CEDERA KEPALA
Pembimbing :
dr. Elfa Alissa Ersyanti, Sp.S
Disusun Oleh :
Zaki Ahmad Hakiqi (2015730137)
Dengan mengucap syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan
hidayah-Nya Laporan Kasus ini dapat terselesaikan dengan baik. Laporan Kasus ini disusun
sebagai salah satu tugas kepanitraan klinik stase neurologi Fakultas Kedokteran dan
Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta di RS. Islam Jakarta Pondok Kopi.
Dalam penulisan laporan referat ini, tidak lepas dari bantuan dan kemudahan yang diberikan
secara tulus dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada dr. Elfa Alissa Ersyanti, Sp.S sebagai dokter pembimbing.
Dalam penulisan laporan kasus ini tentu saja masih banyak kekurangan dan jauh dari
sempurna, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, kritik dan saran yang bersifat
membangun akan sangat penulis harapkan demi kesempurnaan laporan kasus ini.
Akhirnya, dengan mengucapkan Alhamdulillahirobbil ‘alamin laporan referat ini telah selesai
dan semoga bermanfaat bagi semua pihak serta semoga Allah SWT membalas semua
kebaikan dengan balasan yang terbaik, Aamiin Ya Robbal Alamin.
Penulis
2
PENDAHULUAN
Cedera (injury) merupakan suatu keadaan yang ditandai adanya stimulus patologis yang
melampaui kemampuan pemulihan (recovery) suatu sel atau jaringan. Bentuk dari stimulus
patologis ini bersifat umum, bisa berupa trauma, infeksi, iskemia, atau neoplasma. Dengan
demikian, trauma merupakan salah satu penyebab cedera pada suatu sel atau jaringan di
tubuh manusia.
Cedera kepala adalah perubahan fungsi otak atau terdapat bukti patologi pada otak yang
disebabkan oleh kekuatan mekanik eksternal. Cedera kepala dapat diakibatkan oleh trauma
mekanik pada kepala baik secara langsung atau tidak langsung yang menyebabkan gangguan
fungsi neurologis berupa gangguan fisik, kognitif, dan fungsi psikososial secara sementara
maupun permanen. Dalam buku ini, istilah cedera kepala sama pengertiannya dengan trauma
kepala.
Konsekuensi akibat cedera kepala dipengaruhi beberapa faktor; seperti usia, faktor komorbid,
sepsis, dan tata laksana yang didapatkan. Selain itu, faktor genetik kini diketahui turut
mempengaruhi konsekuensi patologis yang mungkin didapatkan pasien. Komplikasi tersering
pascacedera meliputi aspek neurologis dan non-neurologis. Adanya komplikasi neurologis
berupa gangguan kognitif dan cedera saraf kranial sering terabaikan dalam perawatan,
sehingga menurunkan kualitas hidup pasien. Oleh karena itu, dibutuhkan peran neurolog
dalam diagnosis dan penanganan tepat sedini mungkin untuk merestorasi otak dan
mengurangi kecacatan hidup semaksimal mungkin.
3
BAB II
STATUS PASIEN
2.1 Identitas
2.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Keluhan Tambahan
Nyeri pada regio yang terluka (dahi kanan, pinggang kanan, tungkai bawah, dan kaki kanan)
Pasien datang dibawa oleh AGD dinas dengan luka robek pada daerah dahi kanan setelah
kecelakaan lalu lintas 30 menit sebelum masuk rumah sakit. Pasien naik motor menggunakan
helm, dari arah berlawanan ada motor yang berhenti mendadak setelah menerobos lampu lalu
lintas. Pasien kemudian menabrak orang tersebut dari arah samping, sehingga motor pasien
terjatuh dan pasien terseret hingga 2 meter. Dahi membentur aspal sehingga timbul luka
robek pada dahi kanan. Terdapat juga luka-luka pada tungkai bawah dan kaki kanan pasien.
Setelah terjatuh pasien masih sadar kemudian dibawa oleh ambulans. Mual disangkal,
muntah disangkal, pingsan disangkal, sakit kepala pada bagian dahi yang luka dan daerah
kaki yang luka-luka.
4
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat hipertensi (-), Riwayat diabetes mellitus (-), Riwayat stroke (-), Riwayat trauma (-)
Riwayat hipertensi (-), Riwayat diabetes mellitus (-), Riwayat stroke (-), Riwayat trauma (-)
Riwayat Pengobatan
Riwayat Alergi
Disangkal
Riwayat Psikososial
Merokok (+)
Alkohol (-)
5
PEMERIKSAAN FISIK
Tanda vital
Nadi : 80x/menit
Pernapasan : 18x/menit
Suhu : 36,8
Status Generalis
6
b. Paru-paru:
Inspeksi : Gerakan nafas simetris
Palpasi : Vocal fremitus simetris, krepitasi (-)
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
i. Abdomen
a. Insepski : bentuk datar
b. Perkusi : timpani
c. Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepatomegali (-), splenomegali (-),
nyeri epigastrium (-)
d. Auskultasi : BU (+) normal
j. Ekstremitas
a. Atas : akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-/-)
b. Bawah : akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-/-), sianosis (-/-)
Status Neurologis
Kesadaran : Composmentis
GCS : E4 V5 M6
a. Rangsangan Meningeal
Kaku kuduk : Negatif
Brudzinski I : Negatif
Brudzinski II : Negatif
Kernig : Negatif
Lasegue : Negatif
b.Nervus Kranialis
7
a. visus
b. warna
c. funduskopi
d. lapang pandang
b. Medial : normal
c. Atas : normal
d. Bawah : normal
e. Ukuran pupil : 3 mm / 2 mm
f. Bentuk : bulat/bulat
i. Strabismus : -/-
j. Diplopia : -/-
k. Eksoftalmus : -/-
l. Nistagmus : -/-
m. Ptosis : -/-
4. Nervus V (Trigeminus) :
a. Sensorik
8
b. Motorik
Membuka mulut : baik
Menggerakkan rahang : baik
Jaw refleks : baik
Manis : baik
Asin : baik
Asam : baik
Pahit : baik
a. Keseimbangan
Nistagmus : -/-
Tes romberg : Negatif
b. Pendengaran
Tes rinne : tidak dilakukan pemeriksaan
Tes schwabach : tidak dilakukan pemeriksaan
Tes weber : tidak dilakukan pemeriksaan
9
c. Perasat lidah (1/3 anterior) :
8. Nervus XI (Aksesorius)
b. Tremor lidah :-
c. Atrofi lidah :-
d. Fasikulasi :-
c. Pemeriksaan Motorik
1. Kekuatan otot
5555 5555
5555 5555
2. Tonus Otot
a. Hipotoni : -/-
b. Hipertoni : -/-
10
3. Refleks
a. Refleks Fisiologis
Biceps : +/+
Triceps : +/+
Achiles : +/+
Patella : +/+
b. Refleks Patologis
Babinski : -/-
Oppenheim : -/-
Chaddock : -/-
Gordon : -/-
Scaeffer : -/-
Hoffman-Trommer : -/-
d. Sistem Ekstrapiramidal
1. Tremor :-
2. Chorea :-
3. Balismus :-
e. Sistem koordinasi
1. Romberg Test : baik
2. Tandem Walking : baik
3. Finger to Finger Test : baik
11
4. Finger to Nose Test : baik
k. Fungsi kortikal
1. Atensi : baik
2. Konsentrasi : baik
3. Kecerdasan : baik
4. Bahasa : baik
5. Memori :baik
12
B. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Kesan :
B. Laboratorium
Assestment
• Observasi neurologi
Diagnosis
Diagnosis Klinis
Diagnosis Topis
13
Diagnosis Etiologi
Tatalaksana
1. Oksigen = O2 = 3 Lpm
Ranitide 2x1
PCT k/p
14
Tinjauan Pustaka
3.1 Epidemiologi
Cedera kepala menyebabkan kematian dan disabilitas di banyak negara di dunia. Berdasarkan
data yang didapatkan dari CDC, sebanyak 1,7 juta orang mengalami cedera kepala setiap
tahun di Amerika Serikat. Prevalensi nasional cedera kepala menurut Riskesdas 2013 adalah
8,2%, meningkat 0,7% dibandingkan tahun 2007. Sebanyak 40,6% cedera kepala diakibatkan
oleh kecelakaan motor. Menurut sebaran kelompok usia, cedera kepala lebih banyak terjadi
pada pasien dengan usia produktif. Hal ini tentunya berdampak besar pada aspek sosial
ekonomi.
3.2 Patofisiologi
Akselerasi kepala memiliki dua komponen sesuai arah vektornya, yaitu translasi (sumbu
sagital, koronal, dan aksial) dan rotasi. Akselerasi translasi membuat kepala bergerak secara
sirkular. Sementara itu, akselerasi rotasi membuat kepala berubah sudutnya terhadap sumbu
sentral. Selain akselerasi, kepala juga dapat mengalami deselrasi/perlambatan yang
merupakan bentuk negatif dari akselerasi. Akselerasi timbul karena kepala yang bergerak,
sedangkan deselerasi muncul sebagai akibat dari kepala yang terbentur. Saat kepala yang
sedang bergerak lalu terbentur, terjadi kombinasi akselerasi translasi dan rotasi serta
deselerasi. Pergerakan akibat proses akselerasi dan dselerasi ini yang menimbulkan tarikan
dan regangan pada otak dan gesekan antara otak dengan tengkorak, sehingga bermanifestasi
klinis dan terlihat kelainan pada pencitraan.
15
Terdapat dua tipe cedera kepala yang terbentuk, yaitu cedera tumpul dan cedera tembus.
Adanya penetrasi dura mater merupakan tolak ukur untuk menentukan cedera kepala disebut
tumpul atau tembus.
Cedera tumpul umumnya disebabkan oleh mekanisme akselerasi atau deselerasi cepat pada
kepala dengan atau tanpa benturan. Tipe cedera ini umumnya terjadi pada kasus kecelakaan
lalu lintas atau jatuh dari ketinggian. Di lain pihak, cedera tembus merupakan cedera akibat
penetrasi tulang tengkorak oleh objek eksternal, misalnya tembakan peluru atau tusukan
benda tajam. Cedera tembus juga dapat merupakan cedera kolateral akibat adanya objek
eksternal yang mengenai kepala dan mengakibatkan fraktur impresi hingga terjadi penetrasi
ke dalam rongga kranial.
Cedera tembus kecepatan rendah menyebabkan cedera langsung pada pembuluh darah, saraf,
dan jaringan otak, dengan komplikasi perdarahan dan infeksi. Cedera tembus kecepatan
tinggi, misalnya tembakan peluru, seringkali mengakibatkan terbentuknya luka tembus
masuk dan keluar pada tengkorak dan menyebabkan kerusakan otak ekstensif.
Gaya mekanik eksternal yang mengenai kepala menimbulkan cedera otak primer dan
sekunder. Cedera otak primer terjadi karena efek sangat segera (immediate effect) pada otak
akibat gaya mekanik eksternal saat trauma terjadi. Di lain pihak, cedera otak sekunder terjadi
beberapa saat setelah kejadian trauma akibat jalur kompleks, yang berkembang dan
mengakibatkan kerusakan otak lebih luas. Baik cedera otak primer maupun sekunder dapat
mengakibatkan lesi patologis fokal atau difus.
Pada cedera otak primer, lesi difus dapat berupa cedera aksonal difus dan cedera vaskular
difus, sedangkan lesi fokal berupa kontusio fokal, perdarahan intraserebral, perdarahan
subdural, dan perdarahan epidural. Sementara itu, bentuk cedera otak sekunder dapat berupa
edema otak, cedera iskemik, cedera hipoksik, dufs dan disfungsi metabolik. Semua bentuk
cedera otak sekunder dapat terjadi secara difus atau fokal. Pada kenyataannya, beberapa lesi
dapat terjadi pada setiap kasus cedera kepala, misalnya perdarahan epidural dan kontusio
fokal, atau cedera aksonal difus dan perdarahan subaraknoid.
Di samping cedera otak sekunder tersebut, konsekuensi lanjutan dari cedera otak primer
dapat berupa kerusakan sekunder (secondary insult), seperti hipotensi, hipoksia, demam,
hipo/hiperglikemia, gangguan elektrolit, anemia, kejang, dan vasospasme. Di antara semua
16
itu, faktor yang paling berpengaruh terhadap prognosis buruk adalah hipotensi dan hipoksia
yang akan memperberat cedera otak.
Cedera otak primer akibat benturan pada kepala menimbulkan serangkaian proses yang pada
akhirnya menjadi cedera otak sekunder (gambar 2). Saat benturan terjadi, neuron mengalami
regangan dan tarikan yang termasuk dalam cedera otak primer. Peristiwa ini mengganggu
integritas dan kerja pompa ion membran sel, terjadi perpindahan ion natrium dan kalsium ke
intrasel dan ion kalium ke ekstrasel. Hal ini akan meningkatkan konsentrasi ion kalsium
intrasel yang kemudian memiliki konsekuensi, yaitu aktivasi calpasin yang bisa
mendegradasi protein sitoskeletal dan induksi pengelpasan glutamat yang akhirnya
mengaktivasi reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA).
Berikut adalah beberapa contoh lesi fokal dan difus akibat cedera kepala:
Lesi Fokal
1. Cedera scalp
Cedera fokal pada scalp dalam bentuk laserasi dan abrasi dapat menjadi penanda penting
untuk menentukan tempat terjadinya benturan dan dapat memberikan gambaran objek
yang mengenainya. Laserasi scalp merupakan hal penting yang harus diperhatikan karena
dapat menjadi jalur masuk infeksi dan sumber perdarahan. Sementara, adanya memar
tidak selalu menjadi penanda yang berhubungan dengan lokasi benturan sebagai contoh:
(1) memar periorbital seringkali berkaitan dengan patah tulang orbita akbiat cedera
contra-coup pada oksiput, (2) memar pada mastoid (tanda Battle) dapat disebabkan oleh
aliran darah dari fraktur yang terjadi pada tulang temporal pars petrosus.
17
fraktur kominutif, sedangkan pada daerah yang sempit mengakibatkan fraktur impresi.
Fraktur basis kranii dapat mengakibatkan bo cornya cairan serebrospinal dan mengisi
sinus-sinus, sehingga dapat menjadi sumber infeksi intrakranial (Gambar 3).
Robekan (laserasi) pada pia mater seringkali berhubungan dengan jejas pada otak
(kontusio). Pada kontusio serebri, parenkim otak mengalami edema dan perdarahan.
Jejas yang terdapat tepat di tåk trauma disebut jejas coup, sedangkan yang terdapat di Sisi
kontralatenl titik trauma disebut jejas countercoup (Gambar 4). Sebagai contoh, benturan
di kepala bagian depan a}an menghasilkan jejas coup di lobus frontal dan jejas
countercoup di lobus oksipital.
Jejas coup umumnya terjadi pada kasus akselerasi cepat, misalnya saat kepala dipukul
dengan benda keras. Sementara itu, jejas countercoup umumnya terjadi pada kasus
deselrasi cepat, misalnya jatuh dari atas gedung. Saat seseorang jatuh dari suatu
ketinggian, kepala mengalami akselerasi akibat gravitasi bumi dan diikuti deselerasi cepat
akibat menghantam tanah.
4. Perdarahan intrakranial
a. Perdarahan epidural
Perdarahan ini lebih sering terjadi pada pasien usia muda (10-30 tahun). Hal ini
diakibatkan adanya fraktur linear tengkorak, terutama di tulang temporal pars
skuamosa yang menyebabkan robeknya arteri meningea media. Oleh karena itu
predileksi perdarahan epidural di area temporal atau temporo0parietal (70-80%).
Perdarahn ini ditandai dengan akumulasi darah di antara dura mater dan tulang
18
tengkorak, sehingga gambaran hematomanya khas berbentuk cembung atau
bikonveks.
Volume perdarahan merupakan penanda luaran pasien dengan perdarahan epidural.
Pasien dengan volume darah lebih dari 150 ml, memiliki prognosis yang lebih buruk.
b. Perdarahan subdural
Perdarahan subdural dapat jeradi akut (<3 hari), subakut (3 hari-3 minggu awitan),
atau kronik (lebih dari 3 minggu awitan). Perdarahan subdural akut terdiri atas bekuan
darah yang lembut (seperti gel). Setelah beberapa hari, bekuan tersebut akan dipecah
menjadi cairan serosa dan setelah 1-2 minggu akan terbentuk jaringan granulasi
dengan fibroblas dan pembuluh darah baru.
c. Perdarahan subaraknoid
Akumulasi darah di subaraknoid dapat terjadi setelah cedera kepala, terutama yang
berhubungan dengan kontusio dan laserasi. Perdarahan subaraknoid seringkali
menjadi penyulit pada kasus perdarahan intraventrikular karena kebocoran (leakage)
darah ke ruang subaraknoid melalui foramen Luschka dan Magendie. Perdarahan
subaraknoid karena cedera kepala biasanya terdistribusi di sulkus-sulkus serebri di
sekitar verteks dan tidak mengenai sisterna basalis. Perdarahan subaraknoid seringkali
terjadi akibat benturan pada otak atau leher dan menyebabkan hilangnya kesadaran
19
secara langsung. Komplikasi kronik perdarahan subaraknoid adalah terbentuknya
hidrosefalus.
d. Perdarahan intraventrikular
e. Perdarahan intraserebral
Lesi Difus
Cedera aksonal difus disebabkan oleh akselerasi atau deselerasi cepat kepala, terutama
jika terdapat gerakan rotasional atau koronal. Umumnya terjadi pada kasus kecelakaan
lalu lintas dan jatuh dari ketinggian. Selain patologi, cedera aksonal difus dicirikan
dengan kerusakan akson dan perdarahan petekie. Petekie ini muncul secara instan dan
menentukan derajat cedera aksonal aksonal difus.
Secara klinis, pasien akan kehilangan kesadaran sejak terjadinya cedera, disabilitas
berat, dan status vegetatif yang persisten. Oleh karena kerusakan yang terjadi di
tingkat akson, maka gambaran CT scan sering tidak menunjukkan kelainan. Pada
kondisi ini, pemeriksaan MRI dapat dikerjakan untuk melihat lesi patologis di
parenakim.
20
Berbeda dengan cedera aksonal difus yang melibatkan akson, cedera vaskular difus
didominasi oleh keterlibatan pembuluh darah. Beberapa pasien cedera kepala yang
mengalami akselerasi atau deselerasi cepat dan parah dapat mengalami perdarahan
petekie pada otak tanpa sempat mengalami cedera aksonal, akibat besarnya energi
mekanik yang menyebabkan pecahnya pembuluh darah. Hal inilah yang dijumpai
pada cedera vaskular difus.
Edema otak akan meningkatkan TIK dan menurunkan tekanan perfusi otak sehingga
menyebabkan kerusakan otak akibat iskemia. Perdarahan tekanan di antara
kompartemen otak dapat mengakibatkan herniasi otak. Herniasi subfalsin girus
singulatum akan menyebabkan kompresi pada arteri serebral anterior. Sementara
herniasi transtentorial dapat menyebabkan kompresi pada arteri serebral posterior,
girus parahipokampus, dan otak tengah. Herniasi transforamen batang otak
menyebabkan iskemia yang berujung pada menurunnya fungsi batang dan otak atau
kematian.
Cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan: (1) tingkat kesadaran pasien menurut
Skala Koma Glasgow (SKG), (2) lokasi lesi, dan (3) patologi.
a. Cedera kepala minimal : SKG 15: tidak ada pingsan, tidak ada defisit neurologis, CT
scan otak normal.
21
b. Cedera kepala ringan: SKG 13-15, terdapat pingsan kurang dari 10 menit, tidak
terdapat defisit neurologis, CT scan otak normal.
c. Cedera kepala sedang : SKG 9-12, terdapat pingsan 10 menit-6 jam, terdapat defisit
neurologis, CT scan otak abnormal.
d. Cedera kepala berat: SKG 3-8, terdapat pingsan lebih dari 6 jam, terdapat defisit
neurologis, CT scan otak abnormal.
1. Komosio serebri
Secara klinis, komosio serebri memiliki manifestasi klinis yang tidak berat. Pasien
dengan komosio serebri umumnya mengalami penurunan kesadaran kurang lebih 30
menit. Setelah itu, terjadi pemulihan hingga seperti sebelum terjadinya cedera kepala.
Namun, umumnya pasien akan mengalami amnesia pascatrauma.
Pemeriksaan CT scan atau MRI pada komosio serebri seringkali menjukkan hasil
normal, padahal sebenarnya sudah terjadi kerusakan secara mikroskopik pada akson,
jika didapat kelainan pada pemeriksaan tersebut, maka ini membuktikan pasien tidak
hanya mengalami komosio serebri.
2. Perdarahan epidural
Perdarahan epidural secara klinis ditandai dengan adanya interval lusid, yaitu periode
kesadaran pulih diantara dua penurunan kesadaran. Pada awal terjadi cedera kepala,
kesadaran pasien akan menurun. Selanjutnya pasien akan sadar penuh, tetapi kembali
kehilangan kesadaran beberapa saat kemudian karena adanya akumulasi darah.
22
Sementara itu, 15% pasien diketahui tidak mengalami penurunan kesadaran sesaat
setelah cedera kepala terjadi. Dengan demikian, pasien dengan perdarahan epidural
membutuhkan pemantauan ketat untuk mencegah pasien jatuh perburukan.
Selain interval lusid, juga dapat ditemukan tanda dan gejala peningkatan TIK
diantaranya nyeri kepala dan muntah karena akumulasi darah akan meningkatkan
volume di dalam tengkora, sementara tengkorak memiliki daya akomodasi yang
terbatas.
3. Perdarahan subdural
Perdarahan subdural dapat bersifat akut, subakut, dan kronik. Pada kasus akut,
hematom terbentuk kurang dari 3 hari dan umumnya berhubungan dengan cedera
kepala yang lebih hebat. Adanya koinsidensi perdarahan intraserebral dan epidural
menjadi penyulit perdarahan subdural akut. Kasus perdarahan subdural akut sering
terjadi pada pasien usia muda yang tidak mengalami perbaikan kesadaran sejak
cedera. Interval lusid hanya ada pada kurang dari 30% kasus dan seringkali berkaitan
dengan kasus kontusio dan laserasi otak.
Pada perdarahan subdural subakut, hematom terbentuk dalam waktu 3 hari hingga 3
minggu pascacedera disertai penurunan fungsi neurologis sejalan dengan besarnya
hematom yang terbentuk. Ditemukan hemiparesis kontralateral pada 50% kasus dan
ipsilateral (25% kasus) dengan angka kematian sebesar 25%.
23
Pada perdarahan subdural kronik, hematom terbentuk 3 minggu bahkan lebih
pascacedera yang diagnosisnya terlihat dari gambaran CT scan atau MRI. Secara
klinis, gejala perdarahan subdural kronik dapat berupa perubahan status mental,
disfungsi neurologis fokal, peningkatan tekanan intrakranial, dan kejang fokal. Pasien
dapat mengalami perubahan tingkat kesadaran yang fluktuatif, tetapi bukan
merupakan gejala utama.
4. Perdarahan intraserebral
Perdarahan ini umumnya disebabkan oleh disrupsi parenkim otak akibat penonkolan
dari patahan tulang tengkorak dan menyebabkan pembuluh darah terkait sehingga
terbentuk hematom yang terletak intraparenkim. Klinis yang tampak serupa dengan
perdarahan intraparenkim yang sama dengan mekanisme perdarahan otak lainnya,
seperti pada ruptur aneurisma.
Diagnosis cedera kepala harus dilakukan secara cepat dan akurat, mengingat kondisi
emergensi. Proses anamnesis dan pemeriksaan fisik generalis dan neurologis harus
efektif dan efisien, disesuaikan dengan kondisi lapangan yang membutuhkan tindakan
segera.
1. Mekanisme cedera kepala secara detail, meliputi proses terjadinya posisi pasien saat
kejadian, bagian tubuh yang pertama kali terkena, kecepatan (jika kecelakaan lalu
lintas0 atau besarnya kekutan (jika pukulan atau barang) objek yang menyebabkan
cedera kepala.
2. Tingkat kesadaran, perlu ditanyakan kesadaran memang sudah hilang sejak setelah
trauma atau hilang setelah pasien sempat sadar.
3. Durasi hilangnya kesadaran.
4. Amnesia pascatrauma, tanyakan kondisi pasien sebelum, saat, dan setelah trauma.
5. Nyeri kepala, perlu dibedakan nyeri akibat peningkatan tekanan intrakranial atau
disebabkan oleh nyeri somatik akibat cedera scalp.
6. Gejala neurologis lain, seperti anosmia, kejang, kelemahan tubuh sesisi atau dua sisi,
bingung, diplopia, dan orientasi pasien terhadap waktu, tempat, serta orang perlu
24
ditanyakan saat anamnesis. Gejala beruapa bocornya cairan serebrospinal melalui
hidung (rinorea) atau telinga (otorea) juga perlu ditanyakan.
7. Hal lain yang juga perlu ditanyakan adalah obat rutin yang sering dikonsumsi pasien,
riwayat penyakit dahulu, gaya hidup (alkohol, rokok, dan narkoba), serta riwayat
penyakit keluarga.
Pada pemeriksaan status generalis, pemeriksaan kepala harus dilakukan dengan detail,
serta bagian tubuh lain yang dapat menunjukkan beratnya trauma. Berikut ini
merupakan tanda diagnostik yang dapat dijadikan tanda awal untuk mendiagnosis.
Nyeri kepala
Kesadaran bisa menurun atau normal
Pada CT scan otak didapatkan gambaran hiperdens (perdarahan) di antara dura
mater dan araknoid yang tampak seperti bulan sabit.
Tanda diagnostik fraktur basis kranii:
Anterior
25
Keluarnya cairan likuor melalui hidung/rinorea
Perdarahan bilateral periorbital ekomosis/raccoon eye
Anosmia
Media
Keluarnya cairan likuor melalui telinga/otorea
Gangguan N.VII dan N.VIII
Posterior
Bilateral mastoid ekimosis/tanda Battle
Kebocoran cairan serebrospinal melalui telinga atau hidung pada fraktur basis kranii
dapat dideteksi dengan adanya halo/double-ring sign. Hal ini terjadi karena prinsip
kromatografi yang menunjukkan bahwa cairan serebrospinal dan darah akan terpisah
sesuai koefisien difusi saat diteteskan di kassa/kain. Terpisahnya kedua komponen
inilah yang membentuk gambaran menyerupai dua buah cincin. Tanda ini dapat
muncul bila konsentrasi cairan serebrospinal sekitar 30-90%.
Selain itu, untuk menegakkan diagnosis fraktur basis kranii perlu dilakukan
pemeriksaan dengan menggunakan CT scan.
Pemeriksaan Penunjang
26
CT scan unggul dalam mengidentifikasi fraktur tengkorak jenis impresi atau linier dan
fraktur basis kranii.
Menurut National Institute for Health and Clinical Exxcellence (NICE), CT scan perlu
dilakukan jika pasien:
Memiliki skor SKG kurang dari 13 pasca cedera
Skor SKG 13 atau 14 dua jam pasca cedera
Dicurigai mengalami fraktur terbuka atau impresi
Memiliki tanda-tanda fraktur basis kranii
Mengalami kejang pascacedera
Mengalami defisit neurologis sentral
Mengalami muntah yang lebih dari 1 kali
Mengalami amnesia tentang kejadian 30 menit sebelum cedera
Diagnosis Banding
Apabila klinisi telah melakukan prosedur anamnesis dan pemeriksaan dengan cermat,
penegakan diagnosis cedera kepala tidak memerlukan diagnosis banding. Hanya pada
kasus-kasus tertentu saja perlu dicurigai adanya kemungkinan diagnosis lain. Hampir
semua kelainan intrakranial dapat dijadikan diagnosis banding untuk cedera kepala,
yaitu keganasan otak, stroke, dan aneurisma.
Selain pencitraan, pemeriksaan penan biokimia, seperti creatine kinase brain type
(CK-BB), neuron-specifis enolase (NSE), protein S1000, dapat dilaukukan pada
pasien cedera kepala. Penelitian di RSUPN Cipto Mangunkusumo menunjukkan
bahwa kadar protein S100 yang tinggi cenderung memiliki luaran yang buruk.
27
Sayangnya, penanda biokimia ini tidak sensitif hanya terhadap kerusakan otak akibat
cedera kepala, melainkan juga pada kondisi stroke, ensefalopati hepatikum, dan
penyakit neruodegeneratif, seperti Alzheimer.
TATA LAKSANA
Dasar tata laksana awal untuk semua kasus cedera kepala bertujuan untuk menjaga
kestabilan hemodinamik, penanganan segera akibat cedera primer, mencegah cedera
jaringan otak sekunder dengan cara mencegah munculnya faktor-faktor komorbid
seperti hipotensi dan hipoksia, serta mendapatkan penilaian neurologis yang akurat.
Prinsip tata laksana awal pada cedera kepala secara umum sama seperti cedera di
tempat lain. Penanganan didasari pada prinsip emergensi dengan survei primer.
Adapun survei primer meliputi tindakan yang umumnya disingkat ABCD, yaitu:
1. A- Airway (jalan napas)
Prinsipnya adalah memastikan jalan napas tidak mengalami sumbatan. Apabila
diperlukan dapat digunakan alat bantu seperti oropharyngeal airway (OPA).
2. B- Breathing (pernapasan adekuat)
Prinsip pernapasan adekuat adalah dengan memperhatikan pola napas, gerak
dinding perut, dan kesetaraan pengembangan dinding dada kanan dan kiri.
Apabila alat tersedia, diharapkan saturasi oksigen di atas 92%.
3. C-Circulation (sirkulasi)
4. D-Disability (melihat adanya disabilitas)
Berdasarkan konsensus Perhimpunan Dokter Saraf Seluruh Indonesia
(PERDOSSI), disabilitas mengacu pada ada tidaknya lateralisasi dan kondisi
umum dengan memeriksa status umum dan fokal neurologis.
Sebagai tambahan, perlu dilakukan imobilisasi tulang belakang karena cedera
kepala seringkali dibarengi dengan adanya cedera pada medula spinalis.
Imobilisasi dilakukan sampai di dapatkan bukti tidak terdapat cedera tulang
belakang.
Hipotensi adlaah salah satu prediktor mortalitas pada cedera kepala berat. Oleh karena
itu, perlu dilakukan resusitasi dengan cepat begitu tanda0tanda syok ditemukan.
28
Banyak pusat trauma merekomendasikan kristaloid isotonik sebagai cairan pengganti.
Cairan hipotonik harus dihidnari karena dapat mengeksaserbasi edema serebral.
Untuk mempertahankan tekanan perfusi srebral sebesar 50 mmgHg, dibutuhkan
tekanan darah arteri rerata (mean arterial rpessusre/MAP) sekitar 70 mmHg.
Dosis pemberian manitol dimulai dari 1-2g/KgBB dalam waktu ½ - 1 jam tetes cepat.
Setelah 6 jam pemberian dosis pertama dilanjutkan dengan dosis kedua 0,5 g/KgBB
dalam waktu ½ - 1 jam tetes cepat. Selanjutnya 12 jam dan 24 jam kemudian
diberikan 0,25 g/KgBB selama ½-1 jam tetes cepat.
29
a. Penurunan kesadaran progresif.
b. Hipertensi, bradikardi, dan gangguan pernapasan (refleks Cushing).
c. Terjadi perburukan pada suatu kondisi defisit neurologis fokal.
4. Fraktur impresi.
5. Fraktur kranii dengan laserasi serebri.
6. Fraktur kranii terbuka.
7. Edema serebri berat yang disertai dengan tanda penignkatan tekanan intrakranial
(TIK).
30
Tinjauan Pustaka
1. PERDOSSI. Konsensus nasional penangan trauma kapitis dan trauma spinal. Jakarta:
PERDOSSI;2006
2. Ramli, Y, Zairinal, R A. Buku Ajar Neurologi. Jakarta : Departemen Neurologi; 2017
31