Anda di halaman 1dari 38

TUTORIAL

IKAKOM 2
KEDOKTERAN KERJA

Pembimbing :
dr. Pitut Apriliani Savitri, MKK

Anggota :
Asyha Kantifa 2009730128
Alfira Pangestika 2015730005
Derry Arya Pratama 2015730028
Lulu Nuraini Rahmat 2015730080
Meisari Rezki R 2015730084
Naufal Rahman Tejokusumo 2015730101
Nur'Aeni 2015730103
Rifah Naaimah 2015730111
Sanda Subrata H 2015730117

KEPANITERAAN KLINIK STASE ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS 2


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat
menyelesaikan tugas tutorial mengenai “Kedokteran Kerja” ini tepat pada waktunya. Tidak lupa
penulis mengucapkan terimah kasih kepada dr. Pitut Apriliani Savitri, MKK yang telah
membimbing penulis dalam menyelesaikan tugas ini. Terima kasih juga kepada seluruh pihak
yang telah membantu dalam penyelesaian tugas ini.

Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan penulisan
tutorial ini. Semoga dapat bermanfaat bagi para pembaca pada umumnya dan bagi penulis pada
khususnya.

17 Juni 2020

Jakarta
BAB I
PENDAHULUAN

1. Skenario
Seorang dokter laki-laki usia 28 tahun yang bertugas di puskesmas kelurahan
menerima pasien dengan gejala Covid19, setelah dilakukan dirujuk ke RS dan dilakukan
test ternyata hasil swab pasien tersebut positif. Saat melakukan pemeriksaan dokter
tersebut ditemani 1 orang perawat perempuan senior berusia 49 tahun. Saat pemeriksaan 
mereka berdua tidak memakai Alat pelindung diri. Dari awal pemeriksaan lab pasien
sampai hasil lab keluar memakan waktu 5 hari , Dokter tersebut sampai hasil test keluar
tidak timbul keluhan dan gejala, sedangkan perawat yang mendampinginya 3 hari  setelah
kedatangan pasien tersebut memiliki geala demam tinggi dan batuk-batuk sehingga ijin
untuk tidak masuk kerja. Dokter sudah menikah dan memiliki 1 anak usia 3 tahun dan
tinggal hanya ber tiga dengan istrinya yang berusia 25 tahun. Dokter ditempatkan di
puskesmas tersebut baru 1 tahun yang lalu. Jarak rumah tinggal ke puskesmas kurang
lebih 4 KM dan sehari-hari menggunakan kendaraan roda 4. Dokter tersebut memiliki
riwayat penyakit asma yang dideritanya dari sejak kecil. Sang istri memiliki
kecenderungan darah tinggi yang didapat dari orang tuanya.
Perawat yang mendampinginya tinggal 500 M dari puskesmas dan sehari-hari
bejalan kaki atau menaiki kendaraan roda 2. Dia tinggal bersama suami yang berusia 50
tahun, 2 orang anak usia 18 dan 12 tahun. Perawat tersebut tidak memiliki riwayat
penyakit berat. Puskesmas tersebut memiliki pegawai sebanyak 11  orang yang terdiri
dari 2 orang dokter, 2 orang perawat, 1 orang analis, 2 orang bidan, 2 orang tenaga
administrasi dan keuangan, 1 orang farmasi dan 1 orang pramubakti. Saat ini selain
perawat senior tersebut pegawai yang lainnya tidak menunjukkan gejala. Puskesmas buka
dari hari senin hingga jumat dari jam 08.00 – 14.00, sehari-hari mereka menerima pasien
antara 50-60 orang. Saat menerima pasien terduga covid19 tersebut hari senin dan
pengunjung sedang mencapai puncaknya.

2. Kata kunci
• Seorang dokter laki-laki usia 28 tahun

• Menerima pasien dengan gejala covid19, dengan hasil swab pasien tersebut positif

• Saat pemeriksaan, dokter ditemani satu perawat senior berusia 49 tahun

• Saat pemeriksaan, keduanya tidak memakai APD

• Hasil lab pasien keluar setelah 5 hari pengambilan swab

• Hasil pemeriksaan dokter tidak timbul keluhan dan gejala.

• Dokter memiliki Riwayat asma

• Perawat yang mendampinginya timbul gejala setelah 3 hari yaitu demam dan batuk

• Dokter tinggal dengan istri dan dua orang anak

• Di puskesmas tersebut, terdapat pegawai sebanyak 11 orang

• Perawat tinggal dengan suami dan dua orang anak

• Jarak dari rumah dokter ke puskesmas sekitar 4 km

• Jarak dari rumah perawat ke puskesma 500 m

• Pada hari itu, puskesmas menerima pengunjung dalam jumlah yang banyak
3. Mind map

4. Siklus Kegiatan Harian


5. Pertanyaan

1. Apa saja faktor risiko yang menyebabkan gejala pada skenario?

2. Bagaimana pengendalian faktor risiko pada skenario?

3. Bagaimana menentukan diagnosa klinis pada kasus di skenario?

4. Gangguan kesehatan apa saja yang timbul akibat paparan faktor risiko tersebut?

5. Bagaimana evaluasi dosis pajanan pada skenario?

6. Apakah peranan faktor individu/kerja eksternal dan internal dalam timbulnya PAK
pada skenario?

7. Bagaimana tatalaksana pada kasus di skenario?

8. Bagaimana prognosis, komplikasi serta kesimpulan dan saran pada skenario?

9. Bagaimana dasar hukum PAK pada skenario?

10. Bagaimana diagnosa PAK pada skenario?


BAB II
PEMBAHASAN

Urutan Bahaya Potensial Resiko


Fisik Kimia Biologi Ergonomi Psiko-
Kegiatan APD PAK Kecelakaa
sosial
n Kerja
Saat Tidak ada Tidak ada Virus Tidak ada Kerja Tidak Covid 19 Tidak ada
bekerja di keterangan keterangan dan keterangan berlebihan memakai Pneumoni
puskesmas Bakteri sebabkan APD komunitas
kelelahan

Saran : Gunakan APD, rutin lakukan cuci tangan 6 langkah


1. Apa saja faktor risiko yang menyebabkan gejala pada skenario?

Urutan Bahaya Potensial Resiko


Fisik Kimia Biologi Ergonomi Psiko-
Kegiatan APD PAK Kecelakaa
sosial
n Kerja
Berkendara Bising : Asap Virus Posisi tidak Merasa Masker, Gangguan Kecelakaan
suara kendaraan dan nyaman terganggu pendengar lalu lintas
kendaraan (CO, dll) Bakteri saat dengan an, ISPA ,
berkendara kendaraan iritasi
Suhu : yang bising mata ,
sinar LBP
matahari /
dingin
karena
hujan
Saran : menggunakan helm, kacamata, masker dan pakaian untuk berkendara

Berdasarkan karakteristik dampak yang diakibatkan oleh suatu jenis bahaya


maka jenis bahaya dapat dikelompokan menjadi 2 yaitu bahaya kesehatan kerja dan
bahaya keselamatan kerja. Bahaya Kesehatan kerja dapat berupa bahaya fisisk, kimia,
biologi dan bahaya berkaitan dengan ergonomi, berdampak kepada kesehatan dan
kenyamanan kerja, misalnya penyakit akibat kerja, pemajanan terjadi pada waktu lama
dan pada konsentrasi rendah, Bahaya keselamatan (safety hazard) fokus pada
keselamatan manusia yang terlibat dalam proses, peralatan, dan teknologi. Dampak
safety hazard bersifat akut, konsekuensi tinggi, dan probabilitas untuk terjadi rendah.
Bahaya keselamatan

(Safety hazard) dapat menimbulkan dampak cidera, kebakaran, dan segala kondisi
yang dapat menyebabkan kecelakaan di tempat kerja.

Jenis-jenis hazard, antara lain :

 Hazard fisik, misalnya yang berkaitan dengan peralatan seperti bahaya listrik,


temperatur ekstrim, kelembaban, kebisingan, kebisingan, radiasi, pencahayaan,
getaran, dan lain-lain.
 Hazard Kimiaialah kecederaan akibat sentuhan dan terhidu bahan
kimia.Contohnya bahan-bahan kimia seperti asid, alkali, gas, pelarut, simen, getah
sintetik, gentian kaca, pelekat antiseptik, aerosol, insektisida, dan lain-lain..
Bahan-bahan kimia tersebut merbahaya dan perlu diambil langkah - langkah
keselamatan apabila mengendalinya.
 Hazard biologi, misalnya yang berkaitan dengan mahluk hidup yang berada
di lingkungan kerja seperti virus, bakteri, tanaman, burung, binatang  yang dapat
menginfeksi atau memberikan reaksi negativekepada manusia.
 Hazard psikososial, misalnya yang berkaitan aspek sosial psikologis
maupun organisasi pada pekerjaan dan lingkungan kerja yang dapat memberi
dampak pada aspek fisik dan mental pekrja. Seperti misalnya pola kerja yang tak
beraturan, waktu kerja yang diluar waktu normal, beban kerja yang melebihi
kapasitas mental, tugas yang tidak berfariasi, suasana lingkungan kerja yang
terpisah atau terlalu ramai dll sebagainya
 Hazard ergonomi yang termasuk didalam kategori ini antara lain desain
tempat kerja yang tidak sesuai, postur tubuh yang salah saat melakukan
aktifitas, desain pekerjaan yang dilakukan, pergerakan yang berulang-ulang
 Hazard Mekanis, semua jenis bahaya yang berasal dari benda-benda bergerak atau
bersifat mekanis. Contoh : mesin-mesin pemotong, bahaya getaran.

Faktor Pajanan yang kemungkinan terjadi


1. Dokter bekerja selama 6 jam/hari senin sampai jumat, dokter berangkat dari
rumah menggunakan kendaraan roda empat,

2. Perawat dan pegawai lainnya pun bekerja selama 6 jam/hari senin sampai jumat
berangkat dari rumah berjalan kaki atau menggunakan kendaraan roda dua.

3. Pasien terduga COVID 19 datang ke puskesmas dan mengurus administrasi dan


kemungkinan melakukan kontak dengan 2 petugas administrasi

4. Pasien kemungkinan bertemu dan kontak dengan pegawai puskesmas

5. Dokter dan perawat menerima pasien dengan gejala Covid-19 tanpa


menggunakan Alat Pelindung Diri (APD), yang ternyata hasil swab pasien itu
positif Covid-19.

6. Dokter dan perawat kemungkinan melakukan kontak dengan pegawai puskesmas


lainnya dan dengan barang – barang yang ada di puskesmas.

Penularan Covid-19 terutama lewat droplet atau percikan dari saluran


pernapasan dan kontak dekat dari droplet yang menempel di permukaan benda
yang baru disentuh penderita (gagang pintu, meja administrasi, kursi, bed
pemeriksaan, kertas resep, keran air, pegangan tangan di mobil atau kereta,
jabatan tangan, telepon genggam, uang dan hal apapun yang telah dipegang oleh
pasien).

2. Bagaimana pengendalian faktor risiko pada skenario?


Eliminasi Screening awal untuk mengetahui karyawan puskesmas menjadi OTG,
ODP atau PDP. Mengharuskan karantina mandiri pada karyawan yang
terpapar.

Substitusi Karyawan tidak memakai APD lengkap saat bekerja  memakai APD
lengkap sesuai anjuran WHO untuk menatalaksana semua pasien
menjadi suspek COVID-19.

Kontrol Pembuatan alat media sosial (website, whatsapp, dsb) untuk membuat
Teknik janji temu untuk periksa ke dokter (dapat dilakukan dari rumah pasien),
screening pasien dari yang paling gawat (triase) yang didahulukan.

Kontrol Memberikan waktu cuti bagi karyawan puskesmas yang ODP dan PDP
Administratif selama 12 hari untuk karantina mandiri, membuat SOP protokol ketat
yang tertulis dalam penggunaan APD, dan memberikan sanksi apabia
dilanggar, membuat pelatihan tentang COVID-19 untuk seluruh
karyawan puskesmas.

Training Pengetahuan tentang COVID-19 hingga tatalaksana, pencegahan yang


dapat dilakukan, pemahaman tentang pentingnya APD dan do not further
harm.

Alat Penggunaan gloves, gown (hazmat), masker n-95, kacamata googles,


Pelindung Diri penggunaan face shields, sepatu boot.

Berdasarkan Hirarki Pengendalian (Hierarchy of Control) yang mana merupakan


tingkatan-tingkatan atau tahapan dasar tntang pengendalian resiko untuk mengurangi
dampak yang dapat ditimbulkan oleh peralatan dan atau pekerjaan yang bertujuan untuk
menghilangkan atau menekan risiko sampai ke tingkat yang dapat diterima atau di
toleransi saat menggunakan peralatan atau melaksanakan suatu  pekerjaan.

Ada 5 tahapan pengendalian resiko, yaitu:


1. Eliminasi

2. Subtitusi

3. Kontrol Teknik

4. Kontrol Administratif

5. PPE (APD)

Eliminasi sendiri adalah tahapan pertama untuk menghilangkan sumber dari bahaya


dengan meniadakan atau menghilangkan peralatan atau pekerjaan yang menjadi sumber
dari bahaya. Cara yang paling aman karena menekan risiko ke tingkat yang paling aman.

Substitusi merupakan tahapan kedua, mengganti bahan, proses, tata cara ataupun


peralatan dari yang berbahaya menjadi lebih tidak berbahaya. Menurunkan bahaya risiko
minimal melalui disain sistem ataupun desain ulang.

Kontrol Teknik merupakan pemisahan bahaya dengan pekerja serta untuk mencegah


terjadinya kesalahan manusia. Biasanya menggunakan peralatan, peralatan dimodifikasi
sedemikian rupa agar mengurangi atau menghilangkan potensi bahaya.

Kontrol Administratif merupakan pengendalian dari sisi orang yang akan melakukan


pekerjaan, dengan dikendalikan metode kerja yang diharapkan akan dipatuhi untuk
menyelesaikan pekerjaan secara aman. Biasanya berupa peraturan, seleksi karyawan,
SOP, dan sebagainya.

PPE (APD) alat pelindung diri merupakan pelengkap terakhir dalam hirarki


pengendalian. Tujuannya untuk melindungi tenaga kerja apabila seluruh usaha rekayasa
tidak dapat dilakukan dengan baik, serta meningkatkan efektivitas dan produktivitas
kerja, dan menciptakan lingkungan kerja yang aman

3. Bagaimana menentukan diagnosa klinis pada kasus di skenario?


a. Anamnesis
b. Pemeriksaan fisis
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tergantung ringan atau beratnya manifestasi
klinis.
 Tingkat kesadaran: kompos mentis atau penurunan kesadaran
 Tanda vital: frekuensi nadi meningkat, frekuensi napas meningkat, tekanan
darah normal atau menurun, suhu tubuh meningkat. Saturasi oksigen dapat
normal atau turun.
 Dapat disertai retraksi otot pernapasan
 Pemeriksaan fisis paru didapatkan inspeksi dapat tidak simetris statis dan
dinamis, fremitus raba mengeras, redup pada daerah konsolidasi, suara napas
broncovesikuler atau bronchial dan ronki kasar.

c. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan diantaranya:
 Pemeriksaan radiologi: fototoraks, CT-scan toraks, USG toraks. Pada
pencitraan dapat menunjukkan: opasitas bilateral, konsolidasi subsegmental,
lobar atau kolaps paru atau nodul, tampilan groundglass. Pada stage awal,
terlihat bayangan multiple plak kecil dengan perubahan intertisial yang jelas
menunjukkan di perifer paru dan kemudian berkembang menjadi bayangan
multiple ground-glass dan infiltrate di keduaparu. Pada kasus berat, dapat
ditemukan konsolidasi paru bahkan “white-lung” danefusi pleura (jarang).
 Pemeriksaan specimen saluran napas atas dan bawah
o Saluran napas atas dengan swab tenggorok (nasofaring dan orofaring)
o Saluran napas bawah (sputum, bilasan bronkus, BAL, bila
menggunakan endotrakeal tube dapat berupa aspirat endotrakeal)
Untuk pemeriksaan RT-PCR SARS-CoV-2, (sequencing bila tersedia).
Ketika melakukan pengambilan specimen gunakan APD yang tepat. Ketika
mengambil sampel dari saluran napas atas, gunakan swab viral (Dacron steril
atau rayon bukan kapas) dan media transport virus. Jangan sampeldari tonsil
atau hidung. Pada pasien dengan curiga infeksi COVID-19 terutama
pneumonia atau sakit berat, sampel tunggal saluran napas atas tidak cukup
untuk eksklusi diagnosis dan tambahan saluran napas atas dan bawah
direkomendasikan. Klinisi dapat hanya mengambil sampel saluran napas
bawah jika langsung tersedia seperti pasien dengan intubasi.
Janganmenginduksi sputum karenameningkatkanrisikotransmisi aerosol.
Kedua sampel (saluran napas atas dan bawah) dapat diperiksakan jenis
patogen lain.
Bila tidak terdapat RT-PCR dilakukan pemeriksaan serologi. Pada kasus
terkonfirmasi infeksi COVID-19, ulangi pengambilan sampel dari saluran
napas atas dan bawah untuk petunjuk klirens dari virus. Frekuensi
pemeriksaan 2- 4 harisampai 2 kali hasil negative dari kedua sampel serta
secara klinis perbaikan, setidaknya 24 jam. Jika sampel diperlukan untuk
keperluan pencegahan infeksi dan transmisi, specimen dapat diambil sesering
mungkin yaitu harian.
Pemeriksaan kimia darah
o Darah perifer lengkap Leukosit dapatditemukan normal atau menurun;
hitung jenis limfosit menurun. Pada kebanyakan pasien LED dan CRP
meningkat.
o Analisis gas darah
o Fungsi hepar (Pada beberapa pasien, enzim liver dan otot meningkat)
o Fungsi ginjal
o Gula darah sewaktu
o Elektrolit
o Faal hemostasis (PT/ APTT, d Dimer), pada kasus berat, D dimer
meningkat
o Prokalsitonin (bila dicurigai bakterialis)
o Laktat (Untuk menunjang kecurigaan sepsis)
 Biakan mikroorganisme dan uji kepekaan dari bahan saluran napas (sputum,
bilasan bronkus, cairan pleura) dan darah, Kultur darah untuk bakteri
dilakukan, idealnya sebelum terapi antibiotik. Namun, jangan menunda terapi
antibiotic dengan menunggu hasil kultur darah).
 Pemeriksaan feses dan urin (untuk investasigasi kemungkinan penularan).

 Alur diagnosis pasien :

Keterangan Dokter Perawat


Anamnesis Menerima pasien 3 hari setelah menerima
bergejala covid dan pasien, perawat
saat ini tidak mengeluhkan batuk dan
memiliki gejala demam sampai harus
apapun tidak masuk kerja
Pemeriksaan fisik Tidak dilakukan
Pemeriksaan Tidak dilakukan.
Penunjang Dapat disarankan pemeriksaan penunjang :
1. Rapid test covid
2. Usap nasofaring
3. Usap orofaring
4. Sputum

4. Gangguan kesehatan apa saja yang timbul akibat paparan faktor risiko tersebut?
Gangguan kesehatan yang mungkin terjadi apabila kita lihat dari urutan kegiatan harian
yang dilakukan para pekerja terutama dokter dan perawat pada skenario adalah :

1. Berangkat ke tempat kerja (puskesmas)


 Dengan roda empat/mobil : gangguan kesehatan yang akan timbul mungkin
minimal.
 Dengan roda dua/motor : gangguan kesehatan yang mungkin timbul ialah 
gangguan pendengaran, keracunan CO, gangguan muskuloskeletal dan
gangguan pernapasan.
2. Sampai di tempat kerja (puskesmas) : gangguan kesehatan yang mungkin timbul
pada pekerja khususnya dokter dan perawat yang tidak memakai APD dalam
menangani pasien ialah  gangguan pernapasan (covid-19, asma, bronchitis dll),
infeksi, alergi, gangguan muskuloskeletal dll
3. Pulang ke rumah (selesai bekerja)
 Dengan roda empat/mobil : gangguan kesehatan yang akan timbul mungkin
minimal.
 Dengan roda dua/motor : gangguan kesehatan yang mungkin timbul ialah 
gangguan pendengaran, keracunan CO, gangguan muskuloskeletal dan
gangguan pernapasan.

5. Bagaimana evaluasi dosis pajanan pada skenario?

Jam kerja 08.00 – 14.00 (6 jam). Pada saat pemeriksaan pasien covid19, dokter
dan perawat tidak memakai Alat Pelindung Diri (APD), begitupun kemungkinan
karyawan lain. Pasien yang datang ke puskesmas pada saat itu >50 orang.
Ukuran virus corona adalah 0,125µm dan dapat bertahan selama beberapa jam
sampai beberapa hari. Virus corona dapat bertahan di permukaan benda. Dapat
menularkan melalui droplet (percikan cairan tubuh) yang berasal dari bersin, batuk dan
saat berbicara juga menularkan saat menyentuh permukaan benda kemudian menyentuh
daerah wajah seperti mata, hidung dan mulut. Dapat dinonaktifkan dengan desinfektan
dan mencuci tangan atau benda dengan sabun.
Jadi penularan dapat terjadi dari pasien covid19 ke pasien lain maupun dengan
karyawan puskesmas. Juga tidak diketahui pasien yang datang ke puskesmas apakah
penderita covid19 juga atau tidak, karna bisa saja pasien puskesmas yang lain merupakan
Orang Tanpa Gejala (OTG). Pada saat dokter maupun karyawan lain pulang dari
puskesmas, mereka dapat menularkan virus ke orang lain yang mereka temui saat di
kendaraan, perjalanan atau saat di rumah.
Untuk evalusia kedepannya sebaiknya dokter dan perawat yang langsung
berhadapan dengan pasien disarankan untuk memakai APD sesuai dengan standar dan
lengkap seperti pemakaian gown (hazmat), Masker N95, Sarung tangan , Penutup kepala
kain/ disposable, Helm pengaman, Masker disposable tambahan, Kacamata goggle, Face
shield dan Penutup kaki (Boot). Kemudian untuk karyawan lain dapat menggunakan
APD yang lengkap pula, namun untuk karyawan yang tidak bertemu pasien langsung
dapat menggunakan APD seperti masker disposable atau masker N95, Face shield dan
sarung tangan. Semua karyawan dianjurkan untuk sering mencuci tangan atau memakai
hand sanitizer serta menjaga jarak satu sama lain dan tidak menyentuh bagian wajah.

6. Apakah peranan faktor individu/kerja eksternal dan internal dalam timbulnya


PAK pada skenario?
Menentukan faktor individu yang berperan terhadap timbulnya penyakit antara lain:
1. Jenis kelamin
2. Usia
3. Kebiasaan
4. Riwayat penyakit keluarga (genetik)
5. Riwayat atopi
6. Penyakit penyerta.

Pada kasus di skenario


Seorang dokter
Jenis kelamin laki laki, usia 28 tahun
Memiliki riwayat asma yang dideritanya sejak kecil
Memiliki faktor stress dengan terpapar dengan pasien positif covid-19
Seorang perawat
Jenis kelamin perempuan, usia 49 tahun (berisiko tertular penyakit)
Tidak memiliki riwayat penyakit yang berat
Memiliki faktor stress dengan terpapar dengan pasien positif covid-19

Usia
Usia 45 tahun berisiko tertular penyakit, dalam hal ini berkaitan dengan imunitas tubuh,
Namun jurnal lain mengatakan lebih berisiko >60 tahun dan >80 tahun.

Jenis kelamin
Penelitian menyatakan bahwa Laki-laki lebih berisiko tertular penyakit dikarenakan
kebiasaan merokok, aktivitas bekerja dan phbs (perilaku hidup bersih dan sehat) yang
pada laki-laki biasanya kurang diperhatikan. Penelitian lain juga menyatakan bahwa
wanita lebih memiliki sistem imun yang lebih kuat daripada laki-laki.

Riwayat berinteraksi dengan orang lain


Karena virus ini ditularkan melalui kontak langsung dengan percikan dari saluran napas
orang yang terinfeksi (yang keluar melalui batuk dan bersin). Orang juga dapat terinfeksi
karena menyentuh permukaan yang terkontaminasi virus ini lalu menyentuh wajahnya
(mis., mata, hidung, mulut). Virus COVID-19 dapat bertahan di atas permukaan benda
selama beberapa jam tetapi dapat dibunuh dengan disinfektan.

7. Bagaimana tatalaksana pada kasus di skenario?

Pasien terkonfirmasi (+) Covid-19

- Tanpa Gejala

• Isolasi mandiri di rumah selama 14 hari


• Diberi edukasi apa yang harus dilakukan (leaflet untuk dibawa ke rumah)
• Vitamin C, 3 x 1 tablet (untuk 14 hari)
• Pasien mengukur suhu tubuh 2 kali sehari, pagi dan malam hari
• Pasien dipantau melalui telepon oleh petugas FKTP
• Kontrol di FKTP setelah 14 hari untuk pemantauan klinis

- Gejala Ringan

• Ditangani oleh FKTP, contohnya Puskesmas, sebagai pasien rawat jalan


• Isolasi mandiri di rumah selama 14 hari
• Diberi edukasi apa yang harus dilakukan (leaflet untuk dibawa ke rumah)
• Vitamin C, 3 x 1 tablet (untuk 14 hari)
• Klorokuin fosfat, 2 x 500 mg (untuk 5 hari) ATAU
• Hidroksiklorokuin,1x 400 mg (untuk 5 hari)
• Azitromisin, 1 x 500 mg (untuk 3 hari)
• Simtomatis (Parasetamol dan lain-lain).
• Bila diperlukan dapat diberikan Antivirus : Oseltamivir, 2 x 75 mg ATAU
Favipiravir (Avigan), 2 x 600mg (untuk 5 hari)
• Kontrol di FKTP setelah 14 hari untuk pemantauan klinis

- Gejala Sedang

• Rujuk ke Rumah Sakit/ Rumah Sakit Darurat, seperti Wisma Atlet


• Isolasi di Rumah Sakit/ Rumah Sakit Darurat, seperti Wisma Atlet selama 14 hari
• Vitamin C diberikan secara Intravena (IV) selama perawatan
• Klorokuin fosfat, 2 x 500 mg (untuk 5 hari) ATAU Hidroksiklorokuin dosis 1x
400 mg (untuk 5 hari)
• Azitromisin, 1 x 500 mg (untuk 3 hari)
• Antivirus : Oseltamivir, 2 x 75 mg ATAU Favipiravir (Avigan) loading
• dose 2x 1600 mg hari ke-1 dan selanjutnya 2 x 600mg (hari ke 2-5)
• Simtomatis (Parasetamol dan lain-lain)

- Gejala Berat

• Isolasi di ruang isolasi Rumah Sakit Rujukan


• Diberikan obat-obatan rejimen COVID-19 :
• Klorokuin fosfat, 2 x 500 mg perhari (hari ke 1-3) dilanjutkan 2 x 250 mg (hari ke
4 - 10) ATAU Hidroksiklorokuin dosis 1x 400 mg (untuk 5 hari)
• Azitromisin, 1 x 500 mg (untuk 3 hari)
• Antivirus : Oseltamivir, 2 x 75 mg ATAU Favipiravir (Avigan) loading dose 2x
1600 mg hari ke-1 dan selanjutnya 2 x 600mg (hari ke 2-5)
• Vitamin C diberikan secara Intravena (IV) selama perawatan
• Diberikan obat suportif lainnya
• Pengobatan komorbid yang ada
• Monitor yang ketat agar tidak jatuh ke gagal napas yang memerlukan ventilator
mekanik

Pasien belum atau tidak terkonfirmasi Covid-19 Termasuk pasien dengan hasil
rapid test serologi negatif / Orang Tanpa Gejala / Orang Dalam Pemantauan /
Pasien Dalam Pengawasan.

- Tanpa Gejala

• Isolasi mandiri di rumah selama 14 hari


• Diberi edukasi apa yang harus dilakukan (leaflet untuk dibawa ke rumah)
• Vitamin C, 3 x 1 tablet

- Gejala Ringan

• Pemeriksaan Hematologi lengkap di FKTP, contohnya Puskesmas


• Pemeriksaan yang disarankan terdiri dari hematologi rutin, hitung jenis
leukosit, dan laju endap darah
• Isolasi mandiri di rumah selama 14 hari
• Vitamin C, 3 x 1 tablet, serta obat-obat simtomatis

- Gejala Sedang-Berat

• Pemeriksaan Hematologi lengkap di FKTP, contohnya Puskesmas


• Pemeriksaan foto toraks
• Rujuk ke Rumah Sakit Rujukan
• Pikirkan kemungkinan diagnosis lain

Tindakan preventif

Alat Pelindung Diri (APD) adalah peralatan keselamatan merupakan upaya


terakhir melindungi diri dalam meminimalkan bahaya. Kewajiban menggunakan APD
telah disepakati pemerintah melalui Departemen Tenaga Kerja Repulik Indonesia dengan
indurstri selaku pelaku usaha. APD standar terdiri (1) pelindung diri (2) pernapasan (3)
telinga (4) mata (5) kepala, (6) kaki (7) pakaian pelindung dan (8) sabuk pengaman
karyawan baik di laboratorium, lapangan, atau di proses pengolahan.

Penggunaan APD harus digunakan oleh seluruh staf yang bekerja dirumah sakit
yang berpotensi terjadi bahaya/ kecelakaan kerja. APD digunakan bila:

1. Kontak dengan dengan darah, cairan tubuh, sekreta, ekskreta dan semuayang
tercemar oleh bahan infeksius.
2. Kontak dengan selaput mukosa atau kulit yang tidak utuh/ luka terbuka.
3. Sebelum melakukan tindakan invasive (steril maupun no steril).

Dalam penggunaan APD harus memperhatikan beberapa hal sebagai


berikut:

1. Segera lepaskan bila tidak diperlukan lagi.


2. Buang ke tempat sampah khusus.
4. Ganti bila akan melakukan tindakan/ prosedur berikutnya, walaupun pada pasien
yang sama.
5. Pahami cara penularan penyakit agar efektif dan efisien.

Berikut ini adalah jenis alat pelindung diri yang diperlukan dalam pelayanan
kesehatan di rumah sakit:
1. Sarung tangan
a. Sarung tangan bersih
Digunakan bila kontak dengan pasien ataucairan tubuh pasien dan bahan
berbahaya lainnya, tetapi tidakkontak dengan jaringan dibawah kulit.
b. Sarang tangan steril
Digunakan bila kontak dengan jaringan dibawah kulit.
c. Sarung tangan rumah tangga
Digunakan untuk menyiapkanmakanan pasien, keluarga dan petugas.

2. Penutup kepala
a. Penutup kepala kain/ disposable
Digunakan untuk mencegahkontaminasi kepala dan rambut pada pasien atau
melindungi kepaladan rambut dari bahan berbahaya lainnya.
b. Helm pengaman
Digunakan untuk melindungi kepala dari bahaya benturan atau pukulan benda-
benda keras yang dapat mencederai kepala.

3. Masker
a. Masker disposable
Digunakan untuk mencegah kontaminasi mulutdari cipratan darah atau cairan
tubuh lainnya saat memberikan pelayanan kepada pasien.
b. Masker N95
Jenis masker efisiensi tinggi yang digunakan untukmelindungi petugas dari
infeksi saluran nafas atau kontaminasi dari bahan lainnya yang dapat
membahayakan saluran pernafasan

4. Pelindung mata
a. Kacamata goggle;
Digunakan untuk melindungi mata darikontaminasi cairan tubuh atau darah
pasien atau bahan lainnya yangdapat membahayakan mata.
b. Face shield;
Digunakan untuk melindungi wajah dari kontaminasi bahan berbahaya.
5. Gown
a. Apron timbal
Digunakan untuk melindungi tubuh dari paparan sinarx-ray.
b. Gown steril
Digunakan untuk mempertahankan kondisi sterilitasarea operasi.
c. Celemek plastik/ Perlak
Digunakan untuk melindungi tubuh daricipratan darah atau cairan tubuh
pasien atau dari bahan berbahayalainnya.

6. Penutup kaki
a. Sepatu
Digunakan untuk melindungi kaki dari cipratan darah ataucairan tubuh pasien
atau dari melindungi dari bahan berbahaya lainnya.
b. Boot
Digunakan untuk melindungi kaki dari cedera akibat benda- benda berat atau
tajam yang mungkin jatuh secara tidak sengaja pada kaki

Kewaspadaan standar meliputi kebersihan tangan dan penggunaan APD untuk


menghindari kontak langsung dengan sekret (termasuk sekret pernapasan), darah, cairan
tubuh, dan kulit pasien yang terluka. Disamping itu juga mencakup: pencegahan luka
akibat benda tajam dan jarum suntik, pengelolaan limbah yang aman, pembersihan,
desinfeksi dan sterilisasi linen dan peralatan perawatan pasien, dan pembersihan dan
desinfeksi lingkungan.

Petugas kesehatan harus menerapkan “5 momen kebersihan tangan”, yaitu:


sebelum menyentuh pasien, sebelum melakukan prosedur kebersihan atau aseptik, setelah
berisiko terpajan cairan tubuh, setelah bersentuhan dengan pasien, dan setelah
bersentuhan dengan lingkungan pasien, termasuk permukaan atau barang-barang yang
tercemar.
• Kebersihan tangan mencakup mencuci tangan dengan sabun dan air atau
menggunakan antiseptik berbasis alkohol.
• Cuci tangan dengan sabun dan air ketika terlihat kotor.
• Penggunaan APD tidak menghilangkan kebutuhan untuk kebersihan tangan.
Kebersihan tangan juga diperlukan ketika menggunakan dan terutama ketika
melepas APD

Pada perawatan rutin pasien, penggunaan APD harus berpedoman pada penilaian
risiko/antisipasi kontak dengan darah, cairan tubuh, sekresi dan kulit yang terluka. Ketika
melakukan prosedur yang berisiko terjadi percikan ke wajah dan/atau badan, maka
pemakaian APD harus ditambah dengan:

• Pelindung wajah dengan cara memakai masker bedah dan pelindung mata/ eye-
visor/ kacamata, atau pelindung wajah, dan
• Gaun dan sarung tangan bersih.

Pastikan bahwa prosedur-prosedur kebersihan dan desinfeksi diikuti secara benar


dan konsisten. Membersihkan permukaan-permukaan lingkungan dengan air dan deterjen
serta memakai disinfektan yang biasa digunakan (seperti hipoklorit) merupakan prosedur
yang efektif dan memadai. Pengelolaan laundry, peralatan makan dan limbah medis
sesuai dengan prosedur rutin.

Suatu prosedur/tindakan yang menimbulkan aerosol didefinisikan sebagai


tindakan medis yang dapat menghasilkan aerosol dalam berbagai ukuran, termasuk
partikel kecil (<5 mkm). Tindakan kewaspadaan harus dilakukan saat melakukan
prosedur yang menghasilkan aerosol dan mungkin berhubungan dengan peningkatan
risiko penularan infeksi, khususnya, intubasi trakea

Tindakan kewaspadaan saat melakukan prosedur medis yang menimbulkan


aerosol:

• Memakai respirator partikulat (N95) ketika mengenakan respirator partikulat


disposable, periksa selalu sealnya.
• Memakai pelindung mata (yaitu kacamata atau pelindung wajah).
• Memakai gaun lengan panjang dan sarung tangan bersih, tidak steril, (beberapa
prosedur ini membutuhkan sarung tangan steril).
• Memakai celemek kedap air untuk beberapa prosedur dengan volume cairan yang
tinggi diperkirakan mungkin dapat menembus gaun.
• Melakukan prosedur di ruang berventilasi cukup, yaitu di sarana-sarana yang
dilengkapi ventilasi mekanik, minimal terjadi 6 sampai 12 kali pertukaran udara
setiap jam dan setidaknya 60 liter/ detik/ pasien di sarana–sarana dengan ventilasi
alamiah.
• Membatasi jumlah orang yang berada di ruang pasien sesuai jumlah minimum
yang diperlukan untuk memberi dukungan perawatan pasien.
• Membersihkan tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan lingkungan
nya dan setelah pelepasan APD.
• Selain kewaspadaan standar, semua petugas kesehatan, ketika melakukan kontak
dekat (dalam jarak kurang dari 1 meter) dengan pasien atau setelah memasuki
ruangan pasien probabel atau konfirmasi terinfeksi harus selalu:
 Memakai masker N95
 Memakai pelindung mata (yaitu kacamata atau pelindung wajah)
 Memakai gaun lengan panjang, dan sarung tangan bersih, tidak steril,
(beberapa prosedur mungkin memerlukan sarung tangan steril)
 Membersihkan tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan
lingkungannya dan segera setelah melepas APD

Tindakan promotif

A. Upaya Kebersihan Personal


1. Mencuci tangan lebih sering dengan sabun dan air, serta mandi atau mandi
dan mencuci muka jika memungkinkan, pada saat:
a. Setelah kontak dengan orang lain
b. Setelah bekerja atau bepergian keluar rumah
c. Membersihkan kotoran hidung
d. Batuk atau bersin
e. Makan atau akan mengantarkan makanan
2. Hindari menyentuh mata, hidung, dan mulut dengan tangan yang belum di
cuci
3. Jangan berjabat tangan
4. Hindari interaksi fisik dengan orang yang bergejala
5. Tutup mulut saat batuk atau bersin menggunakan lengan atas atau dengan
tisu dan langsung mebuangnya
6. Bersihkan dan berikan disinfektan secara berkala pada benda yang sering
di sentuh dan pada perabotan rumah.

B. Upaya Kebersihan Lingkungan


1. Pembatasan interaksi fisik (Physical distancing)
2. Menerapkan etika batuk dan bersin
3. Pada transportasi publik
a. Menjaga kebersihan dan disinfeksi
b. Duduk berjarak minimal 1 meter
4. Pada institusi pendidikan
a. Menjaga kebersihan dan disinfeksi
b. Tidak bekegiatan fisik saat belajar mengajar
5. Pada pusat kegiatan keagamaan
a. Menjaga kebersihan dan disinfeksi
b. Tidak berkegiatan secara fisik
6. Pada pusat perbelanjaan
a. Skrining pengunjung
b. Hindari berkegiatan fisik
c. Menyediakan tempat cuci tangan atau hand sanitizer
d. Menjaga lebersihan dan melakukan disinfeksi pada tempat
yangmudah di jangkau, seperti pegangan tangga, tombol lift, mesin ATM,
meja , dsb.

8. Bagaimana prognosis, komplikasi serta kesimpulan dan saran pada skenario?


 Prognosis
Prognosis COVID-19 sampai sekarang belum diketahui jelas. Tingkat kematian
pasein COVID-19 dilaporkan sampai mencapai 5-7%. Umumnya kelompok umur
di atas 50 tahun memiliki tingkat fatalitas yang lebih tinggi. Pasien dengan usia
muda umumnya hanya mengalami infeksi ringan, tetapi tetap menjadi vektor
untuk transmisi.

 Komplikasi
Komplikasi COVID-19 paling umum adalah acute respiratory distress
syndrome (ARDS). Selain itu, beberapa komplikasi lainnya, seperti syok septik
dan rabdomiolisis, juga dapat terjadi. Komplikasi jangka panjang COVID-19
sampai sekarang belum diketahui.
- Acute Respiratory Distress Syndrome
Kerusakan dinding alveolus dan kapiler dari paru akibat COVID-19 dapat
menyebabkan komplikasi acute respiratory distress syndrome (ARDS).
ARDS didiagnosis dengan PaO2/FiO2 ≤ 300 mmHg atau SpO2/FiO2 ≤ 315
mmHg. Pasien lansia dengan COVID-19 dan ARDS ditemukan memiliki
risiko kematian lebih tinggi. Pasien dengan gagal napas dapat dilakukan
intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik.
- Syok Septik
Beberapa studi telah menunjukkan bahwa syok septik merupakan salah satu
komplikasi dari COVID-19. Studi Chen et al. menunjukkan bahwa 4% pasien
COVID-19 mengalami komplikasi syok septik. Pasien dengan syok harus
dilakukan resusitasi cairan dan pemberian vasopressor untuk
mempertahankan mean arterial pressure (MAP) ≥65 mmHg dan kadar serum
laktat >2 mmol/L.
- Rabdomiolisis
Studi oleh Jiang F et al. menemukan rabdomiolisis sebagai kemungkinan
komplikasi jangka panjang pada pasien COVID-19. Hal ini ditemukan pada
pasien COVID-19 keadaan berat dengan gejala nyeri pada tungkai bawah
dan fatigue. Selain itu, rabdomiolisis juga dapat memiliki manifestasi
klinis gagal ginjal akut dan pigmenturia. Pada studi ini, rabdomiolisis baru
terjadi pada hari ke 9 dengan gejala nyeri pada tungkai bawah, peningkatan
mioglobin, creatinine kinase (CK), laktat dehidrogenase, alanin
aminotransferase, dan aspartat aminotransferase.

 Kesimpulan
- COVID-19 adalah penyakit baru yang telah menjadi pandemi. Penyakit ini
harus diwaspadai karena penularan yang relatif cepat, memiliki tingkat
mortalitas yang tidak dapat diabaikan, dan belum adanya terapi definitif.
- Puskesmas sebagai fasilitas kesehatan tingkat primer yang dekat dengan
masyarakat harus memanfaatkan peran sebagai promosi kesehatan serta
dipersiapkan dan difasilitasi APD yang memadai, hal ini penting dilakukan
terutama untuk menunjang pelayanan dan penanganan potensi wabah COVID-
19 di daerah-daerah yang jauh dari RS rujukan nasional khusus COVID-19.

 Saran
Puskesmas
Menerapkan langkah-langkah pencegahan yang paling efektif dan
disosialisasikan kepada para karyawan dan pengunjung serta pasien seperti:
 Melakukan kebersihan tangan menggunakan hand sanitizer jika tangan
tidak terlihat kotor atau cuci tangan dengan sabun jika tangan terlihat
kotor.
 Menghindari menyentuh mata, hidung dan mulut.
 Terapkan etika batuk atau bersin dengan menutup hidung dan mulut
dengan lengan atas.
 Pakailah masker, baik yang memiliki gejala gangguan pernapasan maupun
tidak.
 Menjaga jarak minimal 1 meter pada masing-masing pengunjung serta
kursi di ruang tunggu harus terpisah jarak.
 Sediakan wadah untuk mencuci tangan bagi para pengunjung dan pasien
serta pembersih tangan alkohol ditempatkan di tempat yang terjangkau.
 Batasi jumlah pengunjung yang melakukan kontak dengan suspek atau
konfirmasi terinfeksi COVID-19 dan batasi waktu kunjungan. Berikan
instruksi yang jelas tentang cara memakai dan melepas APD dan
kebersihan tangan untuk memastikan pengunjung menghindari
kontaminasi diri.

Karyawan Puskesmas
Dokter dan perawat (yang terpapar langsung oleh pasien terduga COVID-19)
 Dokter  dengan status OTG
Kegiatan surveilans terhadap OTG dilakukan selama 14 hari sejak kontak
terakhir dengan kasus positif COVID-19. Dilakukan pengambilan spesimen
pada hari ke-1 dan ke-14 untuk pemeriksaan RT PCR. Dilakukan pemeriksaan
Rapid Test apabila tidak tersedia fasilitas pemeriksaan RT PCR, apabila hasil
pemeriksaan pertama menunjukkan hasil:
a. Negatif, tatalaksana selanjutnya adalah karantina mandiri dengan menerapkan
PHBS dan physical distancing; pemeriksaan ulang pada 10 hari berikutnya.
Jika hasil pemeriksaan ulang positif, maka dilanjutkan dengan pemeriksaan RT
PCR sebanyak 2 kali selama 2 hari berturut-turut, di Laboratorium pemeriksa
yang mampu melakukan pemeriksaan RT PCR.
b. Positif, tatalaksana selanjutnya adalah karantina mandiri dengan menerapkan
PHBS dan physical distancing. Apabila OTG yang terkonfirmasi positif
menunjukkan gejala demam (≥38⁰C) atau batuk/pilek/nyeri tenggorokan
selama masa karantina maka: jika gejala ringan, dapat dilakukan isolasi diri di
rumah, jika gejala sedang, dilakukan isolasi di RS darurat, jika gejala berat,
dilakukan isolasi di RS rujukan.
 Perawat  dengan status ODP
Kegiatan surveilans terhadap ODP dilakukan selama 14 hari sejak mulai
munculnya gejala. Dilakukan pengambilan spesimen pada hari ke-1 dan ke-2
untuk pemeriksaan RT PCR. Jika tidak tersedia fasilitas pemeriksaan RT PCR,
dilakukan pemeriksaan Rapid Test. Apabila hasil pemeriksaan Rapid Test
pertama menunjukkan hasil:
a. Negatif, tatalaksana selanjutnya adalah isolasi diri di rumah; pemeriksaan ulang
pada 10 hari berikutnya. Jika hasil pemeriksaan ulang positif, maka dilanjutkan
dengan pemeriksaan RT PCR sebanyak 2 kali selama 2 hari berturut-turut, di
Laboratorium pemeriksa yang mampu melakukan pemeriksaan RT PCR.
b. Positif, tatalaksana selanjutnya adalah isolasi diri di rumah; Pada kelompok ini
juga akan dikonfirmasi dengan pemeriksaan RT PCR sebanyak 2 kali selama 2
hari berturut-turut,di Laboratorium pemeriksa yang mampu melakukan
pemeriksaan RT PCR. .
Apabila ODP yang terkonfirmasi menunjukkan gejala perburukan maka:
a. Jika gejala sedang, dilakukan isolasi di RS darurat
b. Jika gejala berat, dilakukan isolasi di RS rujukan

Sembilan Karyawan Lainnya


Dilakukan pengambilan spesimen pada hari ke-1 dan ke-14 untuk
pemeriksaan RT PCR. Dilakukan pemeriksaan Rapid Test apabila tidak
tersedia fasilitas pemeriksaan RT PCR. Selanjutnya, apabila hasilnya ada yang
negatif dan positif ikuti prosedur pemeriksaan pada pasien OTG.

9. Bagaimana dasar hukum PAK pada skenario?

PERATURAN MENTERI KESEHATAN NO. 56 TAHUN 2016

TENTANG PENYAKIT AKIBAT KERJA

Pasal 1

Pengaturan penyelenggaraan pelayanan penyakit akibat kerja bertujuan untuk:

a. memberikan acuan dalam melakukan diagnosis, tata laksana, dan pemberian


pelayanan penyakit akibat kerja yang bermutu dan dapat dipertanggungjawabkan; dan

b. memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi pemberi dan penerima


pelayanan penyakit akibat kerja.
Pasal 2

Pelayanan penyakit akibat kerja berlaku untuk semua pekerja baik sektor formal
maupun informal, termasuk aparatur sipil negara, Tentara Nasional Indonesia, dan
Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pasal 3

Pelayanan penyakit akibat kerja meliputi:

a. diagnosis penyakit akibat kerja; dan

b. tata laksana penyakit akibat kerja.

Pasal 4

(1) Diagnosis penyakit akibat kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a
dilaksanakan dengan pendekatan 7 (tujuh) langkah yang meliputi:

a. penegakan diagnosis klinis;

b. penentuan pajanan yang dialami pekerja di tempat kerja;

c. penentuan hubungan antara pajanan dengan penyakit;

d. penentuan kecukupan pajanan;

e. penentuan faktor individu yang berperan;

f. penentuan faktor lain di luar tempat kerja; dan

g. penentuan diagnosis okupasi.

(2) Diagnosis penyakit akibat kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
untuk menentukan seorang pekerja terkena penyakit akibat kerja dan jenis penyakit
akibat kerja.
Pasal 5

(1) Tata laksana penyakit akibat kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b
meliputi:

a. tatalaksana medis; dan

b. tatalaksana okupasi.

(2) Tata laksana medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan sesuai
dengan standar profesi, standar pelayanan, dan standar operasional prosedur.

(3) Tata laksana okupasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas tata
laksana okupasi pada komunitas dan tata laksana okupasi pada individu yang
meliputi:

a. pelayanan pencegahan penyakit akibat kerja;

b. pelayanan penemuan dini penyakit akibat kerja;

c. pelayanan kelaikan kerja;

d. pelayanan kembali bekerja; dan

e. pelayanan penentuan kecacatan.

Pasal 6

Penyelenggaraan pelayanan penyakit akibat kerja dilaksanakan pada fasilitas


pelayanan kesehatan tingkat pertama atau fasilitas pelayanan kesehatan rujukan
tingkat lanjutan.

Pasal 7

Penyelenggaraan pelayanan penyakit akibat kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal


6 harus didukung dengan: a. sumber daya manusia; dan b. sarana dan prasarana.
Pasal 8

(1) Pelayanan penyakit akibat kerja di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama
dilaksanakan oleh dokter dengan kompetensi tambahan terkait penyakit akibat kerja
yang diperoleh melalui pendidikan formal atau pelatihan.

(2) Pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. pelatihan kesehatan kerja dasar atau pelatihan dokter higiene perusahaan dan
kesehatan kerja; dan

b. pelatihan diagnosis dan tata laksana penyakit akibat kerja.

(3) Pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus terstandar sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pelatihan bidang kesehatan.

Pasal 9

Pelayanan penyakit akibat kerja di fasilitas pelayanan kesehatan rujukan tingkat


lanjutan dilaksanakan oleh dokter spesialis kedokteran okupasi.

Pasal 10

(1) Sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan pelayanan penyakit akibat kerja
paling sedikit terdiri atas:

a. dokumen rekam medis;

b. alat pemeriksaan fisik; dan

c. alat penanganan emergensi.

(2) Selain sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), fasilitas
pelayanan kesehatan rujukan tingkat lanjutan harus memiliki sarana penunjang
diagnosis penyakit akibat kerja.

Pasal 11
Dalam hal di fasilitas pelayanan kesehatan tidak tersedia sumber daya manusia serta
sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 10,
harus dilaksanakan rujukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-
undangan.

Pasal 12

(1) Pembiayaan penyelenggaraan pelayanan penyakit akibat kerja dilaksanakan sesuai


dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan


penetapan diagnosis dan tata laksana penyakit akibat kerja sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 dan Pasal 5.

Pasal 13

(1) Setiap fasilitas pelayanan kesehatan penyelenggara pelayanan penyakit akibat


kerja wajib melakukan pencatatan kasus diduga penyakit akibat kerja dan kasus
penyakit akibat kerja.

(2) Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan secara berjenjang
kepada dinas kesehatan kabupaten/kota, dinas kesehatan provinsi, dan Menteri
Kesehatan.

(3) Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian dari surveilans
kesehatan pekerja.

(4) Contoh format pencatatan kasus diduga penyakit akibat kerja dan kasus penyakit
akibat kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam formulir 1,
formulir 2, dan formulir 3 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri ini.

Pasal 14
Ketentuan lebih lanjut mengenai diagnosis dan tata laksana penyakit akibat kerja dan
penyelenggaraan pelayanan penyakit akibat kerja tercantum dalam Lampiran I dan
Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 15

(1) Menteri Kesehatan, dinas kesehatan provinsi, dan dinas kesehatan kabupaten/kota
melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pelayanan
penyakit akibat kerja sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini sesuai dengan
tugas dan fungsi masing-masing.

(2) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
melibatkan organisasi profesi.

(3) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui:

a. advokasi dan sosialisasi;

b. pendidikan dan pelatihan; dan/atau

c. pemantauan dan evaluasi.

10. Bagaimana diagnosa PAK pada skenario?

Pasien dalam pengawasan atau kasus suspek / possible

1) Seseorang yang mengalami:

A. Demam (≥380C) atau riwayat demam


B. Batuk atau pilek atau nyeri tenggorokan
C. Pneumonia ringan sampai berat berdasarkan klinis dan/atau gambaran
radiologis.(pada pasien immunocompromised presentasi kemungkinan
atipikal) dan disertai minimal satu kondisi sebagai berikut :
o Memiliki riwayat perjalanan ke Tiongkok atau wilayah/ negara yang
terjangkit* dalam 14 hari sebelum timbul gejala
o Petugas kesehatan yang sakit dengan gejala sama setelah merawat pasien
infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) berat yang tidak diketahui penyebab /
etiologi penyakitnya, tanpa memperhatikan riwayat bepergian atau tempat
tinggal.

ATAU 2) Pasien infeksi pernapasan akut dengan tingkat keparahan ringan sampai
berat dan salah satu berikut dalam 14 hari sebelum onset gejala:

A. Kontak erat dengan pasien kasus terkonfirmasi atau probable COVID-19,


ATAU
B. Riwayat kontak dengan hewan penular (jika hewan sudah teridentifikasi),
ATAU
C. bekerja atau mengunjungi fasilitas layanan kesehatan dengan kasus
terkonfirmasi atau probable infeksi COVID-19 di Tiongkok atau
wilayah/negara yang terjangkit.*
D. Memiliki riwayat perjalanan ke Wuhan dan memiliki demam (suhu
≥380C) atau riwayat demam.

*Keterangan: saat ini ada 12 negara yang dikategorikan terjangkit yaitu


Tiongkok, Singapura, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Vietnam, Amerika
Serikat, Jerman, Perancis, Inggris, Spanyol dan Thailand; tetapi tetap
mengikuti perkembangan negara yang terjangkit menurut WHO dan
Litbangkes Kemenkes RI.

B. Orang dalam Pemantauan

Seseorang yang mengalami gejala demam atau riwayat demam tanpa pneumonia yang
memiliki riwayat perjalanan ke Tiongkok atau wilayah/negara yang terjangkit, dan
tidak memiliki satu atau lebih riwayat paparan diantaranya:

 Riwayat kontak erat dengan kasus konfirmasi COVID-19


 Bekerja atau mengunjungi fasilitas kesehatan yang berhubungan dengan pasien
konfirmasi COVID-19 di Tiongkok atau wilayah/negara yang terjangkit (sesuai
dengan perkembangan penyakit),
 Memiliki riwayat kontak dengan hewan penular (jika hewan penular sudah
teridentifikasi) di Tiongkok atau wilayah/negara yang terjangkit (sesuai dengan
perkembangan penyakit.

C. Kasus Probable

Pasien dalam pengawasan yang diperiksakan untuk COVID-19 tetapi inkonklusif


atau tidak dapat disimpulkan atau seseorang dengan hasil konfirmasi positif pan-
coronavirus atau beta coronavirus.

D. Kasus terkonfirmasi

Seseorang yang secara laboratorium terkonfirmasi COVID-19

Melihat dari rujukan di atas,maka untuk kategorisasi orang- orang pada


scenario adalah sebagai berikut:

▸ Pasien dalam skenario= kategori D (Kasus Terkonfirmasi)

▸ Perawat Senior= Kategori A (Pasien Dalam Pengawasan)

▸ Dokter 28 tahun, 9 pegawai, dan pasien lainnya= kategori B (Orang Dalam


Pemantauan)
DAFTAR PUSTAKA

1. Trisna D.V, dkk.2006 .Standar Profesi Dokter Keluarga hal 52. Depok:PDKI
2. Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit .2020. PEDOMAN
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN CORONAVIRUS DISESASE (COVID-19)
Revisi Ke-4. Kementerian Kesehatan RI

Anda mungkin juga menyukai