Anda di halaman 1dari 45

REFRESHING

PEMERIKSAAN FISIK NEUROLOGI

Pembimbing :
dr. Irfan Taufik, Sp.S

Disusun Oleh :
Utami Khairunnisa (2015730130)

KEPANITERAAN KLINIK NEUROLOGI


RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA PONDOK KOPI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2019

2
KATA PENGANTAR

Dengan mengucap syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT, karena atas


rahmat dan hidayah-Nya Laporan Referat ini dapat terselesaikan dengan baik.
Referat ini disusun sebagai salah satu tugas kepanitraan klinik stase neurologi
Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta di RS.
Islam Jakarta Cempaka Putih.

Dalam penulisan laporan referat ini, tidak lepas dari bantuan dan kemudahan
yang diberikan secara tulus dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis
menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Irfan Taufik, Sp.S
sebagai dokter pembimbing.

Dalam penulisan laporan referat ini tentu saja masih banyak kekurangan dan
jauh dari sempurna, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, kritik dan
saran yang bersifat membangun akan sangat penulis harapkan demi kesempurnaan
referat ini.
Akhirnya, dengan mengucapkan Alhamdulillahirobbil ‘alamin laporan referat
ini telah selesai dan semoga bermanfaat bagi semua pihak serta semoga Allah
SWT membalas semua kebaikan dengan balasan yang terbaik, Aamiin Ya Robbal
Alamin.

Jakarta, 23 Mei 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
PENDAHULUAN...................................................................................................1
PEMBAHASAN......................................................................................................2
2.1. Pemeriksaan Kesadaran.............................................................................2
2.2. Pemeriksaan Rangsang Meningeal............................................................9
2.3. Sistem Motorik........................................................................................12
2.4. Pemeriksaan Refleks...............................................................................29
KESIMPULAN......................................................................................................37
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................iii

ii
PENDAHULUAN

 
Neurologi adalah ilmu kedokteran yang mempelajari kelainan, gangguan
fungsi, penyakit, dan kondisi lain pada sistim saraf manusia. Oleh sebab itu
dipelajari pula hal-hal yang secara alami dianggap fungsi sistim saraf normal.
Dalam rangka menegakkan diagnosis penyakit saraf diperlukan pemeriksaan fisik,
Pemeriksaan neurologis meliputi: fungsi cerebral, fungsi nervus cranialis, fungsi
sensorik, fungsi motorik dan refleks.
Selama beberapa dasawarsa ini ilmu serta teknologi kedokteran maju dan
berkembang dengan pesat. Banyak alat dan fasilitas yang tersedia, dan
memberikan bantuan yang sangat penting dalam mendiagnosis penyakit serta
menilai perkembangan atau perjalanan penyakit. Saat ini kita dengan mudah dapat
mendiagnosis perdarahan di otak, atau keganasan di otak melalui pemeriksaan
pencitraan. Kita juga dengan mudah dapat menentukan polineuropati dan
perkembangannya melalui pemeriksaan kelistrikan.
Di samping kemajuan yang pesat ini, pemeriksaan fisik masih tetap
memainkan peranan yang penting. Kita bahkan dapat meningkatkan kemampuan
pemeriksaan di sisi ranjang dengan bantuan alat teknologi yang canggih. Kita
dapat mempertajam kemampuan pemeriksaan fisik alat-alat canggih yang kita
miliki.
Sampai saat ini kita masih tetap dan harus memupuk kemampuan kita untuk
melihat, mendengar, dan merasa, serta mengobservasi keadaan pasien. Dengan
pemeriksaan fisik kita dapat menentukan diagnosis, dan pemeriksaan penunjang
yang dibutuhkan.

1
PEMBAHASAN

2.1. Pemeriksaan Kesadaran

Seseorang disebut sadar bila ia sadar terhadap diri dan lingkungannya.


Orang normal dapat berada dalam keadaan : sadar, mengantuk, atau tidur. Bila
tidur maka dapat dibangunkan oleh rangsang, misalnya nyeri, bunyi atau
gerak. Rangsang ini disampaikan pada sistem aktivitas retikuler, yang
berfungsi mempertahankan kesadaran. Sistem aktivitas retikuler terletak di
bagian atas batang otak, terutama di mesensefalon dan hipotalamus. Lesi di
otak, yang terletak di atas hipotalamus tidak akan menyebabkan penurunan
kesadaran, kecuali bila lesinya luas dan bilateral. Lesi fokal di cerebrum,
misalnya oleh tumor atau stoke, tidak akan menyebabkan koma, kecuali bila
letaknya dalam dan mengganggu hipotalamus.

Dalam memeriksa tingkat kesadaran, seorang dokter melakukan inspeksi,


konversasi, dan bila perlu memberikan rangsang nyeri.

1. Inspeksi, perhatikan apakah pasien berespons secara wajar terhadap


stimulus visual, auditoar, dan taktil yang ada disekitarnya.
2. Konversasi, Apakah pasien memberikan reaksi wajar terhadap suara
konversasi, atau dapat dibangunkan oleh suruhan atau pertanyaan yang
disampaikan dengan suara yang kuat?
3. Nyeri, bagaimana respons pasien terhadap rangsang nyeri?

Perubahan Patologis Tingkat Kesadaran

Penyakit dapat mengubah tingkat kesadaran ke dua arah, yaitu:


meningkatkan atau menurunkan tingkat kesadaran. Peningkatan tingkat
kesadaran dapat pula mendahului penurunan kesadaran, jadi merupakan suatu
siklus. Pada kesadaran yang meningkat atau eksitasi serebral dapat ditemukan
tremor, euphoria, dan mania. Pada mania, penderitanya dapat merasakan ia

2
hebat (“Grandios”): alur pemikiran cepat berubah, hiperaktif, banyak bicara
dan insomnia (tidak dapat atau sulit tidur).

Delirium

Penderita delirium menunjukan penurunan kesadaran disertai peningkatan


abnormal dari aktivitas psikomotor dan siklus tidur-bangun yang terganggu.
Pada keadaan ini pasien tampak gaduh-gelisah, kacau, disorientasi, berteriak,
aktivitas motoric meningkat, meronta-ronta. Penyebab delirium beragam,
diantaranya ialah kurang tidur oleh berbagai obat, dan gangguan metabolic
toksik. Pada manula, deliriumkadang didapatkan pada waktu malam hari.
Penghentian mendadak obat anti-depresan yang telah lama digunakan dapat
menyebabkan delirium tremens. Demikian juga bila pecandu alcohol dapat
mengalami keadaan delirium dengan keadaan gaduh-gelisah.

Secara sederhana tingkat kesadaran dapat dibagi atas : kesadaran normal


(compos mentis), somnolen, spoor, koma-ringan dan koma.

 Somnolen : keadaan mengantuk. Kesadaran dapat pulih penuh bila


dirangsang. Somnolen disebut juga sebagai letargi, obtundasi. Tingkat
kesadaran ini ditandai oleh mudahnya pasien dibangungkan, mampu
memberi jawaban verbal dan menangkis rangsang nyeri.
 Sopor (stupor) : Kantuk yang dalam. Pasien masih dapat dibangunkan
dengan rangsang yang kuat, namun kesadarannya segera menurun lagi. Ia
masih dapat mengikuti suruhan yang singkat dan masih terlihat gerakan
spontan. Dengan rangsang nyeri pasien tidak dapat dibangunkan
sempurna. Reaksi terhadap perintah tidak konsisten dan samar. Tidak
dapat diperoleh jawaban verbal dari pasien. Gerak motorik untuk
menangkis rangsang nyeri masih baik.
 Koma ringan (semi-koma). Pada keadaan ini, tidak ada respons terhadap
rangsang verbal. Refleks (kornea, pupil dsb) asih baik. Gerakan terutama
timbul sebagai respons terhadap rangsang nyeri. Reaksi terhadap rangsang
nyeri tidak terorganisasi, merupakan jawaban “primitive”. Pasien sama
sekali tidak dapat dibangunkan.

3
 Koma (dalam atau komplit): Tidak ada gerakan spontan. Tidak ada
jawaban sama sekali terhadap rangsang nyeri yang bagaimanapun kuatnya.

Skala Koma Glasgow

Untuk mengikuti perkembangan tingkat kesadaran dapat digunakan skala


koma Glasgow yang memperhatikan tanggapan (respon) penderita terhadap
rangsang dan memberikan nilai pada respon tersebut. Tanggapan/respon
penderita yang perlu diperhatikan adalah:

 Membuka mata

 Spontan                               4
 Terhadap bicara                    3
 Dengan rangsang nyeri      2
 Tidak ada reaksi                    1

Respon verbal (bicara) 

 Baik dan tidak ada disorientasi 5


 Kacau (“confused”) 4
 Tidak tepat 3
 Mengerang 2
 Tidak ada jawaban 1

Respon motorik (gerakan)

 Menurut perintah 6
 Mengetahui lokasi nyeri 5
 Reaksi menghindar 4
 Refleks fleksi (dekortikasi) 3
 Refleks ekstensi (deserebrasi) 2
 Tidak ada reaksi 1

4
Bila kita gunakan skala Glasgow sebagai patokan untuk koma, maka koma =
tidak didapatkan respons membuka mata, bicara dan gerakan dengan jumlah
nilai = 3, nilai 3-5 dapat sesuai dengan keadaan koma, 6-7 soporokoma, 8-9
sopor. Nilai tertinggi 15 yang berarti sadar.

Pemeriksaan Umum Penurunan Kesadaran

Pemeriksaan harus mencakup :

a. Gejala vital, Periksa jalan nafas, keadaan respirasi dan sirkulasi. Pastikan
bahwa jalan nafas terbuka dan pasien dapat bernafas. Otak membutuhkan
pasokan oksigen yang kontinu, demikian juga glukosa. Tanpa oksigen sel-
sel otak akan mati dalam waktu lima menit, karena itu, harus ada sirkulasi
darah untuk menyampailkan oksigen dan glukosa ke otak. Jadi waktu
untuk memulihkan pernafasan dan sirkulasi darah adalah singkat, dan
keadaan kadar dextrose yang diberikan harus cukup untuk nutrisi otak,
b. Kulit, perhatikan tanda trauma, stigmata penyakit hati, bekas suntikan,
kulit basah karena keringat misalnya pada hipoglikemi dan syok, kulit
kering misalnya pada koma diabetic, perdarahan misalnya pada demam
berdara dengue dan DIC.
c. Kepala, Perhatikan tanda trauma, hematoma dikulit kepala, hematoma
disekitar mata, perdarahan di liang telinga dan hidung.
d. Thoraks, jantung, parum abdomen dan ekstremitas.

Pemeriksaan Neurologis Penurunan Kesadaran

Pada penderita koma atau kesadaran menurun harus dilakukan


pemeriksaan neurologis. Dengan pemeriksaan ini sering dapat diungkapkan
penyebab koma. Perhatikan sikap penderita sewaktu berbaring, apakah tenang
dan santai, yang menandakan bahwa penurunan kesadaran tidak dalam.
Adanya gerak menguap dan menelan menandakan bahwa turunnya kesadaran

5
tidak dalam. Kelopak mata yang terbuka dan rahang yang “tergantung”
didapatkan pada penurunan kesadaran yang dalam. Perlu diketahui bahwa
tidak ada batasan yang tegas antara tingkat-tingkat kesadaran. Secara umum
dapat dikatakan bahwa semakin kuat rangsang yang dibutuhkan untuk
membangkitkan jawaban, semakin dalam penurunan tingkat kesadaran. Untk
memantau tingkat kesadaran dapat dapat menggunakan Glasgow Coma Scale,
yang memeperlihatkan respons (tanggapan) penderita terhadap rangsang.
Selain itu, perlu pula diperiksa keadaan respirasi, pupil mata, gerakan bola
mata, fnduskopi dan motorik.

Respirasi. Pola pernafasan harus diperhatikan. Hal ini dapat membantu


mengetahui letak lesi dan kadang-kadang menentukan jenis gangguan. Pada
pola pernafasan seperti “Cheyne Stokes”. Penderita bernafas makin lama
makin dalam, kemudian makakin mendangkal dan diselingi oleh apne. Pola
pernafasan ini dijumpai disfungsi hemisfer bilateral, sedangkan batang otak
mash baik. Hal ini dapat merupakan gejala pertama pada herniasi trans
tentorial. Pola pernafasan ini juga dapat disebabkan oleh gangguan metabolic
dan gangguan jantung. Pada pola pernafasan jenis hiperventilasi neurogen-
sentral, pernafasannya cepat dan dalam,berfrekuensi kira-kira 25 per menit.
Dalam hal ini, lesi berada di tegmentum batang otak antara mesensefalon dan pons.
Pada pemeriksaan didapatkan ambang respirasi yang rendah, dan pemeriksaan darah
menunjukkan alkalosis respirasi, PCO2 arterial rendah, pH meningkat dan terdapat
hipoksia ringan. Pemberian oksigen tidak akan mengubah pola pernafasan. Pola
pernafasan ini didapatkan pada infark mesensefalon-pontin, anoksia atau hipoglikemia
yang melibatkan daerah ini dan pada kompresi mesensefalon karena herniasi
transtentorial. Pola pernafasan apnestik ditandai oleh inspirasi yang memaniang diikuti
oleh apne pada saat ekspirasi dengan frekuensi 1 -11/2 per menit. Hal ini dapat diikuti
oleh pernafasan klaster (clusler breattltng) yang ditandai oleh respirasi yang
berkelompok diikuti oleh apneu. Keadaan ini didapatkan pada kerusakan pons.
Pernafasan ataksik (ireguler) ditandai oleh pola pernafasan yang tidak teratur, baik
dalamnya maupun iramanya. Kerusakan terdapat di pusat pernafasan di medula
oblongata dan merupakan keadaan preterminal. Ingatlah, bahwa kerusakan yang luas
di batang otak jarang disertai oleh pola pernafasan yang normal.

6
7
Koma dengan hipervontilasi sering dijumpai pada gangguan metabolik yaitu:

a. Asidosis metabolik

 ketoasdosis diabetik

 uremia

 asidosis asam laktat

 keracunan asam organik


b. Alkalosis respiratorik
 ensefalopati hepatik
 keracunan salisilat

Pupil. Perhatikan keadaan pupil, bagaimana ukurannya : normal, besar


(midriasts), atau kecil (miosis); dan apakah sama besar. Stimulasi saraf slmpalik
mengakibatkan midriasis, sedangkan stimulasi parasimpatik menyebabkan miosis.
Obat yang dapat mengakibatkan mwsis ialah stimulator parasimpatik (misalnya:
bromida, fisostigmin, neostigmin. pilo-karpin, nikotin) atau inhibitor simpatik
(misalnya: guanctedin, reserpin. alta-metildopa. priskolin). Yang mengakibatkan
midriasis ialah inhibitor parasimpatik (misalnya: atropin, skopolamin, tofranil.
benedril, toksin Botulismus) atau stimulator simpatik (misalnya: kokain, efedrin.
adrenalin, neosinethn. tiramin). Pupil yang masih bereaksi menandakan bahwa
mesensefalon belum rusak. Pada penderita koma dengan reaksi kornea dan gerak bola
mata ekstraokuler yang negatif, sedangkan reaksi pupil masih ada, maka perlu
dipikirkan adanya kemungkinan gangguan metabolik (misalnya hipoglikemia) atau
intoksikasi obat (misalnya barbiturat). Lesi pada mesensefalon mengakibatkan dilatasi
pupil yang tidak bereaksi terhadap cahaya. Pupil yang melebar sesisi dan tidak
bereaksi menandakan tekanan pada sarat otak ke III yang dapat disebabkan oleh
herniasi tentonal (unkus). Kerusakan di pons dapat mengakibatkan pupil yang ked.
yang masih bereaksi terhadap cahaya terang (lihat dengan kaca pembesar) Heroin
dapat mengakibatkan pupil yang kecil. Diperiksa: ukuran, reaktivitas cahaya

8
- Simetris/ reaktivitas cahaya normal, petunjuk bahwa integritas
mesensefalon baik. Pupil reaksi normal, reflek kornea dan okulosefalik
(-), dicurigai suatu koma metabolik
- Mid posisi (2-5 mm), fixed dan irregular, lesi mesenfalon fokal.
- Pupil reaktif pint-point, pada kerusakan pons, intoksikasi opiat kolinergik.
- Dilatasi unilateral dan fixed, terjadi herniasi.
- Pupil bilateral fixed dan dilatasi, herniasi sentral, hipoksik-iskemi global,
keracunan barbiturat.
Motorik. Perhatikan adanya gerakan pasien, apakah asimetrik (berani ada
paresis) Gerak miofclonik dapat dijumpai pada ensefatopati metabolik (mininya pada
gagal hepar, uremta. htpoksia). demikian juga gerak astcriksis Kejang muibfokai dapat
dijumpai pada gangguan metaboik. Sikap dekortikasi (lengan dalam keadaan fleksi
dan aduksi. sedangkan tungkai dalam keadaan okstensi) menandakan lesi yang dalam
pada hemisfer atau tepat di alas mesensefalon. Sikap deserebrasl (lengan dalam
keadaan ekstensi, aduksi dan endorotasl, sedangkan tungkai dalam sikap ekstensi)
dapat dijumpai pada lesi batang otak bagian atas. di antara nukleus ruber dan nukleus
vestibular.

9
2.2. Pemeriksaan Rangsang Meningeal

Bila selaput otak meradang (misalnya pada meningitis atau dirongga


subarakhnoid terdapat benda asing (misalnya darah, seperti pada perdarahan
subarakhnoid), maka hal ini dapat merangsang selaput otak dan terjadilah
iritasi meningeal atau rangsangan selaput otak. Manifestasi subjektif dari
keadaan ini ialah keluhan yang dapat berupa sakit kepala, kuduk terasa kaku,
fotofobia (takut cahaya, peka terhadap cahaya) dan hiperakusis (peka terhadap
suara). Gejala lain yang dapat dijumpai ialah: sikap tungkai yang cenderung
mengambil posisi fleksi, dan opistotonus, yaitu kepala dikedikkan kebelakang
dan punggung melengkung ke belakang. Sehingga pasien berada dalam
keadaan ekstensi. (opisto = belakang, tonos = tegang) karena terangsangnya
otot-otot ekstensor kuduk dan punggung. Opistotonus ini lebih sering kita
jumpai pada bayi dan yang menderita meningitis, misalnya meningitis
tuberkulosa. Beberapa tanda-tanda klinis dapat mendiagnosis meningitis,
tanda brudzinski dan tanda kernig sangat mudah didapatkan dan sekaligus
mengingatkan dokter akan meningitis.
Selain itu, rangsangan selaput otak dapat memberikan beberapa gejala,
diantaranya kaku kuduk, tanda Lasegue, Kernig, Brudzinski l (Brudzinski’s
neck sign), dan Brudzinski ll , (Brudzinski contralateral leg sign),
Brudzinski III dan Brudzinski IV.

1. Kaku kuduk

Untuk memeriksa kaku kuduk dapat dilakukan dengan cara tangan


pemeriksa ditempatkan dibawah kepala pasien yang sedang berbaring,
kemudian kepala ditekukan (fleksi) dan diusahakan agar dagu mencapai dada.
Selama penekukan diperhatikan adanya tahanan. Bila terdapat kaku kuduk kita
dapatkan tahanan dan dagu tidak dapat mencapai dada. Kaku kuduk dapat
bersifat ringan atau berat. Pada kaku kuduk yang berat kepala tidak dapat
ditekuk, malah sering kepala terkedik kebelakang. Pada keadaan yang ringan,
kaku kuduk dinilai dari tahanan yang dialami waktu menekukkan kepala.

10
Selain dari rangsang selaput otak, kaku kuduk dapat disebabkan oleh
myositis otot kuduk, abses retrofaringeal, atau artritis di servikal. Pada kaku
kuduk oleh rangsang selaput otak, tahanan didapatkan ketika kita menekukkan
kepal, sedangkan bila kepala dirotasi, biasanya dapat dilakukan dengan
mudah, dan umumnya tahanan tidak bertambah. Demikian juga hiperekstensi
dapat dilakukan.

2. Tanda Lasegue

Pasien yang sedang berbaring diluruskan (ekstensi) kedua tungkainya.


Kemudian satu tungkai diangkat lurus, dibengkokkan (fleksi) pada persendian
panggulnya. Tungkai yang satu lagi harus selalu berada dalam keadaan
ekstensi (lurus).pada keadaan normal, kita dapat mencapai sudut 70 derajat
sebelum timbul rasa sakit dan tahanan. Bila sudah timbul rasa sakit dan
tahanan sebelum mencapai 70 derajat, maka disebut tanda lasegue positif.
Namun demikian, pada pasien yang sudah lanjut usianya diambil patokan 60
derajat. Tanda lasegue positif dapat dijumpai pada kelainan :rangsang selaput
otak, isialgia, dan iritasi pleksus lumbosacral (misalnya HNP).

3. Kernig sign

Pada pemeriksaan ini, pasien yang sedang berbaring difleksikan pahanya


pada persendian panggul sampai membuat sudut 90°. Setelah itu tungkai
bawah diekstensikan pada persendian lutut sampai membentuk sudut lebih
dari 135° terhadap paha. Bila teradapat tahanan dan rasa nyeri sebelum atau
kurang dari sudut 135°, maka dikatakan Kernig sign positif. Sebagaimana
halnya dengan tanda lasegue, maka tanda kernig positif terjadi pada kelainan

11
rangsang selaput otak, dan iritasi akar lumbosacral atau pleksusnya (misalnya
pada HNP-lumbal). Pada meningitis tandanya biasanya positif bilateral
sedangkan pada HNP unilateral

4. Brudzinski I (Brudzinski’s neck sign)

Pasien berbaring dalam sikap terlentang, dengan tangan yang ditempatkan


dibawah kepala pasien yang sedang berbaring , tangan pemeriksa yang satu
lagi sebaiknya ditempatkan di dada pasien untuk mencegah diangkatnya badan
kemudian kepala pasien difleksikan sehingga dagu menyentuh dada. Test ini
adalah positif bila gerakan fleksi kepala disusul dengan gerakan fleksi di sendi
lutut dan panggul kedua tungkai secara reflektorik. Sebelumnya perlu
diperhatikan apakah tungkainya lumpuh, sebab jika lumpuh tentulah tidak
difleksikan.

5. Brudzinski II (Brudzinski’s contralateral leg sign)

Pada pasien yang sedang berbaring, satu tungkai difleksikan pada


persendian panggul, sedang tungkai yang satu lagi berada dalam keadaan
ekstensi (lurus). Bila tungkai yang satu ini ikut pula terfleksi, maka disebut
tanda brudzinski II positif. Sebagaimana halnya dengan pemeriksaan adanya

12
tanda brudzinski I perlu diperhatikan apakah tungkainya lumpuh, sebab jika
lumpuh tentulah tidak difleksikan.

6. Brudzinski III
Penekanan pada simfisis pubis akan disusul oleh timbulnya gerakan fleksi
secara reflektorik pada kedua tungkai disendi lutut dan panggul.
7. Brudzinski IV
Menekan symphysis pubis maka akan terjadi flexi pada kedua tungkai

2.3. Pemeriksaan Sistem Motorik

Memeriksa system motoric harus dimahiri. Sebagian besar manifestasi


objektif kelainan saraf bermanifestasi dalam gangguan gerak otak, justru
manifestasi objek inilah yang merupakan bukti rill adanya suatu kelainan atau
penyakit.

Telah dikemukakan bahwa : sindrom lower motor neuron mempunyai


gejala : lumpuh, atoni, atrofi, dan arefleksi. Sindrom lower motor neuron
didapatkan pada kerusakan di neuron motorik, neuraksis neuron motorik
(misalnya saraf spinal, pleksus, saraf perifer), alat penghubung neuraksis dan
otot (myoneural junction) dan otot. Sindrom upper motor neuron, yang
dijumpai pada kerusakan sistem pyramidal, mempunyai gejala : lumpuh,
hipertoni, hiper refleksi, dan klonus, serta refleks patologis. Kita ketahui pula
bahwa kelumpuhan bukanlah merupakan kelainan yang harus ada pada tiap
gangguan gerak. Pada gangguan gerak oleh kelainan di system ekstrapiramidal
dan serebelar, kita tidak mendapatkan kelumpuhan.

Pada gangguan sistem ekstrapiramidal didapatkan gangguan pada tonus


otot, gerakan otot abnormal yang tidak dapat dikendalikan, gangguan pada
kelancaran gerakan otot volunter dan gangguan gerak-otot asosiatif.

13
Gangguan pada serebelum mengakibatkan gangguan gerak berupa
gangguan sikap dan tonus. Selain itu, juga terjadi ataksia, dismetria, dan
tremor intensi. (Tiga fungsi penting dari serebelum ialah keseimbangan,
pengatur tonus otot, dan pengelola serta pengkoordinasi gerakan volunter).

PEMERIKSAAN
Pada tiap bagian badan yang dapat bergerak harus dilakukan :

1. Inspeksi
2. Palpasi
3. Pemeriksaan gerakan pasf
4. Pemeriksaan gerakan aktif
5. Koordinasi gerakan

1. INSPEKSI

Pada inspeksi diperhatikan sikap, bentuk, ukuran, dan adanya gerak


abnormal yang tidak dapat dikendalikan.

Sikap

Perhatikan sikap secara keseluruhan dan sikap tiap bagian tubuh.


Bagaimana sikap pasien waktu berdiri, duduk, berbaring, bergerak, dan
berjalan.

Jika pasien berdiri, perhatikan sikap dan posisi badannya, baik secara
keseluruhan maupun sebagian. Pasien dengan gangguan serebelum berdiri
dengan muka membelok ke arah kontralateral terhadap lesi, bahunya pada
sisi lesi agak lebih rendah, dan badannya miring ke sisi lesi. Penderita
penyakit Parkinson berdiri dengan kepala dan leher dibungkukkan ke
depan, lengan dan tungkai berada dalam fleksi.

Bila ia jalan, tampaknya seolah-olah hendak jatuh ke depan; gerakan


asosiatifnya terganggu, lengan kurang dilenggangkan, dan terlihat tremor
kasar, terutama di tangan. Pada anak dengan distrofia muskulorum
progresiva terlihat lordosis yang jelas; bila ia berjalan, panggul seolah-olah

14
berputar dengan maksud agar berat badan berpindah ke tungkai yang
sedang bertumpuh. Pada penderita hemiparese oleh gangguan sistem
piramidal, lengan berada dalam sikap fleksi, sedangkan tungkai dalam
ekstensi.

Bila ia berjalan, tungkai membuat gerak sirkumdiksi. Pada pasien


dengan paraparese jenis sentral, cara berjalannya seperti gunting, yaitu
tungkai seolah-olah menyilang. Penderita dengan gangguan di
serebelumberjalan dengan kaki mengangkang, demikian juga penderita
tabes dorsalis. Selain itu, penderita tabes dorsalis selalu melihat ke bawah
memperhatikan kaki dan jalannya, sebab kalau tidak, ia akan jatuh. Pasien
polineuritis berjalan seperti ayam, yaitu tungkai difleksikan tinggi-tinggi
pada persendian lutut, supaya dapat mengangkat kakinya yang kurang
mampu melakukan dorsofleksi.

Gerakan bagian tubuh perlu diperhatikan dan dibandingkan. Pada anak


yang sedang meronta atau orang dewasa yang gelisah, bagian yang paretis
terlihat kurang digerakkan.

Bentuk : Perhatikan adanya deformitas.

Ukuran

Perhatikan apakah panjang badan tubuh sebelah kiri sama dengan yang
kanan. Orang dewasa yang mengalami lumpuh sejak masa kanak-kanak,
ukuran ekstremitas yang lumpuh lebih pendek daripada yang sehat.
Kemudian perhatikan besar (isi) kontur (bentuk) otot. Adakah atrofi atau
hipertrofi. Perhatikan kontur (bentuk) otot. Pada atrofi besar otot
berkurang dan bentuknya berubah. Kelumpuhan jenis perifer disertai oleh
hipotrofi atau atrofi.

Perhatikan besarnya otot, bandingkan dengan otot sisi lainnya. Bila


dicurigai adanya atrofi, ukurlah kelilingnya. Pengukuran dilakukan dengan
menyebutkan tempat di mana dilakukan pengukuran. Biasanya digunakan
tonjolan tulang sebagai patokan. Misalnya 3 cm di atas olekranon, atau

15
patella atau tonjolan lainnya. Setelah itu perhatikan pula bentuk otot. Hal
ini dilakukan dalam keadaan otot beristirahat dan sewaktu berkontraksi.
Bila didapatkan atrofi, kontur biasanya berubah atau berkurang.
Pada keadaan pseudo-hipertrofi, ukuran otot tampak lebih besar, namun
tenaganya kurang. Hal ini disebabkan karena jaringan otot diganti oleh
jaringan lemak atau jaringan ikat. Hal ini didapatkan pada distrofia
muskulorum progresiva, dan terjadi di otot betis dan gluteus.

Gerakan involuter (abnormal yang tidak terkendali)

Di antara gerakan abnormal yang tidak terkendali yang kita kenal


ialah : tremor, khorea, atetose, distonia, balismus, spasme, tik,
fasikulasi, dan miokloni.

Gerakan abnormal dapat terjadi dalam berbagai bentuk dan keadaan.


Gerakan abnormal merupakan kontraksi otot-otot volunteer yang tidak
terkendali. Nilainya secara klinis dalam menentukan diagnosis dan
lokalisasi penyakit saraf dapat sangat besar, oleh karenanya harus diamati
dengan baik. Gerakan abnormal ini dapat mengenai tiap bagian tubuh. Ia
timbul karena terlibatnya berbagai bagian sistem motorik, misalnya :
korteks, serabut yang turun dari korteks, ganglia basal, batang otak dan
pusat-pusatnya, serebelum dan hubungan-hubungannya, medulla spinalis,
serabut saraf perifer, atau ototnya sendiri. Sifat gerakan dipengaruhi oleh
letak lesi dan kelainan patologiknya. Lesi pada tempat yang berlainan
kadang dapat menyebabkan gerakan yang identik, dan proses patologis
yang berlainan pada tempat yang sama kadang dapat mengakibatkan
bermacam bentuk gerakan abnormal.

Pada pemeriksaan gerakan abnormal kita harus mengobservasi


penampilan klinisnya dan manifestasi visualnya, menganalisis pola
gerakan dan melukiskan komponen-komponennya. Bila gerakan sesuai
dengan gambaran klinik tertentu yang telah mempunyai nama, nama ini
digunakan untuk gerakan tersebut, tetapi sebaiknya ditambah dengan
melukiskan gerakan tersebut, daripada hanya memberi suatu nama saja.

16
Kadang-kadang untuk mengetahui gerakan abnormal ini dibutuhkan
palpasi, terlebih bila gerakannya sangat lemah dan terbatas pada sebagian
dari kelompok otot.

Tremor. Tremor ialah serentetan gerakan involunter, agak ritmis,


merupakan getaran, yang timbul karena berkontraksinya otot-otot yang
berlawanan secara bergantian. Ia dapat melibatkan satu atau lebih bagian
tubuh. Jenis tremor yang perlu kita kenal ialah : tremor normal atau
fisiologis; tremor halus (disebut juga tremor toksik) dan tremor kasar.
Tremor fisiologis didapatkan bila anggota gerak ditempatkan pada posisi
yang sulit, atau bila kita melakukan gerakan volunteer dengan sangat
lambat. Tremor yang terlihat pada orang normal yang sedang marah atau
ketakutan merupakan aksentuasi dari tremor fisiologis ini.
Tremor halus dianggap juga sebagai tremor toksik. Contoh yang khas ialah
tremor yang dijumpai pada hipertiroidi. Tremor ini terutama terjadi pada
jari dan tangan. Kadang-kadang tremor ini sangat halus dan sukar dilihat.
Untuk memperjelasnya, kita tempatkan kertas di atas jari-jari dan
tampaklah kertas tersebut bergetar walaupun tremor belum jelas terlihat.
Tremor toksik ini didapatkan pula pada keracunan nikotin, kafein, obat-
obatan seperti adrenalin, efedrin, atau barbiturat.

Tremor kasar, salah satu contohnya ialah tremor yang didapatkan pada
penyakit Parkinson. Ini merupakan tremor yang lambat, kasar, dan
majemuk. Pada penyakit Parkinson, gerakan jari-jari mirip gerakan
menghitung duit atau membuat pil (pill rolling tremor). Contoh lainnya
adalah tremor intensi. Tremor intensi merupakan tremor yang timbul
waktu melakukan gerakan volunter dan menjadi lebih nyata ketika gerakan
hampir mencapai tujuannya. Tremor ini merupakan tremor kasar, dan
dapat dijumpai pada gangguan serebellum. Pada tes tunjuk-hidung pada
pasien dengan gangguan di serebelum, tremor menjadi lebih nyata pada
saat telunjuk hampir mancapai hidung.

17
Khorea. Kata khorea berasal dari kata Junani yang berarti menari. Pada
khorea gerak otot berlangsung cepat, sekonyong-konyong, aritmik, dan
kasar yang dapat melibatkan satu ekstremitas, separuh badan atau seluruh
badan. Hal ini dengan khas terlihat pada anggota gerak atas (lengan dan
tangan), terutama bagian distal. Pada gerakan ini tidak didapatkan gerakan
yang harmonis antara otot-otot penggerak, baik antar otot yang sinergis
maupun antagonis. Bila pasien disuruh meluruskan lengan dan tangannya,
kita dapatkan hiperekstensi pada falang proksimal dan terminal, dan
pergelangan tangan berada dalam fleksi dengan sedikit dipronasikan. Hal
ini menjadi lebih jelas bila pasien disuruh mengangkat lengannya ke atas.
Jari-jari tangan biasanya akan diregangkan, dan ibu jari diabduksikan dan
terarah ke bawah.

Bila pasien disuruh menggenggam tangan pemeriksa, terasa bahwa


tenaga genggaman tidak konstan (tidak tetap) melainkan berfluktuasi,
terasa melemah kemudian menguat lagi dan seterusnya. Bila khorea
melibatkan lidah, didapatkan kesukaran berbicara atau mengunyah. Jika
penderitanya disuruh mengeluarkan lidah, hal ini dilakukannya secara
mendadak dan kemudian ditariknya kembali.

Gerak khorea dapat dibuat nyata bila pasien disuruh melakukan dua
macam gerakan sekaligus, misalnya ia disuruh menaikkan lengannya ke
atas sambil menjulurkan lidah. Gerakan khorea didapatkan dalam keadaan
istirahat dan menjadi lebih hebat bila ada aktivitas dan ketegangan. Khorea
menghilang bila penderitanya tidur. Gerakan khorea antara lain dijumpai
pada penyakit khorea Sydenham, khorea Huntington, dan khorea
gravidarum.

Atetose. Kata atetose berasal dari kata Yunani yang berarti berubah.
Berlainan dari khorea yang gerakannya berlangsung cepat, mendadak, dan
terutama melibatkan bagian distal, maka atetose ditandai oleh gerakan
yang lebih lamban, seperti gerak ular, dan melibatkan otot bagian distal.
Namun demikian hal ini cenderung menyebar juga ke proksimal. Atetosis
dapat dijumpai pada banyak penyakit yang melibatkan ganglia basal.

18
Distonia. Bila terjadi kerusakan besar pada susunan ekstrapiramidal yang
melibatkan beberapa komponen ganglia basal, didapatkan gejala yang
kompleks. Hal ini dijumpai pada distonia muskulorum deformans, di mana
didapatkan gerakan distonia. Biasanya distonia ini dimulai dengan gerak
otot berbentuk atetose pada lengan atau anggota gerak lain, kemudian
gerakan otot bentuk atetose ini menjadi kompleks, yaitu menunjukkan
torsi yang keras dan berbelit. Gerakan torsi otot (memutar berbelit) terjadi
juga pada otot leher dan punggung, sehingga didapatkan tortikolis dan
tortipelvis. Gerak otot abnormal ini dapat mengakibatkan terjadinya
skoliosis, pes ekuinovarus, pes valgus, dan kontraktur.

Balismus. Balismus (hemibalismus) ialah gerak otot yang datang


sekonyong-konyong, kasar dan cepat, dan terutama mengenai otot-otot
skelet yang letaknya proksimal; sedangkan pada khorea, gerak otot kasar,
cepat, dan terutama melibatkan otot-otot yang agak distal.

Spasme. Spasmus merupakan gerakan abnormal yang terjadi karena


kontraksi otot-otot yang biasanya disarafi oleh satu saraf. Spasme klonik
mulai sekonyong-konyong, berlangsung sebentar dan dapat berulang-
ulang. Spasme tonik dapat berlangsung lama dan terus menerus. Spasme
klonik menyerupai kontraksi otot yang terjadi pada waktu faradisasi.
Spasme dapat timbul karena iritasi saraf perifer atau otot, tetapi dapat juga
timbul karena iritasi di suatu tempat, mulai dari korteks sampai ke serabut
otot. Contoh dari spasme ialah trismus, rhisus sardonikus, dan hiccup.
Trismus merupakan spasme tonik otot pengunyah, dan rhisus sardonikus
adalah spasme tonik pada otot fasial.

19
Tik (tic). Penyebab tik belum diketahui. Ada pakar yang menganggapnya
sebagai suatu conditioned reflex, ada pula yang mengatakan bahwa faktor
psikogen mempunyai peranan, dan pakar lainnya mengemukakan bahwa
sistem ekstrapiramidal memainkan peranan pula. Tik merupakan suatu
gerakan terkoordinir, berulang, dan melibatkan sekelompok otot dalam
hubungan yang sinergistik. Ada tik yang menyerupai spasme klonik, dan
disebutkan sebagai spasme-kebiasaan (habit spasm).

Fasikulasi. Fasikulasi merupakan gerakan halus, cepat, dan berkedut dari


satu berkas (fasikulus) serabut otot atau satu unit motorik. Satu unit
motorik ialah satu sel neuron motorik, aksonnya serta semua serabut otot
yang disarafinya. Gerak fasikulasi biasanya tidak menyebabkan gerakan
pada persendian, kecuali bila fasikulasi terdapat di jari-jari. Dalam hal
sedemikian kadang terjadi gerakan pada persendian.

Penyebab fasikulasi belum jelas benar; iritasi pada sel neuron motorik
dapat menimbulkan fasikulasi. Adanya fasikulasi dapat dibuat lebih nyata
dengan jalan memberikan rangsang mekanis pada otot tersebut, misalnya
dengan pukulan.

Fasikulasi mempunyai nilai prognostik pada penyakit degeneratif yang


melibatkan sel neuran motorik, misalnya ALS (sklerosis amiotrofik
lateral). Makin banyak fasikulasi, makin cepat progresivitas penyakit.
Kadang-kadang fasikulasi dijumpai pada orang yang normal. Dalam hal
demikian, fasikulasi tidak disertai atrofi, Fenomena yang serupa (yang
disebut miokimia) dapat menyebabkan kontraksi spasmodik m. orbikularis
okuli, m. levator palpebra superior atau otot wajah lainnya. Hal ini
merupakan keadaan yang benigna dan dapat dicetuskan oleh kelelahan
atau kecemasan. Fasikulasi benigna dan miokimia sering menimbulkan
rasa takut pada penderitanya, yang mengasosiasikannya dengan penyakit
yang berat.

Mioklonik. Mioklonik ialah gerakan yang timbul karena kontraksi otot


secara cepat, sekonyong-konyong, sebentar, aritmik, asinergik, dan tidak

20
terkendali. Otot yang berkontraksi dapat meliputi sebagian dari satu otot,
seluruh otot atau sekelompok otot-otot tanpa memandang asosiasi
fungsional otot tersebut. Gerak mioklonia ini terutama didapatkan pada
otot-otot ekstremitas dan badan, tetapi ia sering juga difus dan meluas, dan
melibatkan otot muka, rahang, lidah, faring, dan laring. Ia timbul secara
paroksismal, pada waktu yang tidak tertentu, baik pada saat istirahat
maupun pada waktu sedang aktif. Namun demikian, ia dapat menjadi lebih
hebat bila ada rangsang emosional, mental, taktil, visual, atau rangsang
auditoar. Ia dapat berkurang bila ada gerakan volunter. Ia dapat timbul
pada saat pasien hendak tertidur, dan biasanya menghilang bila sudah
tertidur.

Gerakan miokloni dapat kecil sehingga tidak menyebabkan gerakan


pada persendian, tetapi bila ia mengenai seluruh otot atau sekelompok
otot, gerakannya dapat kuat sehingga mengakibatkan gerakan klonik pada
ekstremitas. Gerakan dapat sedemikian hebat, sehingga satu anggota gerak
seolah-olah terlempar dengan tiba-tiba atau dapat menyebabkan penderita
tercampak jatuh.

2. PALPASI

Pasien disuruh mengistirahatkan ototnya. Kemudian otot ini dipalpasi


untuk menentukan konsistensi serta adanya nyeri-tekan. Dengan palpasi
kita dapat menilai tonus otot, terutama bila ada hipotoni. Penentuan tonus
dilakukan pada berbagai posisi anggota gerak dan bagian badan.

3. PEMERIKSAAN GERAKAN PASIF

Penderita disuruh mengistirahatkan ekstremitasnya. Bagian dari


ekstremitas ini kita gerakkan pada persendiannya. Gerakan dibuat
bervariasi, mula-mula cepat kemudian lambat, cepat, lebih lambat, dan
seterusnya. Sambil menggerakkan kita nilai tahanannya. Dalam keadaan
normal kita tidak menemukan tahanan yang berarti, jika penderita dapat
mengistirahatkan ekstremitasnya dengan baik, terutama anak-anak,
sehingga kita mengalami kesulitan menilai tahanan.

21
Kadang-kadang tahanan didapatkan pada satu jurusan saja, misalnya
tungkai sukar difleksikan tetapi mudah diekstensikan. Keadaan ini
misalnya didapatkan pada lesi di traktus piramidal. Jangan lupa
membandingkan bagian-bagian yang simetris. Pada gangguan sistem
ekstrapiramidal, dapat dijumpai tahanan yang sama kuatnya (rigiditas).
Kadang-kadang dijumpai keadaan dengan tahanan hilang timbul (fenomen
cogwheel).

4. PEMERIKSAAN GERAKAN AKTIF

Pada pemeriksaan ini kita nilai kekuatan (kontraksi) otot. Untuk


memeriksa adanya kelumpuhan, kita dapat menggunakan 2 cara berikut :

1. Pasien disuruh menggerakkan bagian ekstremitas atau badannya dan


kita menahan gerakan ini.
2. Kita (pemeriksa) menggerakkan bagian ekstremitas atau badan pasien
dan ia disuruh menahan.

Contoh cara 1 : Pasien disuruh memfleksikan lengan bawahnya dan kita


menghalangi usahanya ini. Dengan demikian, dapat dinilai kekuatan otot
biseps.

Contoh cara 2 : Kita (pemeriksa) ekstensikan lengan bawah pasien dan ia


disuruh menghalangi (menahan) usaha ini. Dengan demikian, dapat dinilai
kekuatan otot biseps.

Jadi dengan kedua cara tersebut di atas dapat dinilai tenaga otot. Dokter
umumnya menggunakan cara 1, yaitu pemeriksa yang menahan. Bila
pasien yang disuruh menahan, ditakutkan kekuatan yang dilakukan oleh
dokter terlalu besar. Bila pasien lumpuh total, tidak sulit untuk
memastikannya, namun bila ia lumpuh sebagian atau parsial, tidak mudah
memastikan atau menilainya. Tenaga orang yang normal berbeda-beda.

22
Misalnya, tenaga seorang atlit angkat besi jauh lebih kuat daripada tenaga
seorang juru tulis. Tidak selalu mudah membedakan parese (lumpuh)
ringan dari tidak ada parese. Kita mungkin mendapat pertolongan dari
beberapa hal berikut yaitu:

1. Keluhan pasien (mungkin ia mengemukakan tenaganya berkurang).


2. Otot dibagian yang simetris tidak sama tenaganya.
3. Berkurangnya kelancaran gerakan. Parese ringan kadang-kadang
ditandai oleh menurunnya kelancaran gerakan.
4. Didapatkan gejala lain, misalnya : arefleksi, atrofi, hiperrefleksi, dan
refleks patologis.
5. Dalam praktek sehari-hari, tenaga otot dinyatakan dengan
menggunakan angka dari 0 – 5. (0 berarti lumpuh samasekali, dan 5 =
normal).

0 : Tidak didapatkan sedikitpun kontraksi otot; lumpuh total.


1 : Terdapat sedikit kontraksi otot, namun tidak didapatkan gerakan
pada persendian yang harus digerakkan oleh otot tersebut.
2 : Didapatkan gerakan, tetapi gerakan ini tidak mampu melawan
gaya
berat (gravitas).
3 : Dapat mengadakan gerakan melawan gaya berat.
4 : Disamping dapat melawan gaya berat ia dapat pula mengatasi
sedikit tahanan yang diberikan.
5 : Tidak ada kelumpuhan (normal).
Contoh tenaga 2 : Pasien mampu menggeser tungkainya di tempat
tidur, namun tidak mampu mengangkatnya (melawan gaya berat).
Berdasarkan pengetahuan di atas dan dibantu oleh pengetahuan
anatomi otot serta gerakan yang dilakukan otot tersebut, kita dapat
menilai tenaga dari bermacam otot. Pada buku ini tidak mungkin
diperbincangkan gerakan semua otot di badan. Pembaca dapat
menggunakan buku anatomi mengenai otot. Di sini akan dikemukakan
beberapa hal saja yang bermanfaat dalam praktek sehari-hari, yaitu

23
pemeriksaan gerakan kepala, anggota gerak atas, badan, dan anggota
gerak bawah.

Kepala

Perhatikan sikap kepala. Pada paralisis agitans (sindrom Parkinson),


kepala ditekukkan ke depan; pada meningitis, penderita berbaring dengan
kepala dikedikkan ke belakang; pada gangguan di serebelum, kepala
terrotasi sedikit ke arah kontralateral dari lesi.

Periksa apakah ada tahanan jika kepala digerakkan secara pasif. Pada
radang selaput otak didapatkan kaku kuduk. Pada tortikolis juga
didapatkan tahanan, demikian juga pada spondilitis servikal. Gerakan aktif
diperiksa dengan menyuruh pasien menekukkan kepala ke depan, ke
belakang, ke samping kiri, dan kanan, serta melakukan gerakan rotasi.
Pemeriksa menilai tenaganya, dan membandingkan tenaga gerakan ke kiri
dan ke kanan.

Anggota gerak atas

Perhatikan apakah ada atrofi otot tenar, hipotenar, dan otot intrinsik
tangan. Periksa gerakan jari-jari; bagaimana tenaga fleksi, ekstensi,
abduksi, dan aduksi. Periksa tenaga menggenggam. Hal ini dilakukan
dengan menyuruh pasien menggenggam jari pemeriksa dan kemudian
pemeriksa menarik lepas jari tersebut. Gerakan di pergelangan juga
diperiksa, dan ditentukan tenaganya pada gerakan pronasi dan supinasi.
Fleksi dan ekstensi pada persendian siku, juga diperiksa. Gerakan pada
persendian bahu diperiksa dengan menyuruh pasien menggerakkan lengan
yang diekstensi, pada bidang frontal dan sagital, dan juga melakukan rotasi
pada persendian bahu. Selain itu, juga gerakan bahu ke atas, bawah, depan,
dan ke belakang diperiksa. Setelah itu, periksalah otot pektoralis mayor,
latisimus dorsi, seratus magnus, deltoid, biseps, dan triseps.

Deltoid.

24
Pasien disuruh mengangkat lengannya yang diluruskan ke samping
sampai di bidang horizontal. Nilailah tenaganya waktu melakukan gerakan
ini.

Biseps.

Lengan yang sudah disupinasi disuruh fleksi pada persendian siku.


Nilailah tenaga fleksi lengan bawah ini.

Triseps.
Lengan bawah yang sudah difleksi disuruh ekstensikan. Nilailah tenaga
ekstensi ini

Badan

Erektor spina.

Bila pasien sedang berdiri, suruh ia mengambil suatu barang dari lantai.
Jika pasien menderita kelemahan m. erector spina, ia sukar berdiri
kembali; dan ini dilakukannya dengan bantuan tangannya, yaitu dengan
menempatkan tangannya pada lutut, paha, dan kemudian mendorongnya
sampai ia dapat berdiri lagi. Kadang terlihat juga adanya lordosis.
Otot dinding perut. Pasien yang sedang berbaring disuruh mengangkat
kepalanya dan perhatikan peranjakan dari pusar. Biasanya pusar beranjak
ke arah otot yang sehat. Suruh pasien batuk, otot yang lemah akan
membonjol. Perhatikan apakah pasien dapat duduk dari sikap berbaring
tanpa mendapat bantuan dari tangannya. Otot yang ikut bekerja dalam hal
ini ialah otot dinding perut dan otot iliopsoas.

Anggota gerak bawah

25
Untuk ini diperiksa gerakan pada : persendian jari-jari, pergelangan
kaki, lutut, paha. Selain itu juga diperiksa otot kuadriseps femoris,
iliopsoas, aduktor, abductor, dan fleksor tungkai bawah.

Kuadriseps femoris. Lutut (tungkai bawah) diekstensikan sambil kita


tahan.
Iliopsoas. Pasien berbaring dan lutut difleksikan. Kemudian paha
difleksikan lebih lanjut sambil ditahan.

Otot aduktor. Pasien berbaring pada sisinya dan tungkai berada dalam
ekstensi. Kemudian tungkai ini diaduksikan sambil ditahan.

Otot abduktor. Tungkai diabduksikan melawan tahanan.


Fleksor tungkai bawah. Tungkai bawah difleksikan sambil ditahan.
Dengan demikian dapat pula dinilaiotot-otot yang memplantarfleksikan
dan mendorsofleksikan kaki dan jari-jari. Bila ditemukan kelumpuhan,
perlu dilakukan pemeriksaan yang lebih rinci dan untuk maksud ini perlu
dirujuk buku anatomi mengenai otot.

5. PEMERIKSAAN KOORDINASI GERAKAN

Koordinasi gerak terutama diatur oleh serebelum. Secara sederhana


dapat dikatakan bahwa gangguan utama dari lesi di serebelum ialah
adanya dissinergia, yaitu kurangnya koordinasi. Artinya bila dilakukan
gerakan yang membutuhkan kerjasama antar otot, maka otot-otot ini tidak
bekerja sama secara baik, walaupun tidak didapatkan kelumpuhan. Hal ini
terlihat jika pasien berdiri, jalan, membungkuk, atau menggerakkan
anggota badan. Ada 2 hal yang perlu diperhatikan pada dissinergia ini,
yaitu : gangguan gerakan dan dismetria.

Selain itu, serebelum ikut berpartisipasi dalam mengatur sikap, tonus,


mengintegrasi, dan mengkoordinasi gerakan somatik. Lesi pada serebelum

26
dapat menyebabkan gangguan sikap dan tonus, dissinergia atau gangguan
koordinasi gerakan (ataksia). Gerakan menjadi terpecah-pecah, dengan
lain perkataan : kombinasi gerakan yang seharusnya dilakukan secara
simultan (sinkron) dan harmonis, menjadi terpecah-pecah dan dilakukan
satu per satu serta kadang simpang siur. Dissinergia ialah kehilangan
kemampuan untuk melakukan gerakan majemuk dengan tangkas,
harmonis, dan lancar.
Gejala klinis yang kita dapatkan pada gangguan serebelar ialah adanya:
gangguan koordinasi gerakan (ataksia), disdiadokhokinesia, dismetria,
tremor intensi, disgrafia (makrografia), gangguan sikap, nistagmus,
fenomena rebound, astenia, atonia, dan disartria.

Dismetria. Dismetria pada gerakan, yaitu gerakan yang tidak mampu


dihentikan tepat pada waktunya atau tepat pada tempat yang dituju. Sering
kita jumpai adanya hipermetria, yaitu melampaui tujuan; tetapi sesekali
didapatkan juga adanya hipometria, yaitu gerakan berhenti sebelum
sampai pada tujuan, yang disebabkan karena pasien takut melampaui
tujuannya.

Gangguan Gerakan. Gangguan gerakan adalah berkurangnya


kerjasama antar otot. Pada orang normal, bila ia mengedik ke belakang,
pada waktu yang bersamaan ia akan memfleksikan lutut (tungkai) nya
untuk menjaga keseimbangan. Akan tetapi, pada penderita gangguan
serebelar, saat mengedikkan badannya ke belakang, ia selalu menegangkan
tungkainya, sehingga ia berada dalam bahaya akan jatuh. Selain itu,
gangguan koordinasi gerakan dapat diketahui dengan melihat adanya
disdiadokokinesia.

Disdiadokokinesia.Hal ini merupakan ketidakmampuan melakukan


gerakan yang berlawanan berturut-turut. Suruh pasien merentangkan
kedua lengannya ke depan, kemudian suruh ia mensupinasi dan pronasi
lengan bawahnya (tangannya) secara bergantian dan cepat. Pada sisi lesi,
gerakan ini dilakukan lamban dan tidak tangkas.

27
Tremor intensi. Tremor intensi ialah tremor yang timbul bila
melakukan gerak volunter (dengan kemauan), dan menjadi lebih nyata bila
menghampiri tujuannya. Tremor intensi dapat pula diperiksa dengan jalan
menyuruh pasien mengambil benda yang kecil, makin dekat ia pada benda
tersebut, makin jelas tremor pada tangannya.

Pada dismetria, luas, jalan, serta cepatnya gerakan tidak adekuat.


Penderita seolah-olah mengingkari dalil yang mengatakan bahwa jarak
yang terpendek antara dua titik ialah satu garis lurus. Hipermetria terlihat
bila ia berjalan, dalam hal ini gerakan kaki ke atas dan ke bawah
berlebihan. Selain itu, bila ia disuruh melakukan suatu gerakan, maka
gerakan ini melampaui tujuannya. Hipermetria ini terutama menyatakan
diri dalam adanya kecenderungan untuk hiperfleksi. Anggota gerak bawah
lebih banyak terkena daripada anggota gerak atas. Gangguan serebelum
dapat diperiksa dengan berbagai cara yaitu : percobaan tunjuk hidung,
percobaan jari-jari, percobaan tumit lutut, dan pemeriksaan tentang adanya
disgrafia.

Percobaan tunjuk-hidung. Pasien disuruh menutup mata dan


meluruskan lengannya ke samping, kemudian ia disuruh menyentuh
hidungnya dengan telunjuk. Pada lesi serebelar telunjuk tidak sampai di
hidung tetapi melewatinya dan sampai di pipi. Bila jari mendekati hidung
terlihat tremor (tremor intensi) atau pasien disuruh menunjuk telunjuk
pemeriksa, kemudian menunjuk hidungnya, berulang-ulang.

Percobaan jari-jari. Penderita disuruh merentangkan kedua


lengannya ke samping sambil menutup mata. Ia kemudian disuruh
mempertemukan jari-jarinya di tengah depan. Lengan di sisi lesi akan
ketinggalan dalam gerakan ini, dan mengakibatkan jari sisi yang sehat
melampaui garis tengah.

Percobaan tumit-lutut. Penderita berbaring dengan kedua tungkai


diluruskan, kemudian ia disuruh menempatkan tumit pada lutut kaki yang
lain. Tumit ini tidak tepat mengenai lutut. Terlihat pasien mengadakan

28
fleksi lutut yang berlebihan sehingga tumit melampaui lutut dan sampai di
paha.

Disgrafia. Hal ini biasanya dalam bentuk makrografia. Karena ada


dismetria dalam bentuk hipermetria, terlihat huruf dituliskan besar-besar
dan kadang makin lama makin besar. Selain itu, bentuk hurufnyapun tidak
bagua dan kaku.

Tes gangguan fungsi serebelar terutama didasarkan atas adanya


dissinergia, yang berupa gangguan gerakan dan hipermetria. Perlu rasanya
diketahui bahwa gejala gangguan serebelar sering makin lama makin
berkurang atau menghilang. Hal ini disebabkan karena ada kompensasi
atau karena pusat-pusat lain di otak mengambil alih tugas serebelum ini.
Hal demikian jarang dijumpai pada kerusakan sistem lainnya. Jadi,
walaupun kita menjumpai gejala gangguan serebelar pada masa akut, hal
ini mungkin berkurang atau tidak ada lagi pada lesi yang sudah lama.

Sikap. Pada lesi serebelar yang unilateral, didapatkan deviasi kepala


dan badan ke sisi lesi dan terdapat pula salah-tunjuk (past pointing) ke
arah lesi. Bila pasien berdiri, badan cenderung jatuh ke arah lesi. Bila ia
berjalan, tungkai diangkat secara berlebihan, lengan kurang
dilenggangkan, dan jalannya berdeviasi ke sisi lesi. Pada lesi serebelum
bagian tengah (vermis), pasien tidak dapat berdiri tegak (lurus), ia akan
jatuh ke depan atau belakang.

Nistagmus. Nistagmus dapat disebabkan oleh lesi di traktus


vestibuloserebelar, vermis, atau pedunkulus serebeli inferior. Ia dapat juga
disebabkan oleh rusaknya hubungan antara serebelum dengan pusat-pusat
lain atau lesi serebelum sendiri. Nistagmus dapat pula disebabkan oleh
terganggunya koordinasi otot-otot mata, jadi merupakan asinergia serebeli.
Sikap bola mata yang seharusnya tetap bila ia difiksasi pada satu jurusan
menjadi berubah-ubah, yaitu bola mata bergerak secara spontan cepat ke
arah fiksasi, lalu kembali secara spontan lambat ke posisi semula,
kemudian bergerak lagi ke tempat fiksasi, kembali lagi ke posisi semula

29
dan seterusnya bolak-balik. Hal ini disebut nistagmus (gerak ritmik bola
mata). Untuk memeriksanya, mata pasien disuruh mengikuti jari
pemeriksa yang digerakkan ke samping kiri, kanan, atas, dan bawah.
Perhatikan adanya nistagmus dan tentukan apakah ada komponen lambat
dan cepat.

Fenomena rebound. Pada gangguan serebelar, fenomena rebound


berarti tidak mampu menghentikan gerakan tepat pada waktunya. Dalam
hal ini, penderita disuruh meluruskan lengannya. Kemudian ia disuruh
menarik tangannya ke arah bahunya atau hidung sambil kita halangi
(berikan tahanan). Bila tahanan kita lepas secara mendadak, gerakan fleksi
ini tidak segera berhenti dan tangan akan memukul bahu atau mukanya
dengan keras. Jadi, terlihat ketidakmampuan menghentikan gerakan
dengan segera atau menggantikannya dengan antagonisnya.

Astenia. Astenia adalah lekas lelah dan bergerak lamban. Hal ini juga
merupakan gejala dari gangguan serebelar. Otot lekas lelah dan lemah
(walaupun tidak ada parese). Gerakan dimulai dengan lamban, demikian
juga dengan kontraksi dan relaksasi.

Hipotonia. Adanya hipotonia dapat diketahui dengan jalan palpasi dan


pemeriksaan gerak pasif. Pada hipotonia, ekstensi dapat dilakukan lebih
jauh, misalnya pada persendian paha, siku, lutut, dsbnya. Hipotonia dapat
pula terlihat pada persendian, yaitu bertambah lamanya bagian anggota
gerak bergoyang, jika kita goyangkan bagian proksimal dari persendian
tersebut. Misalnya pasien disuruh melemaskan tangannya dan kita pegang
lengan bawah dan goyang-goyangkan, terlihat goyangan tangan yang lebih
lama (pendulousness); atau bahu dipegang dan digoyangkan, sedang
lengan disuruh lemaskan goyangan lengan akan lebih lama.

Tes mengenai gangguan serebelar masih banyak lagi, namun bila


pemeriksaan tersebut di atas dilakukan dengan baik, maka hal ini sudah
memadai.

30
2.4. Pemeriksaan Refleks

Pakar yang pertama kali diketahui menggunakan kata refleks ialah Rene
Descartes , pada tahun 1662. Ia melukiskan refleks memejam (refleks
ancaman); pada refleks ini, suatu pukulan yang diancamkan ke mata
menyebabkan mata dipejamkan. Kata refleks dibentuk dari; melihat objek
yang mendekat memberikan refleksi di otak. Secara sederhana dapat dikatakan
bahwa refleks ialah jawaban atas rangsangan.

Refleks neurologik bergantung pada suatu lengkungan (lengkung refleks)


yang terdiri atas jalur aferen yang dicetuskan oleh reseptor dan sistem eferen
yang mengaktivasi organ efektor, serta hubungan antara kedua komponen ini.
Misalnya refleks tendon lutut timbul karena adanya rangsang (ketokan),
reseptor, serabut aferen, ganglion spinal, neuron perantara, sel neuron motorik,
serabut aferen dan efektor (otot). Hal ini dinamakan lengkung refleks (reflex
arc).

Bila lengkung ini rusak maka refleks akan hilang. Selain di lengkungan tadi
didapatkan pula hubungan dengan pusat- pusat yang lebih tinggi di otak yang
tugasnya memodifikasi refleks tersebut. Bila hubungan dengan pusat yang lebih
tinggi ini terputus, misalnya karena kerusakan pada sistem piramidal, hal ini akan
mengakibatkan refleks meninggi.

31
Jenis refleks

Bila dibandingkan dengan pemeriksaan- pemeriksaan lainnya,


misalnya pemeriksaan sensibilitas, maka pemeriksaan refleks kurang
bergantung kepada kooperasi pasien. Ia dapat dilakukan pada orang yang
menurun kesadarannya, bayi, anak, orang yang rendah inteligensinya dan
orang yang gelisah. Itulah sebabnya pemeriksaan refleks penting
nilainya, karena lebih objektif dari pemeriksaan lainnya. Dalam
praktek sehari- hari kita biasanya memeriksa 2 macam refleks, yaitu
refleks dalam dan refleks superfisial

A. Refleks Dalam (refleks regang otot)

Refleks dalam timbul oleh regangan otot yang disebabkan oleh


rangsangan, dan sebagai jawabannya maka otot berkontraksi. Refleks
dalam juga dinamai refleks regang otot (muscle stretch reflex). Nama lain
bagi refleks dalam ini ialah refleks tendon, refleks periostal, refleks
miotatik dan refleks fisiologis.

Refleks dalam dapat dinamai menurut otot yang bereaksi atau menurut
tempat merangsang, yaitu tempat insersio otot. Misalnya refleks
kuadriseps femoris disebut juga refleks tendon lutut atau refleks
patela. Telah dikemukakan di atas bahwa timbulnya refleks ini ialah
karena teregangnya otot oleh rangsang yang diberikan dan sebagai
jawaban otot berkontraksi. Rasa- regang (ketok) ini ditangkap oleh alat

32
penangkap (reseptor) rasa- proprioseptif, karena itu refleks ini juga
dinamai refleks proprioseptif. Contoh dari refleks dalam ialah refleks
kuadriseps femoris glabela.

B. Refleks Superfisialis

Refleks ini timbul karena terangsangnya kulit atau mukosa yang


mengakibatkan berkontraksinya otot yang ada di bawahnya atau di
sekitarnya. Jadi bukan karena teregangnya otot seperti pada refleks dalam.

C. Tingkat Jawaban Refleks

Jawaban refleks dapat dibagi atas beberapa tingkat, yaitu :

 - (negatif) : tidak ada refleks sama sekali


 ± : kurang jawaban, jawaban lemah
 + : jawaban normal
 ++ : jawaban berlebihan, refleks meningkat

Tidak ada batas yang tegas antara tingkat refleks yang


dikemukakan di atas, yaitu : tidak ada batas yang tegas antara refleks
lemah, refleks normal dan refleks meningkat. Bila refleksinya negatif,
hal ini mudah dipastikan. Pada refleks yang meninggi, daerah tempat
memberikan rangsang biasanya bertambah luas. Misalnya refleks
kuadriseps femoris, bila ia meninggi, maka tempat merangsang tidak
saja di tendon patella, tetapi dapat meluas sampai tulang tibia.
Kontraksi otot pun bertambah hebat, kadang- kadang didapatkan
klonus, yaitu otot berkontraksi secara klonik. Pada refleks yang lemah,
kita perlu mempalpasi otot untuk mengetahui apakah ada kontraksi.
Kadang- kadang kita perlu pula melakukan sedikit upaya untuk
memperjelas refleks yang lemah. Hal ini misalnya dilakukan dengan
membuat otot yang diperiksa berada dalam kontraksi enteng sebelum
dirangsang. Misalnya bila kita hendak memeriksa refleks kuadriseps
femoris, kita suruh pasien mendorongkan tungkai bawahnya sedikit ke
depan sambil kita menahannya, baru kemudian kita rangsang (ketok)

33
pada tendon di patella. Selain itu, juga perhatian penderita perlu
dialihkan, misalnya dengan menyuruhnya menarik pada kedua
tangannya yang saling bertautan.

Refleks yang meninggi tidak selalu berarti adanya gangguan


patologis, tetapi bila refleks pada sisi kanan berbeda dari sisi kiri, besar
sekali kemungkinan bahwa hal ini disebabkan oleh keadaan patologis.
Simetri memang penting dalam penyakit saraf. Kita mengetahui
bahwa simetri sempurna tidak ada pada tubuh manusia. Walaupun
demikian, banyak pemeriksaan neurologis didasarkan atas tanggapan
bahwa bagian tubuh adalah sama atau simetris. Tiap refleks dalam
dapat meninggi secara bilateral, namun hal ini tidak selalu berarti
adanya lesi piramidal. Lain halnya kalau peninggian refleks bersifat
asimetris. Karenanya harus diingat bahwa : pada pemeriksaan refleks
jangan lupa membandingkan bagian- bagian yang simetris (kiri
dan kanan). Asimetris dapat menunjukkan adanya proses patologis.

D. Pemeriksaan refleks

Sebetulnya banyak refleks yang dapat dibangkitkan, tiap otot bila


diketok pada insersinya akan berkontraksi dan merupakan suatu refleks.
Pada makalah ini penyusun hanya mengemukakan refleks yang lazim
diperiksa pada pemeriksaan rutin.

Refleks glabela. Pukulan singkat pada glabela atau sekitar daerah


supraorbitalis mengakibatkan kontraksi singkat kedua otot orbikularis
okuli. Pada lesi perifer nervus fasialis, refleks ini berkurang atau negatif,
sedangkan pada sindrom Parkinson refleks ini sering meninggi. Pusat
refleks ini terletak pada pons.

Refleks biseps. Kita pegang lengan pasien yang di semifleksikan


sambil menempatkan ibu jari di atas tendon otot biseps. Ibu jari kemudian

34
diketok; hal ini mengakibatkan gerakan fleksi lengan bawah. Pusat refleks
ini terletak di C5- C6.

Refleks triseps. Kita pegang lengan bawah pasien yang difleksikan


setengah (semifleksi). Setelah itu, diketok pada tendon insersi m.triseps,
yang berada sedikit di atas olekranon. Sebagai jawaban, ini lengan bawah
mengadakan gerakan ekstensi. Lengkung refleks melalui nervus radialis
yang pusatnya terletak di C6- C8.

Refleks radius. Lengan bawah difleksikan serta dipronasikan sedikit.


Kemudian diketok pada prosesus stiloideus radius. Sebagai jawaban
lengan bawah akan berefleksi dan bersupinasi. Lengkung refleks melalui
nervus radialis, yang pusatnya terletak di C5- C6.

Refleks- dalam dinding perut. Dinding perut pasien, yang disuruh


berbaring, ditekan sedikit dengan jari telunjuk atau dengan penggaris,
kemudian diketok. Otot dinding perut akan berkontraksi. Terlihat pusar
akan bergerak ke arah otot yang berkontraksi. Lengkung refleks ini
melalui Th6- Th12. Pada orang normal, kontraksi dinding perut sedang
saja; pada orang yang penggeli reaksi ini dapat kuat. Reaksi dinding perut
ini mempunyai nilai yang penting bila ditinjau bersama- sama dengan
refleks superfisialis dinding perut. Bila refleks- dalam dinding perut
meninggi, sedang refleks superfisialisnya negatif, maka hal ini dapat
menandakan adanya lesi piramidal pada tempat yang lebih atas dati Th6.

Refleks kuadriseps femoris (refleks tendon lutut, refleks patella).


Pada pemeriksaan refleksi ini, tungkai difleksikan dan digantungkan,
misalnya pada tepi tempat tidur. Kemudian, diketok pada tendon muskulus
kuadriseps femoris, di bawah atau di atas patella, (biasanya di bawah
patella). Kuadriseps femoris akan berkontraksi dan mengakibatkan
gerakan ekstensi tungkai bawah. Lengkung refleks ini melalui L2, L3, L4.

Refleks triseps sure ( refleks tendon Achilles). Singkatan Apr sering


digunakan di Indonesia. Tungkai bawah difleksikan sedikit, kemudian kita
pegang kaki pada ujungnya untuk memberikan sikap dorsofleksi ringan

35
pada kaki. Setelah itu, tendon Achilles diketok. Hal ini mengakibatkan
berkontraksinya m.triseps sure dan memberikan gerak plantar fleksi pada
kaki. Lengkung refleks ini melalui S1, S2.

Refleks kornea. Kornea mata disentuh dengan sepotong kapas yang


ujungnya dibuat runcing. Hal ini mengakibatkan dipejamkannya mata
(m.orbikularis okuli). Pada pemeriksaan ini harus dijaga agar datangnya
kapas ke mata tidak dilihat oleh pasien, misalnya dengan menyuruhnya
melirik ke arah yang berlawanan dengan arah datangnya kapas.

Refleks kremaster. Refleks ini dibangkitkan dengan jalan menggorea


atau menyentuh bagian medial pangkal paha. Terlihat skrotum
berkontraksi. Pada lesi traktus piramidalis, refleks ini negatif. Refleks ini
dapat negatif pada orang lanjut usia, varikokel, orkhitis atau epididimitis.
Lengkung refleks ini melalui L1, L2.

E. Refleks Patologis

Pada tahun 1896, Babinski mengemukakan refleks ini di depan Societe


de Biologie di Paris. Ia menyatakan bahwa refleks superfisialis telapak
kaki menjadi berubah gerakannya pada lesi traktus piramidalis, yaitu tidak
lagi mengadakan plantar fleksi seperti pada orang normal, tetapi dorso
fleksi ibu jari kaki disertai gerakan mekar jari- jari lainnya. Kemudian
diketahui pula bahwa gerakan refleks ini dapat meluas dengan gerakan
dorso fleksi pada pergelangan kaki, fleksi tungkai bawah dan fleksi
tungkai atas. Jadi, merupakan fleksi massa dari tungkai. Cara
membangkitkan refleks inipun dapat bermacam- macam.

Banyak macam rangsang yang dapat digunakan untuk


membangkitkannya, misalnya menggores telapak kaki bagian lateral,
menusuk atau menggores dorsum kaki atau sisi lateralnya, memberi
rangsang panas atau rangsang listrik pada kaki, menekan pada daerah
interossei kaki, mencubit tendon Achilles, menekan tibia, fibula, otot betis,
menggerakkan patela ke arah distal, malah pada keadaan yang hebat,

36
refleks dapat dibangkitkan dengan jalan menggoyangkan kaki,
menggerakkan kepala dan juga bila menguap.

Refleks Babinski. Untuk membangkitkan reflkes Babinski, penderita


disuruh berbaring dan istirahat dengan tungkai diluruskan. Kita pegang
pergelangan kaki supaya kaki tetap pada tempatnya. Untuk merangsang
dapat digunakan kayu geretan atau benda yang agak runcing. Goresan
harus dilakukan perlahan, jangan sampai mengakibatkan rasa nyeri, sebab
hal ini akan menimbulkan refleks menarik kaki. Goresan dilakukan pada
telapak kaki bagian lateral, mulai dari tumit menuju pangkal jari. Jika
reaksi positif, kita dapatkan gerakan dorso fleksi ibu jari, yang dapat
disertai gerak mekarnya jari- jari lainnya.

Telah dikemukakan cara membangkitkan refleks patologis ini


bermacam- macam, di antaranya dapat disebut :

 Cara Chaddock : rangsang diberikan dengan jalan menggoreskan


bagian lateral melolus.
 Cara Gordon : memencet (mencubit) otot betis
 Cara Oppenheim: mengurut dengan kuat tibia dan otot tibialis
anterior. Arah mengurut ke bawah (distal)
 Cara Gonda : memencet (menekan) satu jari kaki dan
kemudian melepaskannya sekonyong- konyong.
 Cara Schaefer : memencet (mencubit) tendon Achilles

37
Klonus. Kita telah mempelajari bahwa salah satu gejala kerusakan pyramidal
ialah adanya hiperfleksi.Bila hiperfleksi ini hebat dapat terjadi klonus.Klonus
ialah kontraksi ritmik dari otot, yang timbul bils otot diregangkan secara pasif.
Klonus merupakan reflex regang otot yang meninggi dan dapat dijumpai pada
lesi supranuklir (UMN , pyramidal ). Ada orang normal yang mempunyai
hiperfleksi fisiologis ; pada mereka ini dapat terjadi klonus, tetapi klonusnya
berlangsung singkat dan disebut klonus abortif. Bila klonus berlangsung lama ,hal
ini dianggap patologis. Klonus dapat dianggap sebagai rentetan reflex regang otot,
yang dapat disebabkan oleh lesi pyramidal. Pada lesi piramidal (UMN
(uppermotorneuron) supranuklir) kita sering mendapatkan klonus di
pergelangan kaki, lutut dan pergelangan tangan.

Klonus kaki. Klonus ini dibangkitkan dengan jalan meregangkan otot


gastroknemius. Pemeriksa menempatkan tangannya di telapak kaki
penderita, kemudian telapak kaki ini didorong dengan cepat (dikejutkan)
sehingga terjadi dorso fleksi sambil seterusnya diberikan tahanan
enteng.Hal mengakibatkan teregangnya otot betis.Bila ada klonus, maka
terlihat gerakan ritmik (bolak-balik) dari kaki, yaitu berupa plantar fleksi
dan dorso ieksi secara bergantian.

Klonus patela. Klonus ini dibangkitkan dengan jaian meregangkan otot


kuadriseps femoris.Kita pegang patela penderita, kemudian didorong dengan
kejutan (dengan cepat) ke arah distal sambil diberikan tahanan enteng. Biia
terdapat klonus, akan terlihat kontraksi ritmik otot kuadriseps yang
mengakibatkan gerakan bolak-balik dari patela. Pada pemeriksaan ini tungkai
harus diekstensikan serta dilemaskan.

38
KESIMPULAN

Pemeriksaan tingkat kesadaran dapat dilakukan secara kuantitatif maupun


kualitatif. Glasgow coma scale (GCS) merupakan pemeriksaan tingkat kesadarang
yang sering digunakan karena lebih praktis untuk dokter umum maupun perawat
karena patokan/kriteria yang lebih jelas dan sistematis. GCS ini disamping untuk
menentukan tingkat kesadaran, juga berguna untuk menentukan prognosis
perawatan suatu penyakit.

Rangsangan selaput otak (rangsang meningens) adalah gejala yang timbul


akibat beberapa kondisi seperti peradangan pada selaput otak (meningitis) atau
adanya benda asing pada ruang subaraknoid (perdarahan subaraknoid, zat kimia
(kontras), dan invasi neoplasma (meningitis carcinoma). Pemeriksaan rangsang
meningeal yang dapat dilakukan, kaku kuduk, tanda Lasegue, Kernig,
Brudzinski l (Brudzinski’s neck sign), dan Brudzinski ll , (Brudzinski
contralateral leg sign), Brudzinski III dan Brudzinski IV.

Gangguan pergerakan meliputi kelainanan yang bersifat primer misalnya


pada lesi upper motor neuron (UMN) atau lower motor neuron (LMN) dan
sekunder misalnya pada ganglia basalis dan serebelum. Klien sering datang ke
dokter karena tubuh bagian tertentu tidak bisa bekerja dengan baik. Sebagian
besar manifestasi obyektif kelainan saraf tampak dalam bentuk gangguan gerak
otot.

Refleks adalah jawaban terhadap suatu perangsangan. Gerakan yang timbul


disebut gerakan reflektorik. Seluruh gerakan reflektorik merupakan gerakan yang
bangkit untuk penyesuaian diri, baik untuk menjamin ketangkasan gerakan
volunter, maupun untuk membela diri. Bila suatu perangsangan dijawab dengan
bangkitnya suatu gerakan, menandakan bahwa daerah yang dirangsang dan otot
yang bergerak secara reflektorik terdapat suatu hubungan. Lintasan yang
menghubungkan reseptor dan efektor itu dikenal sebagai busur refleks.

39
40
DAFTAR PUSTAKA

Lumbantobing SM. Neurologi Klinik : Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta :


Balai Penerbitan FKUI; 2007

Prof. Dr. Mahar Mardjono dan Prof. dr. Priguna Sidharta. Neurologi Klinis Dasar.
Penerbit Dian Rakyat; 2008

Buku Ajar Neurologi FK UI, Jakarta : 2017

iii

Anda mungkin juga menyukai