Pembimbing :
dr. Irfan Taufik, Sp.S
Disusun Oleh :
Muhammad Rizki Setiawan (2015730092)
Dalam penulisan laporan referat ini, tidak lepas dari bantuan dan kemudahan
yang diberikan secara tulus dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis
menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Irfan Taufik, Sp.S
sebagai dokter pembimbing.
Dalam penulisan laporan refreshing ini tentu saja masih banyak kekurangan dan
jauh dari sempurna, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, kritik dan saran
yang bersifat membangun akan sangat penulis harapkan demi kesempurnaan referat
ini.
Akhirnya, dengan mengucapkan Alhamdulillahirobbil ‘alamin laporan referat
ini telah selesai dan semoga bermanfaat bagi semua pihak serta semoga Allah SWT
membalas semua kebaikan dengan balasan yang terbaik, Aamiin Ya Robbal
Alamin.
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
PENDAHULUAN
1
PEMBAHASAN
Saraf otak ada 12 pasang dan biasanya dinyatakan dengan angka Romawi,
1-XII. Memeriksa saraf otak (I-XII) dapat membantu kita menentukan lokasi
dan jenis penyakit.
Pemeriksaan
Nervus olfaktorius tersusun atas sel-sel nervus olfaktorius yang terdapat pada
mukosa rongga hidung bagian atas. Serabut saraf yang keluar dari badan sel
saraf ini membentuk 20 berkas serabut saraf pada setiap sisi rongga hidung.
Serabut-serabut ini menembus lamina kribriformis osis ethmoidalis dan
serabut serabut sarafnya bersniaps di neuron-neuron bulbus olfaktorius.
Terdapat dua jenis sel yang menyusun bulbus olfaktorius yaitu sel mitral dan
sel berjambul (tufted cell). Serabut serabut saraf yang keluar dari kedua jenis
sel tersebut membentuk berkas saraf yang disebut traktus olfaktorius.
Sensasi bau timbul akibat hantaran impuls oleh serabut-serabut saraf yang
keluar dari badan sel mitral ke korteks lobus piriformis dan amigdala,
sedangkan sel berjambul menghantarkan impuls olfaktori ke hipotalamus
untuk membangkitkan reflek olfaktorik kinetik yaitu timbulnya salivasi
akibat mencium bau tertentu.
2
Gangguan pemeriksaan:
3
Saraf Otak II (nervus optikus, N.II)
Pemeriksaan
Tujuan pemeriksaan:
4
Saraf otak III, nervus okulomotorius
Pemeriksaan fungsi N III, IV, dan VI saling berkaitan dan diperiksa bersama-
sama. Fungsinya ialah menggerakkan otot mata ekstraokuler dan mengangkat
kelopak mata. Serabut otonom N III mengatur otot pupil.
Cara pemeriksaan:
5
Selagi berwawancara dengan pasien perhatikan celah matanya apakah
adaptosis, eksoftalmus, enoftalmus dan apakah ada strabismus (jereng).
Selain itu, apakah ia cenderung memejamkan matanya yang kemungkinan
disebabkan oleh diplopia.
Setelah itulakukan pemeriksaan yang lebih teliti mengenai ptosis, besar pupil,
reaksi cahaya pupil, reaksi akomodasi, kedudukan bola mata, gerakan bola
mata dan nistagmus.
Refluks pupil (reaksi caha pupil). Reaksi cahaya pupil terdiri dari reaksi caha
langsung dan tidak langsung. Pada pemeriksaan ini pasien disuruh melihat
jauh setelah itu mata kita senter dan dilihat apakah ada reaksi pada pupil. Pada
keadaan normal pupil mengecil. Bila demikian halnya, disebut reaksi cahaya
langsung positif. Kemudian perhatikan pula pupil mata yang satu lagi, apakah
pupilnya ikut mengecil oleh penyinaran mata yang lainnya itu. Bila demikian,
disebut reaksi cahaya tidak langsung positif.
Posisi bola mata. Perhatikan posisi bola mata apakah mata menonjol atau
seolah-olah masuk ke dalam. Pada eksoftalmus celah mata tampak lebih
besar, sedangkan pada enoftalmus lebih kecil.
6
Gerakan bola mata. Untuk memeriksa gerakan bola mata, penderita disuruh
mengikuti jari-jari pemeriksa yang digerakkan ke arah lateral, medial atas,
bawah dan ke arah yang miring, yaitu: atas-lateral, bawah medial, atas-medial
dan bawah-lateral. Perhatikan apakah bola mata pasien dapat mengikutinya,
dan perhatikan bagaimana gerakan bola mata, apakah lancar dan mulus atau
kaku.
7
Saraf otak V (nervus trigeminus)
Pemeriksaan
Pasien disuruh merapatkan giginya sekuat mungkin dan kemudian ktia raba
m.maseter dan m.temporalis. Perhatikan besarnya, tonus serta konturnya.
Kemudian pasien disuruh membuka mulut dan perhatikanlah apakah ada
deviasi rahang bawah. Bila ada parase maka rahang bawah akan berdevaiasi
ke arah yang lumpuh. Kadang-kadang sulit menentukan adanya deviasi.
Dalam hal demikian dapat digunakan garis antara kedua gigi insisivus sebagai
patikan. Perhatikan kedudukan gigi insisivus atas dan bawah waktu mulut
dibuka, apakah ada deviasi hal yang perlu dilakukan bila terdapat pula parase
nervus VII.
Bagian sensorik dari nervus V diperiksa dengan menyelidiki rasa raba, rasa
nyeri dan suhu daerah-daerah yang disarafinya.
8
Saraf Otak VII (nervus fasialis)
Pemeriksaan
Fungsi motorik
Fungsi pengecepan
9
Saraf otak VIII (nervus vestibulo-kokhlearis)
Bila sudah tidak terdengar lagi, maka garpu tala ditempatkan pada tulang
mastoid pemeriksa. Bila pemeriksa masih mendengarkan bunyinya maka
dikatakan bahwa Schwabach lebih pendek.
10
Tes rinne. Pada pemeriksaan ini dibandingkan konduksi tulang dengan
konduksi udara. Pada telinga yang normal, konduksi udara lebih baik dari
pada konduksi tulang. Hal ini didapatkan juga pada tuli perseptif. Akan tetapi,
pada tuli konduktif, konduksi tulang lebih baik dari pada konduksi udara.
Pada pemeriksaan tes Rinne biasanya digunakan garpu tala yang berfrekuensi
128, 256, atau 512 Hz. Garpu tala dibunyikan dan pangkalnya ditekankan
pada tulang mastoid penderita. Ia disuruh mendengarkan bunyinya. Bila tidak
terdengar lagi, garpu tala segera didekatkan pada telinga.
Jika masih terdengar bunyi, maka konduksi udara lebih baik dari konduksi
tulang, dan dalam hal ini dikatakan Rinne positif.
Bila tidak terdengar lagi bunyi, segera setelah garpu tala dipindahkan dari
tulang mastoid ke dekat telinga, kita katakan Rinne negatif.
Tes Weber. Garpu tala yang dibunyikan ditekankan pangkalnya pada dahi
penderita, tepat dipertengahan. Penderita disuruh mendengarkan bunyinya,
dan menentukan pada telinga mana bunyi lebih keras terdengar. Pada orang
yang normal, kerasnya bunyi sama pada telingkiri dan kanan. Pada tuli saraf,
bunyi lebih keras terdengar pada telinga yang sehat, sedang pada tuli
konduktif bunyi lebih keras terdengar pada teling yang tuli. Kita katakan: tes
weber berlateralisasi ke kiri, bila bunyi lebih keras terdengar di bagian kiri.
Bunyi atau suara yang dapat didengar oleh telinga yang normal berfrekuensi
antara 8-6 sampai kira-kira 32.000 Hz.
Saraf vestibularis
11
Telah dikemukan di atas bahwa gangguan vestibular dapat menyebabkan
antara lain vertigo, nistagmus, kehilangan keseimbangan dan salah tunjuk.
Gejala ini menunjukkan adanya gangguan pada reseptor vestibuler, saraf
vestibularis atau hubungan sentralnya.
Tes Romberg yang dipertajam. Pada tes ini penderita berdiri dengan kaki
yang satu di depan kaki yang lainnya, tumit kaki yang satu berada di depan
jari-jari kaki yang lainnya. Lengan dilipat pada dada dan mata kemudian
ditutup. Tes ini berguna menilai adanya disfungsi sistem vestibular. Orang
yang normal mampu berdiri dalam sikap Romberg yang dipertajam selama
30 detik atau lebih.
Hasil tes ini dianggap abnormal bila kedudukan akhir penderita beranjak
lebih dari 1 meter dari tempatnya semula, atau badan terputar lebih dari 30
derajat.
12
dilakukan dengan menurunkan lengan ke bawah sampai vertikal dan
kemudian kembali posisi semula.
Pemeriksaan
Banyak fungsi saraf ini tidak diperiksa secara rutin karena sukar
melakukannya dan juga tidak penting dalam menegakkan diagnosis, namun
demikian, ada hal yang perlu diperiksa secara rutin.
13
penderita disuruh mengejan atau menggembungkan pipi, ia tidak sanggup
melakukannya denganb aik karena dara terlepas melalui hidung. Hal ini dapat
dicegah bila lubang hidung ditutup.
Pemeriksaan
14
1. Pasien disuruh menggerakkan bagian badan (persendiaan) yang
digerakkan oleh otot yang ingin kita periksa, dan kita tahan gerakkan
ini.
2. Kita gerakkan bagian badan pasien dan disuruh ia menahannya. Dengan
demikian kita peroleh kesan mengenai kekuatan otot.
Tenaga otot ini diperiksa sebagai berikut: tempatkan tangan kita di atas bahu
penderita. Kemudian penderita disuruh mengangkat bahunya, dan kita
tahan. Dengan demikian dapat dinilai kekuatan otot. Tenaga otot yang kiri
dan kanan dibandingkan. Pada saat ini juga otot trapezius, pasien disuruh
mengekstensikan kepalanya, dan gerakan ini kita tahan. Jika terdapat
kelumpuhan otot trapezius satu sisi, kepala tidak dapat ditarik ke sisi
tersebut, bahu tidak dapat diangkat dan lengan tidak dapat dielevasi ke atas
dari posisi horisontal. Pada kelumpuhan kedua otot ini kepala cenderung
jatuh ke depan, dan penderita tidak dapat mengangkat dagunya.
15
Saraf Otot XII (nervus hipoglosus)
Pemeriksaan
Tremor lidah dapat dijumpai pada pasien yang sakit berat, demensia
paralitika, dan intoksikasi. Faiskulasi dijumpai pada lesi nuklir, misalnya
pada siringobulbi. Kadang-kadang kita sulit membedakan antara trermor dan
fasikulasi, terlebih lagi pada lidah yang terjulur. Untuk memudahkan
pembedaannya, lidah diistirhatkan pada dasar mulut. Pada keadaan ini,
tremor biasanya berkurang atau menghilang. Pada atetose didapatkan gerakan
yang tidak terkendali. Lidah sulit dijulurkan atau hal ini dilakukan dengan
sekonyong-konyong dan kemudian tanpa kendali ditarik secara mendadak.
Jika terdapat kelumpuhan pada dua sisi, lidah tidak dapat digerakkan atau
dijulurkan. Terdapat disastria dan kesukaran menelan. Selain itu, juga
didapatkan kesukaran bernapas, karena lidah dapat terjatuh ke belakang,
sehingga menghalangi jalan napas.
16
Untuk menilai tenaga lidah kita suruh penderita menggerakkan lidahnya
ke segala jurusan dan perhatikan kekuatan geraknya. Kemudian penderita
disuruh menekankan lidahnya pada pipinya. Kita nilai daya letaknya ini
dengan jalan menekankan jari kita pada pipi sebelah luar. Jika terdapat parase
lidah bagian kiri, lidah tidak dapat ditekanakan ke pipi sebelah kanan, tetapi
ke sebelah kiri dapat..
17
2.2. Pemeriksaan Koordinasi
Minta pasien berdiri tegak dengan kedua tumit saling bertemu. Pertama
dengan mata terbuka lalu minta pasien untuk menutup mata selama 20 detik
Lesi di Cerebelar : ketika membuka dan menutup mata pasien kesulitan berdiri
tegak dan cenderung berdiri dengan kaki terbuka lebar
Minta pasien berjalan dengan sebuah garis lurus dengan tumit saling menyentuh
jari kaki lain
18
Lesi di Cerebelar : pasien tidak dapat menjalankan test
Minta pasien menutup mata dan meluruskan lengan kesamping lalu minta pasien
menyentuh hidungnya
Lesi di cerebelar : telunjuk tidak sampai di hidung tetapi melewati atau sampai di
pipi.
19
Lesi di cerebelar : gerakan dilakukan tidak tangkas dan berlebihan dimana tumit
sampai ke paha
Pasien diminta merentangkan kedua tangan sambal menutup mata lalu diminta
mempertemukan kedua jari telunjuk.
Lesi di cerebelar : lengan disisi lesi akan ketinggalan sehingga jari sisi yang sehat
melampaui garis tengah
NON-EQUILIBRIUM (Diadokokinesis)
Minta pasien fleksi lengan melawan tahanan yang diberikan pemeriksa. Lalu
lepaskan lengan pasien secara tiba-tiba.
20
Lesi di cerebelar : lengan pasien memukul dirinya sendiri
21
intensi. (Tiga fungsi penting dari serebelum ialah keseimbangan, pengatur tonus
otot, dan pengelola serta pengkoordinasi gerakan volunter).
PEMERIKSAAN
Pada tiap bagian badan yang dapat bergerak harus dilakukan :
1. Inspeksi
2. Palpasi
3. Pemeriksaan gerakan pasf
4. Pemeriksaan gerakan aktif
5. Koordinasi gerakan
1. INSPEKSI
Sikap
Jika pasien berdiri, perhatikan sikap dan posisi badannya, baik secara
keseluruhan maupun sebagian. Pasien dengan gangguan serebelum berdiri
dengan muka membelok ke arah kontralateral terhadap lesi, bahunya pada
sisi lesi agak lebih rendah, dan badannya miring ke sisi lesi. Penderita
penyakit Parkinson berdiri dengan kepala dan leher dibungkukkan ke depan,
lengan dan tungkai berada dalam fleksi.
22
bertumpuh. Pada penderita hemiparese oleh gangguan sistem piramidal,
lengan berada dalam sikap fleksi, sedangkan tungkai dalam ekstensi.
Ukuran
Perhatikan apakah panjang badan tubuh sebelah kiri sama dengan yang
kanan. Orang dewasa yang mengalami lumpuh sejak masa kanak-kanak,
ukuran ekstremitas yang lumpuh lebih pendek daripada yang sehat.
Kemudian perhatikan besar (isi) kontur (bentuk) otot. Adakah atrofi atau
hipertrofi. Perhatikan kontur (bentuk) otot. Pada atrofi besar otot berkurang
dan bentuknya berubah. Kelumpuhan jenis perifer disertai oleh hipotrofi
atau atrofi.
23
Bila didapatkan atrofi, kontur biasanya berubah atau berkurang.
Pada keadaan pseudo-hipertrofi, ukuran otot tampak lebih besar, namun
tenaganya kurang. Hal ini disebabkan karena jaringan otot diganti oleh
jaringan lemak atau jaringan ikat. Hal ini didapatkan pada distrofia
muskulorum progresiva, dan terjadi di otot betis dan gluteus.
Di antara gerakan abnormal yang tidak terkendali yang kita kenal ialah :
tremor, khorea, atetose, distonia, balismus, spasme, tik, fasikulasi, dan
miokloni.
24
Tremor. Tremor ialah serentetan gerakan involunter, agak ritmis,
merupakan getaran, yang timbul karena berkontraksinya otot-otot yang
berlawanan secara bergantian. Ia dapat melibatkan satu atau lebih bagian
tubuh. Jenis tremor yang perlu kita kenal ialah : tremor normal atau
fisiologis; tremor halus (disebut juga tremor toksik) dan tremor kasar.
Tremor fisiologis didapatkan bila anggota gerak ditempatkan pada posisi
yang sulit, atau bila kita melakukan gerakan volunteer dengan sangat
lambat. Tremor yang terlihat pada orang normal yang sedang marah atau
ketakutan merupakan aksentuasi dari tremor fisiologis ini.
Tremor halus dianggap juga sebagai tremor toksik. Contoh yang khas ialah
tremor yang dijumpai pada hipertiroidi. Tremor ini terutama terjadi pada
jari dan tangan. Kadang-kadang tremor ini sangat halus dan sukar dilihat.
Untuk memperjelasnya, kita tempatkan kertas di atas jari-jari dan tampaklah
kertas tersebut bergetar walaupun tremor belum jelas terlihat. Tremor toksik
ini didapatkan pula pada keracunan nikotin, kafein, obat-obatan seperti
adrenalin, efedrin, atau barbiturat.
Tremor kasar, salah satu contohnya ialah tremor yang didapatkan pada
penyakit Parkinson. Ini merupakan tremor yang lambat, kasar, dan
majemuk. Pada penyakit Parkinson, gerakan jari-jari mirip gerakan
menghitung duit atau membuat pil (pill rolling tremor). Contoh lainnya
adalah tremor intensi. Tremor intensi merupakan tremor yang timbul waktu
melakukan gerakan volunter dan menjadi lebih nyata ketika gerakan hampir
mencapai tujuannya. Tremor ini merupakan tremor kasar, dan dapat
dijumpai pada gangguan serebellum. Pada tes tunjuk-hidung pada pasien
dengan gangguan di serebelum, tremor menjadi lebih nyata pada saat
telunjuk hampir mancapai hidung.
Khorea. Kata khorea berasal dari kata Junani yang berarti menari. Pada
khorea gerak otot berlangsung cepat, sekonyong-konyong, aritmik, dan
kasar yang dapat melibatkan satu ekstremitas, separuh badan atau seluruh
25
badan. Hal ini dengan khas terlihat pada anggota gerak atas (lengan dan
tangan), terutama bagian distal. Pada gerakan ini tidak didapatkan gerakan
yang harmonis antara otot-otot penggerak, baik antar otot yang sinergis
maupun antagonis. Bila pasien disuruh meluruskan lengan dan tangannya,
kita dapatkan hiperekstensi pada falang proksimal dan terminal, dan
pergelangan tangan berada dalam fleksi dengan sedikit dipronasikan. Hal
ini menjadi lebih jelas bila pasien disuruh mengangkat lengannya ke atas.
Jari-jari tangan biasanya akan diregangkan, dan ibu jari diabduksikan dan
terarah ke bawah.
Gerak khorea dapat dibuat nyata bila pasien disuruh melakukan dua
macam gerakan sekaligus, misalnya ia disuruh menaikkan lengannya ke atas
sambil menjulurkan lidah. Gerakan khorea didapatkan dalam keadaan
istirahat dan menjadi lebih hebat bila ada aktivitas dan ketegangan. Khorea
menghilang bila penderitanya tidur. Gerakan khorea antara lain dijumpai
pada penyakit khorea Sydenham, khorea Huntington, dan khorea
gravidarum.
Atetose. Kata atetose berasal dari kata Yunani yang berarti berubah.
Berlainan dari khorea yang gerakannya berlangsung cepat, mendadak, dan
terutama melibatkan bagian distal, maka atetose ditandai oleh gerakan yang
lebih lamban, seperti gerak ular, dan melibatkan otot bagian distal. Namun
demikian hal ini cenderung menyebar juga ke proksimal. Atetosis dapat
dijumpai pada banyak penyakit yang melibatkan ganglia basal.
26
Distonia. Bila terjadi kerusakan besar pada susunan ekstrapiramidal yang
melibatkan beberapa komponen ganglia basal, didapatkan gejala yang
kompleks. Hal ini dijumpai pada distonia muskulorum deformans, di mana
didapatkan gerakan distonia. Biasanya distonia ini dimulai dengan gerak
otot berbentuk atetose pada lengan atau anggota gerak lain, kemudian
gerakan otot bentuk atetose ini menjadi kompleks, yaitu menunjukkan torsi
yang keras dan berbelit. Gerakan torsi otot (memutar berbelit) terjadi juga
pada otot leher dan punggung, sehingga didapatkan tortikolis dan
tortipelvis. Gerak otot abnormal ini dapat mengakibatkan terjadinya
skoliosis, pes ekuinovarus, pes valgus, dan kontraktur.
Tik (tic). Penyebab tik belum diketahui. Ada pakar yang menganggapnya
sebagai suatu conditioned reflex, ada pula yang mengatakan bahwa faktor
psikogen mempunyai peranan, dan pakar lainnya mengemukakan bahwa
sistem ekstrapiramidal memainkan peranan pula. Tik merupakan suatu
27
gerakan terkoordinir, berulang, dan melibatkan sekelompok otot dalam
hubungan yang sinergistik. Ada tik yang menyerupai spasme klonik, dan
disebutkan sebagai spasme-kebiasaan (habit spasm).
Penyebab fasikulasi belum jelas benar; iritasi pada sel neuron motorik
dapat menimbulkan fasikulasi. Adanya fasikulasi dapat dibuat lebih nyata
dengan jalan memberikan rangsang mekanis pada otot tersebut, misalnya
dengan pukulan.
28
paroksismal, pada waktu yang tidak tertentu, baik pada saat istirahat
maupun pada waktu sedang aktif. Namun demikian, ia dapat menjadi lebih
hebat bila ada rangsang emosional, mental, taktil, visual, atau rangsang
auditoar. Ia dapat berkurang bila ada gerakan volunter. Ia dapat timbul pada
saat pasien hendak tertidur, dan biasanya menghilang bila sudah tertidur.
2. PALPASI
29
4. PEMERIKSAAN GERAKAN AKTIF
Jadi dengan kedua cara tersebut di atas dapat dinilai tenaga otot. Dokter
umumnya menggunakan cara 1, yaitu pemeriksa yang menahan. Bila pasien
yang disuruh menahan, ditakutkan kekuatan yang dilakukan oleh dokter
terlalu besar. Bila pasien lumpuh total, tidak sulit untuk memastikannya,
namun bila ia lumpuh sebagian atau parsial, tidak mudah memastikan atau
menilainya. Tenaga orang yang normal berbeda-beda. Misalnya, tenaga
seorang atlit angkat besi jauh lebih kuat daripada tenaga seorang juru tulis.
Tidak selalu mudah membedakan parese (lumpuh) ringan dari tidak ada
parese. Kita mungkin mendapat pertolongan dari beberapa hal berikut yaitu:
30
4. Didapatkan gejala lain, misalnya : arefleksi, atrofi, hiperrefleksi, dan
refleks patologis.
5. Dalam praktek sehari-hari, tenaga otot dinyatakan dengan menggunakan
angka dari 0 – 5. (0 berarti lumpuh samasekali, dan 5 = normal).
Kepala
Periksa apakah ada tahanan jika kepala digerakkan secara pasif. Pada
radang selaput otak didapatkan kaku kuduk. Pada tortikolis juga didapatkan
31
tahanan, demikian juga pada spondilitis servikal. Gerakan aktif diperiksa
dengan menyuruh pasien menekukkan kepala ke depan, ke belakang, ke
samping kiri, dan kanan, serta melakukan gerakan rotasi. Pemeriksa menilai
tenaganya, dan membandingkan tenaga gerakan ke kiri dan ke kanan.
Perhatikan apakah ada atrofi otot tenar, hipotenar, dan otot intrinsik
tangan. Periksa gerakan jari-jari; bagaimana tenaga fleksi, ekstensi, abduksi,
dan aduksi. Periksa tenaga menggenggam. Hal ini dilakukan dengan
menyuruh pasien menggenggam jari pemeriksa dan kemudian pemeriksa
menarik lepas jari tersebut. Gerakan di pergelangan juga diperiksa, dan
ditentukan tenaganya pada gerakan pronasi dan supinasi. Fleksi dan ekstensi
pada persendian siku, juga diperiksa. Gerakan pada persendian bahu
diperiksa dengan menyuruh pasien menggerakkan lengan yang diekstensi,
pada bidang frontal dan sagital, dan juga melakukan rotasi pada persendian
bahu. Selain itu, juga gerakan bahu ke atas, bawah, depan, dan ke belakang
diperiksa. Setelah itu, periksalah otot pektoralis mayor, latisimus dorsi,
seratus magnus, deltoid, biseps, dan triseps.
Deltoid.
Biseps.
Triseps.
Lengan bawah yang sudah difleksi disuruh ekstensikan. Nilailah tenaga
ekstensi ini
32
Badan
Erektor spina.
Bila pasien sedang berdiri, suruh ia mengambil suatu barang dari lantai.
Jika pasien menderita kelemahan m. erector spina, ia sukar berdiri kembali;
dan ini dilakukannya dengan bantuan tangannya, yaitu dengan
menempatkan tangannya pada lutut, paha, dan kemudian mendorongnya
sampai ia dapat berdiri lagi. Kadang terlihat juga adanya lordosis.
Otot dinding perut. Pasien yang sedang berbaring disuruh mengangkat
kepalanya dan perhatikan peranjakan dari pusar. Biasanya pusar beranjak
ke arah otot yang sehat. Suruh pasien batuk, otot yang lemah akan
membonjol. Perhatikan apakah pasien dapat duduk dari sikap berbaring
tanpa mendapat bantuan dari tangannya. Otot yang ikut bekerja dalam hal
ini ialah otot dinding perut dan otot iliopsoas.
Otot aduktor. Pasien berbaring pada sisinya dan tungkai berada dalam
ekstensi. Kemudian tungkai ini diaduksikan sambil ditahan.
33
5. PEMERIKSAAN KOORDINASI GERAKAN
34
saat mengedikkan badannya ke belakang, ia selalu menegangkan
tungkainya, sehingga ia berada dalam bahaya akan jatuh. Selain itu,
gangguan koordinasi gerakan dapat diketahui dengan melihat adanya
disdiadokokinesia.
35
Percobaan jari-jari. Penderita disuruh merentangkan kedua lengannya
ke samping sambil menutup mata. Ia kemudian disuruh mempertemukan
jari-jarinya di tengah depan. Lengan di sisi lesi akan ketinggalan dalam
gerakan ini, dan mengakibatkan jari sisi yang sehat melampaui garis tengah.
36
lain atau lesi serebelum sendiri. Nistagmus dapat pula disebabkan oleh
terganggunya koordinasi otot-otot mata, jadi merupakan asinergia serebeli.
Sikap bola mata yang seharusnya tetap bila ia difiksasi pada satu jurusan
menjadi berubah-ubah, yaitu bola mata bergerak secara spontan cepat ke
arah fiksasi, lalu kembali secara spontan lambat ke posisi semula, kemudian
bergerak lagi ke tempat fiksasi, kembali lagi ke posisi semula dan
seterusnya bolak-balik. Hal ini disebut nistagmus (gerak ritmik bola mata).
Untuk memeriksanya, mata pasien disuruh mengikuti jari pemeriksa yang
digerakkan ke samping kiri, kanan, atas, dan bawah. Perhatikan adanya
nistagmus dan tentukan apakah ada komponen lambat dan cepat.
Astenia. Astenia adalah lekas lelah dan bergerak lamban. Hal ini juga
merupakan gejala dari gangguan serebelar. Otot lekas lelah dan lemah
(walaupun tidak ada parese). Gerakan dimulai dengan lamban, demikian
juga dengan kontraksi dan relaksasi.
37
Tes mengenai gangguan serebelar masih banyak lagi, namun bila
pemeriksaan tersebut di atas dilakukan dengan baik, maka hal ini sudah
memadai.
Pakar yang pertama kali diketahui menggunakan kata refleks ialah Rene
Descartes , pada tahun 1662. Ia melukiskan refleks memejam (refleks
ancaman); pada refleks ini, suatu pukulan yang diancamkan ke mata
menyebabkan mata dipejamkan. Kata refleks dibentuk dari; melihat objek yang
mendekat memberikan refleksi di otak. Secara sederhana dapat dikatakan
bahwa refleks ialah jawaban atas rangsangan.
Bila lengkung ini rusak maka refleks akan hilang. Selain di lengkungan tadi
didapatkan pula hubungan dengan pusat- pusat yang lebih tinggi di otak yang
tugasnya memodifikasi refleks tersebut. Bila hubungan dengan pusat yang lebih
38
tinggi ini terputus, misalnya karena kerusakan pada sistem piramidal, hal ini akan
mengakibatkan refleks meninggi.
Jenis refleks
Refleks dalam dapat dinamai menurut otot yang bereaksi atau menurut
tempat merangsang, yaitu tempat insersio otot. Misalnya refleks
kuadriseps femoris disebut juga refleks tendon lutut atau refleks patela.
39
Telah dikemukakan di atas bahwa timbulnya refleks ini ialah karena
teregangnya otot oleh rangsang yang diberikan dan sebagai jawaban otot
berkontraksi. Rasa- regang (ketok) ini ditangkap oleh alat penangkap
(reseptor) rasa- proprioseptif, karena itu refleks ini juga dinamai refleks
proprioseptif. Contoh dari refleks dalam ialah refleks kuadriseps femoris
glabela.
B. Refleks Superfisialis
Tidak ada batas yang tegas antara tingkat refleks yang dikemukakan
di atas, yaitu : tidak ada batas yang tegas antara refleks lemah, refleks
normal dan refleks meningkat. Bila refleksinya negatif, hal ini mudah
dipastikan. Pada refleks yang meninggi, daerah tempat memberikan
rangsang biasanya bertambah luas. Misalnya refleks kuadriseps femoris,
bila ia meninggi, maka tempat merangsang tidak saja di tendon patella,
tetapi dapat meluas sampai tulang tibia. Kontraksi otot pun bertambah
hebat, kadang- kadang didapatkan klonus, yaitu otot berkontraksi secara
klonik. Pada refleks yang lemah, kita perlu mempalpasi otot untuk
mengetahui apakah ada kontraksi. Kadang- kadang kita perlu pula
melakukan sedikit upaya untuk memperjelas refleks yang lemah. Hal ini
misalnya dilakukan dengan membuat otot yang diperiksa berada dalam
kontraksi enteng sebelum dirangsang. Misalnya bila kita hendak
40
memeriksa refleks kuadriseps femoris, kita suruh pasien mendorongkan
tungkai bawahnya sedikit ke depan sambil kita menahannya, baru
kemudian kita rangsang (ketok) pada tendon di patella. Selain itu, juga
perhatian penderita perlu dialihkan, misalnya dengan menyuruhnya
menarik pada kedua tangannya yang saling bertautan.
D. Pemeriksaan refleks
41
hal ini mengakibatkan gerakan fleksi lengan bawah. Pusat refleks ini
terletak di C5- C6.
42
pada kaki. Setelah itu, tendon Achilles diketok. Hal ini mengakibatkan
berkontraksinya m.triseps sure dan memberikan gerak plantar fleksi pada
kaki. Lengkung refleks ini melalui S1, S2.
E. Refleks Patologis
43
dapat dibangkitkan dengan jalan menggoyangkan kaki, menggerakkan
kepala dan juga bila menguap.
Klonus. Kita telah mempelajari bahwa salah satu gejala kerusakan pyramidal
ialah adanya hiperfleksi.Bila hiperfleksi ini hebat dapat terjadi klonus.Klonus ialah
kontraksi ritmik dari otot, yang timbul bils otot diregangkan secara pasif. Klonus
merupakan reflex regang otot yang meninggi dan dapat dijumpai pada lesi
supranuklir (UMN , pyramidal ). Ada orang normal yang mempunyai hiperfleksi
fisiologis ; pada mereka ini dapat terjadi klonus, tetapi klonusnya berlangsung
singkat dan disebut klonus abortif. Bila klonus berlangsung lama ,hal ini dianggap
patologis. Klonus dapat dianggap sebagai rentetan reflex regang otot, yang dapat
disebabkan oleh lesi pyramidal. Pada lesi piramidal (UMN
44
(uppermotorneuron) supranuklir) kita sering mendapatkan klonus di
pergelangan kaki, lutut dan pergelangan tangan.
Klonus patela. Klonus ini dibangkitkan dengan jaian meregangkan otot kuadriseps
femoris.Kita pegang patela penderita, kemudian didorong dengan kejutan (dengan
cepat) ke arah distal sambil diberikan tahanan enteng. Biia terdapat klonus, akan
terlihat kontraksi ritmik otot kuadriseps yang mengakibatkan gerakan bolak-balik
dari patela. Pada pemeriksaan ini tungkai harus diekstensikan serta dilemaskan.
45
KESIMPULAN
Rangsangan selaput otak (rangsang meningens) adalah gejala yang timbul akibat
beberapa kondisi seperti peradangan pada selaput otak (meningitis) atau adanya
benda asing pada ruang subaraknoid (perdarahan subaraknoid, zat kimia (kontras),
dan invasi neoplasma (meningitis carcinoma). Pemeriksaan rangsang meningeal
yang dapat dilakukan, kaku kuduk, tanda Lasegue, Kernig, Brudzinski l
(Brudzinski’s neck sign), dan Brudzinski ll , (Brudzinski contralateral leg sign),
Brudzinski III dan Brudzinski IV.
46
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. Mahar Mardjono dan Prof. dr. Priguna Sidharta. Neurologi Klinis Dasar.
Penerbit Dian Rakyat; 2008
iii