Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN KASUS

KETUBAN PECAH DINI

Disusun Oleh
Isney Hanindya
1208100---

Pembimbing
dr. Wildan A Sutrisno , Sp.OG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI


KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN
RSUD WALED KABUPATEN CIREBON
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat serta karunia-Nya, sehingga saya bisa menyelesaikan tugas laporan kasus ini
dengan judul “Ketuban Pecah Dini“. Tugas referat ini diajukan untuk memenuhi
tugas dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan di Rumah
Sakit Umum Daerah Waled Kabupaten Cirebon.

Dalam penulisan laporan kasus ini penulis banyak menemukan kesulitan.


Namun berkat dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak, akhirnya laporan kasus
ini dapat diselesaikan. Oleh karena itu penulis mengucapkan terimakasih kepada dr.
Wildan A Sutrisno, Sp.OG, selaku pembimbing. Penulis menyadari masih banyak
kekurangan dalam laporan kasus ini,

Oleh karena itu, penulis mengharapkan berbagai kritik dan saran yang bersifat
membangun dalam tema dan judul yang diangkat dalam laporan kasus ini. Akhir kata
semoga laporan kasus ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pihak-pihak
yang membutuhkan umumnya.

Cirebon, November 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ...............................................................................i


KATA PENGANTAR ................................................................................ii
DAFTAR ISI ...............................................................................................iii
BAB I LAPORAN KASUS ........................................................................1
1. Identitas Pasien .................................................................................1
2. Anamnesis .........................................................................................1
3. Pemeriksaan Fisik .............................................................................3
4. Pemeriksaan Penunjang ....................................................................4
5. Resume .............................................................................................5
6. Diagnosis ..........................................................................................6
7. Penatalaksanaan ................................................................................6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................8
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................30

ii
BAB I
STATUS PASIEN

1. IDENTITAS
Nama : Ny. ET
Umur : 26 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Pendidikan terakhir : SMA
Alamat : Jl. Sultan, Sumber, Kabupaten Cirebon
Tanggal masuk : 3 November 2021
Jam Masuk : 18.30 WIB
Nama Suami : Tn. CB
Umur : 29 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Wiraswasta
Pendidikan Terakhir : Sekolah Menengah Atas
Alamat : Jl. Sultan, Sumber, Kabupaten Cirebon

2. ANAMNESIS
a. Keluhan utama :
Keluar air-air dari jalan lahir sejak 3 hari yang lalu (tanggal 31 Oktober
2021)
b. Riwayat penyakit sekarang :
Seorang perempuan, berusia 26 tahun dengan G1P0A0 gravida 33-34
minggu dengan KPD 3 hari datang ke IGD Kebidanan RSUD Waled pada
tanggal 3 November 2021 pukul 18.30 WIB rujukan dari RS Medimas,
dengan keluhan keluar air-air dari jalan lahir sejak 3 hari yang lalu (31
Oktober 2021). Berwarna jernih kekuningan, tidak berbau, encer, dan tidak
ada demam. Pasien mengaku keluar air-air dari jalan lahir setelah pasien

1
kelelahan karena aktivitas berlebih. Keluhan tidak disertai mulas-mulas dan
keluar lendir bercampur darah. Gerakan janin dirasakan aktif oleh pasien.
Buang air besar dan buang air kecil tidak ada keluhan. Riwayat demam,
batuk, pilek, dan trauma disangkal.
Riwayat Penyakit Ibu
a. Riwayat Diabetes melitus : disangkal
b. Riwayat hipertensi : disangkal
c. Riwayat penyakit jantung : disangkal
d. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
e. Riwayat alergi obat : disangkal
f. Riwayat alergi makanan : disangkal
g. Riwayat asma : disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat Diabetes melitus : disangkal
b. Riwayat hipertensi : disangkal
c. Riwayat penyakit jantung : disangkal
d. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
e. Riwayat alergi obat dan makanan : disangkal
f. Riwayat asma : disangkal
Riwayat Operasi : disangkal
Riwayat Menstruasi
a. Menarche : 13 tahun
b. Siklus haid : teratur
c. Panjang siklus : 28 hari
d. Lama haid : 6-7 hari
e. Disminorhea : tidak selalu sakit
f. Banyak : 2-3 pembalut
g. HPHT : 3 April 2021
h. Taksiran Persalinan : 10 Januari 2022
Riwayat Obstetri
a. Riwayat paritas : pasien belum memiliki anak
b. Riwayat abortus : disangkal

2
c. Riwayat infeksi nifas : disangkal
d. Riwayat penyulit kehamilan : disangkal
Riwayat Antenatal Care (ANC)
a. Setiap bulan sekali, kontrol kehamilan di Puskesmas
b. Riwayat imunisasi TT (+) 2 kali di tangan kanan
c. USG dilakukan 3x selama kehamilan
Riwayat Pernikahan
- Pasien menikah 1 kali pada usia 25 tahun
Riwayat Kontrasepsi
- Pasien belum pernah menggunakan KB
Riwayat Ginekologi
Riwayat kista, mioma maupun kanker serviks disangkal pasien. Pasien tidak
memiliki riwayat keputihan yang berulang.
3. PEMERIKSAAN FISIK
a. Keadaan umum : Tampak sakit sedang
b. Kesadaran : Composmentis
c. Vital sign
- Tekanan darah : 130/70 mmHg
- Nadi : 84x/menit
- Resipirasi : 21x/menit
- Suhu : 36,4°C
d. Status generalis :
- Kepala : Normocephal, rambut berwarna hitam, dan
tidak mudah rontok
- Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
- Hidung : Deviasi (-), sekret (-)
- Telinga : Darah (-), sekret (-)
- Mulut : Bibir sianosis (-), gusi berdarah (-), karies gigi (-)
- Leher : Pembesaran KGB (-), peningkatan JVP (-)
- Thoraks
Inspeksi : Datar, simetris, retraksi ICS (-), ictus kordis tidak
tampak

3
Palpasi : Nyeri tekan (-)
Perkusi : Sonor seluruh lapang paru, batas kanan jantung ICS II
linea parasternalis dextra, batas pinggang jantung di ICS
III linea parasternalis sinistra, apeks jantung ICS IV linea
axilaris anterior
Auskultasi
Cor : Bunyi jantung I-II regular, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : VBS (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
- Abdomen : Cembung gravida, striae (-), jejas (-), bising usus (+),
nyeri
tekan (-)
- Ekstremitas : Edema (-), akral hangat, CRT <2 detik
e. Pemeriksaan Obstetri
Pemeriksaan fisik luar
- Tinggi fundus uteri : 26 cm
- DJJ : 138 x/menit
- His : Tidak terdapat kontraksi
- Palpasi
Leopold I : Teraba bagian lunak, TFU : 26 cm
Leopold II : Punggung kiri, teraba bagian kecil-kecil di
kanan
DJJ: 138x/menit
Leopold III : Teraba bagian bulat keras
Leopold IV : Bagian terbawah janin belum masuk PAP (konvergen)
Pemeriksaan fisik dalam
- V/V : Tidak ada kelainan
- VT : Dinding vagina licin, vulva vagina tak ada kelainan,
portio tebal lunak pembukaan 3 cm, kepala Hodge I,
ketuban (-)
- Nitrazine test : hasil kertas lakmus (+) dari merah menjadi biru

4
4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
Hematologi
Darah rutin
Hemoglobin 11,8 12,5-15,5 gr%
Hematokrit 35 36-48 %
Trombosit 401 150-400 Mm
Leukosit 11,4 4-10 Mm
MCV 88,6 82-98 Mikrom
MCH 29,9 >=27 Pg
MCHC 33,8 32-36 g/dl
Eritrosit 3,95 3,8-5,4 Mm
Basofil 0 0-1 %
Eosinofil 1 2-4 %
Neutrofil batang 0 3-5 %
Neutrofil segmen 70 50-80 %
Limfosit 23 25-40 %
Monosit 6 2-8 %
Golongan darah + B+
Rh
Imunologi
HbsAg Rapid Non reactive
HIV Rapid Non reactive
Rapid Covid-19 Negative

5. RESUME

5
Seorang perempuan, berusia 26 tahun dengan G1P0A0 gravida 33-34 minggu
dengan KPD 3 hari datang ke IGD Kebidanan RSUD Waled pada tanggal 3
November 2021 pukul 18.30 WIB rujukan dari RS Medimas, dengan keluhan
keluar air-air dari jalan lahir sejak 3 hari yang lalu (31 Oktober 2021). Berwarna
jernih kekuningan, tidak berbau, encer, dan tidak ada demam. Pasien mengaku
keluar air-air dari jalan lahir setelah pasien kelelahan karena aktivitas berlebih.
Keluhan tidak disertai mulas-mulas dan keluar lendir bercampur darah. Gerakan
janin dirasakan aktif oleh pasien. Buang air besar dan buang air kecil tidak ada
keluhan. Riwayat demam, batuk, pilek, dan trauma disangkal.
Pertama kali pasien menstruasi pada usia 13 tahun, menstruasinya lancar dengan
siklus yang teratur selama 6-7 hari, dan mengganti pembalut 2-3 kali dalam sehari.
Riwayat Antenatal Care (ANC) dilakukannya di Puskesmas setempat secara rutin
setiap 1 bulan sekali, imunisasti Tetanus Toksoid (TT) dilakukan sebanyak 2x
selama kehamilan, pemeriksaan USG dilakukan sebanyak tiga kali. Pasien sudah
menikah sebanyak 1 kali dengan lama pernikahan 9 bulan.
Pada pemeriksaan fisik keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran
composmentis, tekanan darah 130/70 mmHg, nadi 84x/menit, respirasi 21x/menit,
suhu 36,4°C. Status generalis dalam batas normal. Pada status obstetri, dilakukan
pemeriksaan fisik luar tinggi fundus uteri 26 cm, DJJ 138x/menit, regular, His :
belum ada. Pada Leopold I teraba bagian lunak dengan tinggi fundus uteri (TFU) 26
cm, Leopold II punggung kiri, teraba bagian kecil-kecil di kanan dengan detak
jantung janin (DJJ) 138x/menit. Leopold III teraba bagian bulat keras, Leopold IV
bagian terbawah janin belum masuk PAP (konvergen). Pada pemeriksaan fisik
dalam, V/V ; tidak ada kelainan, VT ; vulva vagina tidak ada kelainan, portio ; tebal
lunak, pembukaan 3 cm, kepala Hodge I, ketuban (-). Dilakukan pemeriksaan
Nitrazine test (+)
6. DIAGNOSIS
Ny. ET 26 tahun G1P0A0 gravida 33-34 minggu dengan KPD Preterm 3 hari, janin
tunggal hidup presentasi kepala.
7. PENATALAKSANAAN
a) Non medikamentosa:
- Tirah baring

6
b) Medikamentosa:
- Infus Ringer Laktat 20 tetes per-menit
- Deksamethason 6 mg IM setiap 12 jam
- Cefotaxim inj 1 gram
- Induksi persalinan
8. PROGNOSIS
- Ad vitam : Ad Bonam
- Ad functionam : Ad Bonam
- Ad sanationan : Ad Bonam
9. Usulan Pemeriksaan
- Pemeriksaan Inspekulo atau Vernig test
- USG
- Ph Vagina

7
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ketuban Pecah Dini


2.1.1 Definisi
Ketuban pecah dini (KPD) didefinisikan sebagai pecahnya selaput
ketuban sebelum terjadinya persalinan. Ketuban pecah dini dapat terjadi pada
setelah usia gestasi 37 minggu dan disebut KPD aterm atau Prematur Rupture of
Membranes (PROM). Sedangkan, sebelum usia gestasi 37 minggu disebut KPD
preterm atau Preterm Prematur Rupture of Membranes (PPROM).1
2.1.2 Etiologi
Disebabkan hilangnya elastisitas selaput ketuban, sangat erat kaitannya
dengan jaringan kolagen, yang dapat terjadi karena penipisan oleh infeksi atau
rendahnya kadar kolagen. Berbagai faktor risiko berhubungan dengan KPD,
khususnya pada kehamilan preterm. Pasien berkulit hitam memiliki risiko yang
lebih tinggi bila dibandingkan dengan pasien kulit putih. Pasien lain yang juga
berisiko adalah pasien dengan status sosioekonomi rendah, perokok, mempunyai
riwayat infeksi menular seksual, memiliki riwayat persalinan prematur, riwayat
ketuban pecah dini pada kehamilan sebelumnya, perdarahan pervaginam, atau
distensi uterus (misalnya pasien dengan kehamilan multipel dan
polihidramnion). Prosedur yang dapat berakibat pada kejadian KPD aterm antara
lain sirklase dan amniosentesis. Tampaknya tidak ada etiologi tunggal yang
menyebabkan KPD. Infeksi atau inflamasi koriodesidua juga dapat
menyebabkan KPD preterm. Penurunan jumlah kolagen dari membran amnion
juga diduga merupakan faktor predisposisi KPD preterm.1,2
2.1.3 Klasifikasi Ketuban Pecah Dini
Klasifikasi ketuban pecah dini menurut Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) :
A. KPD Preterm
Ketuban pecah dini preterm adalah pecah ketuban yang terbukti
dengan vaginal pooling, tes nitrazin dan, tes fern atau IGFBP-1 (+) pada
usia <37 minggu sebelum onset persalinan. KPD sangat preterm adalah

9
pecah ketuban saat umur kehamilan ibu antara 24 sampai kurang dari 34
minggu, sedangkan KPD preterm saat umur kehamilan ibu antara 34
minggu sampai kurang 37 minggu. Definisi preterm bervariasi pada
berbagai kepustakaan, namun yang paling diterima dan tersering
digunakan adalah persalinan kurang dari 37 minggu.1
B. KPD Pada Kehamilan Aterm
Ketuban pecah dini/prematur rupture of membranes (PROM) adalah
pecahnya ketuban sebelum waktunya yang terbukti dengan vaginal
pooling, tes nitrazin dan tes fern (+), IGFBP-1 (+) pada usia kehamilan ≥
37 minggu.1
C. KPD Pada Kehamilan Aterm Memanjang
Spontaneous preterm rupture of the membranes (SPROM) adalah
pecahnya ketuban setelah atau dengan onset persalinan yang terjadi
sebelum 37 minggu. Ketika PROM terjadi lebih dari 18 jam sebelum
persalinan, itu dianggap sebagai Prolonged PROM dan menempatkan ibu
dan janin pada peningkatan risiko infeksi.1
2.2 Patogenesis Ketuban Pecah Dini
Ketuban pecah dini adalah hasil dari berbagai faktor yang pada akhirnya
menyebabkan melemahnya membran. Hal ini disebabkan oleh peningkatan sitokin
lokal, ketidakseimbangan interaksi antara matriks metaloproteinase dan inhibitor
jaringan matriks metaloproteinase, peningkatan aktivitas kolagenase dan protease,
dan faktor lain yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrauterin. 11

Ketuban pecah dini terjadi setelah terdapat aktivasi dari multifaktorial dan
berbagai mekanisme. Faktor epidemiologi dan faktor klinis dipertimbangkan
sebagai pencetus dari ketuban pecah dini. Faktor ini termasuk infeksi traktus
reproduksi pada wanita (Bakterial vaginosis, Trikomoniasis, Gonorrhea,
Chlamydia, dan korioamnionitis subklinis), faktor-faktor perilaku (merokok,
penggunaan narkoba, status nutrisi, dan koitus), komplikasi obstetri (kehamilan
multipel, polihidramnion, insufisiensi servik, operasi servik, perdarahan dalam
kehamilan, dan trauma antenatal), dan kemungkinan karena perubahan lingkungan
(tekanan barometer). Sinyal biokimia dari fetus termasuk sinyal apoptosis dan

10
sinyal endokrin dari fetus, juga merupakan implikasi dalam inisiasi dari terjadinya
ketuban pecah dini. 12

Sebagian besar di dalam proses melahirkan, persalinan diikuti oleh robeknya


selaput ketuban dan kelahiran. Walaupun terkadang prosesnya dapat dimulai
dengan robeknya selaput ketuban, dan berkembang menjadi persalinan dan
kelahiran. Jika proses ini terjadi pada waktunya akibatnya tidak akan terlalu parah
dibandingkan robeknya selaput ketuban sebelum 37 minggu akan mengancam
terjadinya kelahiran preterm. 12

11
Gambar 2.7 Patogenesis ketuban pecah dini. 13

Gambar 1. Diagram berbagai mekanisme yang berperan pada


kejadian Ketuban Pecah Dini.3

A. Faktor infeksi
Ketuban pecah dini pada kehamilan preterm masih merupakan masalah
prematuritas di dunia termasuk Indonesia, yang terkait dengan prevalensi,
kejadian prematuritas, morbiditas dan mortalitas perinatal. Berbagai upaya
dilakukan untuk mengatasi ketuban pecah dini preterm melalui studi faktor
risiko. Infeksi merupakan faktor risiko terbesar di mana sumber utama adalah
infeksi ascenden vagina dan saluran kemih. Sebelum proses persalinan terjadi
dan selaput ketuban masih utuh, janin mendapat perlindungan dan isolasi
terhadap mikroorganisme sekitarnya.1,3
Hal ini terjadi karena adanya mekanisme pertahanan yang dapat
melindungi fetus dan plasenta dari infeksi yaitu “ascending infection” yang
berupa “physical barrier” yang terjadi karena adanya mukus serviks di kanalis
servikalis yang mengandung lysozyme, selaput ketuban yang utuh, dan akibat
dari adanya anti bakterial dari cairan amnion yang terdiri dari lysozyme,
transiarin immunoglobulin dan zincprotein complex. Pada vagina ibu hamil
terdapat berbagai macam mikroorganisme berupa mikroorganisme pathogen

12
maupun flora normal di vagina. Mikroorganisme pathogen pada vagina dapat
menyebabkan infeksi pada neonates. Beberapa organisme yang dapat
menyebabkan infeksi neonatal yang ditemukan pada vagina adalah N.
Gonorrhoe, C. Trachomatis, Group B streptococus, E. Colli yang
menyebabkan terjadi septikemia dan kematian.3
Infeksi merupakan penyebab tersering dari persalinan preterm dan
ketuban pecah dini, di mana bakteri dapat menyebar ke uterus dan cairan
amnion sehingga memicu terjadinya inflamasi dan mengakibatkan persalinan
preterm dan ketuban pecah dini. Terdapat beberapa macam bakteri yang
dihubungkan dengan persalinan preterm dan ketuban pecah dini yaitu :
Gardrenella vaginalis, Mycoplasma homnis, Chlamydia, Ureaplasma
urealyticum, Fusobacterium, Trichomonas vaginalis, Klebsiella pneumoniae,
Escherichia coli dan Hemophilus vaginalis.3

Gambar 2. Lokasi Potensial Infeksi Bakteri.3

Etiologi dari KPD dan persalinan prematur adalah multifaktorial dan


sebagian besar penyebabnya masih belum diketahui. Microbial invasion of the
intraamniotic cavity (MIAC) dan intra amniotic infection (IAI) berhubungan
dengan mayoritas kasus ini. Infeksi menginduksi respon inflamasi ibu dan janin

13
(korioamnionitis histologis), meningkatkan produksi dan pelepasan inflamasi
sitokin (IL-1, IL-6, IL-8, TNF-α) dan menginduksi produksi prostaglandin
memicu untuk pematangan serviks dan kontraktilitas yang dimediasi oleh
prostaglandin. Peningkatan dari petanda biologis ini (sitokin dan prostaglandin)
yang dianggap sebagai penanda persalinan prematur dan KPD.3
Faktor ini sering pada persalinan prematur dan KPD yang meningkat di
cairan ketuban (amniotic fluid-AF) bahkan tanpa adanya MIAC dan IAI jika
dibandingkan dengan persalinan aterm. Penelitian oleh Goldenberg (2008),
mengemukakan peranan jalur infeksi untuk terjadinya ketuban pecah dini.
Infeksi bakteri yang terjadi pada lapisan koriodesidua akan menginduksi
pelepasan endotoksin, eksotoksin, dan mengaktifkan desidua, serta membran
janin untuk menghasilkan berbagai sitokin pro inflamasi, seperti TNF- α, IL-α,
IL- 1β, IL-6, IL-8 dan granulocyte colonystimulating factor (GCSF). Dengan
terbentuknya sitokin, endotoksin, dan eksotoksin akan merangsang
pembentukan dan pelepasan prostaglandin serta terjadi pembentukan dan
pelepasan metalloprotease dan substansi bioaktif lainnya. Prostaglandin akan
merangsang kontraksi uterus dan menyebabkan penipisan servik, serta adanya
metalloprotease pada membran korioamnion menyebabkan pecahnya selaput
ketuban.3
Inflamasi yang diinduksi oleh infeksi mikroba, umumnya terkait dengan
kelahiran prematur dan KPD preterm. Perubahan dalam struktur dan integritas
matriks ekstraseluler dipengaruhi oleh respon host endogen, yang mencakup
sitokin proinflamasi, seperti TNF-α dan interleukin 1β (IL-1β) yang
menginduksi produksi MMP untuk mendegradasi matriks ekstraseluler. Selain
itu, mikroba yang menyerang dapat menghasilkan enzim yang dapat merusak
enzimnya sendiri, termasuk kolagenase yang bekerja pada protein matriks
ekstraseluler. Enzim yang merusak matriks endogen dan yang berasal dari
mikroba dapat melepaskan matrikines yang memperkuat proses inflamasi.2,3
Peranan faktor seperti epidemiologi, klinis, histologi, mikrobiologi dan
data biologi molekuler menunjukkan bahwa infeksi fokal dan inflamasi
mungkin memainkan peranan dalam mekanisme patogenesis terjadinya ketuban
pecah dini. Pemeriksaan histologi membran amnion menunjukkan bahwa

14
infeksi dan inflamasi dari rongga intraamnion dan selaput ketuban dapat
mendahului terjadinya KPD, yang ditunjukkan adanya reaksi inflamasi lebih
sering terlihat di lokasi robeknya selaput ketuban. Infeksi bakteri pada
korioamnion kemungkinan sebagai inisiator sedangkan respon inflamasi host
adalah agen penyebab sebenarnya dalam persalinan preterm dan KPD preterm.4
Ketuban pecah dini merupakan penyakit autotoksik endogen di mana
respon inflamasi host akan mengaktifkan matrik ektraseluler kolagen spesifik
MMP. Aktivasi endogen MMP dapat menyebabkan degradasi matriks
ekstraseluler yang selanjutnya menyebabkan pecahnya selaput ketuban. Sitokin
yang terdapat di dalam cairan amnion dikaitkan dengan infeksi korioamnion.
Produksi prostanoid pada desidua, korion, amnion dan sel miometrium dan
produksi endotelin oleh sel amnion dan sel desidua distimulasi karena tingginya
konsentrasi endotoksin dan juga oleh IL-1 dan TNF-α. Adanya IL-6 pada
serum, cairan amnion serta sekret servikovagina berhubungan dengan kejadian
korioamnionitis dan persalinan preterm. Aktivasi dari sitokin menyebabkan
peningkatan apoptosis plasenta dan selaput korioamnion dengan glikoprotein
pada Fas Ligand (Fas-L).4
Apoptosis dari sel otot polos servik berperan dalam pembukaan servik
dan sel epitel amnion dalam sel selaput janin dan menyebabkan pecahnya
selaput ketuban (Menon dan Fortunato, 2007; Agrawal dan Hirsch, 2012).
Mikroorganisme patologik dalam flora vagina yang ditemukan setelah
pecahnya selaput ketuban mendukung konsep bahwa infeksi bakteri berperan
dalam patogenesis terjadinya ketuban pecah dini.4
Adanya infeksi memberikan respon berupa reaksi inflamasi yang
selanjutnya merangsang produksi sitokin, MMP, dan prostaglandin oleh netrofil
PMN dan makrofag. Sitokin proinflamasi seperti Interleukin-1 dan Tumor
Necrosis Factor α yang diproduksi oleh monosit akan meningkatkan aktivitas
MMP-1 dan MMP-3 pada sel korion. Infeksi bakteri dan respon inflamasi juga
merangsang produksi prostalglandin oleh selaput ketuban yang diduga
berhubungan dengan ketuban pecah dini.4
Respon imunologis terhadap infeksi juga menyebabkan produksi
prostaglandin E2 oleh sel korion akibat perangsangan sitokin yang diproduksi

15
oleh monosit. Sitokin juga terlibat dalam induksi enzim siklooksigenase II yang
berfungsi mengubah asam arakhidonat menjadi. Hubungan antara produksi
prostaglandin dan ketuban pecah dini belum diketahui, namun prostaglandin
terutama E2 dan F2α telah dikenal sebagai mediator dalam persalinan dan
prostaglandin E2 diketahui mengganggu sintesis kolagen pada selaput ketuban
dan meningkatkan aktivitas dari MMP-1 dan MMP-3.5
Infeksi sistemik bisa berasal dari penyakit periodontal, pneumonia,
sepsis, prankreatis, pielonefritis, infeksi traktus genitalis, korioamnionitis dan
infeksi amnion semuanya berhubungan dengan terjadinya KPD. Komponen
yang lain sebagai respon adanya infeksi adalah produksi dari glukokortikoid.
Pada kebanyakan jaringan aksi antiinflamasi dari glukokortikoid dimediasi oleh
karena penekanan produksi dari prostaglandin. Pada jaringan amnion,
glukokortikoid memproduksi prostaglandin. Hal ini menunjukkan bahwa
produksi glukokortikoid sebagai respon terhadap stress dari infeksi mikroba
yang dapat menyebabkan pecahnya selaput ketuban.5
B. Faktor Nutrisi
Faktor nutrisi seperti kekurangan gizi merupakan salah satu faktor
presdiposisi untuk terjadinya gangguan dari struktur kolagen, yang dikaitkan
dengan peningkatan risiko pecahnya selaput ketuban. Vitamin C memegang
peranan penting dalam metabolisme matriks ekstraseluler. Vitamin C adalah
suatu kofaktor untuk lysyl hidroksilase, enzim penting yang terlibat dalam
sintesis kolagen, dan defisiensi vitamin C mempengaruhi produksi matriks
ekstraseluler. Wanita hamil dengan KPD preterm terjadi defisiensi vitamin C,
dan suplementasi vitamin C pada populasi berisiko tinggi mengurangi KPD
preterm. Meskipun temuan ini mengesankan bahwa status gizi dapat
mempengaruhi risiko KPD preterm, penelitian epidemiologi dan intervensi gizi
tidak menunjukkan bahwa vitamin C mempengaruhi risiko KPD preterm
sebagai akibat langsung dari konten matriks ekstaseluler dari membran janin.
Namun, penelitian dari membran amnion dari kasus KPD mengungkapkan
bahwa terjadi pengurangan asam askorbat dan konsentrasi kolagen pada KPD
preterm dibandingkan dengan membran pada persalinan normal.5
Vitamin C merupakan kofaktor dari pembentukan kolagen. Defisiensi

16
vitamin C menyebabkan struktur kolagen yang terbentuk tidak sempurna.
Vitamin C memegang peranan dalam sintesis dan degradasi kolagen dan untuk
pemeliharaan dari selaput ketuban. Selaput ketuban mempunyai elastisitas yang
berbeda tergantung kadar vitamin C dalam darah ibu. Kurangnya asupan
vitamin C selama kehamilan merupakan salah satu faktor risiko untuk
terjadinya ketuban pecah dini. Pemberian vitamin C 100 mg per hari setelah
umur kehamilan 20 minggu efektif menurunkan insiden terjadinya ketuban
pecah dini.6
Gangguan nutrisi seperti mikronutrien merupakan faktor predisposisi
adanya gangguan pada struktur kolagen. Asam askorbat yang berperan dalam
pembentukan struktur kolagen tripel heliks berhubungan dengan pecahnya
selaput ketuban. Zat tersebut kadarnya lebih rendah pada kasus ketuban pecah
dini. Senyawa makanan lainnya dapat mempengaruhi risiko ketuban pecah dini.
Asam α-lipoic, antioksidan yang ditemukan dalam makanan, menghambat
proinflamasi yang diinduksi sitokin dan diinduksi trombin dapat melemahkan
selaput ketuban dalam penelitian in vitro. Ekspresi MMP-9 yang diinduksi
TNF-α dan produksi prostaglandin E2 juga dicegah dengan pengobatan asam α-
lipoic.6
Merokok dikaitkan dengan terjadinya ketuban pecah dini preterm, paparan
pada membran janin terhadap komponen asap rokok menginduksi stres
oksidatif dan kematian sel apoptosis. Ketika eksplan ketuban atau membran
janin dikumpulkan pada waktu persalinan normal dirangsang dengan ekstrak
asap rokok, maka F2-isoprostan, biomarker stres oksidatif ditemukan
meningkat. Ada juga penurunan, tergantung dosis dalam ekspresi protein
antiapoptosis Bcl-2, dan peningkatan pada efektor kematian, caspase-3 aktif,
berkaitan dengan fragmentasi DNA nukleus pada sel amnion dan korion
dibandingkan dengan pasien kontrol. Disimpulkan bahwa jalur yang diinduksi
ekstrak asap rokok juga meningkatkan proteolisis dan mengakibatkan
melemahnya membran amnion.6
Beberapa penelitian menghubungkan ibu perokok dan penyalahgunaan zat,
infeksi, perdarahan ante-partum, diketahui bisa memproduksi ROS atau
menurunkan proteksi antioksidan yang diduga akan menyebabkan kolagenolisis

17
dari membran janin. Rokok mengandung superoxide, hydrogen peroxide,
hydroxil ions dan Nitrit oxide yang bisa merusak matriks kolagen atau
merusak pertahanan antioksidan.6
Merokok meningkatkan risiko terjadinya ketuban pecah dini dihubungkan
dengan penurunan konsentrasi dari asam askorbat. Pemberian cigarette smoke
extract (CSE) dapat menginduksi stress oksidatif dan apoptosis. Ketika fetal
membran distimulasi dengan cigarette smoke extract maka F2-isoprostane
sebagai biomarker dari stress oksidatif akan meningkat. Juga terjadi penurunan
dari protein antiapoptosis Bcl-2 dan peningkatan caspase-3 aktif untuk
terjadinya fragmentasi DNA pada sel amnion dan korion. Proses ini sebagai
jalur terjadinya apoptosis pada selaput ketuban dan degradasi dari matriks
ektraseluler yang berperan terhadap tejadinya ketuban pecah dini dan persalinan
preterm.6
Hubungan respon antara banyaknya merokok dan KPD preterm telah
dilaporkan bahwa merokok lebih dari 10 batang per hari merupakan faktor
risiko untuk KPD preterm. Kadar homosistein yang tinggi juga telah dikaitkan
dengan kelainan pada kolagen. Vitamin B12 dan folat adalah kofaktor penting
dalam metabolisme homosistein, di mana dengan rendahnya kadar folat
mengarah pada peningkatan kadar homosistein plasma. Namun sebuah studi
kasus kontrol tidak bisa mendeteksi perbedaan antara homosistein puasa, folat
sel darah merah, kadar vitamin B12 dan asupan makanan antara perempuan
yang mengalami KPD preterm dan persalinan aterm. Defisiensi zinc juga telah
dikaitkan dengan KPD preterm.6
Kadar zinc ibu lebih rendah pada wanita KPD preterm dibandingkan
dengan kontrol. Defisiensi zinc dikaitkan dengan risiko persalinan prematur,
terutama ketika pecahnya selaput ketuban mendahului mulainya persalinan.6
C. Faktor Hormon
Faktor hormonal juga berperan pada proses remodeling dari matriks
ekstraseluler. Hormon progesteron dan estradiol dapat menekan proses
remodeling matriks ektraseluler dengan menurunkan konsentrasi MMP-1 dan
MMP-3, serta meningkatkan konsentrasi TIMP pada fibroblas serviks.
Konsentrasi progesteron yang tinggi menyebabkan penurunan produksi

18
kolagenase. Hormon relaxin yang diproduksi oleh sel desidua dan plasenta
berfungsi mengatur pembentukan jaringan ikat, dan mempunyai aktivitas yang
berlawanan dengan efek inhibisi oleh progesteron dan estradiol dengan
meningkatkan aktivitas MMP-3 dan MMP-9 pada selaput ketuban.7
Ekspresi dan aktivitas dari relaxin gen meningkat sebelum persalinan pada
selaput ketuban kehamilan aterm. Selaput ketuban menjadi jaringan target dari
hormon relaxin yang merupakan hormon endogen, menyebabkan pelepasan
enzim kolagenolitik untuk memulai proses pelemahan dan pecahnya selaput
ketuban. Pada satu penelitian didapatkan kadar ekspresi relaxin yang bermakna
pada pasien dengan ketuban pecah dini dibandingkan pada pasien dengan
persalinan preterm dan pada pasien yang dilakukan seksio sesarea pada ibu
dengan komplikasi kehamilan.7
Relaxin menyebabkan peningkatan produksi matriks metalloproteinase
(MMP) dan sitokin-sitokin proinflamasi, oleh karena itu berdampak pada
terjadinya KPD, dibandingkan dengan kelahiran preterm akibat persalinan
preterm. Risiko KPD preterm berhubungan dengan kenaikan kadar relaxin di
dalam plasenta. Di dalam selaput ketuban janin yang diperoleh dari 12 kasus
seksio cesaria elektif sebelum mulainya persalinan, human relaxin (Hrlx- 2)
secara in vitro menunjukkan terjadinya pengurangan kekuatan regangan selaput
ketuban sebesar 30%.7
Ekspresi dari dua gen human relaxin dihitung di dalam desidua dan
plasenta, dari masing-masing subjek. Studi ini dapat menunjukkan bahwa
secara signifikan lebih banyak relaxin yang diekpresikan di dalam desidua dari
pasien-pasien dengan KPD preterm, dibandingkan dengan pasien dengan
persalinan preterm atau pasien-pasien dengan seksio cesaria karena alasan
medis dengan membran yang utuh dan tidak ada persalinan preterm.8
D. Faktor Apoptosis
Studi terbaru menunjukkan bahwa peristiwa molekuler yang menyebabkan
persalinan prematur dan KPD secara fundamental berbeda, hal ini mungkin
menjelaskan mengapa beberapa wanita mengalami persalinan prematur tanpa
pecah ketuban, sementara yang lain mengalami KPD tanpa persalinan. Studi
pada membran (in vivo dan in vitro) menunjukkan bahwa unsur-unsur dari

19
kematian sel terprogram (apoptosis) yang didominasi terlihat pada selaput
ketuban dari wanita dengan KPD tapi bukan mereka dari wanita dengan
persalinan preterm. Infeksi dan endotoksin mampu merangsang banyak faktor-
faktor proapoptotik selama KPD preterm.8
Agen proapoptotik meningkat pada KPD yang berasal dari membran
amnion dan bukti kematian sel terprogram terlihat. Beberapa penelitian lainnya
juga telah melaporkan hubungan yang kuat antara apoptosis dan KPD.
Pecahnya selaput ketuban tidak hanya berkaitan dengan faktor mekanis dan
kimia namun di dalamnya berperan serta juga adanya proses kematian sel
terprogram atau apoptosis dari sel-sel yang terdapat pada selaput ketuban.
Berbagai penelitian memberikan hasil yang konsisten bahwa selaput ketuban
dari ibu hamil dengan ketuban pecah dini menunjukkan indeks apoptosis yang
lebih tinggi dibandingkan dengan selaput ketuban dari persalinan aterm
maupun preterm dengan selaput ketuban yang masih utuh.8
Melemahnya selaput ketuban di daerah supra servik dihubungkan dengan
gambaran histologi dan proses biokimia di mana terdapat gambaran remodeling
kolagen dan apoptosis. Gambaran ini tampak pada daerah supra servik
membran janin baik dari membran yang didapat dari persalinan sesar atau
setelah persalinan normal. Jaringan amnion dan korion pada kehamilan aterm
setelah mengalami pecah ketuban dini mengandung banyak sel-sel apoptosis
di area sekitar ruptur membran dan sedikit sel apoptosis di area yang lain dari
membran.8
Pada kasus dengan korioamnionitis, apoptosis sel epitel amnion tampak
dalam granulosit, yang menunjukkan bahwa respon imun mempercepat
kematian sel pada membran. Proses apoptosis sangat dipengaruhi oleh sinyal
yang berasal dari protein ekstraseluler dan intraseluler. Faktor ekstraseluler
sangat dipengaruhi oleh infeksi yang telah lama dikenal sebagai pencetus
ketuban pecah dini, sedangkan faktor intraseluler diperankan oleh p53 yang
merupakan suatu protein yang berperan 46 dalam apoptosis intraseluler melalui
pengaktifan protein Bax yang memacu pelepasan sitokrom C. Fungsi normal
p53 adalah sebagai penjaga proteinom. Pada keadaan di mana jumlah p53
rendah maka p53 akan berperan sebagai penjaga sel, sedangkan dalam jumlah

20
banyak akan menyebabkan pengaktifan apoptosis.8
Ditemukan adanya peningkatan ekspresi gen yang bersifat proapoptosis,
yaitu p53 dan Bax disertai penurunan ekspresi gen antiapoptosis Bcl-2 pada
kasus ketuban pecah dini, baik aterm maupun preterm. Proses apoptosis
dipercepat di tempat terjadinya robekan selaput ketuban pada kehamilan dengan
ketuban pecah dini baik melalui jalur caspase dependent dan caspase
independent. Sinyal apoptosis bisa terjadi secara intraseluler dan
ekstraseluler.8,9
Jalur ekstrinsik (ekstraseluler) diinisiasi melalui stimulasi dari reseptor
kematian (death receptor pathway) sedangkan jalur intrinsik diinisiasi melalui
pelepasan faktor signal dari mitokondria dalam sel (mitochondrial pathway).9
E. Faktor Mekanis
Peregangan secara mekanis seperti pada polihidramnion, kehamilan
ganda dan berat badan bayi besar akan menyebabkan regangan selaput ketuban.
Peningkatan regangan atau overdistensi dari uterus ini meningkatkan risiko
terjadinya ketuban pecah dini. Secara mekanik, regangan dari membran fetus
ini akan meningkatkan produksi prostaglandin E2 dan Interleukin-8 dalam
amnion, juga meningkatkan aktivitas MMP-1 dalam membran. Interleukin-8
diproduksi dari sel amnion dan korion bersifat kemotaktik terhadap neutrofil
dan merangsang aktivitas kolagenase, selanjutnya akan menyebabkan
terganggungnya keseimbangan proses sintesis dan degradasi matriks
ekstraseluler yang akhirnya menyebabkan pecahnya selaput ketuban.9
Prostaglandin E2 meningkatkan iritabilitas uterus, menurunkan sistesis
dari kolagen membran dan meningkatkan produksi dari MMP-1 dan MMP-3
oleh fibroblas. Produksi interleukin-8 dan prostaglandin E2 dari amnion
menunjukkan adanya perubahan biokimia dalam selaput ketuban yang dapat
diinisiasi oleh kekuatan fisik atau regangan membran, menunjukkan bahwa
kekuatan mekanik menyebabkan terjadinya ketuban pecah dini. Produksi
Interleukin-8 dan prostaglandin amnion akan memperlihatkan perubahan
biokimia pada selaput ketuban yang mungkin dimulai oleh adanya regangan
selaput ketuban dan apoptosis.9
Degradasi kolagen disebabkan oleh MMP dan dapat dihambat oleh

21
inhibitor jaringan spesifik dan inhibitor protease (TIMP). Kontraksi uterus yang
berulang, dan adanya peregangan menyebabkan melemahnya selaput ketuban.
Daya regang ini dipengaruhi oleh keseimbangan antara sintesis dan degradasi
dari komponen matriks ekstraseluler. Pada ketuban pecah dini terjadi
perubahanperubahan seperti penurunan jumlah jaringan kolagen, serta
peningkatan aktivitas kolagenolitik yang dapt menyebabkan terjadinya
degradasi dari kolagen.9

2.3 Diagnosis
Penilaian awal dari ibu hamil yang datang dengan keluhan KPD aterm harus
meliputi 3 hal, yaitu konfirmasi diagnosis, konfirmasi usia gestasi dan presentasi
janin, dan penilaian kesejahteraan maternal dan fetal. Tidak semua pemeriksaan
penunjang terbukti signifikan sebagai penanda yang baik dan dapat memperbaiki
luaran. Oleh karena itu, akan dibahas mana pemeriksaan yang perlu dilakukan dan
mana yang tidak cukup bukti untuk perlu dilakukan.1
2.3.1 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
KPD aterm didiagnosis secara klinis pada anamnesis pasien dan visualisasi
adanya cairan amnion pada pemeriksaan fisik.1
A. Anamnesis
Dari anamnesis perlu diketahui waktu dan kuantitas dari cairan yang keluar,
usia gestasi dan taksiran persalinan, riwayat KPD aterm sebelumnya, dan faktor
risikonya.1
B. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan digital vagina yang terlalu sering dan tanpa indikasi sebaiknya
dihindari karena hal ini akan meningkatkan risiko infeksi neonatus. Spekulum
yang digunakan dilubrikasi terlebih dahulu dengan lubrikan yang dilarutkan
dengan cairan steril dan sebaiknya tidak menyentuh serviks.1
Pemeriksaan spekulum steril digunakan untuk menilai adanya servisitis,
prolaps tali pusat, atau prolaps bagian terbawah janin (pada presentasi bukan
kepala); menilai dilatasi dan pendataran serviks, mendapatkan sampel dan
mendiagnosis KPD aterm secara visual. Dilatasi serviks dan ada atau tidaknya
prolaps tali pusat harus diperhatikan dengan baik. Jika terdapat kecurigaan

22
adanya sepsis, ambil dua swab dari serviks (satu sediaan dikeringkan untuk
diwarnai dengan pewarnaan gram, bahan lainnya diletakkan di medium transport
untuk dikultur.1
Jika cairan amnion jelas terlihat mengalir dari serviks, tidak diperlukan lagi
pemeriksaan lainnya untuk mengkonfirmasi diagnosis. Jika diagnosis tidak dapat
dikonfirmasi, lakukan tes Ph dari forniks posterior vagina (Ph cairan amnion
biasanya ~ 7.1-7.3 sedangkan sekret vagina ~ 4.5 – 6) dan cari arborization of
fluid dari forniks posterior vagina. Jika tidak terlihat adanya aliran cairan
amnion, pasien tersebut dapat dipulangkan dari rumah sakit, kecuali jika
terdapat kecurigaan yang kuat ketuban pecah dini. Semua presentasi bukan
kepala yang datang dengan KPD aterm harus dilakukan pemeriksaan digital
vagina untuk menyingkirkan kemungkinaan adanya prolaps tali pusat.1
2.3.2 Pemeriksaan Penunjang
A. Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan USG dapat berguna untuk melengkapi diagnosis untuk
menilai indeks cairan amnion. Jika didapatkan volume cairan amnion atau indeks
cairan amnion yang berkurang tanpa adanya abnormalitas ginjal janin dan tidak
adanya pertumbuhan janin terhambat (PJT) maka kecurigaan akan ketuban pecah
sangatlah besar, walaupun normalnya volume cairan ketuban tidak
menyingkirkan diagnosis. Selain itu USG dapat digunakan untuk menilai
taksiran berat janin, usia gestasi dan presentasi janin, dan kelainan kongenital
janin.1
B. Pemeriksaan Laboratorium
Pada beberapa kasus, diperlukan tes laboratorium untuk menyingkirkan
kemungkinan lain keluarnya cairan/ duh dari vagina/ perineum. Jika diagnosis
KPD aterm masih belum jelas setelah menjalani pemeriksaan fisik, tes nitrazin
dan tes fern, dapat dipertimbangkan. Pemeriksaan seperti insulin-like growth
factor binding protein 1(IGFBP-1) sebagai penanda dari persalinan preterm,
kebocoran cairan amnion, atau infeksi vagina terbukti memiliki sensitivitas yang
rendah. Penanda tersebut juga dapat dipengaruhi dengan konsumsi alkohol.
Selain itu, pemeriksaan lain seperti pemeriksaan darah ibu dan CRP pada cairan
vagina tidak memprediksi infeksi neonatus pada KPD preterm.1

23
2.4 Tatalaksana
Prinsip utama penatalaksanaan KPD adalah untuk mencegah mortalitas dan
morbiditas perinatal pada ibu dan bayi yang dapat meningkat karena infeksi atau
akibat kelahiran preterm pada kehamilan dibawah 37 minggu. Prinsipnya
penatalaksanaan ini diawali dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan beberapa
pemeriksaan penunjang yang mencurigai tanda-tanda KPD. Setelah mendapatkan
diagnosis pasti, dokter kemudian melakukan penatalaksanaan berdasarkan usia
gestasi. Hal ini berkaitan dengan proses kematangan organ janin, dan bagaimana
morbiditas dan mortalitas apabila dilakukan persalinan maupun tokolisis.9
Terdapat dua manajemen dalam penatalaksanaan KPD, yaitu manajemen
aktif dan ekspektatif. Manajemen ekspektatif adalah penanganan dengan
pendekatan tanpa intervensi, sementara manajemen aktif melibatkan klinisi untuk
lebih aktif mengintervensi persalinan. Berikut ini adalah tatalaksana yang dilakukan
pada KPD berdasarkan masing-masing kelompok usia kehamilan. A. Ketuban
Pecah Dini usia kehamilan 24 jam).9

Tabel 1. Antibiotik yang digunakan pada KPD >24 jam.

Jika pasien datang dengan KPD >24 jam, pasien sebaiknya tetap dalam
perawatan sampai berada dalam fase aktif. Penggunaan antibiotik IV sesuai dengan
tabel di atas.10
Manajemen Aktif
Pada kehamilan >37 minggu, lebih dipilih induksi awal. Meskipun demikian,
jika pasien memilih manajemen ekspektatif harus dihargai. Lamanya waktu
manajemen ekspektatif perlu didiskusikan dengan pasien dan keputusan dibuat
berdasarkan keadaan per individu. Induksi persalinan dengan prostaglandin
pervaginam berhubungan dengan peningkatan risiko korioamnionitis dan infeksi

24
neonatal bila dibandingkan dengan induksi oksitosin. Sehingga, oksitosin lebih
dipilih dibandingkan dengan prostaglandin pervaginam untuk induksi persalinan
pada kasus KPD.10
Kemajuan pada pelayanan maternal dan manajemen PPROM pada batas yang
viable dapat mempengaruhi angka survival; meskipun demikian untuk PPROM <24
minggu usia gestasi morbiditas fetal dan neonatal masih tinggi. Konseling kepada
pasien untuk mengevaluasi pilihan terminasi (induksi persalinan) atau manajemen
ekspektatif sebaiknya juga menjelaskan diskusi mengenai keluaran maternal dan
fetal dan jika usia gestasi 22-24 minggu juga menambahkan diskusi dengan
neonatologis. Beberapa studi yang berhubungan dengan keluaran/ outcomes,
diperumit dengan keterbatasan sampel atau faktor lainnya. Beberapa hal yang
direkomendasikan10:
a. Konseling pada pasien dengan usia gestasi 22-25 minggu menggunakan
Neonatal Research Extremely Preterm Birth Outcome Data.
b. Jika dipertimbangkan untuk induksi persalinan sebelum janin viable,
tatalaksana merujuk kepada Intermountain’s Pregnancy Termination
Procedure.
Pemberian kortikosteroid antenatal pada wanita dengan KPD preterm telah
dibuktikan manfaatnya dari 15 RCT yang meliputi 1400 wanita dengan KPD dan
telah disertakan dalam suatu metaanalisis. Kortikosteroid antenatal dapat
menurunkan risiko respiratory distress syndrome (RR 0,56; 95% CI 0,46-0,70),
perdarahan intraventrikkular (RR 0,47; 95% CI 0,31-0,70) dan rematurece
nekrotikan (RR 0,21; 95% CI 0,05-0,82), dan mungkin dapat menurunkan
kematian rematur (RR0,68; 95% ci 0,43- 1,07).10

25
Tokolisis pada kejadian KPD preterm tidak direkomendasikan. Tiga uji teracak
235 pasien dengan KPD preterm melaporkan bahwa proporsi wanita yang tidak
melahirkan 10 hari setelah ketuban pecah dini tidak lebih besar secara signifikan
pada kelompok yang menerima tokolisis (levels of evidence Ib).1

Tabel 2. Medikamentosa yang digunakan pada KPD.

Rekomendasi
Berdasarkan literatur yang ada dan terkini serta level of evidence masing-
masing pernyataan, direkomendasikan penatalaksanaan (diagnosis, pemeriksaan

26
antenatal, dan medikamentosa) seperti berikut ini10:
1. Diagnosis KPD spontan paling baik didapatkan dari anamnesis dan
pemeriksaan spekulum steril (Rekomendasi B).
2. Pemeriksaan USG berguna pada beberapa kasus untuk mengkonfirmasi
USG (Rekomendasi B).
3. Ibu hamil harus dipantau tanda tanda klinis dari korioamnionitis,
(Rekomendasi B).
4. Uji darah ibu, CRP, swab vagina setiap minggu tidak perlu dilakukan
karena sensitivitas dalam mendeteksi infeksi intrauterine yang sangat
rendah (Rekomendasi B).
5. Kardiotokografi berguna untuk dilakukan karena takikardia fetal adalah
salah satu definisi dari korioamnionitis. Skor profil biofisik dan velosimetri
Doppler dapat dilakukan namun ibu hamil harus diinformasikan bahwa uji
tersebut memiliki keterbatasan dalam memprediksi infeksi fetus.
(Rekomendasi B).
6. Amniosentesis tidak memiliki cukup bukti untuk memperbaiki outcome
sebagai cara diagnosis infeksi intrauterine (Rekomendasi B).
7. Eritromisin perlu diberikan 10 hari paskadiagnosis KPD preterm
(Rekomendasi A).
8. Kortikosteroid antenatal harus diberikan pada wanita dengan KPD preterm
(Rekomendasi A).
9. Tokolisis pada KPD preterm tidak direkomendasikan karena
penatalaksanaan ini tidak secara signifikan memperbaiki outcome perinatal
(Rekomendasi A).
10. Persalinan harus dipikirkan pada usia gestasi 34 minggu. Ketika manajemen
ekspektatif mungkin di atas usia gestasi ini, ibu harus tetap diinformasikan
bahwa ada resiko korioamnionitis yang meningkat dan resiko masalah
respirasi neonatus yang menurun. (Rekomendasi B).
11. Amnioinfus selama persalinan tidak direkomendasikan pada wanita dengan
KPD karena tidak ada bukti yang cukup. Amnioinfusi juga tidak terbukti
mencegah hipoplasia pulmoner.
12. Tidak ada bukti yang cukup bahwa fibrin sealants adalah tatalaksana rutin

27
dari oligohidramnion trimester kedua karena KPD preterm.1,9

Gambar 3. Algoritma Manajemen Ketuban Pecah Dini

Komplikasi

A. Komplikasi Ibu
Komplikasi pada ibu yang terjadi biasanya berupa infeksi intrauterine.
Infeksi tersebut dapat berupa endomyometritis, maupun korioamnionitis yang
berujung pada sepsis. Pada sebuah penelitian, didapatkan 6,8% ibu hamil dengan

28
KPD mengalami endomyometritis purpural, 1,2% mengalami sepsis, namun tidak
ada yang meninggal dunia. Diketahui bahwa yang mengalami sepsis pada
penelitian ini mendapatkan terapi antibiotik spektrum luas, dan sembuh tanpa
sekuele. Sehingga angka mortalitas belum diketahui secara pasti. 40,9% pasien
yang melahirkan setelah mengalami KPD harus dikuret untuk mengeluarkan sisa
plasenta,, 4% perlu mendapatkan transfusi darah karena kehilangan darah secara
signifikan. Tidak ada kasus terlapor mengenai kematian ibu ataupun morbiditas
dalam waktu lama.1
B. Komplikasi Janin
Salah satu komplikasi yang paling sering terjadi adalah persalinan lebih
awal. Periode laten, yang merupakan masa dari pecahnya selaput amnion sampai
persalinan secara umum bersifat proporsional secara terbalik dengan usia gestasi
pada saat KPD terjadi. Sebagai contoh, pada sebuah studi besar pada pasien aterm
menunjukkan bahwa 95% pasien akan mengalami persalinan dalam 1 hari
sesudah kejadian. Sedangkan analisis terhadap studi yang mengevaluasi pasien
dengan preterm 1 minggu, dengan sebanyak 22 persen memiliki periode laten 4
minggu. Bila KPD terjadi sangat cepat, neonatus yang lahir hidup dapat
mengalami sekuele seperti malpresentasi, kompresi tali pusat, oligohidramnion,
necrotizing enterocolitis, gangguan neurologi, perdarahan intraventrikel, dan
sindrom distress pernapasan.1
C. Penatalaksanaan Komplikasi
Pengenalan tanda infeksi intrauterin, tatalaksana infeksi intrauterin. Infeksi
intrauterin sering kronik dan asimptomatik sampai melahirkan atau sampai pecah
ketuban. Bahkan setelah melahirkan, kebanyakan wanita yang telah terlihat
menderita korioamnionitis dari kultur tidak memliki gejala lain selain kelahiran
preterm: tidak ada demam, tidak ada nyeri perut, tidak ada leukositosis, maupun
takikardia janin. Jadi, mengidentifikasi wanita dengan infeksi intrauterin adalah
sebuah tantangan besar. Tempat terbaik untuk mengetahui infeksi adalah cairan
amnion. Selain mengandung bakteri, cairan amnion pada wanita dengan infeksi
intrauterin memiliki konsentrasi glukosa tinggi, sel darah putih lebih banyak,
komplemen C3 lebih banyak, dan beberapa sitokin. 1
Mengukur hal di atas diperlukan amniosentesis, namun belum jelas apakah

29
amniosentesis memperbaiki keluaran darikehamilan, bahkan pada wanita hamil
dengan gejala persalinan prematur. Akan tetapi tidak layak untuk mengambil
cairan amnion secara rutin pada wanita yang tidak dalam proses melahirkan. Pada
awal 1970, penggunaan jangka panjang tetrasiklin, dimulai dari trimester tengah,
terbukti mengurangi frekuensi persalinan preterm pada wanita dengan bakteriuria
asimtomatik maupun tidak. Tetapi penanganan ini menjadi salah karena adanya
displasia tulang dan gigi pada bayi. 1
Pada tahun-tahun terakhir, penelitian menunjukkan bahwa tatalaksana
dengan metronidazole dan eritromisin oral dapat secara signifikan mengurangi
insiden persalinan preterm apabila diberikan secara oral, bukan vaginal. Ada pula
penelitian yang menunjukkan efikasi metronidazole dan ampisilin yang menunda
kelahiran, meningkatkan rerata berat bayi lahir, mengurangi persalinan preterm
dan morbiditas neonatal. Sekitar 70-80% perempuan yang mengalami persalinan
prematur tidak melahirkan prematur. Perempuan yang tidak mengalami
perubahan serviks tidak mengalami persalinan prematur sehingga sebaiknya tidak
diberikan tokolisis. Perempuan dengan kehamilan kembar sebaiknya tidak
diterapi secara berbeda dibandingkan kehamilan tunggal, kecuali jika risiko
edema paru lebih besar saat diberikan betamimetic atau magnesium sulfat. Belum
ada bukti yang cukup untuk menilai penggunaan steroid untuk maturitas paru-
paru janin dan tokolisis sebelum gestasi 23 minggu dan setelah 33 minggu.1
Amniosintesis dapat dipertimbangkan untuk menilai infeksi intra amnion
(IIA) (insidens sekitar 5-15%) dan maturitas paru-paru (khususnya antara 33-35
minggu). IIA dapat diperkirakan berdasarkan status kehamilan dan Panjang
serviks. Kortikosteroid (Betametason 12 mg IM 2 x 24 jam) diberikan kepada
perempuan dengan persalinan prematur sebelumnya pada 24-<30 detik).1

30
DAFTAR PUSTAKA

1. PNPK. Ketuban Pecah Dini. POGI-HKFM. 2016


2. Cunningham, et all. Williams Obstetric 23rd edition. EGC : Jakarta. 2014
3. Anthony R. Introduction to PPROM. Obstet Gyne Clinics of North America
1992; 19(: 241-247)
4. Mercer BM, Crocker LG, Pierce WF, Sibai BM. Clinical characteristics and
outcome of twin gestation complicated by preterm premature rupture of the
membranes. Journal Obstetri Gynecology. 1993 May;168(5):1467-73.
5. American College of Obstetrics and Gynecology. ACOG Practice Bulletin No. 80:
Premature rupture of membranes. Clinical management guidelines for obstetrician-
gynecologists. Obstet Gynecol. 2007 Apr;109(4):1007-19.
6. Caughey AB, Robinson JN, Norwitz ER. Contemporary diagnosis and management
of preterm premature rupture of membranes. Rev Obstet Gynecol. 2008
Winter;1(1):11-22.
7. Royal Hospital for Women. Obstetric clinical guidelines group: preterm premature
rupture of membranes assessment and management guideline. 2009 Oktober.
Diunduh dari seslhd.health.nsw.gov.au pada 24 Agustus.
8. Royal Hospital for Women. Obstetric clinical guidelines group: preterm premature
rupture of membranes assessment and management guideline. 2009 Oktober.
Diunduh dari seslhd.health.nsw.gov.au pada 24 Agustus.
9. Women and Newborn Health Service. King Edward Memorial Hospital. Clinical
Guidelines Obstetrics and Midwifery Guidelines. September 2002.
10. Angelini DJ, Afontaine D. Obstetric triage and emergency care protocols.
Academic Emergency Medicine. Volume 20, Issue 4, page E10, April 2013. New
York, NY: Springer Publishing Co., 2013; 336
11. Dayal S, Hong PL. Premature Rupture of Membranes. New York: StatPearls
Publishing; 2021.
12. Negara KS, Mulyana RS, Pangkahila ES. Buku Ajar Ketuban Pecah Dini.
Denpasar: Fakultas Kedokteran Universitas Udayana; 2017.
13. Edgar K. Preterm Prelabor Rupture of Membranes. Jurnal The Calgary Guide.
September 2015.

31
32

Anda mungkin juga menyukai