Anda di halaman 1dari 25

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa yang telah memberikan
limpahan berkah dan rahmat-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan tugas Tinjauan Pustaka
pada blok XI Blok Hematopoetik dan Limforetikuler. Tinjaun Pustaka yang saya buat berjudul
TORCH.

Harapan saya semoga tugas Tinjauan Pustaka ini bisa berguna bagi teman-teman yang
membacanya dan khususnya bagi saya. Saya sadar sepenuhnya bahwa tugas ini jauh dari
kesempurnaan. Maka dari itu, saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi
tercapainya kesempurnaan laporan ini.

Mataram, 9 Mei 2016

(Penasti Khairunnisa)

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR. 1

DAFTAR ISI 2

1. PENDAHULUAN. 3
2. PEMBAHASAN 4

2.1 Toksoplasma. 4

2.2 Rubella. 9

2.3 Cytomegalovirus.. 18

2.4 Herpes Simplex Virus.. 21

3. PENUTUP 23

3.1 Kesimpulan 23

DAFTAR PUSTAKA... 24

2
BAB 1. PENDAHULUAN

TORCH adalah suatu istilah yang mengacu pada sekumpulan penyakit infeksi yaitu
Toxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus, Herpes Simplex Virus, dan penyakit yang lainnya
seperti Shypilis. Torch merupakan sekelompok infeksi yang dapat ditularkan melalui Ibu hamil
kepada janinnya melalui plasenta. Hal ini dapat menginfeksi kapan saja selama kehamilan
ataupun saat proses kelahiran. Penyakit infeksi ini tidak hanya ditemukan pada saat kehamilan
saja melainkan juga dapat ditemukan pada orang dewasa, anak muda, bahkan orang tua.[3,5]

Infeksi Torch dapat menyerang semua jaringan organ tubuh termasuk sistem saraf pusat
maupun perifer yang mengendalikan fungsi gerak, penglihatan, pendengaran, sistem
kardiovaskuler bahkan sistem metabolisme tubuh manusia. Infeksi ini biasanya disebabkan oleh
virus yang menyerang tubuh manusia. Masing-masing infeksi yang menyerang tubuh manusia
mempunyai gejala dan proses masing-masing. Toxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus, Herpes
Simplex Virus, and other disease adalah salah satu dari infeksi yang disingkat namanya sebagai
penyakit TORCH. Jika salah satu diantara penyakit infeksi tersebut menyerang manusia, maka
dapat dikatakan manusia tersebut mengidap Torch, namun yang membedakannya nanti adalah
dalam penatalaksanaan yang dilakukan kepada pasien yang terkena.[3]

Diagnosis yang dilakukan untuk mengetahui penyakit ini adalah dengan melakukan tes
ELISA untuk mendeteksi jumlah antibody yang ada. Jika manusia terkena Toxoplasma maka
jumlah antibody IgM dinyatakan positif sebanyak 40 (10,52%), Rubella sebanyak 102 (26,8%),
Cytomegalovirus 32 (8,42%), dan Herpes simplex virus 14 (3,6%). Antibodi IgG memberikan
hasil positif terhadap penyakit infeksi tersebut.[1,2]

3
2. PEMBAHASAN

2.1 Toksoplasma

2.1.1 Definisi

Toksoplasma adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh parasite toksoplasma gondii.
Toksoplasma ini dikatakan sebagai zoonosis yaitu suatu penyakit pada hewan yang dapat
ditularkan kepada manusia. Toksoplasma gondii merupakan suatu sporozoa dimana toksoplasma
gondii ini merupakan suatu parasite intraseluller yang menginfeksi pada manusia dan hewan.[6]

2.1.2 Etiologi

Toksoplasma disebabkan oleh infeksi dari jenis sporozoa yaitu disebut dengan
toksoplasma gondii. Hospes definitive dari Toksoplasma gondii ini adalah kucing dan binataang
sejenisnya. Hospes perantaranya adalah manusia, mamalia lainnya dan burung. Parasit ini akan
menyebabkan toksoplasmosis kongenital dan toksoplasmosis akuisita.[6]

Dalam sel epitel usus halus kucing berlangsung daur aseksual (skizogoni) dan daur seksual
(gametogoni, sporogoni) yang menghasilkan ookista yang dikeluarkan bersama tinja. Ookista
menghasilkan 2 sporokista yang masing-masing mengandung 4 sporozoit. Bila Ookista tertelan
oleh mamalia atau burung maka disana akan terbentuk trofozoit, trofozoit yang membelah akan
membentuk takizoit, membentuk kista yang mengandung bradizoit. Takizoit berkembang biak
dalam sel secara endodiogeni. bila sel penuh dengan takizoit, maka sel akan menjadi pecah dan
takizoit akan masuk ke sel-sel disekitarnya atau difagositosis oleh sel makrofag. Kista jaringan
dibentuk didalam sel hospes bila takizoit yang membelah telah membentuk dinding. Cara Infeksi
dari toksoplasma gondii adalah :

1. Pada toksoplasmosis kongenital transmisi toxoplasma kepada janin terjadi in utero


melalui plasenta, bila ibunya mendapat infeksi primer waktu hamil
2. pada toksoplasmosis akuisita infeksi dapat terjadi bila makan daging mentah atau kurang
matang (misalnya sate), kalau daging tersebut mengandung kista jaringan atau takizoit
toxoplasma. Pada orang yang tidak makan daging pun dapat terjadi infeksi bila ookista
yang dikeluarkan dengan tinja kucing tertelan.

4
3. Infeksi juga dapat terjadi di laboratorium pada orang yeng bekerja dengan binatang
percobaan yang diinfeksi T.gondii melalui jarum suntik dan alat laboratorium lain yang
terkontaminasi. Ibu yang sedang hamil tidak dianjurkan untuk bekerja dengan T.gondii
yang hidup. Autopsi juga dapat menyebabkan infeksi dari T.gondii.
4. Infeksi dapat terjadi dengan transplantasi organ dari donor yang menderita
toksoplasmosis laten.
5. Transfusi darah lengkap juga dapat menyebabkan infeksi.[6]

2.1.3 Epidemiologi

Toxoplasma gondii pada tahun 1908 pertama kali ditemukan pada binatang mengerat,
yaitu Ctenodactylus gundi, disuatu laboratorium di Tunisa dan pada seekor kelinci di
laboratorium di Brazil. Pada tahun 1937 parasit ini ditemukan pada neonates dengan ensefalitis.
Walaupun transmisi intrauterine secara trasnplasental sudah diketahui, baru pada tahun 1970
daur hidup parasite ini menjadi jelas, ketika ditemukannya daur seksual pada kucing. Setelah
dikembangkan tes serologi yang sensitive oleh Sabin dan Feldman (1984), zat anti T.gondii
ditemukan kosmopolit terutama didaerah dengan iklim panas dan lembab.[6]

2.1.4 Patogenesis

Setelah invasi yang biasanya terjadi diusus, maka parasite memasuki sel berinti atau
difagositosis. sebagian parasite mati setelah difagositosis, sebagian lain brkembangbiak dalam
sel, menyebabkan sel hospes pecah dan menyerang sel-sel lain. dengan adanya parasite didalam
makrofag dan limfosit, maka penyebaran secara hematogen dan limfogen ke seluruh tubuh
mudah terjadi. Parasitemia berlangsung selama beberapa minggu. Toxoplasma gondii dapat
menyerang semua organ dan jaringan tubuh hospes, kecuali sel darah merah karena tidak berinti.
Kerusakan yang terjadi pada jaringan tubuh tergantung pada umur, virulensi strain toxoplasma,
jumlah parasite, dan organ yang diserang.[5,6]

Lesi pada susunan saraf pusat dan mata biasanya lebih permanen dan berat, oleh karena
jaringan ini tidak mempunyai kemampuan untuk regenerasi. Kelainan pada susunan saraf pusat
berupa nekrosis yang disertai dengan kalsifikasi. Pada toksoplasmosis kongenital, nekrosis pada
otak lebih sering di korteks, ganglia basal, dan daerah periventricular. Penyumbatan yang terjadi
pada foramen Monro oleh karena ependimitis mengakibatkan hidrosefalus pada bayi.

5
Pada infeksi akut diretina ditemukan reaksi peradangan fokal dengan edema dan infiltrasi
leukosit yng dapat menyebabkan kerusakan total dan pada proses penyembuhan menjadi
sikratriks dengan atrofi retina dan koroid disertai pigmentasi. Otot jantung dan otot bergaris
dapat ditemukan T.gondii tanpa menimbulkan peradangan.[6]

2.1.4 Diagnosis

Diagnosis toksoplasmosis akut dapat dipastikan bila menemukan takizoit dalam


biopsy otak atau sumsum tulang, cairan serebrospinal dan ventrikel dengan cara
pulasan biasa, takizoit sukar ditemukan dalam specimen. Tes serologi dapat
menunjang diagnosis toksoplasmosis. igG terhadap Toxoplasma gondii biasanya
muncul 1-2 minggu setelah infeksi dan biasanya menetap seumur hidup. Tes yang
sering digunakan adalah Tes ELISA untuk mendeteksi antibodi IgG dan IgM.
Adanya zat anti IgM pada neonates menunjukkan bahwa zat anti dibuat oleh janin
yang terinfeksi dalam uterus, karena zat anti IgM dari Ibu yang berukuran lebih besar
tidak dapat melalui plasenta, tidak seperti halnya zat anti IgG. Maka bila ditemukan
zat anti IgM Toxoplasma gondii pada neonatus, diagnosis toksoplasmosis kongenital
sudah dapat dipastikan.[5,6]
Diagnosis pranatal

Diagnostik pranatal umumnya dilakukan pada usia kehamilan 14-27 minggu (trimester
II). Aktivitas diagnosis pranatal meliputi sebagai berikut :

1) Kordosentesis ( pengambilan sampel darah janin melalui tali pusat) ataupun


amniosentesis ( aspirasi cairan ketuban) dengan tuntunan ultrasonografi
2) Pembiakan darah janin ataupun cairan ketuban dalam kultur sel fibroblas, ataupun
diinokulasi ke dalam ruang peritonium tikus diikuti isolasi parasit, ditunjukkan untuk
mendeteksi adanya parasit, ditunjukkan untuk mendeteksi adanya parasit.
Pemeriksaan dengan teknik P.C.R. guna mendeteksi DNA T. gondii pada darah janin
atau cairan ketuban. Pemeriksaan dengan teknik ELISA pada darah janin guna
mendeteksi antibodi IgM janin spesifik (antitoksoplasma)
3) Pemeriksaan tambahan berupa penetapan enzim liver, platelet, leukosit (monosit dan
eusinofil) dan limfosit khususnya rasio CD4 dan CD8. Daffos at al (1988)

6
mengembangkan tindakan diagnosis prenatal untuk toksplasmosis kongenital dengan
serial/ berulang. Dikatakan prosedur ini relatif aman bila mulai dilakukan pada umur
kehamilan 19 minggu dan sterusnya.

Diagnosis toksoplasma kongenital ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan yang


menunjukkan adanya IgM janin spesifik (antitoksoplasma) dari darah janin. Ditemukan parasit
pada kultur atau inokulusi tikus dan DNA T. gondii dengan PCR darah janin ataupun cairan
ketuban. Beberapa faktor yang harus diperhatikan karena sangat menentukan agar upaya
diagnostik pranatal menjadi aman, terpercaya, dan efisien adalah sebagai berikut.[4,6]

1) Didahului oleh skrinning serologik maternal/ ibu hamil, hasilnya harus memenuhi
kriteria tertentu sebelum dilanjutkan ke prosedur diagnostik pranatal. Jika satu dari 4
syarat di bawah ini terpenuhi, akan dilakukan kordosintesis atau amniosintesis.
Antibodi IgM +
Serokonversi dengan interval waktu 2 sampai 3 minggu, perubahan dari
seronegatif menjadi seropositif IgM dan IgG
Titer IgG yang tinggi 1/ 1024 (ELISA)
Aviditas IgG 200
2) Keterampilan klinisi melakukan kordosintesis atau amniosintesis dengan tuntutan
ultrasonografi
3) Kecermatan dan keterampilan yang terlatih dalam mengerjakan pekerjaan rumit dan
khusus di laboraturium di antaranya meliputi kultur, inokulasi, teknik ELISA, dan
PCR

2.1.5 Tatalaksana

Terapi diberikan terhadap 3 kelompok penderita berikut :


1) Kehamilan dengan infeksi akut
Spiramisin

Spiramisin, suatu antibiotika macrolide dengan spektrum antibakterial; konsentrasi


tertentu yang dibutuhkan untuk menghambat pertumbuhan ataupun membunuh organisme belum
diketahui. Di jaringan obat ini ditentukan kadar/ konsentrasi yang tinggi terutama pada plasenta
tanpa melewatinya serta aktif membunuh takizoit sehingga menekan transmisi transplasental.
7
Spiramisin pada orang dewasa diberikan 2-4 gr/ hari per oral dibagi menjadi 4 dosis untuk 3
minggu, diulangi setelah 2 minggu sampai kehamilan aterm.[4]

Piremitamin

Piremitamin, adalah fenilpirimidin obat antimalaria, terbukti juga sebagai pengobatan


radikal pada hewan eksperimental yang dikenakan infeksi toksoplasmosis. Obat ini bertahan
lama dalam darah dengan waktu paruh plasma 100 jam (4-5 hari). Guna menghindari efek
akumulatif pada jaringan, pemberian obat dianjurkan setiap 3-4 hari. Piremitamin dan sulfadiazin
bekerja sinergik menghasilkan khasiat 8 kali lebih besar terhadap toksoplasma. Kedua obat ini
bekerja memblokir jalur metabolisme asam folat dan asam para aminobenzoat parasit karena
menghambat kerja enzim dihidrofolat reduktase dengan akibat terganggunya pertumbuhan
stadium takizoit parasit. Kombinasi kedua obat ini mengakibatkan efek toksisitas yang tinggi.

Sulfadiazin menimbulkan reaksi hematuria dan hipersensitivitas. Piremitamin


menyebabkan depresi sumsum tulang secara gradual dan reversibel dengan akibat penurunan
platelet, leukopenia, dan anemia yang menyebabkan tendensi perdarahan. Untuk mengantisipasi
hal ini perlu pemeriksaan sel darah tepi dan platelet 2 kali seminggu serta penggunaan asam
folinik dalam bentuk kalsium leukovorin yang menghambat efek depresi sumsum tulang dari
piremetamin. Bersama asam folinik ditambahkan pula ragi yang tidak akan merugikan
pengobatan toksoplasmosis.[4,5]

Dilaporkan pula piremitamin bersifat teratogenik. Thalhammer dan Kraubig


menganjurkan pemakaian obat ini dimulai trimester II setelah umur kehamilan 14 minggu guna
menghindari efek teratogenik pada janin. Kombinasi piremitamin, sulfadiazin, dan asam folinik
sebagai penggunaan simultan diberikan selama 21 hari. Sulfadiazin 50-100 mg/kg/hari/oral
dibagi 2 dosis serta asam folinik 2 kali 5 mg injeksi intramuskular tiap minggu selama
pemakaian piremitamin. Klindamisin cukup efektif terhadap takizoit, tetapi dapat menyebabkan
kolitis ulseratif.

2) Toksoplsama kongenital

Sulfadiazin dengan dosis 50-100mg/kg/hari dan piremitamin 0.5-1 mg/kg diberikan


setiap 2-4 hari selama 20 hari. Disertakan juga injeksi intramuskular asam folinik 5 mg setiap 2-4

8
hari untuk mengatasi efek toksik piremitamin terhadap multiplikasi sel. Pengobatan dihentikan
ketika anak berusia 1 tahun karena diharapkan imunitas selulernya telah memadai untuk
melawan penyakit pada masa tersebut.[4]

3) Penderita imunodefisiensi

Kondisi penderita akan cepat memburuk menjadi fatal bila tidak diobati. Pengobatan di sini
sama halnya dengan toksoplasmosis kongenital yaitu menggunakan piremitamin, sulfadiazin,
dan asam folinik dalam jangka panjang. Piremitamin dan sulfadiazin dapat memlalui barier otak.

2.2 Rubella

2.2.1 Definisi

Rubella adalah penyakit yang disebabkan oleh virus rubella yang termasuk famili
Togaviridae dan genus Rubivirus. Nama "rubella" berasal dari bahasa latin yang berarti sedikit
merah. Rubella juga dikenal sebagai campak Jerman karena penyakit ini pertama kali dijelaskan
oleh dokter Jerman pada pertengahan abad kedelapan belas. Penyakit ini sering ringan dan
serangan sering berlalu tanpa diketahui. Penyakit ini bisa berlangsung satu sampai tiga hari.
Anak-anak sembuh lebih cepat daripada orang dewasa. Infeksi dari ibu oleh virus Rubella saat
hamil bisa serius, jika ibu terinfeksi dalam 20 minggu pertama kehamilan, anak bisa lahir dengan
sindrom rubella bawaan (CRS), yang memerlukan berbagai penyakit tak tersembuhkan yang
serius.[3,6]

Walaupun infeksi virus rubella itu tidak menyebabkan gejala yang jelas (asimtomatik) pada
ibu hamil, akan tetapi akibatnya pada bayi yang dikandung sangat berbahaya, antara lain bayi
akan lahir dengan menderita cacat bawaan (congenital malforma-tion), misalnya cacat
penglihatan, pendengaran, kelainan jantung dan kelainan ekstremitas tubuh. Rubela hanya
mengancam janin bila didapat saat kehamilan pertengahan pertama, makin awal (trimester
pertama) ibu hamil terinfeksi rubela makin serius akibatnya pada bayi.[3]

9
2.2.2 Epidemiologi
Congenital Rubella Syndrome pertama kali dilaporkan pada tahun 1941 oleh Norman
Greg seorang ahli optalmologi Australia yang menemukan katarak bawaan di 78 bayi yang
ibunya mengalami infeksi rubella di awal kehamilannya. Berdasarkan data dari WHO paling
tidak 236 ribu kasus CRS terjadi setiap tahun di negara berkembang dan meningkat 10 kali lipat
saat terjadi epidemi. kasus CRS tahun 1999 per jumlah penduduk dilaporkan di Indonesia
sebanyak 7 kasus dengan jumlah penduduk 238.452.952.[2,3]
Sindroma rubella kongenital terjadi pada 25% atau lebih bayi yang lahir dari ibu yang
menderita rubella pada trimester pertama. Jika ibu menderita infeksi ini setelah kehamilan
berusia lebih dari 20 minggu, jarang terjadi kelainan bawaan pada bayi. Kelainan bawaan yang
bisa ditemukan pada bayi baru lahir adalah tuli, katarak, mikrosefalus, keterbelakangan mental,
kelainan jantung bawaan dan kelainan lainnya.[2,3]
2.2.3 Etiologi
1. Virus Rubella
Rubella merupakan virus RNA yang termasuk dalam genus Rubivirus, famili
Togaviridae, dengan jenis antigen tunggal yang tidak dapat bereaksi silang dengan
sejumlah grup Togavirus lainnya. Virus rubella dapat dihancurkan oleh proteinase,
pelarut lemak, formalin, sinar ultraviolet, pH rendah, panas, dan amantadine tetapi
nisbi (relatif) rentan terhadap pembekuan, pencairan atau sonikasi. Virus rubella
terdiri atas dua sub unit struktur besar, satu berkaitan dengan envelope virus dan yang
lainnya berkaitan dengan nucleoprotein core.[2,6]
Meskipun Virus rubella dapat dibiakkan dalam berbagai biakan (kultur) sel,
infeksi virus ini secara rutin didiagnosis melalui metode serologis yang cepat dan
praktis. Baik sel darah merah maupun serum penderita yang terinfeksi virus rubella
memiliki sebuah non-spesifik b-lipoprotein inhibitor terhadap hemaglutinasi. Aktivitas
komplemen berhubungan secara primer dengan envelope, meskipun beberapa aktivitas
juga berhubungan dengan nukleoprotein core. Baik hemaglutinasi maupun antigen
complement-fixing dapat ditemukan (deteksi) melalui pemeriksaan serologis. Virus
rubella mengalami replikasi di dalam sel inang.[6]
2. Risiko Terjadinya Congenital Rubella Syndrome (CRS) Pada Kehamilan
a) Infeksi pada trimester pertama

10
Kisaran kelainan berhubungan dengan umur kehamilan. Risiko terjadinya kerusakan
apabila infeksi terjadi pada trimester pertama kehamilan mencapai 8090%. Virus rubella terus
mengalami replikasi dan diekskresi oleh janin dengan CRS dan hal ini mengakibatkan infeksi
pada persentuhan (kontak) yang rentan. Gambaran klinis CRS digolongkan (klasifikasikan)
menjadi transient, permulaan yang tertangguhkan (delayed onset, dan permanent). Kelainan
pertumbuhan seperti ketulian mungkin tidak akan muncul selama beberapa bulan atau beberapa
tahun, tetapi akan muncul pada waktu yang tidak tentu.[2]
Kelainan kardiovaskuler seperti periapan (proliferasi) dan kerusakan lapisan seluruh
(integral) pembuluh darah dapat menyebabkan kerusakan yang membuntu (obstruktif) arteri
berukuran medium dan besar dalam sistem peredaran (sirkulasi) pulmoner dan bersistem
(sistemik).
Ketulian yang terjadi pada bayi dengan CRS tidak diperkirakan sebelumnya. Metode
untuk mengetahui adanya kehilangan pendengaran janin seperti pemancaran (emisi) otoakustik
dan auditory brain stem responses saat ini dikerjakan untuk menyaring bayi yang berisiko dan
akan mencegah kelainan pendengaran lebih awal, juga saat neonatus. Peralatan ini mahal dan
tidak dapat digunakan di luar laboratorium. Kekurangan inilah yang sering terjadi di negara
berkembang tempat CRS paling sering terjadi.[2,3]
Kelainan mata dapat berupa apakia glaukoma setelah dilakukan aspirasi katarak dan
neovaskularisasi retina merupakan manifestasi klinis lambat CRS. Manifestasi permulaan yang
tertangguhkan (delayed-onset) CRS yang paling sering adalah terjadinya diabetes mellitus tipe 1.
Penelitian lanjutan di Australia terhadap anak yang lahir pada tahun 1934 sampai 1941,
menunjukkan bahwa sekitar 20% diantaranya menjadi penderita diabetes pada dekade ketiga
kehidupan mereka.[6]
b) Infeksi setelah trimester pertama
Virus rubella dapat diisolasi dari ibu yang mendapatkan infeksi setelah trimester pertama
kehamilan. Penelitian serologis menunjukkan sepertiga dari bayi yang lahir dari ibu yang
terinfeksi virus rubella pada umur 1620 minggu memiliki IgM spesifik rubella saat lahir.
Penelitian di negara lain menunjukkan bahwa infeksi maternal diperoleh usia 1320 minggu
kehamilan dan dari bayi yang menderita kelainan akibat infeksi virus rubella terdapat 1618%,
tetapi setelah periode ini insidennya kurang dari 12%. Ketulian dan retinopati sering merupakan

11
gejala tunggal infeksi bawaan (congenital) meski retinopati secara umum tidak menimbukan
kebutaan.
c) Infeksi yang terjadi sebelum penghamilan (konsepsi)
Dalam laporan kasus perorangan (individual), infeksi virus rubella yang terjadi sebelum
penghamilan (konsepsi), telah merangsang terjadinya infeksi bawaan. Penelitian prospektif lain
yang dilakukan di Inggris dan Jerman, yang melibatkan 38 bayi yang lahir dari ibu yang
menderita ruam sebelum masa penghamilan (konsepsi), virus rubella tidak ditransmisikan
kepada janin. Semua bayi tersebut tidak terbukti secara serologis terserang infeksi virus ini,
berbeda dengan 10 bayi yang ibunya menderita ruam antara 3 dan 6 minggu setelah menstruasi
terakhir.
d) Reinfeksi
Reinfeksi oleh rubella lebih sering terjadi setelah diberikan vaksinasi daripada yang
didapat infeksi secara alami. Reinfeksi secara umum asimtomatik dan diketahui melalui
pemeriksaan serologis terhadap ibu yang pernah kontak dengan rubella. Beberapa penelitian
menyebutkan bahwa risiko terjadinya reinfeksi selama trimester pertama hanya 510%.

2.2.4 Patogenesis

Virus rubella ditransmisikan melalui pernapasan dan mengalami replikasi di nasofaring


dan di daerah kelenjar getah bening. Viremia terjadi antara hari ke-5 sampai hari ke-7 setelah
terpajan virus rubella. Dalam ruangan tertutup, virus rubella dapat menular ke setiap orang yang
berada di ruangan yang sama dengan penderita. Masa inkubasi virus rubella berkisar antara 14
21 hari. Masa penularan 1 minggu sebelum dan empat (4) hari setelah permulaan (onset) ruam
(rash). Pada episode ini, Virus rubella sangat menular.[5,6]
Infeksi transplasenta janin dalam kandungan terjadi saat viremia berlangsung. Infeksi
rubella menyebabkan kerusakan janin karena proses pembelahan terhambat. Dalam rembihan
(secret) tekak (faring) dan air kemih (urin) bayi dengan CRS, terdapat virus rubella dalam
jumlah banyak yang dapat menginfeksi bila bersentuhan langsung. Virus dalam tubuh bayi
dengan CRS dapat bertahan hingga beberapa bulan atau kurang dari 1 tahun setelah kelahiran.
Kerusakan janin disebabkan oleh berbagai faktor, misalnya oleh kerusakan sel akibat
virus rubella dan akibat pembelahan sel oleh virus. Infeksi plasenta terjadi selama viremia ibu,
menyebabkan daerah (area) nekrosis yang tersebar secara fokal di epitel vili korealis dan sel

12
endotel kapiler. Sel ini mengalami deskuamasi ke dalam lumen pembuluh darah, menunjukkan
(indikasikan) bahwa virus rubella dialihkan (transfer) ke dalam peredaran (sirkulasi) janin
sebagai emboli sel endotel yang terinfeksi. Hal ini selanjutnya mengakibatkan infeksi dan
kerusakan organ janin. Selama kehamilan muda mekanisme pertahanan janin belum matang dan
gambaran khas embriopati pada awal kehamilan adalah terjadinya nekrosis seluler tanpa disertai
tanda peradangan.[5,6]
Sel yang terinfeksi virus rubella memiliki umur yang pendek. Organ janin dan bayi yang
terinfeksi memiliki jumlah sel yang lebih rendah daripada bayi yang sehat. Virus rubella juga
dapat memacu terjadinya kerusakan dengan cara apoptosis. Jika infeksi maternal terjadi setelah
trimester pertama kehamilan, kekerapan (frekuensi) dan beratnya derajat kerusakan janin
menurun secara tiba-tiba (drastis). Perbedaan ini terjadi karena janin terlindung oleh
perkembangan melaju (progresif) tanggap (respon) imun janin, baik yang bersifat humoral
maupun seluler, dan adanya antibodi maternal yang dialihkan (transfer) secara pasif.[5,6]
2.2.5 Manifestasi Klinis

Risiko infeksi janin beragam berdasarkan waktu terjadinya infeksi maternal. Apabila
infeksi terjadi pada 012 minggu usia kehamilan, maka terjadi 8090% risiko infeksi janin.
Infeksi maternal yang terjadi sebelum terjadi kehamilan tidak mempengaruhi janin. Infeksi pada
bulan pertama kehamilan dapat menyebabkan fetal malformation 50% 80%, 25% pada bulan
kedua dan 17% pada bulan ketiga.8 Infeksi maternal pada usia kehamilan1530 minggu risiko
infeksi janin menurun yaitu 30% atau 1020%.
Bayi di diagnosis mengalami CRS apabila mengalami 2 gejala pada kriteria A, atau 1
kriteria A dan 1 kriteria B, sebagai berikut:
1) Katarak, glaukoma bawaan, penyakit jantung bawaan (paling sering adalah patient
ductus arteriosus atau peripheral pulmonary artery stenosis), kehilangan
pendengaran, pigmentasi retina.
2) Purpura, splenomegali, jaundice, mikroemsefali, retardasi mental, meningoensefalitis
dan radiolucent bone disease (tulang tampak gelap pada hasil foto rontgen).
Beberapa kasus hanya mempunyai satu gejala dan kehilangan pendengaran merupakan
cacat paling umum yang ditemukan di bayi dengan CRS. Definisi kehilangan pendengaran
menurut WHO adalah batas pendengaran 26 dB yang tidak dapat disembuhkan dan bersifat
permanen.

13
Periode prodromal dapat tanpa gejala (asimtomatis), dapat juga badan terasa lemah, demam
ringan, nyeri kepala, dan iritasi konjungtiva. Gejala mulai timbul dalam waktu 14-21 hari setelah
terinfeksi. Pada dewasa, gejala awal tersebut sifatnya ringan atau sama sekali tidak timbul. Ruam
(kemerahan kulit) muncul dan berlangsung selama 3 hari. Pada mulanya ruam timbul di wajah
dan leher, lalu menyebar ke batang badan, lengan dan tungkai. Pada langit-langit mulut timbul
bintik-bintik kemerahan. Pembengkakan kelenjar akan berlangsung selama satu minggu atau
lebih dan sakit persendian akan berlangsung selama lebih dari dua minggu.[5,6,3]

2.2.6 Diagnosis

Meskipun infeksi bawaan dapat dipastikan (konfirmasi) dengan mengasingkan (isolasi)


virus dari swab tenggorokan, air kemih dan cairan tubuh lainnya, tetapi pengasingan tersebut
mungkin memerlukan pemeriksaan berulang. Sehingga pemeriksaan serologis merupakan
pemeriksaan yang sangat dianjurkan. Pemeriksaan antibodi IgM spesifik ditunjukkan untuk
setiap neonatus dengan berat badan lahir rendah yang juga memiliki gejala klinis rubella
bawaan. Adanya IgM di bayi tersebut menandakan bahwa ia telah perbatasan (barier) plasenta
dan baru diketahui beberapa bulan setelah kelahiran. Pemeriksaan serologis rubella berguna
dalam studi epideimologi untuk menentukan keterlibatan virus rubella sebagai penyebab
kehilangan pendengaran sensorineural pada anak-anak.[3]

Berdasarkan kriteria diagnosis klinis dan hasil pemeriksaan laboratoris, kasus CRS dapat
digolongkan menjadi 4 kelompok yaitu:

1) Kasus kecurigaan (Suspected case)


kasus kecurigaan (Suspected case) adalah kasus dengan beberapa gejala klinis tetapi
tidak memenuhi kriteria klinis untuk diagnosis CRS.
2) Kasus berpeluang (Probable case).
Pada kasus ini, hasil pemeriksaan laboratorik tidak sesuai dengan kriteria laboratoris
untuk diagnosis CRS, tetapi mempunyai 2 penyulit (komplikasi) yang tersebut pada
kriteria A atau satu penyulit pada kriteria A dan satu penyulit pada kriteria B dan
tidak ada bukti etiologi. Pada kasus berpeluang (probable case), baik satu atau kedua
kelainan yang berhubungan dengan mata (katarak dan glaukoma kongenital), dihitung
sebagai penyulit tunggal. Jika dikemudian hari ditemukan/terkenali (identifikasi)

14
keluhan atau tanda yang berhubungan seperti kehilangan pendengaran, kasus ini akan
digolongkan ulang.
3) Kasus hanya infeksi (Infection only-case)
kasus hanya infeksi (Infection only-case) adalah kasus yang diperoleh dari hasil
pemeriksaan laboratorik terbukti ada infeksi tetapi tidak disertai tanda dan gejala
klinis CRS.
4) Kasus terpastikan (Confirmed case)

Dalam kasus ini dijumpai gejala klinis dan didukung oleh hasil pemeriksaan laboratorik yang
positif.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala. Dan diagnosis pasti pada ibu hamil bisa
ditegakkan melalui pengukuran kadar antibodi terhadap virus rubella.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorik dikerjakan untuk menetapkan diagnosis infeksi virus rubella dan
untuk penapisan keadaan (status) imunologis. Karena tata langkah pengasingan (prosedur isolasi)
virus sangat lama dan mahal serta tanggap (respon) antibodi inang sangat cepat dan spesifik
maka pemeriksaan serologis lebih sering dilakukan. Bahan pemeriksaan untuk menentukan
adanya infeksi virus rubella dapat diambil dari hapusan (swab) tenggorok, darah, air kemih dan
lain-lain. Berikut tabel yang memuat jenis pemeriksaan dan spesimen yang digunakan untuk
menentukan infeksi virus rubella.

N Jenis Pemeriksaan Jenis Spesimen


o Fetus / Bayi Ibu
1 Pengasingan (isolasi) Sekret hidung, darah, Sekret hidung, darah,
. Virus hapusan tenggorok, air hapusan tenggorok, air
kemih, cairan serebrospinal kemih, cairan
serebrospinal.
2 Serologik Darah fetus melalui Darah
. kordosintesis, serum, ludah
3 RNA Cairan amnion fetus melalui Darah
. amniosintesis, vili korealis,
darah, ludah
Jenis pemeriksaan dan spesimen untuk menentukan infeksi virus rubella

15
Primary rubella infection pada penderita dari rubella dijumpai Antibodi IgM sesuai dengan
gejala klinis yang ada. Pada acute Primary Rubella Infection, IgM: dapat dideteksi hampir pada
100% kasus yaitu pada hari 4-15 setelah munculnya rash. Menurun setelah 36-70 hari,
menghilang setelah 180 hari Asymptomatic reinfection pada wanita hamil berbahaya untuk fetus,
dengan karakteristik IgG meninggi dan tidak dijumpai IgM, bisa ok IgM belum terdeteksi.
Pemeriksaan IgM ini tidak hanya untuk wanita hamil tapi perlu juga untuk wanita yang belum
hamil. IgG: meningkat cepat pada hari ke 7 s/d 21 kemudian menurun, dan tetap tinggal sebagai
protection.

Pedoman diagnosis CRS

Laboratory Diagnosis dapat digunakan untuk diagnosis Congenital Rubella dan menentukan
status imun pada wanita umur reproduktif. Sedangkan metode pemeriksaan yang digunakan:
Hemaglutination inhibition, Passive Hemaglutination (PHA), Indirect fluorescent immunoassay
(IFA), Enzyme immunoassay (EIA-IgM, IgG), serta Radioimmunoassay.

IgM IgG Penafsiran


- - Tak ada perlindungan;
perlu dipantau lebih lanjut
+ 15 IU/ml Infeksi akut dini (<1
minggu)

16
+ 15 IU/ml Baru mengalami infeksi
(112 minggu)
- + Imun, tidak perlu
pemantauan lebih lanjut

Penafsiran hasil IgM dan IgG ELISA untuk rubella

2.2.7 Tatalaksana dan Pencegahan


Tidak ada pengobatan khusus untuk campak Jerman. Pengobatan untuk ibu hamil jika
terserang virus ini maka kemungkinannya dokter akan memberikan suntikan imunoglobulin (Ig).
Ig yang diberikan sesudah pajanan pada masa awal masa kehamilan mungkin tidak melindungi
terhadap terjadinya infeksi atau viremia, tetapi mungkin bisa mengurangi gejala klinis yang
timbul. Ig kadang-kadang diberikan dalam dosis yang besar (20 ml) kepada wanita hamil yang
rentan terpajan penyakit ini yang tidak menginginkan aborsi dikarenakan alasan tertentu, tetapi
manfaatnya belum terbukti. Ig tidak dapat menghlangkan virus rubela tetapi dapat membantu
meringankan gejala-gejala yang diberikan oleh virus ini dan dapat mengurangi risko-risiko pada
janin. Dengan kata lain, Ig dapat mengurangi gejala rubela tetapi tidak dapat menghilangkan
risiko infeksi yang diberikan virus rubela terhadap janin yang dikandung. Selanjutnya
pengobatan lain bersifat simptomatik, misalnya pemberian acetaminophen atau ibuprofen untuk
mengurangi demam.[5,6]
Pencegahan

Pencegahan Rubella dapat dicegah dengan vaksin rubella. Imunisasi rubella secara luas
dan merata sangat penting untuk mengendalikan penyebaran penyakit ini, yang pada akhirnya
dapat mencegah cacat bawaan/lahir akibat sindrom rubella bawaan. Vaksin ini biasanya
diberikan kepada anak-anak berusia 12 - 15 bulan dan menjadi bagian dari imunisasi MMR yang
telah terjadwal. Dosis kedua MMR biasanya diberikan pada usia 4 - 6 tahun, dan tidak boleh
lebih dari 11 - 12 tahun. Sebagaimana dengan imunisasi lainnya, selalu ada pengecualian tertentu
dan kasus-kasus khusus. Dokter anak akan memiliki informasi yang tepat. Vaksin rubella tidak
boleh diberikan kepada wanita hamil atau wanita yang akan hamil dalam jangka waktu satu
bulan sesudah pemberian vaksin. Jika anda berpikir untuk hamil, pastikan bahwa anda kebal

17
terhadap rubella melalui tes darah. Jika tidak, sebaiknya anda mendapatkan vaksinasi setidaknya
satu bulan sebelum memulai kehamilan.
Wanita hamil yang tidak kebal terhadap rubella harus menghindari orang yang mengidap
penyakit ini harus diberikan vaksinasi setelah melahirkan sehingga dia akan kebal terhadap
penyakit ini di kehamilan berikutnya. Dan semua kasus rubela harus dilaporkan ke institusi yang
berwenang.[2,3]

2.3 Cytomegalovirus

2.3.1 Definisi

Cytomegalovirus (Infeksi Sitomegalovirus) adalah penyakit yang disebabkan oleh


siitomegalovirus. Penyakit ini merupakan penyakit yang mewabah diberbagai Negara dan
menularkan melalui kontak manusia. Virus ini masih dalam ruang lingkup virus herpes.
Cytomegalovirus (CMV) termasuk golongan virus herpes DNA. Hal ini berdasarkan struktur dan
cara virus CMV pada saat melakukan replikasi. Virus ini menyebabkan pembengkakan sel
sehingga terlihat sel membesar (sitomegali).[5,7]

2.3.2 Etiologi

Cytomegalovirus (CMV) termasuk golongan virus herpes DNA. Hal ini berdasarkan
struktur dan cara virus CMV pada saat melakukan replikasi. Virus ini menyebabkan
pembengkakan sel sehingga terlihat sel membesar (sitomegali).[7] Penularan/ transmisi CMV ini
berlangsung secara horizontal, vertikal, dan berhubungan seksual. Transmisi horizontal terjadi
melalui droplet infestion dan kontak dengan air ludah dan seni. Sementara itu, transmisi vertikal
adalah penularan proses infeksi maternal ke janin. Infeksi CMV kongenital umumnya terjadi
karena transmisi transplasenta selama kehamilan dan diperkirakan 0.5%- 2.5 % dari populasi
neonatal. Di masa peripartum infeksi CMV timbul akibat pemaparan terhadap sekresi serviks
yang telah terinfeksi melalui air susu ibu dan tindakan transufusi darah. Dengan cara ini
diperkirakan prevelensinya sebsar 3-5 %.[5,6,7]

2.3.3 Epidemiologi

18
Di Amerika CMV merupakan penyebab utama infeksi perinatal (diperkirakan 0,5- 2 %
dari seluruh bayi neonatal). Yow dan Demmler (1992) dalam pengamatannya selama 20 tahun
atas morbiditas yang disebabkan oleh CMV perinatal menjelaskan bahwa dari 800.000 janin
yang terinfeksi oleh CMV diperoleh 50.000 bersifat simptomatis dengan kelainan reterdasi
mental, kebutaan, dan tuli sedangkan 120 ribu janin bersifat asimptomatis mempunyai keluhan
neurologik.[5]

Di negara-negara maju CMV adalah penyebab infeksi kongenital yang paling utama
dengan angka kejadian 0.3-2% dari kelahiran hidup. Dilaporkan pula bahwa 10-15% bayi lahir
yang terinfeksi secara kongenital adalah simptomatis yakni dengan manifestasi klinik akibat
terserangnya susunan saraf pusat dan berbagai organ lainnya (multiple organ). Hal ini
menyebabkan kematian perinatal 20-30% serta timbulnya cacat neurologik berat lebih dari 90%
pada kelahiran. Manifestasi klinik dapat berupa hepatosplenomegali, mikrosefali, retardasi
mental, gangguan psikomotor, ikterus, petechie, korioretinitis, dan kalsifikasi serebral.[5]

2.3.4 Patogenesis

Infeksi CMV yang terjadi karena pemaparan pertama kali atas individu disebut infeksi
primer. Infeksi primer berlangsung simptomatis ataupun asimptomatis serta virus akan menetap
dalam jaringan hospes dalam waktu yang tidak terbatas. Selanjutnya virus masuk ke dalam sel-
sel dari berbagai macam jaringan. Proses ini disebut sebagai infeksi laten.[5,7]

Pada keadaan tertentu eksaserbasi terjadi dari infeksi laten disertai multipikasi virus.
Keadaan itu misalnya terjadi pada individu yang mengalami supresi imun karena infeksi HIV,
atau obat-obatan yang dikonsumsi penderita transplan-resipien ataupun penderita dengan
keganasan.

Infeksi rekuren (reaktivasi/reinfeksi) yang dimungkinkan karena penyakit tertentu serta


keadaan supresi imun yang bersifat iatrogenik. Dapat diterangkan bahwa kedua keadaan tersebut
menekan respon sel limfosit T sehingga timbul stimulasi antigenik yang kronis. Dengan
demikian, terjadi reaktivasi virus dari periode laten disertai berbagai sindrom.[7]

2.3.5 Diagnosis

19
Infeksi primer pada kehamilan dapat ditegakkan baik dengan metode serologik maupun
virologik. Dengan merode serologik, diagnosis infeksi maternal primer dapat ditunjukkan dengan
adanya perubahan dari seronegatif menjadi seropositif ( tampak adanya IgM dan IgG anti-CMV)
sebagai hasil pemeriksaan serial dengan interval kira-kira 3 minggu. Dalam metode serologik
infeksi primer dapat pula ditentukan dengan Low IgG Avidity, yaitu antobodi kelas IgG
menunjukkan fungsional aviditasnya yang rendah serta berlangsung selama kurang lebih 20
minggu setelah infeksi primer. Dalam hal ini lebih dari 90% kasus infeksi primer menunjukkan
IgG aviditas rendah terhadap CMV.[5,7]

Dengan metode virologik, viremia maternal dapat ditegakkan dengan menggunakan uji
imuno fluorosen. Uji ini menggunakan monoklonal antibodi yang mengikat antigen Pp 65, suatu
protein (polipeptida dengan berat molekul 65 kilo dalton) dari CMV di dalam sel leukosit dalam
darah ibu. Pemeriksaan ultra-sound yang merupakan bagian dari perawatan antenatal sangat
membantu dalam mengidentifikasi janin yang berisiko tinggi/ diduga terinfeksi CMV. Klinisi
harus memikirkan adanya kemungkinan infeksi CMV intrauterin bila didapatkan hal-hal berikut
pada janin : oligohidraminion, polihidramnion, hidprops nonimun, asites janin, gangguan
pertumbuhan janin, mikrosefali, ventrikulomegali serebral (hidrosefalus), kalsifikasi intrakranial,
hepatosplenomegali, dan kalsifikasi intrahepatik.[3,5,7]

2.3.6 Tatalaksana

Tidak ada terapi yang memuaskan dapat diterapkan, khususnya pada pengobatan infeksi
kongenital. Dengan demikian, dalam konseling infeksi primer yang terjadi pada umur kehamilan
20 minggu setelah memperhatikan hasil diagnosis pranatal kemungkinan dapat
dipertimbangkan terminasi kehamilan. Terapi diberikan guna mengobati infeksi CMV yang
serius seperti retinitis, esofagitis pada penderita dengan AIDS serta tindakan profilaksis untuk
mencegah infeksi CMV setelah tranplasi organ. Obat yang digunakan untuk anti CMV untuk saat
ini adalah Ganciclovir, Foscarnet, Cidofivir, dan Valaciclovir, tetapi sampai saat ini belum
dilakukan evaluasi di samping obat tersebut dapat menimbulkan intoksikasi serta resistensi.
Pengembangan vaksin perlu dilakukan guna mencegah morbiditas dan mortalitas akibat infeksi
kongenital.3,5,7

20
2.4 Herpes Simplex Virus

2.4.1 Definisi

Herpes simplex virus (HSV) adalah salah satu virus infeksi penyakit menular seksual
yang paling sering terjadi di dunia. Herpes simplex virus tipe 2 (HSV-2) adalah penyebab utama
herpes genital dan hampir selalu dapat ditularkan secara seksual. Herpes simplex virus tipe 1
(HSV-1) biasanya ditransmisikan selama masa anak-anak tanpa kontak seksual.[1]

2.4.2 Etiologi

Herpes simplex virus (HSV) tipe I dan II merupakan virus herpes hominis yang
meruakan virus DNA. Pembagian tipe I dan II berdasarkan karakteristik pertumbuhan pada
media kultur, antigenic marker dan lokasi klinis tempat predileksi. HSV I sering dihubungkan
dengan infeksi oral sedangkan infeksi herpes tipe II dihubungkan dengan infeksi genital.[1,7]

Herpes simplex ini mudah ditularkan melalui hubungan seksual, kontak langsung denga
penderita, pemakaian akan suatu benda yang digunakan secara bersama-sama seperti sikat gigi,
handuk, sabun, peralatan mandi dan sebagainya.

2.4.3 Epidemiologi

Infeksi HSV genital telah meningkat di negara berkembang. Hasil studi peneliti
Canada mengatakan HSV-2 pada wanita hamil dengan seropositif adalaj 17% dengan
range antara 7.1% hingga 28.1%. HSV neonatal merupakan hal yang diperhitungkan dari
herpes genital. Canadian neonatus menunjukkan infeksi HSV adalah 1 dari 17.000
kelahiran. Menurut data Amerika Aerikat, insiden neinatus dengan HSV adalah 1 dalam
3500 kelahiran. Ketidaksinambungan ini kemungkinan terjadi karena terdapat kasus
yang tidak dilaporkan.[1]

2.4.4 Patogenesis

HSV ditularkan melalui kontak dari orang yang terkena virus tersebut. Untuk
menimbulkan suatu infeksi virus terssebut harus menembus permukaan mukosa atau kulit yang
terluka. HSV I ditransmisikan melalui ssekresi oral, virus menyebar melalui droplet pernapasan
atau melalui kontak langsung dengan air liur yang terinfeksi. Hal inilah yang nantinya akan

21
menyebabkan terjadinya penyakit herpes tipe 1. Selain itu, virus juga ditularkan melalui
hubungan seksual, dimana virus ini akan menyerang bagian genitalia dari laki-laki maupun
perempuan.[1]

2.4.5 Diagnosis

Ketika infeksi terjadi, cara mendiagnosis herpes simplex adalah dengan mengambil
cairan dari luka yang biasanya telah melepuh saat muncul. Selanjutnya adalah dengan cara
melakukan pemeriksaan laboratorium. Selain itu adalah dengan cara melakukan tes serologi
untuk menemukan keeberadaan antibody.[1]

PCR atau tes reaksi juga dapat dilakukan untuk mendiagnosis keberadaan virus herpes
simplex. Tes ini dapat memeriksa keberadaan dan mengetahui tipe HSV yang telah menjangkiti
tubuh melalui sampel darah atau cairan tubuh.[1]

2.4.6 Tatalaksana

Managemen pada infeksi HSV primer maternal

Penatalaksanaan dengan antiviral, termasuk selama kehamilan trimester pertama,


semiestinya dapat dilaksanakan jika simptom gejala jarang ditemukan. Terdapat data penelitian
yang cukup untuk menjamin acyclovir aman saat kehamilan.[1]

Jika selama kehamilan terdapat pasangan HSV discordant ( ketika ibu hami dengan
seronegative dan suaminya positif), nasihat harus diberikan untuk tidak melakukan kontak oral-
anogenital dan anogenital-anogenital untuk mencegah tertularnya HSV. Antivirus juga harus
diberikan kepada sumai untuk menurunkan resiko penularan pada ibu hamil.[1]

Beberapa obat antivirus telah terbukti efektif melawan infeksi HSV. Semua obat tersebut
menghambat sintesis DNA virus. Obat-obat ini dapat menghambat perkembangbiakan
herpesvirus. Salah satu obat yng efektif untuk infeksi Herpes Simpleks Virus adalah Asiklofir
dalam bentuk topical, intravena, dan oral yang semuanya berguna untuk mengatasi infeksi
primer. Penggunaan obat lain yang dapat digunakan adalah Vidarabin, Idoksuridin topical dan
Triflhuridin.

22
3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
TORCH adalah singkatan dari Toxoplasmaa gondii, Others disease (Hepatitis, Sifilis),
Rubella, Cytomegalovirus, dan Herpes Simplex Virus. Kumpulan penyakit ini tentunya dapat
menginfeksi semua kalangan umur, namun lebih rentannya pada anak2 maupun Ibu yang sedang
melahirkan atau yang masih dalam kandungan. Sebaiknya para Ibu yang sedang hamil ataupun
memiliki riwayat salah satu dari penyakit diatas segera melakukan pemeriksaan serologi atau tes
darah untuk mendeteksi ada tidaknya jumlah antibody didalam tubuh sehingga daapat
menegakkan diagnosis penyakit apa.

Jika manusia mengalami salah satu penyakit yang disebabkan diatas, maka sudah dapat
dikatakan pasien tersebut terkena TORCH, namun hal yang perlu diperhatikan untuk mengetahui
diagnossisnya adalaah dengan mengetahui penyebabnya, epidemiologi, gejala dan
patogenesisnya seperti apa.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Anzivino, Elena et al. Virology Journal : Herpes simplex virus infection in pregnancy and
in neonate: status of art of epidemiology, diagnosis, therapy and prevention. BioMed
Central. 2009; 6 (40) : 1-11
2. Cunningham G, Grant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hauth JC, Westrom KD, et al.
Williams Obstetrics. Ed 21st. New York: McGraw-Hill; 2007.
3. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson Textbook of Pediatrics. Ed
18. Philadelphia: Elsevier; 2008.
4. Sutanto I, Ismid IS, Sjarifuddin PK, Sungkar S. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. ed.
4th. Jakarta: Departemen Parasitologi FKUI; 2013.
5. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, K MS, Setiyohadi B, Syam AF. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II. Edisi VI. Jakarta: Interna Publishing; 2014
6. Turbadkar D, Mathur M, Rele M. Seroprevalence of TORCH Infection in Obstrectic
History. Indian Journal of Medical Microbiology. 2003. Available at
http://medind.nic.in/iau/t03/i2/iaut03i2p108.pdf. Accesed at 5 Mei 2016
7. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Volume 1.
edisi 6th . Hartano H, Susi N, Wulansari P, Mahanani DA, editors. Jakarta : EGC; 2005.

24
25

Anda mungkin juga menyukai