Pembimbing :
dr. Irfan Taufik, Sp.S
Disusun Oleh :
Utami Khairunnisa (2015730130)
2
KATA PENGANTAR
Dalam penulisan laporan referat ini, tidak lepas dari bantuan dan kemudahan
yang diberikan secara tulus dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis
menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Irfan Taufik, Sp.S
sebagai dokter pembimbing.
Dalam penulisan laporan referat ini tentu saja masih banyak kekurangan dan
jauh dari sempurna, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, kritik dan
saran yang bersifat membangun akan sangat penulis harapkan demi kesempurnaan
referat ini.
Akhirnya, dengan mengucapkan Alhamdulillahirobbil ‘alamin laporan referat
ini telah selesai dan semoga bermanfaat bagi semua pihak serta semoga Allah
SWT membalas semua kebaikan dengan balasan yang terbaik, Aamiin Ya Robbal
Alamin.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
PENDAHULUAN...................................................................................................1
PEMBAHASAN......................................................................................................2
2.1. Pemeriksaan Kesadaran.............................................................................2
2.2. Pemeriksaan Rangsang Meningeal............................................................9
2.3. Sistem Motorik........................................................................................12
2.4. Pemeriksaan Refleks...............................................................................29
KESIMPULAN......................................................................................................37
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................iii
ii
PENDAHULUAN
Neurologi adalah ilmu kedokteran yang mempelajari kelainan, gangguan
fungsi, penyakit, dan kondisi lain pada sistim saraf manusia. Oleh sebab itu
dipelajari pula hal-hal yang secara alami dianggap fungsi sistim saraf normal.
Dalam rangka menegakkan diagnosis penyakit saraf diperlukan pemeriksaan fisik,
Pemeriksaan neurologis meliputi: fungsi cerebral, fungsi nervus cranialis, fungsi
sensorik, fungsi motorik dan refleks.
Selama beberapa dasawarsa ini ilmu serta teknologi kedokteran maju dan
berkembang dengan pesat. Banyak alat dan fasilitas yang tersedia, dan
memberikan bantuan yang sangat penting dalam mendiagnosis penyakit serta
menilai perkembangan atau perjalanan penyakit. Saat ini kita dengan mudah dapat
mendiagnosis perdarahan di otak, atau keganasan di otak melalui pemeriksaan
pencitraan. Kita juga dengan mudah dapat menentukan polineuropati dan
perkembangannya melalui pemeriksaan kelistrikan.
Di samping kemajuan yang pesat ini, pemeriksaan fisik masih tetap
memainkan peranan yang penting. Kita bahkan dapat meningkatkan kemampuan
pemeriksaan di sisi ranjang dengan bantuan alat teknologi yang canggih. Kita
dapat mempertajam kemampuan pemeriksaan fisik alat-alat canggih yang kita
miliki.
Sampai saat ini kita masih tetap dan harus memupuk kemampuan kita untuk
melihat, mendengar, dan merasa, serta mengobservasi keadaan pasien. Dengan
pemeriksaan fisik kita dapat menentukan diagnosis, dan pemeriksaan penunjang
yang dibutuhkan.
1
PEMBAHASAN
2
hebat (“Grandios”): alur pemikiran cepat berubah, hiperaktif, banyak bicara
dan insomnia (tidak dapat atau sulit tidur).
Delirium
3
Koma (dalam atau komplit): Tidak ada gerakan spontan. Tidak ada
jawaban sama sekali terhadap rangsang nyeri yang bagaimanapun kuatnya.
Membuka mata
Spontan 4
Terhadap bicara 3
Dengan rangsang nyeri 2
Tidak ada reaksi 1
Menurut perintah 6
Mengetahui lokasi nyeri 5
Reaksi menghindar 4
Refleks fleksi (dekortikasi) 3
Refleks ekstensi (deserebrasi) 2
Tidak ada reaksi 1
4
Bila kita gunakan skala Glasgow sebagai patokan untuk koma, maka koma =
tidak didapatkan respons membuka mata, bicara dan gerakan dengan jumlah
nilai = 3, nilai 3-5 dapat sesuai dengan keadaan koma, 6-7 soporokoma, 8-9
sopor. Nilai tertinggi 15 yang berarti sadar.
a. Gejala vital, Periksa jalan nafas, keadaan respirasi dan sirkulasi. Pastikan
bahwa jalan nafas terbuka dan pasien dapat bernafas. Otak membutuhkan
pasokan oksigen yang kontinu, demikian juga glukosa. Tanpa oksigen sel-
sel otak akan mati dalam waktu lima menit, karena itu, harus ada sirkulasi
darah untuk menyampailkan oksigen dan glukosa ke otak. Jadi waktu
untuk memulihkan pernafasan dan sirkulasi darah adalah singkat, dan
keadaan kadar dextrose yang diberikan harus cukup untuk nutrisi otak,
b. Kulit, perhatikan tanda trauma, stigmata penyakit hati, bekas suntikan,
kulit basah karena keringat misalnya pada hipoglikemi dan syok, kulit
kering misalnya pada koma diabetic, perdarahan misalnya pada demam
berdara dengue dan DIC.
c. Kepala, Perhatikan tanda trauma, hematoma dikulit kepala, hematoma
disekitar mata, perdarahan di liang telinga dan hidung.
d. Thoraks, jantung, parum abdomen dan ekstremitas.
5
tidak dalam. Kelopak mata yang terbuka dan rahang yang “tergantung”
didapatkan pada penurunan kesadaran yang dalam. Perlu diketahui bahwa
tidak ada batasan yang tegas antara tingkat-tingkat kesadaran. Secara umum
dapat dikatakan bahwa semakin kuat rangsang yang dibutuhkan untuk
membangkitkan jawaban, semakin dalam penurunan tingkat kesadaran. Untk
memantau tingkat kesadaran dapat dapat menggunakan Glasgow Coma Scale,
yang memeperlihatkan respons (tanggapan) penderita terhadap rangsang.
Selain itu, perlu pula diperiksa keadaan respirasi, pupil mata, gerakan bola
mata, fnduskopi dan motorik.
6
7
Koma dengan hipervontilasi sering dijumpai pada gangguan metabolik yaitu:
a. Asidosis metabolik
ketoasdosis diabetik
uremia
8
- Simetris/ reaktivitas cahaya normal, petunjuk bahwa integritas
mesensefalon baik. Pupil reaksi normal, reflek kornea dan okulosefalik
(-), dicurigai suatu koma metabolik
- Mid posisi (2-5 mm), fixed dan irregular, lesi mesenfalon fokal.
- Pupil reaktif pint-point, pada kerusakan pons, intoksikasi opiat kolinergik.
- Dilatasi unilateral dan fixed, terjadi herniasi.
- Pupil bilateral fixed dan dilatasi, herniasi sentral, hipoksik-iskemi global,
keracunan barbiturat.
Motorik. Perhatikan adanya gerakan pasien, apakah asimetrik (berani ada
paresis) Gerak miofclonik dapat dijumpai pada ensefatopati metabolik (mininya pada
gagal hepar, uremta. htpoksia). demikian juga gerak astcriksis Kejang muibfokai dapat
dijumpai pada gangguan metaboik. Sikap dekortikasi (lengan dalam keadaan fleksi
dan aduksi. sedangkan tungkai dalam keadaan okstensi) menandakan lesi yang dalam
pada hemisfer atau tepat di alas mesensefalon. Sikap deserebrasl (lengan dalam
keadaan ekstensi, aduksi dan endorotasl, sedangkan tungkai dalam sikap ekstensi)
dapat dijumpai pada lesi batang otak bagian atas. di antara nukleus ruber dan nukleus
vestibular.
9
2.2. Pemeriksaan Rangsang Meningeal
1. Kaku kuduk
10
Selain dari rangsang selaput otak, kaku kuduk dapat disebabkan oleh
myositis otot kuduk, abses retrofaringeal, atau artritis di servikal. Pada kaku
kuduk oleh rangsang selaput otak, tahanan didapatkan ketika kita menekukkan
kepal, sedangkan bila kepala dirotasi, biasanya dapat dilakukan dengan
mudah, dan umumnya tahanan tidak bertambah. Demikian juga hiperekstensi
dapat dilakukan.
2. Tanda Lasegue
3. Kernig sign
11
rangsang selaput otak, dan iritasi akar lumbosacral atau pleksusnya (misalnya
pada HNP-lumbal). Pada meningitis tandanya biasanya positif bilateral
sedangkan pada HNP unilateral
12
tanda brudzinski I perlu diperhatikan apakah tungkainya lumpuh, sebab jika
lumpuh tentulah tidak difleksikan.
6. Brudzinski III
Penekanan pada simfisis pubis akan disusul oleh timbulnya gerakan fleksi
secara reflektorik pada kedua tungkai disendi lutut dan panggul.
7. Brudzinski IV
Menekan symphysis pubis maka akan terjadi flexi pada kedua tungkai
13
Gangguan pada serebelum mengakibatkan gangguan gerak berupa
gangguan sikap dan tonus. Selain itu, juga terjadi ataksia, dismetria, dan
tremor intensi. (Tiga fungsi penting dari serebelum ialah keseimbangan,
pengatur tonus otot, dan pengelola serta pengkoordinasi gerakan volunter).
PEMERIKSAAN
Pada tiap bagian badan yang dapat bergerak harus dilakukan :
1. Inspeksi
2. Palpasi
3. Pemeriksaan gerakan pasf
4. Pemeriksaan gerakan aktif
5. Koordinasi gerakan
1. INSPEKSI
Sikap
Jika pasien berdiri, perhatikan sikap dan posisi badannya, baik secara
keseluruhan maupun sebagian. Pasien dengan gangguan serebelum berdiri
dengan muka membelok ke arah kontralateral terhadap lesi, bahunya pada
sisi lesi agak lebih rendah, dan badannya miring ke sisi lesi. Penderita
penyakit Parkinson berdiri dengan kepala dan leher dibungkukkan ke
depan, lengan dan tungkai berada dalam fleksi.
14
berputar dengan maksud agar berat badan berpindah ke tungkai yang
sedang bertumpuh. Pada penderita hemiparese oleh gangguan sistem
piramidal, lengan berada dalam sikap fleksi, sedangkan tungkai dalam
ekstensi.
Ukuran
Perhatikan apakah panjang badan tubuh sebelah kiri sama dengan yang
kanan. Orang dewasa yang mengalami lumpuh sejak masa kanak-kanak,
ukuran ekstremitas yang lumpuh lebih pendek daripada yang sehat.
Kemudian perhatikan besar (isi) kontur (bentuk) otot. Adakah atrofi atau
hipertrofi. Perhatikan kontur (bentuk) otot. Pada atrofi besar otot
berkurang dan bentuknya berubah. Kelumpuhan jenis perifer disertai oleh
hipotrofi atau atrofi.
15
patella atau tonjolan lainnya. Setelah itu perhatikan pula bentuk otot. Hal
ini dilakukan dalam keadaan otot beristirahat dan sewaktu berkontraksi.
Bila didapatkan atrofi, kontur biasanya berubah atau berkurang.
Pada keadaan pseudo-hipertrofi, ukuran otot tampak lebih besar, namun
tenaganya kurang. Hal ini disebabkan karena jaringan otot diganti oleh
jaringan lemak atau jaringan ikat. Hal ini didapatkan pada distrofia
muskulorum progresiva, dan terjadi di otot betis dan gluteus.
16
Kadang-kadang untuk mengetahui gerakan abnormal ini dibutuhkan
palpasi, terlebih bila gerakannya sangat lemah dan terbatas pada sebagian
dari kelompok otot.
Tremor kasar, salah satu contohnya ialah tremor yang didapatkan pada
penyakit Parkinson. Ini merupakan tremor yang lambat, kasar, dan
majemuk. Pada penyakit Parkinson, gerakan jari-jari mirip gerakan
menghitung duit atau membuat pil (pill rolling tremor). Contoh lainnya
adalah tremor intensi. Tremor intensi merupakan tremor yang timbul
waktu melakukan gerakan volunter dan menjadi lebih nyata ketika gerakan
hampir mencapai tujuannya. Tremor ini merupakan tremor kasar, dan
dapat dijumpai pada gangguan serebellum. Pada tes tunjuk-hidung pada
pasien dengan gangguan di serebelum, tremor menjadi lebih nyata pada
saat telunjuk hampir mancapai hidung.
17
Khorea. Kata khorea berasal dari kata Junani yang berarti menari. Pada
khorea gerak otot berlangsung cepat, sekonyong-konyong, aritmik, dan
kasar yang dapat melibatkan satu ekstremitas, separuh badan atau seluruh
badan. Hal ini dengan khas terlihat pada anggota gerak atas (lengan dan
tangan), terutama bagian distal. Pada gerakan ini tidak didapatkan gerakan
yang harmonis antara otot-otot penggerak, baik antar otot yang sinergis
maupun antagonis. Bila pasien disuruh meluruskan lengan dan tangannya,
kita dapatkan hiperekstensi pada falang proksimal dan terminal, dan
pergelangan tangan berada dalam fleksi dengan sedikit dipronasikan. Hal
ini menjadi lebih jelas bila pasien disuruh mengangkat lengannya ke atas.
Jari-jari tangan biasanya akan diregangkan, dan ibu jari diabduksikan dan
terarah ke bawah.
Gerak khorea dapat dibuat nyata bila pasien disuruh melakukan dua
macam gerakan sekaligus, misalnya ia disuruh menaikkan lengannya ke
atas sambil menjulurkan lidah. Gerakan khorea didapatkan dalam keadaan
istirahat dan menjadi lebih hebat bila ada aktivitas dan ketegangan. Khorea
menghilang bila penderitanya tidur. Gerakan khorea antara lain dijumpai
pada penyakit khorea Sydenham, khorea Huntington, dan khorea
gravidarum.
Atetose. Kata atetose berasal dari kata Yunani yang berarti berubah.
Berlainan dari khorea yang gerakannya berlangsung cepat, mendadak, dan
terutama melibatkan bagian distal, maka atetose ditandai oleh gerakan
yang lebih lamban, seperti gerak ular, dan melibatkan otot bagian distal.
Namun demikian hal ini cenderung menyebar juga ke proksimal. Atetosis
dapat dijumpai pada banyak penyakit yang melibatkan ganglia basal.
18
Distonia. Bila terjadi kerusakan besar pada susunan ekstrapiramidal yang
melibatkan beberapa komponen ganglia basal, didapatkan gejala yang
kompleks. Hal ini dijumpai pada distonia muskulorum deformans, di mana
didapatkan gerakan distonia. Biasanya distonia ini dimulai dengan gerak
otot berbentuk atetose pada lengan atau anggota gerak lain, kemudian
gerakan otot bentuk atetose ini menjadi kompleks, yaitu menunjukkan
torsi yang keras dan berbelit. Gerakan torsi otot (memutar berbelit) terjadi
juga pada otot leher dan punggung, sehingga didapatkan tortikolis dan
tortipelvis. Gerak otot abnormal ini dapat mengakibatkan terjadinya
skoliosis, pes ekuinovarus, pes valgus, dan kontraktur.
19
Tik (tic). Penyebab tik belum diketahui. Ada pakar yang menganggapnya
sebagai suatu conditioned reflex, ada pula yang mengatakan bahwa faktor
psikogen mempunyai peranan, dan pakar lainnya mengemukakan bahwa
sistem ekstrapiramidal memainkan peranan pula. Tik merupakan suatu
gerakan terkoordinir, berulang, dan melibatkan sekelompok otot dalam
hubungan yang sinergistik. Ada tik yang menyerupai spasme klonik, dan
disebutkan sebagai spasme-kebiasaan (habit spasm).
Penyebab fasikulasi belum jelas benar; iritasi pada sel neuron motorik
dapat menimbulkan fasikulasi. Adanya fasikulasi dapat dibuat lebih nyata
dengan jalan memberikan rangsang mekanis pada otot tersebut, misalnya
dengan pukulan.
20
terkendali. Otot yang berkontraksi dapat meliputi sebagian dari satu otot,
seluruh otot atau sekelompok otot-otot tanpa memandang asosiasi
fungsional otot tersebut. Gerak mioklonia ini terutama didapatkan pada
otot-otot ekstremitas dan badan, tetapi ia sering juga difus dan meluas, dan
melibatkan otot muka, rahang, lidah, faring, dan laring. Ia timbul secara
paroksismal, pada waktu yang tidak tertentu, baik pada saat istirahat
maupun pada waktu sedang aktif. Namun demikian, ia dapat menjadi lebih
hebat bila ada rangsang emosional, mental, taktil, visual, atau rangsang
auditoar. Ia dapat berkurang bila ada gerakan volunter. Ia dapat timbul
pada saat pasien hendak tertidur, dan biasanya menghilang bila sudah
tertidur.
2. PALPASI
21
Kadang-kadang tahanan didapatkan pada satu jurusan saja, misalnya
tungkai sukar difleksikan tetapi mudah diekstensikan. Keadaan ini
misalnya didapatkan pada lesi di traktus piramidal. Jangan lupa
membandingkan bagian-bagian yang simetris. Pada gangguan sistem
ekstrapiramidal, dapat dijumpai tahanan yang sama kuatnya (rigiditas).
Kadang-kadang dijumpai keadaan dengan tahanan hilang timbul (fenomen
cogwheel).
Jadi dengan kedua cara tersebut di atas dapat dinilai tenaga otot. Dokter
umumnya menggunakan cara 1, yaitu pemeriksa yang menahan. Bila
pasien yang disuruh menahan, ditakutkan kekuatan yang dilakukan oleh
dokter terlalu besar. Bila pasien lumpuh total, tidak sulit untuk
memastikannya, namun bila ia lumpuh sebagian atau parsial, tidak mudah
memastikan atau menilainya. Tenaga orang yang normal berbeda-beda.
22
Misalnya, tenaga seorang atlit angkat besi jauh lebih kuat daripada tenaga
seorang juru tulis. Tidak selalu mudah membedakan parese (lumpuh)
ringan dari tidak ada parese. Kita mungkin mendapat pertolongan dari
beberapa hal berikut yaitu:
23
pemeriksaan gerakan kepala, anggota gerak atas, badan, dan anggota
gerak bawah.
Kepala
Periksa apakah ada tahanan jika kepala digerakkan secara pasif. Pada
radang selaput otak didapatkan kaku kuduk. Pada tortikolis juga
didapatkan tahanan, demikian juga pada spondilitis servikal. Gerakan aktif
diperiksa dengan menyuruh pasien menekukkan kepala ke depan, ke
belakang, ke samping kiri, dan kanan, serta melakukan gerakan rotasi.
Pemeriksa menilai tenaganya, dan membandingkan tenaga gerakan ke kiri
dan ke kanan.
Perhatikan apakah ada atrofi otot tenar, hipotenar, dan otot intrinsik
tangan. Periksa gerakan jari-jari; bagaimana tenaga fleksi, ekstensi,
abduksi, dan aduksi. Periksa tenaga menggenggam. Hal ini dilakukan
dengan menyuruh pasien menggenggam jari pemeriksa dan kemudian
pemeriksa menarik lepas jari tersebut. Gerakan di pergelangan juga
diperiksa, dan ditentukan tenaganya pada gerakan pronasi dan supinasi.
Fleksi dan ekstensi pada persendian siku, juga diperiksa. Gerakan pada
persendian bahu diperiksa dengan menyuruh pasien menggerakkan lengan
yang diekstensi, pada bidang frontal dan sagital, dan juga melakukan rotasi
pada persendian bahu. Selain itu, juga gerakan bahu ke atas, bawah, depan,
dan ke belakang diperiksa. Setelah itu, periksalah otot pektoralis mayor,
latisimus dorsi, seratus magnus, deltoid, biseps, dan triseps.
Deltoid.
24
Pasien disuruh mengangkat lengannya yang diluruskan ke samping
sampai di bidang horizontal. Nilailah tenaganya waktu melakukan gerakan
ini.
Biseps.
Triseps.
Lengan bawah yang sudah difleksi disuruh ekstensikan. Nilailah tenaga
ekstensi ini
Badan
Erektor spina.
Bila pasien sedang berdiri, suruh ia mengambil suatu barang dari lantai.
Jika pasien menderita kelemahan m. erector spina, ia sukar berdiri
kembali; dan ini dilakukannya dengan bantuan tangannya, yaitu dengan
menempatkan tangannya pada lutut, paha, dan kemudian mendorongnya
sampai ia dapat berdiri lagi. Kadang terlihat juga adanya lordosis.
Otot dinding perut. Pasien yang sedang berbaring disuruh mengangkat
kepalanya dan perhatikan peranjakan dari pusar. Biasanya pusar beranjak
ke arah otot yang sehat. Suruh pasien batuk, otot yang lemah akan
membonjol. Perhatikan apakah pasien dapat duduk dari sikap berbaring
tanpa mendapat bantuan dari tangannya. Otot yang ikut bekerja dalam hal
ini ialah otot dinding perut dan otot iliopsoas.
25
Untuk ini diperiksa gerakan pada : persendian jari-jari, pergelangan
kaki, lutut, paha. Selain itu juga diperiksa otot kuadriseps femoris,
iliopsoas, aduktor, abductor, dan fleksor tungkai bawah.
Otot aduktor. Pasien berbaring pada sisinya dan tungkai berada dalam
ekstensi. Kemudian tungkai ini diaduksikan sambil ditahan.
26
dapat menyebabkan gangguan sikap dan tonus, dissinergia atau gangguan
koordinasi gerakan (ataksia). Gerakan menjadi terpecah-pecah, dengan
lain perkataan : kombinasi gerakan yang seharusnya dilakukan secara
simultan (sinkron) dan harmonis, menjadi terpecah-pecah dan dilakukan
satu per satu serta kadang simpang siur. Dissinergia ialah kehilangan
kemampuan untuk melakukan gerakan majemuk dengan tangkas,
harmonis, dan lancar.
Gejala klinis yang kita dapatkan pada gangguan serebelar ialah adanya:
gangguan koordinasi gerakan (ataksia), disdiadokhokinesia, dismetria,
tremor intensi, disgrafia (makrografia), gangguan sikap, nistagmus,
fenomena rebound, astenia, atonia, dan disartria.
27
Tremor intensi. Tremor intensi ialah tremor yang timbul bila
melakukan gerak volunter (dengan kemauan), dan menjadi lebih nyata bila
menghampiri tujuannya. Tremor intensi dapat pula diperiksa dengan jalan
menyuruh pasien mengambil benda yang kecil, makin dekat ia pada benda
tersebut, makin jelas tremor pada tangannya.
28
fleksi lutut yang berlebihan sehingga tumit melampaui lutut dan sampai di
paha.
29
dan seterusnya bolak-balik. Hal ini disebut nistagmus (gerak ritmik bola
mata). Untuk memeriksanya, mata pasien disuruh mengikuti jari
pemeriksa yang digerakkan ke samping kiri, kanan, atas, dan bawah.
Perhatikan adanya nistagmus dan tentukan apakah ada komponen lambat
dan cepat.
Astenia. Astenia adalah lekas lelah dan bergerak lamban. Hal ini juga
merupakan gejala dari gangguan serebelar. Otot lekas lelah dan lemah
(walaupun tidak ada parese). Gerakan dimulai dengan lamban, demikian
juga dengan kontraksi dan relaksasi.
30
2.4. Pemeriksaan Refleks
Pakar yang pertama kali diketahui menggunakan kata refleks ialah Rene
Descartes , pada tahun 1662. Ia melukiskan refleks memejam (refleks
ancaman); pada refleks ini, suatu pukulan yang diancamkan ke mata
menyebabkan mata dipejamkan. Kata refleks dibentuk dari; melihat objek
yang mendekat memberikan refleksi di otak. Secara sederhana dapat dikatakan
bahwa refleks ialah jawaban atas rangsangan.
Bila lengkung ini rusak maka refleks akan hilang. Selain di lengkungan tadi
didapatkan pula hubungan dengan pusat- pusat yang lebih tinggi di otak yang
tugasnya memodifikasi refleks tersebut. Bila hubungan dengan pusat yang lebih
tinggi ini terputus, misalnya karena kerusakan pada sistem piramidal, hal ini akan
mengakibatkan refleks meninggi.
31
Jenis refleks
Refleks dalam dapat dinamai menurut otot yang bereaksi atau menurut
tempat merangsang, yaitu tempat insersio otot. Misalnya refleks
kuadriseps femoris disebut juga refleks tendon lutut atau refleks
patela. Telah dikemukakan di atas bahwa timbulnya refleks ini ialah
karena teregangnya otot oleh rangsang yang diberikan dan sebagai
jawaban otot berkontraksi. Rasa- regang (ketok) ini ditangkap oleh alat
32
penangkap (reseptor) rasa- proprioseptif, karena itu refleks ini juga
dinamai refleks proprioseptif. Contoh dari refleks dalam ialah refleks
kuadriseps femoris glabela.
B. Refleks Superfisialis
33
pada tendon di patella. Selain itu, juga perhatian penderita perlu
dialihkan, misalnya dengan menyuruhnya menarik pada kedua
tangannya yang saling bertautan.
D. Pemeriksaan refleks
34
diketok; hal ini mengakibatkan gerakan fleksi lengan bawah. Pusat refleks
ini terletak di C5- C6.
35
pada kaki. Setelah itu, tendon Achilles diketok. Hal ini mengakibatkan
berkontraksinya m.triseps sure dan memberikan gerak plantar fleksi pada
kaki. Lengkung refleks ini melalui S1, S2.
E. Refleks Patologis
36
refleks dapat dibangkitkan dengan jalan menggoyangkan kaki,
menggerakkan kepala dan juga bila menguap.
37
Klonus. Kita telah mempelajari bahwa salah satu gejala kerusakan pyramidal
ialah adanya hiperfleksi.Bila hiperfleksi ini hebat dapat terjadi klonus.Klonus
ialah kontraksi ritmik dari otot, yang timbul bils otot diregangkan secara pasif.
Klonus merupakan reflex regang otot yang meninggi dan dapat dijumpai pada
lesi supranuklir (UMN , pyramidal ). Ada orang normal yang mempunyai
hiperfleksi fisiologis ; pada mereka ini dapat terjadi klonus, tetapi klonusnya
berlangsung singkat dan disebut klonus abortif. Bila klonus berlangsung lama ,hal
ini dianggap patologis. Klonus dapat dianggap sebagai rentetan reflex regang otot,
yang dapat disebabkan oleh lesi pyramidal. Pada lesi piramidal (UMN
(uppermotorneuron) supranuklir) kita sering mendapatkan klonus di
pergelangan kaki, lutut dan pergelangan tangan.
38
KESIMPULAN
39
40
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. Mahar Mardjono dan Prof. dr. Priguna Sidharta. Neurologi Klinis Dasar.
Penerbit Dian Rakyat; 2008
iii