Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN KASUS

CEDERA KEPALA

Pembimbing :
dr. Elfa Alissa Ersyanti, Sp.S

Disusun Oleh :
Zaki Ahmad Hakiqi (2015730137)

KEPANITERAAN KLINIK NEUROLOGI


RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA PONDOK KOPI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2019
KATA PENGANTAR

Dengan mengucap syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan
hidayah-Nya Laporan Kasus ini dapat terselesaikan dengan baik. Laporan Kasus ini disusun
sebagai salah satu tugas kepanitraan klinik stase neurologi Fakultas Kedokteran dan
Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta di RS. Islam Jakarta Pondok Kopi.

Dalam penulisan laporan referat ini, tidak lepas dari bantuan dan kemudahan yang diberikan
secara tulus dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada dr. Elfa Alissa Ersyanti, Sp.S sebagai dokter pembimbing.

Dalam penulisan laporan kasus ini tentu saja masih banyak kekurangan dan jauh dari
sempurna, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, kritik dan saran yang bersifat
membangun akan sangat penulis harapkan demi kesempurnaan laporan kasus ini.

Akhirnya, dengan mengucapkan Alhamdulillahirobbil ‘alamin laporan referat ini telah selesai
dan semoga bermanfaat bagi semua pihak serta semoga Allah SWT membalas semua
kebaikan dengan balasan yang terbaik, Aamiin Ya Robbal Alamin.

Jakarta, 13 Agustus 2019

Penulis

2
PENDAHULUAN

Cedera (injury) merupakan suatu keadaan yang ditandai adanya stimulus patologis yang
melampaui kemampuan pemulihan (recovery) suatu sel atau jaringan. Bentuk dari stimulus
patologis ini bersifat umum, bisa berupa trauma, infeksi, iskemia, atau neoplasma. Dengan
demikian, trauma merupakan salah satu penyebab cedera pada suatu sel atau jaringan di
tubuh manusia.

Cedera kepala adalah perubahan fungsi otak atau terdapat bukti patologi pada otak yang
disebabkan oleh kekuatan mekanik eksternal. Cedera kepala dapat diakibatkan oleh trauma
mekanik pada kepala baik secara langsung atau tidak langsung yang menyebabkan gangguan
fungsi neurologis berupa gangguan fisik, kognitif, dan fungsi psikososial secara sementara
maupun permanen. Dalam buku ini, istilah cedera kepala sama pengertiannya dengan trauma
kepala.

Konsekuensi akibat cedera kepala dipengaruhi beberapa faktor; seperti usia, faktor komorbid,
sepsis, dan tata laksana yang didapatkan. Selain itu, faktor genetik kini diketahui turut
mempengaruhi konsekuensi patologis yang mungkin didapatkan pasien. Komplikasi tersering
pascacedera meliputi aspek neurologis dan non-neurologis. Adanya komplikasi neurologis
berupa gangguan kognitif dan cedera saraf kranial sering terabaikan dalam perawatan,
sehingga menurunkan kualitas hidup pasien. Oleh karena itu, dibutuhkan peran neurolog
dalam diagnosis dan penanganan tepat sedini mungkin untuk merestorasi otak dan
mengurangi kecacatan hidup semaksimal mungkin.

3
BAB II

STATUS PASIEN

2.1 Identitas

Nama : M. Diva Dhamara

Umur : 21 tahun, 11 bulan

Jenis Kelamin : Pria

Tempat tinggal : Jalan Lebak Pala RT 08 RW 02 Cijantung

Tanggal masuk : 12 Agustus 2019

2.2 Anamnesis

Keluhan Utama

Pasien datang dengan luka robek pada dahi sebelah kanan

Keluhan Tambahan

Nyeri pada regio yang terluka (dahi kanan, pinggang kanan, tungkai bawah, dan kaki kanan)

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dibawa oleh AGD dinas dengan luka robek pada daerah dahi kanan setelah
kecelakaan lalu lintas 30 menit sebelum masuk rumah sakit. Pasien naik motor menggunakan
helm, dari arah berlawanan ada motor yang berhenti mendadak setelah menerobos lampu lalu
lintas. Pasien kemudian menabrak orang tersebut dari arah samping, sehingga motor pasien
terjatuh dan pasien terseret hingga 2 meter. Dahi membentur aspal sehingga timbul luka
robek pada dahi kanan. Terdapat juga luka-luka pada tungkai bawah dan kaki kanan pasien.
Setelah terjatuh pasien masih sadar kemudian dibawa oleh ambulans. Mual disangkal,
muntah disangkal, pingsan disangkal, sakit kepala pada bagian dahi yang luka dan daerah
kaki yang luka-luka.

4
Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat hipertensi (-), Riwayat diabetes mellitus (-), Riwayat stroke (-), Riwayat trauma (-)

Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat hipertensi (-), Riwayat diabetes mellitus (-), Riwayat stroke (-), Riwayat trauma (-)

Riwayat Pengobatan

Tidak mengkonsumsi obat jangka panjang

Riwayat Alergi

Disangkal

Riwayat Psikososial

Merokok (+)

Alkohol (-)

Penggunaan narkoba (-)

5
PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang

Kesadaran : Compos mentis

Tanda vital

Tekanan darah : 120/80

Nadi : 80x/menit

Pernapasan : 18x/menit

Suhu : 36,8

Status Generalis

a. Trauma stigmata : Vulnus laceratum regio frontalis dextra sudah terjahit


b. Kepala : Normosefali, rambut hitam, distribusi merata, tidak mudah
dicabut, tidak ada alopesia, Vulnus laceratum post hecting diperban pada regio
frontalis dextra, nyeri tekan (+).
c. Mata : Anemis (-/-), ikterik (-/-), edema palpebra (-/-)
d. Hidung : Normonasi, deviasi septum (-), sekret (-)
e. Mulut : Mukosa bibir kering (+), sianosis (-)
f. Telinga : Normotia, sekret (-)
g. Leher : KGB tidak membesar, JVP tidak meningkat
h. Thorax:
a. Jantung :
 Inspeksi : Tidak ada kelainan
 Palpasi : Tidak ada kelainan
 Perkusi :
Batas jantung atas : ICS III garis sternalis kiri
Batas jantung kanan : ICS IV, linea parasternalis dextra
Batas jantung kiri : ICS V, linea midclavikularis sinistra
 Auskultasi : BJ I BJ II reguler, murmur (-), gallop (-)

6
b. Paru-paru:
 Inspeksi : Gerakan nafas simetris
 Palpasi : Vocal fremitus simetris, krepitasi (-)
 Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
 Auskultasi : Vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
i. Abdomen
a. Insepski : bentuk datar
b. Perkusi : timpani
c. Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepatomegali (-), splenomegali (-),
nyeri epigastrium (-)
d. Auskultasi : BU (+) normal
j. Ekstremitas
a. Atas : akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-/-)
b. Bawah : akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-/-), sianosis (-/-)

Status Neurologis

Kesadaran : Composmentis

GCS : E4 V5 M6

a. Rangsangan Meningeal
 Kaku kuduk : Negatif
 Brudzinski I : Negatif
 Brudzinski II : Negatif
 Kernig : Negatif
 Lasegue : Negatif

b.Nervus Kranialis

1. Nervus I (Olfaktorius) : Tidak dilakukan pemeriksaan

2. Nervus II (Optikus) : Tidak dilakukan pemeriksaan

7
a. visus

b. warna

c. funduskopi

d. lapang pandang

3. Nervus III, IV, VI (Okulomotorius, Trchlearis, Abducens) :

a. Gerakan bola mata : kanan dan kiri sama

b. Medial : normal

c. Atas : normal

d. Bawah : normal

e. Ukuran pupil : 3 mm / 2 mm

f. Bentuk : bulat/bulat

g. Reflek cahaya langsung : +/+

h. Reflek cahaya tidak langsung : +/+

i. Strabismus : -/-

j. Diplopia : -/-

k. Eksoftalmus : -/-

l. Nistagmus : -/-

m. Ptosis : -/-

4. Nervus V (Trigeminus) :

a. Sensorik

 Nervus V1 (optalmicus) : baik/baik


 Nervus V2 (maksilaris) : baik/baik
 Nervus V3 (mandibularis) : baik/baik

8
b. Motorik
 Membuka mulut : baik
 Menggerakkan rahang : baik
 Jaw refleks : baik

5. Nervus VII (Fasialis)

 Motorik orbitofrontal : Kesan parase (-)


 Motorik orbikularis okuli : Kesan parase (-)
 Motorik orbikularis oris : Kesan parase (-)
 Chovstek : negatif
 Pengecapan lidah

Manis : baik

Asin : baik

Asam : baik

Pahit : baik

6. Nervus VIII (Vestibulocochlearis)

a. Keseimbangan

 Nistagmus : -/-
 Tes romberg : Negatif

b. Pendengaran
 Tes rinne : tidak dilakukan pemeriksaan
 Tes schwabach : tidak dilakukan pemeriksaan
 Tes weber : tidak dilakukan pemeriksaan

7. Nervus IX, X (Glosofaringeus, Vagus)

a. Refleks menelan : tidak dilakukan pemeriksaan

b. Refleks batuk : tidak dilakukan pemeriksaan

9
c. Perasat lidah (1/3 anterior) :

d. Refleks muntah : Tidak dilakukan

e. Posisi uvula : berada di tengah, deviasi uvula (-/-)

f. Posisi arkus faring :

8. Nervus XI (Aksesorius)

a. Kekuatan M.sternokleidomastoideus (menoleh : baik/baik

b. Kekuataan M.Trapezius (mengangkat bahu) : baik/baik

9. Nervus XII (Hipoglosus)

a. Pergerakan lidah : lidah ditengah

b. Tremor lidah :-

c. Atrofi lidah :-

d. Fasikulasi :-

c. Pemeriksaan Motorik

1. Kekuatan otot

5555 5555

5555 5555

2. Tonus Otot

a. Hipotoni : -/-
b. Hipertoni : -/-

10
3. Refleks
a. Refleks Fisiologis

Biceps : +/+

Triceps : +/+

Achiles : +/+

Patella : +/+

b. Refleks Patologis

Babinski : -/-

Oppenheim : -/-

Chaddock : -/-

Gordon : -/-

Scaeffer : -/-

Hoffman-Trommer : -/-

d. Sistem Ekstrapiramidal

1. Tremor :-
2. Chorea :-
3. Balismus :-

Tidak ditemukan saat dilakukan pemeriksaan

e. Sistem koordinasi
1. Romberg Test : baik
2. Tandem Walking : baik
3. Finger to Finger Test : baik

11
4. Finger to Nose Test : baik

k. Fungsi kortikal
1. Atensi : baik
2. Konsentrasi : baik
3. Kecerdasan : baik
4. Bahasa : baik
5. Memori :baik

l. Susunan saraf otonom


Inkontinensia uri :-
Inkontinensia alvi :-
Hipersekresi keringet : -

12
B. PEMERIKSAAN PENUNJANG

A. Pemeriksaan CT-Scan kepala

Kesan :

Tidak tampak perdarahan/infark/SOL intracerebri

Tidak tampak fraktur tulang-tulang wajah dan kepala

Sinusitis maksilaris kanan

B. Laboratorium

Hematology Result Ref.Range


Hb 13,6 mg/dL 13,5 - 17,5
Leukosit 10,3 x 103 /uL 5,0 – 10,0
Hematokrit 41 % 40 – 50
Trombosit 208 x 103 /uL 150 – 400
Elektrolit
Natrium 139 mmol/L 132 – 145
Kalium 4,60 mmol/L 3,50 – 5,50
Chloride 102 mmol/L 98 – 110
Chemistry
Glucose random 86 mg/dL 70 - 200

Assestment

• Vulnus laseratum regio frontalis dextra

• Multiple VE at regio manus dan pedis dextra et sinistra

• Observasi neurologi

Diagnosis

Diagnosis Klinis

Diagnosis Topis

13
Diagnosis Etiologi

Tatalaksana

1. Oksigen = O2 = 3 Lpm

2. Oral = Cefixime 2 x 100 mg

3. Injeksi = Citicoline 500 mg 2x1

Ranitide 2x1

PCT k/p

Manitol awal P1 250 cc


6 jam P2 125 cc
12 jam P3 62,5 cc
24 jam P4 62,5 cc
4. Rumatan = RL + Ketorolac

14
Tinjauan Pustaka

3.1 Epidemiologi

Cedera kepala menyebabkan kematian dan disabilitas di banyak negara di dunia. Berdasarkan
data yang didapatkan dari CDC, sebanyak 1,7 juta orang mengalami cedera kepala setiap
tahun di Amerika Serikat. Prevalensi nasional cedera kepala menurut Riskesdas 2013 adalah
8,2%, meningkat 0,7% dibandingkan tahun 2007. Sebanyak 40,6% cedera kepala diakibatkan
oleh kecelakaan motor. Menurut sebaran kelompok usia, cedera kepala lebih banyak terjadi
pada pasien dengan usia produktif. Hal ini tentunya berdampak besar pada aspek sosial
ekonomi.

3.2 Patofisiologi

Patofisiologi cedera kepala diawali dengan pemahaman mengenai biomekanika trauma.


Benturan kepala akan menimbulkan respons pada tengkorak dan otak, misalnya pergerakan.
Secara klinis respons ini dapat berupa fraktur dan cedera otak. Risiko pasien mengalami
fraktur dan cedera otak ini bergantung kepada faktor akselerasi kepala dan durasi gaya
mekanik pada kepala. Benturan pada permukaan yang keras memiliki durasi singkat dengan
akselerasi tinggi. Sementara itu, durasi yang lebih lama pada permukaan yang kurang keras
menurunkan risiko fraktur, tetapi tidak untuk cedera otak, asalkan akselerasinya tetap tinggi.
Pemahaman inilah yang menyebabkan ada kasus dengan fraktur tengkorak tanpa perdarahan
otak, atau cedera aksonal difus tanpa fraktur tengkorak.

Akselerasi kepala memiliki dua komponen sesuai arah vektornya, yaitu translasi (sumbu
sagital, koronal, dan aksial) dan rotasi. Akselerasi translasi membuat kepala bergerak secara
sirkular. Sementara itu, akselerasi rotasi membuat kepala berubah sudutnya terhadap sumbu
sentral. Selain akselerasi, kepala juga dapat mengalami deselrasi/perlambatan yang
merupakan bentuk negatif dari akselerasi. Akselerasi timbul karena kepala yang bergerak,
sedangkan deselerasi muncul sebagai akibat dari kepala yang terbentur. Saat kepala yang
sedang bergerak lalu terbentur, terjadi kombinasi akselerasi translasi dan rotasi serta
deselerasi. Pergerakan akibat proses akselerasi dan dselerasi ini yang menimbulkan tarikan
dan regangan pada otak dan gesekan antara otak dengan tengkorak, sehingga bermanifestasi
klinis dan terlihat kelainan pada pencitraan.

15
Terdapat dua tipe cedera kepala yang terbentuk, yaitu cedera tumpul dan cedera tembus.
Adanya penetrasi dura mater merupakan tolak ukur untuk menentukan cedera kepala disebut
tumpul atau tembus.

Cedera tumpul umumnya disebabkan oleh mekanisme akselerasi atau deselerasi cepat pada
kepala dengan atau tanpa benturan. Tipe cedera ini umumnya terjadi pada kasus kecelakaan
lalu lintas atau jatuh dari ketinggian. Di lain pihak, cedera tembus merupakan cedera akibat
penetrasi tulang tengkorak oleh objek eksternal, misalnya tembakan peluru atau tusukan
benda tajam. Cedera tembus juga dapat merupakan cedera kolateral akibat adanya objek
eksternal yang mengenai kepala dan mengakibatkan fraktur impresi hingga terjadi penetrasi
ke dalam rongga kranial.

Cedera tembus kecepatan rendah menyebabkan cedera langsung pada pembuluh darah, saraf,
dan jaringan otak, dengan komplikasi perdarahan dan infeksi. Cedera tembus kecepatan
tinggi, misalnya tembakan peluru, seringkali mengakibatkan terbentuknya luka tembus
masuk dan keluar pada tengkorak dan menyebabkan kerusakan otak ekstensif.

Gaya mekanik eksternal yang mengenai kepala menimbulkan cedera otak primer dan
sekunder. Cedera otak primer terjadi karena efek sangat segera (immediate effect) pada otak
akibat gaya mekanik eksternal saat trauma terjadi. Di lain pihak, cedera otak sekunder terjadi
beberapa saat setelah kejadian trauma akibat jalur kompleks, yang berkembang dan
mengakibatkan kerusakan otak lebih luas. Baik cedera otak primer maupun sekunder dapat
mengakibatkan lesi patologis fokal atau difus.

Pada cedera otak primer, lesi difus dapat berupa cedera aksonal difus dan cedera vaskular
difus, sedangkan lesi fokal berupa kontusio fokal, perdarahan intraserebral, perdarahan
subdural, dan perdarahan epidural. Sementara itu, bentuk cedera otak sekunder dapat berupa
edema otak, cedera iskemik, cedera hipoksik, dufs dan disfungsi metabolik. Semua bentuk
cedera otak sekunder dapat terjadi secara difus atau fokal. Pada kenyataannya, beberapa lesi
dapat terjadi pada setiap kasus cedera kepala, misalnya perdarahan epidural dan kontusio
fokal, atau cedera aksonal difus dan perdarahan subaraknoid.

Di samping cedera otak sekunder tersebut, konsekuensi lanjutan dari cedera otak primer
dapat berupa kerusakan sekunder (secondary insult), seperti hipotensi, hipoksia, demam,
hipo/hiperglikemia, gangguan elektrolit, anemia, kejang, dan vasospasme. Di antara semua

16
itu, faktor yang paling berpengaruh terhadap prognosis buruk adalah hipotensi dan hipoksia
yang akan memperberat cedera otak.

Cedera otak primer akibat benturan pada kepala menimbulkan serangkaian proses yang pada
akhirnya menjadi cedera otak sekunder (gambar 2). Saat benturan terjadi, neuron mengalami
regangan dan tarikan yang termasuk dalam cedera otak primer. Peristiwa ini mengganggu
integritas dan kerja pompa ion membran sel, terjadi perpindahan ion natrium dan kalsium ke
intrasel dan ion kalium ke ekstrasel. Hal ini akan meningkatkan konsentrasi ion kalsium
intrasel yang kemudian memiliki konsekuensi, yaitu aktivasi calpasin yang bisa
mendegradasi protein sitoskeletal dan induksi pengelpasan glutamat yang akhirnya
mengaktivasi reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA).

Selanjutnya terjadi konsentrasi ion kalsium di mitokondria, sehingga terbentuk banyak


radikal bebas (reactive oxygen species/ROS), aktivasi kaspase, apoptosis neuron dan
fosforilasi oksidatif inefisien. Konsekuensi terakhir ini selanjutnya akan menyebabkan
metabolisme anaerob dan pada akhirnya kegagalan energi. Inilah yang menjadi inti
permalasahan karena neuron membutuhkan energi yang cukup pada kondisi cedera. Neuron
dengan kegagalan energi tidak dapat berfungsi normal dan selanjutnya terjadi asidosis,
edema, dan iskemia yang menambah berat kerusakan otak.

Berikut adalah beberapa contoh lesi fokal dan difus akibat cedera kepala:

Lesi Fokal

1. Cedera scalp
Cedera fokal pada scalp dalam bentuk laserasi dan abrasi dapat menjadi penanda penting
untuk menentukan tempat terjadinya benturan dan dapat memberikan gambaran objek
yang mengenainya. Laserasi scalp merupakan hal penting yang harus diperhatikan karena
dapat menjadi jalur masuk infeksi dan sumber perdarahan. Sementara, adanya memar
tidak selalu menjadi penanda yang berhubungan dengan lokasi benturan sebagai contoh:
(1) memar periorbital seringkali berkaitan dengan patah tulang orbita akbiat cedera
contra-coup pada oksiput, (2) memar pada mastoid (tanda Battle) dapat disebabkan oleh
aliran darah dari fraktur yang terjadi pada tulang temporal pars petrosus.

2. Fraktur basis kranii


Fraktur basis kranii dapat menjadi indikasi besarnya energi mekanik yang mengenai
kepala. Energi mekanik yang mengenai daerah yang luas pada tengkorak mengakibatkan

17
fraktur kominutif, sedangkan pada daerah yang sempit mengakibatkan fraktur impresi.
Fraktur basis kranii dapat mengakibatkan bo cornya cairan serebrospinal dan mengisi
sinus-sinus, sehingga dapat menjadi sumber infeksi intrakranial (Gambar 3).

3. Kontusio dan laserasi serebri

Robekan (laserasi) pada pia mater seringkali berhubungan dengan jejas pada otak
(kontusio). Pada kontusio serebri, parenkim otak mengalami edema dan perdarahan.

Jejas yang terdapat tepat di tåk trauma disebut jejas coup, sedangkan yang terdapat di Sisi
kontralatenl titik trauma disebut jejas countercoup (Gambar 4). Sebagai contoh, benturan
di kepala bagian depan a}an menghasilkan jejas coup di lobus frontal dan jejas
countercoup di lobus oksipital.

Jejas coup umumnya terjadi pada kasus akselerasi cepat, misalnya saat kepala dipukul
dengan benda keras. Sementara itu, jejas countercoup umumnya terjadi pada kasus
deselrasi cepat, misalnya jatuh dari atas gedung. Saat seseorang jatuh dari suatu
ketinggian, kepala mengalami akselerasi akibat gravitasi bumi dan diikuti deselerasi cepat
akibat menghantam tanah.

Peradarahan pada kontusio serebri dapat meningkatkan tekanan intrakranial (TIK).


Perdarahan dapat meluas hingga ke substansia alba dan rongga subdural, yang umumnya
terjadi pada lobus frontal dan temporal. Dalam beberapa hari, perdarahan ini akan
diabsorbsi oleh otak, sehingga menghasilkan kavitas pada girus otak. Perdarahan dapat
bersifat asimtomastik, tetapi memiliki risiko mengakibatkan epilepsi di kemudian hari.
Diskontinuitas jaringan otak akibat kontusio disebut sebagai laserasi otak.

4. Perdarahan intrakranial
a. Perdarahan epidural
Perdarahan ini lebih sering terjadi pada pasien usia muda (10-30 tahun). Hal ini
diakibatkan adanya fraktur linear tengkorak, terutama di tulang temporal pars
skuamosa yang menyebabkan robeknya arteri meningea media. Oleh karena itu
predileksi perdarahan epidural di area temporal atau temporo0parietal (70-80%).
Perdarahn ini ditandai dengan akumulasi darah di antara dura mater dan tulang

18
tengkorak, sehingga gambaran hematomanya khas berbentuk cembung atau
bikonveks.
Volume perdarahan merupakan penanda luaran pasien dengan perdarahan epidural.
Pasien dengan volume darah lebih dari 150 ml, memiliki prognosis yang lebih buruk.

b. Perdarahan subdural

Perdarahan subdural merupakan perdarahan akibat robeknya vena jembatan (bridging


vein) terutama yang berdekatan dengan sinus sagital superior. Perdarahan subdural
umumnya disebabkan oleh akselerasi atau deselerasi kepala dengan atau tanpa
benturan langsung. Perdarahan subdural seringkali dialami oleh pasien lanjut usia
karena umumnya telah terjadi atrofi otak yang menyebabkan meningkatnya kapasitas
otak untuk bergerak di dalam rongga otak.

Perdarahan subdural dapat jeradi akut (<3 hari), subakut (3 hari-3 minggu awitan),
atau kronik (lebih dari 3 minggu awitan). Perdarahan subdural akut terdiri atas bekuan
darah yang lembut (seperti gel). Setelah beberapa hari, bekuan tersebut akan dipecah
menjadi cairan serosa dan setelah 1-2 minggu akan terbentuk jaringan granulasi
dengan fibroblas dan pembuluh darah baru.

Walaupun perdarahan biasanya akan direabsorbsi, seringkali terjadi perdarahan ulang


akibat pembuluh darah baru yang imatur. Di samping itu, perdarahan subdural kronik
seringkali terjadi pada pasien lanjut usia, orang yang rutin mengonsumsi alkohol dan
pasien dengan tekanan intrakranial rendah, seperti pasien hidrosefalus dengan pirau
ventrikuloperitoneal. (ventriuloperitoneal shunt).

c. Perdarahan subaraknoid

Akumulasi darah di subaraknoid dapat terjadi setelah cedera kepala, terutama yang
berhubungan dengan kontusio dan laserasi. Perdarahan subaraknoid seringkali
menjadi penyulit pada kasus perdarahan intraventrikular karena kebocoran (leakage)
darah ke ruang subaraknoid melalui foramen Luschka dan Magendie. Perdarahan
subaraknoid karena cedera kepala biasanya terdistribusi di sulkus-sulkus serebri di
sekitar verteks dan tidak mengenai sisterna basalis. Perdarahan subaraknoid seringkali
terjadi akibat benturan pada otak atau leher dan menyebabkan hilangnya kesadaran

19
secara langsung. Komplikasi kronik perdarahan subaraknoid adalah terbentuknya
hidrosefalus.

d. Perdarahan intraventrikular

Perdarahan intraventrikular pada cedera kepala biasanya akibat sekunder dari


perdarahan intraserebral pada daerah ganglia basal atau kontusio serebri.

e. Perdarahan intraserebral

Perdarahan intraserebral dapat muncul secara sekunder dengan kontusio atau


berhubungan dengan cedera akson difus. Perdarahn ini umumnya terbentuk di daerah
ganglia basal, talamus dan substansia alba bagian parasagital.

Lesi Difus

1. Cedera aksonal difus


Cedera aksonal difus memiliki beberapa penyebab. Selain cedera kepala, hal ini juga
dapat disebabkan oleh hipoksia, iskemia, dan hipoglikemia. Karakteristik cedera
akson yang diakibatkan oelh cedera kepala berbeda dengan keadaan hipoksik iskemik.

Cedera aksonal difus disebabkan oleh akselerasi atau deselerasi cepat kepala, terutama
jika terdapat gerakan rotasional atau koronal. Umumnya terjadi pada kasus kecelakaan
lalu lintas dan jatuh dari ketinggian. Selain patologi, cedera aksonal difus dicirikan
dengan kerusakan akson dan perdarahan petekie. Petekie ini muncul secara instan dan
menentukan derajat cedera aksonal aksonal difus.
Secara klinis, pasien akan kehilangan kesadaran sejak terjadinya cedera, disabilitas
berat, dan status vegetatif yang persisten. Oleh karena kerusakan yang terjadi di
tingkat akson, maka gambaran CT scan sering tidak menunjukkan kelainan. Pada
kondisi ini, pemeriksaan MRI dapat dikerjakan untuk melihat lesi patologis di
parenakim.

2. Cedera vaskular difus

20
Berbeda dengan cedera aksonal difus yang melibatkan akson, cedera vaskular difus
didominasi oleh keterlibatan pembuluh darah. Beberapa pasien cedera kepala yang
mengalami akselerasi atau deselerasi cepat dan parah dapat mengalami perdarahan
petekie pada otak tanpa sempat mengalami cedera aksonal, akibat besarnya energi
mekanik yang menyebabkan pecahnya pembuluh darah. Hal inilah yang dijumpai
pada cedera vaskular difus.

3. Edema otak dan iskemai cerebral


Edema otak adalah gambaran umum yang ditemukan pada cedera kepala, terutama
pasien anak-anak dan dewasa muda. Edema otak pada cedera kepala terjadi melalui
beberapa mekanisme, yaitu : vasodilatasi pembuluh darah otak yang mengakibatkan
meningkatnya volume darah ke otak, rusaknya sawar darah otak yang menyebabkan
bocornya cairan 9edema vasogenik), dan meningkatnya kandungan air di dalam sel
neuron pada sistem saraf pusat (edema sitotoksik).

Edema otak akan meningkatkan TIK dan menurunkan tekanan perfusi otak sehingga
menyebabkan kerusakan otak akibat iskemia. Perdarahan tekanan di antara
kompartemen otak dapat mengakibatkan herniasi otak. Herniasi subfalsin girus
singulatum akan menyebabkan kompresi pada arteri serebral anterior. Sementara
herniasi transtentorial dapat menyebabkan kompresi pada arteri serebral posterior,
girus parahipokampus, dan otak tengah. Herniasi transforamen batang otak
menyebabkan iskemia yang berujung pada menurunnya fungsi batang dan otak atau
kematian.

GEJALA DAN TANDA KLINIS

Cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan: (1) tingkat kesadaran pasien menurut
Skala Koma Glasgow (SKG), (2) lokasi lesi, dan (3) patologi.

Berdasarkan tingkat kesadaran, cedera kpela dapat dibagi menjadi:

a. Cedera kepala minimal : SKG 15: tidak ada pingsan, tidak ada defisit neurologis, CT
scan otak normal.

21
b. Cedera kepala ringan: SKG 13-15, terdapat pingsan kurang dari 10 menit, tidak
terdapat defisit neurologis, CT scan otak normal.
c. Cedera kepala sedang : SKG 9-12, terdapat pingsan 10 menit-6 jam, terdapat defisit
neurologis, CT scan otak abnormal.
d. Cedera kepala berat: SKG 3-8, terdapat pingsan lebih dari 6 jam, terdapat defisit
neurologis, CT scan otak abnormal.

Berdasarkan lokali lesi, cedera kepala dapat dibagi menjadi:

a. Cedera kepala lesi difus: aksonal dan vaskular


b. Cedera kepala lesi fokal, yang terbagi menjadi:
- Kontusio dan laserasi serebri
- Perdarahan (hematom) intrakranial: hematom epidural, hematom subdural,
hematom intraprenkim *hematom subaraknoid, hematom intraserebral, hematom
intraserebelar).

Berdasarkan patologi, cedera, kepala diklasifikasikan menjadi komosio, kontusio, dan


laserasi serebri. Pembagian lain dapat berupa komosio serebri serta perdarahan
epidural, subdural, subaraknoid, dan intraserebral, dengan penjelasan sebagai beriut:

1. Komosio serebri

Secara klinis, komosio serebri memiliki manifestasi klinis yang tidak berat. Pasien
dengan komosio serebri umumnya mengalami penurunan kesadaran kurang lebih 30
menit. Setelah itu, terjadi pemulihan hingga seperti sebelum terjadinya cedera kepala.
Namun, umumnya pasien akan mengalami amnesia pascatrauma.

Pemeriksaan CT scan atau MRI pada komosio serebri seringkali menjukkan hasil
normal, padahal sebenarnya sudah terjadi kerusakan secara mikroskopik pada akson,
jika didapat kelainan pada pemeriksaan tersebut, maka ini membuktikan pasien tidak
hanya mengalami komosio serebri.

2. Perdarahan epidural

Perdarahan epidural secara klinis ditandai dengan adanya interval lusid, yaitu periode
kesadaran pulih diantara dua penurunan kesadaran. Pada awal terjadi cedera kepala,
kesadaran pasien akan menurun. Selanjutnya pasien akan sadar penuh, tetapi kembali
kehilangan kesadaran beberapa saat kemudian karena adanya akumulasi darah.

22
Sementara itu, 15% pasien diketahui tidak mengalami penurunan kesadaran sesaat
setelah cedera kepala terjadi. Dengan demikian, pasien dengan perdarahan epidural
membutuhkan pemantauan ketat untuk mencegah pasien jatuh perburukan.

Selain interval lusid, juga dapat ditemukan tanda dan gejala peningkatan TIK
diantaranya nyeri kepala dan muntah karena akumulasi darah akan meningkatkan
volume di dalam tengkora, sementara tengkorak memiliki daya akomodasi yang
terbatas.

Seiring progresifitas penyakit, beberapa pasien dapat ditemukan penurunan frekuensi


nadi, menurunnya frekuensi pernapasan, dan meningkatnya tekanan darah (refleks
Cushing). Gejala lain yang juga dapat menandakan perdarahan epidural sudah berada
dalam tahap lanjut adalah ditemukannya hemiparesis, refleks patologis Babinski
positif, dilatasi pupil yang menetap pada satu atau ke dua mata, serta deserbrasi.
Tanda-tanda tersebut mengindikasikan terjadinya herniasi otak.

3. Perdarahan subdural

Gejala klinis perdarahan subdural mirip dengan perdarahan epidural. Namun,


perdarahan subdural memiliki gejala klinis yang sering ditemui berapa kejang.
Sementara itu, tanda klinis herniasi lebih jarang ditemukan dari pada perdarahan
epidural. Pada perdarahan subdural, hematom umumnya berada di sisi kontra lateral
fraktur tengkorak, berbeda dengan hamatom pada perdarahan epidural yang berada
disisi ipsilateral.

Perdarahan subdural dapat bersifat akut, subakut, dan kronik. Pada kasus akut,
hematom terbentuk kurang dari 3 hari dan umumnya berhubungan dengan cedera
kepala yang lebih hebat. Adanya koinsidensi perdarahan intraserebral dan epidural
menjadi penyulit perdarahan subdural akut. Kasus perdarahan subdural akut sering
terjadi pada pasien usia muda yang tidak mengalami perbaikan kesadaran sejak
cedera. Interval lusid hanya ada pada kurang dari 30% kasus dan seringkali berkaitan
dengan kasus kontusio dan laserasi otak.

Pada perdarahan subdural subakut, hematom terbentuk dalam waktu 3 hari hingga 3
minggu pascacedera disertai penurunan fungsi neurologis sejalan dengan besarnya
hematom yang terbentuk. Ditemukan hemiparesis kontralateral pada 50% kasus dan
ipsilateral (25% kasus) dengan angka kematian sebesar 25%.

23
Pada perdarahan subdural kronik, hematom terbentuk 3 minggu bahkan lebih
pascacedera yang diagnosisnya terlihat dari gambaran CT scan atau MRI. Secara
klinis, gejala perdarahan subdural kronik dapat berupa perubahan status mental,
disfungsi neurologis fokal, peningkatan tekanan intrakranial, dan kejang fokal. Pasien
dapat mengalami perubahan tingkat kesadaran yang fluktuatif, tetapi bukan
merupakan gejala utama.

4. Perdarahan intraserebral
Perdarahan ini umumnya disebabkan oleh disrupsi parenkim otak akibat penonkolan
dari patahan tulang tengkorak dan menyebabkan pembuluh darah terkait sehingga
terbentuk hematom yang terletak intraparenkim. Klinis yang tampak serupa dengan
perdarahan intraparenkim yang sama dengan mekanisme perdarahan otak lainnya,
seperti pada ruptur aneurisma.

DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis cedera kepala harus dilakukan secara cepat dan akurat, mengingat kondisi
emergensi. Proses anamnesis dan pemeriksaan fisik generalis dan neurologis harus
efektif dan efisien, disesuaikan dengan kondisi lapangan yang membutuhkan tindakan
segera.

Berikut ini adalah hal-hal yang perlu di gali dalam anamnesis:

1. Mekanisme cedera kepala secara detail, meliputi proses terjadinya posisi pasien saat
kejadian, bagian tubuh yang pertama kali terkena, kecepatan (jika kecelakaan lalu
lintas0 atau besarnya kekutan (jika pukulan atau barang) objek yang menyebabkan
cedera kepala.
2. Tingkat kesadaran, perlu ditanyakan kesadaran memang sudah hilang sejak setelah
trauma atau hilang setelah pasien sempat sadar.
3. Durasi hilangnya kesadaran.
4. Amnesia pascatrauma, tanyakan kondisi pasien sebelum, saat, dan setelah trauma.
5. Nyeri kepala, perlu dibedakan nyeri akibat peningkatan tekanan intrakranial atau
disebabkan oleh nyeri somatik akibat cedera scalp.
6. Gejala neurologis lain, seperti anosmia, kejang, kelemahan tubuh sesisi atau dua sisi,
bingung, diplopia, dan orientasi pasien terhadap waktu, tempat, serta orang perlu

24
ditanyakan saat anamnesis. Gejala beruapa bocornya cairan serebrospinal melalui
hidung (rinorea) atau telinga (otorea) juga perlu ditanyakan.
7. Hal lain yang juga perlu ditanyakan adalah obat rutin yang sering dikonsumsi pasien,
riwayat penyakit dahulu, gaya hidup (alkohol, rokok, dan narkoba), serta riwayat
penyakit keluarga.

Pada pemeriksaan status generalis, pemeriksaan kepala harus dilakukan dengan detail,
serta bagian tubuh lain yang dapat menunjukkan beratnya trauma. Berikut ini
merupakan tanda diagnostik yang dapat dijadikan tanda awal untuk mendiagnosis.

 Tanda diagnostik klinik perdarahan epidural:


 Terdapat interval lusid
 Kesadaran semakin lama semakin menurun
 Hemiparesis kontralateral lesi yang terjadi belakangan
 Pupil anisokor
 Adanya refleks Babinski di kontralateral lesi
 Fraktur di daerah temporal

Tanda diagnostik perdarahan epidural di fossa posterior:

 Interval lusid tidak jelas


 Fraktur kranii oksipital
 Hilang kesadaran dengan cepat
 Gangguan serebelum, batang otak, dan pernapasan
 Pupil isokor
 Pada CT scan otak didapatkan gambaran hiperdens (perdarahan_ di tulang
tengkroak dan dura, umumnya di daerah temporal, dan tampak bikonveks.

Tanda diagnostik perdarahan subdural:

 Nyeri kepala
 Kesadaran bisa menurun atau normal
 Pada CT scan otak didapatkan gambaran hiperdens (perdarahan) di antara dura
mater dan araknoid yang tampak seperti bulan sabit.
 Tanda diagnostik fraktur basis kranii:
 Anterior

25
 Keluarnya cairan likuor melalui hidung/rinorea
 Perdarahan bilateral periorbital ekomosis/raccoon eye
 Anosmia
 Media
 Keluarnya cairan likuor melalui telinga/otorea
 Gangguan N.VII dan N.VIII
 Posterior
 Bilateral mastoid ekimosis/tanda Battle

Kebocoran cairan serebrospinal melalui telinga atau hidung pada fraktur basis kranii
dapat dideteksi dengan adanya halo/double-ring sign. Hal ini terjadi karena prinsip
kromatografi yang menunjukkan bahwa cairan serebrospinal dan darah akan terpisah
sesuai koefisien difusi saat diteteskan di kassa/kain. Terpisahnya kedua komponen
inilah yang membentuk gambaran menyerupai dua buah cincin. Tanda ini dapat
muncul bila konsentrasi cairan serebrospinal sekitar 30-90%.

Selain itu, untuk menegakkan diagnosis fraktur basis kranii perlu dilakukan
pemeriksaan dengan menggunakan CT scan.

Tanda diagnostik cedera aksonal difus:

 Pasien mengalami koma dalam waktu lama pasca cedera kepala.


 Disfungsi saraf otonom
 Gambaran CT scan otak di awal cedera menunjukkan kondisi normal, tidak
ada tanda perdarahan dan edema. Namun, setelah 24 jam hasil CT scan akan
memberikan gambaran edema otak yang luas.

Pemeriksaan Penunjang

1. Pencitraan pada fase akut


Seiring dengan perkembangan teknologi, pemeriksaan rontgen tengkorak telah
digantikan oleh adanya CT scan. CT merupakan pilihan utama dalam kasus cedera
kepala akut. CT scan nonkontras potongan aksial dapat dengan cepat mengidentifikasi
massa desak ruang dalam bentuk hematom yang membutuhkan tata laksana operatif
segera. Kemampuan CT scan untuk memindai jaringan lunak atau tulang, membuat

26
CT scan unggul dalam mengidentifikasi fraktur tengkorak jenis impresi atau linier dan
fraktur basis kranii.

Menurut National Institute for Health and Clinical Exxcellence (NICE), CT scan perlu
dilakukan jika pasien:
 Memiliki skor SKG kurang dari 13 pasca cedera
 Skor SKG 13 atau 14 dua jam pasca cedera
 Dicurigai mengalami fraktur terbuka atau impresi
 Memiliki tanda-tanda fraktur basis kranii
 Mengalami kejang pascacedera
 Mengalami defisit neurologis sentral
 Mengalami muntah yang lebih dari 1 kali
 Mengalami amnesia tentang kejadian 30 menit sebelum cedera

2. Pencitraan pada fase subakut


Pemeriksaan MRI tidak rutin dilakukan pada fase subakut. Hal ini berkaitan dengan
sulitnya mobilisasi pasien yang berada dalam kondisi kritis. Pemeriksaan dengan MRI
dilakukan setelah pasien dalam keadaan stabil. MRI dapat memberikan gambaran
yang lebih jelas dan dapat menggambarkan luasnya cedera serta mampu memberikan
informasi tentang prognosis pasien ketika berada di ruang rawat intensif. CT scan
lebih unggul dibanding MRI untuk mendeteksi perdarahan. Namun, MRI lebih unggul
dibanding CT scan untuk mendeteksi cedera aksonal difus.

Diagnosis Banding
Apabila klinisi telah melakukan prosedur anamnesis dan pemeriksaan dengan cermat,
penegakan diagnosis cedera kepala tidak memerlukan diagnosis banding. Hanya pada
kasus-kasus tertentu saja perlu dicurigai adanya kemungkinan diagnosis lain. Hampir
semua kelainan intrakranial dapat dijadikan diagnosis banding untuk cedera kepala,
yaitu keganasan otak, stroke, dan aneurisma.
Selain pencitraan, pemeriksaan penan biokimia, seperti creatine kinase brain type
(CK-BB), neuron-specifis enolase (NSE), protein S1000, dapat dilaukukan pada
pasien cedera kepala. Penelitian di RSUPN Cipto Mangunkusumo menunjukkan
bahwa kadar protein S100 yang tinggi cenderung memiliki luaran yang buruk.

27
Sayangnya, penanda biokimia ini tidak sensitif hanya terhadap kerusakan otak akibat
cedera kepala, melainkan juga pada kondisi stroke, ensefalopati hepatikum, dan
penyakit neruodegeneratif, seperti Alzheimer.

TATA LAKSANA
Dasar tata laksana awal untuk semua kasus cedera kepala bertujuan untuk menjaga
kestabilan hemodinamik, penanganan segera akibat cedera primer, mencegah cedera
jaringan otak sekunder dengan cara mencegah munculnya faktor-faktor komorbid
seperti hipotensi dan hipoksia, serta mendapatkan penilaian neurologis yang akurat.

Prinsip tata laksana awal pada cedera kepala secara umum sama seperti cedera di
tempat lain. Penanganan didasari pada prinsip emergensi dengan survei primer.
Adapun survei primer meliputi tindakan yang umumnya disingkat ABCD, yaitu:
1. A- Airway (jalan napas)
Prinsipnya adalah memastikan jalan napas tidak mengalami sumbatan. Apabila
diperlukan dapat digunakan alat bantu seperti oropharyngeal airway (OPA).
2. B- Breathing (pernapasan adekuat)
Prinsip pernapasan adekuat adalah dengan memperhatikan pola napas, gerak
dinding perut, dan kesetaraan pengembangan dinding dada kanan dan kiri.
Apabila alat tersedia, diharapkan saturasi oksigen di atas 92%.
3. C-Circulation (sirkulasi)
4. D-Disability (melihat adanya disabilitas)
Berdasarkan konsensus Perhimpunan Dokter Saraf Seluruh Indonesia
(PERDOSSI), disabilitas mengacu pada ada tidaknya lateralisasi dan kondisi
umum dengan memeriksa status umum dan fokal neurologis.
Sebagai tambahan, perlu dilakukan imobilisasi tulang belakang karena cedera
kepala seringkali dibarengi dengan adanya cedera pada medula spinalis.
Imobilisasi dilakukan sampai di dapatkan bukti tidak terdapat cedera tulang
belakang.

Tata Laksana Farmakologis

Hipotensi adlaah salah satu prediktor mortalitas pada cedera kepala berat. Oleh karena
itu, perlu dilakukan resusitasi dengan cepat begitu tanda0tanda syok ditemukan.

28
Banyak pusat trauma merekomendasikan kristaloid isotonik sebagai cairan pengganti.
Cairan hipotonik harus dihidnari karena dapat mengeksaserbasi edema serebral.
Untuk mempertahankan tekanan perfusi srebral sebesar 50 mmgHg, dibutuhkan
tekanan darah arteri rerata (mean arterial rpessusre/MAP) sekitar 70 mmHg.

Dalam penanganan cedera kepala, diperhatikan adanya tanda-tanda peningkatan TIK


karena harus diturunkan segera. Berdasarkan mekanisme hipoksia yang terjadi pada
cedera, maka edema yang terjadi adalah edema sitotoksik, sehingga, digunakan
manitol 20%. Terapi ini menggunakan prinsip osmosis diuresis. Manitol memiliki
efek ekspansi plasma yang dapat menghasilkan gradien osmotik dalam waktu cepat.
Cairan ini dapat meningkatkan aliran darah serebral dan tekanan perfusi serebral yang
akan meningkatkan suplai oksigen.

Dosis pemberian manitol dimulai dari 1-2g/KgBB dalam waktu ½ - 1 jam tetes cepat.
Setelah 6 jam pemberian dosis pertama dilanjutkan dengan dosis kedua 0,5 g/KgBB
dalam waktu ½ - 1 jam tetes cepat. Selanjutnya 12 jam dan 24 jam kemudian
diberikan 0,25 g/KgBB selama ½-1 jam tetes cepat.

Tata Laksana Operatif

Tindakan operatif dilakukan sesuai indikasi. Adapun tindakan operatif dilakukan


apabila terdapat kasus seperti disebut di bawah ini:

1. Perdarahan epidural adalah:


a. Lebih dari 40cc dengan pergeseran garis tengah pada daerah
temporal/frontal/parietal dengan fungsi batang masih baik.
b. Lebih dari 30 cc pada daerah fossa posterior dengan tanda-tanda penekanan
batang otak atau hidrosefalus dengan fungsi batang otak masih baik.
c. Perdarahan epidural yang progresif.
d. Perdarahan epidural tipis dengan penurunan kesadaran.
2. Perdarahan subdural adalah:
a. SDH luas (>40 cc/>5 mm) dengan skor SKG >6, fungsi batang otak masih baik.
b. SDH tipis dengan penurunan kesadaran.
c. SDH dengan edema serebri/kontusio serebri disertai pergeseran garis tengah
(midline shift) dengan fungsi batang otak masih baik.
3. Perdarahan intraserebral adalah:

29
a. Penurunan kesadaran progresif.
b. Hipertensi, bradikardi, dan gangguan pernapasan (refleks Cushing).
c. Terjadi perburukan pada suatu kondisi defisit neurologis fokal.
4. Fraktur impresi.
5. Fraktur kranii dengan laserasi serebri.
6. Fraktur kranii terbuka.
7. Edema serebri berat yang disertai dengan tanda penignkatan tekanan intrakranial
(TIK).

30
Tinjauan Pustaka

1. PERDOSSI. Konsensus nasional penangan trauma kapitis dan trauma spinal. Jakarta:
PERDOSSI;2006
2. Ramli, Y, Zairinal, R A. Buku Ajar Neurologi. Jakarta : Departemen Neurologi; 2017

31

Anda mungkin juga menyukai