Anda di halaman 1dari 15

Nama: Destiyana Cika Claritha

NIM: 112018175

Pemeriksaan Nervus Kranialis

Saraf otak:

i. Nervus olfaktorius
ii. Nervus optikus
iii. Nervus okulomotorius
iv. Nervus trokhlearis
v. Nervus trigeminus
vi. Nervus abdusen
vii. Nervus fasialis
viii. Nervus vestibulo-kokhlearis
ix. Nervus glosofaringeus
x. Nervus vagus
xi. Nervus aksesorius
xii. Nervus hipoglosus

NERVUS CR. 1 – OLFAKTORIUS

 Serabut saraf sensorik menghidu yang terdapat dalam mukosa hidung


 Cara pemeriksaan:
o Pastikan tidak ada sumbatan atau hambatan dihidung seperti hingus atau polyp
o Gunakan zat-zat yang dipakai setiap hari seperti kopi dan teh. Jangan pakai zat
yang merangsang mukosa hidung kerna sudah melibatkan nervus V
(trigeminus)
 Pemeriksa harus menutup lubang hidung yang tidak diperiksa,
kemudian ambil zat perangsang dan letakkan sekitar 15 cm di bawah
hidung.
 Tanyakan pada pasien adakah dia bisa menghidu bau tersebut dan
mengidentifikasi baunya apa.
 Kemudian lanjutkan pemeriksaan dengan membandingkan lubang
hidung kiri dan kanan.

1
 Interpretasi:
o Gangguan menghidu berarti ada kelainan di sekitar nervus I (olfaktorius). Lesi
bisa terjadi di bulbus atau di traktus olfaktorius.
o Antara contoh kelainan:
 Tumor (ex. meningioma), tumor di dasar lobus frontal menekan traktus
olfaktorius.
 Tumor di alur olfaktorius atau dipinggir tulang sphenoid.
 Infeksi (ex. meningitis basal)
 Trauma kapitis dapat menyebabkan terputusnya serabut olfaktorius.

NERVUS CR. II – OPTIKUS

 Serabut saraf khusus untuk melihat.


 Jalur penghantaran impuls di nervus optikus:
 Serabut bagian medial retina menyimpang ke sisi lainnya di kiasma optik.
 Dari kiasma optic serabut lanjut membentuk traktus optikus ke korpus genikulatum
dan berakhir di lobus oksipital.
 Tujuan pemeriksaan:
i. Mengukur ketajaman penglihatan
ii. Menentukan kelainan visus pada mata itu karena kelainan lokal atau kelainan
saraf.
iii. Untuk memeriksa keadaan papil optik.
 Cara pemeriksaan:
i. Ketajaman penglihatan
1. Ketajaman penglihatan pasien dibandingkan dengan penglihatan
pemeriksa yang harusnya normal atau paling tidak pemeriksa telah
megoreksi penglihatannya (misalnya dengan kaca mata).
2. Pasien disuruh mengenali benda yang letaknya jauh (misalnya jam)
dan diminta untuk menyatakan pukul berapa.
ii. Lapangan pandang
1. Lapangan pandang penderita dibandingkan dengan lapangan pandang
pemeriksa yang dianggap normal (metode konfrontasi).

2
2. Penderita disuruh duduk berhadapan dengan pemeriksa dengan jarak
kira-kira 1 meter.
3. Jika mau memeriksa mata kanan penderita, maka mata kirinya harus
ditutup. Manakala pemeriksa harus menutup mata kanannya.
4. Penderita disuruh tetap melihat pemeriksa.
5. Kemudian pemeriksa menggerakkan jari tangannya antara penderita
dengan pemeriksa.
6. Jika penderita mulai melihat gerakan jari pemeriksa, ia harus
memberitahu.
7. Bila ada gangguan lapangan pandang maka pemeriksa akan lebih
dahulu melihat gerakan tersebut.
iii. Ketajaman penglihatan
1. Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan Snellen Chart.
2. Penderita disuruh membaca Snellen Chart dari jarak 6 meter.
Kemudian ditentukan sampai barisan mana dapat dibaca.
3. Bila ia dapat membaca sampai barisan paling bawah interpretasinya
6/6. Normal.
4. Jika tidak, maka visus nya tidak normal,hal ini dinyatakan dengan
menggunakan pecahan misalnya 6/20. (berarti bahwa huruf yang
seharusnya dapat dibaca dari jarak 20 meter hanya dapat dibaca dari
jarak 6 meter)
5. Setelah ketahuan ada kelainan ketajaman penglihatan, kita lanjutkan
pemeriksaan untuk mengenal pasti samada kausa nya gangguan saraf
atau bukan saraf (oftalmik).
iv. Lapangan pandang
1. Pada pemeriksaan lapangan pandang, kita menentukan batas perifer
dari penglihatan, yaitu sampai mana benda dapat dilihat, jika mata
difiksasi pada satu titik.
2. Pemeriksaan lapangan pandang dilakukan dengan menggunakan
kampimeter atau perimeter.
3. Kampimeter adalah paapan hitam yang diletakkan didepan penderita
pada jarak 1 atau 2 meter, sebagai test object digunakan bundaran kecil
berdiameter 1 sampai 3mm. Mata pasien difiksasi di tengah dan benda

3
penguji digerakkan dari perifer ke tengah dari segala jurusan. Kita
catat tempat pasien mulai melihat test object.
4. Perimeter adalah setengah lingkaran yang dapat diubah-ubah letaknya
pada bidang meridiannya. Cara pemakaian serta cara melaporkan
keadaan sewaktu pemeriksaan serupa dengan kampimeter.
v. Pemeriksaan oftalmoskopik
1. Pemeriksaan oftalmoskopik merupakan pemeriksaan rutin neurologi.
2. Pada pemeriksaan oftalmoskopik, kita memerhatikan perubahan papil.
(papil adalah tempat serabut nervus ii memasuki mata).
3. Perubahan yang boleh berlaku adalah mengalami atrofi (primer atau
sekunder), atau sembab papil.
4. Kita perhatikan juga macula dan retina.
5. Papil normal: lonjong, warna jingga muda, bagian temporal agak
pucat, batas dengan retina jelas atau tegas, hanya bagian nasal agak
kabur, physiologic cup, perbandingan vena arteri – 3:2 atau 5:4.
6. Papil atrophy primer terlihat lamina kribosa, papil menjadi pucat,
berbatas tegas, dan pembuluh darah berkurang.
7. Papil atrophy sekunder tidak ditemukan lamina kribosa, warna papil
pucat, dan batasnya tidak tegas (kabur).
8. Sembab papil: dapat disebabkan pleh radang aktif atau bendungan.
 Kalau disebabkan oleh radang, disebut papilitis/neuritis optic.
Keadaan ini disertai dengan pemburukan visus yang hebat.
 Neuritis retrobulbular terjadi akibat bagian belakang nervus
optic terlibat inflamasi sedangkan papilnya baik.
 Chocked disk adalah keadaan aapabila sembab papil
disebabkan oleh bendungan atau tekanan intrakranial yang
meninggi. Pada keadaan ini ketajaman visus tidak cepat
memburuk kecuali bila terjadi atrofi sekunder.
vi. Cara pemeriksaan oftalmoskopik:
1. Lensa oftalmoskopi disetel sampai puncak papil terlihat jelas, setelah
itu disetel lagi sampai retina terlihat jelas.
2. Pemeriksaan oftalmoskopi sebaiknya dilakukan dalam kamar yang
gelap.

4
3. Untuk memeriksa mata kanan pasien sebaiknya kita menggunakan
mata kanan dan memegang oftalmoskop dengan tangan kanan. Begitu
juga untuk mata kiri.
4. Apabila melihat melalui oftalmoskop biasakan kedua-dua mata
pemeriksa terbuka.
5. Pasien disuruh melihat jauh kedepan dan tidak boleh menggerakkan
bola mata.
6. Apabila menemukan pembuluh darah ikuti sampai ketemu papil.
 Perhatikan warna papil
 Adanya lekuk fisiologis?
 Identifikasi pembuluh arteri yang tampaknya lebih tipis dan
lebih terang ketimbang pembuluh darah vena yang lebih tebal
dan gelap.
 Perhatikan ada pulsasi vena di tempat vena melekuk di
pinggiran lekuk fisiologis.
 Kemudian cari macula.
vii. Interpretasi pemeriksaan oftalmoskopi:
o Pada sembab papil pembengkakan kepala nervus optikus dapat
disertai hiperemia pada diskus dan mangkok fisiologis
menghilang, dan kongesti vena. Jika perubahan masih baru dan
akut mungkin dijumpai perdarahan dari papil ke luar.
o Pelebaran dan pendalaman mangkok fisiologis dapat dijumpai
pada glaucoma yang kronis.
o Pada atrofi optic, papil tampak pucat. Akibat giosis pada kepala
saraf optic bersamaan dengan hilangnya beberapa pembuluh
darah kecil.
 Antara penyebab gangguan nervus optikus:
o Neuritis optika
o Neuritis retrobulbaris
o Papilitis
o Tumor
o Aneurisma
o Karsinoma

5
o Defisiensi vitamin B1, B12
NERVUS CR. III, IV, IV – OKULOMOTORIUS, TROKHLEARIS, ABDUSEN
 Saraf iii – menginervasi m. rektus internus (medialis), m. rektus superior, m. rektus
inferior, m. levator palpebra; serabut visero-motoriknya mengurus m. sfingter pupile
(kontraksi pupil) dan m. siliare (mengatur lensa mata).
 Saraf otak iv – menginervasi m. oblikus superior (menyebabkan mata dapat melirik
kea rah bawah dan nasal.
 Saraf otak vi – menginervasi m. rectus externus (menyebakan mata boleh melirik kea
rah temporal.
 Cara pemeriksaan:
o Selagi menganemnesis pasien perhatikan kondisi mata pasien. Apakah ada
ptosis (kelopak mata jatuh dan mata tertutup tidak dapat dibuka), eksoftalmus,
enoftalmus, dan apakah ada strabismus. Serta apakah ia cenderung
memejamkan matanya yang kemungkinan disebabkan oleh diplopia. Setelah
itu lakukan pemeriksaan yang lebih teliti mengenai ptosis, besar pupil, reaksi
cahaya pupil reaksi akomodasi, kedudukan bola mata, gerakan bola mata dan
nistagmus.
o Pupil:
 Perhatikan besarnya pupil pada mata kiri dan kanan, apakah sama
(isokor), atau tidak sama (anisokor).
 Perhatikan juga bentuk pupil apakah bundar dan rata tepinya (normal).
 Bila pupil mengecil = miosis, bila membesar = midriasis.
o Refleks pupil (reaksi cahaya):
 Reaksi cahaya pupil terdiri dari reflex cahaya langsung (RCL) dan
tidak lansung (RCTL).
 Pasien disuruh melihat jauh, kemudian matanya kita senter dan dilihat
apakah ada reaksi pupil. (normal = pupil mengecil = RCL +)
 Kemudian perhatikan pupil pada mata yang lainnya adakah ikut
mengecil. (normal = mengecil = RCTL +).
 Selama pemeriksaan pasien tidak boleh memfiksasikan matanya pada
lampu senter kerna akan terjadi reflex akomodasi.

6
o Reflex akomodasi:
 Penderita disuruh melihat jauh, kemudian ia disuruh melihat dekat,
misalnya jari kita ditempatkan dekat matanya.
 Refleks akomodasi positif apabila pupil mengecil.
o Kedudukan bola mata:
 Perhatikan bola mata, apakah mata menonjol (eksoftalmus) atau
seolah-olah masuk ke dalam (enoftalmus).
 Eksoftalmus, celah mata tampak lebih besar, sedangkan enoftalmus
lebih kecil.
 Selain itu, perhatikan bagaimana posisi bola mata dalam keadaan
istirahat. Bila satu otot mata lumpuh, hal ini mengakibatkan kontraksi
atau tarikan yang berlebihan dari otot antagonis nya, dan menyebabkan
strabismus.
o Gerakan bola mata:
 Untuk pemeriksaan ini, penderita disuruh mengikuti jari-jari
pemeriksa yang digerakkan kearah lateral, medial atas, bawah dan kea
rah yang miring, yaitu: atas-lateral, bawah-medial, atas-medial, dan
bawah-lateral.
 Perhatikan apakah mata pasien dapat mengikutinya, lancar dan mulus
atau kaku?
o Nistagmus:
 Pemeriksaan nistagmus dilakukan waktu memeriksakan gerakan bola
mata.
 Nistagmus ialah gerakan bolak-balik bola mata yang involunter dan
ritmik.
 Untuk ini penderita diminta melirik terus ke satu arah selama 5-6 detik.
Dalam jangka waktu tersebut akan kelihatan nistagmus.
NERVUS CR. V – TRIGEMINUS
 N. Trigeminus terdiri dari 2 bagian: bagian sensorik (porsio mayor), dan bagian
motorik (porsio minor)
 Motorik menguruskan otot-otot mengunyah, yaitu: m. massetter, m. temporalis
menggerakan rahang ke belakang, m. pterigoid medialis yang berfungsi menutup
mulut, dan m. pterigoideus lateralis yang berfungsi menggerakkan rahang bawah ke

7
samping (lateral) dan membuka mulut. Gabungan kontraksi m. pterigoideus lateralis
dan m. pterigoideus medialis menggerakkan rahang bawah kedepan.
 Bagian sensorik nervus trigeminus:
o Cabang oftalmik: sensibilitas dahi, mata, hidung, kening, selaput otak, sinus
paranasal, dan sebahagian mukosa hidung.
o Cabang maksilaris: sensibilitas rahang atas, gigi atas, bibir atas, pipi, palatum
durum, sinus maksilaris, dan mukosa hidung.
o Cabang mandibularis: sensibilitas rahang bawah, gigi bawah, bibir bawah,
mukosa pipi, 2/3 depan lidah dan sebahagian dari telinga (maetus), dan selaput
otak.
 Cara pemeriksaan:
o Pasien disuruh merapatkan giginya sekuat mungkin dan kemudian kita raba m.
maseter dan m. temporalis. (perhatikan besarnya, tonus serta bentuknya).
o Kemudian pasien diminta untuk membuka mulut dan perhatikan ada tidak
deviasi rahang bawah (jika ada parese, rahang akan berdeviasi kearah yg
lumpuh.
o Kekuatan otot saat menutup mulut dapat dinilai dengan menyuruh pasien
menggigit suatu benda dan dinilai tenaga gigitannya.
o Kemudian pasien disuruh menggerakkan rahang bawahnya ke samping kiri
dan kanan (untuk menilai m. pterigoideus lateralis). Jika terdapat parese,
rahang bawah tidak dapat digerakkan kearah yang bertentangan dengan
bahagian parese.
o Untuk menentukan adanya lesi supranuklir diperiksa reflex rahang (jaw
reflex).
 Pasien disuruh membuka mulut
 Kemudian pemeriksa meletakkan satu jari melintang dagu pasien.
 Setelah itu, jari pemeriksa diketok dengan palu reflex.
 Normal: sedikit saja gerakan atau tiada gerakan sama sekali. Bila
gerakannya hebat sehingga menyebabkan mulut tertutup, dikatakan
reflex meninggi. = lesi di supranuklir.
o Untuk bagian sensorik nervus V, diperiksa dengan menyelidiki rasa raba,
nyeri, dan suhu di daerah-daerah wajah yang di sarafi nervus V.

8
 Beberapa penyebab gangguan Nervus V:
o Neuralgia trigeminus idiopatis
o Trauma kapitis
o Infeksi herpes zoster
o Penyakit Sjogren
NERVUS CR, VII – FASIALIS
 Mengandungi 4 macam serabut yaitu:
o Serabut somato motorik: mensarafi otot-otot wajah (kecuali m levator
palpebrae (N iii), otot platisma, stilohiod, digastrikus bagian posterior dan
stapedius di telinga tengah.
o Serabut visero-motorik (parasimpatis): mengurus glandula dan mukosa faring,
palatum, rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula submaksilar, serta
sublingual dan lakrimalis.
o Serabut visero-sensorik: menghantar implus dari alat pengecap 2/3 bagian
depan lidah.
o Serabut somato-sensorik: rasa nyeri (mungkin juga suhu dan perabaan) dari
sebahagian daerah kulit dan mukosa yang disarafi nervus trigeminus
o Daerah overlapping (disarafi lebih dari 1 saraf, tumpang tindih) initerdapat
di lidah, palatum, meatus akustikus eksterna dan bagian luar gegendang
telinga.
 Cara pemeriksaan:
o Dalam memeriksa fungsi motorik, perhatikan muka penderita apakah simetris
atau tidak. Perhatikan kerutan pada dahi, pejaman mata, plika nasolabialis dan
sudut mulut. Bila asimetri dari muka jelas, maka ini disebabkan oleh
kelumpuhan jenis perifer.
Dalam hal ini kerutan dahi menghilang, mata kurang dipejamkan, plika
nasolabialis mendatar, dan sudut mulut menjadi rendah.
Kelumpuhan sentral (supranuklir), muka dapat simetris waktu istirahat,
kelumpuhan baru nyata bila penderita disuruh melakukan gerakan.
o Suruh penderita mengangkat alis dan mengerutkan dahi.
 Perhatikan apakah hal ini dapat dilakukan dan adakah asimetri.

9
 Pada kelumpuhan jenis supranuklir sesisi, penderita dapat mengangkat
alis dan mngerutkan dahinya, kerna otot-otot ini mendapat persarafan
bilateral.
 Kelumpuhan perifer terlihat adanya asimetri.
o Suruh penderita memejamkan mata.
 Bila lumpuh berat penderita tidak dapat memejamkan mata; bila
lumpuhnya ringan tenaga pejamannya kurang kuat.
 Hal ini dinilai dengan mengangkat kelopak mata pasien dengan tangan
pemeriksa, sedangkan pasien disuruh tetap memejamkan mata.
o Suruh penderita menyeringai, mencucurkan bibir, mengembungkan pipi.
 Perhatikan apakah ini dapat dilakukan dan apakah ada asimetri.
 Perhatikan sudut mulutnya. Suruh penderita bersiul (tadinya dapat
bersiul menjadi tidak mampu lagi setelah adanya kelumpuhan.
 Pada penderita yang tidak kooperatif atau kesadarannya menurun,
dapat dibuatkan menyeringai bila kepadanya diberi rangsangan nyeri
(menekan pada sudut rahangnya (m. masseter).
o Fungsi pengecapan.
 Kerusakan nervus VII dapat menyebabkan ageusi pada 2/3 lidah
bagian depan.
 Untuk memeriksanya penderita disuruh menjulurkan lidah kemudian
kita taruh pada lidahnya bubuk gula, kina, asam sitrat atau garam.
(penderita tidak boleh menarik lidahnya ke dalam mulut).
 Penderita disuruh menyatakan pengecapannya dengan isyarat (contoh:
1 manis, 2 asin, dsb).
 Penyebab gangguan saraf vii
o Strok
o Meningitis viral
o Pasca influenza
o Merokok
o Miksedema
NERVUS CR. VIII – VESTIBULOKOKHLEARIS
 Saraf ini terdiri atas dua bagian, yaitu saraf kokhlearis dan saraf vestibularis. Saraf
kokhlearis mengurus pendengar dan saraf vestibularis mengurus keseimbangan

10
 Gangguan saraf kokhlearis
o Gangguan pada saraf kokhlearis dapat menyebabkan tuli, tinnitus atau
hiperakusis.
o Ada 2 macam ketulian:
 Tuli perseptif atau tuli saraf
 Tuli konduktif, disebut juga tuli obstruktif atau tuli transmisi.
o Tuli saraf dapat disebabkan oleh lesi di:
 Reseptor di telinga dalam
 Nervus kokhlearis
 Inti-inti serta serabut pendengaran di batang otak
 Korteks auditif
o Tinnitus ialah persepsi bunyi berdenging di telinga, yang disebabkan oleh
eksitasi atau iritasi pada alat pendengaran, sarafnya inti serta pusat yang lebih
tinggi. Tinitus dapat juga terjadi pada tuli konduktif. Bunyi yang terdengar
dapat berfrekuensi tinggi atau rendah, dan penderita sering mengemukakan
terdengar bunyi berdenging atau berdesis.
o Hiperakusis atau meningginya ketajaman pendengaran yang bersifat patologis
didapatkan pada paralisis muskulus stapedius, pada migren, psikoneurosis dan
dapat juga merupakan aura dari epilepsy lobus temporalis.
 Pemeriksaan saraf kokhlearis
o Ketajaman pedengaran:
 Ditentukan dengan menyuruh penderita mendengarkan suara bisiskan
pada jarak tertentu dan membandingkannya dengan orang yang
normal.
 Bila ketajaman pendengaran berkurang, atau terdapat perbedaan antara
kedua telinga, kita lakukan pemeriksaan-pemeriksaan Schwabach,
Rinne, Weber dan audiogram.
 Tes Schwabach:
 Pendegaran penderita dibandingkan dengan pendengaran
pemeriksa yang dianggap normal.
 Garpu tala dibunyikan dan kemudian ditempatkan di dekat
telinga penderita. Setelah penderita tidak mendengarkan bunyi
lagi, garpu tala tersebut ditempatkan didekat telinga pemeriksa.

11
Bila masih terdengar bunyi oleh pemeriksa, maka dikatakan
bahwa Schwabach lebih pendek.
 Tes Rinne:
 Dibandingkan konduksi tulang dengan konduksi udara.
 Pada telinga yang normal konduksi udara lebih baik daripada
konduksi tulang.
 Pada tuli konduktif, konduksi tulang lebih baik daripada
kondusi udara.
 Tes Rinne kita gunakan garpu tala 128, 256, atau 512Hz. Garpu
tala dibunyikan dan pangkalnya ditekan pada tulang mastoid
penderita. Ia disuruh mendengarkan bunyi nya. Bila tidak
didengarkan lagi, garpu tala segera didekatkan pada telinga.Jika
masih terdengar bunyi, maka konduksi udara lebih baik
daripada konduksi tulang (Rinne positif).
 Tes Weber:
 Garpu tala yang dibunyikan ditekankan pangkalnya pada dahi
penderita, tepat dipertengahan. Penderita disuruh mendegar
bunyinya, dan menentukan pada telinga mana bunyinya lebih
keras terdengar.
 Normal, keras bunyinya sama pada telinga kiri dan kanan.
 Pada tuli saraf, bunyi lebih keras terdengar pada telinga yang
sehat.
 Pada tuli konduktif bunyi lebih keras terdengar pada telinga
yang tuli.
 Gangguan saraf vestibularis
o Gangguan saraf vestibularis atau hubungannya dengan sentral dapat
menyebabkan terjadinya vertigo, rasa tidak stabil, kehilangan keseimbangan,
nistagmus, dan salah tunjuk.
 Pemeriksaan saraf vestibularis:
o Manuver Hallpike, pasien disuruh duduk di tempat-tidur-periksa. Kemudian ia
direbahkan sampai kepalanya tergantung di pinggir dengan sudut sekitar 30
derajat di bawah horizon. Selanjutnya kepala ditolehkan ke kiri. Tes kemudian
diulangi dengan kepala melihat lurusdan diulangi lagi dengan menoleh ke

12
kanan. Penderita disuruh teteap membuka matanya agar pemeriksa dapat
melihat sekitarnya muncul nistagmus.
o Tes untuk menilai keseimbangan:
 Tes Romberg yang dipertajam, penderita berdiri dengan kaki yang satu
didepan kaki yang lainnya (tandem). Lengan dilipatkan pada dada dan
mata kemudian ditutup. Tes ini berguna menilai adanya disfungsi
system vestibular. Orang yang normal mampu berdiri dalam sikap
Romberg yang dipertajam selama 30 detik atau lebih.
NERVUS CR. IX – GLOSOFARINGEUS
NERVUS CR. X – VAGUS
 Nervus ix dan x diperiksa bersamaan, karena kedua saraf ini berhubungan erat.
Gangguan fungsiny jarang tersendiri kecuali pada bagian yang perifer sekali.
 Pembentukan suara (fonasi) dilakukan oleh pita suara yang disarafi oleh nervus
laryngeus rekurens (cabang nervus X).
 Motorik lain yang penting ialah system parasimpatis eferen visceral yang dari nucleus
motorik dorsal menginervasi otot polos traktus sirkulatorius, traktus respiratorius, dan
traktus digestivus.
 Perasaan daripada 1/3 bahagian belakang lidah, palatum molle, uvula dan dinding
rongga dihantar melalui nervus IX.
 Pengucapan (artikulasi) diuruskan oleh otot-otot mulut (maseter, pterygoideus
lateralis, orbikularis oris), otot lidah, laring, dan faring.
Artikulasi merupakan kerjasama antara saraf V, VII, IX, X dan XII.
Kelumpuhan saraf-saraf ini dapat mengakibatkan ketidak mampuan untuk
mengucapkan kata-kata dengan baik. (Disartria).
 Cara pemeriksaan:
o Fungsi motorik:
 Dalam memeriksa fungsi motorik, perhatikan kualitas suara pasien.
Apakah suaranya normal?apakah suaranya berkurang?, serak (disfonia)
atau tidak ada sama sekali (afonia)? – pasien disuruh menyebutkan
‘Aaaaaaa’.
Pada kelumpuhan cabang nervus X didapatkan disfonia.
 Kemudian penderita disuruh mengucapkan kata-kata misalnya:
“Ari lari di lorong-lorong lurus”.

13
Perhatikan adakah dia dapat menyebut kata-kata tersebut dengan baik.
 Untuk mengucapkan kata-kata dibutuhkan otot-otot artikulasi.
Kelumpuhan saraf-saraf yang menginervasi otot-otot ini dapat
mengakibatkan penderita tidak dapat mengucapkan kata-kata dengan
baik. (Disartria).
 Perhatikan juga kalau pasien bicaranya sengau. Karena akibat
kelumpuhan N IX dan X, palatum molle tidak sanggup menutup jalan
ke hidung waktu berbicara.
 Penderita disuruh memakan makanan padat, lunak, dan menelan air.
Kalau ada salah telan (disfagia), ini adalah tanda kelumpuhan nervus
IX dan X. Hal ini sering dijumpai pada hemiparese duplex.
 Kemudian suruh pasien membuka mulut. Bila terdapat parese otot-otot
faring dan palatum molle, maka palatum molle, uvula, dan arkus faring
sisi yang lumpuh letaknya lebih rendah dari pada yang sehat.
NERVUS CR. XI – AKSESORIUS
 Saraf ini hanya terdiri dari serabut motorik.
 Saraf ini sering terlibat pada strok karena persarafannya yang unilateral.
 Saraf XI menginervasi otot sternokeidomastoideus dan otot trapezius
 Cara pemeriksaan:
o Perhatikan keadaan otot sternokeidomastoideus dalam keadaan istirahat dan
bergerak. Dalam keadaan istirahat kita dapat melihat kontur otot ini. Bila
terjadi parese perifer kita akan melihat ada atrofi.
o Untuk menentukan atau mengukur kekuatan otot dapat dilakukan:
 Pasien disuruh menggerakkan bagian badan yang digerakkan oleh otot
yang kita ingin periksa, dan kita tahan gerakan ini.
 Kita gerakkan bahagian badan pasien dan disuruh ia menahannya.
Dengan demikian kita peroleh kesan mengenai kekuatan otot.
o Untuk otot sternokleidomastoideus pemeriksa sering pakai cara pertama
dengan menyuruh pasien menoleh ke kanan. Kemudian kita menahan gerakan
ini. Bandingkan kekuatan otot kiri dan kanan.
o Pemeriksaan otot trapezius, perhatikan keadaan otot dalam keadaan istirahat
dan bergerak. Apakah ada atrofi atau fasikulasi? Bagaimana kontur otot?

14
Posisi bahu, adakah ada yang lebih rendah? (pada kelumpuhan otot trapezius
bahu yang sakit lebih rendah dari sisi yang sehat).
o Tenaga otot trapezius diperiksa dengan menempatkan tangan pemeriksa atas
bahu penderita. Kemudian penderita disuruh mengangkat bahunya dan kita
tahan. Dengan demikian kitav dapat menilai kekuatan otot.
o Pada kelumpuhan otot sternokeidomastoideus dan otot trapezius kepala
cenderung jatuh ke depan, dan penderita tidak dapat mengangkat dagunya.
NERVUS CR. XII – HIPOGLOSUS
 Saraf XII mengandungi serabut somato-motorik yang menginervasi otot ekstrinsik
dan otot intrinsic lidah.
 Fungsi otot ekstrinsik lidah ialah menggerakkan lidah.
 Fungsi otot intrinsik, mengubah-ubah bentuk lidah.
 Cara pemeriksaan:
o Suruh penderita membuka mulut dan perhatikan lidah dalam keadaan istirahat
dan bergerak. Kita perhatikan besarnya lidah, kesamaan bagian kiri dan kanan
dan adanya atrofi.
o Pada lesi perifer, didapatkan lidah atrofi dan berkerut.
o Perhatikan juga adakah lidah mencong. Pada parese satu sisi lidah yang
dijulurkan mencong ke sisi yang lumpuh
o Tremor lidah dapat dijumpai pada pasien yang sakit berat, demesia paralitika,
dan intoksikasi.
o Fasikulasi dijumpai pada lesi nuklir.
o Jik a terdapat kelumpuhan dua sisi, lidah tidak dapat di gerakkan atau
dijulurkan. Terdapat disartria dan kesukaran menelan. Selain itu, juga
didapatkan kesukaran bernafas, kerana lidah dapt terjatuh kebelakang, dan
menghalangi jalan pernafasan.
o Untuk menilai tenaga lidah, kita suruh penderita menjulurkan lidah dan
menggerakkannya ke segala jurusan. Perhatikan kekuatan geraknya.

REFERENSI

1. Lumbantobing, SM. Neurologi klinik pemeriksaan fisik dan mental.


Jakarta: FK UI. 2018. H. 21-84

15

Anda mungkin juga menyukai