikan anak miring. Bila terdapat muntah, bersihkan
muntahan atau lendir di mulut atau hidung.
4) Walaupun terdapat kemungkinan (yang sesungguhnya sangat kecil) lidah
tergigit, jangan memasukkan sesuatu kedalam mulut.
5) Ukur suhu, observasi, dan catat bentuk dan lama kejang.
6) Tetap bersama anak selama dan sesudah kejang
7) Berikan diazepam rektal bila kejang masih berlangsung lebih dari 5 menit.
Jangan berikan bila kejang telah berhenti. Diazepam rektal hanya boleh
diberikan satu kali oleh orangtua.
8) Bawa ke dokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau lebih,
suhu tubuh lebih dari 40 derajat Celcius, kejang tidak berhenti denagn
diazepam rektal, kejang fokal, setelah anak tidak sadar, atau terdapat
kelumpuhan.

28
Cara pemberian diazepam lewat anus

2.12 Prognosis Kejang Demam

Kecacatan atau kelainan neurologis


Prognosis kejang demam secara umum sangat baik. Kejadian kecacatan sebagai
komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan . Perkembangan mental dan
neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya normal. Kelainan
neurologis dapat terjadi pada kasus kejang lama atau kejang berulang, baik umum
maupun fokal. Suatu studi meaporkan terdapat gangguan recognition memory pada
anak yang menaglami kejang lama. Hal ini tersebut menegaskan pentingnya terminasi
kejang demam yang berpotenis menjadi kejang lama.

29
Faktor resiko terjadinya epilepsi

Faktor resiko menjadi epilepsi dikemudian hari adalah :


 Terdapat kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum
kejang demam pertama
 Kejang demam kompleks
 Riwayat epilepsi pada orangtua atua saudara kandung
 Kejang demam sederhana yang berulang 4 episode atau lebih dalam satu
tahun.
Masing – masing faktor resiko meningkatkan kemungkinan kejadian
epilepsi 4-6%, kombinasi dari faktor resiko tersebut akan meningkatkan
emungkinan epilepsi menjadi 10-49%. Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat
dicegah denagn pemberian obat rumatan pada kejang demam.

Kematian

Kematian langsung karena demam tidak pernah dilaporkan. Angka kematian


pada kelompok anak yang mengalami kejang demam sederhana denagn
perkembangan normal dilaporkan sama dengan populasi umum.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Ismael S, Pusponegoro HD, Widodo DP, Mangunatmadja I, Handryastuti S.


Rekomendasi Penatalaksanaan Kejang Demam. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter
Anak Indonesia; 2016.
2. M.Khair A, Elmagrabi D. Febrile Seizures and Febrile Seizure Syndromes : An Updated
Overview of Old and Current Knowledge. Neurol Res Int. 2015:7.
doi:10.1155/2015/849341
3. Leung AK, Hon K lun, Leung TN. Febrile seizures : An overview. Drugs Context.
2018;7:12. doi:10.7573/dic.212536
4. Thadchanamoorthy V, Dayasari K. Review on Febrile Seizure in Children. Int
Neuropsychiatr Dis J. 2020:11. doi:10.9734/INDJ/2020/v 14i230126
5. Leung AK, Hon KL, Leung TN. Febrile seizures : an overview. Drugs Context.
2018;7:12.
6. Dustin K. Smith D, Sadler KP, Benedum M. Febrile seizures : Risks, Evaluation, and
Prognosis. Am Fam Physician. 2019;99:6.
7. Marcdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB, Behrman RE. NELSON Ilmu Kesehatan Anak
Esensial. 6th ed.; 2014.
8. Wendorff J, Zeman K. Immunology of febrile seizure. Pr Pogl Pap. 2011;20:6.
9. Laino D, Mencaroni E, Esposito S. Management of Pediatric Febrile Seizures. Int J
Environ Res Public Health. 2018:8.
10. Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta EA. Kapita Selekta Kedokteran. 4th ed. Jakarta;
2014.

31

Anda mungkin juga menyukai