Anda di halaman 1dari 12

BAB I

LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien

Nama : An. DA

Umur : 26 tahun

J.Kelamin : Laki-laki

Alamat : Jl. Ikan Pari

Suku/Bangsa : Lampung/Indonesia

Agama : Islam

Status : Belum Menikah

II. Anamnesis

Anamnesis dilakukan dengan cara autoanamnesis pada hari senin, tanggal 11 Februari 2019 pukul

12:30 WIB.

a. Keluhan Utama

Os datang dengan keluhan kulit bersisik disekitar wajah .

b. Keluhan Tambahan

Timbul gatal-gatal pada kulit yang bersisik.


c. Riwayat Perjalanan Penyakit

Sekitar beberapa tahun yang lalu tepatnya pada saat Os beranjak dewasa, Os pernah

memakai DR krim dimana merupakan krim yang berguna untuk mencerahkan dan memutihkan

wajah. Akan tetapi, setelah os memakai krim tersebut pipi os malah menjadi kempot dan

menyerupai orang tua. Setelah itu Os mencoba memakai produk sabun muka yang lainnya yaitu

pikangsuang, akan tetapi setelah os memakai sabun tersebut muka os malah mengalami penebalan

menjadi seperti topeng yang disertai gatal-gatal dan sering digaruk oleh os karena gatal yang tidak

tertahankan.

Setelah itu ± sekitar 1 tahun ini Os memakai sabun asepso, akan tetapi keluhan os bukannya

reda malah semakin bertambah. Os mengeluh kulit bersisik disertai dengan panas dan gatal pada

muka, dan ketiak akan bertambah parah apabila terkena hujan ataupun udara dingin. Sekitar 2

minggu yang lalu Os mengikuti kegiatan berkemah di Lampung Timur dan keluhannya semakin

bertambah kulitnya dirasakan semakin bersisik dan gatal, keluhannya pun menjalar kebagian leher

terutama pada daerah lipatan tubuh. Karena penyakit os tidak kunjung sembuh akhirnya os

memutuskan untuk berobat ke rumah sakit.

d. Riwayat Pengobatan

- Belum pernah berobat sebelumnya.

e. Riwayat Penyakit Dahulu

- Os belum pernah mengalami penyakit yang sama.

f. Riwayat Penyakit Keluarga

- Keluarga tidak pernah mengalami penyakit yang sama.


III. Status Generalisata

Keadaan Umum : Baik

Kesadaran : Compos mentis

Status Gizi : Baik

Tanda Vital

Tekanan Darah : 120/80 mm/hg

Nadi : 80 x/m

RR : 20 x/m

Suhu : 36,8

Berat Badan : 60 kg

Tinggi Badan : 168 cm

IV. Status Dermatologis

a. Lokasi

Pada regio facialis, colli, axilla dextra et sinistra


b. Inspeksi

Tampak plak hiperpigmentasi pada regio facialis. Tampak skuama halus hipopigmentasi pada

region colli, tampak makula hiperpigmentasi pada axilla, tampak gambaran ekskoriatif akibat

garukan.

V. Laboratorium

Pada kasus ini tidak dilakukan pemeriksaan laboratorium

VI. Lampiran Foto


VII. Resume

Pasien datang dengan keluhan kulit bersisik disekitar wajah, timbul gatal-gatal pada kulit

yang bersisik. Beberapa hari terakhir ini os mengeluhkan penyakitnya semakin mengganggu yaitu

semakin gatal dan mengalami penebalan yang menjalar ke leher, ketiak dan akan bertambah parah

apabila terkena cuaca dingin dan hujan. Dari hasil pemeriksaan dermatologis didapatkan plak

hiperpigmentasi pada region facialis, tampak makula hiperpigmentasi pada region axilla, dan

skuama halus berwarna putih pada regio colli.

VIII. Diagnosis Banding

- Psoriasis

- Dermatitis atopik

- Dermatitis seboroik
IX. Diagnosis Kerja

- Dermatitis seboroik

X. Penatalaksanaan

a. Penatalaksanaan Umum (Non Medikamentosa)

- Mencegah garukan

- Kuku tidak boleh panjang

- Menjaga hygiene sendiri dan lingkungan.

- Hindari benda yang dapat merangsang gatal (alergen).

- Hidari atau kurangi kontak dengan matahari.

b. Penatalaksanaan Khusus (Medikamentosa)

 Oral

- Antihistamin: Loratadine 1x1 tab malam

 Topikal

- Ketokonaxol krim 9 gr

- Kloderma krim 9 gr

XI. Pemeriksaan Anjuran

 Pemeriksaan histopatologik.
XII. Prognosis

Quo ad Vitam : Dubia Ad Bonam

Quo Ad Functionam : Dubia Ad Bonam

Quo Ad Sanationam : Dubia Ad Bonam


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi

Dermatitis seboroik adalah kelainan papuloskuamosa yang sering dijumpai dan bersifat

kronis dapat mengenai bayi dan dewasa. Penyakit ini secara khas didapatkan pada daerah tubuh

yang memiliki folikel sebasea dengan konsentrasi yang tinggi dan kelenjar sebasea yang aktif

seperti wajah, kulit kepala, telinga, tubuh bagian atas, dan daerah lipatan (inguinal,

inframammae dan aksila). Daerah yang lebih jarang terkena termasuk interskapula, umbilikus,

perineum dan lipatan anogenital.

2. Epidemiologi

Prevalensi dermatitis seboroik secara umum berkisar 3-5% pada populasi umum. Lesi

ditemui pada kelompok remaja, dengan ketombe sebagai bentuk yang lebih sering dijumpai.

Pada kelompok HIV, angka kejadian dermatitis seboroik lebih tinggi dibandingkan dengan

populasi umum. Sebanyak 36% pasien HIV mengalami dermatitis seboroik. Umumnya diawali

sejak usia pubertas, dan memuncak pada umur 40 tahun. Dalam usia lanjut dapat dijumpai

bentuk yang ringan, sedangkan pada bayi dapat terlihat lesi berupa kerak kulit kepala (cradle

cap) dan jenis kelamin laki-laki paling banyak.

3. Etiopatogenesis

Etiopatogenesis DS masih sebagian diketahui. Lipid kulit dan spesies Malassezia adalah

faktor etiologi yang paling banyak dipelajari. Kelenjar sebasea pasien DS tidak lebih banyak
dibandingkan dengan individu sehat. Selain itu tidak didapatkan kelainan morfologi dan ukuran

kelenjar pada penderita DS dibandingkan dengan orang sehat.

Tidak semua orang dengan hiperseborea mengalami DS, tetapi pasien dengan DS dapat

memiliki kuantitas sebum yang normal atau bahkan kulit yang kering. Sehingga dapat

disimpulkan bahwa jumlah sebum bukanlah faktor penyebab terjadinya DS. Pada sebum pasien

DS, trigliserida dan kolesterol meningkat, sementara skualan dan asam lemak bebas berkurang.

Asam lemak bebas yang diketahui memiliki efek antimikroba dibentuk dari trigliserida oleh

lipase bakteri, diproduksi oleh Corynebacterium acne dan Malassezia yang merupakan flora

residen. Asam lemak bebas dan radikal oksigen reaktif dapat mengubah keseimbangan flora

normal kulit.

Spesies Malassezia tidak dapat memproduksi asam lemak yang penting untuk

pertumbuhannya. Namun, ia menghasilkan lipase dan fosfolipase yang akan memecah

trigliserida menjadi asam lemak bebas. Selanjutnya, spesies Malassezia menggunakan asam

lemak jenuh dan melepaskan asam lemak tak jenuh ke permukaan kulit. Akhirnya, spesies ini

menginduksi pelepasan sitokin proinflamasi (IL6 dan 8 dan tumor necrosis factor α). Pada

pasien AIDS, DS lebih sering terjadi dan berat.

Pada pasien AIDS, prevalensi DS berkisar antara 34% hingga 83% (pada populasi umum

prevalensinya hanya 3-5%). Pasien-pasien ini kebanyakan laki-laki homoseksual atau biseksual

dengan CD4+ <400/mm. Mereka menderita DS dengan peradangan dan deskuamasi yang lebih

berat. Selanjutnya pada pasien AIDS, beban Malassezia spp. lebih tinggi daripada pada subyek

sehat. Hal ini dapat terjadi karena pasien-pasien tersebut memiliki defisiensi seluler spesifik

terhadap Malassezia Spp. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Malassezia spp. Memiliki
peranan dalam patogenesis DS. Hal ini juga ditunjukkkan dari fakta bahwa antimikotik oral

efektif sebagai terapi DS.

4. Manifestasi Klinis

Dermatitis seboroik sering tampak sebagai plak eritema berbatas tegas dengan permukaan

berminyak, skuama kekuningan dengan berbagai perluasan pada daerah yang kaya kelenjar

sebasea, seperti kulit kepala, area retroaurikuler, wajah (lipatan nasolabial, bibir atas, kelopak

mata dan alis) dan dada bagian atas. Distribusi lesi umumnya simetris dan DS tidak menular

maupun fatal.

Pada bayi, DS dapat tampak pada area kulit kepala, wajah, retroaurikuler, lipatan tubuh

dan badan; jarang menjadi generalisata. Cradle cap adalah manifestasi klinis yang paling sering.

Dermatitis seboroik pada anak-anak biasanya sembuh sendiri. Sebaliknya, dermatitis seboroik

pada dewasa biasanya kronis dan kambuhan. Gatal jarang dirasakan, tetapi sering terjadi pada

lesi di kepala. Komplikasi utamanya adalah infeksi sekunder bakterial, yang meningkatkan

kemerahan, eksudat dan iritasi lokal.

Namun pada bayi juga dapat memberat berupa perluasan lesi kulit hingga lebih dari 90%

area tubuh sebagai eritroderma deskuamativum (penyakit Leiner). Manifestasi klinisnya berupa

demam, anemia, diare, muntah, penurunan berat badan dan dapat menyebabkan kematian. Pada

pasien imunosupresi, DS sering meluas, intens dan refrakter terhadap terapi. Hal ini dapat

dipertimbangkan sebagai manifestasi kulit awal pada AIDS anak-anak dan dewasa.

5. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan morfologi khas lesi eksema dengan skuama kuning

berminyak di area predileksi. Pada kasus yang sulit perlu dilakukan pemeriksaan histopatologi.
6. Penatalaksanaan

Pengobatan tidak menyembuhkan secara permanen sehingga terapi dilakukan berulang

saat gejala timbul. Tatalaksana yang dilakukan antara lain:

a) Sampo yang mengandung obat anti Malessezia, misalnya: selenium sulfide, zinc pirithione,

ketokonazol, berbagai sampo yang mengandung ter dan solusio terbinafine 1%.

b) Untuk menghilangkan skuama tebal dan mengurangi jumlah sebum pada kulit dapat

dilakukan dengan mencuci wajah berulang dengan sabun lunak. Pertumbuhan jamur dapat

dikurangi dengan krim imidazole dan turunannya, bahan antimikotik di daerah lipatan bila

ada gejala.

c) Skuama dapat diperlunak dengan krim yang mengandung asam salisilat atau sulfur.

d) Pengobatan simtomatik dengan kortikosteroid topikal potensi sedang, immunosupresan

topikal (takrolimus dan pimekrolimus) terutama untuk daerah wajah sebagai pengganti

kortikosteroid topical.

e) Metronidazole topikal, siklopiroksolamin, talkasitol, benzoil peroksida dan salep litium

suksinat 5%.

f) Pada kasus yang tidak membaik dengan terapi konvensional dapat digunakan terapi sinar

ultraviolet-B (UVB) atau pemberian itrakonazole 100mg/hari per oral selama 21 hari.

g) Bila tidak membaik dengan semua modalitas terapi, pada dermatitis seboroik yang luas

dapat diberikan prednisolone 30mg/hari untuk respons cepat.

7. Prognosis

Dermatitis seboroik dapat sembuh sendiri dan merespon pengobatan topical dengan baik.

Namun, pada sebagian kasus yang memiliki faktor konstitusi, penyakit ini agak susah untuk

disembuhkan, meskipun terkontrol.


DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda A, Dermatitis Seboroik dalam : ilmu penyakit kulit dan kelamin edisi kelima.

Fakultas kedokteran universitas indonesia. Jakarta 2010: 232-233

2. Khumaisiyah(2015), Dermatitis Seboroik, Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya,

hal: 10-19.

Anda mungkin juga menyukai