Anda di halaman 1dari 39

REFERAT

PENDEKATAN DIAGNOSTIK KEJANG DAN


TATALAKSANA STATUS EPILEPTIKUS

Pembimbing :
dr. Nurul Rakhmawati, Sp.N

Disusun Oleh :
Utami Khairunnisa (2015730130)

KEPANITERAAN KLINIK NEUROLOGI


RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA PONDOK KOPI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2019

2
KATA PENGANTAR

Dengan mengucap syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT, karena atas


rahmat dan hidayah-Nya Laporan Referat ini dapat terselesaikan dengan baik.
Referat ini disusun sebagai salah satu tugas kepanitraan klinik stase neurologi
Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta di RS.
Islam Jakarta Pondok Kopi.

Dalam penulisan laporan referat ini, tidak lepas dari bantuan dan kemudahan
yang diberikan secara tulus dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis
menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Nurul
Rakhmawati, Sp.N sebagai dokter pembimbing.

Dalam penulisan laporan referat ini tentu saja masih banyak kekurangan dan
jauh dari sempurna, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, kritik dan
saran yang bersifat membangun akan sangat penulis harapkan demi kesempurnaan
referat ini.
Akhirnya, dengan mengucapkan Alhamdulillahirobbil ‘alamin laporan referat
ini telah selesai dan semoga bermanfaat bagi semua pihak serta semoga Allah
SWT membalas semua kebaikan dengan balasan yang terbaik, Aamiin Ya Robbal
Alamin.

Jakarta, 29 Juli 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
PENDAHULUAN...................................................................................................1
BAB II......................................................................................................................2
PEMBAHASAN......................................................................................................2
2.1. Pendekatan Diagnostik Kejang.................................................................2
2.1.1. Definisi...............................................................................................2
2.1.2. Epidemiologi......................................................................................3
2.1.3. Etiologi...............................................................................................4
2.1.4. Patofisiologi Kejang...........................................................................5
2.1.5. Klasifikasi Epilepsi..........................................................................11
2.1.6. Gejala dan Tanda Klinis...................................................................12
2.1.7. Diagnosis dan Diagnosis Banding...................................................15
2.1.8. Tata Laksana....................................................................................17
2.2. Tatalaksana Status Epileptikus................................................................21
2.2.1. Status Epileptikus.............................................................................21
2.2.2. Patofisiologi Status Epileptikus.......................................................24
2.2.3. Tatalaksana......................................................................................27
2.2.4. Komplikasi.......................................................................................31
2.2.5. Prognosis..........................................................................................32
KESIMPULAN......................................................................................................33
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................iii

ii
PENDAHULUAN

Kejang merupakan sebuah perubahan perilaku yang bersifat sementara


dan tiba – tiba yang merupakan hasil dari aktivitas listrik yang abnormal
didalam otak. Jika gangguan aktivitas listrik ini terbatas pada area otak
tertentu , maka dapat menimbulkan kejang yang bersifat parsial, namun jika
gangguan aktivitas listrik terjadi di seluruh area otak maka dapat
menimbulkan kejang yang bersifat umum.1
Kejang satu kali tidak dapat langsung dikatakan sebagai epilepsi (sekitar
10% penduduk dunia pernah mengalami satu kali kejang selama hidupnya).
Epilepsi bukanlah suatu penyakit, tetapi sekumpulan gejala yang
manifestasinya adalah lewat serangan epileptik yang berulang. Epilepsi
merupakan gangguan susunan saraf pusat yang dicirikan oleh terjadinya
serangan (seizure, fit, attack, spell) yang bersifat spontan (unprovoked) dan
berkala. Serangan dapat diartikan sebagai modifikasi fungsi otak yang
bersifat mendadak dan sepintas, yang berasal dari sekelompok besar selsel
otak, bersifat sinkron dan berirama. Serangan dapat berupa gangguan
motorik, sensorik, kognitif atau psikis. Istilah epilepsi tidak boleh digunakan
untuk serangan yang terjadi hanya sekali saja, serangan yang terjadi selama
penyakit akut berlangsung dan occasional provokes seizures misalnya kejang
atau serangan pada hipoglikemia.2
Epilepsi merupakan salah satu masalah kesehatan yang menonjol di
masyarakat, karena permasalahan tidak hanya dari segi medik tetapi juga
sosial dan ekonomi yang menimpa penderita maupun keluarganya.1 Dalam
kehidupan sehari-hari, epilepsi merupakan stigma bagi masyarakat. Mereka
cenderung untuk menjauhi penderita epilepsi. Bagi orang awam, epilepsi
dianggap sebagai penyakit menular ( melalui buih yang keluar dari mulut ),
penyakit keturunan, menakutkan dan memalukan.1

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pendekatan Diagnostik Kejang

2.1.1. Definisi

Kejang merupakan sebuah perubahan perilaku yang bersifat sementara


dan tiba – tiba yang merupakan hasil dari aktivitas listrik yang abnormal
didalam otak. Jika gangguan aktivitas listrik ini terbatas pada area otak
tertentu , maka dapat menimbulkan kejang yang bersifat parsial, namun jika
gangguan aktivitas listrik terjadi di seluruh area otak maka dapat
menimbulkan kejang yang bersifat umum.1
Perubahan ini terjadi karena adanya pergeseran nilai normal yang
menyeimbangkan eksitasi dan inhibisi didalam susunan saraf pusat, karena
terlalu banyak faktor yang dapat mempengaruhi nilai normal eksibilitas
susunan saraf pusat maka ada banyak penyebab yang dapat menimbulkan
kejang.3
Kejang dapat disertai dengan gangguan metabolisme seperti uremia,
hipoglikemia, hiperglikemia, dan gagal hati, toksik seperti overdosis dan
sindrom withdrawal, dan infeksi seperti meningitis dan ensepalitis, kejang
yang terjadi pada pasien dengan kondisi ini tidak selalu mengarah pada
diagnosis epilepsi, meskipun obat yang digunakan untuk menatalaksana
kejangnya adalah obat antiepilepsi dalam jangka pendek , obat umumnya
tidak perlu di lanjutkan setelah pasiennya sembuh dari kejang.4
Bangkitan epileptik (Kejang) dan epilepsi adalah dua terminologi yang
berbeda, namun saling berkaitan, sehingga harus dipahami dalam praktik
sehari hari. Bangkitan epileptik adalah tanda dan atau gejala yang timbul
sepintas akibat aktivitas neuron diotak yang berlebihan dan abnormal serta
sinkron. Epilepsi adalah gangguan otak yang ditandai oleh adanya factor
predisposisi secara terus menerus untuk terjadinya suatu bangkitan epileptik,
dan juga ditandai oleh adanya factor neurobiologis, kognitif, psikologis, dan

2
konsekuensi social akibat kondisi tersebut5

2.1.2. Epidemiologi

Menurut who, diperkirakan terdapat 50 juta orang di seluruh dunia yang


menderita epilepsi. populasi yang menderita epilepsi aktif (terjadi bangkitan
terus menerus dan memerlukan pengobatan) diperkirakan antara 4-10 per
1000 penduduk. Namun angka ini jauh lebih tinggi di negara dengan
pendapatan perkapota menengah dan rendah yaitu antara 7-14 per 1000
penduduk. Secara umum diperkirakan terdapat 2,4 juta pasien yang
didiagnosis epilepsi setiap tahunnya.5

Angka prevalensi dan insidens epilepsi di Indonesia belum diketahui


secara pasti. Hasil penelitian Kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan Dokter
Saraf Indonesia (Pokdi Epilepsi PERDOSSI) di beberapa RS di 5 pulau besar
di Indonesia (2013) mendapatkan 2.288 penyandang epilepsi dengan 21.3%
merupakan pasien baru. Rerata usia pasien adalah usia produktif dengan
etiologi epilepsi tersering adalah cedera kepala, infeksi susunan saraf pusat,
stroke dan tumor otak. Riwayat kejang demam didapatkan pada 29% pasien.
Sebagian besar (83.17%) adalah epilepsi parsial dengan aura tersering adalah
sensasi epigastrium dan gejala autonom (60,1%).5

Di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) jumlah penyandang


epilepsi yang rutin control tiap bulan berkisar 30-40 orang, pasien epilepsi
yang baru berobat ke RSCM sekitar 5-6 orang tiap bulannya, rerata usia
pasien adalah usia produktif yaitu 35,2 (16-76) tahun. Riwayat kejang demam
pada 37,9% gangguan prilaku didapatkan pada 29,1%. Sebagian besar
penyandang mengalami bangkitan fokal (64,15%) dan sebanyak 15,5%
mengalami bebas bangkitan.5

3
2.1.3. Etiologi

Penyebab kejang secara umum dapat dibagi menjadi dua yaitu intrakranial
dan ekstrakranial.

1. Intrakranial

Penyebab intrakranial dapat dibagi lagi menjadi dua yaitu primer dan
sekunder. Penyebab intrakranial primer disebut juga idiopatik. Sedangkan
sekunder dapat disebabkan karena neoplasma intrakranial, kelainan
kongenital seperti hidrosefalus, infeksi seperti meningitis dan ensefalitis,
dan trauma kepala.

2. Ekstrakranial

Penyebab ekstrakranial biasa disebabkan karena gangguan


metabolisme seperti hipoglikemia, hipokalsemia, hepatik ensefalopati,
uremia, hiperproteinemia, hiperlipidemia, hipotiroid, dan hipoksia.
Penyebab ekstrakranial dapat juga disebabkan oleh metastasis keganasan
ke otak6.

Kejang paling sering terlihat pada pasien kritis. Dalam sebuah


penelitian 55 pasien dengan serangan kejang onset terbaru dalam
perawatan intensif care unit diperoleh hasil lebih dari sepertiga kejang
disebabkan oleh gangguan metabolisme akut seperti hiponatremia, dan
delapan orang pasien diperoleh kejangya disebabkan oleh penggunaan
obat antiaritmia atau antibiotik.7
Penyebab lain yang mendasari timbulnya kejang adalah8
 Idiopatik atau timbul dari penyebab yang tidak diketahui

 Cryptogenic atau timbul dari penyebab


yang diduga yang tidak diketahui atau
tidak jelas
 Gejala atau yang timbul dari otak
yang dikenal kelainan
 Trauma serebral dengan hilangnya kesadaran . Secara umum, tidak

4
ada risiko jika hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit.
 Space Occupaying lesions
a. Tumor otak
b. Malformasi arteri vena (AVM)
c. Hematoma subdural
d. Neurofibromatosis
 Infeksi Cerebral
a. Bakteri atau virus meningitis.
b. Radang otak
c. Abses otak
 Kejang demam atipikal
 Faktor genetic, seperti kromosom yg abnormal
 Gangguan pembuluh darah serebral, seperti : hemoragis dan trombosis
 Asidosis hipoksia
 Riwayat keluarga

2.1.4. Patofisiologi Kejang

Secara normal aktivitas otak terjadi oleh karena perpindahan sinyal dari
satu neuron ke neuron lain. perpindahan ini terjadi antara akson terminal suatu
neuron dengan dendrit neuron yang lain melalui sinaps (Gambar 1). Sinaps
merupakan area yang penting untuk perpindahan elektrolit dan sekresi
neurotransmiter yang berada di dalam vesikel presinaps. Komposisi elektrolit
dan neurotransmiter saling mempengaruhi satu sama Iain untuk menjaga
keseimbangan gradien ion di dalam dan luar sel melalui ikatan antara
neurotransmiter dengan reseptornya serta keluar masuknya elektrolit melaiui
kanalnya masing-masing. Aktivitas tersebut akan menyebabkan terjadinya
depolarisasi, hiperpolarisasi, dan repolarisasi, sehingga terjadi potensial
eksitasi dan inhibisi pada sel neuron. Potensial eksitasi diproyeksikan Oleh
sel-sel neuron yang berada di korteks yang kemudian diteruskan Oleh akson,
sementara sel interneuron berfungsi sebagai inhibisi.5

5
Elektrolit yang berperan penting dalam aktivitas Otak adalah natrium
(Na+), kalsium (Ca2+), kalium (K+), magnesium (Mg2+), dan klorida (Cl-),
Neurotransmiter utama Pada proses eksitasi adalah glutamat yang akan
berikatan dengan reseptornya, yaitu N. metil-D-aspartat (NMDA) dan non-
NMDA (amino-3-hydroxy-5-methyl-isoxasoIe propionic acid/AMPA dan
kainat). Sementara pada proses inhibisi, neurotransmiter utama adalah Y-asam
aminobutirik (GABA) yang akan berikatan dengan reseptornya GABA A dan
GABAB(Gambar 2b). GABA merupakan neurotransmiter yang disintesis dari
glutamat Oleh enzim glutamic acid decarboxylase (GAD) dengan bantuan
piridoksin (vitamin B6) di terminal presinaps.

Gambar 1. Penampang Sinaps Normal

Saat potensial eksitasi dihantarkan Oleh akson menuju celah sinaps, akan
terjadi sekresi glutamat ke celah sinaps. Glutamat akan berikatan dengan
reseptor non-NMDA, dan Na+ akan masuk ke dalam sel menyebabkan
terjadinya depolarisasi cepat (Gambar 2a). Apabila depolarisasi mencapai
ambang potensial 10-20mV, maka Mg2+yang menduduki reseptor NMDA
yang sudah berikatan dengan glutamat dan ko-agonisnya (glisin) dikeluarkan
ke celah sinaps (Gambar 2a), sehingga akan masuk ke dalam sel diikuti Oleh

6
Ca2+. Masuknya Na+ dan Ca2+ akan memperpanjang potensial eksitasi, disebut
sebagai depolarisasi Iambat. Setelah Na+ mencapai ambang batas depolarisasi,
akan keluar dari dalam sel, yang disebut sebagai repolarisasi (Gambar 2a).5

Sementara itu, Ca2+ yang masuk ke dalam sel juga akan mendorong
pelepasan neurotransmitter GABA ke celah sinaps (Gambar 2b). Saat GABA
berikatan dengan reseptor GABAA pascasinaps dan mencetuskan potensial
inhibisi, Cl- akan masuk ke dalam sel dan menurunkan ambang potensial
membrane sel sampai kembali ambang istirahat pada -70pV yang disebut
sebagai hiperpolarisasi. Reseptor GABAB di presinaps berperan
memperpanjang potensial inhibisi. Hasil akhir aksi potensial yang dihasilkan
merupakan sumasi dari potensial eksitasi dan inhibisi yang dipengaruhi oleh
jarak dan waktu.

Gambar 2. Proses Eksitasi (a) Proses Inhibisi (b)

Setelah hiperpolarisasi, selama beberapa saat membran sel


terhiperpolarisasi di bawaY ambang istirahatnya, disebut sebagai afte
hyperpolaritation (AHP). AHP terjadi se bagai hasil dari keseimbangan antara
Ca2+ di dalam sel dan K+ di luar sel. Pada masa ini sel neuron mengalami fase
refrakter dan tidak dapat terstimuli, sampai terjadi pertukaran Ca 2+ ke luar sel
dan K+ ke dalam sel melalui kanal yang tidak dipengaruhi oleh gradient
voltase. Keseimbangan ion di dalam dan luar sel dikembalikan oleh pompa
Na+-K+ dengan bantuan adenosin triphosphate (ATP).

7
Sel glia turut berperan dalam menjaga keseimbangan eksitasi dan inhibisi
dengan berperan sebagai spons yang berfungsi untuk ‘menghisap' K + dan
glutamat yang berlebihan di celah sinaps untuk kemudian disintesis dan
dikembalikan lagi ke neuron presinaps.

Adanya ketidakseimbangan antara eksitasi dan inhibisi akan menyebabkan


hipereksitabilitas yang pada akhirnya akan menyebabkan bangkitan epileptik.
Ketidakseimbangan tersebut dapat disebabkan oleh faktor internal dan
eksternal. Penyebab internal antara lain berupa mutasi atau kelainan pada
kanal-kanal elektrolit sel neuron. Beberapa mutasi yang sudah diketahui
adalah mutasi kanal Na+, Ca2+ dan K+. Mutasi ini menyebabkan masuknya
Na+dan Ca2+ke dalam sel secara terus menerus sehingga terjadi paroxymal
depolaritation shift (PDS). PDS diinisiasi oleh reseptor non-NMDA, akibat
peningkatan jumlah Na+ yang masuk ke dalam sel, pada mutasi kanal Na +, dan
dapat diperlama saat reseptor NMDA terbuka diikuti masuknya Na + sehingga
semakin banyak Na+ di dalam sel. Pada mutasi kanal Ca2+, PDS terjadi karena
depolarisasi lambat semakin lama akibat peningkatan Ca 2+ di dalam sel.
Sementara mutasi pada kanal akan menghambat keluarnya ke ekstrasel yang
justru akan menghambat terjadinya repolarisasi, memperpanjang depolarisasi,
dan akhirnya menyebabkan PDS.

Pada hipereksitabilitas akan terjadi peningkatan sekresi glutamat ke celah


sinaps, sehingga terjadi peningkatan jumlah Ca2+ di dalam sel. Jumlah Ca2+
yang berlebihan ini akan mengaktifkan enzim intrasel yang menyebabkan
kematian sel. Hal ini merangsang keluarnya berbagai faktor inflamasi yang
akan meningkatkan permeabilitas sel, gangguan keseimbangan elektrolit,
edema otak, kerusakan sawar darah otak (SDO) atau blood brain barrier
(BBB), dan sebagainya.5

Faktor eksternal terjadi akibat berbagai penyakit, baik penyakit otak


maupun sistemik Penyakit-penyakit tersebut dapat menyebabkan kerusakan
sel neuron, glia, dan SDO (Gambar 3). Kerusakan sel glia akan menye. babkan
kelebihan dan glutamat di celah sinaps karena tidak 'terhisap', sehingga sel
neuron akan mudah tereksitasi. Keadaan tersebut juga akan mengaktivasi

8
faktor. faktor inflamasi, kemudian merangsang peningkatan eksitasi dan
akhirnya membentuk lingkaran yang berkepanjangan. Kerusakan yang terjadi
secara terus menerus dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan
perubahan aktivitas otak, struktur neuron, dan ekspresi gen.

Hipereksitabilitas satu sel neuron akan memengaruhi sel neuron di


sekitarnya. Sekelompok neuron yang mencetuskan aktivitas abnomal secara
bersamaan disebut sebagai hipersinkroni. Pada saat satu sel neuron teraktivasi
maka sel-sel neuron di sekitarnya juga akan ikut teraktivasi. Jika sel-sel
neuron sekitarnya teraktivasi pada waktu yang hampir bersamaan, maka akan
terbentuk suatu potensial eksitasi yang besar dan menimbulkan gejala klinis.
Penyebaran PDS hipersinkroni ke seluruh hemisfer saat iktal maupun
interiktal tergantung pada aktivitas interneuron di talamus yang sebagian besar
bersifat inhibisi.

Status epileptikus terjadi karena kegagalan proses inhibisi di otak. Salah


satunya disebabkan oleh sifat reseptor glutamat dan GABA dalam merespons
jumlah neurotransmiter di celah sinaps. Reseptor glutamat merupakan reseptor

9
yang peka terhadap perubahan jumlah glutamat. Pada keadaan eksitasi
berlebihan maka reseptor akan meningkatkan kepekaan atau jumlah reseptor.
Sebaliknya dengan respons reseptor GABA terhadap peningkatan aktivitas
GABA, reseptor-reseptor tersebut justru akan tersublimasi dan menjadi bentuk
yang tidak sensitif terhadap neurotransmiternya. Ini yang menyebabkan pada
status epileptikus yang berkepanjangan, reseptor glutamat akan semakin
meningkat dan reseptor GABA akan semakin berkurang(Gambar 4).5

2.1.5. Klasifikasi Epilepsi

Gambar 5. Klasifikasi Epilepsi Berdasarkan ILAE 2017

Pedoman penggunaan klasifikasi operasional ILAE 2017 (ILAE)9

1. Onset: tentukan onset kejang apakah fokal atau umum


2. Awareness: untuk kejang fokal, tentukan tingkat kesadaran. Focal aware
seizure merujuk pada simple partial seizure pada klasifikasi sebelumnya
dan focal impaired awareness seizure merujuk pada complex partial
seizure.

10
3. Gangguan kesadaran: kejang fokal menjadi focal impaired awareness
seizure bila terdapat gangguan kesadaran pada titik manasaja selama
periode kejang.
4. Onset yang mendominasi: klasifikasikan kejag fokal dengan gejala atau
tanda pertama yang menonjol dengan tidak termasuk transient behavior
arrest.
5. Behavior arrest: focal behavior arrest seizure menunjukkan penghentian
aktivitas sebagai gejala yang paling menonjol selama kejang.
6. Motor/non motor: subklasifikasi selanjutnya setelah menentukan tingkat
kesadaran. Pada kejang fokal, bila kesadaran sulit ditentukan, jenis kejang
fokal dapat ditentukan hanya dengan karakteristik motor atau non motor.
7. Deskripsi tambahan: setelah menentukan jenis kejang, dapat
menambahkan deskripsi dari gejala dan tanda. Hal ini tidak mengganggu
jenis kejang yang sudah ditentukan sebelumnya. Sebagai contoh: focal
emotional seizure dengan tonik pada lengan kanan dan hiperventilasi.
8. Bilateral berbanding umum: penggunaan istilah bilateral untuk kejang
tonik-klonik yang menyebar ke kedua hemisfer dan istilah umum untuk
kejang yang secara simultan berasal dari kedua hemisfer.
9. Absans atipikal: disebut absans atipikal bila onset lambat atau offset,
terdapat perubahan tonus, atau < 3 gelombang spike per detik di EEG.
10. Klonik berbanding myoklonik: klonik merujuk pada gerakan menyentak
ritmik yang terus menerus dan myoklonik adalah gerakan menyentak yang
regular tidak berkelanjutan.
11. Myoklonik palpebra: absans dengan myoklonik palpebra merujuk pada
gejakan mengedip selama kejang absans.

2.1.6. Gejala dan Tanda Klinis

1. Bangkitan Umum Tonik-Klonik

Bangkltan ini secara etiologi dapat berupa Idiopatik, kriptogemk, atau


simtomatik. TIpe bangkitan ini dapat terjadi pada semua usia kecuali
neonatus. Manifestasi klinis: hilang kesadaran sejak awal bangkitan
hingga akhir bangkitan, bangkitan tonik-klonik umum, dapat disertai

11
gejala autonom seperti mengompol dan mulut berbusa. Gambaran iktal:
tiba-tiba mata melotot dan tertarik ke atas, seluruh tubuh kontraksi tonik,
dapat disertai suara teriakan dan nyaring, selanjutnya diikuti gerakan
klonik berulang simetris di seluruh tubuh, Iidah dapat tergigit dan mulut
berbusa serta diikuti mengompol. Setelah iktal, tubuh pasien menjadi
hipotonus, pasien dapat tertidur dan terasa lemah.

Pada pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) saat interiktal


didapatkan aktivitas epileptiform umum berupa kompleks gelombang
paku-ombak (spike wave) terutama pada saat tidur stadium non-REM.

2. Bangkitan Tonik

Bangkitan tonik ditandai oleh kontraksi seluruh otot yang berlangsung


terus menerus, berlangsung selama 2-10 detik namun dapat hingga
beberapa menit, di-sertai hilangnya kesadaran. Dapat disertai gejala
autonom seperti apnea. Gambaran EEG interiktal menunjukkan irama
cepat dan gelombang paku atau kompleks paku-ombak frekuensi lambat
yang bersifat umum.

3. Bangkitan Klonik

Bangkitan ini ditandai oleh gerakan kontraksi klonik yang ritmik (1-
5Hz) di seluruh tubuh disertai hilangnya kesadaran sejak awal bangkitan.
Pada EEG iktal didapatkan aktivitas epileptiform umum berupa gelnrn.
bang paku, paku multipel, atau kombinasi gelombang irama cepat dan
lambat.

4. Bangkitan Mioklonik

Mioklonik adalah gerakan kontralcsi involunter mendadak dan


berlangsung sangat singkat (jerk) tanpa disertai hilangnya kesadaran.
Biasanya berlangsung 10-50milidetik, durasi dapat mencapai lebih dari
100 mili detik. Otot yang berkontraksi dapat tunggal atau multipel atau
berupa sekumpulan otot yang agonis dari berbagai topografi. Mioklonik

12
dapat berlangsung fokal, segmental, multifokal, atau umum. Gambaran
EEG berupa gelombang polyspikes yang bersifat umum dan singkat.

5. Bangkitan Atonik

Bangkitan ditandai oleh hilangnya tonus otot secara mendadak.


Bangkitan atonik dapat didahului oleh bangkitan mioklonik atau tonik.
Bentuk bangkitan bisa berupa "jatuh" atau "kepala menunduk". Pemulihan
pascaiktal cepat, sekitar 1-2 detik. Gambaran EEG dapat berupa
gelombang paku (spikes) atau polyspikes yang bersifat umum dengan
frekuensi 2-3Hz dan gelombang lambat.

6. Bangkitan Absans Tipikal

Bangkitan absans (petit mal) berlangsung sangat singkat (dalam


hitungan detik) dengan onset mendadak dan berhenti mendadak. Bentuk
bangkitan berupa hilang kesadaran atau "pandangan kosong". Dapat pula
disertai komponen motorik yang minimal (dapat berupa mioklonik, atonik,
tonik, automatisme). Pada pemeriksaan EEG didapatkan aktifitas
epileptiform umum berupa kompleks paku-ombak 3Hz (>2,5Hz).

7. Bangkitan Absans Atipikal

Bangkltan berupa gangguan kesadaran discutai perubahan tonus otot


(hipotonia atau atonia), tonik, atau automatisme. pasten dengan bangkitan
absans atipikal sering mengalami kesulitan belajar akibat seiingnya
disertai terjadinya bangkitan upe lain seperti atonik, tonik, dan mioklonik.
Pada absans atipikal, onset dan berhentinya bangkitan tidak semendadak
bangkitan absans tipikal, dan perubahan tonus otot lebih sering terjadi
pada bangkitan tipe absans atipikal. Pada EEG didapatkan gambaran
kompleks pakuombak frekuensi lambat (1-2,5Hz atau <2,5Hz) yang
iregular dan heterogen dan dapat bercampur dengan irama cepat.

8. Bangkitan Fokal/Parsial

13
Bentuk bangkitan yang terjadi tergantung dari letak fokus epileptik di
otak. Fokus epileptik berasal dari area tertentu yang kemudian mengalami
propagasi dan menyebar ke bagian otak yang lain. Bentuk bangkitan dapat
berupa gejala motorik, sensorik (kesemutan, baal), sensorik spesial
(halusinasi visual, halusinasi auditorik), emosi (rasa takut, marah),
autonom (kulit pucat, merinding, rasa mual). Bangkitan parsial sederhana
yang diikuti dengan bangkitan parsial kompleks atau bangkitan umum
sekunder disebut sebagai aura.

2.1.7. Diagnosis dan Diagnosis Banding

Epilepsi adalah suatu penyakit atau gangguan di otak yang ditegakkan jika
terdapat:

 Paling sedikit 2 kali bangkitan tanpa provokasi (atau refleks) dengan jarak
antar 2 bangkitan tersebut >24 jam.
 Satu kali bangkitan tanpa provoka.si (atau refleks) dan kemungkinan
terjadinya bangkitan berikutnya hampir sama dengan risiko timbulnya
bangkitan (paling sedikit 60%) setelah terjadi 2 kali bangkitan tanpa
provokasi, dalam 10 tahun ke depan.
 Diagnosis sindrom epilepsi.

Penegakkan diagnosis pada epilepsi dilakukan secara bertahap dan


sedapat mungkin ditegakkan sindrom epilepsi yang dialami oleh pasien.
Karena tiap sindrom epilepsi tertentu memiliki tata laksana dan prognosis
yang berbeda-beda.

Langkah-langkah menegakkan diagnosis:

1. Apakah gejala paroksismal tersebut merupakan bangkitan epileptik?

2. Apakah tipe bangkitan epileptik yang dialami pasien?


3. Apakah etiologinya?
4. Apakah sindrom epilepsi yang dialami oleh pasien?

Identifikasi Bangkitan Epileptik

14
Anamnesis memegang peranan terbesar dalam mengidentifikasi
bangkitan epileptik. Anamnesis dimulai dengan menggali semiologi
bangkitan epileptik, yang paling utama adalah semiologi iktal.

Semiologi iktal antara lain adalah aura, lateralisasi, kesadaran, dan


perkembangan bangkitan menjadi umum. Aura, yaitu gejala yang dirasakan
pasien saat masih sadar dan terjadi dalam hitungan detik sebelum pasien
kehilangan kesadarannya, merupakan petunjuk fokus bangkitan. Aura
sensorik menunjukkan fokus pada korteks sensorik sesuai homenkulus di
lobus parietal, aura auditorik pada lobos ternporal latetal, aura visual pada
laras visual tecgantung pada kompleksitasnva dapat berasal dari lobus
temporal atau okstpital, dan lain sebagainya. Kemudian lateralisasi, beberapa
bentuk bangkitan seperti arah gerakan mata, mulut, wajah, kepala, postur
distonik dapat menuntukkan hemisfer yang terlibat.

Lirikan mata saat pasien mulai kehilangan kesadaran akan menunjukkan


keterlibatan hemisfer kontralateral dari arah mata, sementara arah kepala
tertarik saat paslen masih sadar biasanya menunjukkan hemisfer ipsllateral.
Kesadaran dan perkembangan bangkitan menjadi umum biasanya sejalan.
kesadaran akan menghilang dengan berkembangnya bangkitan menjadi
umum, apabila kesadaran masih intak saat bangkitan menjadi umum, maka
perlu dipikirkan diagnosis banding bangkitan non-epileptik.

Semiologi pascaiktal terutama kesadaran setelah bangkitan selesai juga


dapat menjadi petunjuk etiologi dan topis. Kesadaran yang langsung kembali
intak dapat terjadi pada epilepsi idiopatik dan lobus frontal, sementara
kebingungan yang terjadi sebagai gejala pascaiktal merupakan patognomonik
epilepsi lobus temporal.

Pada bangkitan fokal/parsial, durasi bangkitan dapat terjadi sampai


dengan 5 menit, sementara pada bangkitan umum tonik klonik berkisar
antara 1-2 menit. Apabila terjadi lebih lama pikirkan kemungkinan status
epileptikus. Namun apabila dipadukan dengan semiologi bangkitan tidak
didapatkan kesesuaian, maka pertimbangkan diagnosis banding bangkitan
non-epileptik.

15
Kesesuaian antara asal runutan fokus merupakan semiologi bangkitan
dengan asal fokus merupaka kunci utama Bila terdapat lebih dari satu kalí
maka bentuk bangkitan akan selalu sama. Frekuensi bangkitan , durasi antar
bangkitan dan waktu terjadi bangkitan mempunyai ke khasan setiap lobus.

Penegakan Sindrom Epilepsi


Sindrom epilepsi ditegakkan selain berdasarkan semiologi bangkitan dan
EEG, juga pemeriksaan fisik, topis, pemeriksaan penunjang lainnya serta usia,
Pemeriksaan EEG dilakukan untuk memastikan adanya aktivitas epileptiform
yang bersifat fokal atau umum. Pada EEG juga perlu diperhatikan latar
belakang serta ada tidaknya perlambatan fokal monomorfik atau polimorfik.
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengetahui adanya defisit neurologis
fokal maupun global. Bila didapatkan defisit neurologis maka ditegakkan
diagnosis epilepsi sim. tomatik, bahkan pada bangkitan epileptik pertama kali.
Pada epilepsi simtomatik pencarian etiologi merupakan keharusan.
Pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium, pencitraan otak,
dan pungsi lumbal sangat membantu dalam menemukan etiologi.
Bila pada pemeriksaan fisik dan penunjang tidak ditemukan kelainan maka
kemungkinan diagnosis adalah epilepsi kriptogenik atau idiopatik. Pada bayi,
anak-anak, dan remaja, idiopatik dipikirkan apabila terdapat riwayat keluarga
terutama pada orangtua dan saudara kandung.

2.1.8. Tata Laksana

 Medikamentosa

Titik berat tata laksana epilepsi adalah pencegahan bangkitan berulang


dan pencarian etiologi. Bangkitan epileptik dapat merupakan gejala dari
suatu penyakit sistemik maupun akibat kelainan intrakłanial. Bangkitan
epileptik pertama yang terjadi pada fase akut akibat penyakit yang

16
mendasarinya, biasanya tidak memerlukan terapi jangka panjang. Sementara
bangkitan epileptik yang terjadi akibat suatu kelainan intrakranial yang
kronis diperlukan terapi jangka panjang.

Pada bangkitan epileptik pertama, terapi obat anti epilepsi (OAE) dapat
langsung diberikan bila terdapat risiko yang tinggi untuk terjadibangkitan
berulang. Misalnya pada status epileptikus sebagai bangkitan epileptik
pertama, ditemukannya lesi intrakranial sebagai penyebab bangkitan, riwayat
keluarga epilepsi dan beberapa indikasi lainnya.

OAE diberikan berdasarkan tipe bangkitan. OAE pilihan pada kejang tipe
parsial berdasarkan pedoman ILAE 2013 antara lain adalah karbamazepin,
levetirasetam, zonisamid, dan fenitoin. Pilihan OAE pada anak adalah
okskarbazepin dan pada lanjut usia adalah lamotrigin dan gabapentin.
Sementara pada bangkitan pełłama umum tonik klonik pada dewasa dan anak
adalah karbamazepin, okskarbazepin, fenitoin, dan lamotrigin (Tabel 1).

Dosis obat dimulai dari dosis kecil dan dinaikkan secara bertahap sampai
mencapai dosis terapi. Pantau efek samping jangka pendek, seperti
mengantuk, gangguan emosi dan perilaku, gangguan hematologi, fungsi
hepar, atau alergi. Jika tidak ditemukan efek samping dan pasien merasa
nyaman dengan obat tersebut, dosis obat dapat dinaikkan bertahap sampai
tercapai bebas bangkitan atau terjadi intoksikasi. Gejala dan tanda intoksikasi
dapat muncul ringan sampai berat. Bila muncul gejala dan tanda intoksikasi
ringan, seperti dizziness dan nistagmus pada intoksikasi fenitoin, dosis dapat
diturunkan ke dosis sebelum tanda intoksikmsi tersebut muncul. Namun
apabila terjadi intoksikasi berat seperti penurunan kesadaran pada intoksłkasi
valproat maka obat harus langsung dihentikan dan diganti dengan obat yang
tidak mempunyai profil efek samping yang sama serta waktu steady stałe
cepat untuk mencegah status epileptikus akibat efek withdrawal.

Selain tipe bangkitan, pemilihan OAE perlu memperhatikan faktor-faktor


individual seperti komorbiditas, usia, ekonomi, interaksi obat, ketersediaan,
dan lain sebagainya. Komunikasi, edukasi, dan informasi merupakan salah
satu faktor penting untuk meningkałkan kemungkinan bebas serangan.

17
Prinsip pengobatan epilepsi adalah monoterapi dengan target pengobatan
3 tahun bebas bangkitan. Bila pemberian monoterapi tidak dapat mencegah
bangkitan berulang, politerapi dapat diberikan dengan pertimbangan profil
obat yang akan dikombinasikan. Apabila masih tidak dapat diatasi, maka
perlu dipertimbangkan tindakan pembedahan untuk menghilangkan fokus
epileptik.

Tabel 1. Rangkuman Studi dan Peringkat Bukti Efikasi dan Evektivitas Obat Anti
Epilepsi Berdasarkan Tipe Bangkitan dan Sindrom Epilepsi ILAE 2013

Tipe Bangkitan
Penelitian Peringkat Bukti Efikasi dan
atau Sindrom
Kelas Efektivitas
Epilepsi
I II III
Level A: CBZ, LEV, PHT, ZNS
Level B : VPA
Bangkitan parsial
4 1 34 Level C: GBP, LTG, OXC, PB,
pada dewasa TPM, VGB
Level D : CZP, PRM
Level A: OXC
Level B: tidak ada
Bangkitan parsial
1 0 19 Level C : CBZ, PB, PHT, TPM,
pada anak VPA, VGB
Level D: CLB, CZP, LTG, ZNS
LevelA:GBP,LTG Level B:
Bangkitan parsial
1 1 3 Tidakada Level C: CBZ
pada lansia Level D. TPM, VPA
Level A: Tidak ada
Bangkitan umum Level B: Tidak ada
tonik klonik pada 0 0 27 Level C: CBZ, LTG, OXC, PB,
dewasa PHT, TPM, VPA
Level D: GBP, LEV. VC,B
Level A: Tidak ada
Bangkitan umum
Level B: Tidak ada
tonik klonik pada 0 0 14 Level C: CBZ, PB, PHT, TPM, VPA
anak Level D: OXC
Level A: ESM, VPA
Bangkitan absans LevelB:Tidakada
1 0 7 Level C: LTG
pada anak
Level D: Tidak ada
Benign epilepsy Level A: Tidak ada
with Level B: Tidak ada
0 0 3 Level C. CBZ, VPA
centrotemporal
spikes (BECTS) Level D: GBP, LEV, OXC, STM
Epilepsi 0 0 1 Level A: Tidak ada
mioklonik pada Level B: Tidak ada

18
Level C: Tidak ada
dewasa Level D: TPM, VPA
CBZ: carbamazepine; LEV: levetiracetam; PHT: phenytoin; ZNS: zonisamide;
VPA: valproic acid; GBP: gabapentine; OXC; oxcarbazepine; PB: phenobarbital;
TPM: topiramate; VGB: vigabatrin; CZP: clonazepame; PRM: primidone; CLB:
clobazame; LTG: lamotrigine; STM: sulthiame, ESM: ethosuximide

 Non-Medikamentosa

Tata laksana nonmedikamentosa pada epilepsi antara lain:

1. Pembedahan epilepsi
2. Stimulasi nervus vagus
3. Diet ketogenik

Pembedahan epilepsi adalah salah satu tata laksana nonmedikamentosa


yang efektif pada pasien epilepsi fokal resisten obat. Angka keberhasilan
pembedahan epilepsi antara lain 66% pasien bebas bangkitan pada epilepsi
lobus temporal, 46% pada epilepsi lobus oksipital dan parietal, serta 27%
pada epilepsi lobus frontal.

Stimulasi nervus vagus (SNV) tnentpakan metode invasif pada terapi


pasien epilepsi yang resisten obat. Metode ini menggunakan suatu
elektroda yang ditanam di bawah kulit pada dada kiri dan berhubungan
dengan elektroda stinltllator yang clilctakkan pada nervus vagus kiri.
Stimulator ini mengeluarkan impuls dengan berbagai frekuensi scsuai
dengan kebutuhan pasien. Frekuensi bangkitan sangat menurun setelah
penggunaan stirnula.si nelA'us vagus ini. Penurunan frekuensi bangkitan
sekitar 35-75% setelah 10 tahun penggunaan SNV.

Diet ketogenik sampai saat ini terbukti efektif pada pasien epilepsi
anak-anak. Diet ketogenik adalah diet dengan tinggi lemak, rendah
protein, dan rendah karbohidrat. Angka bebas bangkitan pada anak-anak
mencapai 16%, penurunan >90% frekuensi bangkitan sebesar 32%,

19
penurunan >50% frekuensi bangkitan sebesar 56%. Namun diet ketogenik
ini belum terbukti efektif pada pasien dewasa.

2.2. Tatalaksana Status Epileptikus

2.2.1. Status Epileptikus

Status epileptikus (SE) penting untuk dikenali secara dini, sehingga dapat
ditatalaksana sesegera mungkin dimulai pada fase prarumah sakit. Tata
laksana SE yang tepat akan meningkatkan probabilitas terminasi bangkitan
epileptik dan pada akhirnya menurunkan angka morbiditas dan mortalitas.
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) tahun 2015, terdapat 2
jenis SE berdasarkan bentuk bangkitannya, yaitu 1) SE dengan gejala motor
yang prominen dan 2) SE tanpa gejala motor yang prominen (Tabel 2)

Tabel 2. Klasifikasi SE Berdasarkan Bentuk Bangkitan

1. Dengan geiala motor yang prominen


a. SE konvulsi (SE dengan bentnk bangkitan tonik klonik)
b. SE toniklonik
c. SE dengan bentuk bangkitan motorik fokal
d. SE tonik
e. SE Hiperkinetik
2. Tanpa geiala motor yang prominen (nonkonvulsif)
a. SE nonkonvulstf dengan koma
b. SE nonkonvulsif tanpa koma
1) Umum
Status absans tipikal
Status absans atipikal
Status absans mioklonik
2) Fokal
Tanpa gangguan kesadaran (aura konunua. rms.ilnya otonorn.
sensorik. auditorik. visual. oltaktori. gustatori. emosi, atau
pstkis)
Status afasia
Dengan gangguan kesadaran
3) Tidak diketahui urnum atau fokal

20
SE Otonom

ILAE juga menentukan defimst operasional SE berdasarkan dua dimensi


waktu, yaltu 1) durasi dan waktu kemungkinan bangkltan epileptik menjadi
berkepanjangan atau terus menerus dan 2) durasi dan waktu bangkitan
epileptik menyebabkan konsekuensi jangka panjang (kerusakan dan kematian
neuronal, perubahan jarjngan koneksi neuronal, dan defisit fungsionnl).
Dimensi waktu pertama merupakan batasan waktu untuk memulal protokol
tata lakaksana SE.

Definiai SE konvulsif tonik klonik adalah bangkitan epileptik yang


berlangsung secara terus menerus selama minimal 30 menit atau berualang
tanpa pulihnya kesadaran di antara bangkitan. Batasan waktu atau durasi 30
menit tersebut merupakan batasan waktu dimensi kedua. yaitu saat terjadi
kerusakan neuronal. Tetapi batasan waktu atau durasi bangkitan epileptik
tonik klonik minimal 5 menit digunakan sebagai dasar untuk memulai langkah
tata laksana SE sehingga bangkitan tidak terjadi berkepanjangan. Bangkitan
epileptik tonik klonik kemungkinan tidak akan berhenti spontan apabila telah
terjadi selama 5 menit. Batasan waktu SE pada bentuk bangkitan yang lain
dipaparkan pada Tabel 3.

Tabel 3. Dimensi Waktu Status Epileptikus

Tipe SE Dimensi Oprasional 1 Dimensi Oprasional 2


(Waktu Saat (Waktu Saat
Bangkitan Epileptic Bangkitan Epileptic
Kemungkinan Menyebabkan
Menjadi Konsekuensi Jangka
Berkepanjangan ) Panjang)

SE Tonik Klonik 5 menit 30 menit

21
SE Fokal dengan 10 menit >60menit
Gangguan Kesaradaran
SE absans 10-15 menit Tidak diketahui

Insidens SE episode pertama mencapai 42 kasus per 100.000 penduduk


pertahunnya dengan rasio yang hampir sama pada lakilaki dan perempuan.
Berdasarkan National Health Discharge Survey (NHDS) insidens ini bersifat
bimodal, yaitu lebih tinggi pada usia dekade pertama dan setelah usia 60
tahun. Di Amerika Serikat insidensnya berkisar antara 6,2-18,3 per 100.000
populasi.

Di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada bulan Juni 2013


hingga Januari 2014 terdapat 31 pasien SE di instalasi gawat darurat (IGD),
45,2% dengan bangkitan umum, dan

54,8% dengan bangkitan fokal. Sebanyak 22,6% pasien meninggal dan


kesemuanya mengalami bangkitan umum. Penelitian Loho 2016 di RSCM
menunjukkan bahwa 61,8% kasus ensefalopati metabolik mengalami SE
nonkonvulsif.

SE merupakan kegawatdaruratan medis yang sering dengan morbiditas


dan mortalitas yang tinggi, yaitu Angka ini bervanasi tergantung etiologinya,
angka mortalitas SE refrakter pada pasien usia tua mencapai 76%.Secara
umum etiologi SE terdiri dari etiologi yang diketahui (simtomatik) dan
etiologi yang tidak diketahui (kriptogenik). Berdasarkan waktu terjadinya
abnormalitas penyebabnya, etiologi SE dibagi menjadi 3, yaitu:

Proses Akut

• Gangguan metabolik: gangguan elektrolit, hipoglikemia, dan gangguan


ginjal

22
• Sepsis

• Infeksi susunan saraf pusat: meningitis, ensefalitis, dan abses

• Stroke: stroke iskemik, perdarahan intraserebral, perdarahan subaraknoid,


dan trombosissinus serebral.

• Trauma kepala dengan atau tanpa hematom epidural atau subdural

• Obat-obatan:
▪ Intoksikasi Obat atau alkohol.
▪ Withdrawal Obat golongan opiod, benzodiazepin, barbiturat, atau
alkohol.

• Hipoksia

• Ensefalopati hipertensif, sindrom ensefalopati posterior reversibel

• Ensefalitis autoimun

Proses Kronik
 Epilepsi: penghentian atau penurunan Obat anti epilepsi (OAE)
 Pnyalahgunaan alkohol kronik
 Gangguan susunan saraf pusat lampau (misalnya pascastroke,
pascaensefalitis)
 Gangguan metabolisme bawaan pada anak

Proses Progresif
 Tumor susunan saraf pusat
Etiologi akut SE yang paling sering adalah stroke (22%), diikuti
gangguan metabolik (15%), hipoksia (13%), infeksi sistemik (7%), dan
anoksia (5%). Namun yang menyebabkan mortalitas tertinggi adalah
anoksia (71%,) diikuti hipoksia (53%), stroke (33%), dan gangguan
metabolik (30%). Etiologi proses kronik yang paling sering adalah
konsentrasi OAE yang rendah pada pasien epilepsi (34%) diikuti penyebab
simtomatik seperti tumor, stroke, dan trauma (25%). Angka mortalitas SE
yang disebabkan etiologi akut lebih tinggi dibandingkan akibat etiologi
kronik.

23
2.2.2. Patofisiologi Status Epileptikus

Pada umumnya bangkitan epileptik dapat berhenti spontan. Namun


semakin lama durasi suatu bangkitan epileptik, maka semakin kecil
kemungkinan akan berhenti spontan. Pada detik-detik pertama terjadinya
bangkitan epileptik terjadi fosforilasi protein, pembukaan dan penutupan kanal
ion, serta pelepasan neurotrasmiter. Kemudian pada tahap kedua, pada
beberapa detik hingga menit, terjadi penurunan subunit reseptor gamma-
aminobutyric acid (GABA) ß2, ß3, y2, serta peningkatan reseptor eksitatorik
N-metil-D-aspartat (NMDA) dan ctamino-3-hydroxy-5-methylisoxazole-4-
propionic acid (AMPA). Reseptor GABA di permukaan akan membentuk
cekungan yang dilapisi clathrin kemudian menjadi vesikel yang dilapisi
clathrin sehingga tidak dapat dijangkau oleh neurotransmiter. Vesikel tersebut
berubah menjadi endosom dan akan dihancurkan oleh lisosom. Penelitian
imunohistokimia menunjukkan subunit NRI reseptor NMDA bermigrasi dari
subsinaps ke permukaan sinaps. Pada stadium berikutnya, pada beberapa
menit hingga jam, terjadi peningkatan substansi P eksitatorik dan penurunan
penggantian neuropeptida Y yang bersifat inhibitorik Pada stadium keempat,
pada beberapa hari hingga minggu, akan terjadi perubahan genetik dan
epigenetik berupa perubahan ekspresi gen, metilasi deoxyribonucleic acid
(DNA), dan regulasi ribonucleic acid (RNA) mikro. Hal. hal tersebut
mendasari perubahan dari suatu bangkitan epileptik tunggal menjadi keadaan
SE (Gambar 6).

24
Gambar 6. Kaskade dari Mekanisme yang Terlibat pada Transisi dari Bangkitan Tunggal hingga Menjadi
Status Epileptikus

25
2.2.3. Tatalaksana

Gambar 6. Skema Tata Laksana Status Epileptikus

Tujuan manajemen SE adalah menghentikan bangkitan dengan segera,


mengidentifikasi dan mengatasi penyebab, serta mengatasi komplikasi yang
ditimbulkannya dengan skema pada Gambar 7. Langkah-langkah tersebut
sudah dapat dimulai jika terjadi bangkitan konvulsif tonik klonik lebih dari 5
menit, oleh karena bangkitan tersebut yang terjadi 5 menit atau lebih,
kemungkinannya kecil untuk berhenti spontan. Karakteristik antikonvulsan
yang ideal dalam tata laksana SE adalah rute pemberian yang mudah dan cepat
mencapai kadar terapeutik, sehingga dapat segera mengontrol bangkitan. Tata
laksana lini pertama dapat dimulai sejak di luar RS sesuai dengan kemampuan
penolong. Tata laksana pertama yang dilakukan secara dini akan
meningkatkan probabilitas terminasi bangkitan dengan protokol seperti pada
Tabel 4.10

26
Tabel 4. Protokol Tatalaksana SE

27
Waktu Intervensi
Fase  Stabilisasi pasien (jalan napas, pernapasan, sirkulasi, dan
stabilisasi disabilitas neurologis)
:  Catat waktu mulai bangkitan, monitor tanda vital
0-5 mcnit  Evaluasi oksigenasi, berikan oksigen melalui nasal kanul atau
masker, pertimbangkan intubasi bila diperlukan.
 Monitor EKG
 Pemeriksaan kadar gula darah. Jika kadar gula darah
<6()mg/dL:
Dewasa: tiamin 100mg IV lalu 5()mL dekstrosa 50% IV
Anak >2 tahun: dekstrosa 50% 2mL/kgBB
Anak <2 tahun: dekstrosa 50% 4mL/kgBB
 Pemasangan akses IV dan mengambil sampel darah untuk
pemeriksaan hematologi, elektrolit, skrining toksikologi, dan
bila diperlukan kadar OAE
 Vasopresor atau resusitasi cairan dapat diberikan jika TD
sistolik <90mmHg atau MAP <70mmHg
Fase Benzodiazepin
terapi Pilih salah satu dari benzodiazepin berikut:
inisial: • Midazolam intramuskular (dosis tunggal 10mg untuk BB >40kg,
5-20 5mg untuk BB13-40kg) atau
menit • Lorazepam IV* (0,1 mg/kgBB/dosis maksimal 4mg/dosis,
kecepatan pemberian 2mg/menit, dapat diulang 1 kali) atau
• Diazepam IV (0,15-0,2mg/kgBB/dosis, maksimal 10mg/dosis,
dapat diulang I kali)
Jika pilihan di atas tidak tersedia maka dapat diberikan:
• Fenobarbital IV (15mg/kgBB/dosis, dosis tunggal) atau
• Diazepam rektal (0,2-0,5mg/kgBB maksimal 20mg/dosis, dosis
tunggal) atau
• Midazolam intranasal* atau intrabukal*
Fase Pilih salah satu dari OAE berikut:
terapi lini  Fosfenitoin IV* (20mg/kgBB, maksimal 1500mg/dosis,
kedua: kecepatan pemberian maksimal 150 mg/menit, dosis tunggal
20-40 atau bila perlu dapat diulang 5-10mg/ kgBB) atau
menit  Asam Valproat IV* (20-40mg/KgBB, maksimal 3000mg/dosis,
kecepatan 100mg/menit, dosis tunggal )atau
 Levetirasetam IV* (20-60mg/kgBB, maksimal 4500mg/dosis,
dosis tunggal) Jika pilihan di atas tidak tersedia, maka dapat
diberikan:
 Fenobarbital IV (15mg/kgBB, kecepatan 50-75mg/menit)

28
Tabel 5. Protokol Tatalaksana SE

Waktu Intervensi
Fase Pilihan
terapi  Memberikan kembali salah satu terapi lini kedua atau Obat

lini anestesi:
- Tiopental (dosis awal 2-7mg/kgBB IV bolus, kecepatan ≤50
ketiga:
mg/menit dilanjutkan 0,5-5mg/KgBB/jam infus IV kontinu,
40-60
bila status epileptikus terjadi kembali bolus l -2mg/kgBB dan
menit
tingkatkan dosis 0,5-1mg/kgBB/jam setjap 12 jam) atau
- Midazolam (dosis awal 0,2mg/kgBB IV kecepatan 2mg/menit
dilanjutkan 0,05-0,2mg/kgBB/jam infus IV kontinu, bila status
epileptikus terjadi kembali bolus 0,1-0,2mg/kgBB dan
tingkatkan dosis 0,05-0,1mg/kgBB/jam setiap 3-4 jam) atau
- Propofol (dosis awal 1-2mg/kgBB IV dilanjutkan 30-
200mcg/kgBB/menit infus IV kontinu, bila status epileptikus
terjadi tingkatkan kecepatan infus IV 5-10mcg/kgBB/menit
setiap 5 menit atau bolus 1mg/kgBB dan titrasi naik infus IV
kontinu) atau
- Pentobarbital (dosis awal 5-15mg/kgBB IV, dapat
ditambahkan 5-10mg/ kgBB IV diberikan dengan kecepatan
50mg/menit, dilanjutkan 0,5-5mg/ kgBB/jam infus IV kontinu,
bila status epileptikus terjadi kembali bolus 5mg/kgBB dan
tingkatan dosis infus kontinu 0,5-1mg/kgBB/jam setiap 12
jam)
 Pemberian Obat anestetik sebaiknya dilakukan di ruang perawatan
intensif
 Lakukan pemantauan EEG
 Setelah penggunaan 2-3 hari kecepatan harus diturunkan karena
terjadi saturasi pada jaringan adiposa
 Obat anestesi dilanjutkan hingga 12-24 jam setelah bangkitan
klinis atau elektrografis berhenti. Dosis Obat anestesi kemudian
diturunkan perlahan

29
Seiring untuk menghentikan bangkitan epileptic, maka harus dilakukan
eksplorasi etiologi SE dan mendeteksi komplikasi yang terjadi dengan
pemeriksaan penunjang yang sesuai dengan indikasi (Tabel 5)10

Tabel 5. Pemeriksaan Penunjang Pada Kasus SE


Kemungkinan Etiologi
Pemeriksaan Panel Pemeriksaan atau Komplikasi yang
Dapat Ditemukan
Laboratorium Darah perifer lengkap

Toksikologi Kokain, alcohol,


antidepresan trisiklik,
simpatomimetik, teofilin,
organofosfat, siklosporin
INH
Elektrolit Hiponatremia,
hypernatremia,
hipokalsemia,
hypomagnesemia,
Gula darah Hipoglikemia,
hiperglikemia
Analisis gas darah Hipoksia

Urinalisis Infeksi

Kadar obat antiepileptic Kadar obat anti epilepsy


dalam darah rendah
Cairan serebrospinal Infeksi

Tes fungsi hati


Parameter koagulasi
Parameter gangguan
metabolisme bawaan
(inborn error metabolism)
pada kasus anak

Pencitraan Rontgen toraks Infeksi paru


CT Scan atau MRI kepala Etiologi intrakranial

30
2.2.4. Komplikasi

Berbeda dengan SE nonkonvulsif, SE konvulsif memiliki dampak sistemik


yang luas, meliputi susunan saraf pusat (SSP), kardiovaskular, respirasi,
metabolik, ginjal, endokrin, dan lain-lain, yaitu:10

1. Sistem saraf pusat


Edema serebral, narkosis akibat penumpukan COZ, hipoksia serebral,
dan perdarahan serebral.
2. Kardiovaskular
Aritmia, henti jantung, takikardia, bradikardia, gagal jantung
kongestif, hipertensi, dan hipotensi.
3. Respirasi
Apneu, edema paru, acute respiratory distress syndrome, infeksi
nosokomial, aspirasi, spasme laring, asidosis respiratorik, dan emboli
paru.
4. Metabolik
Asidosis metabolik, hiperkalemia, hiponatremia, hipomagnesemia,
hipermagnesemia, dan dehidrasi.
5. Ginjal
Asidosis renal tubular, sindrom nefritik akut, oligouria, uremia,
rabdomiolisis, dan mioglobinuria.
6. Endokrin
Hipopitutarisme, peningkatan prolaktin, vasopresin, dan kortisol,
penurunan berat badan
7. Lain-lain
Koagulasi intravaskular diseminata, penurunan motilitas intestinal,

pandisotonomia, sindrom disfungsi organ multipel, dan fraktur.

31
2.2.5. Prognosis

Prognosis SE ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu usia, tipe bangkitan


SE, durasi, kecepatan inisiasi tata laksana, dan etiologi. Walaupun SE sering
terjadi pada usia dekade pertama, namun angka mortalitasnya lebih rendah
dibandingkan usia dewasa atau usia tua. Secara keseluruhan angka mortalitas
pada usia dewasa mencapai 26% dan meningkat dua kali lipat pada usia >80
tahun yang mencapai 50%. Mortalitas lebih tinggi pada SE mioklonik, durasi
SE >60 menit, inisiasi tata laksana 30 menit sejak onset, dan SE simtomatik
akut. Mortalitas SE tertinggi mencapai 60-80% kasus pada SE akibat anoksia
atau hipoksia akut yang berat (Tabel 5).10

Etiologi Populasi Mortalitas

Stroke Usia tua 20-40%

Penyalahgunaan alkohol Dewasa 0-10%

Penyalahgunaan obat-obatan Dewasa 20%

Penurunan kadar Obat antiepilepsi Dewasa < 10 0/0

Hipoksia atau anoksia akut berat Dewasa 60-80%

Infeksi susunan saraf pusat Anak 30%

Tumor otak Dewasa 0-20%

Trauma Dewasa 11-25%

Kriptogenik Bervariasi

32
KESIMPULAN

Bangkitan epileptik (Kejang) dan epilepsi adalah dua terminologi yang


berbeda, namun saling berkaitan, sehingga harus dipahami dalam praktik sehari
hari. Bangkitan epileptik adalah tanda dan atau gejala yang timbul sepintas akibat
aktivitas neuron diotak yang berlebihan dan abnormal serta sinkron. Epilepsi
adalah gangguan otak yang ditandai oleh adanya factor predisposisi secara terus
menerus untuk terjadinya suatu bangkitan epileptik, dan juga ditandai oleh adanya
factor neurobiologis, kognitif, psikologis, dan konsekuensi social akibat kondisi
tersebut.

Status epileptikus (SE) penting untuk dikenali secara dini, sehingga dapat
ditatalaksana sesegera mungkin dimulai pada fase prarumah sakit. Tata laksana
SE yang tepat akan meningkatkan probabilitas terminasi bangkitan epileptik dan
pada akhirnya menurunkan angka morbiditas dan mortalitas. Langkah-langkah
tatalaksana sudah dapat dimulai jika terjadi bangkitan konvulsif tonik klonik lebih
dari 5 menit, oleh karena bangkitan tersebut yang terjadi 5 menit atau lebih,
kemungkinannya kecil untuk berhenti spontan. Karakteristik antikonvulsan yang
ideal dalam tata laksana SE adalah rute pemberian yang mudah dan cepat
mencapai kadar terapeutik, sehingga dapat segera mengontrol bangkitan. Tata
laksana pertama yang dilakukan secara dini akan meningkatkan probabilitas
terminasi bangkitan dengan protokol.

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Guidelines and Protocols Advisory Committe. Febrile Seizure. British


Columbia Medical Association. 2010.
2. Jerome Engel. Seizures and Epilepsy. OUP USA. 2013

3. Goldenberg, M.M. Overview of Drugs Used for epilepsy and Seizures. P


& T. 2010, 36:7.
4. French, J.a. Pedley, T. A. Initial Management of Epilepsy. The new
England Journal of Medicine. 2008.
5. Octaviana F, Budikayanti A, Dkk. Bangkitan dan Epilepsi Buku Ajar
Neurologi FK UI, Jakarta : 2017
6. Breton A. N. Seizures: Stages, Types, and Care. 10th Emergency &
Critical Care UK Annual Congress. 2013
7. Sampson HA dan Leung D. Seizures in Childhood. Di dalam: Kliegman et
al. Nelson Textbook of Pediatrics, 18th edition. Philadelphia: Elsevier
Inc; 2007.
8. Fauci A, Braunwald E, Kasper D, Hauser S, Longo D, Jameson J, et al.
Epilepsy. Di Dalam: Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th
Edition: McGraw Hill. 2008.
9. Fisher RS, Cross JH, D’Souza C, French JA, Haut SR, Higrashi N, et al.
Instruction Manual for the ILAE 2017 Operational Classification of
Seizure Types. Epilepsia. 58(4): 531-42.

10. Indrawati LA, Wiratma W, Dkk. Bangkitan dan Epilepsi Buku Ajar
Neurologi FK UI, Jakarta : 2017

iii
iv

Anda mungkin juga menyukai