Anda di halaman 1dari 50

REFRESHING

PEMERIKSAAN FISIK NEUROLOGI

Pembimbing :
dr. Irfan Taufik, Sp.S

Disusun Oleh :
Muhammad Rizki Setiawan (2015730092)

KEPANITERAAN KLINIK NEUROLOGI


RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA PONDOK KOPI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2020
KATA PENGANTAR

Dengan mengucap syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT, karena atas


rahmat dan hidayah-Nya Laporan Refreshing ini dapat terselesaikan dengan baik.
Refreshing ini disusun sebagai salah satu tugas kepanitraan klinik stase neurologi
Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta di RS.
Islam Jakarta Pondok Kopi.

Dalam penulisan laporan referat ini, tidak lepas dari bantuan dan kemudahan
yang diberikan secara tulus dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis
menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Irfan Taufik, Sp.S
sebagai dokter pembimbing.

Dalam penulisan laporan refreshing ini tentu saja masih banyak kekurangan dan
jauh dari sempurna, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, kritik dan saran
yang bersifat membangun akan sangat penulis harapkan demi kesempurnaan referat
ini.
Akhirnya, dengan mengucapkan Alhamdulillahirobbil ‘alamin laporan referat
ini telah selesai dan semoga bermanfaat bagi semua pihak serta semoga Allah SWT
membalas semua kebaikan dengan balasan yang terbaik, Aamiin Ya Robbal
Alamin.

Jakarta, 20 Februari 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i


DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
PEMBAHASAN ..................................................................................................... 2
2.1. Pemeriksaan Nervus Kranial .................................................................... 2
2.2. Pemeriksaan Koordinasi ......................................................................... 18
2.3. Sistem Motorik ....................................................................................... 21
2.4. Pemeriksaan Refleks .............................................................................. 38
KESIMPULAN ..................................................................................................... 46
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ iii

ii
PENDAHULUAN

Neurologi adalah ilmu kedokteran yang mempelajari kelainan, gangguan


fungsi, penyakit, dan kondisi lain pada sistim saraf manusia. Oleh sebab itu
dipelajari pula hal-hal yang secara alami dianggap fungsi sistim saraf normal.
Dalam rangka menegakkan diagnosis penyakit saraf diperlukan pemeriksaan fisik,
Pemeriksaan neurologis meliputi: fungsi cerebral, fungsi nervus cranialis, fungsi
sensorik, fungsi motorik dan refleks.
Selama beberapa dasawarsa ini ilmu serta teknologi kedokteran maju dan
berkembang dengan pesat. Banyak alat dan fasilitas yang tersedia, dan memberikan
bantuan yang sangat penting dalam mendiagnosis penyakit serta menilai
perkembangan atau perjalanan penyakit. Saat ini kita dengan mudah dapat
mendiagnosis perdarahan di otak, atau keganasan di otak melalui pemeriksaan
pencitraan. Kita juga dengan mudah dapat menentukan polineuropati dan
perkembangannya melalui pemeriksaan kelistrikan.
Di samping kemajuan yang pesat ini, pemeriksaan fisik masih tetap memainkan
peranan yang penting. Kita bahkan dapat meningkatkan kemampuan pemeriksaan
di sisi ranjang dengan bantuan alat teknologi yang canggih. Kita dapat
mempertajam kemampuan pemeriksaan fisik alat-alat canggih yang kita miliki.
Sampai saat ini kita masih tetap dan harus memupuk kemampuan kita untuk
melihat, mendengar, dan merasa, serta mengobservasi keadaan pasien. Dengan
pemeriksaan fisik kita dapat menentukan diagnosis, dan pemeriksaan penunjang
yang dibutuhkan.

1
PEMBAHASAN

2.1. Pemeriksaan Nervus Kranial

Saraf otak ada 12 pasang dan biasanya dinyatakan dengan angka Romawi,
1-XII. Memeriksa saraf otak (I-XII) dapat membantu kita menentukan lokasi
dan jenis penyakit.

Saraf Otak I (nervus olfaktorius, N.I)

Pemeriksaan

Tujuan pemeriksaan : untuk mendeteksi adanya gangguan menghidu.


Selain itu, untuk mengetahui apakah gangguan tersebut disebabkan oleh
gangguan saraf atau penyakit hidung lokal.

Nervus olfaktorius tersusun atas sel-sel nervus olfaktorius yang terdapat pada
mukosa rongga hidung bagian atas. Serabut saraf yang keluar dari badan sel
saraf ini membentuk 20 berkas serabut saraf pada setiap sisi rongga hidung.
Serabut-serabut ini menembus lamina kribriformis osis ethmoidalis dan
serabut serabut sarafnya bersniaps di neuron-neuron bulbus olfaktorius.
Terdapat dua jenis sel yang menyusun bulbus olfaktorius yaitu sel mitral dan
sel berjambul (tufted cell). Serabut serabut saraf yang keluar dari kedua jenis
sel tersebut membentuk berkas saraf yang disebut traktus olfaktorius.

Sensasi bau timbul akibat hantaran impuls oleh serabut-serabut saraf yang
keluar dari badan sel mitral ke korteks lobus piriformis dan amigdala,
sedangkan sel berjambul menghantarkan impuls olfaktori ke hipotalamus
untuk membangkitkan reflek olfaktorik kinetik yaitu timbulnya salivasi
akibat mencium bau tertentu.

2
Gangguan pemeriksaan:

Periksa lubang hidung, apakah ada sumbatan atau kelainan setempat,


misalnya ingus, atau polip. Hal ini dapat mengurangi ketajaman penciuman.
Zat pengetes yang digunakan sebaiknya zat yang dikenal sehari-hari,
misalnya kopi, teh, tembakau, jeruk.

Jangan menggunakan zat yang dapat merangsang mukosa hidung (nervus V)


seperti mentol, amoniak, alkohol, dan cuka. Zat pengetes didekatkan ke
hidung pasien dan disuruh ia menciumnya. Tiap lubang hidung diperiksa satu
per satu dengan jalan menutup lubang hidung yang lainnya dengan tangan.

3
Saraf Otak II (nervus optikus, N.II)

Pemeriksaan

Tujuan pemeriksaan:

a. Mengukur ketajaman penglihatan (visus) dan menentukan apakah


kelainan pada visus disebabkan oleh kelainan okuler lokal atau oleh kelainan
saraf.
b. Mempelajari lapangan pandang
c. Memeriksaa keadaan papil optik

Ketajaman penglihatan. Secara kasar ketajaman penglihatan (acuity of vision)


diperiksa dengan jalan membandingkan ketajaman penglihatan pasien dengan
pemeriksa. Pasien disuruh mengenali benda yang letaknya jauh dan membaca
huruf-huruf yang ada di buku atau koran. Bila ketajaman mata pasien sama
dengan pemeriksa, maka hal ini dianggap normal.

Lapangan pandang. Secara kasar pemeriksa lapangan pandang dilakukan


dengan jalan membandingkan dengan kampus penglihatan pemeriksa, yaitu
dengan metode konfrontasi dari Donder. Dalam hal ini, penderita disuruh
duduk atau berdiri berhadapan dengan pemeriksa dengan jarak kira-kira 1
meter. Jika kita hendak memeriksa mata kanan, maka mata kiri penderita
harus ditutup, misalnya dengan tangannya atau kertas sedangkan pemeriksa
harus menutup mata kanannya. Kemudian penderita disuruh melihat terus
pada mata kiri pemeriksa dan pemeriksa harus selalu melihat ke mata kanan
penderita. Setelah itu pemeriksa menggerakkan jari tangannya di bidang
pertengahan antara pemeriksa dengan penderita. Gerakan dilakukan dari arah
luar ke dalam.

4
Saraf otak III, nervus okulomotorius

Saraf otak IV, nervus trokhlearis

Saraf otak VI, nervus abdusen

Pemeriksaan fungsi N III, IV, dan VI saling berkaitan dan diperiksa bersama-
sama. Fungsinya ialah menggerakkan otot mata ekstraokuler dan mengangkat
kelopak mata. Serabut otonom N III mengatur otot pupil.

Cara pemeriksaan:

5
Selagi berwawancara dengan pasien perhatikan celah matanya apakah
adaptosis, eksoftalmus, enoftalmus dan apakah ada strabismus (jereng).
Selain itu, apakah ia cenderung memejamkan matanya yang kemungkinan
disebabkan oleh diplopia.

Setelah itulakukan pemeriksaan yang lebih teliti mengenai ptosis, besar pupil,
reaksi cahaya pupil, reaksi akomodasi, kedudukan bola mata, gerakan bola
mata dan nistagmus.

Ptosis. Kelumpuhan nervus III dapat menyebabkan terjadinya ptosis, yaitu


kelopak mata terjatuh, mata tertutup, dan tidak dapat dibuka. Hal ini
disebabkan oleh kelumpuhan m.levator palpebrae. Kelumpuhan m.levator
palpebrae yang total mudah diketahui, karena kelopak mata sama sekali tidak
dapat diangkat, mata tertutup. Pada kelumpuhan ringan kita bandingkan celah
mata: pada sisi yang lumpuh celah mata lebih kecil dan kadang-kadang kita
lihat dahi dikerutkan (m.frontalis) untuk mengkompensasi menurunnya
kelopak mata.

Refluks pupil (reaksi caha pupil). Reaksi cahaya pupil terdiri dari reaksi caha
langsung dan tidak langsung. Pada pemeriksaan ini pasien disuruh melihat
jauh setelah itu mata kita senter dan dilihat apakah ada reaksi pada pupil. Pada
keadaan normal pupil mengecil. Bila demikian halnya, disebut reaksi cahaya
langsung positif. Kemudian perhatikan pula pupil mata yang satu lagi, apakah
pupilnya ikut mengecil oleh penyinaran mata yang lainnya itu. Bila demikian,
disebut reaksi cahaya tidak langsung positif.

Refleks akomodasi. Penderita disuruh melihat jauh, kemudian ia disuruh


melihat dekat, misalnya jari kita yang ditempatkan dekat matanya. Refleks
akomodasi dianggap positif bila terlihat pupil mengecil. Pada kelumpuhan
nervus III refleks ini negatif.

Posisi bola mata. Perhatikan posisi bola mata apakah mata menonjol atau
seolah-olah masuk ke dalam. Pada eksoftalmus celah mata tampak lebih
besar, sedangkan pada enoftalmus lebih kecil.

6
Gerakan bola mata. Untuk memeriksa gerakan bola mata, penderita disuruh
mengikuti jari-jari pemeriksa yang digerakkan ke arah lateral, medial atas,
bawah dan ke arah yang miring, yaitu: atas-lateral, bawah medial, atas-medial
dan bawah-lateral. Perhatikan apakah bola mata pasien dapat mengikutinya,
dan perhatikan bagaimana gerakan bola mata, apakah lancar dan mulus atau
kaku.

Nistagmus. Pemeriksaan nistagmus dilakukan waktu memeriksa gerakan bola


mata. Waktu memeriksa gerak bola mata, harus diperhatikan apakah ada
nistagmus. Nistagmus ialah gerak bolak-balik bola mata yang involunter dan
ritmik. Untuk maksud ini penderita disuruh melirik terus ke satu arah selama
jangka waktu 5 atau 6 detik. Jika ada nistagmus hari ini akan terlihat dalam
jangka waktu tersebt. Akan tetapi, mata jangan terlalu jauh dilirikkan, sebab
hal demikian dapat menimbulkan nistagmus pada orang yang normal.

7
Saraf otak V (nervus trigeminus)

Pemeriksaan

Untuk memeriksa fungsi motorik nervus V dilakukan hal berikut:

Pasien disuruh merapatkan giginya sekuat mungkin dan kemudian ktia raba
m.maseter dan m.temporalis. Perhatikan besarnya, tonus serta konturnya.
Kemudian pasien disuruh membuka mulut dan perhatikanlah apakah ada
deviasi rahang bawah. Bila ada parase maka rahang bawah akan berdevaiasi
ke arah yang lumpuh. Kadang-kadang sulit menentukan adanya deviasi.
Dalam hal demikian dapat digunakan garis antara kedua gigi insisivus sebagai
patikan. Perhatikan kedudukan gigi insisivus atas dan bawah waktu mulut
dibuka, apakah ada deviasi hal yang perlu dilakukan bila terdapat pula parase
nervus VII.

Bagian sensorik dari nervus V diperiksa dengan menyelidiki rasa raba, rasa
nyeri dan suhu daerah-daerah yang disarafinya.

8
Saraf Otak VII (nervus fasialis)

Pemeriksaan

Fungsi motorik

Dalam memeriksa fungsi motorik, perhatikan muka penderita, apakah


simetris atau tidak. Perhatikan kerutan pada dahi, pejaman mata, plika
nasolabialis dan sudut mulut. Bila asimetri muka jelas, maka hal ini
disebabkan oleh kelumpuhan jenis perifer. Dalam hal ini kerutan dahi
menghilang, mata kurang dipejamkan, plika nasolabialis mendatar dan sudut
mulut menjadi lebih rendah. Pada kelumpuhan jenis sentral, muka dapat
simetris waktu istirahat, kelumpuhan baru nyata bila penderita disuruh
melakukan gerakan, misalnya menyeringai.

Fungsi pengecepan

Kerusakan nervus VII, sebelum percangan khorda timpani dapat


menyebabkan ageusi pada 2/3 lidah bagian depan. Untuk memeriksanya
penderita disuruh menjulurkan lidah, kemudian kita taruh pada lidahnya
bubuk gula, kina, asam sitrat atau garam dan garam. Bila bubuk ditaruh,
penderita tidak boleh menarik lidahnya ke dalam mulut, sebab bila lidah
ditarik ke dalam mulut, bubuk akan akan tersebar melalui lidah ke bagian
lainnya, yaitu ke sisi lidah lainnya atau ke bagian belakang lidah yang
persarafnnya diurus oleh saraf lain. Penderita disuruh menyatakan
pengecepan yang dirasakannya dengan isyarat, misalnya 1 untuk rasa manis,
2 untuk rasa pahit, 3 untuk rasa asin, dan 4 untuk rasa asam.

9
Saraf otak VIII (nervus vestibulo-kokhlearis)

Pemeriksaan saraf kokhlearis

Ketajaman pendengaran. Secara kasar ketajaman pendengaran ditentukan


dengan jalan menyuruh penderita mendengarkan suara bisikan pada jarak
tertentu dan membandingkannya dengan orang yang normal. Perhatikan pula
apa ada perbedaan antara ketajaman pendengaran telinga kanan dan kiri. Beda
ini penting artinya ditinjau dari perbedaan antara kedua telinga, kita lakukan
pemeriksaan-pemeriksaan Schwabach, Rinne, Weber.

Tes Schwabach. Pada tes ini pendengeran penderita dibandingkan dengan


pendengearan pemeriksa. Garpu tala dibunyikan dan kemudian ditempatkan
di dekat telinga penderita. Setelah penderita tidak mendengarkan bunyi lagi,
garpu tala tersebut ditempatkan di dekat telinga pemeriksa. Bila masih
terdengar bunyi oleh pemeriksa maka dikatakan bahwa Schwabach lebih
pendek. Kemudian garpu tala dibunyikan lagi dan pangkalnya ditekankan
pada tulang mastoid penderita. Disuruh ia mendengarkan bunyinya.

Bila sudah tidak terdengar lagi, maka garpu tala ditempatkan pada tulang
mastoid pemeriksa. Bila pemeriksa masih mendengarkan bunyinya maka
dikatakan bahwa Schwabach lebih pendek.

10
Tes rinne. Pada pemeriksaan ini dibandingkan konduksi tulang dengan
konduksi udara. Pada telinga yang normal, konduksi udara lebih baik dari
pada konduksi tulang. Hal ini didapatkan juga pada tuli perseptif. Akan tetapi,
pada tuli konduktif, konduksi tulang lebih baik dari pada konduksi udara.

Pada pemeriksaan tes Rinne biasanya digunakan garpu tala yang berfrekuensi
128, 256, atau 512 Hz. Garpu tala dibunyikan dan pangkalnya ditekankan
pada tulang mastoid penderita. Ia disuruh mendengarkan bunyinya. Bila tidak
terdengar lagi, garpu tala segera didekatkan pada telinga.

Jika masih terdengar bunyi, maka konduksi udara lebih baik dari konduksi
tulang, dan dalam hal ini dikatakan Rinne positif.

Bila tidak terdengar lagi bunyi, segera setelah garpu tala dipindahkan dari
tulang mastoid ke dekat telinga, kita katakan Rinne negatif.

Tes Weber. Garpu tala yang dibunyikan ditekankan pangkalnya pada dahi
penderita, tepat dipertengahan. Penderita disuruh mendengarkan bunyinya,
dan menentukan pada telinga mana bunyi lebih keras terdengar. Pada orang
yang normal, kerasnya bunyi sama pada telingkiri dan kanan. Pada tuli saraf,
bunyi lebih keras terdengar pada telinga yang sehat, sedang pada tuli
konduktif bunyi lebih keras terdengar pada teling yang tuli. Kita katakan: tes
weber berlateralisasi ke kiri, bila bunyi lebih keras terdengar di bagian kiri.

Dengan ringkas dapat dikatakan bahwa tuli perseptif pendengaran berkurang,


rinne positif dan weber berlateralisasi ke teelinga yang sehat. Pada tuli
konduktif pendengaran berkurang. Rinne negatif dan weber berlateralisasi ke
telinga yang tuli.

Bunyi atau suara yang dapat didengar oleh telinga yang normal berfrekuensi
antara 8-6 sampai kira-kira 32.000 Hz.

Saraf vestibularis

11
Telah dikemukan di atas bahwa gangguan vestibular dapat menyebabkan
antara lain vertigo, nistagmus, kehilangan keseimbangan dan salah tunjuk.
Gejala ini menunjukkan adanya gangguan pada reseptor vestibuler, saraf
vestibularis atau hubungan sentralnya.

Tes untuk menilai keseimbangan

Untuk menilai keseimbangan penderita, dapat dilakukan tes Romberg yang


dipertajam dan tes melangkah di tempat.

Tes Romberg yang dipertajam. Pada tes ini penderita berdiri dengan kaki
yang satu di depan kaki yang lainnya, tumit kaki yang satu berada di depan
jari-jari kaki yang lainnya. Lengan dilipat pada dada dan mata kemudian
ditutup. Tes ini berguna menilai adanya disfungsi sistem vestibular. Orang
yang normal mampu berdiri dalam sikap Romberg yang dipertajam selama
30 detik atau lebih.

Tes melangkah di tempat. Penderita disuruh berjalan di tempat, dengan mata


ditutup, sebanyak 50 langkah dengan kecepatan seperti berjalan biasa.
Sebelumnya dikatakan kepadanya bahwa ia harus berusaha agar tetap di
tempat, dan tidak beranjak dari tempatnya selama tes ini. Tes ini dapat
mendeteksi gangguan sistem vestibular.

Hasil tes ini dianggap abnormal bila kedudukan akhir penderita beranjak
lebih dari 1 meter dari tempatnya semula, atau badan terputar lebih dari 30
derajat.

Salah tunjuk (pasti pointing)

Penderita disuruh merentangkan lengannya dan telunjuknya menyentuh


telunjuk pemeriksa. Kemudian ia disuruh menutup mata mengangkat
lengannya tinggi-tinggi dan kemudian kembali ke posisi semula. Pada
gangguan vestibular didapatkan salah tunjuk, demikian juga dengan
gangguan serebelar. Tes ini dilakukan dengan lengan kanan dan lenan kiri,
selain penderita disuruh mengangkat lengannya tinggi-tinggi, dapat pula

12
dilakukan dengan menurunkan lengan ke bawah sampai vertikal dan
kemudian kembali posisi semula.

Saraf otak IX (nervus glosofaringeus)

Saraf otak X (nervus vagus)

Pemeriksaan

Nervus IX dan X diperiksa bersamaan, karena kedua saraf ini berhubungan


erat satu sama lain, sehingga gangguan fungsinya jarang tersendiri, kecuali
pada bagian yang perifer sekali.

Banyak fungsi saraf ini tidak diperiksa secara rutin karena sukar
melakukannya dan juga tidak penting dalam menegakkan diagnosis, namun
demikian, ada hal yang perlu diperiksa secara rutin.

Fungsi motorik. Dalam memeriksa fungsi motorik, perhatikan kualitias suara


pasien. Apakah suaranya normal? Apakah suaranya berkurang, serak, atau
tidak ada sama sekali? Untuk ini pasien disuruh menyebutkan L aaaaaaaaa.
Pembentukan suara ini dilakukan oleh pita suara. Pada kelumpuhan cabang
nervus X, yaitu nervus faringeus rekurens, didapatkan disfonia. Kelumpuhan
nervus laringeus rekurens dapat disebabkan oleh tekanan pada saraf tersebut,
misalnya oleh tumor, kelenjar yang membengkak atau anerisma. Kemudian
penderita disuruh mengucapkan kata-kata, misalnya : “Ari lari di lorong-
lorong lurus”. Perhatikan apakah ia dalam mengucapkan kata-kata tersebut
dengan baik.

Untuk mengucapkan kata-kata dibutuhkan otot-otot artikulasi, yaitu mulut,


otot lidah, otot laring, dan faring. Jadi artikulasi merupakan kerja sama antara
N V, VII, IX, X dan XII. Kelumpuhan saraf-saraf ini dapat mengakibatkan
penderita tidak mampu mengucapkan kata denganbaik.hal ini disebut disatria.
Perhatikan pula kualitas kata-kata yang diucapkan, apakah bindeng. Pada
kelumpuhan N IX dan X. Palatum molle tidak sanggup menutup jalan ke
hidung waktu berbicara, dan didapatkan suara hidung. Selain itu, bila

13
penderita disuruh mengejan atau menggembungkan pipi, ia tidak sanggup
melakukannya denganb aik karena dara terlepas melalui hidung. Hal ini dapat
dicegah bila lubang hidung ditutup.

Penderita disuruh memakan makanan padat, lunak dan menelan air.


Perhatikan apakah ada salah telan. Kelumpuhan N IX dan X dapat
menyebabkan disfagia. Hal ini sering dijumpai pada hemiparese dupleks,
yang disebut juga sebagai kelumpuhan pseudobulber. Persarafan N IX dan X
adalah bilateral, karenanya kelumpuhan supranuklear baru terjadi bila ada lesi
bilateral.

Penderita disuruh membuka mulut. Perhatikan palatum molle dan faring.


Bagaimana sikap palatum molle, arkus faring dan uvula dalam keadaan
istirahat, dan bagaimana pula bila bergerak, misalnya waktu bernapas atau
bersuara. Bila terdapat parase otot-otot faring dan palatum molle, maka
palatum molle, uvula dan arkus faring sisi yang lumpuh letaknya lebih rendah
dari pada yang sehat. Dan bila bergerak, uvula dari arkus seolah-olah tertarik
ke bagian yang sehat. Bila terdapat parase di kedua belah pihak, maka tidak
didapatkan gerakan gerakan dan posisi uvula dan arkus faring lebih rendah.

Saraf otak XI (nervus aksesorius)

Pemeriksaan

Pemeriksaan otot sterno kleidomastoideus. Perhatikan keadaan otot


sternokleidomastoideus dalam keadaan istirahat dan bergerak. Dalam
keadaan istirahat, kita dapat melihat kontur otot ini. Bila terdapat parase
perifer kita akan melihat adanya atrofi. Pada lesi nuklir (misalnya pada ALS)
kita dapatkan juga fasikulasi (kedutan). Adanya nyeri-tekan 9misalnya pada
miositis) dan adanya atoni dapat ditentukan dengan mempalpasi otot tersebut.
Untuk menentukan atau mengukur kekuatan otot dapat dilakukan 2 cara,
yaitu:

14
1. Pasien disuruh menggerakkan bagian badan (persendiaan) yang
digerakkan oleh otot yang ingin kita periksa, dan kita tahan gerakkan
ini.
2. Kita gerakkan bagian badan pasien dan disuruh ia menahannya. Dengan
demikian kita peroleh kesan mengenai kekuatan otot.

Di dalam klinik biasanya cara 1 yang sering dilakukan. Untuk mengukur


tenaga otot sternokleiodomastoideus dapat dilakukan hal berikut: Kita suruh
pasien menoleh misalnya ke kanan. Gerakan ini kita tahan dengan tangan
kita yang ditempatkan di dagu. Dengan demikian dapat dinilai kekuatan otot
sternokleidomastoideus kiri. Bandingkan kekuatan otot kiri dengan kanan..

Pemeriksaan otot trapezius. Perhatikan keadaan otot ini dalam keadaan


istirahat dan bergerak. Apakah ada trofi atau fasikulasi? Bagaimana kontur
otot?

Bagaimana posisi bahu, apakah lebih rendah? Pada kelumpuhan otot


trapezius bahu sisi yang sakit lebih rendah dari pada sisi yang sehat.
Skapiula juga beranjak ke lateral dan tampak agak menonjol. Selain itu, otot
trapezius ini perlu dipalpasi untuk mengetahui konsistensinya, adanya nyeri
tekan serta adanya hipotoni.

Tenaga otot ini diperiksa sebagai berikut: tempatkan tangan kita di atas bahu
penderita. Kemudian penderita disuruh mengangkat bahunya, dan kita
tahan. Dengan demikian dapat dinilai kekuatan otot. Tenaga otot yang kiri
dan kanan dibandingkan. Pada saat ini juga otot trapezius, pasien disuruh
mengekstensikan kepalanya, dan gerakan ini kita tahan. Jika terdapat
kelumpuhan otot trapezius satu sisi, kepala tidak dapat ditarik ke sisi
tersebut, bahu tidak dapat diangkat dan lengan tidak dapat dielevasi ke atas
dari posisi horisontal. Pada kelumpuhan kedua otot ini kepala cenderung
jatuh ke depan, dan penderita tidak dapat mengangkat dagunya.

15
Saraf Otot XII (nervus hipoglosus)

Pemeriksaan

Inspeksi: seluruh penderita membuka mulut dan perhatikan lidah dalam


keadaan istirahat dan bergerak. Dalam keadaan istirahat kita perhatikan
besarnya lidah, kesamaan bagian kiri dan kanan, dan adanya atrofi. Apakah
lidah berkerut? Pada lesi perifer didapatkan atrofi dan lidah berkerut. Selain
itu apakah sikap lidah mencong? Bila lidah digerakkan atau dijulurkan,
perhatikan apakah julurannya mencong. Pada parase satu sisi, lidah
dijulurkan mencong ke sisi yang lumpuh. Pada lesi nervus VII kita
mendapatkan kesukaran dalam menentukan apakah lidah dijulurkan secara
mencong. Hal ini disebabkan karena posisi mulut yang mencong pada
kelumpuhan nervus VII. Untuk mempermudah, sudut mulut perlu diangkat
dan setelah itu baru lidah disuruh dijulurkan. Cara lain: kita dapat memakai
garis di antara kedua gigi seri atas sebagai patokan, sebab garis ini biasanya
terletak di tengah. Selain itu, adakah tremor, fasikulasi dan gerakan yang tidak
terkendali pada lidah.

Tremor lidah dapat dijumpai pada pasien yang sakit berat, demensia
paralitika, dan intoksikasi. Faiskulasi dijumpai pada lesi nuklir, misalnya
pada siringobulbi. Kadang-kadang kita sulit membedakan antara trermor dan
fasikulasi, terlebih lagi pada lidah yang terjulur. Untuk memudahkan
pembedaannya, lidah diistirhatkan pada dasar mulut. Pada keadaan ini,
tremor biasanya berkurang atau menghilang. Pada atetose didapatkan gerakan
yang tidak terkendali. Lidah sulit dijulurkan atau hal ini dilakukan dengan
sekonyong-konyong dan kemudian tanpa kendali ditarik secara mendadak.

Jika terdapat kelumpuhan pada dua sisi, lidah tidak dapat digerakkan atau
dijulurkan. Terdapat disastria dan kesukaran menelan. Selain itu, juga
didapatkan kesukaran bernapas, karena lidah dapat terjatuh ke belakang,
sehingga menghalangi jalan napas.

16
Untuk menilai tenaga lidah kita suruh penderita menggerakkan lidahnya
ke segala jurusan dan perhatikan kekuatan geraknya. Kemudian penderita
disuruh menekankan lidahnya pada pipinya. Kita nilai daya letaknya ini
dengan jalan menekankan jari kita pada pipi sebelah luar. Jika terdapat parase
lidah bagian kiri, lidah tidak dapat ditekanakan ke pipi sebelah kanan, tetapi
ke sebelah kiri dapat..

17
2.2. Pemeriksaan Koordinasi

• Kemampuan mensinergiskan secara normal faktor motorik, sensorik dalam


melakukan gerakan normal.
• Gangguan koordinasi : disfungsi serebelum, sistem motorik, sistem
ekstrapiramidal, gangguan psikomotor, gangguan tonus, gangguan sensorik
(fungsi proprioseptik), dan sistem vestibular.

Equilibrium : gangguan yang mempertahankan keseimbangan, khususnya


pada posisi berdiri.
Non-Equilibrium : gangguan pergerakan anggota gerak yang disengaja
terutama gerakan halus.

EQUILIBRIUM (Romberg test)

Minta pasien berdiri tegak dengan kedua tumit saling bertemu. Pertama
dengan mata terbuka lalu minta pasien untuk menutup mata selama 20 detik

Lesi di Cerebelar : ketika membuka dan menutup mata pasien kesulitan berdiri
tegak dan cenderung berdiri dengan kaki terbuka lebar

Gangguan Proprioseptif : Ketika menutup mata Pasien kesulitan mempertahankan


diri dan jatuh

EQUILIBRIUM (Tandem Gait)

Minta pasien berjalan dengan sebuah garis lurus dengan tumit saling menyentuh
jari kaki lain

18
Lesi di Cerebelar : pasien tidak dapat menjalankan test

NON-EQUILIBRIUM (Finger to Nose test)

Minta pasien menutup mata dan meluruskan lengan kesamping lalu minta pasien
menyentuh hidungnya

Lesi di cerebelar : telunjuk tidak sampai di hidung tetapi melewati atau sampai di
pipi.

NON-EQUILIBRIUM (Heel to knee to toe test)

Pasien berbaring dengan kedua tungkai diluruskan, kemudian diminta mendekatkan


tumit pada lutut kaki yang lain. Minta pasien menggerak tumit naik turun tanpa
mengenai lutut.

19
Lesi di cerebelar : gerakan dilakukan tidak tangkas dan berlebihan dimana tumit
sampai ke paha

NON-EQUILIBRIUM (Finger to finger test)

Pasien diminta merentangkan kedua tangan sambal menutup mata lalu diminta
mempertemukan kedua jari telunjuk.

Lesi di cerebelar : lengan disisi lesi akan ketinggalan sehingga jari sisi yang sehat
melampaui garis tengah

NON-EQUILIBRIUM (Diadokokinesis)

Minta pasien melakukan gerakan pronasi dan supinasi secara berganti-gantian


secara cepat dengan posisi siku diam.

Lesi di cerebelar : gerakan dilakukan lamban dan tidak tangkas

NON-EQUILIBRIUM (Rebound test)

Minta pasien fleksi lengan melawan tahanan yang diberikan pemeriksa. Lalu
lepaskan lengan pasien secara tiba-tiba.

20
Lesi di cerebelar : lengan pasien memukul dirinya sendiri

2.3. Pemeriksaan Sistem Motorik

Memeriksa system motoric harus dimahiri. Sebagian besar manifestasi


objektif kelainan saraf bermanifestasi dalam gangguan gerak otak, justru
manifestasi objek inilah yang merupakan bukti rill adanya suatu kelainan atau
penyakit.

Telah dikemukakan bahwa : sindrom lower motor neuron mempunyai


gejala : lumpuh, atoni, atrofi, dan arefleksi. Sindrom lower motor neuron
didapatkan pada kerusakan di neuron motorik, neuraksis neuron motorik
(misalnya saraf spinal, pleksus, saraf perifer), alat penghubung neuraksis dan
otot (myoneural junction) dan otot. Sindrom upper motor neuron, yang dijumpai
pada kerusakan sistem pyramidal, mempunyai gejala : lumpuh, hipertoni, hiper
refleksi, dan klonus, serta refleks patologis. Kita ketahui pula bahwa
kelumpuhan bukanlah merupakan kelainan yang harus ada pada tiap gangguan
gerak. Pada gangguan gerak oleh kelainan di system ekstrapiramidal dan
serebelar, kita tidak mendapatkan kelumpuhan.

Pada gangguan sistem ekstrapiramidal didapatkan gangguan pada tonus


otot, gerakan otot abnormal yang tidak dapat dikendalikan, gangguan pada
kelancaran gerakan otot volunter dan gangguan gerak-otot asosiatif.

Gangguan pada serebelum mengakibatkan gangguan gerak berupa


gangguan sikap dan tonus. Selain itu, juga terjadi ataksia, dismetria, dan tremor

21
intensi. (Tiga fungsi penting dari serebelum ialah keseimbangan, pengatur tonus
otot, dan pengelola serta pengkoordinasi gerakan volunter).

PEMERIKSAAN
Pada tiap bagian badan yang dapat bergerak harus dilakukan :

1. Inspeksi
2. Palpasi
3. Pemeriksaan gerakan pasf
4. Pemeriksaan gerakan aktif
5. Koordinasi gerakan

1. INSPEKSI

Pada inspeksi diperhatikan sikap, bentuk, ukuran, dan adanya gerak


abnormal yang tidak dapat dikendalikan.

Sikap

Perhatikan sikap secara keseluruhan dan sikap tiap bagian tubuh.


Bagaimana sikap pasien waktu berdiri, duduk, berbaring, bergerak, dan
berjalan.

Jika pasien berdiri, perhatikan sikap dan posisi badannya, baik secara
keseluruhan maupun sebagian. Pasien dengan gangguan serebelum berdiri
dengan muka membelok ke arah kontralateral terhadap lesi, bahunya pada
sisi lesi agak lebih rendah, dan badannya miring ke sisi lesi. Penderita
penyakit Parkinson berdiri dengan kepala dan leher dibungkukkan ke depan,
lengan dan tungkai berada dalam fleksi.

Bila ia jalan, tampaknya seolah-olah hendak jatuh ke depan; gerakan


asosiatifnya terganggu, lengan kurang dilenggangkan, dan terlihat tremor
kasar, terutama di tangan. Pada anak dengan distrofia muskulorum
progresiva terlihat lordosis yang jelas; bila ia berjalan, panggul seolah-olah
berputar dengan maksud agar berat badan berpindah ke tungkai yang sedang

22
bertumpuh. Pada penderita hemiparese oleh gangguan sistem piramidal,
lengan berada dalam sikap fleksi, sedangkan tungkai dalam ekstensi.

Bila ia berjalan, tungkai membuat gerak sirkumdiksi. Pada pasien


dengan paraparese jenis sentral, cara berjalannya seperti gunting, yaitu
tungkai seolah-olah menyilang. Penderita dengan gangguan di
serebelumberjalan dengan kaki mengangkang, demikian juga penderita
tabes dorsalis. Selain itu, penderita tabes dorsalis selalu melihat ke bawah
memperhatikan kaki dan jalannya, sebab kalau tidak, ia akan jatuh. Pasien
polineuritis berjalan seperti ayam, yaitu tungkai difleksikan tinggi-tinggi
pada persendian lutut, supaya dapat mengangkat kakinya yang kurang
mampu melakukan dorsofleksi.

Gerakan bagian tubuh perlu diperhatikan dan dibandingkan. Pada anak


yang sedang meronta atau orang dewasa yang gelisah, bagian yang paretis
terlihat kurang digerakkan.

Bentuk : Perhatikan adanya deformitas.

Ukuran

Perhatikan apakah panjang badan tubuh sebelah kiri sama dengan yang
kanan. Orang dewasa yang mengalami lumpuh sejak masa kanak-kanak,
ukuran ekstremitas yang lumpuh lebih pendek daripada yang sehat.
Kemudian perhatikan besar (isi) kontur (bentuk) otot. Adakah atrofi atau
hipertrofi. Perhatikan kontur (bentuk) otot. Pada atrofi besar otot berkurang
dan bentuknya berubah. Kelumpuhan jenis perifer disertai oleh hipotrofi
atau atrofi.

Perhatikan besarnya otot, bandingkan dengan otot sisi lainnya. Bila


dicurigai adanya atrofi, ukurlah kelilingnya. Pengukuran dilakukan dengan
menyebutkan tempat di mana dilakukan pengukuran. Biasanya digunakan
tonjolan tulang sebagai patokan. Misalnya 3 cm di atas olekranon, atau
patella atau tonjolan lainnya. Setelah itu perhatikan pula bentuk otot. Hal
ini dilakukan dalam keadaan otot beristirahat dan sewaktu berkontraksi.

23
Bila didapatkan atrofi, kontur biasanya berubah atau berkurang.
Pada keadaan pseudo-hipertrofi, ukuran otot tampak lebih besar, namun
tenaganya kurang. Hal ini disebabkan karena jaringan otot diganti oleh
jaringan lemak atau jaringan ikat. Hal ini didapatkan pada distrofia
muskulorum progresiva, dan terjadi di otot betis dan gluteus.

Gerakan involuter (abnormal yang tidak terkendali)

Di antara gerakan abnormal yang tidak terkendali yang kita kenal ialah :
tremor, khorea, atetose, distonia, balismus, spasme, tik, fasikulasi, dan
miokloni.

Gerakan abnormal dapat terjadi dalam berbagai bentuk dan keadaan.


Gerakan abnormal merupakan kontraksi otot-otot volunteer yang tidak
terkendali. Nilainya secara klinis dalam menentukan diagnosis dan
lokalisasi penyakit saraf dapat sangat besar, oleh karenanya harus diamati
dengan baik. Gerakan abnormal ini dapat mengenai tiap bagian tubuh. Ia
timbul karena terlibatnya berbagai bagian sistem motorik, misalnya :
korteks, serabut yang turun dari korteks, ganglia basal, batang otak dan
pusat-pusatnya, serebelum dan hubungan-hubungannya, medulla spinalis,
serabut saraf perifer, atau ototnya sendiri. Sifat gerakan dipengaruhi oleh
letak lesi dan kelainan patologiknya. Lesi pada tempat yang berlainan
kadang dapat menyebabkan gerakan yang identik, dan proses patologis yang
berlainan pada tempat yang sama kadang dapat mengakibatkan bermacam
bentuk gerakan abnormal.

Pada pemeriksaan gerakan abnormal kita harus mengobservasi


penampilan klinisnya dan manifestasi visualnya, menganalisis pola gerakan
dan melukiskan komponen-komponennya. Bila gerakan sesuai dengan
gambaran klinik tertentu yang telah mempunyai nama, nama ini digunakan
untuk gerakan tersebut, tetapi sebaiknya ditambah dengan melukiskan
gerakan tersebut, daripada hanya memberi suatu nama saja. Kadang-kadang
untuk mengetahui gerakan abnormal ini dibutuhkan palpasi, terlebih bila
gerakannya sangat lemah dan terbatas pada sebagian dari kelompok otot.

24
Tremor. Tremor ialah serentetan gerakan involunter, agak ritmis,
merupakan getaran, yang timbul karena berkontraksinya otot-otot yang
berlawanan secara bergantian. Ia dapat melibatkan satu atau lebih bagian
tubuh. Jenis tremor yang perlu kita kenal ialah : tremor normal atau
fisiologis; tremor halus (disebut juga tremor toksik) dan tremor kasar.
Tremor fisiologis didapatkan bila anggota gerak ditempatkan pada posisi
yang sulit, atau bila kita melakukan gerakan volunteer dengan sangat
lambat. Tremor yang terlihat pada orang normal yang sedang marah atau
ketakutan merupakan aksentuasi dari tremor fisiologis ini.
Tremor halus dianggap juga sebagai tremor toksik. Contoh yang khas ialah
tremor yang dijumpai pada hipertiroidi. Tremor ini terutama terjadi pada
jari dan tangan. Kadang-kadang tremor ini sangat halus dan sukar dilihat.
Untuk memperjelasnya, kita tempatkan kertas di atas jari-jari dan tampaklah
kertas tersebut bergetar walaupun tremor belum jelas terlihat. Tremor toksik
ini didapatkan pula pada keracunan nikotin, kafein, obat-obatan seperti
adrenalin, efedrin, atau barbiturat.

Tremor kasar, salah satu contohnya ialah tremor yang didapatkan pada
penyakit Parkinson. Ini merupakan tremor yang lambat, kasar, dan
majemuk. Pada penyakit Parkinson, gerakan jari-jari mirip gerakan
menghitung duit atau membuat pil (pill rolling tremor). Contoh lainnya
adalah tremor intensi. Tremor intensi merupakan tremor yang timbul waktu
melakukan gerakan volunter dan menjadi lebih nyata ketika gerakan hampir
mencapai tujuannya. Tremor ini merupakan tremor kasar, dan dapat
dijumpai pada gangguan serebellum. Pada tes tunjuk-hidung pada pasien
dengan gangguan di serebelum, tremor menjadi lebih nyata pada saat
telunjuk hampir mancapai hidung.

Khorea. Kata khorea berasal dari kata Junani yang berarti menari. Pada
khorea gerak otot berlangsung cepat, sekonyong-konyong, aritmik, dan
kasar yang dapat melibatkan satu ekstremitas, separuh badan atau seluruh

25
badan. Hal ini dengan khas terlihat pada anggota gerak atas (lengan dan
tangan), terutama bagian distal. Pada gerakan ini tidak didapatkan gerakan
yang harmonis antara otot-otot penggerak, baik antar otot yang sinergis
maupun antagonis. Bila pasien disuruh meluruskan lengan dan tangannya,
kita dapatkan hiperekstensi pada falang proksimal dan terminal, dan
pergelangan tangan berada dalam fleksi dengan sedikit dipronasikan. Hal
ini menjadi lebih jelas bila pasien disuruh mengangkat lengannya ke atas.
Jari-jari tangan biasanya akan diregangkan, dan ibu jari diabduksikan dan
terarah ke bawah.

Bila pasien disuruh menggenggam tangan pemeriksa, terasa bahwa


tenaga genggaman tidak konstan (tidak tetap) melainkan berfluktuasi, terasa
melemah kemudian menguat lagi dan seterusnya. Bila khorea melibatkan
lidah, didapatkan kesukaran berbicara atau mengunyah. Jika penderitanya
disuruh mengeluarkan lidah, hal ini dilakukannya secara mendadak dan
kemudian ditariknya kembali.

Gerak khorea dapat dibuat nyata bila pasien disuruh melakukan dua
macam gerakan sekaligus, misalnya ia disuruh menaikkan lengannya ke atas
sambil menjulurkan lidah. Gerakan khorea didapatkan dalam keadaan
istirahat dan menjadi lebih hebat bila ada aktivitas dan ketegangan. Khorea
menghilang bila penderitanya tidur. Gerakan khorea antara lain dijumpai
pada penyakit khorea Sydenham, khorea Huntington, dan khorea
gravidarum.

Atetose. Kata atetose berasal dari kata Yunani yang berarti berubah.
Berlainan dari khorea yang gerakannya berlangsung cepat, mendadak, dan
terutama melibatkan bagian distal, maka atetose ditandai oleh gerakan yang
lebih lamban, seperti gerak ular, dan melibatkan otot bagian distal. Namun
demikian hal ini cenderung menyebar juga ke proksimal. Atetosis dapat
dijumpai pada banyak penyakit yang melibatkan ganglia basal.

26
Distonia. Bila terjadi kerusakan besar pada susunan ekstrapiramidal yang
melibatkan beberapa komponen ganglia basal, didapatkan gejala yang
kompleks. Hal ini dijumpai pada distonia muskulorum deformans, di mana
didapatkan gerakan distonia. Biasanya distonia ini dimulai dengan gerak
otot berbentuk atetose pada lengan atau anggota gerak lain, kemudian
gerakan otot bentuk atetose ini menjadi kompleks, yaitu menunjukkan torsi
yang keras dan berbelit. Gerakan torsi otot (memutar berbelit) terjadi juga
pada otot leher dan punggung, sehingga didapatkan tortikolis dan
tortipelvis. Gerak otot abnormal ini dapat mengakibatkan terjadinya
skoliosis, pes ekuinovarus, pes valgus, dan kontraktur.

Balismus. Balismus (hemibalismus) ialah gerak otot yang datang


sekonyong-konyong, kasar dan cepat, dan terutama mengenai otot-otot
skelet yang letaknya proksimal; sedangkan pada khorea, gerak otot kasar,
cepat, dan terutama melibatkan otot-otot yang agak distal.

Spasme. Spasmus merupakan gerakan abnormal yang terjadi karena


kontraksi otot-otot yang biasanya disarafi oleh satu saraf. Spasme klonik
mulai sekonyong-konyong, berlangsung sebentar dan dapat berulang-ulang.
Spasme tonik dapat berlangsung lama dan terus menerus. Spasme klonik
menyerupai kontraksi otot yang terjadi pada waktu faradisasi. Spasme dapat
timbul karena iritasi saraf perifer atau otot, tetapi dapat juga timbul karena
iritasi di suatu tempat, mulai dari korteks sampai ke serabut otot. Contoh
dari spasme ialah trismus, rhisus sardonikus, dan hiccup. Trismus
merupakan spasme tonik otot pengunyah, dan rhisus sardonikus adalah
spasme tonik pada otot fasial.

Tik (tic). Penyebab tik belum diketahui. Ada pakar yang menganggapnya
sebagai suatu conditioned reflex, ada pula yang mengatakan bahwa faktor
psikogen mempunyai peranan, dan pakar lainnya mengemukakan bahwa
sistem ekstrapiramidal memainkan peranan pula. Tik merupakan suatu

27
gerakan terkoordinir, berulang, dan melibatkan sekelompok otot dalam
hubungan yang sinergistik. Ada tik yang menyerupai spasme klonik, dan
disebutkan sebagai spasme-kebiasaan (habit spasm).

Fasikulasi. Fasikulasi merupakan gerakan halus, cepat, dan berkedut dari


satu berkas (fasikulus) serabut otot atau satu unit motorik. Satu unit motorik
ialah satu sel neuron motorik, aksonnya serta semua serabut otot yang
disarafinya. Gerak fasikulasi biasanya tidak menyebabkan gerakan pada
persendian, kecuali bila fasikulasi terdapat di jari-jari. Dalam hal
sedemikian kadang terjadi gerakan pada persendian.

Penyebab fasikulasi belum jelas benar; iritasi pada sel neuron motorik
dapat menimbulkan fasikulasi. Adanya fasikulasi dapat dibuat lebih nyata
dengan jalan memberikan rangsang mekanis pada otot tersebut, misalnya
dengan pukulan.

Fasikulasi mempunyai nilai prognostik pada penyakit degeneratif yang


melibatkan sel neuran motorik, misalnya ALS (sklerosis amiotrofik lateral).
Makin banyak fasikulasi, makin cepat progresivitas penyakit. Kadang-
kadang fasikulasi dijumpai pada orang yang normal. Dalam hal demikian,
fasikulasi tidak disertai atrofi, Fenomena yang serupa (yang disebut
miokimia) dapat menyebabkan kontraksi spasmodik m. orbikularis okuli,
m. levator palpebra superior atau otot wajah lainnya. Hal ini merupakan
keadaan yang benigna dan dapat dicetuskan oleh kelelahan atau kecemasan.
Fasikulasi benigna dan miokimia sering menimbulkan rasa takut pada
penderitanya, yang mengasosiasikannya dengan penyakit yang berat.

Mioklonik. Mioklonik ialah gerakan yang timbul karena kontraksi otot


secara cepat, sekonyong-konyong, sebentar, aritmik, asinergik, dan tidak
terkendali. Otot yang berkontraksi dapat meliputi sebagian dari satu otot,
seluruh otot atau sekelompok otot-otot tanpa memandang asosiasi
fungsional otot tersebut. Gerak mioklonia ini terutama didapatkan pada
otot-otot ekstremitas dan badan, tetapi ia sering juga difus dan meluas, dan
melibatkan otot muka, rahang, lidah, faring, dan laring. Ia timbul secara

28
paroksismal, pada waktu yang tidak tertentu, baik pada saat istirahat
maupun pada waktu sedang aktif. Namun demikian, ia dapat menjadi lebih
hebat bila ada rangsang emosional, mental, taktil, visual, atau rangsang
auditoar. Ia dapat berkurang bila ada gerakan volunter. Ia dapat timbul pada
saat pasien hendak tertidur, dan biasanya menghilang bila sudah tertidur.

Gerakan miokloni dapat kecil sehingga tidak menyebabkan gerakan pada


persendian, tetapi bila ia mengenai seluruh otot atau sekelompok otot,
gerakannya dapat kuat sehingga mengakibatkan gerakan klonik pada
ekstremitas. Gerakan dapat sedemikian hebat, sehingga satu anggota gerak
seolah-olah terlempar dengan tiba-tiba atau dapat menyebabkan penderita
tercampak jatuh.

2. PALPASI

Pasien disuruh mengistirahatkan ototnya. Kemudian otot ini dipalpasi


untuk menentukan konsistensi serta adanya nyeri-tekan. Dengan palpasi
kita dapat menilai tonus otot, terutama bila ada hipotoni. Penentuan tonus
dilakukan pada berbagai posisi anggota gerak dan bagian badan.

3. PEMERIKSAAN GERAKAN PASIF

Penderita disuruh mengistirahatkan ekstremitasnya. Bagian dari


ekstremitas ini kita gerakkan pada persendiannya. Gerakan dibuat
bervariasi, mula-mula cepat kemudian lambat, cepat, lebih lambat, dan
seterusnya. Sambil menggerakkan kita nilai tahanannya. Dalam keadaan
normal kita tidak menemukan tahanan yang berarti, jika penderita dapat
mengistirahatkan ekstremitasnya dengan baik, terutama anak-anak,
sehingga kita mengalami kesulitan menilai tahanan.
Kadang-kadang tahanan didapatkan pada satu jurusan saja, misalnya
tungkai sukar difleksikan tetapi mudah diekstensikan. Keadaan ini misalnya
didapatkan pada lesi di traktus piramidal. Jangan lupa membandingkan
bagian-bagian yang simetris. Pada gangguan sistem ekstrapiramidal, dapat
dijumpai tahanan yang sama kuatnya (rigiditas). Kadang-kadang dijumpai
keadaan dengan tahanan hilang timbul (fenomen cogwheel).

29
4. PEMERIKSAAN GERAKAN AKTIF

Pada pemeriksaan ini kita nilai kekuatan (kontraksi) otot. Untuk


memeriksa adanya kelumpuhan, kita dapat menggunakan 2 cara berikut :

1. Pasien disuruh menggerakkan bagian ekstremitas atau badannya dan


kita menahan gerakan ini.
2. Kita (pemeriksa) menggerakkan bagian ekstremitas atau badan pasien
dan ia disuruh menahan.

Contoh cara 1 : Pasien disuruh memfleksikan lengan bawahnya dan kita


menghalangi usahanya ini. Dengan demikian, dapat dinilai kekuatan otot
biseps.

Contoh cara 2 : Kita (pemeriksa) ekstensikan lengan bawah pasien dan ia


disuruh menghalangi (menahan) usaha ini. Dengan demikian, dapat dinilai
kekuatan otot biseps.

Jadi dengan kedua cara tersebut di atas dapat dinilai tenaga otot. Dokter
umumnya menggunakan cara 1, yaitu pemeriksa yang menahan. Bila pasien
yang disuruh menahan, ditakutkan kekuatan yang dilakukan oleh dokter
terlalu besar. Bila pasien lumpuh total, tidak sulit untuk memastikannya,
namun bila ia lumpuh sebagian atau parsial, tidak mudah memastikan atau
menilainya. Tenaga orang yang normal berbeda-beda. Misalnya, tenaga
seorang atlit angkat besi jauh lebih kuat daripada tenaga seorang juru tulis.
Tidak selalu mudah membedakan parese (lumpuh) ringan dari tidak ada
parese. Kita mungkin mendapat pertolongan dari beberapa hal berikut yaitu:

1. Keluhan pasien (mungkin ia mengemukakan tenaganya berkurang).


2. Otot dibagian yang simetris tidak sama tenaganya.
3. Berkurangnya kelancaran gerakan. Parese ringan kadang-kadang
ditandai oleh menurunnya kelancaran gerakan.

30
4. Didapatkan gejala lain, misalnya : arefleksi, atrofi, hiperrefleksi, dan
refleks patologis.
5. Dalam praktek sehari-hari, tenaga otot dinyatakan dengan menggunakan
angka dari 0 – 5. (0 berarti lumpuh samasekali, dan 5 = normal).

0 : Tidak didapatkan sedikitpun kontraksi otot; lumpuh total.


1 : Terdapat sedikit kontraksi otot, namun tidak didapatkan gerakan
pada persendian yang harus digerakkan oleh otot tersebut.
2 : Didapatkan gerakan, tetapi gerakan ini tidak mampu melawan gaya
berat (gravitas).
3 : Dapat mengadakan gerakan melawan gaya berat.
4 : Disamping dapat melawan gaya berat ia dapat pula mengatasi
sedikit tahanan yang diberikan.
5 : Tidak ada kelumpuhan (normal).
Contoh tenaga 2 : Pasien mampu menggeser tungkainya di tempat
tidur, namun tidak mampu mengangkatnya (melawan gaya berat).
Berdasarkan pengetahuan di atas dan dibantu oleh pengetahuan anatomi
otot serta gerakan yang dilakukan otot tersebut, kita dapat menilai
tenaga dari bermacam otot. Pada buku ini tidak mungkin
diperbincangkan gerakan semua otot di badan. Pembaca dapat
menggunakan buku anatomi mengenai otot. Di sini akan dikemukakan
beberapa hal saja yang bermanfaat dalam praktek sehari-hari, yaitu
pemeriksaan gerakan kepala, anggota gerak atas, badan, dan anggota
gerak bawah.

Kepala

Perhatikan sikap kepala. Pada paralisis agitans (sindrom Parkinson),


kepala ditekukkan ke depan; pada meningitis, penderita berbaring dengan
kepala dikedikkan ke belakang; pada gangguan di serebelum, kepala
terrotasi sedikit ke arah kontralateral dari lesi.

Periksa apakah ada tahanan jika kepala digerakkan secara pasif. Pada
radang selaput otak didapatkan kaku kuduk. Pada tortikolis juga didapatkan

31
tahanan, demikian juga pada spondilitis servikal. Gerakan aktif diperiksa
dengan menyuruh pasien menekukkan kepala ke depan, ke belakang, ke
samping kiri, dan kanan, serta melakukan gerakan rotasi. Pemeriksa menilai
tenaganya, dan membandingkan tenaga gerakan ke kiri dan ke kanan.

Anggota gerak atas

Perhatikan apakah ada atrofi otot tenar, hipotenar, dan otot intrinsik
tangan. Periksa gerakan jari-jari; bagaimana tenaga fleksi, ekstensi, abduksi,
dan aduksi. Periksa tenaga menggenggam. Hal ini dilakukan dengan
menyuruh pasien menggenggam jari pemeriksa dan kemudian pemeriksa
menarik lepas jari tersebut. Gerakan di pergelangan juga diperiksa, dan
ditentukan tenaganya pada gerakan pronasi dan supinasi. Fleksi dan ekstensi
pada persendian siku, juga diperiksa. Gerakan pada persendian bahu
diperiksa dengan menyuruh pasien menggerakkan lengan yang diekstensi,
pada bidang frontal dan sagital, dan juga melakukan rotasi pada persendian
bahu. Selain itu, juga gerakan bahu ke atas, bawah, depan, dan ke belakang
diperiksa. Setelah itu, periksalah otot pektoralis mayor, latisimus dorsi,
seratus magnus, deltoid, biseps, dan triseps.

Deltoid.

Pasien disuruh mengangkat lengannya yang diluruskan ke samping


sampai di bidang horizontal. Nilailah tenaganya waktu melakukan gerakan
ini.

Biseps.

Lengan yang sudah disupinasi disuruh fleksi pada persendian siku.


Nilailah tenaga fleksi lengan bawah ini.

Triseps.
Lengan bawah yang sudah difleksi disuruh ekstensikan. Nilailah tenaga
ekstensi ini

32
Badan

Erektor spina.

Bila pasien sedang berdiri, suruh ia mengambil suatu barang dari lantai.
Jika pasien menderita kelemahan m. erector spina, ia sukar berdiri kembali;
dan ini dilakukannya dengan bantuan tangannya, yaitu dengan
menempatkan tangannya pada lutut, paha, dan kemudian mendorongnya
sampai ia dapat berdiri lagi. Kadang terlihat juga adanya lordosis.
Otot dinding perut. Pasien yang sedang berbaring disuruh mengangkat
kepalanya dan perhatikan peranjakan dari pusar. Biasanya pusar beranjak
ke arah otot yang sehat. Suruh pasien batuk, otot yang lemah akan
membonjol. Perhatikan apakah pasien dapat duduk dari sikap berbaring
tanpa mendapat bantuan dari tangannya. Otot yang ikut bekerja dalam hal
ini ialah otot dinding perut dan otot iliopsoas.

Anggota gerak bawah

Untuk ini diperiksa gerakan pada : persendian jari-jari, pergelangan kaki,


lutut, paha. Selain itu juga diperiksa otot kuadriseps femoris, iliopsoas,
aduktor, abductor, dan fleksor tungkai bawah.

Kuadriseps femoris. Lutut (tungkai bawah) diekstensikan sambil kita


tahan.
Iliopsoas. Pasien berbaring dan lutut difleksikan. Kemudian paha
difleksikan lebih lanjut sambil ditahan.

Otot aduktor. Pasien berbaring pada sisinya dan tungkai berada dalam
ekstensi. Kemudian tungkai ini diaduksikan sambil ditahan.

Otot abduktor. Tungkai diabduksikan melawan tahanan.


Fleksor tungkai bawah. Tungkai bawah difleksikan sambil ditahan.
Dengan demikian dapat pula dinilaiotot-otot yang memplantarfleksikan dan
mendorsofleksikan kaki dan jari-jari. Bila ditemukan kelumpuhan, perlu
dilakukan pemeriksaan yang lebih rinci dan untuk maksud ini perlu dirujuk
buku anatomi mengenai otot.

33
5. PEMERIKSAAN KOORDINASI GERAKAN

Koordinasi gerak terutama diatur oleh serebelum. Secara sederhana


dapat dikatakan bahwa gangguan utama dari lesi di serebelum ialah adanya
dissinergia, yaitu kurangnya koordinasi. Artinya bila dilakukan gerakan
yang membutuhkan kerjasama antar otot, maka otot-otot ini tidak bekerja
sama secara baik, walaupun tidak didapatkan kelumpuhan. Hal ini terlihat
jika pasien berdiri, jalan, membungkuk, atau menggerakkan anggota badan.
Ada 2 hal yang perlu diperhatikan pada dissinergia ini, yaitu : gangguan
gerakan dan dismetria.

Selain itu, serebelum ikut berpartisipasi dalam mengatur sikap, tonus,


mengintegrasi, dan mengkoordinasi gerakan somatik. Lesi pada serebelum
dapat menyebabkan gangguan sikap dan tonus, dissinergia atau gangguan
koordinasi gerakan (ataksia). Gerakan menjadi terpecah-pecah, dengan lain
perkataan : kombinasi gerakan yang seharusnya dilakukan secara simultan
(sinkron) dan harmonis, menjadi terpecah-pecah dan dilakukan satu per satu
serta kadang simpang siur. Dissinergia ialah kehilangan kemampuan untuk
melakukan gerakan majemuk dengan tangkas, harmonis, dan lancar.
Gejala klinis yang kita dapatkan pada gangguan serebelar ialah adanya:
gangguan koordinasi gerakan (ataksia), disdiadokhokinesia, dismetria,
tremor intensi, disgrafia (makrografia), gangguan sikap, nistagmus,
fenomena rebound, astenia, atonia, dan disartria.

Dismetria. Dismetria pada gerakan, yaitu gerakan yang tidak mampu


dihentikan tepat pada waktunya atau tepat pada tempat yang dituju. Sering
kita jumpai adanya hipermetria, yaitu melampaui tujuan; tetapi sesekali
didapatkan juga adanya hipometria, yaitu gerakan berhenti sebelum sampai
pada tujuan, yang disebabkan karena pasien takut melampaui tujuannya.

Gangguan Gerakan. Gangguan gerakan adalah berkurangnya


kerjasama antar otot. Pada orang normal, bila ia mengedik ke belakang,
pada waktu yang bersamaan ia akan memfleksikan lutut (tungkai) nya untuk
menjaga keseimbangan. Akan tetapi, pada penderita gangguan serebelar,

34
saat mengedikkan badannya ke belakang, ia selalu menegangkan
tungkainya, sehingga ia berada dalam bahaya akan jatuh. Selain itu,
gangguan koordinasi gerakan dapat diketahui dengan melihat adanya
disdiadokokinesia.

Disdiadokokinesia.Hal ini merupakan ketidakmampuan melakukan


gerakan yang berlawanan berturut-turut. Suruh pasien merentangkan kedua
lengannya ke depan, kemudian suruh ia mensupinasi dan pronasi lengan
bawahnya (tangannya) secara bergantian dan cepat. Pada sisi lesi, gerakan
ini dilakukan lamban dan tidak tangkas.

Tremor intensi. Tremor intensi ialah tremor yang timbul bila


melakukan gerak volunter (dengan kemauan), dan menjadi lebih nyata bila
menghampiri tujuannya. Tremor intensi dapat pula diperiksa dengan jalan
menyuruh pasien mengambil benda yang kecil, makin dekat ia pada benda
tersebut, makin jelas tremor pada tangannya.

Pada dismetria, luas, jalan, serta cepatnya gerakan tidak adekuat.


Penderita seolah-olah mengingkari dalil yang mengatakan bahwa jarak yang
terpendek antara dua titik ialah satu garis lurus. Hipermetria terlihat bila ia
berjalan, dalam hal ini gerakan kaki ke atas dan ke bawah berlebihan. Selain
itu, bila ia disuruh melakukan suatu gerakan, maka gerakan ini melampaui
tujuannya. Hipermetria ini terutama menyatakan diri dalam adanya
kecenderungan untuk hiperfleksi. Anggota gerak bawah lebih banyak
terkena daripada anggota gerak atas. Gangguan serebelum dapat diperiksa
dengan berbagai cara yaitu : percobaan tunjuk hidung, percobaan jari-jari,
percobaan tumit lutut, dan pemeriksaan tentang adanya disgrafia.

Percobaan tunjuk-hidung. Pasien disuruh menutup mata dan


meluruskan lengannya ke samping, kemudian ia disuruh menyentuh
hidungnya dengan telunjuk. Pada lesi serebelar telunjuk tidak sampai di
hidung tetapi melewatinya dan sampai di pipi. Bila jari mendekati hidung
terlihat tremor (tremor intensi) atau pasien disuruh menunjuk telunjuk
pemeriksa, kemudian menunjuk hidungnya, berulang-ulang.

35
Percobaan jari-jari. Penderita disuruh merentangkan kedua lengannya
ke samping sambil menutup mata. Ia kemudian disuruh mempertemukan
jari-jarinya di tengah depan. Lengan di sisi lesi akan ketinggalan dalam
gerakan ini, dan mengakibatkan jari sisi yang sehat melampaui garis tengah.

Percobaan tumit-lutut. Penderita berbaring dengan kedua tungkai


diluruskan, kemudian ia disuruh menempatkan tumit pada lutut kaki yang
lain. Tumit ini tidak tepat mengenai lutut. Terlihat pasien mengadakan fleksi
lutut yang berlebihan sehingga tumit melampaui lutut dan sampai di paha.

Disgrafia. Hal ini biasanya dalam bentuk makrografia. Karena ada


dismetria dalam bentuk hipermetria, terlihat huruf dituliskan besar-besar
dan kadang makin lama makin besar. Selain itu, bentuk hurufnyapun tidak
bagua dan kaku.

Tes gangguan fungsi serebelar terutama didasarkan atas adanya


dissinergia, yang berupa gangguan gerakan dan hipermetria. Perlu rasanya
diketahui bahwa gejala gangguan serebelar sering makin lama makin
berkurang atau menghilang. Hal ini disebabkan karena ada kompensasi atau
karena pusat-pusat lain di otak mengambil alih tugas serebelum ini. Hal
demikian jarang dijumpai pada kerusakan sistem lainnya. Jadi, walaupun
kita menjumpai gejala gangguan serebelar pada masa akut, hal ini mungkin
berkurang atau tidak ada lagi pada lesi yang sudah lama.

Sikap. Pada lesi serebelar yang unilateral, didapatkan deviasi kepala


dan badan ke sisi lesi dan terdapat pula salah-tunjuk (past pointing) ke arah
lesi. Bila pasien berdiri, badan cenderung jatuh ke arah lesi. Bila ia berjalan,
tungkai diangkat secara berlebihan, lengan kurang dilenggangkan, dan
jalannya berdeviasi ke sisi lesi. Pada lesi serebelum bagian tengah (vermis),
pasien tidak dapat berdiri tegak (lurus), ia akan jatuh ke depan atau
belakang.

Nistagmus. Nistagmus dapat disebabkan oleh lesi di traktus


vestibuloserebelar, vermis, atau pedunkulus serebeli inferior. Ia dapat juga
disebabkan oleh rusaknya hubungan antara serebelum dengan pusat-pusat

36
lain atau lesi serebelum sendiri. Nistagmus dapat pula disebabkan oleh
terganggunya koordinasi otot-otot mata, jadi merupakan asinergia serebeli.
Sikap bola mata yang seharusnya tetap bila ia difiksasi pada satu jurusan
menjadi berubah-ubah, yaitu bola mata bergerak secara spontan cepat ke
arah fiksasi, lalu kembali secara spontan lambat ke posisi semula, kemudian
bergerak lagi ke tempat fiksasi, kembali lagi ke posisi semula dan
seterusnya bolak-balik. Hal ini disebut nistagmus (gerak ritmik bola mata).
Untuk memeriksanya, mata pasien disuruh mengikuti jari pemeriksa yang
digerakkan ke samping kiri, kanan, atas, dan bawah. Perhatikan adanya
nistagmus dan tentukan apakah ada komponen lambat dan cepat.

Fenomena rebound. Pada gangguan serebelar, fenomena rebound


berarti tidak mampu menghentikan gerakan tepat pada waktunya. Dalam hal
ini, penderita disuruh meluruskan lengannya. Kemudian ia disuruh menarik
tangannya ke arah bahunya atau hidung sambil kita halangi (berikan
tahanan). Bila tahanan kita lepas secara mendadak, gerakan fleksi ini tidak
segera berhenti dan tangan akan memukul bahu atau mukanya dengan keras.
Jadi, terlihat ketidakmampuan menghentikan gerakan dengan segera atau
menggantikannya dengan antagonisnya.

Astenia. Astenia adalah lekas lelah dan bergerak lamban. Hal ini juga
merupakan gejala dari gangguan serebelar. Otot lekas lelah dan lemah
(walaupun tidak ada parese). Gerakan dimulai dengan lamban, demikian
juga dengan kontraksi dan relaksasi.

Hipotonia. Adanya hipotonia dapat diketahui dengan jalan palpasi dan


pemeriksaan gerak pasif. Pada hipotonia, ekstensi dapat dilakukan lebih
jauh, misalnya pada persendian paha, siku, lutut, dsbnya. Hipotonia dapat
pula terlihat pada persendian, yaitu bertambah lamanya bagian anggota
gerak bergoyang, jika kita goyangkan bagian proksimal dari persendian
tersebut. Misalnya pasien disuruh melemaskan tangannya dan kita pegang
lengan bawah dan goyang-goyangkan, terlihat goyangan tangan yang lebih
lama (pendulousness); atau bahu dipegang dan digoyangkan, sedang lengan
disuruh lemaskan goyangan lengan akan lebih lama.

37
Tes mengenai gangguan serebelar masih banyak lagi, namun bila
pemeriksaan tersebut di atas dilakukan dengan baik, maka hal ini sudah
memadai.

2.4. Pemeriksaan Refleks

Pakar yang pertama kali diketahui menggunakan kata refleks ialah Rene
Descartes , pada tahun 1662. Ia melukiskan refleks memejam (refleks
ancaman); pada refleks ini, suatu pukulan yang diancamkan ke mata
menyebabkan mata dipejamkan. Kata refleks dibentuk dari; melihat objek yang
mendekat memberikan refleksi di otak. Secara sederhana dapat dikatakan
bahwa refleks ialah jawaban atas rangsangan.

Refleks neurologik bergantung pada suatu lengkungan (lengkung refleks)


yang terdiri atas jalur aferen yang dicetuskan oleh reseptor dan sistem eferen
yang mengaktivasi organ efektor, serta hubungan antara kedua komponen ini.
Misalnya refleks tendon lutut timbul karena adanya rangsang (ketokan),
reseptor, serabut aferen, ganglion spinal, neuron perantara, sel neuron motorik,
serabut aferen dan efektor (otot). Hal ini dinamakan lengkung refleks (reflex
arc).

Bila lengkung ini rusak maka refleks akan hilang. Selain di lengkungan tadi
didapatkan pula hubungan dengan pusat- pusat yang lebih tinggi di otak yang
tugasnya memodifikasi refleks tersebut. Bila hubungan dengan pusat yang lebih

38
tinggi ini terputus, misalnya karena kerusakan pada sistem piramidal, hal ini akan
mengakibatkan refleks meninggi.

Jenis refleks

Bila dibandingkan dengan pemeriksaan- pemeriksaan lainnya, misalnya


pemeriksaan sensibilitas, maka pemeriksaan refleks kurang bergantung
kepada kooperasi pasien. Ia dapat dilakukan pada orang yang menurun
kesadarannya, bayi, anak, orang yang rendah inteligensinya dan orang yang
gelisah. Itulah sebabnya pemeriksaan refleks penting nilainya, karena
lebih objektif dari pemeriksaan lainnya. Dalam praktek sehari- hari kita
biasanya memeriksa 2 macam refleks, yaitu refleks dalam dan refleks
superfisial

A. Refleks Dalam (refleks regang otot)

Refleks dalam timbul oleh regangan otot yang disebabkan oleh


rangsangan, dan sebagai jawabannya maka otot berkontraksi. Refleks dalam
juga dinamai refleks regang otot (muscle stretch reflex). Nama lain bagi
refleks dalam ini ialah refleks tendon, refleks periostal, refleks miotatik
dan refleks fisiologis.

Refleks dalam dapat dinamai menurut otot yang bereaksi atau menurut
tempat merangsang, yaitu tempat insersio otot. Misalnya refleks
kuadriseps femoris disebut juga refleks tendon lutut atau refleks patela.

39
Telah dikemukakan di atas bahwa timbulnya refleks ini ialah karena
teregangnya otot oleh rangsang yang diberikan dan sebagai jawaban otot
berkontraksi. Rasa- regang (ketok) ini ditangkap oleh alat penangkap
(reseptor) rasa- proprioseptif, karena itu refleks ini juga dinamai refleks
proprioseptif. Contoh dari refleks dalam ialah refleks kuadriseps femoris
glabela.

B. Refleks Superfisialis

Refleks ini timbul karena terangsangnya kulit atau mukosa yang


mengakibatkan berkontraksinya otot yang ada di bawahnya atau di
sekitarnya. Jadi bukan karena teregangnya otot seperti pada refleks dalam.

C. Tingkat Jawaban Refleks

Jawaban refleks dapat dibagi atas beberapa tingkat, yaitu :

 - (negatif) : tidak ada refleks sama sekali


 ± : kurang jawaban, jawaban lemah
 + : jawaban normal
 ++ : jawaban berlebihan, refleks meningkat

Tidak ada batas yang tegas antara tingkat refleks yang dikemukakan
di atas, yaitu : tidak ada batas yang tegas antara refleks lemah, refleks
normal dan refleks meningkat. Bila refleksinya negatif, hal ini mudah
dipastikan. Pada refleks yang meninggi, daerah tempat memberikan
rangsang biasanya bertambah luas. Misalnya refleks kuadriseps femoris,
bila ia meninggi, maka tempat merangsang tidak saja di tendon patella,
tetapi dapat meluas sampai tulang tibia. Kontraksi otot pun bertambah
hebat, kadang- kadang didapatkan klonus, yaitu otot berkontraksi secara
klonik. Pada refleks yang lemah, kita perlu mempalpasi otot untuk
mengetahui apakah ada kontraksi. Kadang- kadang kita perlu pula
melakukan sedikit upaya untuk memperjelas refleks yang lemah. Hal ini
misalnya dilakukan dengan membuat otot yang diperiksa berada dalam
kontraksi enteng sebelum dirangsang. Misalnya bila kita hendak

40
memeriksa refleks kuadriseps femoris, kita suruh pasien mendorongkan
tungkai bawahnya sedikit ke depan sambil kita menahannya, baru
kemudian kita rangsang (ketok) pada tendon di patella. Selain itu, juga
perhatian penderita perlu dialihkan, misalnya dengan menyuruhnya
menarik pada kedua tangannya yang saling bertautan.

Refleks yang meninggi tidak selalu berarti adanya gangguan


patologis, tetapi bila refleks pada sisi kanan berbeda dari sisi kiri, besar
sekali kemungkinan bahwa hal ini disebabkan oleh keadaan patologis.
Simetri memang penting dalam penyakit saraf. Kita mengetahui
bahwa simetri sempurna tidak ada pada tubuh manusia. Walaupun
demikian, banyak pemeriksaan neurologis didasarkan atas tanggapan
bahwa bagian tubuh adalah sama atau simetris. Tiap refleks dalam
dapat meninggi secara bilateral, namun hal ini tidak selalu berarti
adanya lesi piramidal. Lain halnya kalau peninggian refleks bersifat
asimetris. Karenanya harus diingat bahwa : pada pemeriksaan refleks
jangan lupa membandingkan bagian- bagian yang simetris (kiri
dan kanan). Asimetris dapat menunjukkan adanya proses patologis.

D. Pemeriksaan refleks

Sebetulnya banyak refleks yang dapat dibangkitkan, tiap otot bila


diketok pada insersinya akan berkontraksi dan merupakan suatu refleks.
Pada makalah ini penyusun hanya mengemukakan refleks yang lazim
diperiksa pada pemeriksaan rutin.

Refleks glabela. Pukulan singkat pada glabela atau sekitar daerah


supraorbitalis mengakibatkan kontraksi singkat kedua otot orbikularis
okuli. Pada lesi perifer nervus fasialis, refleks ini berkurang atau negatif,
sedangkan pada sindrom Parkinson refleks ini sering meninggi. Pusat
refleks ini terletak pada pons.

Refleks biseps. Kita pegang lengan pasien yang di semifleksikan sambil


menempatkan ibu jari di atas tendon otot biseps. Ibu jari kemudian diketok;

41
hal ini mengakibatkan gerakan fleksi lengan bawah. Pusat refleks ini
terletak di C5- C6.

Refleks triseps. Kita pegang lengan bawah pasien yang difleksikan


setengah (semifleksi). Setelah itu, diketok pada tendon insersi m.triseps,
yang berada sedikit di atas olekranon. Sebagai jawaban, ini lengan bawah
mengadakan gerakan ekstensi. Lengkung refleks melalui nervus radialis
yang pusatnya terletak di C6- C8.

Refleks radius. Lengan bawah difleksikan serta dipronasikan sedikit.


Kemudian diketok pada prosesus stiloideus radius. Sebagai jawaban lengan
bawah akan berefleksi dan bersupinasi. Lengkung refleks melalui nervus
radialis, yang pusatnya terletak di C5- C6.

Refleks- dalam dinding perut. Dinding perut pasien, yang disuruh


berbaring, ditekan sedikit dengan jari telunjuk atau dengan penggaris,
kemudian diketok. Otot dinding perut akan berkontraksi. Terlihat pusar
akan bergerak ke arah otot yang berkontraksi. Lengkung refleks ini melalui
Th6- Th12. Pada orang normal, kontraksi dinding perut sedang saja; pada
orang yang penggeli reaksi ini dapat kuat. Reaksi dinding perut ini
mempunyai nilai yang penting bila ditinjau bersama- sama dengan refleks
superfisialis dinding perut. Bila refleks- dalam dinding perut meninggi,
sedang refleks superfisialisnya negatif, maka hal ini dapat menandakan
adanya lesi piramidal pada tempat yang lebih atas dati Th6.

Refleks kuadriseps femoris (refleks tendon lutut, refleks patella).


Pada pemeriksaan refleksi ini, tungkai difleksikan dan digantungkan,
misalnya pada tepi tempat tidur. Kemudian, diketok pada tendon muskulus
kuadriseps femoris, di bawah atau di atas patella, (biasanya di bawah
patella). Kuadriseps femoris akan berkontraksi dan mengakibatkan gerakan
ekstensi tungkai bawah. Lengkung refleks ini melalui L2, L3, L4.

Refleks triseps sure ( refleks tendon Achilles). Singkatan Apr sering


digunakan di Indonesia. Tungkai bawah difleksikan sedikit, kemudian kita
pegang kaki pada ujungnya untuk memberikan sikap dorsofleksi ringan

42
pada kaki. Setelah itu, tendon Achilles diketok. Hal ini mengakibatkan
berkontraksinya m.triseps sure dan memberikan gerak plantar fleksi pada
kaki. Lengkung refleks ini melalui S1, S2.

Refleks kornea. Kornea mata disentuh dengan sepotong kapas yang


ujungnya dibuat runcing. Hal ini mengakibatkan dipejamkannya mata
(m.orbikularis okuli). Pada pemeriksaan ini harus dijaga agar datangnya
kapas ke mata tidak dilihat oleh pasien, misalnya dengan menyuruhnya
melirik ke arah yang berlawanan dengan arah datangnya kapas.

Refleks kremaster. Refleks ini dibangkitkan dengan jalan menggorea


atau menyentuh bagian medial pangkal paha. Terlihat skrotum berkontraksi.
Pada lesi traktus piramidalis, refleks ini negatif. Refleks ini dapat negatif
pada orang lanjut usia, varikokel, orkhitis atau epididimitis. Lengkung
refleks ini melalui L1, L2.

E. Refleks Patologis

Pada tahun 1896, Babinski mengemukakan refleks ini di depan Societe


de Biologie di Paris. Ia menyatakan bahwa refleks superfisialis telapak kaki
menjadi berubah gerakannya pada lesi traktus piramidalis, yaitu tidak lagi
mengadakan plantar fleksi seperti pada orang normal, tetapi dorso fleksi ibu
jari kaki disertai gerakan mekar jari- jari lainnya. Kemudian diketahui pula
bahwa gerakan refleks ini dapat meluas dengan gerakan dorso fleksi pada
pergelangan kaki, fleksi tungkai bawah dan fleksi tungkai atas. Jadi,
merupakan fleksi massa dari tungkai. Cara membangkitkan refleks inipun
dapat bermacam- macam.

Banyak macam rangsang yang dapat digunakan untuk


membangkitkannya, misalnya menggores telapak kaki bagian lateral,
menusuk atau menggores dorsum kaki atau sisi lateralnya, memberi
rangsang panas atau rangsang listrik pada kaki, menekan pada daerah
interossei kaki, mencubit tendon Achilles, menekan tibia, fibula, otot betis,
menggerakkan patela ke arah distal, malah pada keadaan yang hebat, refleks

43
dapat dibangkitkan dengan jalan menggoyangkan kaki, menggerakkan
kepala dan juga bila menguap.

Refleks Babinski. Untuk membangkitkan reflkes Babinski, penderita


disuruh berbaring dan istirahat dengan tungkai diluruskan. Kita pegang
pergelangan kaki supaya kaki tetap pada tempatnya. Untuk merangsang
dapat digunakan kayu geretan atau benda yang agak runcing. Goresan harus
dilakukan perlahan, jangan sampai mengakibatkan rasa nyeri, sebab hal ini
akan menimbulkan refleks menarik kaki. Goresan dilakukan pada telapak
kaki bagian lateral, mulai dari tumit menuju pangkal jari. Jika reaksi positif,
kita dapatkan gerakan dorso fleksi ibu jari, yang dapat disertai gerak
mekarnya jari- jari lainnya.

Telah dikemukakan cara membangkitkan refleks patologis ini


bermacam- macam, di antaranya dapat disebut :

 Cara Chaddock : rangsang diberikan dengan jalan menggoreskan


bagian lateral melolus.
 Cara Gordon : memencet (mencubit) otot betis
 Cara Oppenheim : mengurut dengan kuat tibia dan otot tibialis
anterior. Arah mengurut ke bawah (distal)
 Cara Gonda : memencet (menekan) satu jari kaki dan
kemudian melepaskannya sekonyong- konyong.
 Cara Schaefer : memencet (mencubit) tendon Achilles

Klonus. Kita telah mempelajari bahwa salah satu gejala kerusakan pyramidal
ialah adanya hiperfleksi.Bila hiperfleksi ini hebat dapat terjadi klonus.Klonus ialah
kontraksi ritmik dari otot, yang timbul bils otot diregangkan secara pasif. Klonus
merupakan reflex regang otot yang meninggi dan dapat dijumpai pada lesi
supranuklir (UMN , pyramidal ). Ada orang normal yang mempunyai hiperfleksi
fisiologis ; pada mereka ini dapat terjadi klonus, tetapi klonusnya berlangsung
singkat dan disebut klonus abortif. Bila klonus berlangsung lama ,hal ini dianggap
patologis. Klonus dapat dianggap sebagai rentetan reflex regang otot, yang dapat
disebabkan oleh lesi pyramidal. Pada lesi piramidal (UMN

44
(uppermotorneuron) supranuklir) kita sering mendapatkan klonus di
pergelangan kaki, lutut dan pergelangan tangan.

Klonus kaki. Klonus ini dibangkitkan dengan jalan meregangkan otot


gastroknemius. Pemeriksa menempatkan tangannya di telapak kaki
penderita, kemudian telapak kaki ini didorong dengan cepat (dikejutkan)
sehingga terjadi dorso fleksi sambil seterusnya diberikan tahanan
enteng.Hal mengakibatkan teregangnya otot betis.Bila ada klonus, maka
terlihat gerakan ritmik (bolak-balik) dari kaki, yaitu berupa plantar fleksi
dan dorso ieksi secara bergantian.

Klonus patela. Klonus ini dibangkitkan dengan jaian meregangkan otot kuadriseps
femoris.Kita pegang patela penderita, kemudian didorong dengan kejutan (dengan
cepat) ke arah distal sambil diberikan tahanan enteng. Biia terdapat klonus, akan
terlihat kontraksi ritmik otot kuadriseps yang mengakibatkan gerakan bolak-balik
dari patela. Pada pemeriksaan ini tungkai harus diekstensikan serta dilemaskan.

45
KESIMPULAN

Pemeriksaan tingkat kesadaran dapat dilakukan secara kuantitatif maupun


kualitatif. Glasgow coma scale (GCS) merupakan pemeriksaan tingkat kesadarang
yang sering digunakan karena lebih praktis untuk dokter umum maupun perawat
karena patokan/kriteria yang lebih jelas dan sistematis. GCS ini disamping untuk
menentukan tingkat kesadaran, juga berguna untuk menentukan prognosis
perawatan suatu penyakit.

Rangsangan selaput otak (rangsang meningens) adalah gejala yang timbul akibat
beberapa kondisi seperti peradangan pada selaput otak (meningitis) atau adanya
benda asing pada ruang subaraknoid (perdarahan subaraknoid, zat kimia (kontras),
dan invasi neoplasma (meningitis carcinoma). Pemeriksaan rangsang meningeal
yang dapat dilakukan, kaku kuduk, tanda Lasegue, Kernig, Brudzinski l
(Brudzinski’s neck sign), dan Brudzinski ll , (Brudzinski contralateral leg sign),
Brudzinski III dan Brudzinski IV.

Gangguan pergerakan meliputi kelainanan yang bersifat primer misalnya pada


lesi upper motor neuron (UMN) atau lower motor neuron (LMN) dan sekunder
misalnya pada ganglia basalis dan serebelum. Klien sering datang ke dokter karena
tubuh bagian tertentu tidak bisa bekerja dengan baik. Sebagian besar manifestasi
obyektif kelainan saraf tampak dalam bentuk gangguan gerak otot.

Refleks adalah jawaban terhadap suatu perangsangan. Gerakan yang timbul


disebut gerakan reflektorik. Seluruh gerakan reflektorik merupakan gerakan yang
bangkit untuk penyesuaian diri, baik untuk menjamin ketangkasan gerakan
volunter, maupun untuk membela diri. Bila suatu perangsangan dijawab dengan
bangkitnya suatu gerakan, menandakan bahwa daerah yang dirangsang dan otot
yang bergerak secara reflektorik terdapat suatu hubungan. Lintasan yang
menghubungkan reseptor dan efektor itu dikenal sebagai busur refleks.

46
DAFTAR PUSTAKA

Lumbantobing SM. Neurologi Klinik : Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta :


Balai Penerbitan FKUI; 2007

Prof. Dr. Mahar Mardjono dan Prof. dr. Priguna Sidharta. Neurologi Klinis Dasar.
Penerbit Dian Rakyat; 2008

Buku Ajar Neurologi FK UI, Jakarta : 2017

iii

Anda mungkin juga menyukai