"HIPERTENSI URGENSI”
Pendamping :
dr. Ratmawati
Pendamping :
dr. Ratmawati
□ Tujuan:
Mengetahui penegakkan diagnosis dan penatalaksanaan Kejang Demam
Bahan bahasan: □ Tinjauan pustaka □ Riset □ Kasus □ Audit
Cara □ Diskusi □ Presentasi dan diskusi □ E-mail □ Pos
membahas:
Data pasien: Nama: An. D / 1 tahun 5 bulan TTL : 05-07-17
Nama RS : IGD RSUD Majenang, Bangsal RM : 11-73-64
Aster
Data utama untuk bahan diskusi:
1. Diagnosis/Gambaran Klinis:
Kejang Demam Sederhana
2. Gambaran Klinis:
Pasien datang ke IGD RSUD Majenang diantar oleh ibunya, dengan keluhan kejang 1 kali
dirumah pada jam 15.00 WIB sebelum ke IGD, pasien kejang dengan mata mendelik keatas dan
badan kaku, lama kejang ± 2 menit, setelah kejang pasien masih sadar dan menangis.
Sebelumnya pasien batuk berdahak berwarna jernih kental serta demam sejak 2 hari yang lalu.
Ibu pasien mengatakan suhu terakhir sebelum terjadi kejang yaitu 39,0°C. Selama sakit pasien
mengalami penurunan nafsu makan. Keluhan tidak disertai sesak ataupun muntah, BAB dan
BAK tidak ada keluhan.
5. Riwayat Pengobatan
OS diberikan obat penurun panas terakhir pukul 12.30 WIB SMRS yang dibeli sendiri oleh
ibunya di apotek.
6. Riwayat Alergi
Alergi makanan, obat-obatan, cuaca dan debu disangkal
7. Riwayat Kehamilan dan Persalinan
Ibu pasien rutin melakukan pemeriksaan (ANC) setiap sebulan sekali di bidan selama masa
kehamilan. Selama hamil ibu tidak mengalami sakit ataupun gangguan. Anak lahir cukup
bulan 38 minggu, kehamilan tunggal, spontan di bidan tanpa penyulit kehamilan. Langsung
menangis setelah lahir dengan BB 2850 gram dan PB 50 cm.
Kesan : tidak ada sakit selama masa hamil.
9. Riwayat Imunisasi
o Hepatitis B pada saat lahir 1x, pada usia 2 bulan, 3 bulan dan 4 bulan.
o Polio diberikan pada usia 0 bulan untuk OPV-0, OPV-1 diberikan pada usia 2 bulan, OPV-2
diberikan pada usia 3 bulan dan OPV-3 diberikan pada usia 4 bulan.
o BCG diberikan 1 kali pada usia di bawah 3 bulan
o DTP diberikan pada usia 2 bulan DTP-1, DTP-2 usia 3 bulan, DTP-3 usia 4 bulan
o Hib diberikan pada usia 2 bulan Hib-1, Hib-2 usia 3 bulan, Hib-3 usia 4 bulan
o Campak diberikan usia 9 bulan
Kesan : Imunisasi lengkap sesuai usia pasien.
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Sakit Sedang
Kesadaran : Composmentis
Tanda-Tanda Vital
Suhu : 38,3 °C suhu axilla
Nadi : 118 kali/menit
Napas : 30 kali/menit
Tekanan Darah : Tidak dilakukan
Antropometri
- BB : 11 kg
- TB : 80 cm
Status Gizi
Telinga Normotia + +
Sekret - -
Perkusi Sonor/Sonor
Auskultasi BU (+)
B. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hematologi
Darah Rutin
Leukosit 16.5 x 10³/ul L : 3.8 - 10.6
P : 3.6 – 11.0
Hematokrit 36 % L : 40 - 52
P : 35 – 47
MCV 74 fl 82-98
MCH 26 pq 27-32
MCHC 35 % 32-37
Trombosit 264 x 10³/ul 150 - 400
Hitung Jenis Leukosit
Eosinofil 1 % 2–4
Basofil 0 % 0-1
Neutrofil Batang 3 % 3–5
Neutrofil Segmen 64 % 50 – 70
Limfosit 26 % 25 – 40
Monosit 7 % 2–8
C. RESUME
Anak laki-laki 1 tahun 5 bulan, datang ke IGD RSUD Majenang pukul 15.40 WIB
dengan keluhan kejang ± 30 menit yang lalu SMRS, kejang terjadi sekitar pukul 15.00 WIB,
kejang tersebut terjadi 1x seluruh tubuh, disertai dengan demam, batuk, pilek dan nafsu
makan menurun sejak 2 hari yang lalu. Suhu terakhir saat di rumah sekitar 39.0oC. Pada saat
kejang mata anak mendelik keatas dan badan kaku. Kejang merupakan yang pertama kali.
Pasien sudah diberikan parasetamol, terakhir diberikan pada pukul 12.30 WIB. Nadi
118x/menit, pernafasan 30x/menit, suhu 38,3 °C.
D. ASSESMENT
Kejang Demam Sederhana
E. DIAGNOSIS
Diagnosis Klinis : Kejang Demam Sederhana
Status Gizi : Gizi Baik
Status Imunisasi : Imunisasi Dasar Lengkap
Status Tumbuh Kembang : Normal
F. TATALAKSANA
1. Cairan
IVFD RL
BB : 11 kg 10 kg I : 100 ml/kgBB/24 jam = 1000 ml/24 jam
10 kg II : 50 ml/kgBB/24 jam = 50 ml/24 jam
Total = 1050 ml/24 jam
Suhu : 38.3oC kebutuhan cairan meningkat 12% setiap 1oC, jika suhu > 37oC
Kenaikan suhu 1.3oC ~ 1oC
1050 ml x 12% = 126 ml Total kebutuhan cairan pada pasien ini :
1050 ml + 126 ml = 1176 ml/24 jam ~ 1180 ml/24 jam
(1180 ml x 20) / (24 x 60) = 16 tpm (makro)
2. Medikamentosa
O2 via nasal canul 2 lpm
Inj. Parasetamol 3 x 110 mg (tiap 4 jam bila suhu >38oC)
Ambroxol syr (15 mg/5 ml) 2 x ½ cth
Diazepam syr (2 mg/5ml) 3 x ½ cth (jika suhu >37.5oC)
Diazepam supp 5 mg apabila terjadi kejang ulang (dapat diberikan 2x apabila terjadi
kejang berulang dengan interval pemberian 5 menit).
Inj. Amoxicillin 3 x 92 mg
3. Nonmedikamentosa
Edukasi : Edukasi dilakukan kepada orangtua agar melakukan penanganan yang tepat
pada saat anak kejang disertai demam tinggi.
Orang tua sering panik menghadapi kejang karena merupakan peristiwa yang
menakutkan. Kecemasan ini dapat dikurangi dengan antara lain :
1. Meyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik.
2. Memberitahukan cara penanganan kejang.
3. Memberikan informasi tentang risiko kejang berulang.
4. Pemberian obat pencegahan memang efektif, tetapi harus diingat risiko efek
samping obat.
G. PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam
Quo ad sanationam : ad bonam
Tanggal S O A P
17/12/18 Demam (-) S : 37,1 0C KDS IVFD RL 16 tpm
RR : 28 x/m
Inj. Parasetamol 3 x 110 mg
Kejang (-) HR: 106x/m
(tiap 4 jam bila suhu >38oC)
Batuk berdahak (+)
bila Demam
Lemas (+) Ambroxol syr (15 mg/5 ml) 2 x
½ cth Lanjut
Nafsu makan
Diazepam syr (2 mg/5ml) 3 x ½
masih
cth jika suhu >37.5oC
kurang (+) Diazepam supp 5 mg apabila
terjadi kejang ulang (dapat
diberikan 2x apabila terjadi
kejang berulang dengan interval
pemberian 5 menit).
Inj. Amoxicillin 3 x 92 mg
lanjut
Hematokrit 39 % L : 40 - 52
P : 35 – 47
MCV 82 fl 82-98
MCH 28 pq 27-32
MCHC 35 % 32-37
Trombosit 284 x 10³/ul 150 - 400
Hitung Jenis Leukosit
Eosinofil 1 % 2–4
Basofil 0 % 0-1
Neutrofil Batang 3 % 3–5
Neutrofil Segmen 65 % 50 – 70
Limfosit 29 % 25 – 40
Monosit 6 % 2–8
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
(18/12/18)
Hematologi
Darah Rutin
Leukosit 11.0 x 10³/ul L : 3.8 - 10.6
P : 3.6 – 11.0
Hematokrit 41 % L : 40 - 52
P : 35 – 47
MCV 84 fl 82-98
MCH 30 pq 27-32
MCHC 37 % 32-37
Trombosit 298 x 10³/ul 150 - 400
Hitung Jenis Leukosit
Eosinofil 2 % 2–4
Basofil 1 % 0-1
Neutrofil Batang 3 % 3–5
Neutrofil Segmen 67 % 50 – 70
Limfosit 32 % 25 – 40
Monosit 6 % 2–8
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1 Definisi
2.2 Epidemiologi
Kejang demam terjadi pada 2-4% anak dengan umur berkisar antara 6 bulan
sampai 5 tahun, insidensi tertinggi pada umur 1 sampai 2 tahun (usia rerata 22 bulan).
Bila anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang
didahului demam, pikirkan kemungkinan lain misalnya infeksi susunan saraf pusat, atau
epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam. Anak yang pernah kejang tanpa demam,
kemudian kejang kembali disertai demam tidak termasuk dalam kejang demam. Seorang
anak yang mengalami kejang demam, tidak berarti dia menderita epilepsi karena epilepsi
ditandai dengan kejang berulang yang tidak dipicu oleh adanya demam.2
Di Sub Bagian Saraf Anak bagian IKA FKUI – RSCM Jakarta, kriteria
Livingston telah dimodifikasi dan dipakai sebagai pedoman untuk membuat
diagnosa kejang demam sederhana, yakni:
1. Umur anak ketika kejang antara 6 bulan dan 4 tahun.
2. Kejang berlangsung hanya sebentar saja, tidak lebih dari 15 menit.
3. Kejang bersifat umum.
4. Kejang timbul dalam 16 jam pertama setelah timbul demam.
5. Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal.
6. Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya 1 minggu sesudah suhu normal tidak
menunjukkan kelainan.
7. Frekuensi bangkitan kejang di dalam 1 tahun tidak melebihi 4 kali.
Kejang demam yang tidak memenuhi salah satu atau lebih dari ketujuh
kriteria modifikasi Livingston di atas digolongkan pada epilepsi yang diprovokasi
oleh demam. 5
2.4.2 Klasifikasi menurut Prichard dan Mc Greal
Prichard dan Mc Greal membagi kejang demam atas 2 golongan, yaitu:3
1. Kejang Demam Sederhana
2. Kejang Demam Tidak Khas
2.5 Etiologi
Penyebab kejang demam hingga kini masih belum diketahui dengan pasti. Ada
beberapa faktor yang mungkin berperan dalam menyebabkan kejang demam, yaitu: 6
1. Demamnya sendiri.
2. Efek produk toksik daripada mikroorganisme (kuman dan virus) terhadap otak.
3. Respon alergik atau keadaan imun yang abnormal oleh infeksi.
4. Perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit.
5. Ensefalitis viral (radang otak akibat virus) yang ringan atau yang tidak diketahui
atau ensefalopati toksik sepintas.
6. Gabungan semua faktor di atas.
Kejang demam biasanya berhubungan dengan demam yang tiba-tiba tinggi dan
kebanyakan terjadi pada hari pertama anak mengalami demam. Demam dapat muncul
pada permulaan penyakit infeksi (ekstrakranial), yang disebabkan oleh banyak macam
agent, antara lain:7
Bakteri
Penyakit pada Tractus Respiratorius :
Pharingitis
Tonsilitis
Otitis Media
Laryngitis
Bronchitis
Pneumonia
Pada Gastro Intestinal Tract :
Dysenteri Baciller, Shigellosis
Sepsis
Pada tractus Urogenitalis :
Pyelitis
Cystitis
Pyelonephritis
Virus:
Terutama yang disertai exanthema :
Varicella
Morbili
Dengue
Kejang demam yang berlangsung singkat umumnya tidak berbahaya dan tidak
meninggalkan gejala sisa. Tetapi kejang demam yang berlangsung lama (>15 menit)
biasanya disertai dengan apneu, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk
kontraksi otot skeletal yang mengakibatkan hipoksemia, hiperkapneu, dan asidosis laktat.
Hipotensi arterial disertai dengan aritmia jantung dan kenaikan suhu tubuh disebabkan
meningkatnya aktivitas berakibat meningkatnya metabolisme otak.6
Terjadinya bangkitan kejang demam pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan
dengan kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat, yang disebabkan oleh infeksi di luar
sistem saraf pusat, misalnya karena Tonsillitis, Bronchitis atau Otitis Media Akut.7
Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam,
berlangsung singkat, dengan sifat bangkitan kejang berbentuk tonik, klonik, tonik-
klonik, fokal atau akinetik. Umumnya kejang berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti
untuk sesaat anak tidak memberikan reaksi apapun, tetapi setelah beberapa detik atau
menit anak akan terbangun dan sadar kembali tanpa ada kelainan neurologi.7
Living Stone membagi kriteria kejang menjadi 2, yaitu:
1. Kejang Demam Sederhana / KDS
2. Epilepsi yang Diprovokasi oleh Demam
Gejala-gejala yang dapat timbul setelah kejang adalah, otot-otot menjadi lebih
lunak, dan dalam beberapa kejadian seseorang dapat menjadi bingung dan lupa akan
kejadian sebelumnya, mengantuk dan sakit kepala.7
2.8.1 Laboratorium
Pada kejang demam beberapa peneliti mendapatkan kadar yang normal pada
pemeriksaan laboratorium tersebut, oleh karenanya tidak diindikasikan pada kejang
demam, kecuali bila didapatkan kelainan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Bila dicurigai adanya meningitis baktrialis, lakukan pemeriksaan kultur darah dan
kultur cairan serebrospinal. Bila dicurigai adanya ensefalitis, lakukan pemeriksaan
polymerase chain reaction (PCR) terhadap virus herpes simpleks.4
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam,
tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam, atau
keadaan lain misalnya gastroenteritis dehidrasi disertai demam. Macam pemeriksaan
laboratorium ditentukan sesuai kebutuhan. Pemeriksaan laboratorium yang dapat
dikerjakan misalnya darah perifer, elektrolit dan gula darah.9
2.8.2 Pungsi Lumbal
Pungsi lumbal dapat dipertimbangkan pada pasien dengan kejang disertai
penurunan status kesadaran/mental, perdarahan kulit, kaku kuduk, kejang lama,
gejala infeksi paresis, peningkatan sel darah putih, atau tidak adanya faktor pencetus
yang jelas. Pungsi lumbal ulang dapat dilakukan dalam 48 atau 72 jam untuk
memastikan adanya infeksi SSP. Bila didapatkan kelainan neuroligis fokal dan
adanya peningkatan tekanan intracranial, dianjurkan pemeriksaan CT Scan kepala
terlebih dahulu, untuk mencegah terjadinya resiko herniasi.9
The American Academy of Pediatric merekomendasikan pemeriksaan pungsi
lumbal pada serangan pertama kejang disertai demam pada anak usia di bawah 12
bulan sangat dianjurkan, karena gejala klinis yang berhubungan dengan meningitis
sangat minimal bahkan tidak ada. Pada anak usia 12 – 18 bulan lumbal pungsi
dianjurkan, sedangankan pada usia lebih dari 18 bulan lumbal pungsi dilakukan bila
ada kecurigaan adanya infeksi intracranial (meningitis).9
2.8.3 Neuroimaging
Foto X-ray kepala dan pencitraan seperti computed tomography scan (CT-
scan) atau magnetic resonance imaging (MRI) jarang sekali dikerjakan, tidak rutin
dan hanya atas indikasi seperti:10
1. Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis)
2. Paresis nervus VI
3. Papiledema
Neuroimaging tidak berguna pada anak anak dengan kejang demam,
berdasarkan kasus pada 71 anak dengan kejang demam tidak ditemukan adanya
suatu kondisi kelainan intrakranial seperti adanya lesi, perdarahan, hidrochephalus,
abses atau edema serebri.10
2.8.4 Elektroensefalografi
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi
berulangnya kejang, atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi pada
pasien kejang demam. Oleh karenanya tidak direkomendasikan.Pemeriksaan EEG
masih dapat dilakukan pada keadaan kejang demam yang tidak khas. Misalnya:
kejang demam kompleks pada anak usia lebih dari 6 tahun, atau kejang demam
fokal.9
2.9 Diagnosis
Antipiretik
Parasetamol 10-15 mg/kgBB/kali diberikan 4 kali sehari tidak lebih dari 5 kali
atau Ibuprofen 5-10 mg/kgBB/kali, 3-4 kali sehari.
Anti kejang
Diazepam oral dengan dosis 0,3 mg/kgBB setiap 8 jam atau diazepam rektal
dosis 0,5 mg/kgBB setiap 8 jam pada saat suhu tubuh >38,50C. Terdapat efek
samping berupa ataksia, iritabel dan sedasi yang cukup berat pada 25-39%
kasus.
Pengobatan jangka panjang/rumatan (maintenance)
Pengobatan jangka panjang hanya diberikan jika kejang demam menunjukan
ciri-ciri sebagai berikut (salah satu):
Kejang lama > 15 menit
Kelainan neurologi yang nyata sebelum/sesudah kejang : Hemiparesis,
retardasi mental, hidrosefalus.
Kejang fokal
2.12 Komplikasi
Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya dan
tidak menimbulkan gejala sisa. Tetapi pada kejang yang berlangsung lama (lebih dari
15 menit) biasanya disertai terjadinya apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan
energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia,
asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme anaerobik, hipotensi arterial disertai
denyut jantung yang tidak teratur, makin meningkatnya aktifitas otot dan selanjutnya
menyebabkan metabolisme otak meningkat, kerusakan neuron otak, kelumpuhan,
penurunan IQ. Rangkaian kejadian di atas adalah faktor penyebab hingga terjadinya
kerusakan neuron otak selama berlangsungnya kejang lama.6
Faktor-faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan
hipoksia sehingga meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang
mengakibatkan kerusakan sel neuron otak. Jadi kejang demam yang berlangsung lama
dapat menyebabkan kelainan anatomis di otak hingga terjadi epilepsy.6
2.13 Prognosis
Prognosis anak dengan kejang demam sederhana sangat baik. Banyak anak yang
akan mengalami kejang demam kembali, namun risiko epilepsi di kemudian hari tidak
lebih besar dibandingkan pada populasi umum (sekitar 1%). Anak dengan kejang demam
kompleks hanya memiliki risiko 7% untuk mengalami kejang demam kembali.2
Dengan penangulangan yang tepat dan cepat, prognosis kejang demam baik dan
tidak perlu menyebabkan kematian. Perkembangan mental dan neurologis umumnya
tetap normal pada pasien yang sebelumnya tidak memiliki kelainan neurologis.2
DAFTAR PUSTAKA
1. H. Pudjiadi, Antonius, dkk. Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat. Penerbit : Badan
Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2013. Hal 31-37
2. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Pelayanan Medis. Jilid 1. Jakarta: Ikatan
Dokter Anak Indonesia; 2011. Hal. 150-152
3. Taslim S Soetomenggolo. Kejang Demam Dalam Buku Neurologi UI. Jakarta: Penerbit
FKUI. 2004. Hal. 244-251.
4. Asril Aminulah, Prof Bambang Madiyono. Hot Topik In Pediateric II : Kejang Pada
Anak. Cetakan ke-2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2002.
5. Tumbelaka, Alan R, Trihono, Partini P, Kurniati, Nia, Putro Widodo, Dwi. Penanganan
Demam Pada Anak Secara Profesional: Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu
Kesehatan Anak XLVII. Cetakan pertama. FKUI-RSCM. Jakarta. 2005.
6. Hasan Rusepno, Alatas Husein. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: FK.UI. 1997. Hal. 847-60
7. Rukhmana, Yudith F. Kejang Demam. 2008. Sumber :
https://www.scribd.com/doc/87503808
8. Matondang, Corry S, dkk. Diagnosis Fisis Pada Anak. Edisi ke-2. Jakarta : PT Sagung
Seto; 2007. Hal 9-10