Anda di halaman 1dari 27

REFRESHING

PEMERIKSAAN FISIK NEUROLOGI

Pembimbing :
dr. Irfan Taufik, Sp.S

Disusun Oleh :
Zaki Ahmad Hakiqi (2015730137)

KEPANITERAAN KLINIK NEUROLOGI

RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA PONDOK KOPI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

2019

2
KATA PENGANTAR

Dengan mengucap syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT, karena atas


rahmat dan hidayah-Nya Laporan Refreshing ini dapat terselesaikan dengan baik.
Referat ini disusun sebagai salah satu tugas kepanitraan klinik stase neurologi
Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta di RS.
Islam Jakarta Pondok Kopi.

Dalam penulisan laporan referat ini, tidak lepas dari bantuan dan kemudahan
yang diberikan secara tulus dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis
menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Irfan Taufik, Sp.S
sebagai dokter pembimbing.

Dalam penulisan laporan refreshing ini tentu saja masih banyak kekurangan
dan jauh dari sempurna, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, kritik dan
saran yang bersifat membangun akan sangat penulis harapkan demi kesempurnaan
referat ini.
Akhirnya, dengan mengucapkan Alhamdulillahirobbil ‘alamin laporan referat
ini telah selesai dan semoga bermanfaat bagi semua pihak serta semoga Allah
SWT membalas semua kebaikan dengan balasan yang terbaik, Aamiin Ya Robbal
Alamin.

Jakarta, 24 Mei 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
PENDAHULUAN...................................................................................................1
PEMBAHASAN......................................................................................................2
2.1. Pemeriksaan Saraf Kranial........................................................................2
2.2. Sistem Sensorik.......................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................23

ii
PENDAHULUAN

 
Neurologi adalah ilmu kedokteran yang mempelajari kelainan, gangguan
fungsi, penyakit, dan kondisi lain pada sistim saraf manusia. Oleh sebab itu
dipelajari pula hal-hal yang secara alami dianggap fungsi sistim saraf normal.
Dalam rangka menegakkan diagnosis penyakit saraf diperlukan pemeriksaan fisik,
Pemeriksaan neurologis meliputi: fungsi cerebral, fungsi nervus cranialis, fungsi
sensorik, fungsi motorik dan refleks.
Selama beberapa dasawarsa ini ilmu serta teknologi kedokteran maju dan
berkembang dengan pesat. Banyak alat dan fasilitas yang tersedia, dan
memberikan bantuan yang sangat penting dalam mendiagnosis penyakit serta
menilai perkembangan atau perjalanan penyakit. Saat ini kita dengan mudah dapat
mendiagnosis perdarahan di otak, atau keganasan di otak melalui pemeriksaan
pencitraan. Kita juga dengan mudah dapat menentukan polineuropati dan
perkembangannya melalui pemeriksaan kelistrikan.
Di samping kemajuan yang pesat ini, pemeriksaan fisik masih tetap
memainkan peranan yang penting. Kita bahkan dapat meningkatkan kemampuan
pemeriksaan di sisi ranjang dengan bantuan alat teknologi yang canggih. Kita
dapat mempertajam kemampuan pemeriksaan fisik alat-alat canggih yang kita
miliki.
Sampai saat ini kita masih tetap dan harus memupuk kemampuan kita untuk
melihat, mendengar, dan merasa, serta mengobservasi keadaan pasien. Dengan
pemeriksaan fisik kita dapat menentukan diagnosis, dan pemeriksaan penunjang
yang dibutuhkan.

1
PEMBAHASAN

2.1. Pemeriksaan Saraf Kranial

Saraf otak ada 12 pasang dan biasanya dinyatakan dengan angka Romawi,
1-XII. Memeriksa saraf otak (I-XII) dapat membantu kita menentukan lokasi
dan jenis penyakit. Tiap saraf otak harus diperiksa dengan teliti.

Nama-nama Saraf Otak

Saraf otak I Nervus olfaktorius

Saraf Otak II Nervus optikus

Saraf Otak III Nervus okulomotorius

Saraf Otak IV Nervus trokhlearis

Saraf Otak V Nervus trigeminus

Saraf Otak VI Nervus abdusen

Saraf Otak VII Nervus fasialis

Saraf Otak VIII Nervus vestibulo-kokhlearis

Saraf otak IX Nervus glosofaringeus

Saraf otak X Nervus vagus

Saraf otak XI Nervus aksesorius

Saraf otak XII Nervus hipoglosus

2
Saraf Otak I (nervus olfaktorius, N.I)

Pemeriksaan

Tujuan pemeriksaan : untuk mendeteksi adanya gangguan menghidu.


Selain itu, untuk mengetahui apakah gangguan tersebut disebabkan oleh
gangguan saraf atau penyakit hidung lokal.

Gangguan pemeriksaan:

Periksa lubang hidung, apakah ada sumbatan atau kelainan setempat,


misalnya ingus, atau polip. Hal ini dapat mengurangi ketajaman
penciuman. Zat pengetes yang digunakan sebaiknya zat yang dikenal
sehari-hari, misalnya kopi, teh, tembakau, jeruk.

Jangan menggunakan zat yang dapat merangsang mukosa hidung (nervus


V) seperti mentol, amoniak, alkohol, dan cuka. Zat pengetes didekatkan ke
hidung pasien dan disuruh ia menciumnya. Tiap lubang hidung diperiksa
satu per satu dengan jalan menutup lubang hidung yang lainnya dengan
tangan.

3
Saraf Otak II (nervus optikus, N.II)

Pemeriksaan

Tujuan pemeriksaan:

a. Mengukur ketajaman penglihatan (visus) dan menentukan apakah


kelainan pada visus disebabkan oleh kelainan okuler lokal atau oleh
kelainan saraf.
b. Mempelajari lapangan pandang
c. Memeriksaa keadaan papil optik

Ketajaman penglihatan. Secara kasar ketajaman penglihatan (acuity of


vision) diperiksa dengan jalan membandingkan ketajaman penglihatan
pasien dengan pemeriksa. Pasien disuruh mengenali benda yang letaknya
jauh dan membaca huruf-huruf yang ada di buku atau koran. Bila
ketajaman mata pasien sama dengan pemeriksa, maka hal ini dianggap
normal.

Lapangan pandang. Secara kasar pemeriksa lapangan pandang dilakukan


dengan jalan membandingkan dengan kampus penglihatan pemeriksa,
yaitu dengan metode konfrontasi dari Donder. Dalam hal ini, penderita
disuruh duduk atau berdiri berhadapan dengan pemeriksa dengan jarak
kira-kira 1 meter. Jika kita hendak memeriksa mata kanan, maka mata kiri
penderita harus ditutup, misalnya dengan tangannya atau kertas sedangkan
pemeriksa harus menutup mata kanannya. Kemudian penderita disuruh
melihat terus pada mata kiri pemeriksa dan pemeriksa harus selalu melihat
ke mata kanan penderita. Setelah itu pemeriksa menggerakkan jari
tangannya di bidang pertengahan antara pemeriksa dengan penderita.
Gerakan dilakukan dari arah luar ke dalam.

4
Saraf otak III, nervus okulomotorius

Saraf otak IV, nervus trokhlearis

Saraf otak VI, nervus abdusen

Pemeriksaan fungsi N III, IV, dan VI saling berkaitan dan diperiksa


bersama-sama. Fungsinya ialah menggerakkan otot mata ekstraokuler dan
mengangkat kelopak mata. Serabut otonom N III mengatur otot pupil.

Cara pemeriksaan:

Selagi berwawancara dengan pasien perhatikan celah matanya apakah


adaptosis, eksoftalmus, enoftalmus dan apakah ada strabismus (jereng).
Selain itu, apakah ia cenderung memejamkan matanya yang kemungkinan
disebabkan oleh diplopia.

Setelah itulakukan pemeriksaan yang lebih teliti mengenai ptosis, besar


pupil, reaksi cahaya pupil, reaksi akomodasi, kedudukan bola mata,
gerakan bola mata dan nistagmus.

Ptosis. Kelumpuhan nervus III dapat menyebabkan terjadinya ptosis, yaitu


kelopak mata terjatuh, mata tertutup, dan tidak dapat dibuka. Hal ini
disebabkan oleh kelumpuhan m.levator palpebrae. Kelumpuhan m.levator
palpebrae yang total mudah diketahui, karena kelopak mata sama sekali
tidak dapat diangkat, mata tertutup. Pada kelumpuhan ringan kita
bandingkan celah mata: pada sisi yang lumpuh celah mata lebih kecil dan
kadang-kadang kita lihat dahi dikerutkan (m.frontalis) untuk
mengkompensasi menurunnya kelopak mata.

Refluks pupil (reaksi caha pupil). Reaksi cahaya pupil terdiri dari reaksi
caha langsung dan tidak langsung. Pada pemeriksaan ini pasien disuruh
melihat jauh setelah itu mata kita senter dan dilihat apakah ada reaksi pada
pupil. Pada keadaan normal pupil mengecil. Bila demikian halnya, disebut

5
reaksi cahaya langsung positif. Kemudian perhatikan pula pupil mata yang
satu lagi, apakah pupilnya ikut mengecil oleh penyinaran mata yang
lainnya itu. Bila demikian, disebut reaksi cahaya tidak langsung positif.

Refleks akomodasi. Penderita disuruh melihat jauh, kemudian ia disuruh


melihat dekat, misalnya jari kita yang ditempatkan dekat matanya. Refleks
akomodasi dianggap positif bila terlihat pupil mengecil. Pada kelumpuhan
nervus III refleks ini negatif.

Posisi bola mata. Perhatikan posisi bola mata apakah mata menonjol atau
seolah-olah masuk ke dalam. Pada eksoftalmus celah mata tampak lebih
besar, sedangkan pada enoftalmus lebih kecil.

Gerakan bola mata. Untuk memeriksa gerakan bola mata, penderita


disuruh mengikuti jari-jari pemeriksa yang digerakkan ke arah lateral,
medial atas, bawah dan ke arah yang miring, yaitu: atas-lateral, bawah
medial, atas-medial dan bawah-lateral. Perhatikan apakah bola mata pasien
dapat mengikutinya, dan perhatikan bagaimana gerakan bola mata, apakah
lancar dan mulus atau kaku.

Nistagmus. Pemeriksaan nistagmus dilakukan waktu memeriksa gerakan


bola mata. Waktu memeriksa gerak bola mata, harus diperhatikan apakah
ada nistagmus. Nistagmus ialah gerak bolak-balik bola mata yang
involunter dan ritmik. Untuk maksud ini penderita disuruh melirik terus ke
satu arah selama jangka waktu 5 atau 6 detik. Jika ada nistagmus hari ini
akan terlihat dalam jangka waktu tersebt. Akan tetapi, mata jangan terlalu
jauh dilirikkan, sebab hal demikian dapat menimbulkan nistagmus pada
orang yang normal.

6
Saraf otak V (nervus trigeminus)

Pemeriksaan

Untuk memeriksa fungsi motorik nervus V dilakukan hal berikut:

Pasien disuruh merapatkan giginya sekuat mungkin dan kemudian ktia


raba m.maseter dan m.temporalis. Perhatikan besarnya, tonus serta
konturnya. Kemudian pasien disuruh membuka mulut dan perhatikanlah
apakah ada deviasi rahang bawah. Bila ada parase maka rahang bawah
akan berdevaiasi ke arah yang lumpuh. Kadang-kadang sulit menentukan
adanya deviasi. Dalam hal demikian dapat digunakan garis antara kedua
gigi insisivus sebagai patikan. Perhatikan kedudukan gigi insisivus atas
dan bawah waktu mulut dibuka, apakah ada deviasi hal yang perlu
dilakukan bila terdapat pula parase nervus VII.

Bagian sensorik dari nervus V diperiksa dengan menyelidiki rasa raba,


rasa nyeri dan suhu daerah-daerah yang disarafinya.

7
Saraf Otak VII (nervus fasialis)

Pemeriksaan

Fungsi motorik

Dalam memeriksa fungsi motorik, perhatikan muka penderita, apakah


simetris atau tidak. Perhatikan kerutan pada dahi, pejaman mata, plika
nasolabialis dan sudut mulut. Bila asimetri muka jelas, maka hal ini
disebabkan oleh kelumpuhan jenis perifer. Dalam hal ini kerutan dahi
menghilang, mata kurang dipejamkan, plika nasolabialis mendatar dan
sudut mulut menjadi lebih rendah. Pada kelumpuhan jenis sentral, muka
dapat simetris waktu istirahat, kelumpuhan baru nyata bila penderita
disuruh melakukan gerakan, misalnya menyeringai.

Fungsi pengecepan

Kerusakan nervus VII, sebelum percangan khorda timpani dapat


menyebabkan ageusi pada 2/3 lidah bagian depan. Untuk memeriksanya
penderita disuruh menjulurkan lidah, kemudian kita taruh pada lidahnya
bubuk gula, kina, asam sitrat atau garam dan garam. Bila bubuk ditaruh,
penderita tidak boleh menarik lidahnya ke dalam mulut, sebab bila lidah
ditarik ke dalam mulut, bubuk akan akan tersebar melalui lidah ke bagian
lainnya, yaitu ke sisi lidah lainnya atau ke bagian belakang lidah yang
persarafnnya diurus oleh saraf lain. Penderita disuruh menyatakan
pengecepan yang dirasakannya dengan isyarat, misalnya 1 untuk rasa
manis, 2 untuk rasa pahit, 3 untuk rasa asin, dan 4 untuk rasa asam.

8
Saraf otak VIII (nervus vestibulo-kokhlearis)

Pemeriksaan saraf kokhlearis

Ketajaman pendengaran. Secara kasar ketajaman pendengaran ditentukan


dengan jalan menyuruh penderita mendengarkan suara bisikan pada jarak
tertentu dan membandingkannya dengan orang yang normal. Perhatikan
pula apa ada perbedaan antara ketajaman pendengaran telinga kanan dan
kiri. Beda ini penting artinya ditinjau dari perbedaan antara kedua telinga,
kita lakukan pemeriksaan-pemeriksaan Schwabach, Rinne, Weber.

Tes Schwabach. Pada tes ini pendengeran penderita dibandingkan dengan


pendengearan pemeriksa. Garpu tala dibunyikan dan kemudian
ditempatkan di dekat telinga penderita. Setelah penderita tidak
mendengarkan bunyi lagi, garpu tala tersebut ditempatkan di dekat telinga
pemeriksa. Bila masih terdengar bunyi oleh pemeriksa maka dikatakan
bahwa Schwabach lebih pendek. Kemudian garpu tala dibunyikan lagi dan
pangkalnya ditekankan pada tulang mastoid penderita. Disuruh ia
mendengarkan bunyinya.

Bila sudah tidak terdengar lagi, maka garpu tala ditempatkan pada tulang
mastoid pemeriksa. Bila pemeriksa masih mendengarkan bunyinya maka
dikatakan bahwa Schwabach lebih pendek.

Tes rinne. Pada pemeriksaan ini dibandingkan konduksi tulang dengan


konduksi udara. Pada telinga yang normal, konduksi udara lebih baik dari
pada konduksi tulang. Hal ini didapatkan juga pada tuli perseptif. Akan
tetapi, pada tuli konduktif, konduksi tulang lebih baik dari pada konduksi
udara.

Pada pemeriksaan tes Rinne biasanya digunakan garpu tala yang


berfrekuensi 128, 256, atau 512 Hz. Garpu tala dibunyikan dan
pangkalnya ditekankan pada tulang mastoid penderita. Ia disuruh

9
mendengarkan bunyinya. Bila tidak terdengar lagi, garpu tala segera
didekatkan pada telinga.

Jika masih terdengar bunyi, maka konduksi udara lebih baik dari konduksi
tulang, dan dalam hal ini dikatakan Rinne positif.

Bila tidak terdengar lagi bunyi, segera setelah garpu tala dipindahkan dari
tulang mastoid ke dekat telinga, kita katakan Rinne negatif.

Tes Weber. Garpu tala yang dibunyikan ditekankan pangkalnya pada dahi
penderita, tepat dipertengahan. Penderita disuruh mendengarkan bunyinya,
dan menentukan pada telinga mana bunyi lebih keras terdengar. Pada
orang yang normal, kerasnya bunyi sama pada telingkiri dan kanan. Pada
tuli saraf, bunyi lebih keras terdengar pada telinga yang sehat, sedang pada
tuli konduktif bunyi lebih keras terdengar pada teling yang tuli. Kita
katakan: tes weber berlateralisasi ke kiri, bila bunyi lebih keras terdengar
di bagian kiri.

Dengan ringkas dapat dikatakan bahwa tuli perseptif pendengaran


berkurang, rinne positif dan weber berlateralisasi ke teelinga yang sehat.
Pada tuli konduktif pendengaran berkurang. Rinne negatif dan weber
berlateralisasi ke telinga yang tuli.

Bunyi atau suara yang dapat didengar oleh telinga yang normal
berfrekuensi antara 8-6 sampai kira-kira 32.000 Hz.

10
Saraf vestibularis

Telah dikemukan di atas bahwa gangguan vestibular dapat menyebabkan


antara lain vertigo, nistagmus, kehilangan keseimbangan dan salah tunjuk.
Gejala ini menunjukkan adanya gangguan pada reseptor vestibuler, saraf
vestibularis atau hubungan sentralnya.

Tes untuk menilai keseimbangan

Untuk menilai keseimbangan penderita, dapat dilakukan tes Romberg


yang dipertajam dan tes melangkah di tempat.

Tes Romberg yang dipertajam. Pada tes ini penderita berdiri dengan kaki
yang satu di depan kaki yang lainnya, tumit kaki yang satu berada di depan
jari-jari kaki yang lainnya. Lengan dilipat pada dada dan mata kemudian
ditutup. Tes ini berguna menilai adanya disfungsi sistem vestibular. Orang
yang normal mampu berdiri dalam sikap Romberg yang dipertajam selama
30 detik atau lebih.

Tes melangkah di tempat. Penderita disuruh berjalan di tempat, dengan


mata ditutup, sebanyak 50 langkah dengan kecepatan seperti berjalan
biasa. Sebelumnya dikatakan kepadanya bahwa ia harus berusaha agar
tetap di tempat, dan tidak beranjak dari tempatnya selama tes ini. Tes ini
dapat mendeteksi gangguan sistem vestibular.

Hasil tes ini dianggap abnormal bila kedudukan akhir penderita beranjak
lebih dari 1 meter dari tempatnya semula, atau badan terputar lebih dari 30
derajat.

Salah tunjuk (pasti pointing)

Penderita disuruh merentangkan lengannya dan telunjuknya menyentuh


telunjuk pemeriksa. Kemudian ia disuruh menutup mata mengangkat

11
lengannya tinggi-tinggi dan kemudian kembali ke posisi semula. Pada
gangguan vestibular didapatkan salah tunjuk, demikian juga dengan
gangguan serebelar. Tes ini dilakukan dengan lengan kanan dan lenan kiri,
selain penderita disuruh mengangkat lengannya tinggi-tinggi, dapat pula
dilakukan dengan menurunkan lengan ke bawah sampai vertikal dan
kemudian kembali posisi semula.

12
Saraf otak IX (nervus glosofaringeus)

Saraf otak X (nervus vagus)

Pemeriksaan

Nervus IX dan X diperiksa bersamaan, karena kedua saraf ini


berhubungan erat satu sama lain, sehingga gangguan fungsinya jarang
tersendiri, kecuali pada bagian yang perifer sekali.

Banyak fungsi saraf ini tidak diperiksa secara rutin karena sukar
melakukannya dan juga tidak penting dalam menegakkan diagnosis,
namun demikian, ada hal yang perlu diperiksa secara rutin.

Fungsi motorik. Dalam memeriksa fungsi motorik, perhatikan kualitias


suara pasien. Apakah suaranya normal? Apakah suaranya berkurang,
serak, atau tidak ada sama sekali? Untuk ini pasien disuruh menyebutkan
L aaaaaaaaa. Pembentukan suara ini dilakukan oleh pita suara. Pada
kelumpuhan cabang nervus X, yaitu nervus faringeus rekurens, didapatkan
disfonia. Kelumpuhan nervus laringeus rekurens dapat disebabkan oleh
tekanan pada saraf tersebut, misalnya oleh tumor, kelenjar yang
membengkak atau anerisma. Kemudian penderita disuruh mengucapkan
kata-kata, misalnya : “Ari lari di lorong-lorong lurus”. Perhatikan apakah
ia dalam mengucapkan kata-kata tersebut dengan baik.

Untuk mengucapkan kata-kata dibutuhkan otot-otot artikulasi, yaitu mulut,


otot lidah, otot laring, dan faring. Jadi artikulasi merupakan kerja sama
antara N V, VII, IX, X dan XII. Kelumpuhan saraf-saraf ini dapat
mengakibatkan penderita tidak mampu mengucapkan kata denganbaik.hal
ini disebut disatria. Perhatikan pula kualitas kata-kata yang diucapkan,
apakah bindeng. Pada kelumpuhan N IX dan X. Palatum molle tidak
sanggup menutup jalan ke hidung waktu berbicara, dan didapatkan suara
hidung. Selain itu, bila penderita disuruh mengejan atau menggembungkan

13
pipi, ia tidak sanggup melakukannya denganb aik karena dara terlepas
melalui hidung. Hal ini dapat dicegah bila lubang hidung ditutup.

Penderita disuruh memakan makanan padat, lunak dan menelan air.


Perhatikan apakah ada salah telan. Kelumpuhan N IX dan X dapat
menyebabkan disfagia. Hal ini sering dijumpai pada hemiparese dupleks,
yang disebut juga sebagai kelumpuhan pseudobulber. Persarafan N IX dan
X adalah bilateral, karenanya kelumpuhan supranuklear baru terjadi bila
ada lesi bilateral.

Penderita disuruh membuka mulut. Perhatikan palatum molle dan faring.


Bagaimana sikap palatum molle, arkus faring dan uvula dalam keadaan
istirahat, dan bagaimana pula bila bergerak, misalnya waktu bernapas atau
bersuara. Bila terdapat parase otot-otot faring dan palatum molle, maka
palatum molle, uvula dan arkus faring sisi yang lumpuh letaknya lebih
rendah dari pada yang sehat. Dan bila bergerak, uvula dari arkus seolah-
olah tertarik ke bagian yang sehat. Bila terdapat parase di kedua belah
pihak, maka tidak didapatkan gerakan gerakan dan posisi uvula dan arkus
faring lebih rendah.

14
Saraf otak XI (nervus aksesorius)

Pemeriksaan

Pemeriksaan otot sterno kleidomastoideus. Perhatikan keadaan otot


sternokleidomastoideus dalam keadaan istirahat dan bergerak. Dalam
keadaan istirahat, kita dapat melihat kontur otot ini. Bila terdapat parase
perifer kita akan melihat adanya atrofi. Pada lesi nuklir (misalnya pada
ALS) kita dapatkan juga fasikulasi (kedutan). Adanya nyeri-tekan
9misalnya pada miositis) dan adanya atoni dapat ditentukan dengan
mempalpasi otot tersebut. Untuk menentukan atau mengukur kekuatan
otot dapat dilakukan 2 cara, yaitu:

1. Pasien disuruh menggerakkan bagian badan (persendiaan) yang


digerakkan oleh otot yang ingin kita periksa, dan kita tahan gerakkan
ini.
2. Kita gerakkan bagian badan pasien dan disuruh ia menahannya.
Dengan demikian kita peroleh kesan mengenai kekuatan otot.

Di dalam klinik biasanya cara 1 yang sering dilakukan. Untuk mengukur


tenaga otot sternokleiodomastoideus dapat dilakukan hal berikut: Kita
suruh pasien menoleh misalnya ke kanan. Gerakan ini kita tahan dengan
tangan kita yang ditempatkan di dagu. Dengan demikian dapat dinilai
kekuatan otot sternokleidomastoideus kiri. Bandingkan kekuatan otot kiri
dengan kanan..

Pemeriksaan otot trapezius. Perhatikan keadaan otot ini dalam keadaan


istirahat dan bergerak. Apakah ada trofi atau fasikulasi? Bagaimana kontur
otot?

Bagaimana posisi bahu, apakah lebih rendah? Pada kelumpuhan otot


trapezius bahu sisi yang sakit lebih rendah dari pada sisi yang sehat.
Skapiula juga beranjak ke lateral dan tampak agak menonjol. Selain itu,

15
otot trapezius ini perlu dipalpasi untuk mengetahui konsistensinya, adanya
nyeri tekan serta adanya hipotoni.

Tenaga otot ini diperiksa sebagai berikut: tempatkan tangan kita di atas
bahu penderita. Kemudian penderita disuruh mengangkat bahunya, dan
kita tahan. Dengan demikian dapat dinilai kekuatan otot. Tenaga otot yang
kiri dan kanan dibandingkan. Pada saat ini juga otot trapezius, pasien
disuruh mengekstensikan kepalanya, dan gerakan ini kita tahan. Jika
terdapat kelumpuhan otot trapezius satu sisi, kepala tidak dapat ditarik ke
sisi tersebut, bahu tidak dapat diangkat dan lengan tidak dapat dielevasi ke
atas dari posisi horisontal. Pada kelumpuhan kedua otot ini kepala
cenderung jatuh ke depan, dan penderita tidak dapat mengangkat dagunya.

16
Saraf Otot XII (nervus hipoglosus)

Pemeriksaan

Inspeksi: seluruh penderita membuka mulut dan perhatikan lidah dalam


keadaan istirahat dan bergerak. Dalam keadaan istirahat kita perhatikan
besarnya lidah, kesamaan bagian kiri dan kanan, dan adanya atrofi.
Apakah lidah berkerut? Pada lesi perifer didapatkan atrofi dan lidah
berkerut. Selain itu apakah sikap lidah mencong? Bila lidah digerakkan
atau dijulurkan, perhatikan apakah julurannya mencong. Pada parase satu
sisi, lidah dijulurkan mencong ke sisi yang lumpuh. Pada lesi nervus VII
kita mendapatkan kesukaran dalam menentukan apakah lidah dijulurkan
secara mencong. Hal ini disebabkan karena posisi mulut yang mencong
pada kelumpuhan nervus VII. Untuk mempermudah, sudut mulut perlu
diangkat dan setelah itu baru lidah disuruh dijulurkan. Cara lain: kita dapat
memakai garis di antara kedua gigi seri atas sebagai patokan, sebab garis
ini biasanya terletak di tengah. Selain itu, adakah tremor, fasikulasi dan
gerakan yang tidak terkendali pada lidah.

Tremor lidah dapat dijumpai pada pasien yang sakit berat, demensia
paralitika, dan intoksikasi. Faiskulasi dijumpai pada lesi nuklir, misalnya
pada siringobulbi. Kadang-kadang kita sulit membedakan antara trermor
dan fasikulasi, terlebih lagi pada lidah yang terjulur. Untuk memudahkan
pembedaannya, lidah diistirhatkan pada dasar mulut. Pada keadaan ini,
tremor biasanya berkurang atau menghilang. Pada atetose didapatkan
gerakan yang tidak terkendali. Lidah sulit dijulurkan atau hal ini dilakukan
dengan sekonyong-konyong dan kemudian tanpa kendali ditarik secara
mendadak.

Jika terdapat kelumpuhan pada dua sisi, lidah tidak dapat digerakkan atau
dijulurkan. Terdapat disastria dan kesukaran menelan. Selain itu, juga
didapatkan kesukaran bernapas, karena lidah dapat terjatuh ke belakang,
sehingga menghalangi jalan napas.

17
Untuk menilai tenaga lidah kita suruh penderita menggerakkan lidahnya
ke segala jurusan dan perhatikan kekuatan geraknya. Kemudian penderita
disuruh menekankan lidahnya pada pipinya. Kita nilai daya letaknya ini
dengan jalan menekankan jari kita pada pipi sebelah luar. Jika terdapat
parase lidah bagian kiri, lidah tidak dapat ditekanakan ke pipi sebelah
kanan, tetapi ke sebelah kiri dapat.

18
2.2. Sistem Sensorik

Manusia tidak dapat mempertahankan hidupnya jika ia tidak tahu adanya bahaya
yang mengancam atau menimpa dirinya. Adanya bahaya dapat diketahui dengan
jalan melihat, mendengar, mencium, dan merasakan rasa-nyeri, rasa-raba, rasa
panas, rasa-dingin dan sebagainya. Inilah yang disebut sistem sensorik. Sistem
sensorik menempatkan manusia berhubungan dengan sekitarnya. Sensasi dapat
dibagi 4 jenis, yaitu: superfisial, dalam, viseral dan khusus.

Pemeriksaan

Pemeriksaan sensibilitas merupakan pemeriksaan yang tidak mudah. Kita


bergantung kepada perasaan penderita, jadi bersifat subjektif. Selain itu, reaksi
seseorang terhadap rangsangan dapat berbeda-beda, malah pada satu orangpun
reaksi tersebut dapat berbeda, tergantung pada keadaannya, apakah ia sedang
lelah, atuau pikirannya terpusat pada hal yang lain. Faktor sugesti juga dapat
berpengaruh. Tidak jarang pasien meng-ia-kan saja apa yang disugestikan oleh
dokter. Misalnya, bila seorang dokter mengajukan pertanyaan yang bernada
sugesti seperti: “Kan disini terasa sakit bila saya tusuk, dan ditempat ini agak
kurang sakitnya, bukan!?” pertanyaan demikian mungkin di “iya” kan saja oleh
pasien. Jadi, sugesti harus dihindarkan pada pemeriksaan sensibilitas.

Agar didapat hasil pemeriksaan yang baik perlu diperhatikan hal berikut: selama
permeriksaan diupayakan agar pasien berada dalam keadaan tenang dan
perhatiannnya dapat dipusatkan pada pemeriksaan. Untuk maksud ini sebagiknya
penderita memejamkan mata. Bila pasien merasa lelah sebaiknya pemeriksaan
ditangguhkan. Namun demikian, kadan-gkadang kita terpaksa melakukan
pemeriksaan dalam keadaan pasien yang tidak tenang: pemeriksaan yang
dilakukan secara kasar ini nilainya kurang telitit.

Pemeriksaan sensibilitas

19
Sebelum kita melakukan pemeriksaan kita tanyakan dulu apakah ada keluhan
mengenai sensibilitas. Bila ada suruh ia menunjukkan tempatnya. Dari bentuk
daerah yang terganggu dapat diduga apakah gangguan bersifat sentral, perifer atau
berbentuk dermatom. Daerah kulit yang disarafi oleh akar posterior dan
ganglionnya disebut dermatom. Pada pasien histeri daerah yang terganggu tidak
sesuai dengan pola anatomik, umumnya batas gangguan amat tegas, sering
berbentuk kaus dan melibatkan seluruh jenis sensibilitas.

Perlu ditanyakan jenis gangguan, intensitasnya, apakah hanya timbul pada waktu-
waktu tertentu, misalnya nyeri kalau dingin: dan juga faktor-faktor yang dapat
mencetuskan kelainan ini. Waktu melakukan pemeriksaan perhatikan daerah-
daerah kulit yang kurang merasa sama sekali tidak merasa atau daerah yang
bertambah perasannya. Bertambahnya perasaan dapat disebabkan oleh iritasi pada
reseptor atau serabut saraf atau karena fenomena pelepasan. Kada disestesia
digunakan untuk menyeatakan adanya perasaan yang berlainan dari rangsang
yang diberikan, misalnya bila pasien diraba ia merasa seolah-olah dibakar atau
semutan. Kata parestesia merupakan perasaan abnormal yang timbul spontan,
biasanya ini berbentuk rasa-dingin, panas, semutan, ditusuk-tusuk, rasa-berat, rasa
ditekan atau rasa gatal.

Pada pemeriksaan sensibilitas eksteroseptif, perlu diepriksa rasa raba, rasa nyeri,
dan rasa suhu

Pemeriksaan rasa raba. Sebagai perangsang dapat digunakan sepotong kapas,


kertas atau kain dan ujungnya diusahakan sekecil mungkin. Hindarkan adanya
tekanan atau pembangkitan rasa nyeri. Periksa seluruh tubuh dan bandingkan
bagian-bagian yang simetris. Thigmestesia berarti rasa raba halus. Bila rasa raba
ini hilnag disebut thigmanesthesia.

Pemeriksaan rasa nyeri. Rasa nyeri dapat dibagi atas rasa-nyer-tusuk dan rasa-
nyeri-tumpul; atau rasa nyeri cepat dan rasa nyeri lamban. Bila kulit ditusuk
dengan jarum kita rasakan nyeri yang mempunyai sifat tajam, cepat timbulnya dan
cepat hilangnya. Nyeri serupa ini disebut nyeri-tusuk. Rasa nyeri yang timbul bila
testis dipijit. Ini disebut nyeri-lamban.

20
Pemeriksaan rasa suhu. Ada dua macam rasa-suhu, yaitu rasa panas dan rasa
dingin. Rangangan rasa-suhu yang berlebihan akan mengakitbatkan rasa nyeri.
Rasa suhu diperiksa dengan menggunakan tabung reaksi yang disi dengan air es
untuk rasa dingin, dan untuk rasa panas dengan air panas. Penderita disuruh
mengatakan “dingin” atau “panas” bila dirangsang dengan tabung reaksi yang
berisi air dingin atau air panas.

Rasa-gerak dan rasa-sikap. Rasa-gerak juga disebut sebagai rasa-kinetik. Rasa-


gerak dirasakan saat tubuh atau bagian tubuh digerakkan secara aktif atau pasif:
jadi, rasa gerak merupakan rasa bahwa seseorang tahu bagian dari tubuhnya
digerakkan. Pada rasa-sikap atau rasa-posisi, seseorang tahu bagaimana sikap
tubuh atau bagian dari tubuh.

Rasa interoseptif

Rasa-interoseptif ialah perasaan dari visera (organ dalam tubuh), yaitu rasa yang
timbul dari organ-organ internal. Seseorang pasien mungkin mengemukakan
gangguan perasaan berupa rasa nyeri, mules atau kembung. Misalnya usus mules,
perut kembung, kandung kencing serasa penuh. Nyeri viseral ini biasanya difus,
tidak tegas lokalisasinya. Pada pemeriksaan neurologi rasa interoseptif ini sukar
dievaluasi dan sukar diperiksa. Selain lokalisasinya yang difus, kita tidak dapat
melakukan tes pada organ yang letaknya di dalam tubuh.

Nyeri Rujukan

Nyeri rujukan (referrred pain) perlu diketahui. Bersamaan dengan nyeri


interoseptif yang diderita seorang pasien, ia mungkin pula mengalami nyeri
somatik, yang mempunyai asal yang reflektoris. Nyeri somatik ini disebut reffered
pain dan biasanya berbentuk hiperalgesia.

Nyeri rujukan ini biasanya didapatkan pada dermatom yang sama atau yang
berdekatan dengan organ internal, sebagai akibat persarafan segmental yang sama,
namun mungkin juga pada tempat yang lebih jauh. Sebagai contoh kami
kemukakan hal berikut: Nervus frenikus mensarafi diafragma dan jaringan di

21
sekitarnya, yaitu jaringan pleura dan jaringan ekstraperitoneal yang berada di
dekat kandung empedu dan hepar. Serabut saraf frenikus ini berasal dari saraf
spinal servikal 3, 4, dan 5. Iritasi kandung empedu, hepar atau bagian tengah
diafragma dapat mengakibatkan rasa nyeri dan hiperestesia di daerah organ
tersebut, tetapi di samping itu kita dapatkan pula rasa nyeri di kuduk dan bahu,
yaitu daerah kutan (kulit_ dari nervus spinal servikal 3, 4 dan 5 tersebut. Nyeri
rujukan ini mungkin disebabkan oleh refleks visero-kutan.

22
DAFTAR PUSTAKA

Lumbantobing SM. Neurologi Klinik : Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta :


Balai Penerbitan FKUI; 2007

Prof. Dr. Mahar Mardjono dan Prof. dr. Priguna Sidharta. Neurologi Klinis Dasar.
Penerbit Dian Rakyat; 2008

23

Anda mungkin juga menyukai