Pembimbing :
dr. Nurul Rakhmawati, Sp.N
Disusun Oleh :
Utami Khairunnisa (2015730130)
2
KATA PENGANTAR
Dalam penulisan laporan referat ini, tidak lepas dari bantuan dan kemudahan
yang diberikan secara tulus dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis
menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Nurul
Rakhmawati, Sp.N sebagai dokter pembimbing.
Dalam penulisan laporan referat ini tentu saja masih banyak kekurangan dan
jauh dari sempurna, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, kritik dan
saran yang bersifat membangun akan sangat penulis harapkan demi kesempurnaan
referat ini.
Akhirnya, dengan mengucapkan Alhamdulillahirobbil ‘alamin laporan referat
ini telah selesai dan semoga bermanfaat bagi semua pihak serta semoga Allah
SWT membalas semua kebaikan dengan balasan yang terbaik, Aamiin Ya Robbal
Alamin.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
PENDAHULUAN...................................................................................................1
BAB II......................................................................................................................2
PEMBAHASAN......................................................................................................2
2.1. Pendekatan Diagnostik Kejang.................................................................2
2.1.1. Definisi...............................................................................................2
2.1.2. Epidemiologi......................................................................................3
2.1.3. Etiologi...............................................................................................4
2.1.4. Patofisiologi Kejang...........................................................................5
2.1.5. Klasifikasi Epilepsi..........................................................................11
2.1.6. Gejala dan Tanda Klinis...................................................................12
2.1.7. Diagnosis dan Diagnosis Banding...................................................15
2.1.8. Tata Laksana....................................................................................17
2.2. Tatalaksana Status Epileptikus................................................................21
2.2.1. Status Epileptikus.............................................................................21
2.2.2. Patofisiologi Status Epileptikus.......................................................24
2.2.3. Tatalaksana......................................................................................27
2.2.4. Komplikasi.......................................................................................31
2.2.5. Prognosis..........................................................................................32
KESIMPULAN......................................................................................................33
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................iii
ii
PENDAHULUAN
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.1. Definisi
2
konsekuensi social akibat kondisi tersebut5
2.1.2. Epidemiologi
3
2.1.3. Etiologi
Penyebab kejang secara umum dapat dibagi menjadi dua yaitu intrakranial
dan ekstrakranial.
1. Intrakranial
Penyebab intrakranial dapat dibagi lagi menjadi dua yaitu primer dan
sekunder. Penyebab intrakranial primer disebut juga idiopatik. Sedangkan
sekunder dapat disebabkan karena neoplasma intrakranial, kelainan
kongenital seperti hidrosefalus, infeksi seperti meningitis dan ensefalitis,
dan trauma kepala.
2. Ekstrakranial
4
ada risiko jika hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit.
Space Occupaying lesions
a. Tumor otak
b. Malformasi arteri vena (AVM)
c. Hematoma subdural
d. Neurofibromatosis
Infeksi Cerebral
a. Bakteri atau virus meningitis.
b. Radang otak
c. Abses otak
Kejang demam atipikal
Faktor genetic, seperti kromosom yg abnormal
Gangguan pembuluh darah serebral, seperti : hemoragis dan trombosis
Asidosis hipoksia
Riwayat keluarga
Secara normal aktivitas otak terjadi oleh karena perpindahan sinyal dari
satu neuron ke neuron lain. perpindahan ini terjadi antara akson terminal suatu
neuron dengan dendrit neuron yang lain melalui sinaps (Gambar 1). Sinaps
merupakan area yang penting untuk perpindahan elektrolit dan sekresi
neurotransmiter yang berada di dalam vesikel presinaps. Komposisi elektrolit
dan neurotransmiter saling mempengaruhi satu sama Iain untuk menjaga
keseimbangan gradien ion di dalam dan luar sel melalui ikatan antara
neurotransmiter dengan reseptornya serta keluar masuknya elektrolit melaiui
kanalnya masing-masing. Aktivitas tersebut akan menyebabkan terjadinya
depolarisasi, hiperpolarisasi, dan repolarisasi, sehingga terjadi potensial
eksitasi dan inhibisi pada sel neuron. Potensial eksitasi diproyeksikan Oleh
sel-sel neuron yang berada di korteks yang kemudian diteruskan Oleh akson,
sementara sel interneuron berfungsi sebagai inhibisi.5
5
Elektrolit yang berperan penting dalam aktivitas Otak adalah natrium
(Na+), kalsium (Ca2+), kalium (K+), magnesium (Mg2+), dan klorida (Cl-),
Neurotransmiter utama Pada proses eksitasi adalah glutamat yang akan
berikatan dengan reseptornya, yaitu N. metil-D-aspartat (NMDA) dan non-
NMDA (amino-3-hydroxy-5-methyl-isoxasoIe propionic acid/AMPA dan
kainat). Sementara pada proses inhibisi, neurotransmiter utama adalah Y-asam
aminobutirik (GABA) yang akan berikatan dengan reseptornya GABA A dan
GABAB(Gambar 2b). GABA merupakan neurotransmiter yang disintesis dari
glutamat Oleh enzim glutamic acid decarboxylase (GAD) dengan bantuan
piridoksin (vitamin B6) di terminal presinaps.
Saat potensial eksitasi dihantarkan Oleh akson menuju celah sinaps, akan
terjadi sekresi glutamat ke celah sinaps. Glutamat akan berikatan dengan
reseptor non-NMDA, dan Na+ akan masuk ke dalam sel menyebabkan
terjadinya depolarisasi cepat (Gambar 2a). Apabila depolarisasi mencapai
ambang potensial 10-20mV, maka Mg2+yang menduduki reseptor NMDA
yang sudah berikatan dengan glutamat dan ko-agonisnya (glisin) dikeluarkan
ke celah sinaps (Gambar 2a), sehingga akan masuk ke dalam sel diikuti Oleh
6
Ca2+. Masuknya Na+ dan Ca2+ akan memperpanjang potensial eksitasi, disebut
sebagai depolarisasi Iambat. Setelah Na+ mencapai ambang batas depolarisasi,
akan keluar dari dalam sel, yang disebut sebagai repolarisasi (Gambar 2a).5
Sementara itu, Ca2+ yang masuk ke dalam sel juga akan mendorong
pelepasan neurotransmitter GABA ke celah sinaps (Gambar 2b). Saat GABA
berikatan dengan reseptor GABAA pascasinaps dan mencetuskan potensial
inhibisi, Cl- akan masuk ke dalam sel dan menurunkan ambang potensial
membrane sel sampai kembali ambang istirahat pada -70pV yang disebut
sebagai hiperpolarisasi. Reseptor GABAB di presinaps berperan
memperpanjang potensial inhibisi. Hasil akhir aksi potensial yang dihasilkan
merupakan sumasi dari potensial eksitasi dan inhibisi yang dipengaruhi oleh
jarak dan waktu.
7
Sel glia turut berperan dalam menjaga keseimbangan eksitasi dan inhibisi
dengan berperan sebagai spons yang berfungsi untuk ‘menghisap' K + dan
glutamat yang berlebihan di celah sinaps untuk kemudian disintesis dan
dikembalikan lagi ke neuron presinaps.
8
faktor. faktor inflamasi, kemudian merangsang peningkatan eksitasi dan
akhirnya membentuk lingkaran yang berkepanjangan. Kerusakan yang terjadi
secara terus menerus dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan
perubahan aktivitas otak, struktur neuron, dan ekspresi gen.
9
yang peka terhadap perubahan jumlah glutamat. Pada keadaan eksitasi
berlebihan maka reseptor akan meningkatkan kepekaan atau jumlah reseptor.
Sebaliknya dengan respons reseptor GABA terhadap peningkatan aktivitas
GABA, reseptor-reseptor tersebut justru akan tersublimasi dan menjadi bentuk
yang tidak sensitif terhadap neurotransmiternya. Ini yang menyebabkan pada
status epileptikus yang berkepanjangan, reseptor glutamat akan semakin
meningkat dan reseptor GABA akan semakin berkurang(Gambar 4).5
10
3. Gangguan kesadaran: kejang fokal menjadi focal impaired awareness
seizure bila terdapat gangguan kesadaran pada titik manasaja selama
periode kejang.
4. Onset yang mendominasi: klasifikasikan kejag fokal dengan gejala atau
tanda pertama yang menonjol dengan tidak termasuk transient behavior
arrest.
5. Behavior arrest: focal behavior arrest seizure menunjukkan penghentian
aktivitas sebagai gejala yang paling menonjol selama kejang.
6. Motor/non motor: subklasifikasi selanjutnya setelah menentukan tingkat
kesadaran. Pada kejang fokal, bila kesadaran sulit ditentukan, jenis kejang
fokal dapat ditentukan hanya dengan karakteristik motor atau non motor.
7. Deskripsi tambahan: setelah menentukan jenis kejang, dapat
menambahkan deskripsi dari gejala dan tanda. Hal ini tidak mengganggu
jenis kejang yang sudah ditentukan sebelumnya. Sebagai contoh: focal
emotional seizure dengan tonik pada lengan kanan dan hiperventilasi.
8. Bilateral berbanding umum: penggunaan istilah bilateral untuk kejang
tonik-klonik yang menyebar ke kedua hemisfer dan istilah umum untuk
kejang yang secara simultan berasal dari kedua hemisfer.
9. Absans atipikal: disebut absans atipikal bila onset lambat atau offset,
terdapat perubahan tonus, atau < 3 gelombang spike per detik di EEG.
10. Klonik berbanding myoklonik: klonik merujuk pada gerakan menyentak
ritmik yang terus menerus dan myoklonik adalah gerakan menyentak yang
regular tidak berkelanjutan.
11. Myoklonik palpebra: absans dengan myoklonik palpebra merujuk pada
gejakan mengedip selama kejang absans.
11
gejala autonom seperti mengompol dan mulut berbusa. Gambaran iktal:
tiba-tiba mata melotot dan tertarik ke atas, seluruh tubuh kontraksi tonik,
dapat disertai suara teriakan dan nyaring, selanjutnya diikuti gerakan
klonik berulang simetris di seluruh tubuh, Iidah dapat tergigit dan mulut
berbusa serta diikuti mengompol. Setelah iktal, tubuh pasien menjadi
hipotonus, pasien dapat tertidur dan terasa lemah.
2. Bangkitan Tonik
3. Bangkitan Klonik
Bangkitan ini ditandai oleh gerakan kontraksi klonik yang ritmik (1-
5Hz) di seluruh tubuh disertai hilangnya kesadaran sejak awal bangkitan.
Pada EEG iktal didapatkan aktivitas epileptiform umum berupa gelnrn.
bang paku, paku multipel, atau kombinasi gelombang irama cepat dan
lambat.
4. Bangkitan Mioklonik
12
dapat berlangsung fokal, segmental, multifokal, atau umum. Gambaran
EEG berupa gelombang polyspikes yang bersifat umum dan singkat.
5. Bangkitan Atonik
8. Bangkitan Fokal/Parsial
13
Bentuk bangkitan yang terjadi tergantung dari letak fokus epileptik di
otak. Fokus epileptik berasal dari area tertentu yang kemudian mengalami
propagasi dan menyebar ke bagian otak yang lain. Bentuk bangkitan dapat
berupa gejala motorik, sensorik (kesemutan, baal), sensorik spesial
(halusinasi visual, halusinasi auditorik), emosi (rasa takut, marah),
autonom (kulit pucat, merinding, rasa mual). Bangkitan parsial sederhana
yang diikuti dengan bangkitan parsial kompleks atau bangkitan umum
sekunder disebut sebagai aura.
Epilepsi adalah suatu penyakit atau gangguan di otak yang ditegakkan jika
terdapat:
Paling sedikit 2 kali bangkitan tanpa provokasi (atau refleks) dengan jarak
antar 2 bangkitan tersebut >24 jam.
Satu kali bangkitan tanpa provoka.si (atau refleks) dan kemungkinan
terjadinya bangkitan berikutnya hampir sama dengan risiko timbulnya
bangkitan (paling sedikit 60%) setelah terjadi 2 kali bangkitan tanpa
provokasi, dalam 10 tahun ke depan.
Diagnosis sindrom epilepsi.
14
Anamnesis memegang peranan terbesar dalam mengidentifikasi
bangkitan epileptik. Anamnesis dimulai dengan menggali semiologi
bangkitan epileptik, yang paling utama adalah semiologi iktal.
15
Kesesuaian antara asal runutan fokus merupakan semiologi bangkitan
dengan asal fokus merupaka kunci utama Bila terdapat lebih dari satu kalí
maka bentuk bangkitan akan selalu sama. Frekuensi bangkitan , durasi antar
bangkitan dan waktu terjadi bangkitan mempunyai ke khasan setiap lobus.
Medikamentosa
16
mendasarinya, biasanya tidak memerlukan terapi jangka panjang. Sementara
bangkitan epileptik yang terjadi akibat suatu kelainan intrakranial yang
kronis diperlukan terapi jangka panjang.
Pada bangkitan epileptik pertama, terapi obat anti epilepsi (OAE) dapat
langsung diberikan bila terdapat risiko yang tinggi untuk terjadibangkitan
berulang. Misalnya pada status epileptikus sebagai bangkitan epileptik
pertama, ditemukannya lesi intrakranial sebagai penyebab bangkitan, riwayat
keluarga epilepsi dan beberapa indikasi lainnya.
OAE diberikan berdasarkan tipe bangkitan. OAE pilihan pada kejang tipe
parsial berdasarkan pedoman ILAE 2013 antara lain adalah karbamazepin,
levetirasetam, zonisamid, dan fenitoin. Pilihan OAE pada anak adalah
okskarbazepin dan pada lanjut usia adalah lamotrigin dan gabapentin.
Sementara pada bangkitan pełłama umum tonik klonik pada dewasa dan anak
adalah karbamazepin, okskarbazepin, fenitoin, dan lamotrigin (Tabel 1).
Dosis obat dimulai dari dosis kecil dan dinaikkan secara bertahap sampai
mencapai dosis terapi. Pantau efek samping jangka pendek, seperti
mengantuk, gangguan emosi dan perilaku, gangguan hematologi, fungsi
hepar, atau alergi. Jika tidak ditemukan efek samping dan pasien merasa
nyaman dengan obat tersebut, dosis obat dapat dinaikkan bertahap sampai
tercapai bebas bangkitan atau terjadi intoksikasi. Gejala dan tanda intoksikasi
dapat muncul ringan sampai berat. Bila muncul gejala dan tanda intoksikasi
ringan, seperti dizziness dan nistagmus pada intoksikasi fenitoin, dosis dapat
diturunkan ke dosis sebelum tanda intoksikmsi tersebut muncul. Namun
apabila terjadi intoksikasi berat seperti penurunan kesadaran pada intoksłkasi
valproat maka obat harus langsung dihentikan dan diganti dengan obat yang
tidak mempunyai profil efek samping yang sama serta waktu steady stałe
cepat untuk mencegah status epileptikus akibat efek withdrawal.
17
Prinsip pengobatan epilepsi adalah monoterapi dengan target pengobatan
3 tahun bebas bangkitan. Bila pemberian monoterapi tidak dapat mencegah
bangkitan berulang, politerapi dapat diberikan dengan pertimbangan profil
obat yang akan dikombinasikan. Apabila masih tidak dapat diatasi, maka
perlu dipertimbangkan tindakan pembedahan untuk menghilangkan fokus
epileptik.
Tabel 1. Rangkuman Studi dan Peringkat Bukti Efikasi dan Evektivitas Obat Anti
Epilepsi Berdasarkan Tipe Bangkitan dan Sindrom Epilepsi ILAE 2013
Tipe Bangkitan
Penelitian Peringkat Bukti Efikasi dan
atau Sindrom
Kelas Efektivitas
Epilepsi
I II III
Level A: CBZ, LEV, PHT, ZNS
Level B : VPA
Bangkitan parsial
4 1 34 Level C: GBP, LTG, OXC, PB,
pada dewasa TPM, VGB
Level D : CZP, PRM
Level A: OXC
Level B: tidak ada
Bangkitan parsial
1 0 19 Level C : CBZ, PB, PHT, TPM,
pada anak VPA, VGB
Level D: CLB, CZP, LTG, ZNS
LevelA:GBP,LTG Level B:
Bangkitan parsial
1 1 3 Tidakada Level C: CBZ
pada lansia Level D. TPM, VPA
Level A: Tidak ada
Bangkitan umum Level B: Tidak ada
tonik klonik pada 0 0 27 Level C: CBZ, LTG, OXC, PB,
dewasa PHT, TPM, VPA
Level D: GBP, LEV. VC,B
Level A: Tidak ada
Bangkitan umum
Level B: Tidak ada
tonik klonik pada 0 0 14 Level C: CBZ, PB, PHT, TPM, VPA
anak Level D: OXC
Level A: ESM, VPA
Bangkitan absans LevelB:Tidakada
1 0 7 Level C: LTG
pada anak
Level D: Tidak ada
Benign epilepsy Level A: Tidak ada
with Level B: Tidak ada
0 0 3 Level C. CBZ, VPA
centrotemporal
spikes (BECTS) Level D: GBP, LEV, OXC, STM
Epilepsi 0 0 1 Level A: Tidak ada
mioklonik pada Level B: Tidak ada
18
Level C: Tidak ada
dewasa Level D: TPM, VPA
CBZ: carbamazepine; LEV: levetiracetam; PHT: phenytoin; ZNS: zonisamide;
VPA: valproic acid; GBP: gabapentine; OXC; oxcarbazepine; PB: phenobarbital;
TPM: topiramate; VGB: vigabatrin; CZP: clonazepame; PRM: primidone; CLB:
clobazame; LTG: lamotrigine; STM: sulthiame, ESM: ethosuximide
Non-Medikamentosa
1. Pembedahan epilepsi
2. Stimulasi nervus vagus
3. Diet ketogenik
Diet ketogenik sampai saat ini terbukti efektif pada pasien epilepsi
anak-anak. Diet ketogenik adalah diet dengan tinggi lemak, rendah
protein, dan rendah karbohidrat. Angka bebas bangkitan pada anak-anak
mencapai 16%, penurunan >90% frekuensi bangkitan sebesar 32%,
19
penurunan >50% frekuensi bangkitan sebesar 56%. Namun diet ketogenik
ini belum terbukti efektif pada pasien dewasa.
Status epileptikus (SE) penting untuk dikenali secara dini, sehingga dapat
ditatalaksana sesegera mungkin dimulai pada fase prarumah sakit. Tata
laksana SE yang tepat akan meningkatkan probabilitas terminasi bangkitan
epileptik dan pada akhirnya menurunkan angka morbiditas dan mortalitas.
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) tahun 2015, terdapat 2
jenis SE berdasarkan bentuk bangkitannya, yaitu 1) SE dengan gejala motor
yang prominen dan 2) SE tanpa gejala motor yang prominen (Tabel 2)
20
SE Otonom
21
SE Fokal dengan 10 menit >60menit
Gangguan Kesaradaran
SE absans 10-15 menit Tidak diketahui
Proses Akut
22
• Sepsis
• Obat-obatan:
▪ Intoksikasi Obat atau alkohol.
▪ Withdrawal Obat golongan opiod, benzodiazepin, barbiturat, atau
alkohol.
• Hipoksia
• Ensefalitis autoimun
Proses Kronik
Epilepsi: penghentian atau penurunan Obat anti epilepsi (OAE)
Pnyalahgunaan alkohol kronik
Gangguan susunan saraf pusat lampau (misalnya pascastroke,
pascaensefalitis)
Gangguan metabolisme bawaan pada anak
Proses Progresif
Tumor susunan saraf pusat
Etiologi akut SE yang paling sering adalah stroke (22%), diikuti
gangguan metabolik (15%), hipoksia (13%), infeksi sistemik (7%), dan
anoksia (5%). Namun yang menyebabkan mortalitas tertinggi adalah
anoksia (71%,) diikuti hipoksia (53%), stroke (33%), dan gangguan
metabolik (30%). Etiologi proses kronik yang paling sering adalah
konsentrasi OAE yang rendah pada pasien epilepsi (34%) diikuti penyebab
simtomatik seperti tumor, stroke, dan trauma (25%). Angka mortalitas SE
yang disebabkan etiologi akut lebih tinggi dibandingkan akibat etiologi
kronik.
23
2.2.2. Patofisiologi Status Epileptikus
24
Gambar 6. Kaskade dari Mekanisme yang Terlibat pada Transisi dari Bangkitan Tunggal hingga Menjadi
Status Epileptikus
25
2.2.3. Tatalaksana
26
Tabel 4. Protokol Tatalaksana SE
27
Waktu Intervensi
Fase Stabilisasi pasien (jalan napas, pernapasan, sirkulasi, dan
stabilisasi disabilitas neurologis)
: Catat waktu mulai bangkitan, monitor tanda vital
0-5 mcnit Evaluasi oksigenasi, berikan oksigen melalui nasal kanul atau
masker, pertimbangkan intubasi bila diperlukan.
Monitor EKG
Pemeriksaan kadar gula darah. Jika kadar gula darah
<6()mg/dL:
Dewasa: tiamin 100mg IV lalu 5()mL dekstrosa 50% IV
Anak >2 tahun: dekstrosa 50% 2mL/kgBB
Anak <2 tahun: dekstrosa 50% 4mL/kgBB
Pemasangan akses IV dan mengambil sampel darah untuk
pemeriksaan hematologi, elektrolit, skrining toksikologi, dan
bila diperlukan kadar OAE
Vasopresor atau resusitasi cairan dapat diberikan jika TD
sistolik <90mmHg atau MAP <70mmHg
Fase Benzodiazepin
terapi Pilih salah satu dari benzodiazepin berikut:
inisial: • Midazolam intramuskular (dosis tunggal 10mg untuk BB >40kg,
5-20 5mg untuk BB13-40kg) atau
menit • Lorazepam IV* (0,1 mg/kgBB/dosis maksimal 4mg/dosis,
kecepatan pemberian 2mg/menit, dapat diulang 1 kali) atau
• Diazepam IV (0,15-0,2mg/kgBB/dosis, maksimal 10mg/dosis,
dapat diulang I kali)
Jika pilihan di atas tidak tersedia maka dapat diberikan:
• Fenobarbital IV (15mg/kgBB/dosis, dosis tunggal) atau
• Diazepam rektal (0,2-0,5mg/kgBB maksimal 20mg/dosis, dosis
tunggal) atau
• Midazolam intranasal* atau intrabukal*
Fase Pilih salah satu dari OAE berikut:
terapi lini Fosfenitoin IV* (20mg/kgBB, maksimal 1500mg/dosis,
kedua: kecepatan pemberian maksimal 150 mg/menit, dosis tunggal
20-40 atau bila perlu dapat diulang 5-10mg/ kgBB) atau
menit Asam Valproat IV* (20-40mg/KgBB, maksimal 3000mg/dosis,
kecepatan 100mg/menit, dosis tunggal )atau
Levetirasetam IV* (20-60mg/kgBB, maksimal 4500mg/dosis,
dosis tunggal) Jika pilihan di atas tidak tersedia, maka dapat
diberikan:
Fenobarbital IV (15mg/kgBB, kecepatan 50-75mg/menit)
28
Tabel 5. Protokol Tatalaksana SE
Waktu Intervensi
Fase Pilihan
terapi Memberikan kembali salah satu terapi lini kedua atau Obat
lini anestesi:
- Tiopental (dosis awal 2-7mg/kgBB IV bolus, kecepatan ≤50
ketiga:
mg/menit dilanjutkan 0,5-5mg/KgBB/jam infus IV kontinu,
40-60
bila status epileptikus terjadi kembali bolus l -2mg/kgBB dan
menit
tingkatkan dosis 0,5-1mg/kgBB/jam setjap 12 jam) atau
- Midazolam (dosis awal 0,2mg/kgBB IV kecepatan 2mg/menit
dilanjutkan 0,05-0,2mg/kgBB/jam infus IV kontinu, bila status
epileptikus terjadi kembali bolus 0,1-0,2mg/kgBB dan
tingkatkan dosis 0,05-0,1mg/kgBB/jam setiap 3-4 jam) atau
- Propofol (dosis awal 1-2mg/kgBB IV dilanjutkan 30-
200mcg/kgBB/menit infus IV kontinu, bila status epileptikus
terjadi tingkatkan kecepatan infus IV 5-10mcg/kgBB/menit
setiap 5 menit atau bolus 1mg/kgBB dan titrasi naik infus IV
kontinu) atau
- Pentobarbital (dosis awal 5-15mg/kgBB IV, dapat
ditambahkan 5-10mg/ kgBB IV diberikan dengan kecepatan
50mg/menit, dilanjutkan 0,5-5mg/ kgBB/jam infus IV kontinu,
bila status epileptikus terjadi kembali bolus 5mg/kgBB dan
tingkatan dosis infus kontinu 0,5-1mg/kgBB/jam setiap 12
jam)
Pemberian Obat anestetik sebaiknya dilakukan di ruang perawatan
intensif
Lakukan pemantauan EEG
Setelah penggunaan 2-3 hari kecepatan harus diturunkan karena
terjadi saturasi pada jaringan adiposa
Obat anestesi dilanjutkan hingga 12-24 jam setelah bangkitan
klinis atau elektrografis berhenti. Dosis Obat anestesi kemudian
diturunkan perlahan
29
Seiring untuk menghentikan bangkitan epileptic, maka harus dilakukan
eksplorasi etiologi SE dan mendeteksi komplikasi yang terjadi dengan
pemeriksaan penunjang yang sesuai dengan indikasi (Tabel 5)10
Urinalisis Infeksi
30
2.2.4. Komplikasi
31
2.2.5. Prognosis
Kriptogenik Bervariasi
32
KESIMPULAN
Status epileptikus (SE) penting untuk dikenali secara dini, sehingga dapat
ditatalaksana sesegera mungkin dimulai pada fase prarumah sakit. Tata laksana
SE yang tepat akan meningkatkan probabilitas terminasi bangkitan epileptik dan
pada akhirnya menurunkan angka morbiditas dan mortalitas. Langkah-langkah
tatalaksana sudah dapat dimulai jika terjadi bangkitan konvulsif tonik klonik lebih
dari 5 menit, oleh karena bangkitan tersebut yang terjadi 5 menit atau lebih,
kemungkinannya kecil untuk berhenti spontan. Karakteristik antikonvulsan yang
ideal dalam tata laksana SE adalah rute pemberian yang mudah dan cepat
mencapai kadar terapeutik, sehingga dapat segera mengontrol bangkitan. Tata
laksana pertama yang dilakukan secara dini akan meningkatkan probabilitas
terminasi bangkitan dengan protokol.
33
DAFTAR PUSTAKA
10. Indrawati LA, Wiratma W, Dkk. Bangkitan dan Epilepsi Buku Ajar
Neurologi FK UI, Jakarta : 2017
iii
iv