Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa yang telah memberikan
limpahan berkah dan rahmat-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan tugas Tinjauan Pustaka
pada blok XI Blok Hematopoetik dan Limforetikuler. Tinjaun Pustaka yang saya buat berjudul
TORCH.
Harapan saya semoga tugas Tinjauan Pustaka ini bisa berguna bagi teman-teman yang
membacanya dan khususnya bagi saya. Saya sadar sepenuhnya bahwa tugas ini jauh dari
kesempurnaan. Maka dari itu, saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi
tercapainya kesempurnaan laporan ini.
(Penasti Khairunnisa)
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR. 1
DAFTAR ISI 2
1. PENDAHULUAN. 3
2. PEMBAHASAN 4
2.1 Toksoplasma. 4
2.2 Rubella. 9
2.3 Cytomegalovirus.. 18
3. PENUTUP 23
3.1 Kesimpulan 23
DAFTAR PUSTAKA... 24
2
BAB 1. PENDAHULUAN
TORCH adalah suatu istilah yang mengacu pada sekumpulan penyakit infeksi yaitu
Toxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus, Herpes Simplex Virus, dan penyakit yang lainnya
seperti Shypilis. Torch merupakan sekelompok infeksi yang dapat ditularkan melalui Ibu hamil
kepada janinnya melalui plasenta. Hal ini dapat menginfeksi kapan saja selama kehamilan
ataupun saat proses kelahiran. Penyakit infeksi ini tidak hanya ditemukan pada saat kehamilan
saja melainkan juga dapat ditemukan pada orang dewasa, anak muda, bahkan orang tua.[3,5]
Infeksi Torch dapat menyerang semua jaringan organ tubuh termasuk sistem saraf pusat
maupun perifer yang mengendalikan fungsi gerak, penglihatan, pendengaran, sistem
kardiovaskuler bahkan sistem metabolisme tubuh manusia. Infeksi ini biasanya disebabkan oleh
virus yang menyerang tubuh manusia. Masing-masing infeksi yang menyerang tubuh manusia
mempunyai gejala dan proses masing-masing. Toxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus, Herpes
Simplex Virus, and other disease adalah salah satu dari infeksi yang disingkat namanya sebagai
penyakit TORCH. Jika salah satu diantara penyakit infeksi tersebut menyerang manusia, maka
dapat dikatakan manusia tersebut mengidap Torch, namun yang membedakannya nanti adalah
dalam penatalaksanaan yang dilakukan kepada pasien yang terkena.[3]
Diagnosis yang dilakukan untuk mengetahui penyakit ini adalah dengan melakukan tes
ELISA untuk mendeteksi jumlah antibody yang ada. Jika manusia terkena Toxoplasma maka
jumlah antibody IgM dinyatakan positif sebanyak 40 (10,52%), Rubella sebanyak 102 (26,8%),
Cytomegalovirus 32 (8,42%), dan Herpes simplex virus 14 (3,6%). Antibodi IgG memberikan
hasil positif terhadap penyakit infeksi tersebut.[1,2]
3
2. PEMBAHASAN
2.1 Toksoplasma
2.1.1 Definisi
Toksoplasma adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh parasite toksoplasma gondii.
Toksoplasma ini dikatakan sebagai zoonosis yaitu suatu penyakit pada hewan yang dapat
ditularkan kepada manusia. Toksoplasma gondii merupakan suatu sporozoa dimana toksoplasma
gondii ini merupakan suatu parasite intraseluller yang menginfeksi pada manusia dan hewan.[6]
2.1.2 Etiologi
Toksoplasma disebabkan oleh infeksi dari jenis sporozoa yaitu disebut dengan
toksoplasma gondii. Hospes definitive dari Toksoplasma gondii ini adalah kucing dan binataang
sejenisnya. Hospes perantaranya adalah manusia, mamalia lainnya dan burung. Parasit ini akan
menyebabkan toksoplasmosis kongenital dan toksoplasmosis akuisita.[6]
Dalam sel epitel usus halus kucing berlangsung daur aseksual (skizogoni) dan daur seksual
(gametogoni, sporogoni) yang menghasilkan ookista yang dikeluarkan bersama tinja. Ookista
menghasilkan 2 sporokista yang masing-masing mengandung 4 sporozoit. Bila Ookista tertelan
oleh mamalia atau burung maka disana akan terbentuk trofozoit, trofozoit yang membelah akan
membentuk takizoit, membentuk kista yang mengandung bradizoit. Takizoit berkembang biak
dalam sel secara endodiogeni. bila sel penuh dengan takizoit, maka sel akan menjadi pecah dan
takizoit akan masuk ke sel-sel disekitarnya atau difagositosis oleh sel makrofag. Kista jaringan
dibentuk didalam sel hospes bila takizoit yang membelah telah membentuk dinding. Cara Infeksi
dari toksoplasma gondii adalah :
4
3. Infeksi juga dapat terjadi di laboratorium pada orang yeng bekerja dengan binatang
percobaan yang diinfeksi T.gondii melalui jarum suntik dan alat laboratorium lain yang
terkontaminasi. Ibu yang sedang hamil tidak dianjurkan untuk bekerja dengan T.gondii
yang hidup. Autopsi juga dapat menyebabkan infeksi dari T.gondii.
4. Infeksi dapat terjadi dengan transplantasi organ dari donor yang menderita
toksoplasmosis laten.
5. Transfusi darah lengkap juga dapat menyebabkan infeksi.[6]
2.1.3 Epidemiologi
Toxoplasma gondii pada tahun 1908 pertama kali ditemukan pada binatang mengerat,
yaitu Ctenodactylus gundi, disuatu laboratorium di Tunisa dan pada seekor kelinci di
laboratorium di Brazil. Pada tahun 1937 parasit ini ditemukan pada neonates dengan ensefalitis.
Walaupun transmisi intrauterine secara trasnplasental sudah diketahui, baru pada tahun 1970
daur hidup parasite ini menjadi jelas, ketika ditemukannya daur seksual pada kucing. Setelah
dikembangkan tes serologi yang sensitive oleh Sabin dan Feldman (1984), zat anti T.gondii
ditemukan kosmopolit terutama didaerah dengan iklim panas dan lembab.[6]
2.1.4 Patogenesis
Setelah invasi yang biasanya terjadi diusus, maka parasite memasuki sel berinti atau
difagositosis. sebagian parasite mati setelah difagositosis, sebagian lain brkembangbiak dalam
sel, menyebabkan sel hospes pecah dan menyerang sel-sel lain. dengan adanya parasite didalam
makrofag dan limfosit, maka penyebaran secara hematogen dan limfogen ke seluruh tubuh
mudah terjadi. Parasitemia berlangsung selama beberapa minggu. Toxoplasma gondii dapat
menyerang semua organ dan jaringan tubuh hospes, kecuali sel darah merah karena tidak berinti.
Kerusakan yang terjadi pada jaringan tubuh tergantung pada umur, virulensi strain toxoplasma,
jumlah parasite, dan organ yang diserang.[5,6]
Lesi pada susunan saraf pusat dan mata biasanya lebih permanen dan berat, oleh karena
jaringan ini tidak mempunyai kemampuan untuk regenerasi. Kelainan pada susunan saraf pusat
berupa nekrosis yang disertai dengan kalsifikasi. Pada toksoplasmosis kongenital, nekrosis pada
otak lebih sering di korteks, ganglia basal, dan daerah periventricular. Penyumbatan yang terjadi
pada foramen Monro oleh karena ependimitis mengakibatkan hidrosefalus pada bayi.
5
Pada infeksi akut diretina ditemukan reaksi peradangan fokal dengan edema dan infiltrasi
leukosit yng dapat menyebabkan kerusakan total dan pada proses penyembuhan menjadi
sikratriks dengan atrofi retina dan koroid disertai pigmentasi. Otot jantung dan otot bergaris
dapat ditemukan T.gondii tanpa menimbulkan peradangan.[6]
2.1.4 Diagnosis
Diagnostik pranatal umumnya dilakukan pada usia kehamilan 14-27 minggu (trimester
II). Aktivitas diagnosis pranatal meliputi sebagai berikut :
6
mengembangkan tindakan diagnosis prenatal untuk toksplasmosis kongenital dengan
serial/ berulang. Dikatakan prosedur ini relatif aman bila mulai dilakukan pada umur
kehamilan 19 minggu dan sterusnya.
1) Didahului oleh skrinning serologik maternal/ ibu hamil, hasilnya harus memenuhi
kriteria tertentu sebelum dilanjutkan ke prosedur diagnostik pranatal. Jika satu dari 4
syarat di bawah ini terpenuhi, akan dilakukan kordosintesis atau amniosintesis.
Antibodi IgM +
Serokonversi dengan interval waktu 2 sampai 3 minggu, perubahan dari
seronegatif menjadi seropositif IgM dan IgG
Titer IgG yang tinggi 1/ 1024 (ELISA)
Aviditas IgG 200
2) Keterampilan klinisi melakukan kordosintesis atau amniosintesis dengan tuntutan
ultrasonografi
3) Kecermatan dan keterampilan yang terlatih dalam mengerjakan pekerjaan rumit dan
khusus di laboraturium di antaranya meliputi kultur, inokulasi, teknik ELISA, dan
PCR
2.1.5 Tatalaksana
Piremitamin
2) Toksoplsama kongenital
8
hari untuk mengatasi efek toksik piremitamin terhadap multiplikasi sel. Pengobatan dihentikan
ketika anak berusia 1 tahun karena diharapkan imunitas selulernya telah memadai untuk
melawan penyakit pada masa tersebut.[4]
3) Penderita imunodefisiensi
Kondisi penderita akan cepat memburuk menjadi fatal bila tidak diobati. Pengobatan di sini
sama halnya dengan toksoplasmosis kongenital yaitu menggunakan piremitamin, sulfadiazin,
dan asam folinik dalam jangka panjang. Piremitamin dan sulfadiazin dapat memlalui barier otak.
2.2 Rubella
2.2.1 Definisi
Rubella adalah penyakit yang disebabkan oleh virus rubella yang termasuk famili
Togaviridae dan genus Rubivirus. Nama "rubella" berasal dari bahasa latin yang berarti sedikit
merah. Rubella juga dikenal sebagai campak Jerman karena penyakit ini pertama kali dijelaskan
oleh dokter Jerman pada pertengahan abad kedelapan belas. Penyakit ini sering ringan dan
serangan sering berlalu tanpa diketahui. Penyakit ini bisa berlangsung satu sampai tiga hari.
Anak-anak sembuh lebih cepat daripada orang dewasa. Infeksi dari ibu oleh virus Rubella saat
hamil bisa serius, jika ibu terinfeksi dalam 20 minggu pertama kehamilan, anak bisa lahir dengan
sindrom rubella bawaan (CRS), yang memerlukan berbagai penyakit tak tersembuhkan yang
serius.[3,6]
Walaupun infeksi virus rubella itu tidak menyebabkan gejala yang jelas (asimtomatik) pada
ibu hamil, akan tetapi akibatnya pada bayi yang dikandung sangat berbahaya, antara lain bayi
akan lahir dengan menderita cacat bawaan (congenital malforma-tion), misalnya cacat
penglihatan, pendengaran, kelainan jantung dan kelainan ekstremitas tubuh. Rubela hanya
mengancam janin bila didapat saat kehamilan pertengahan pertama, makin awal (trimester
pertama) ibu hamil terinfeksi rubela makin serius akibatnya pada bayi.[3]
9
2.2.2 Epidemiologi
Congenital Rubella Syndrome pertama kali dilaporkan pada tahun 1941 oleh Norman
Greg seorang ahli optalmologi Australia yang menemukan katarak bawaan di 78 bayi yang
ibunya mengalami infeksi rubella di awal kehamilannya. Berdasarkan data dari WHO paling
tidak 236 ribu kasus CRS terjadi setiap tahun di negara berkembang dan meningkat 10 kali lipat
saat terjadi epidemi. kasus CRS tahun 1999 per jumlah penduduk dilaporkan di Indonesia
sebanyak 7 kasus dengan jumlah penduduk 238.452.952.[2,3]
Sindroma rubella kongenital terjadi pada 25% atau lebih bayi yang lahir dari ibu yang
menderita rubella pada trimester pertama. Jika ibu menderita infeksi ini setelah kehamilan
berusia lebih dari 20 minggu, jarang terjadi kelainan bawaan pada bayi. Kelainan bawaan yang
bisa ditemukan pada bayi baru lahir adalah tuli, katarak, mikrosefalus, keterbelakangan mental,
kelainan jantung bawaan dan kelainan lainnya.[2,3]
2.2.3 Etiologi
1. Virus Rubella
Rubella merupakan virus RNA yang termasuk dalam genus Rubivirus, famili
Togaviridae, dengan jenis antigen tunggal yang tidak dapat bereaksi silang dengan
sejumlah grup Togavirus lainnya. Virus rubella dapat dihancurkan oleh proteinase,
pelarut lemak, formalin, sinar ultraviolet, pH rendah, panas, dan amantadine tetapi
nisbi (relatif) rentan terhadap pembekuan, pencairan atau sonikasi. Virus rubella
terdiri atas dua sub unit struktur besar, satu berkaitan dengan envelope virus dan yang
lainnya berkaitan dengan nucleoprotein core.[2,6]
Meskipun Virus rubella dapat dibiakkan dalam berbagai biakan (kultur) sel,
infeksi virus ini secara rutin didiagnosis melalui metode serologis yang cepat dan
praktis. Baik sel darah merah maupun serum penderita yang terinfeksi virus rubella
memiliki sebuah non-spesifik b-lipoprotein inhibitor terhadap hemaglutinasi. Aktivitas
komplemen berhubungan secara primer dengan envelope, meskipun beberapa aktivitas
juga berhubungan dengan nukleoprotein core. Baik hemaglutinasi maupun antigen
complement-fixing dapat ditemukan (deteksi) melalui pemeriksaan serologis. Virus
rubella mengalami replikasi di dalam sel inang.[6]
2. Risiko Terjadinya Congenital Rubella Syndrome (CRS) Pada Kehamilan
a) Infeksi pada trimester pertama
10
Kisaran kelainan berhubungan dengan umur kehamilan. Risiko terjadinya kerusakan
apabila infeksi terjadi pada trimester pertama kehamilan mencapai 8090%. Virus rubella terus
mengalami replikasi dan diekskresi oleh janin dengan CRS dan hal ini mengakibatkan infeksi
pada persentuhan (kontak) yang rentan. Gambaran klinis CRS digolongkan (klasifikasikan)
menjadi transient, permulaan yang tertangguhkan (delayed onset, dan permanent). Kelainan
pertumbuhan seperti ketulian mungkin tidak akan muncul selama beberapa bulan atau beberapa
tahun, tetapi akan muncul pada waktu yang tidak tentu.[2]
Kelainan kardiovaskuler seperti periapan (proliferasi) dan kerusakan lapisan seluruh
(integral) pembuluh darah dapat menyebabkan kerusakan yang membuntu (obstruktif) arteri
berukuran medium dan besar dalam sistem peredaran (sirkulasi) pulmoner dan bersistem
(sistemik).
Ketulian yang terjadi pada bayi dengan CRS tidak diperkirakan sebelumnya. Metode
untuk mengetahui adanya kehilangan pendengaran janin seperti pemancaran (emisi) otoakustik
dan auditory brain stem responses saat ini dikerjakan untuk menyaring bayi yang berisiko dan
akan mencegah kelainan pendengaran lebih awal, juga saat neonatus. Peralatan ini mahal dan
tidak dapat digunakan di luar laboratorium. Kekurangan inilah yang sering terjadi di negara
berkembang tempat CRS paling sering terjadi.[2,3]
Kelainan mata dapat berupa apakia glaukoma setelah dilakukan aspirasi katarak dan
neovaskularisasi retina merupakan manifestasi klinis lambat CRS. Manifestasi permulaan yang
tertangguhkan (delayed-onset) CRS yang paling sering adalah terjadinya diabetes mellitus tipe 1.
Penelitian lanjutan di Australia terhadap anak yang lahir pada tahun 1934 sampai 1941,
menunjukkan bahwa sekitar 20% diantaranya menjadi penderita diabetes pada dekade ketiga
kehidupan mereka.[6]
b) Infeksi setelah trimester pertama
Virus rubella dapat diisolasi dari ibu yang mendapatkan infeksi setelah trimester pertama
kehamilan. Penelitian serologis menunjukkan sepertiga dari bayi yang lahir dari ibu yang
terinfeksi virus rubella pada umur 1620 minggu memiliki IgM spesifik rubella saat lahir.
Penelitian di negara lain menunjukkan bahwa infeksi maternal diperoleh usia 1320 minggu
kehamilan dan dari bayi yang menderita kelainan akibat infeksi virus rubella terdapat 1618%,
tetapi setelah periode ini insidennya kurang dari 12%. Ketulian dan retinopati sering merupakan
11
gejala tunggal infeksi bawaan (congenital) meski retinopati secara umum tidak menimbukan
kebutaan.
c) Infeksi yang terjadi sebelum penghamilan (konsepsi)
Dalam laporan kasus perorangan (individual), infeksi virus rubella yang terjadi sebelum
penghamilan (konsepsi), telah merangsang terjadinya infeksi bawaan. Penelitian prospektif lain
yang dilakukan di Inggris dan Jerman, yang melibatkan 38 bayi yang lahir dari ibu yang
menderita ruam sebelum masa penghamilan (konsepsi), virus rubella tidak ditransmisikan
kepada janin. Semua bayi tersebut tidak terbukti secara serologis terserang infeksi virus ini,
berbeda dengan 10 bayi yang ibunya menderita ruam antara 3 dan 6 minggu setelah menstruasi
terakhir.
d) Reinfeksi
Reinfeksi oleh rubella lebih sering terjadi setelah diberikan vaksinasi daripada yang
didapat infeksi secara alami. Reinfeksi secara umum asimtomatik dan diketahui melalui
pemeriksaan serologis terhadap ibu yang pernah kontak dengan rubella. Beberapa penelitian
menyebutkan bahwa risiko terjadinya reinfeksi selama trimester pertama hanya 510%.
2.2.4 Patogenesis
12
endotel kapiler. Sel ini mengalami deskuamasi ke dalam lumen pembuluh darah, menunjukkan
(indikasikan) bahwa virus rubella dialihkan (transfer) ke dalam peredaran (sirkulasi) janin
sebagai emboli sel endotel yang terinfeksi. Hal ini selanjutnya mengakibatkan infeksi dan
kerusakan organ janin. Selama kehamilan muda mekanisme pertahanan janin belum matang dan
gambaran khas embriopati pada awal kehamilan adalah terjadinya nekrosis seluler tanpa disertai
tanda peradangan.[5,6]
Sel yang terinfeksi virus rubella memiliki umur yang pendek. Organ janin dan bayi yang
terinfeksi memiliki jumlah sel yang lebih rendah daripada bayi yang sehat. Virus rubella juga
dapat memacu terjadinya kerusakan dengan cara apoptosis. Jika infeksi maternal terjadi setelah
trimester pertama kehamilan, kekerapan (frekuensi) dan beratnya derajat kerusakan janin
menurun secara tiba-tiba (drastis). Perbedaan ini terjadi karena janin terlindung oleh
perkembangan melaju (progresif) tanggap (respon) imun janin, baik yang bersifat humoral
maupun seluler, dan adanya antibodi maternal yang dialihkan (transfer) secara pasif.[5,6]
2.2.5 Manifestasi Klinis
Risiko infeksi janin beragam berdasarkan waktu terjadinya infeksi maternal. Apabila
infeksi terjadi pada 012 minggu usia kehamilan, maka terjadi 8090% risiko infeksi janin.
Infeksi maternal yang terjadi sebelum terjadi kehamilan tidak mempengaruhi janin. Infeksi pada
bulan pertama kehamilan dapat menyebabkan fetal malformation 50% 80%, 25% pada bulan
kedua dan 17% pada bulan ketiga.8 Infeksi maternal pada usia kehamilan1530 minggu risiko
infeksi janin menurun yaitu 30% atau 1020%.
Bayi di diagnosis mengalami CRS apabila mengalami 2 gejala pada kriteria A, atau 1
kriteria A dan 1 kriteria B, sebagai berikut:
1) Katarak, glaukoma bawaan, penyakit jantung bawaan (paling sering adalah patient
ductus arteriosus atau peripheral pulmonary artery stenosis), kehilangan
pendengaran, pigmentasi retina.
2) Purpura, splenomegali, jaundice, mikroemsefali, retardasi mental, meningoensefalitis
dan radiolucent bone disease (tulang tampak gelap pada hasil foto rontgen).
Beberapa kasus hanya mempunyai satu gejala dan kehilangan pendengaran merupakan
cacat paling umum yang ditemukan di bayi dengan CRS. Definisi kehilangan pendengaran
menurut WHO adalah batas pendengaran 26 dB yang tidak dapat disembuhkan dan bersifat
permanen.
13
Periode prodromal dapat tanpa gejala (asimtomatis), dapat juga badan terasa lemah, demam
ringan, nyeri kepala, dan iritasi konjungtiva. Gejala mulai timbul dalam waktu 14-21 hari setelah
terinfeksi. Pada dewasa, gejala awal tersebut sifatnya ringan atau sama sekali tidak timbul. Ruam
(kemerahan kulit) muncul dan berlangsung selama 3 hari. Pada mulanya ruam timbul di wajah
dan leher, lalu menyebar ke batang badan, lengan dan tungkai. Pada langit-langit mulut timbul
bintik-bintik kemerahan. Pembengkakan kelenjar akan berlangsung selama satu minggu atau
lebih dan sakit persendian akan berlangsung selama lebih dari dua minggu.[5,6,3]
2.2.6 Diagnosis
Berdasarkan kriteria diagnosis klinis dan hasil pemeriksaan laboratoris, kasus CRS dapat
digolongkan menjadi 4 kelompok yaitu:
14
keluhan atau tanda yang berhubungan seperti kehilangan pendengaran, kasus ini akan
digolongkan ulang.
3) Kasus hanya infeksi (Infection only-case)
kasus hanya infeksi (Infection only-case) adalah kasus yang diperoleh dari hasil
pemeriksaan laboratorik terbukti ada infeksi tetapi tidak disertai tanda dan gejala
klinis CRS.
4) Kasus terpastikan (Confirmed case)
Dalam kasus ini dijumpai gejala klinis dan didukung oleh hasil pemeriksaan laboratorik yang
positif.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala. Dan diagnosis pasti pada ibu hamil bisa
ditegakkan melalui pengukuran kadar antibodi terhadap virus rubella.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorik dikerjakan untuk menetapkan diagnosis infeksi virus rubella dan
untuk penapisan keadaan (status) imunologis. Karena tata langkah pengasingan (prosedur isolasi)
virus sangat lama dan mahal serta tanggap (respon) antibodi inang sangat cepat dan spesifik
maka pemeriksaan serologis lebih sering dilakukan. Bahan pemeriksaan untuk menentukan
adanya infeksi virus rubella dapat diambil dari hapusan (swab) tenggorok, darah, air kemih dan
lain-lain. Berikut tabel yang memuat jenis pemeriksaan dan spesimen yang digunakan untuk
menentukan infeksi virus rubella.
15
Primary rubella infection pada penderita dari rubella dijumpai Antibodi IgM sesuai dengan
gejala klinis yang ada. Pada acute Primary Rubella Infection, IgM: dapat dideteksi hampir pada
100% kasus yaitu pada hari 4-15 setelah munculnya rash. Menurun setelah 36-70 hari,
menghilang setelah 180 hari Asymptomatic reinfection pada wanita hamil berbahaya untuk fetus,
dengan karakteristik IgG meninggi dan tidak dijumpai IgM, bisa ok IgM belum terdeteksi.
Pemeriksaan IgM ini tidak hanya untuk wanita hamil tapi perlu juga untuk wanita yang belum
hamil. IgG: meningkat cepat pada hari ke 7 s/d 21 kemudian menurun, dan tetap tinggal sebagai
protection.
Laboratory Diagnosis dapat digunakan untuk diagnosis Congenital Rubella dan menentukan
status imun pada wanita umur reproduktif. Sedangkan metode pemeriksaan yang digunakan:
Hemaglutination inhibition, Passive Hemaglutination (PHA), Indirect fluorescent immunoassay
(IFA), Enzyme immunoassay (EIA-IgM, IgG), serta Radioimmunoassay.
16
+ 15 IU/ml Baru mengalami infeksi
(112 minggu)
- + Imun, tidak perlu
pemantauan lebih lanjut
Pencegahan Rubella dapat dicegah dengan vaksin rubella. Imunisasi rubella secara luas
dan merata sangat penting untuk mengendalikan penyebaran penyakit ini, yang pada akhirnya
dapat mencegah cacat bawaan/lahir akibat sindrom rubella bawaan. Vaksin ini biasanya
diberikan kepada anak-anak berusia 12 - 15 bulan dan menjadi bagian dari imunisasi MMR yang
telah terjadwal. Dosis kedua MMR biasanya diberikan pada usia 4 - 6 tahun, dan tidak boleh
lebih dari 11 - 12 tahun. Sebagaimana dengan imunisasi lainnya, selalu ada pengecualian tertentu
dan kasus-kasus khusus. Dokter anak akan memiliki informasi yang tepat. Vaksin rubella tidak
boleh diberikan kepada wanita hamil atau wanita yang akan hamil dalam jangka waktu satu
bulan sesudah pemberian vaksin. Jika anda berpikir untuk hamil, pastikan bahwa anda kebal
17
terhadap rubella melalui tes darah. Jika tidak, sebaiknya anda mendapatkan vaksinasi setidaknya
satu bulan sebelum memulai kehamilan.
Wanita hamil yang tidak kebal terhadap rubella harus menghindari orang yang mengidap
penyakit ini harus diberikan vaksinasi setelah melahirkan sehingga dia akan kebal terhadap
penyakit ini di kehamilan berikutnya. Dan semua kasus rubela harus dilaporkan ke institusi yang
berwenang.[2,3]
2.3 Cytomegalovirus
2.3.1 Definisi
2.3.2 Etiologi
Cytomegalovirus (CMV) termasuk golongan virus herpes DNA. Hal ini berdasarkan
struktur dan cara virus CMV pada saat melakukan replikasi. Virus ini menyebabkan
pembengkakan sel sehingga terlihat sel membesar (sitomegali).[7] Penularan/ transmisi CMV ini
berlangsung secara horizontal, vertikal, dan berhubungan seksual. Transmisi horizontal terjadi
melalui droplet infestion dan kontak dengan air ludah dan seni. Sementara itu, transmisi vertikal
adalah penularan proses infeksi maternal ke janin. Infeksi CMV kongenital umumnya terjadi
karena transmisi transplasenta selama kehamilan dan diperkirakan 0.5%- 2.5 % dari populasi
neonatal. Di masa peripartum infeksi CMV timbul akibat pemaparan terhadap sekresi serviks
yang telah terinfeksi melalui air susu ibu dan tindakan transufusi darah. Dengan cara ini
diperkirakan prevelensinya sebsar 3-5 %.[5,6,7]
2.3.3 Epidemiologi
18
Di Amerika CMV merupakan penyebab utama infeksi perinatal (diperkirakan 0,5- 2 %
dari seluruh bayi neonatal). Yow dan Demmler (1992) dalam pengamatannya selama 20 tahun
atas morbiditas yang disebabkan oleh CMV perinatal menjelaskan bahwa dari 800.000 janin
yang terinfeksi oleh CMV diperoleh 50.000 bersifat simptomatis dengan kelainan reterdasi
mental, kebutaan, dan tuli sedangkan 120 ribu janin bersifat asimptomatis mempunyai keluhan
neurologik.[5]
Di negara-negara maju CMV adalah penyebab infeksi kongenital yang paling utama
dengan angka kejadian 0.3-2% dari kelahiran hidup. Dilaporkan pula bahwa 10-15% bayi lahir
yang terinfeksi secara kongenital adalah simptomatis yakni dengan manifestasi klinik akibat
terserangnya susunan saraf pusat dan berbagai organ lainnya (multiple organ). Hal ini
menyebabkan kematian perinatal 20-30% serta timbulnya cacat neurologik berat lebih dari 90%
pada kelahiran. Manifestasi klinik dapat berupa hepatosplenomegali, mikrosefali, retardasi
mental, gangguan psikomotor, ikterus, petechie, korioretinitis, dan kalsifikasi serebral.[5]
2.3.4 Patogenesis
Infeksi CMV yang terjadi karena pemaparan pertama kali atas individu disebut infeksi
primer. Infeksi primer berlangsung simptomatis ataupun asimptomatis serta virus akan menetap
dalam jaringan hospes dalam waktu yang tidak terbatas. Selanjutnya virus masuk ke dalam sel-
sel dari berbagai macam jaringan. Proses ini disebut sebagai infeksi laten.[5,7]
Pada keadaan tertentu eksaserbasi terjadi dari infeksi laten disertai multipikasi virus.
Keadaan itu misalnya terjadi pada individu yang mengalami supresi imun karena infeksi HIV,
atau obat-obatan yang dikonsumsi penderita transplan-resipien ataupun penderita dengan
keganasan.
2.3.5 Diagnosis
19
Infeksi primer pada kehamilan dapat ditegakkan baik dengan metode serologik maupun
virologik. Dengan merode serologik, diagnosis infeksi maternal primer dapat ditunjukkan dengan
adanya perubahan dari seronegatif menjadi seropositif ( tampak adanya IgM dan IgG anti-CMV)
sebagai hasil pemeriksaan serial dengan interval kira-kira 3 minggu. Dalam metode serologik
infeksi primer dapat pula ditentukan dengan Low IgG Avidity, yaitu antobodi kelas IgG
menunjukkan fungsional aviditasnya yang rendah serta berlangsung selama kurang lebih 20
minggu setelah infeksi primer. Dalam hal ini lebih dari 90% kasus infeksi primer menunjukkan
IgG aviditas rendah terhadap CMV.[5,7]
Dengan metode virologik, viremia maternal dapat ditegakkan dengan menggunakan uji
imuno fluorosen. Uji ini menggunakan monoklonal antibodi yang mengikat antigen Pp 65, suatu
protein (polipeptida dengan berat molekul 65 kilo dalton) dari CMV di dalam sel leukosit dalam
darah ibu. Pemeriksaan ultra-sound yang merupakan bagian dari perawatan antenatal sangat
membantu dalam mengidentifikasi janin yang berisiko tinggi/ diduga terinfeksi CMV. Klinisi
harus memikirkan adanya kemungkinan infeksi CMV intrauterin bila didapatkan hal-hal berikut
pada janin : oligohidraminion, polihidramnion, hidprops nonimun, asites janin, gangguan
pertumbuhan janin, mikrosefali, ventrikulomegali serebral (hidrosefalus), kalsifikasi intrakranial,
hepatosplenomegali, dan kalsifikasi intrahepatik.[3,5,7]
2.3.6 Tatalaksana
Tidak ada terapi yang memuaskan dapat diterapkan, khususnya pada pengobatan infeksi
kongenital. Dengan demikian, dalam konseling infeksi primer yang terjadi pada umur kehamilan
20 minggu setelah memperhatikan hasil diagnosis pranatal kemungkinan dapat
dipertimbangkan terminasi kehamilan. Terapi diberikan guna mengobati infeksi CMV yang
serius seperti retinitis, esofagitis pada penderita dengan AIDS serta tindakan profilaksis untuk
mencegah infeksi CMV setelah tranplasi organ. Obat yang digunakan untuk anti CMV untuk saat
ini adalah Ganciclovir, Foscarnet, Cidofivir, dan Valaciclovir, tetapi sampai saat ini belum
dilakukan evaluasi di samping obat tersebut dapat menimbulkan intoksikasi serta resistensi.
Pengembangan vaksin perlu dilakukan guna mencegah morbiditas dan mortalitas akibat infeksi
kongenital.3,5,7
20
2.4 Herpes Simplex Virus
2.4.1 Definisi
Herpes simplex virus (HSV) adalah salah satu virus infeksi penyakit menular seksual
yang paling sering terjadi di dunia. Herpes simplex virus tipe 2 (HSV-2) adalah penyebab utama
herpes genital dan hampir selalu dapat ditularkan secara seksual. Herpes simplex virus tipe 1
(HSV-1) biasanya ditransmisikan selama masa anak-anak tanpa kontak seksual.[1]
2.4.2 Etiologi
Herpes simplex virus (HSV) tipe I dan II merupakan virus herpes hominis yang
meruakan virus DNA. Pembagian tipe I dan II berdasarkan karakteristik pertumbuhan pada
media kultur, antigenic marker dan lokasi klinis tempat predileksi. HSV I sering dihubungkan
dengan infeksi oral sedangkan infeksi herpes tipe II dihubungkan dengan infeksi genital.[1,7]
Herpes simplex ini mudah ditularkan melalui hubungan seksual, kontak langsung denga
penderita, pemakaian akan suatu benda yang digunakan secara bersama-sama seperti sikat gigi,
handuk, sabun, peralatan mandi dan sebagainya.
2.4.3 Epidemiologi
Infeksi HSV genital telah meningkat di negara berkembang. Hasil studi peneliti
Canada mengatakan HSV-2 pada wanita hamil dengan seropositif adalaj 17% dengan
range antara 7.1% hingga 28.1%. HSV neonatal merupakan hal yang diperhitungkan dari
herpes genital. Canadian neonatus menunjukkan infeksi HSV adalah 1 dari 17.000
kelahiran. Menurut data Amerika Aerikat, insiden neinatus dengan HSV adalah 1 dalam
3500 kelahiran. Ketidaksinambungan ini kemungkinan terjadi karena terdapat kasus
yang tidak dilaporkan.[1]
2.4.4 Patogenesis
HSV ditularkan melalui kontak dari orang yang terkena virus tersebut. Untuk
menimbulkan suatu infeksi virus terssebut harus menembus permukaan mukosa atau kulit yang
terluka. HSV I ditransmisikan melalui ssekresi oral, virus menyebar melalui droplet pernapasan
atau melalui kontak langsung dengan air liur yang terinfeksi. Hal inilah yang nantinya akan
21
menyebabkan terjadinya penyakit herpes tipe 1. Selain itu, virus juga ditularkan melalui
hubungan seksual, dimana virus ini akan menyerang bagian genitalia dari laki-laki maupun
perempuan.[1]
2.4.5 Diagnosis
Ketika infeksi terjadi, cara mendiagnosis herpes simplex adalah dengan mengambil
cairan dari luka yang biasanya telah melepuh saat muncul. Selanjutnya adalah dengan cara
melakukan pemeriksaan laboratorium. Selain itu adalah dengan cara melakukan tes serologi
untuk menemukan keeberadaan antibody.[1]
PCR atau tes reaksi juga dapat dilakukan untuk mendiagnosis keberadaan virus herpes
simplex. Tes ini dapat memeriksa keberadaan dan mengetahui tipe HSV yang telah menjangkiti
tubuh melalui sampel darah atau cairan tubuh.[1]
2.4.6 Tatalaksana
Jika selama kehamilan terdapat pasangan HSV discordant ( ketika ibu hami dengan
seronegative dan suaminya positif), nasihat harus diberikan untuk tidak melakukan kontak oral-
anogenital dan anogenital-anogenital untuk mencegah tertularnya HSV. Antivirus juga harus
diberikan kepada sumai untuk menurunkan resiko penularan pada ibu hamil.[1]
Beberapa obat antivirus telah terbukti efektif melawan infeksi HSV. Semua obat tersebut
menghambat sintesis DNA virus. Obat-obat ini dapat menghambat perkembangbiakan
herpesvirus. Salah satu obat yng efektif untuk infeksi Herpes Simpleks Virus adalah Asiklofir
dalam bentuk topical, intravena, dan oral yang semuanya berguna untuk mengatasi infeksi
primer. Penggunaan obat lain yang dapat digunakan adalah Vidarabin, Idoksuridin topical dan
Triflhuridin.
22
3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
TORCH adalah singkatan dari Toxoplasmaa gondii, Others disease (Hepatitis, Sifilis),
Rubella, Cytomegalovirus, dan Herpes Simplex Virus. Kumpulan penyakit ini tentunya dapat
menginfeksi semua kalangan umur, namun lebih rentannya pada anak2 maupun Ibu yang sedang
melahirkan atau yang masih dalam kandungan. Sebaiknya para Ibu yang sedang hamil ataupun
memiliki riwayat salah satu dari penyakit diatas segera melakukan pemeriksaan serologi atau tes
darah untuk mendeteksi ada tidaknya jumlah antibody didalam tubuh sehingga daapat
menegakkan diagnosis penyakit apa.
Jika manusia mengalami salah satu penyakit yang disebabkan diatas, maka sudah dapat
dikatakan pasien tersebut terkena TORCH, namun hal yang perlu diperhatikan untuk mengetahui
diagnossisnya adalaah dengan mengetahui penyebabnya, epidemiologi, gejala dan
patogenesisnya seperti apa.
23
DAFTAR PUSTAKA
1. Anzivino, Elena et al. Virology Journal : Herpes simplex virus infection in pregnancy and
in neonate: status of art of epidemiology, diagnosis, therapy and prevention. BioMed
Central. 2009; 6 (40) : 1-11
2. Cunningham G, Grant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hauth JC, Westrom KD, et al.
Williams Obstetrics. Ed 21st. New York: McGraw-Hill; 2007.
3. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson Textbook of Pediatrics. Ed
18. Philadelphia: Elsevier; 2008.
4. Sutanto I, Ismid IS, Sjarifuddin PK, Sungkar S. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. ed.
4th. Jakarta: Departemen Parasitologi FKUI; 2013.
5. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, K MS, Setiyohadi B, Syam AF. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II. Edisi VI. Jakarta: Interna Publishing; 2014
6. Turbadkar D, Mathur M, Rele M. Seroprevalence of TORCH Infection in Obstrectic
History. Indian Journal of Medical Microbiology. 2003. Available at
http://medind.nic.in/iau/t03/i2/iaut03i2p108.pdf. Accesed at 5 Mei 2016
7. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Volume 1.
edisi 6th . Hartano H, Susi N, Wulansari P, Mahanani DA, editors. Jakarta : EGC; 2005.
24
25