Anda di halaman 1dari 27

REFRESHING

PEMERIKSAAN FISIK NEUROLOGI

Pembimbing :
dr. Irfan Taufik, Sp.S

Disusun Oleh :
Rizti Rachmawati (2014730083)

KEPANITERAAN KLINIK NEUROLOGI

RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA PONDOK KOPI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

2019
KATA PENGANTAR

Dengan mengucap syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT, karena atas


rahmat dan hidayah-Nya Laporan Refreshing ini dapat terselesaikan dengan baik.
Referat ini disusun sebagai salah satu tugas kepanitraan klinik stase neurologi
Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta di RS.
Islam Jakarta Pondok Kopi.

Dalam penulisan laporan referat ini, tidak lepas dari bantuan dan kemudahan
yang diberikan secara tulus dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis
menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Irfan Taufik, Sp.S
sebagai dokter pembimbing.

Dalam penulisan laporan refreshing ini tentu saja masih banyak kekurangan dan
jauh dari sempurna, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, kritik dan saran
yang bersifat membangun akan sangat penulis harapkan demi kesempurnaan referat
ini.
Akhirnya, dengan mengucapkan Alhamdulillahirobbil ‘alamin laporan
refreshing ini telah selesai dan semoga bermanfaat bagi semua pihak serta semoga
Allah SWT membalas semua kebaikan dengan balasan yang terbaik, Aamiin Ya
Robbal Alamin.

Jakarta, 05 November 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i


DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
PEMBAHASAN ..................................................................................................... 2
2.1. Tanda Rangsang meningeal ..................................................................... 6
2.2. Pemeriksaan Saraf Kranial ....................................................................... 6
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 23

ii
PENDAHULUAN

Neurologi adalah ilmu kedokteran yang mempelajari kelainan, gangguan


fungsi, penyakit, dan kondisi lain pada sistim saraf manusia. Oleh sebab itu
dipelajari pula hal-hal yang secara alami dianggap fungsi sistim saraf normal.
Dalam rangka menegakkan diagnosis penyakit saraf diperlukan pemeriksaan fisik,
Pemeriksaan neurologis meliputi: fungsi cerebral, fungsi nervus cranialis, fungsi
sensorik, fungsi motorik dan refleks.
Selama beberapa dasawarsa ini ilmu serta teknologi kedokteran maju dan
berkembang dengan pesat. Banyak alat dan fasilitas yang tersedia, dan memberikan
bantuan yang sangat penting dalam mendiagnosis penyakit serta menilai
perkembangan atau perjalanan penyakit. Saat ini kita dengan mudah dapat
mendiagnosis perdarahan di otak, atau keganasan di otak melalui pemeriksaan
pencitraan. Kita juga dengan mudah dapat menentukan polineuropati dan
perkembangannya melalui pemeriksaan kelistrikan.
Di samping kemajuan yang pesat ini, pemeriksaan fisik masih tetap memainkan
peranan yang penting. Kita bahkan dapat meningkatkan kemampuan pemeriksaan
di sisi ranjang dengan bantuan alat teknologi yang canggih. Kita dapat
mempertajam kemampuan pemeriksaan fisik alat-alat canggih yang kita miliki.
Sampai saat ini kita masih tetap dan harus memupuk kemampuan kita untuk
melihat, mendengar, dan merasa, serta mengobservasi keadaan pasien. Dengan
pemeriksaan fisik kita dapat menentukan diagnosis, dan pemeriksaan penunjang
yang dibutuhkan.

1
PEMBAHASAN

2.1. Pemeriksaan Rangsang Meningeal

Bila selaput otak meradang (misalnya pada meningitis atau dirongga


subarakhnoid terdapat benda asing (misalnya darah, seperti pada perdarahan
subarakhnoid), maka hal ini dapat merangsang selaput otak dan terjadilah iritasi
meningeal atau rangsangan selaput otak. Manifestasi subjektif dari keadaan ini
ialah keluhan yang dapat berupa sakit kepala, kuduk terasa kaku, fotofobia
(takut cahaya, peka terhadap cahaya) dan hiperakusis (peka terhadap suara).
Gejala lain yang dapat dijumpai ialah: sikap tungkai yang cenderung
mengambil posisi fleksi, dan opistotonus, yaitu kepala dikedikkan kebelakang
dan punggung melengkung ke belakang. Sehingga pasien berada dalam keadaan
ekstensi. (opisto = belakang, tonos = tegang) karena terangsangnya otot-otot
ekstensor kuduk dan punggung. Opistotonus ini lebih sering kita jumpai pada
bayi dan yang menderita meningitis, misalnya meningitis tuberkulosa.
Beberapa tanda-tanda klinis dapat mendiagnosis meningitis, tanda brudzinski
dan tanda kernig sangat mudah didapatkan dan sekaligus mengingatkan dokter
akan meningitis.
Selain itu, rangsangan selaput otak dapat memberikan beberapa gejala,
diantaranya kaku kuduk, tanda Lasegue, Kernig, Brudzinski l (Brudzinski’s
neck sign), dan Brudzinski ll , (Brudzinski contralateral leg sign), Brudzinski
III dan Brudzinski IV.

1. Kaku kuduk

Untuk memeriksa kaku kuduk dapat dilakukan dengan cara tangan


pemeriksa ditempatkan dibawah kepala pasien yang sedang berbaring,
kemudian kepala ditekukan (fleksi) dan diusahakan agar dagu mencapai dada.
Selama penekukan diperhatikan adanya tahanan. Bila terdapat kaku kuduk kita
dapatkan tahanan dan dagu tidak dapat mencapai dada. Kaku kuduk dapat

2
bersifat ringan atau berat. Pada kaku kuduk yang berat kepala tidak dapat
ditekuk, malah sering kepala terkedik kebelakang. Pada keadaan yang ringan,
kaku kuduk dinilai dari tahanan yang dialami waktu menekukkan kepala.

Selain dari rangsang selaput otak, kaku kuduk dapat disebabkan oleh
myositis otot kuduk, abses retrofaringeal, atau artritis di servikal. Pada kaku
kuduk oleh rangsang selaput otak, tahanan didapatkan ketika kita menekukkan
kepal, sedangkan bila kepala dirotasi, biasanya dapat dilakukan dengan mudah,
dan umumnya tahanan tidak bertambah. Demikian juga hiperekstensi dapat
dilakukan.

2. Tanda Lasegue

Pasien yang sedang berbaring diluruskan (ekstensi) kedua tungkainya.


Kemudian satu tungkai diangkat lurus, dibengkokkan (fleksi) pada persendian
panggulnya. Tungkai yang satu lagi harus selalu berada dalam keadaan ekstensi
(lurus).pada keadaan normal, kita dapat mencapai sudut 70 derajat sebelum
timbul rasa sakit dan tahanan. Bila sudah timbul rasa sakit dan tahanan sebelum
mencapai 70 derajat, maka disebut tanda lasegue positif. Namun demikian, pada
pasien yang sudah lanjut usianya diambil patokan 60 derajat. Tanda lasegue

positif dapat dijumpai pada kelainan :rangsang selaput otak, isialgia, dan iritasi
pleksus lumbosacral (misalnya HNP).

3. Kernig sign

Pada pemeriksaan ini, pasien yang sedang berbaring difleksikan pahanya


pada persendian panggul sampai membuat sudut 90°. Setelah itu tungkai bawah
diekstensikan pada persendian lutut sampai membentuk sudut lebih dari 135°

3
terhadap paha. Bila teradapat tahanan dan rasa nyeri sebelum atau kurang dari
sudut 135°, maka dikatakan Kernig sign positif. Sebagaimana halnya dengan
tanda lasegue, maka tanda kernig positif terjadi pada kelainan rangsang selaput
otak, dan iritasi akar lumbosacral atau pleksusnya (misalnya pada HNP-
lumbal). Pada meningitis tandanya biasanya positif bilateral sedangkan pada
HNP unilateral

4. Brudzinski I (Brudzinski’s neck sign)

Pasien berbaring dalam sikap terlentang, dengan tangan yang ditempatkan


dibawah kepala pasien yang sedang berbaring , tangan pemeriksa yang satu lagi
sebaiknya ditempatkan di dada pasien untuk mencegah diangkatnya badan
kemudian kepala pasien difleksikan sehingga dagu menyentuh dada. Test ini
adalah positif bila gerakan fleksi kepala disusul dengan gerakan fleksi di sendi
lutut dan panggul kedua tungkai secara reflektorik. Sebelumnya perlu
diperhatikan apakah tungkainya lumpuh, sebab jika lumpuh tentulah tidak
difleksikan.

5. Brudzinski II (Brudzinski’s contralateral leg sign)

Pada pasien yang sedang berbaring, satu tungkai difleksikan pada


persendian panggul, sedang tungkai yang satu lagi berada dalam keadaan
ekstensi (lurus). Bila tungkai yang satu ini ikut pula terfleksi, maka disebut
tanda brudzinski II positif. Sebagaimana halnya dengan pemeriksaan adanya

4
tanda brudzinski I perlu diperhatikan apakah tungkainya lumpuh, sebab jika
lumpuh tentulah tidak difleksikan.

6. Brudzinski III
Penekanan pada simfisis pubis akan disusul oleh timbulnya gerakan fleksi
secara reflektorik pada kedua tungkai disendi lutut dan panggul.
7. Brudzinski IV
Menekan symphysis pubis maka akan terjadi flexi pada kedua tungkai

5
2.2. Pemeriksaan Saraf Kranial

Saraf otak ada 12 pasang dan biasanya dinyatakan dengan angka Romawi,
1-XII. Memeriksa saraf otak (I-XII) dapat membantu kita menentukan lokasi
dan jenis penyakit. Tiap saraf otak harus diperiksa dengan teliti.

Nama-nama Saraf Otak

Saraf otak I Nervus olfaktorius

Saraf Otak II Nervus optikus

Saraf Otak III Nervus okulomotorius

Saraf Otak IV Nervus trokhlearis

Saraf Otak V Nervus trigeminus

Saraf Otak VI Nervus abdusen

Saraf Otak VII Nervus fasialis

Saraf Otak VIII Nervus vestibulo-kokhlearis

Saraf otak IX Nervus glosofaringeus

Saraf otak X Nervus vagus

Saraf otak XI Nervus aksesorius

Saraf otak XII Nervus hipoglosus

6
Saraf Otak I (nervus olfaktorius, N.I)

Pemeriksaan

Tujuan pemeriksaan : untuk mendeteksi adanya gangguan menghidu.


Selain itu, untuk mengetahui apakah gangguan tersebut disebabkan oleh
gangguan saraf atau penyakit hidung lokal.

Gangguan pemeriksaan:

Periksa lubang hidung, apakah ada sumbatan atau kelainan setempat,


misalnya ingus, atau polip. Hal ini dapat mengurangi ketajaman penciuman.
Zat pengetes yang digunakan sebaiknya zat yang dikenal sehari-hari,
misalnya kopi, teh, tembakau, jeruk.

Jangan menggunakan zat yang dapat merangsang mukosa hidung (nervus


V) seperti mentol, amoniak, alkohol, dan cuka. Zat pengetes didekatkan ke
hidung pasien dan disuruh ia menciumnya. Tiap lubang hidung diperiksa
satu per satu dengan jalan menutup lubang hidung yang lainnya dengan
tangan.

7
Saraf Otak II (nervus optikus, N.II)

Pemeriksaan

Tujuan pemeriksaan:

a. Mengukur ketajaman penglihatan (visus) dan menentukan apakah


kelainan pada visus disebabkan oleh kelainan okuler lokal atau oleh
kelainan saraf.
b. Mempelajari lapangan pandang
c. Memeriksaa keadaan papil optik

Ketajaman penglihatan. Secara kasar ketajaman penglihatan (acuity of


vision) diperiksa dengan jalan membandingkan ketajaman penglihatan
pasien dengan pemeriksa. Pasien disuruh mengenali benda yang letaknya
jauh dan membaca huruf-huruf yang ada di buku atau koran. Bila ketajaman
mata pasien sama dengan pemeriksa, maka hal ini dianggap normal.

Lapangan pandang. Secara kasar pemeriksa lapangan pandang dilakukan


dengan jalan membandingkan dengan kampus penglihatan pemeriksa, yaitu
dengan metode konfrontasi dari Donder. Dalam hal ini, penderita disuruh
duduk atau berdiri berhadapan dengan pemeriksa dengan jarak kira-kira 1
meter. Jika kita hendak memeriksa mata kanan, maka mata kiri penderita
harus ditutup, misalnya dengan tangannya atau kertas sedangkan pemeriksa
harus menutup mata kanannya. Kemudian penderita disuruh melihat terus
pada mata kiri pemeriksa dan pemeriksa harus selalu melihat ke mata kanan
penderita. Setelah itu pemeriksa menggerakkan jari tangannya di bidang
pertengahan antara pemeriksa dengan penderita. Gerakan dilakukan dari
arah luar ke dalam.

8
Saraf otak III, nervus okulomotorius

Saraf otak IV, nervus trokhlearis

Saraf otak VI, nervus abdusen

Pemeriksaan fungsi N III, IV, dan VI saling berkaitan dan diperiksa


bersama-sama. Fungsinya ialah menggerakkan otot mata ekstraokuler dan
mengangkat kelopak mata. Serabut otonom N III mengatur otot pupil.

Cara pemeriksaan:

Selagi berwawancara dengan pasien perhatikan celah matanya apakah


adaptosis, eksoftalmus, enoftalmus dan apakah ada strabismus (jereng).
Selain itu, apakah ia cenderung memejamkan matanya yang kemungkinan
disebabkan oleh diplopia.

Setelah itulakukan pemeriksaan yang lebih teliti mengenai ptosis, besar


pupil, reaksi cahaya pupil, reaksi akomodasi, kedudukan bola mata, gerakan
bola mata dan nistagmus.

Ptosis. Kelumpuhan nervus III dapat menyebabkan terjadinya ptosis, yaitu


kelopak mata terjatuh, mata tertutup, dan tidak dapat dibuka. Hal ini
disebabkan oleh kelumpuhan m.levator palpebrae. Kelumpuhan m.levator
palpebrae yang total mudah diketahui, karena kelopak mata sama sekali
tidak dapat diangkat, mata tertutup. Pada kelumpuhan ringan kita
bandingkan celah mata: pada sisi yang lumpuh celah mata lebih kecil dan
kadang-kadang kita lihat dahi dikerutkan (m.frontalis) untuk
mengkompensasi menurunnya kelopak mata.

Refluks pupil (reaksi caha pupil). Reaksi cahaya pupil terdiri dari reaksi
caha langsung dan tidak langsung. Pada pemeriksaan ini pasien disuruh
melihat jauh setelah itu mata kita senter dan dilihat apakah ada reaksi pada
pupil. Pada keadaan normal pupil mengecil. Bila demikian halnya, disebut

9
reaksi cahaya langsung positif. Kemudian perhatikan pula pupil mata yang
satu lagi, apakah pupilnya ikut mengecil oleh penyinaran mata yang lainnya
itu. Bila demikian, disebut reaksi cahaya tidak langsung positif.

Refleks akomodasi. Penderita disuruh melihat jauh, kemudian ia disuruh


melihat dekat, misalnya jari kita yang ditempatkan dekat matanya. Refleks
akomodasi dianggap positif bila terlihat pupil mengecil. Pada kelumpuhan
nervus III refleks ini negatif.

Posisi bola mata. Perhatikan posisi bola mata apakah mata menonjol atau
seolah-olah masuk ke dalam. Pada eksoftalmus celah mata tampak lebih
besar, sedangkan pada enoftalmus lebih kecil.

Gerakan bola mata. Untuk memeriksa gerakan bola mata, penderita disuruh
mengikuti jari-jari pemeriksa yang digerakkan ke arah lateral, medial atas,
bawah dan ke arah yang miring, yaitu: atas-lateral, bawah medial, atas-
medial dan bawah-lateral. Perhatikan apakah bola mata pasien dapat
mengikutinya, dan perhatikan bagaimana gerakan bola mata, apakah lancar
dan mulus atau kaku.

Nistagmus. Pemeriksaan nistagmus dilakukan waktu memeriksa gerakan


bola mata. Waktu memeriksa gerak bola mata, harus diperhatikan apakah
ada nistagmus. Nistagmus ialah gerak bolak-balik bola mata yang
involunter dan ritmik. Untuk maksud ini penderita disuruh melirik terus ke
satu arah selama jangka waktu 5 atau 6 detik. Jika ada nistagmus hari ini
akan terlihat dalam jangka waktu tersebt. Akan tetapi, mata jangan terlalu
jauh dilirikkan, sebab hal demikian dapat menimbulkan nistagmus pada
orang yang normal.

10
Saraf otak V (nervus trigeminus)

Pemeriksaan

Untuk memeriksa fungsi motorik nervus V dilakukan hal berikut:

Pasien disuruh merapatkan giginya sekuat mungkin dan kemudian ktia raba
m.maseter dan m.temporalis. Perhatikan besarnya, tonus serta konturnya.
Kemudian pasien disuruh membuka mulut dan perhatikanlah apakah ada
deviasi rahang bawah. Bila ada parase maka rahang bawah akan berdevaiasi
ke arah yang lumpuh. Kadang-kadang sulit menentukan adanya deviasi.
Dalam hal demikian dapat digunakan garis antara kedua gigi insisivus
sebagai patikan. Perhatikan kedudukan gigi insisivus atas dan bawah waktu
mulut dibuka, apakah ada deviasi hal yang perlu dilakukan bila terdapat pula
parase nervus VII.

Bagian sensorik dari nervus V diperiksa dengan menyelidiki rasa raba, rasa
nyeri dan suhu daerah-daerah yang disarafinya.

11
Saraf Otak VII (nervus fasialis)

Pemeriksaan

Fungsi motorik

Dalam memeriksa fungsi motorik, perhatikan muka penderita, apakah


simetris atau tidak. Perhatikan kerutan pada dahi, pejaman mata, plika
nasolabialis dan sudut mulut. Bila asimetri muka jelas, maka hal ini
disebabkan oleh kelumpuhan jenis perifer. Dalam hal ini kerutan dahi
menghilang, mata kurang dipejamkan, plika nasolabialis mendatar dan
sudut mulut menjadi lebih rendah. Pada kelumpuhan jenis sentral, muka
dapat simetris waktu istirahat, kelumpuhan baru nyata bila penderita disuruh
melakukan gerakan, misalnya menyeringai.

Fungsi pengecepan

Kerusakan nervus VII, sebelum percangan khorda timpani dapat


menyebabkan ageusi pada 2/3 lidah bagian depan. Untuk memeriksanya
penderita disuruh menjulurkan lidah, kemudian kita taruh pada lidahnya
bubuk gula, kina, asam sitrat atau garam dan garam. Bila bubuk ditaruh,
penderita tidak boleh menarik lidahnya ke dalam mulut, sebab bila lidah
ditarik ke dalam mulut, bubuk akan akan tersebar melalui lidah ke bagian
lainnya, yaitu ke sisi lidah lainnya atau ke bagian belakang lidah yang
persarafnnya diurus oleh saraf lain. Penderita disuruh menyatakan
pengecepan yang dirasakannya dengan isyarat, misalnya 1 untuk rasa
manis, 2 untuk rasa pahit, 3 untuk rasa asin, dan 4 untuk rasa asam.

12
Saraf otak VIII (nervus vestibulo-kokhlearis)

Pemeriksaan saraf kokhlearis

Ketajaman pendengaran. Secara kasar ketajaman pendengaran ditentukan


dengan jalan menyuruh penderita mendengarkan suara bisikan pada jarak
tertentu dan membandingkannya dengan orang yang normal. Perhatikan
pula apa ada perbedaan antara ketajaman pendengaran telinga kanan dan
kiri. Beda ini penting artinya ditinjau dari perbedaan antara kedua telinga,
kita lakukan pemeriksaan-pemeriksaan Schwabach, Rinne, Weber.

Tes Schwabach. Pada tes ini pendengeran penderita dibandingkan dengan


pendengearan pemeriksa. Garpu tala dibunyikan dan kemudian ditempatkan
di dekat telinga penderita. Setelah penderita tidak mendengarkan bunyi lagi,
garpu tala tersebut ditempatkan di dekat telinga pemeriksa. Bila masih
terdengar bunyi oleh pemeriksa maka dikatakan bahwa Schwabach lebih
pendek. Kemudian garpu tala dibunyikan lagi dan pangkalnya ditekankan
pada tulang mastoid penderita. Disuruh ia mendengarkan bunyinya.

Bila sudah tidak terdengar lagi, maka garpu tala ditempatkan pada tulang
mastoid pemeriksa. Bila pemeriksa masih mendengarkan bunyinya maka
dikatakan bahwa Schwabach lebih pendek.

Tes rinne. Pada pemeriksaan ini dibandingkan konduksi tulang dengan


konduksi udara. Pada telinga yang normal, konduksi udara lebih baik dari
pada konduksi tulang. Hal ini didapatkan juga pada tuli perseptif. Akan
tetapi, pada tuli konduktif, konduksi tulang lebih baik dari pada konduksi
udara.

Pada pemeriksaan tes Rinne biasanya digunakan garpu tala yang


berfrekuensi 128, 256, atau 512 Hz. Garpu tala dibunyikan dan pangkalnya
ditekankan pada tulang mastoid penderita. Ia disuruh mendengarkan
bunyinya. Bila tidak terdengar lagi, garpu tala segera didekatkan pada
telinga.

13
Jika masih terdengar bunyi, maka konduksi udara lebih baik dari konduksi
tulang, dan dalam hal ini dikatakan Rinne positif.

Bila tidak terdengar lagi bunyi, segera setelah garpu tala dipindahkan dari
tulang mastoid ke dekat telinga, kita katakan Rinne negatif.

Tes Weber. Garpu tala yang dibunyikan ditekankan pangkalnya pada dahi
penderita, tepat dipertengahan. Penderita disuruh mendengarkan bunyinya,
dan menentukan pada telinga mana bunyi lebih keras terdengar. Pada orang
yang normal, kerasnya bunyi sama pada telingkiri dan kanan. Pada tuli
saraf, bunyi lebih keras terdengar pada telinga yang sehat, sedang pada tuli
konduktif bunyi lebih keras terdengar pada teling yang tuli. Kita katakan:
tes weber berlateralisasi ke kiri, bila bunyi lebih keras terdengar di bagian
kiri.

Dengan ringkas dapat dikatakan bahwa tuli perseptif pendengaran


berkurang, rinne positif dan weber berlateralisasi ke teelinga yang sehat.
Pada tuli konduktif pendengaran berkurang. Rinne negatif dan weber
berlateralisasi ke telinga yang tuli.

Bunyi atau suara yang dapat didengar oleh telinga yang normal berfrekuensi
antara 8-6 sampai kira-kira 32.000 Hz.

14
Saraf vestibularis

Telah dikemukan di atas bahwa gangguan vestibular dapat menyebabkan


antara lain vertigo, nistagmus, kehilangan keseimbangan dan salah tunjuk.
Gejala ini menunjukkan adanya gangguan pada reseptor vestibuler, saraf
vestibularis atau hubungan sentralnya.

Tes untuk menilai keseimbangan

Untuk menilai keseimbangan penderita, dapat dilakukan tes Romberg yang


dipertajam dan tes melangkah di tempat.

Tes Romberg yang dipertajam. Pada tes ini penderita berdiri dengan kaki
yang satu di depan kaki yang lainnya, tumit kaki yang satu berada di depan
jari-jari kaki yang lainnya. Lengan dilipat pada dada dan mata kemudian
ditutup. Tes ini berguna menilai adanya disfungsi sistem vestibular. Orang
yang normal mampu berdiri dalam sikap Romberg yang dipertajam selama
30 detik atau lebih.

Tes melangkah di tempat. Penderita disuruh berjalan di tempat, dengan mata


ditutup, sebanyak 50 langkah dengan kecepatan seperti berjalan biasa.
Sebelumnya dikatakan kepadanya bahwa ia harus berusaha agar tetap di
tempat, dan tidak beranjak dari tempatnya selama tes ini. Tes ini dapat
mendeteksi gangguan sistem vestibular.

Hasil tes ini dianggap abnormal bila kedudukan akhir penderita beranjak
lebih dari 1 meter dari tempatnya semula, atau badan terputar lebih dari 30
derajat.

Salah tunjuk (pasti pointing)

Penderita disuruh merentangkan lengannya dan telunjuknya menyentuh


telunjuk pemeriksa. Kemudian ia disuruh menutup mata mengangkat
lengannya tinggi-tinggi dan kemudian kembali ke posisi semula. Pada
gangguan vestibular didapatkan salah tunjuk, demikian juga dengan

15
gangguan serebelar. Tes ini dilakukan dengan lengan kanan dan lenan kiri,
selain penderita disuruh mengangkat lengannya tinggi-tinggi, dapat pula
dilakukan dengan menurunkan lengan ke bawah sampai vertikal dan
kemudian kembali posisi semula.

16
Saraf otak IX (nervus glosofaringeus)

Saraf otak X (nervus vagus)

Pemeriksaan

Nervus IX dan X diperiksa bersamaan, karena kedua saraf ini berhubungan


erat satu sama lain, sehingga gangguan fungsinya jarang tersendiri, kecuali
pada bagian yang perifer sekali.

Banyak fungsi saraf ini tidak diperiksa secara rutin karena sukar
melakukannya dan juga tidak penting dalam menegakkan diagnosis, namun
demikian, ada hal yang perlu diperiksa secara rutin.

Fungsi motorik. Dalam memeriksa fungsi motorik, perhatikan kualitias


suara pasien. Apakah suaranya normal? Apakah suaranya berkurang, serak,
atau tidak ada sama sekali? Untuk ini pasien disuruh menyebutkan L
aaaaaaaaa. Pembentukan suara ini dilakukan oleh pita suara. Pada
kelumpuhan cabang nervus X, yaitu nervus faringeus rekurens, didapatkan
disfonia. Kelumpuhan nervus laringeus rekurens dapat disebabkan oleh
tekanan pada saraf tersebut, misalnya oleh tumor, kelenjar yang
membengkak atau anerisma. Kemudian penderita disuruh mengucapkan
kata-kata, misalnya : “Ari lari di lorong-lorong lurus”. Perhatikan apakah ia
dalam mengucapkan kata-kata tersebut dengan baik.

Untuk mengucapkan kata-kata dibutuhkan otot-otot artikulasi, yaitu mulut,


otot lidah, otot laring, dan faring. Jadi artikulasi merupakan kerja sama
antara N V, VII, IX, X dan XII. Kelumpuhan saraf-saraf ini dapat
mengakibatkan penderita tidak mampu mengucapkan kata denganbaik.hal
ini disebut disatria. Perhatikan pula kualitas kata-kata yang diucapkan,
apakah bindeng. Pada kelumpuhan N IX dan X. Palatum molle tidak
sanggup menutup jalan ke hidung waktu berbicara, dan didapatkan suara
hidung. Selain itu, bila penderita disuruh mengejan atau menggembungkan

17
pipi, ia tidak sanggup melakukannya denganb aik karena dara terlepas
melalui hidung. Hal ini dapat dicegah bila lubang hidung ditutup.

Penderita disuruh memakan makanan padat, lunak dan menelan air.


Perhatikan apakah ada salah telan. Kelumpuhan N IX dan X dapat
menyebabkan disfagia. Hal ini sering dijumpai pada hemiparese dupleks,
yang disebut juga sebagai kelumpuhan pseudobulber. Persarafan N IX dan
X adalah bilateral, karenanya kelumpuhan supranuklear baru terjadi bila ada
lesi bilateral.

Penderita disuruh membuka mulut. Perhatikan palatum molle dan faring.


Bagaimana sikap palatum molle, arkus faring dan uvula dalam keadaan
istirahat, dan bagaimana pula bila bergerak, misalnya waktu bernapas atau
bersuara. Bila terdapat parase otot-otot faring dan palatum molle, maka
palatum molle, uvula dan arkus faring sisi yang lumpuh letaknya lebih
rendah dari pada yang sehat. Dan bila bergerak, uvula dari arkus seolah-olah
tertarik ke bagian yang sehat. Bila terdapat parase di kedua belah pihak,
maka tidak didapatkan gerakan gerakan dan posisi uvula dan arkus faring
lebih rendah.

18
Saraf otak XI (nervus aksesorius)

Pemeriksaan

Pemeriksaan otot sterno kleidomastoideus. Perhatikan keadaan otot


sternokleidomastoideus dalam keadaan istirahat dan bergerak. Dalam
keadaan istirahat, kita dapat melihat kontur otot ini. Bila terdapat parase
perifer kita akan melihat adanya atrofi. Pada lesi nuklir (misalnya pada
ALS) kita dapatkan juga fasikulasi (kedutan). Adanya nyeri-tekan
9misalnya pada miositis) dan adanya atoni dapat ditentukan dengan
mempalpasi otot tersebut. Untuk menentukan atau mengukur kekuatan otot
dapat dilakukan 2 cara, yaitu:

1. Pasien disuruh menggerakkan bagian badan (persendiaan) yang


digerakkan oleh otot yang ingin kita periksa, dan kita tahan gerakkan
ini.
2. Kita gerakkan bagian badan pasien dan disuruh ia menahannya. Dengan
demikian kita peroleh kesan mengenai kekuatan otot.

Di dalam klinik biasanya cara 1 yang sering dilakukan. Untuk mengukur


tenaga otot sternokleiodomastoideus dapat dilakukan hal berikut: Kita suruh
pasien menoleh misalnya ke kanan. Gerakan ini kita tahan dengan tangan
kita yang ditempatkan di dagu. Dengan demikian dapat dinilai kekuatan otot
sternokleidomastoideus kiri. Bandingkan kekuatan otot kiri dengan kanan..

Pemeriksaan otot trapezius. Perhatikan keadaan otot ini dalam keadaan


istirahat dan bergerak. Apakah ada trofi atau fasikulasi? Bagaimana kontur
otot?

Bagaimana posisi bahu, apakah lebih rendah? Pada kelumpuhan otot


trapezius bahu sisi yang sakit lebih rendah dari pada sisi yang sehat.
Skapiula juga beranjak ke lateral dan tampak agak menonjol. Selain itu, otot
trapezius ini perlu dipalpasi untuk mengetahui konsistensinya, adanya nyeri
tekan serta adanya hipotoni.

19
Tenaga otot ini diperiksa sebagai berikut: tempatkan tangan kita di atas bahu
penderita. Kemudian penderita disuruh mengangkat bahunya, dan kita
tahan. Dengan demikian dapat dinilai kekuatan otot. Tenaga otot yang kiri
dan kanan dibandingkan. Pada saat ini juga otot trapezius, pasien disuruh
mengekstensikan kepalanya, dan gerakan ini kita tahan. Jika terdapat
kelumpuhan otot trapezius satu sisi, kepala tidak dapat ditarik ke sisi
tersebut, bahu tidak dapat diangkat dan lengan tidak dapat dielevasi ke atas
dari posisi horisontal. Pada kelumpuhan kedua otot ini kepala cenderung
jatuh ke depan, dan penderita tidak dapat mengangkat dagunya.

20
Saraf Otot XII (nervus hipoglosus)

Pemeriksaan

Inspeksi: seluruh penderita membuka mulut dan perhatikan lidah dalam


keadaan istirahat dan bergerak. Dalam keadaan istirahat kita perhatikan
besarnya lidah, kesamaan bagian kiri dan kanan, dan adanya atrofi. Apakah
lidah berkerut? Pada lesi perifer didapatkan atrofi dan lidah berkerut. Selain
itu apakah sikap lidah mencong? Bila lidah digerakkan atau dijulurkan,
perhatikan apakah julurannya mencong. Pada parase satu sisi, lidah
dijulurkan mencong ke sisi yang lumpuh. Pada lesi nervus VII kita
mendapatkan kesukaran dalam menentukan apakah lidah dijulurkan secara
mencong. Hal ini disebabkan karena posisi mulut yang mencong pada
kelumpuhan nervus VII. Untuk mempermudah, sudut mulut perlu diangkat
dan setelah itu baru lidah disuruh dijulurkan. Cara lain: kita dapat memakai
garis di antara kedua gigi seri atas sebagai patokan, sebab garis ini biasanya
terletak di tengah. Selain itu, adakah tremor, fasikulasi dan gerakan yang
tidak terkendali pada lidah.

Tremor lidah dapat dijumpai pada pasien yang sakit berat, demensia
paralitika, dan intoksikasi. Faiskulasi dijumpai pada lesi nuklir, misalnya
pada siringobulbi. Kadang-kadang kita sulit membedakan antara trermor
dan fasikulasi, terlebih lagi pada lidah yang terjulur. Untuk memudahkan
pembedaannya, lidah diistirhatkan pada dasar mulut. Pada keadaan ini,
tremor biasanya berkurang atau menghilang. Pada atetose didapatkan
gerakan yang tidak terkendali. Lidah sulit dijulurkan atau hal ini dilakukan
dengan sekonyong-konyong dan kemudian tanpa kendali ditarik secara
mendadak.

Jika terdapat kelumpuhan pada dua sisi, lidah tidak dapat digerakkan atau
dijulurkan. Terdapat disastria dan kesukaran menelan. Selain itu, juga
didapatkan kesukaran bernapas, karena lidah dapat terjatuh ke belakang,
sehingga menghalangi jalan napas.

21
Untuk menilai tenaga lidah kita suruh penderita menggerakkan lidahnya ke
segala jurusan dan perhatikan kekuatan geraknya. Kemudian penderita
disuruh menekankan lidahnya pada pipinya. Kita nilai daya letaknya ini
dengan jalan menekankan jari kita pada pipi sebelah luar. Jika terdapat
parase lidah bagian kiri, lidah tidak dapat ditekanakan ke pipi sebelah kanan,
tetapi ke sebelah kiri dapat.

22
DAFTAR PUSTAKA

Lumbantobing SM. Neurologi Klinik : Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta :


Balai Penerbitan FKUI; 2007

Prof. Dr. Mahar Mardjono dan Prof. dr. Priguna Sidharta. Neurologi Klinis Dasar.
Penerbit Dian Rakyat; 2008

23
24

Anda mungkin juga menyukai