Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN KASUS

KOLESTASIS

Disusun untuk Memenuhi Tugas Program Internship Dokter Indonesia

Disusun oleh:
dr. Muhammad bagus syaiful C

Pendamping :

dr. lanira

RUMAH SAKIT KOTA MATARAM


NUSA TENGGARA BARAT
TAHUN 2022

1
BAB I
PENDAHULUAN

Ikterus disebabkan oleh peningkatan kadar bilirubin di darah. Hal ini dapat
disebakan karena produksi bilirubin yang berlebihan, dan kegagalan metabolisme
serta ekskresi dari bilirubin. Kolestasis merupakan salah satu penyabab tersering
dari ikterus.1

Kolestasis adalah suatu kelainan yang dapat ditemukan pada semua usia,
baik infant, anak-anak, ataupun dewasa. Kejadian kolestasis pada anak merupakan
hal yang cukup jarang terjadi, dan biasanya berhubungan dengan kelaianan
intrahepatal. Penegakkan dianosa harus dilakukan dengan cepat dan tepat, untuk
meminimalisis kemungkinan terjadinya komplikasi. Pada kolestasis intrahepatal
yang bersifat herediter, komplikasi yang sering disebabkan adalah penyakit hati
kronis pada anak-anak, dan merupakan suatu indikasi utama untuk dilakukan
transplantasi hati.2

Masih sedikitnya angka kejadian kasus kolestasis pada anak, menyebabkan


minimnya informasi yang bisa didapatkan tentang penyakit tersebut. Oleh karena
itu, dalam kasus ini akan dibahas seorang anak laki-laki usia 13 tahun dengan
kolestasis intrahepatik. Dalam kasus ini penulis ingin mencari tahu lebih lanjut
tentang penyebab terjadinya kolestasis.

2
BAB II
LAPORAN KASUS

Tanggal Masuk RSUD Praya : 20 april2022


Nomor RM : 240264
Diagnosis masuk : Suspek cholestasis
Waktu Pemeriksaan : 20 april 2022

2.1 IDENTITAS PASIEN


 Nama lengkap : An. II
 Jenis kelamin : Laki-laki
 Tempat tanggal lahir : mataram, 1 Februari 2009
 Usia : 13 tahun
 Status : Anak kandung
 Anak ke- : 1 (Satu)
 Alamat : pejeruk
 Suku : Sasak
 Agama : Islam

2.2 IDENTITAS KEDUA ORANG TUA PASIEN


Ibu Ayah

Nama Ny. Nur Tn. Muhammad

Usia 40 tahun 40 tahun

Pendidikan terakhir SMP SMP

Pekerjaan Ibu rumah tangga Wiraswasta

Golongan darah - -

3
2.3 HETEROANAMNESIS
Heteronamnesis dilakukan pada 20 april 2022

a. Keluhan utama : Kuning

b. Riwayat penyakit sekarang


Pasien mulai mengeluh tampak kuning sejak 3 hari SMRS. Kuning
terutama tampak pada mata pasien. Keluhan ini disertai dengan rasa gatal
pada seluruh tubuh pasien. Selain kuning dan gatal, pasien juga
mengeluhkan kencing berwarna kemerahan seperti teh yang terjadi sejak 3
hari SMRS, dan membaik sejak 1 hari terkahir. Pasien juga mengeluhkan
nyeri perut kanan atas yang hilang timbul dan sudah membaik. Selain itu,
4 hari sebelum MRS pasien juga mengalami mual, muntah serta diare,
namun telah membaik. Ibu pasien mengatakan BAB pasien pucat seperti
dempul namun telah kembali normal.
Pasien menyangkal adanya keluhan lain seperti nyeri perut serta
demam. Selain itu, pasien juga menyangkal adanya riwayat mengkonsumsi
obat-obatan.
c. Riwayat penyakit dahulu
Ibu pasien menyangkal pasien pernah mengalami keluhan serupa
sebelumnya.
d. Riwayat penyakit keluarga yang diturunkan
Paman pasien memiliki keluahan serupa, yakni pernah mengalami
sakit kuning.
e. Riwayat kehamilan dan persalinan

- Riwayat kehamilan
Ibu pasien mengatakan rutin melakukan pemeriksaan kehamilan.
Ibu tidak pernah mengkonsumsi obat-obatan tertentu saat hamil, hanya

4
mengkonsumsi vitamin dan zat besi yang diberikan oleh di posyandu.
Ibu pasien menyangkal riwayat sakit ataupun jatuh saat hamil.
- Riwayat persalinan
Ibu pasien melahirkan spontan secara pervaginam di Polindes
ditolong oleh bidan. Ibu pasien melahirkan pada usia kehamilan cukup
bulan (38-39 minggu). Ibu pasien mengaku anaknya segera menangis saat
lahir. BBL (berat badan lahir) 3400 gram. Ibu pasien lupa PBL (panjang
badan lahir) dan LK (lingkar kepala) pasien.

f. Riwayat nutrisi
0 - 6 bulan : ASI
6 bulan - 11 bulan : ASI + bubur sun
11 bulan - 2 tahun : ASI + nasi (dengan ikan, sayur, dan lauk
pauk lainnya)
2 tahun- sekarang : Makanan dewasa berupa nasi, ikan/ayam,
sayur, buah, sebanyak 1 piring dengan
frekuensi 3-4x/hari.
g. Riwayat imunisasi
Ibu pasien mengatakan ia rutin membawa pasien ke posyandu saat
masih kecil. Semua imunisasi dasar didapatkan pasien sesuai usia.

h. Riwayat ekonomi dan lingkungan

Pasien berasal dari keluarga dengan status ekonomi menengah ke


bawah. Ayah pasien bekerja sebagai pedagang dengan penghasilan 200
rb/hari. Pasien tidak tinggal dengan orang tuanya sejak 2 tahun terakhir,
karena pasien sekolah di pondok pesantren. Tidak ada yang mengalami
keluhan seperti pasien di lingkungan pesantren.

2.4 PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan fisik dilakukan pada 20 april 2022

a. Kesadaran : E4V5M6 (compos mentis)

5
b. Tanda vital
i. Nadi : 93 kali/menit, isi dan tegangan cukup, irama
teratur
ii. Suhu tubuh : 36.8oC
iii. Frekuensi nafas : 20 kali/menit, tipe thoraco-abdominal
iv. Saturasi : 98 % dengan udara ruangan
v. Tekanan darah : 120/80 mmHg

c. Penilaian pertumbuhan
perhitungan status gizi dengan grafik Z-score WHO

Berat badan: 32 kg BB/U: SD


Tinggi badan: 143 cm TB/U: 1-2 SD
IMT: 15,6 IMT/u: 1-2 SD
*Gizi baik
d. Pemeriksaan lokalis

Kepala
Inspeksi: Normocephali, massa (-), persebaran rambut merata dan berwarna hitam,
edema (-)
Palpasi: Massa (-)

Wajah dan Leher


Wajah: simetris, wajah dismorfik (-)
Mata: Inspeksi: Konjungtiva anemis (-/-),sklera ikterus (+/+), edema palpebra (-/-)
Telinga Inspeksi: Bentuk normal, deformitas (-), serumen (-/-), Low set ear (-)
Hidung Inspeksi: Simetris, deformitas (-), napas cuping hidung (-), rhinorrhea (-),
perdarahan (-), deviasi septum (-)

Mulut Inspeksi: Sianosis sentral (-), mukosa bibir basah (+), mukosa bukal kuning (+)
Leher Inspeksi: Massa (-)

6
Palpasi: Pembesaran kelenjar getah bening (-)

Thoraks
Inspeksi: Pergerakan dinding dada simetris (+/+)
Retraksi (-/-)
Palpasi: Pengembangan dinding dada simetris (+/+)
Perkusi: Cor  redup
Pulmo  redup
Auskultasi Cor: S1tunggal S2 split tak konstan, regular, murmur (-), gallop (-)
:
Pulmo: bronkovesikuler (+/+), crackles halus (-/-), wheezing (-/-)

Abdomen
Inspeksi: Distensi (-)
Palpasi: Nyeri tekan (+) pada kuadran kanan atas, turgor kulit normal, hepar dan limpa
tidak teraba, tidak teraba ballotement.
Perkusi: Timpani seluruh lapang abdomen
Auskultasi Bising usus (+) normal 5x/menit
:
Anogenitalia : Perempuan
Ekstremitas :
Ekstremitas superior Ekstremitas inferior

Dextra Sinistra Dextra Sinistra

Akral Hangat Hangat Hangat Hangat

Deformitas (-) (-) (-) (-)

Edema (-) (-) (-) (-)

Ikterik (-) (-) (-) (-)

Sianosis (-) (-) (-) (-)

CRT < 3 detik < 3 detik < 3 detik < 3 detik

7
2.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Penunjang
Komponen Hasil Nilai Rujukan

HGB 11,2 (-) 12.0 – 16.0 (g/dl)

RBC 3,90 (-) 4.0-5.30 (106/uL)

HCT 35,5 (n) 26.0-50.0 (%)

MCV (-) 86.0-110.0 (fL)

MCH (-) 26.0-38.0 (pg)

MCHC (n) 31.0-37.0 (g/dL)

WBC 6.400 (n) 5000-12000 (uL)

PLT 339 (n) 150-400 (103/uL)

GDS <160 (mg/dl)

Fungsi Hati
58(+) 0-40 U/l
-SGOT
198 (+) 0-41U/l
-SGPT 13,34 (+)

-Bilirubin direk 16,05 (+)

-Bilirubin total

Urinalisa
- pH 6,0
- Protein + -
- Urobilinogen +2 -
- Bilirubin +2 -

Fungsi Ginjal

8
-Ureum 10-50 mg/dL
-Kreatinin 0,9-1,3 mg/dL

2.6 RESUME

Pasien laki-laki usia 13 tahun datang dengan keluhan kuning pada mata
sejak 3 hari SMRS. Keluhan ini disertai dengan rasa gatal pada seluruh badan
pasien. Kuning dan gatal dirasakan terus menerus, disertai dengan kencing
berwarna kemerahan yang sudah mulai berkurang sejak 1 hari terakhir. Pasien
juga pernah mengalami mual muntah dan diare, namun sudah membaik.

Pada pemeriksaan fisik, kedaan umum pasien baik, tanda-tanda vital masih
dalam batas normal. Namun ditemukan adanya sklera ikterik dan mukoas bukal
ikterik. Pada pemeriksaan abdomen, hepar dan spleen pasien masih dalam batas
normal.

Pada pemeriksaan penunjang, ditemukan penurunan kadar Hb (HB= 11,2). Terjadi


peningkatan kadar SGOT=58 dan SGPT=198. Serta pada urinalisa, ditemukan
hasil Protein +, Urobilinogen +2, Bilirubin +2.

2.7 ASSESMENT

- Susp hepatitis cholestasis intrahepatik dd ekstrahepatik

2.8 RENCANA DIAGNOSIS


- USG Abdomen
2.9 RENCANA DIET
- Kebutuhan cairan : 2.030 ml/hari
- Kebutuhan protein : 3 gr/hari
- Kebutuhan kalori : 2.030 kkal/hari
- Bentuk diet : Makanan (Nasi dan lauk pauk, serta air)
- Jalur pemberian : oral
- Frekuensi pemberian : 3x1

9
2.10 RENCANA TERAPI
- Asam ursodeoksikolat 3x20 mg
- Vitamin ADEK

2.9 PROGNOSIS :

 Quo ad vitam: Dubia ad bonam


 Quo ad functionam: Dubia ad bonam
 Quo ad sanationam: Dubia ad bonam

10
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi

Kolestasis adalah semua kondisi yang menyebabkan terganggunya sekresi


dan eksresi empedu keduodenum sehingga menyebabkan tertahannya bahan-
bahan atau substansi yang seharusnya dikeluarkan bersama empedu tersebut
dihepatosit sehingga menimbulkan kerusakan. Parameter yang banyak digunakan
adalah kadar bilirubin direk serum > 1 mg/dL bila bilirubin total <5 mg/dL atau
kadar bilirubin direk >20 % dari bilirubin total bila kadar bilirubin total >5
mg/dL. Dengan demikian letak gangguannya dapat terjadi diduktus biliaris
intrahepatal ataupun ductus biiaris ekstrahepatal.1,2,3

Epidemiologi

Secara umum insidensi kolestasis kurang lebih 1:2500 kelahiran hidup.


Meskipun penyebab kolestasis sangat beragam, atresia biliaris ekstrahepatik telah
diidentifikasi sebagai penyebab tersering (lebih dari 33 %). Pada bayi biasanya
terjadi dalam 3 bulan pertama kehidupan dan disebut sindrom hepatitis neonatal.
Di Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak, FK Unud/RSUP Sanglah Denpasar selama
periode Januari 1992 – November 1993 tercatat 33 kasus kolestaiss. Di
Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM/ FKUI tercatat 99 kasus kolestasis, 68
diantaranya kasus kolestasis intrahepatik.2,4,5

Etiologi
Etiologi dibagi menjadi 2 yaitu6,7 :

11
 Ekstrahepatiik : Suatu keadaan yang dapat mengakibatkan obstruksi
saluran empedu ekstrahepatik baik total maupun parsial
o Atresia biliaris ekstrahepatik: Suatu obstruksi total duktus biliaris
ekstrahepatal
o Kista duktus koledokus: Dilatasi dari suatu segmen dukus biliaris
ekstrahepatal
o Stenosis duktus biliaris: Obstruksi parsial duktus biliaris ekstrahepatal
o Sludge dan batu atau kolelitiasis: Adanya suatu penumpukan endapan2
pada duktus biliaris ekstrahepatal, misalnya sebagai akibat dari proses
hemolitik yang berlebihan
 Intrahepatik : Gangguan yang terjadi pada tingkat hepatosit ataupun
elemen duktus biliaris yang ada di dalam hati atau intrahepatal. Penyebab-
penyebab penting yang pernah dilaporkan antara lain
o Infeksi (bakteri, virus, parasit)
o Metabolik
o Toksik
o Genetik/kromosomal
o Penyakit caroli
o Hepatitis neonatal idiopatik

12
Patofisiologi
Kolestasis intrahepatic terjadi akibat gangguan sintesis dana tau sekresi asam
empedu akibat kelainan sel hati, saluran biliaris intrahepatic serta mekanisme
trasnportasinya didalam hati. Sekresi empedu yang normal tergantung dari fungsi
beberapa transporter pada membrane hepatosit dan sel epitel duktus biliaris
(kolangiosit) dan pada struktur serta integritas fungsi apparatus sekresi empedu.
Akibatnya, berbagai keadaan/penyakit yang mempengaruhi fungsi normal tersebut
akan menimbulkan kolestasis. Pathogenesis kolestasis intrahepatic tersebut dapat
dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut.5

o Gangguan transporter (Na+ K+ ATP-ase dan Na+ bile acid co


transporting protein-NCTP) pada membrane hepatosis sehingga
ambilan asam empedu pada membrane tersebut akan berkurang.
Keadaan ini dapat terjadi misalnya pada penggunaan estrogen atau
akibat endotoksin

13
o Berkurangnya transporter intraseluler karena perubahan keseimbangan
kalsium atau kelainan mikrotubulus akibat toksin atau penggunaan
obat.
o Berkurangnya sekresi asam empedu primer atau terbentuknya asam
empedu atipik di kanalikulus biliaris yang berpotensi untuk
mengakubatkan kolestasis dan kerusakan sel hati. Keadaan ini dapat
terjadi akibat penyakit inborn error, kerusakan mikrofilamen
perikanalikulus atau berkurangnya transporter MDR 3 akibat
pemakaian endrogen atau pengaruh endotoksin
o Meningkatnya permeabilitas jalur paraseluler sehingga terjadi
regurgitasi bahan empedu akibat lesi pada tight junction, misalnya
pada pemakaian estrogen
o Gangguan pada saluran biliaris intrahepatic.

14
Gambar 1. Patofisiologi kolestasis

Manifestasi Klinis

Tanpa memandang etiologinya yang sangst beragam, sindorma klinik yang


timbul akibat kolestasis intrahepatic berawal dari gejala icterus, urine berwarna
lebih gelap, dan tinja berwarna lebih pucat atau fluktuatif sampai dempul
(akholik) tergantung pada pola makan/minum, lamanya kolestasis berlangsung,
serta luasnya kerusakan hati yang sudah terjadi. Urin yang lebih gelap pada bayi
mungkin tidak terlampau nyata karena volume urin yang relative banyak. Ikterus
pada bayi biasanya merupakan icterus fisiologis yang melanjut, dan pada bagian
kecil timbul pada umur 5-8 minggu, bahkan pada beberapa kasus timbul pada
umur bayi yang lebih lanjut.9

Diagnosis

 Anamnesis
Hasil anamnesis diharapkan dapat menjadi pemandu pencarian etiologi
dan faktor risiko kolestasis. Hal-hal yang sering ditanyakan adalah sbb:
o Riwayat kehamilan dan kelahiran: riwayat obsteri ibu (infeksi
TORCH, hepatitis B, dan infeksi lain), berat badan lahir (pada infeksi
biasanya didapatkan Kecil Masa Kehamilan sedangkan pada atresia
biliaris biasanya didapatkan Sesuai Masa kehamilan), infeksi
intrapartum, morbiditas perinatal, riwayat pemberian nutrisi parenteral

15
o Riwayat keluarga: bila saudara kandung pasien ada yang menderita
penyakit serupa maka kemungkinan besar merupakan suatu kelainan
genetik/metabolik
o Risiko hepatitis virus hepatotropik, paparan terhadap toksin / obat-
obatan
 Pemeriksaan fisik
Untuk mencari etiologi atau ada tidaknta komplikasi kolestasis

o Fasies dismorfik : pada Sindrom Alagille


o Mata :
- Katarak : pada infeksi TORCH
- Choreoretinitis : pada infeksi TORCH
- Posterior embryotoxon : pada Sindrom Alagille
o Thoraks :
o bising jantung : pada Sindrom Alagille, atresia biliaris
o Abdomen :
- Hepar : mengetahui apakah sudah terjadi sirosis : hepatomegali atau
sudah mengecil, konsistensi kenyal atau sudah mengeras, permukaan
masih licin atau sudah berbenjol-benjol
- Lien : pelacakan hipertensi portal atau mencari kemungkinan infeksi
- Asites : gangguan sintesis albumin
- Vena kolateral : pelacakan hipertensi portal
o Kulit :
ikterus, spider angioma, eritema palmaris

 Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium

1. Tes Hati

o Transaminase

16
Transaminase serum, alanine aminotransferase (ALT) dan aspartat
aminotransferase (AST) merupakan tes yang paling sering dilakukan
untuk mengetahui adanya kerusakan hepatoseluler karena tes ini
spesifik untuk mendeteksi adanya nekrosis hepatosit, akan tetapi tidak
spesifik. AST dijumpai dalam kadar yang tinggi pada berbagai
jaringan, antara lain hati, otot jantung, otot skelet, ginjal, pankreas, dan
sel darah merah. Apabila ada kerusakan pada jaringan-jaringan
tersebut maka akan terjadi kenaikan kadar enzim ini dalam serum.
Dibandingkan dengan ALT, AST lebih spesifik untuk mendeteksi
adanya penyakit hati karena kadar di jaringan lain relatif lebih rendah
dibandingkan dengan kadar di hati.

o Gamma-glutamyltrasnferase (GGT)
GGT merupakan enzim yang dapat ditemukan pada epitel duktuli
biliaris dan hepatosit hati. Aktivitasnya dapat ditemukan pada
pankreas, lien, otak, mammae, dan intestinum dengan kadar tertinggi
pada tubulus renal. Karena enzim ini dapat ditemukan pada banyak
jaringan, peningkatannya tidak spesifik mengindikasikan adanya
penyakit hati. Pada bayi baru lahir dapat dijumpai kadar GGT yang
sangat tinggi, lima sampai delapan kali lebih tinggi dari batas atas
kadar normal pada orang dewasa. Pada bayi prematur, kadar GGT
dapat lebih tinggi dibanding bayi cukup bulan pada minggu pertama
kehidupan. Kemudian secara perlahan akan turun, baik pada bayi
prematur maupun cukup bulan dan mencapai kadar normal orang
dewasa pada usia 6-9 bulan. Apabila dibandingkan dengan tes serum
yang lain, GGT merupakan indikator yang paling sensitif untuk
mendeteksi adanya penyakit hepatobilier. Kadar GGT tertinggi
ditemukan pada obstruksi hepatobilier, tetapi pada kolestasis
intrahepatik (contohnya pada Sindrom Alagille) dapat dijumpai kadar
ekstrem yang sangat tinggi. Peningkatan kadar GGT pada kolestasis

17
intrahepatik dan ekstrahepatik bervariasi dan tidak dapat digunakan
untuk membedakan diantara keduanya.
2. Tes Fungsi Hati
o Albumin
Albumin merupakan protein utama serum yang hanya disintesis di
retikulum endoplasma hepatosit dengan half-life dalam serum sekitar
20 hari. Fungsi utamanya adalah untuk mempertahankan tekanan
koloid osmotik intravaskular dan sebagai pembawa (carrier) berbagai
komponen dalam serum, termasuk bilirubin, ion-ion inorganik
(contohnya kalsium), serta obat-obatan.
Penurunan kadar albumin serum dapat disebabkan karena
penurunan produksi akibat penyakit parenkim hati. Kadar albumin
serum digunakan sebagai indikator utama kapasitas sintesis yang
masih tersisa pada penyakit hati. Karena albumin memiliki half-life
yang panjang, kadar albumin serum yang rendah sering digunakan
sebagai indikator adanya penyakit hati kronis.
Pada pasien dengan asites, penurunan kadar albumin lebih
disebabkan karena terjadi peningkatan volume distribusi dibanding
penurunan sintesis. Penyebab hipoalbuminemia non-hepatik lainnya
adalah malnutrisi serta kehilangan yang berlebihan dari urin (pada
nefrosis) dan usus (pada protein-losing enteropathies).
o Faktor koagulasi
Hati memiliki 3 peranan dalam mengontrol koagulasi, yaitu :
- Produksi semua faktor koagulasi kecuali faktor von Willebrand
- Produksi dan pemecahan faktor integral menjadi fibrinolisis, seperti
plasminogen dan aktivator plasminogen
- Clearance faktor pembekuan dari sirkulasi.
Sintesis faktor II, VII, IX, dan X tergantung pada suplai vitamin K,
suatu vitamin larut lemak yang mungkin tidak diabsorbsi dengan baik
pada pasien kolestasis, yang adekuat. Vitamin K berperan sebagai
kofaktor dalam kaskade homeostasis. Karena kapasitas penyimpanan

18
vitamin K di hati sangat terbatas, maka apabila terjadi gangguan
absorbsi maka PT dan PTT akan meningkat
USG Abdomen
USG abdomen merupakan pemeriksaan radiologis yang paling berguna
pada evaluasi awal kolestasis. USG dapat menunjukkan ukuran dan keadaan hati
dan kandung empedu, mendeteksi adanya obstruksi pada sistem bilier oleh batu
maupun endapan, ascites, dan menentukan adanya dilatasi obstruktif atau kistik
pada sistem bilier. Pada saat puasa kandung empedu bayi normal pada umumnya
akan terisi cairan empedu sehingga akan dengan mudah dilihat dengan USG.
Setelah diberi minum, kandung empedu akan berkontraksi sehingga ukuran
kandung empedu akan mengecil. Pada atresia biliaris, saat puasa kandung empedu
dapat tidak terlihat. Hal ini kemungkinan disebabkan adanya gangguan patensi
duktus hepatikus dan duktus hepatikus komunis sehingga terjadi gangguan aliran
empedu dari hati ke saluran empedu ekstrahepatik. Pada keadaan ini USG setelah
minum tidak diperlukan lagi. Pada keadaan lain dapat terlihat kandung empedu
kecil saat puasa dan setelah minum ukuran kandung empedu tidak berubah. Hal
ini kemungkinan disebabkan karena adanya gangguan aliran empedu dari kandung
empedu melewati duktus koledokus komunis ke duodenum. Tanda “triangular
cord” yaitu ditemukan adanya densitas ekogenik triangular atau tubular di kranial
bifurcatio vena porta sangat sensitif dan spesifik menunjukkan adanya atresia
biliaris (sensitivitas 93%, spesifisitas 96%).

Komplikasi
Beberapa komplikasi yang sering terjadi adalah sebagai berikut1,2,5,6:
a) Pruritus
Pruritus. Pruritus merupakan morbiditas yang penting dan sering terjadi
baik pada kolestasis intrahepatik maupun ekstrahepatik. Daerah
predileksinya meliputi seluruh bagian tubuh dengan daerah telapak tangan
dan kaki, permukaan ekstensor ekstremitas, wajah, telinga, dan trunkus
superior memiliki tingkat keparahan yang lebih tinggi. Mekanisme

19
terjadinya pruritus masih belum diketahui secara pasti. Deposit garam
empedu di kulit diketahui memiliki efek pruritogenik secara langsung.
Namun sudah dibuktikan bahwa teori ini tidak benar. Sebagai tambahan,
hiperbilirubinemia indirek tidak dapat menyebabkan pruritus.
Teori lain menyatakan bahwa pruritus pada kolestasis disebabkan karena
konsentrasi garam empedu yang tinggi di hati menyebabkan kerusakan
hati sehingga terjadi pelepasan substansi yang bersifat pruritogenik
(misalnya histamin). Akumulasi opioid endogen, yang diketahui dapat
memodulasi pruritus dan meningkatkan tonus opioidergik di otak, saat ini
sedang menjadi perhatian karena antagonis opioid telah dibuktikan dapat
mengurangi pruritus pada kolestasis

b) Hiperlipidemia.
Hiperlipidemia dan Xanthoma merupakan komplikasi yang sering terjadi
pada kolestasis intrahepatik (contohnya Sindrom Alagille). Pada kolestasis
terjadi gangguan aliran empedu yang akan menyebabkan meningkatnya
kadar lipidoprotein di sirkulasi sehingga terjadi hiperkolesterolemia
(kolesterol serum mencapai 1000-2000 mg/dL). Hal ini akan
menyebabkan terdepositnya kolesterol di kulit, membran mukosa, dan
arteri. Risiko atherosklerosis pada anak dengan kolestasis kronis tidak
diketahui, tetapi hiperkolesterolemia berat pada Sindrom Alagille
diketahui berhubungan dengan penumpukan lipid di ginjal yang
menyebabkan gagal ginjal dan penumpukan plak aterom di aorta dalam
beberapa tahun pertama kehidupan.
c) Sirosis dan gagal hati dapat tejadi pada pasien yang mengalami
keterlambatan diagnosis sehingga fungsi hati sudah tidak dapat
dipertahankan lagi.

Tatalaksana7,8

20
1. Kausal
Terapi spesifik pada kolestasis bergantung pada penyebabnya. Operasi
Kasai dan transplantasi hati dapat dilakukan pada atresia biliaris.
2. Suportif
Apabila tidak ada terapi spesifik maka dilakukan terapi suportif yang
bertujuan untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangan seoptimal
mungkin serta meminimalkan akibat komplikasi kolestasis. Terapi suportif
pada kolestasis meliputi :
o Medikamentosa
o Asam ursodeoksikolat
Umumnya digunakan sebagai agen pilihan pertama pada pruritus
yang disebabkan karena kolestasis, kolestasis yang disebabkan
karena nutrisi parenteral, dan atresia biliaris. Asam ursodeoksikolat
merupakan asam empedu hidrofilik yang bekerja pada bile pool
dengan menggantikan asam empedu hidrofobik serta meningkatkan
aliran empedu.
o Rifampin
Rifampin berfungsi menghambat uptake asam empedu oleh
hepatosit serta menstimulasi pelepasan enzim-enzim hepar.
o Kolestiramin
Kolestiramin dapat mengikat asam empedu di lumen usus sehingga
dapat menghalangi sirkulasi enterohepatik asam empedu serta
meningkatkan ekskresinya. Selain itu kolestiramin dapat
menurunkan umpan balik negatif ke hati, memacu konversi
kolesterol menjadi bile acids like cholic acid yang berperan sebagai
koleretik. Kolestiramin biasanya digunakan pada manajemen
jangka panjang kolestasis intrahepatal dan hiperkolesterolemia.
o Phenobarbital
Phenobarbital dapat meningkatkan aliran asam empedu,
meningkatkan sintesis asam empedu, menstimulasi pelepasan
enzim-enzim hepar, sehingga dapat menurunkan kadar asam

21
empedu dalam sirkulasi. Akan tetapi phenobarbital dapat
menyebabkan sedasi dan gangguan perilaku sehingga
penggunaannya terbatas.
o Nutrisi

Kekurangan Energi Protein (KEP) sering terjadi sebagai akibat dari


kolestasis (terjadi pada lebih dari 60% pasien). Steatorrhea sering
terjadi pada bayi dengan kolestasis. Penurunan ekskresi asam empedu
menyebabkan gangguan pada lipolisis intraluminal, solubilisasi dan
absorbsi trigliserid rantai panjang. Maka pada bayi dengan kolestasis
diperlukan kalori yang lebih tinggi dibanding bayi normal untuk
mengejar pertumbuhan.
o Intake kalori dan protein yang cukup
 kebutuhan kalori umumnya dapat mecapai 125%
kebutuhan bayi normal sesuai dengan berat badan ideal
 kebutuhan protein : 2-3 gr/kgBB/hari
 sebagai tambahan dapat diberikan lemak rantai sedang
(medium chain triglyceride)  karena tidak
memerlukan pelarutan oleh garam empedu sebelum
diabsorbsi usus
o Suplementasi vitamin larut lemak
Asam empedu dibutuhkan dalam proses absorbsi vitamin-
vitamin larut lemak (A, D, E, K). Untuk mencegah komplikasi
akibat defisiensi vitamin-vitamin tersebut perlu diberikan
suplementasi oral. Suplementasi tetap diberikan minimal
sampai 3 bulan bebas icterus.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Pudjiadi, dkk. 2015. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak

Indonesia. Jakarta: IDAI .

2. Karyana, I,P,G dan Putra, I,G,N,S. 2010. Pedoman Pelayanan Medis Ilmu

Kesehatan Anak. Denpasar : SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUP Sanglah

3. NASPGHN. The Neonatal Cholestasis Clinical Practice Guidelines.

Website. Available at : URL : www.naspghn.sub/positionpapers.asp

4. Karpen SJ. Mechanisms of Bile Formation and Cholestasis. In : Suchy FJ,

Sokol RJ, Balistreri W, eds. Liver Disease in Children. 3rd ed. New York :

Cambridge University Press ; 2007

5. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2019. Profil Kesehatan

Indonesia Tahun 2018 [pdf].

6. NASPGHN. Guideline for the Evaluation of Cholestasis Jaundice in

Infants : Reccomendations of the North American Society for Pedatric

23
Gastroenterology, Hepatology and Nutrition. J of Ped Gastroenterol and

Nutr 2004;39 : 115-128.

7. Suchy FJ. Neonatal Cholestasis. Pediatr Rev 2014; 25: 388-396.


8. Venigalla S, Gourley GR. Neonatal Cholestasis. J Ar Neonat For 2015; 2:
27-34.

24

Anda mungkin juga menyukai