IKAKOM 2
KEDOKTERAN KERJA
Pembimbing :
dr. Pitut Apriliani Savitri, MKK
Anggota :
Asyha Kantifa 2009730128
Alfira Pangestika 2015730005
Derry Arya Pratama 2015730028
Lulu Nuraini Rahmat 2015730080
Meisari Rezki R 2015730084
Naufal Rahman Tejokusumo 2015730101
Nur'Aeni 2015730103
Rifah Naaimah 2015730111
Sanda Subrata H 2015730117
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat
menyelesaikan tugas tutorial mengenai “Kedokteran Kerja” ini tepat pada waktunya. Tidak lupa
penulis mengucapkan terimah kasih kepada dr. Pitut Apriliani Savitri, MKK yang telah
membimbing penulis dalam menyelesaikan tugas ini. Terima kasih juga kepada seluruh pihak
yang telah membantu dalam penyelesaian tugas ini.
Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan penulisan
tutorial ini. Semoga dapat bermanfaat bagi para pembaca pada umumnya dan bagi penulis pada
khususnya.
17 Juni 2020
Jakarta
BAB I
PENDAHULUAN
1. Skenario
Seorang dokter laki-laki usia 28 tahun yang bertugas di puskesmas kelurahan
menerima pasien dengan gejala Covid19, setelah dilakukan dirujuk ke RS dan dilakukan
test ternyata hasil swab pasien tersebut positif. Saat melakukan pemeriksaan dokter
tersebut ditemani 1 orang perawat perempuan senior berusia 49 tahun. Saat pemeriksaan
mereka berdua tidak memakai Alat pelindung diri. Dari awal pemeriksaan lab pasien
sampai hasil lab keluar memakan waktu 5 hari , Dokter tersebut sampai hasil test keluar
tidak timbul keluhan dan gejala, sedangkan perawat yang mendampinginya 3 hari setelah
kedatangan pasien tersebut memiliki geala demam tinggi dan batuk-batuk sehingga ijin
untuk tidak masuk kerja. Dokter sudah menikah dan memiliki 1 anak usia 3 tahun dan
tinggal hanya ber tiga dengan istrinya yang berusia 25 tahun. Dokter ditempatkan di
puskesmas tersebut baru 1 tahun yang lalu. Jarak rumah tinggal ke puskesmas kurang
lebih 4 KM dan sehari-hari menggunakan kendaraan roda 4. Dokter tersebut memiliki
riwayat penyakit asma yang dideritanya dari sejak kecil. Sang istri memiliki
kecenderungan darah tinggi yang didapat dari orang tuanya.
Perawat yang mendampinginya tinggal 500 M dari puskesmas dan sehari-hari
bejalan kaki atau menaiki kendaraan roda 2. Dia tinggal bersama suami yang berusia 50
tahun, 2 orang anak usia 18 dan 12 tahun. Perawat tersebut tidak memiliki riwayat
penyakit berat. Puskesmas tersebut memiliki pegawai sebanyak 11 orang yang terdiri
dari 2 orang dokter, 2 orang perawat, 1 orang analis, 2 orang bidan, 2 orang tenaga
administrasi dan keuangan, 1 orang farmasi dan 1 orang pramubakti. Saat ini selain
perawat senior tersebut pegawai yang lainnya tidak menunjukkan gejala. Puskesmas buka
dari hari senin hingga jumat dari jam 08.00 – 14.00, sehari-hari mereka menerima pasien
antara 50-60 orang. Saat menerima pasien terduga covid19 tersebut hari senin dan
pengunjung sedang mencapai puncaknya.
2. Kata kunci
• Seorang dokter laki-laki usia 28 tahun
• Menerima pasien dengan gejala covid19, dengan hasil swab pasien tersebut positif
• Perawat yang mendampinginya timbul gejala setelah 3 hari yaitu demam dan batuk
• Pada hari itu, puskesmas menerima pengunjung dalam jumlah yang banyak
3. Mind map
4. Gangguan kesehatan apa saja yang timbul akibat paparan faktor risiko tersebut?
6. Apakah peranan faktor individu/kerja eksternal dan internal dalam timbulnya PAK
pada skenario?
(Safety hazard) dapat menimbulkan dampak cidera, kebakaran, dan segala kondisi
yang dapat menyebabkan kecelakaan di tempat kerja.
2. Perawat dan pegawai lainnya pun bekerja selama 6 jam/hari senin sampai jumat
berangkat dari rumah berjalan kaki atau menggunakan kendaraan roda dua.
Substitusi Karyawan tidak memakai APD lengkap saat bekerja memakai APD
lengkap sesuai anjuran WHO untuk menatalaksana semua pasien
menjadi suspek COVID-19.
Kontrol Pembuatan alat media sosial (website, whatsapp, dsb) untuk membuat
Teknik janji temu untuk periksa ke dokter (dapat dilakukan dari rumah pasien),
screening pasien dari yang paling gawat (triase) yang didahulukan.
Kontrol Memberikan waktu cuti bagi karyawan puskesmas yang ODP dan PDP
Administratif selama 12 hari untuk karantina mandiri, membuat SOP protokol ketat
yang tertulis dalam penggunaan APD, dan memberikan sanksi apabia
dilanggar, membuat pelatihan tentang COVID-19 untuk seluruh
karyawan puskesmas.
2. Subtitusi
3. Kontrol Teknik
4. Kontrol Administratif
5. PPE (APD)
c. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan diantaranya:
Pemeriksaan radiologi: fototoraks, CT-scan toraks, USG toraks. Pada
pencitraan dapat menunjukkan: opasitas bilateral, konsolidasi subsegmental,
lobar atau kolaps paru atau nodul, tampilan groundglass. Pada stage awal,
terlihat bayangan multiple plak kecil dengan perubahan intertisial yang jelas
menunjukkan di perifer paru dan kemudian berkembang menjadi bayangan
multiple ground-glass dan infiltrate di keduaparu. Pada kasus berat, dapat
ditemukan konsolidasi paru bahkan “white-lung” danefusi pleura (jarang).
Pemeriksaan specimen saluran napas atas dan bawah
o Saluran napas atas dengan swab tenggorok (nasofaring dan orofaring)
o Saluran napas bawah (sputum, bilasan bronkus, BAL, bila
menggunakan endotrakeal tube dapat berupa aspirat endotrakeal)
Untuk pemeriksaan RT-PCR SARS-CoV-2, (sequencing bila tersedia).
Ketika melakukan pengambilan specimen gunakan APD yang tepat. Ketika
mengambil sampel dari saluran napas atas, gunakan swab viral (Dacron steril
atau rayon bukan kapas) dan media transport virus. Jangan sampeldari tonsil
atau hidung. Pada pasien dengan curiga infeksi COVID-19 terutama
pneumonia atau sakit berat, sampel tunggal saluran napas atas tidak cukup
untuk eksklusi diagnosis dan tambahan saluran napas atas dan bawah
direkomendasikan. Klinisi dapat hanya mengambil sampel saluran napas
bawah jika langsung tersedia seperti pasien dengan intubasi.
Janganmenginduksi sputum karenameningkatkanrisikotransmisi aerosol.
Kedua sampel (saluran napas atas dan bawah) dapat diperiksakan jenis
patogen lain.
Bila tidak terdapat RT-PCR dilakukan pemeriksaan serologi. Pada kasus
terkonfirmasi infeksi COVID-19, ulangi pengambilan sampel dari saluran
napas atas dan bawah untuk petunjuk klirens dari virus. Frekuensi
pemeriksaan 2- 4 harisampai 2 kali hasil negative dari kedua sampel serta
secara klinis perbaikan, setidaknya 24 jam. Jika sampel diperlukan untuk
keperluan pencegahan infeksi dan transmisi, specimen dapat diambil sesering
mungkin yaitu harian.
Pemeriksaan kimia darah
o Darah perifer lengkap Leukosit dapatditemukan normal atau menurun;
hitung jenis limfosit menurun. Pada kebanyakan pasien LED dan CRP
meningkat.
o Analisis gas darah
o Fungsi hepar (Pada beberapa pasien, enzim liver dan otot meningkat)
o Fungsi ginjal
o Gula darah sewaktu
o Elektrolit
o Faal hemostasis (PT/ APTT, d Dimer), pada kasus berat, D dimer
meningkat
o Prokalsitonin (bila dicurigai bakterialis)
o Laktat (Untuk menunjang kecurigaan sepsis)
Biakan mikroorganisme dan uji kepekaan dari bahan saluran napas (sputum,
bilasan bronkus, cairan pleura) dan darah, Kultur darah untuk bakteri
dilakukan, idealnya sebelum terapi antibiotik. Namun, jangan menunda terapi
antibiotic dengan menunggu hasil kultur darah).
Pemeriksaan feses dan urin (untuk investasigasi kemungkinan penularan).
4. Gangguan kesehatan apa saja yang timbul akibat paparan faktor risiko tersebut?
Gangguan kesehatan yang mungkin terjadi apabila kita lihat dari urutan kegiatan harian
yang dilakukan para pekerja terutama dokter dan perawat pada skenario adalah :
Jam kerja 08.00 – 14.00 (6 jam). Pada saat pemeriksaan pasien covid19, dokter
dan perawat tidak memakai Alat Pelindung Diri (APD), begitupun kemungkinan
karyawan lain. Pasien yang datang ke puskesmas pada saat itu >50 orang.
Ukuran virus corona adalah 0,125µm dan dapat bertahan selama beberapa jam
sampai beberapa hari. Virus corona dapat bertahan di permukaan benda. Dapat
menularkan melalui droplet (percikan cairan tubuh) yang berasal dari bersin, batuk dan
saat berbicara juga menularkan saat menyentuh permukaan benda kemudian menyentuh
daerah wajah seperti mata, hidung dan mulut. Dapat dinonaktifkan dengan desinfektan
dan mencuci tangan atau benda dengan sabun.
Jadi penularan dapat terjadi dari pasien covid19 ke pasien lain maupun dengan
karyawan puskesmas. Juga tidak diketahui pasien yang datang ke puskesmas apakah
penderita covid19 juga atau tidak, karna bisa saja pasien puskesmas yang lain merupakan
Orang Tanpa Gejala (OTG). Pada saat dokter maupun karyawan lain pulang dari
puskesmas, mereka dapat menularkan virus ke orang lain yang mereka temui saat di
kendaraan, perjalanan atau saat di rumah.
Untuk evalusia kedepannya sebaiknya dokter dan perawat yang langsung
berhadapan dengan pasien disarankan untuk memakai APD sesuai dengan standar dan
lengkap seperti pemakaian gown (hazmat), Masker N95, Sarung tangan , Penutup kepala
kain/ disposable, Helm pengaman, Masker disposable tambahan, Kacamata goggle, Face
shield dan Penutup kaki (Boot). Kemudian untuk karyawan lain dapat menggunakan
APD yang lengkap pula, namun untuk karyawan yang tidak bertemu pasien langsung
dapat menggunakan APD seperti masker disposable atau masker N95, Face shield dan
sarung tangan. Semua karyawan dianjurkan untuk sering mencuci tangan atau memakai
hand sanitizer serta menjaga jarak satu sama lain dan tidak menyentuh bagian wajah.
Usia
Usia 45 tahun berisiko tertular penyakit, dalam hal ini berkaitan dengan imunitas tubuh,
Namun jurnal lain mengatakan lebih berisiko >60 tahun dan >80 tahun.
Jenis kelamin
Penelitian menyatakan bahwa Laki-laki lebih berisiko tertular penyakit dikarenakan
kebiasaan merokok, aktivitas bekerja dan phbs (perilaku hidup bersih dan sehat) yang
pada laki-laki biasanya kurang diperhatikan. Penelitian lain juga menyatakan bahwa
wanita lebih memiliki sistem imun yang lebih kuat daripada laki-laki.
- Tanpa Gejala
- Gejala Ringan
- Gejala Sedang
- Gejala Berat
Pasien belum atau tidak terkonfirmasi Covid-19 Termasuk pasien dengan hasil
rapid test serologi negatif / Orang Tanpa Gejala / Orang Dalam Pemantauan /
Pasien Dalam Pengawasan.
- Tanpa Gejala
- Gejala Ringan
- Gejala Sedang-Berat
Tindakan preventif
Penggunaan APD harus digunakan oleh seluruh staf yang bekerja dirumah sakit
yang berpotensi terjadi bahaya/ kecelakaan kerja. APD digunakan bila:
1. Kontak dengan dengan darah, cairan tubuh, sekreta, ekskreta dan semuayang
tercemar oleh bahan infeksius.
2. Kontak dengan selaput mukosa atau kulit yang tidak utuh/ luka terbuka.
3. Sebelum melakukan tindakan invasive (steril maupun no steril).
Berikut ini adalah jenis alat pelindung diri yang diperlukan dalam pelayanan
kesehatan di rumah sakit:
1. Sarung tangan
a. Sarung tangan bersih
Digunakan bila kontak dengan pasien ataucairan tubuh pasien dan bahan
berbahaya lainnya, tetapi tidakkontak dengan jaringan dibawah kulit.
b. Sarang tangan steril
Digunakan bila kontak dengan jaringan dibawah kulit.
c. Sarung tangan rumah tangga
Digunakan untuk menyiapkanmakanan pasien, keluarga dan petugas.
2. Penutup kepala
a. Penutup kepala kain/ disposable
Digunakan untuk mencegahkontaminasi kepala dan rambut pada pasien atau
melindungi kepaladan rambut dari bahan berbahaya lainnya.
b. Helm pengaman
Digunakan untuk melindungi kepala dari bahaya benturan atau pukulan benda-
benda keras yang dapat mencederai kepala.
3. Masker
a. Masker disposable
Digunakan untuk mencegah kontaminasi mulutdari cipratan darah atau cairan
tubuh lainnya saat memberikan pelayanan kepada pasien.
b. Masker N95
Jenis masker efisiensi tinggi yang digunakan untukmelindungi petugas dari
infeksi saluran nafas atau kontaminasi dari bahan lainnya yang dapat
membahayakan saluran pernafasan
4. Pelindung mata
a. Kacamata goggle;
Digunakan untuk melindungi mata darikontaminasi cairan tubuh atau darah
pasien atau bahan lainnya yangdapat membahayakan mata.
b. Face shield;
Digunakan untuk melindungi wajah dari kontaminasi bahan berbahaya.
5. Gown
a. Apron timbal
Digunakan untuk melindungi tubuh dari paparan sinarx-ray.
b. Gown steril
Digunakan untuk mempertahankan kondisi sterilitasarea operasi.
c. Celemek plastik/ Perlak
Digunakan untuk melindungi tubuh daricipratan darah atau cairan tubuh
pasien atau dari bahan berbahayalainnya.
6. Penutup kaki
a. Sepatu
Digunakan untuk melindungi kaki dari cipratan darah ataucairan tubuh pasien
atau dari melindungi dari bahan berbahaya lainnya.
b. Boot
Digunakan untuk melindungi kaki dari cedera akibat benda- benda berat atau
tajam yang mungkin jatuh secara tidak sengaja pada kaki
Pada perawatan rutin pasien, penggunaan APD harus berpedoman pada penilaian
risiko/antisipasi kontak dengan darah, cairan tubuh, sekresi dan kulit yang terluka. Ketika
melakukan prosedur yang berisiko terjadi percikan ke wajah dan/atau badan, maka
pemakaian APD harus ditambah dengan:
• Pelindung wajah dengan cara memakai masker bedah dan pelindung mata/ eye-
visor/ kacamata, atau pelindung wajah, dan
• Gaun dan sarung tangan bersih.
Tindakan promotif
Komplikasi
Komplikasi COVID-19 paling umum adalah acute respiratory distress
syndrome (ARDS). Selain itu, beberapa komplikasi lainnya, seperti syok septik
dan rabdomiolisis, juga dapat terjadi. Komplikasi jangka panjang COVID-19
sampai sekarang belum diketahui.
- Acute Respiratory Distress Syndrome
Kerusakan dinding alveolus dan kapiler dari paru akibat COVID-19 dapat
menyebabkan komplikasi acute respiratory distress syndrome (ARDS).
ARDS didiagnosis dengan PaO2/FiO2 ≤ 300 mmHg atau SpO2/FiO2 ≤ 315
mmHg. Pasien lansia dengan COVID-19 dan ARDS ditemukan memiliki
risiko kematian lebih tinggi. Pasien dengan gagal napas dapat dilakukan
intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik.
- Syok Septik
Beberapa studi telah menunjukkan bahwa syok septik merupakan salah satu
komplikasi dari COVID-19. Studi Chen et al. menunjukkan bahwa 4% pasien
COVID-19 mengalami komplikasi syok septik. Pasien dengan syok harus
dilakukan resusitasi cairan dan pemberian vasopressor untuk
mempertahankan mean arterial pressure (MAP) ≥65 mmHg dan kadar serum
laktat >2 mmol/L.
- Rabdomiolisis
Studi oleh Jiang F et al. menemukan rabdomiolisis sebagai kemungkinan
komplikasi jangka panjang pada pasien COVID-19. Hal ini ditemukan pada
pasien COVID-19 keadaan berat dengan gejala nyeri pada tungkai bawah
dan fatigue. Selain itu, rabdomiolisis juga dapat memiliki manifestasi
klinis gagal ginjal akut dan pigmenturia. Pada studi ini, rabdomiolisis baru
terjadi pada hari ke 9 dengan gejala nyeri pada tungkai bawah, peningkatan
mioglobin, creatinine kinase (CK), laktat dehidrogenase, alanin
aminotransferase, dan aspartat aminotransferase.
Kesimpulan
- COVID-19 adalah penyakit baru yang telah menjadi pandemi. Penyakit ini
harus diwaspadai karena penularan yang relatif cepat, memiliki tingkat
mortalitas yang tidak dapat diabaikan, dan belum adanya terapi definitif.
- Puskesmas sebagai fasilitas kesehatan tingkat primer yang dekat dengan
masyarakat harus memanfaatkan peran sebagai promosi kesehatan serta
dipersiapkan dan difasilitasi APD yang memadai, hal ini penting dilakukan
terutama untuk menunjang pelayanan dan penanganan potensi wabah COVID-
19 di daerah-daerah yang jauh dari RS rujukan nasional khusus COVID-19.
Saran
Puskesmas
Menerapkan langkah-langkah pencegahan yang paling efektif dan
disosialisasikan kepada para karyawan dan pengunjung serta pasien seperti:
Melakukan kebersihan tangan menggunakan hand sanitizer jika tangan
tidak terlihat kotor atau cuci tangan dengan sabun jika tangan terlihat
kotor.
Menghindari menyentuh mata, hidung dan mulut.
Terapkan etika batuk atau bersin dengan menutup hidung dan mulut
dengan lengan atas.
Pakailah masker, baik yang memiliki gejala gangguan pernapasan maupun
tidak.
Menjaga jarak minimal 1 meter pada masing-masing pengunjung serta
kursi di ruang tunggu harus terpisah jarak.
Sediakan wadah untuk mencuci tangan bagi para pengunjung dan pasien
serta pembersih tangan alkohol ditempatkan di tempat yang terjangkau.
Batasi jumlah pengunjung yang melakukan kontak dengan suspek atau
konfirmasi terinfeksi COVID-19 dan batasi waktu kunjungan. Berikan
instruksi yang jelas tentang cara memakai dan melepas APD dan
kebersihan tangan untuk memastikan pengunjung menghindari
kontaminasi diri.
Karyawan Puskesmas
Dokter dan perawat (yang terpapar langsung oleh pasien terduga COVID-19)
Dokter dengan status OTG
Kegiatan surveilans terhadap OTG dilakukan selama 14 hari sejak kontak
terakhir dengan kasus positif COVID-19. Dilakukan pengambilan spesimen
pada hari ke-1 dan ke-14 untuk pemeriksaan RT PCR. Dilakukan pemeriksaan
Rapid Test apabila tidak tersedia fasilitas pemeriksaan RT PCR, apabila hasil
pemeriksaan pertama menunjukkan hasil:
a. Negatif, tatalaksana selanjutnya adalah karantina mandiri dengan menerapkan
PHBS dan physical distancing; pemeriksaan ulang pada 10 hari berikutnya.
Jika hasil pemeriksaan ulang positif, maka dilanjutkan dengan pemeriksaan RT
PCR sebanyak 2 kali selama 2 hari berturut-turut, di Laboratorium pemeriksa
yang mampu melakukan pemeriksaan RT PCR.
b. Positif, tatalaksana selanjutnya adalah karantina mandiri dengan menerapkan
PHBS dan physical distancing. Apabila OTG yang terkonfirmasi positif
menunjukkan gejala demam (≥38⁰C) atau batuk/pilek/nyeri tenggorokan
selama masa karantina maka: jika gejala ringan, dapat dilakukan isolasi diri di
rumah, jika gejala sedang, dilakukan isolasi di RS darurat, jika gejala berat,
dilakukan isolasi di RS rujukan.
Perawat dengan status ODP
Kegiatan surveilans terhadap ODP dilakukan selama 14 hari sejak mulai
munculnya gejala. Dilakukan pengambilan spesimen pada hari ke-1 dan ke-2
untuk pemeriksaan RT PCR. Jika tidak tersedia fasilitas pemeriksaan RT PCR,
dilakukan pemeriksaan Rapid Test. Apabila hasil pemeriksaan Rapid Test
pertama menunjukkan hasil:
a. Negatif, tatalaksana selanjutnya adalah isolasi diri di rumah; pemeriksaan ulang
pada 10 hari berikutnya. Jika hasil pemeriksaan ulang positif, maka dilanjutkan
dengan pemeriksaan RT PCR sebanyak 2 kali selama 2 hari berturut-turut, di
Laboratorium pemeriksa yang mampu melakukan pemeriksaan RT PCR.
b. Positif, tatalaksana selanjutnya adalah isolasi diri di rumah; Pada kelompok ini
juga akan dikonfirmasi dengan pemeriksaan RT PCR sebanyak 2 kali selama 2
hari berturut-turut,di Laboratorium pemeriksa yang mampu melakukan
pemeriksaan RT PCR. .
Apabila ODP yang terkonfirmasi menunjukkan gejala perburukan maka:
a. Jika gejala sedang, dilakukan isolasi di RS darurat
b. Jika gejala berat, dilakukan isolasi di RS rujukan
Pasal 1
Pelayanan penyakit akibat kerja berlaku untuk semua pekerja baik sektor formal
maupun informal, termasuk aparatur sipil negara, Tentara Nasional Indonesia, dan
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal 3
Pasal 4
(1) Diagnosis penyakit akibat kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a
dilaksanakan dengan pendekatan 7 (tujuh) langkah yang meliputi:
(2) Diagnosis penyakit akibat kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
untuk menentukan seorang pekerja terkena penyakit akibat kerja dan jenis penyakit
akibat kerja.
Pasal 5
(1) Tata laksana penyakit akibat kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b
meliputi:
b. tatalaksana okupasi.
(2) Tata laksana medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan sesuai
dengan standar profesi, standar pelayanan, dan standar operasional prosedur.
(3) Tata laksana okupasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas tata
laksana okupasi pada komunitas dan tata laksana okupasi pada individu yang
meliputi:
Pasal 6
Pasal 7
(1) Pelayanan penyakit akibat kerja di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama
dilaksanakan oleh dokter dengan kompetensi tambahan terkait penyakit akibat kerja
yang diperoleh melalui pendidikan formal atau pelatihan.
a. pelatihan kesehatan kerja dasar atau pelatihan dokter higiene perusahaan dan
kesehatan kerja; dan
(3) Pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus terstandar sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pelatihan bidang kesehatan.
Pasal 9
Pasal 10
(1) Sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan pelayanan penyakit akibat kerja
paling sedikit terdiri atas:
(2) Selain sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), fasilitas
pelayanan kesehatan rujukan tingkat lanjutan harus memiliki sarana penunjang
diagnosis penyakit akibat kerja.
Pasal 11
Dalam hal di fasilitas pelayanan kesehatan tidak tersedia sumber daya manusia serta
sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 10,
harus dilaksanakan rujukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-
undangan.
Pasal 12
Pasal 13
(2) Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan secara berjenjang
kepada dinas kesehatan kabupaten/kota, dinas kesehatan provinsi, dan Menteri
Kesehatan.
(3) Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian dari surveilans
kesehatan pekerja.
(4) Contoh format pencatatan kasus diduga penyakit akibat kerja dan kasus penyakit
akibat kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam formulir 1,
formulir 2, dan formulir 3 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri ini.
Pasal 14
Ketentuan lebih lanjut mengenai diagnosis dan tata laksana penyakit akibat kerja dan
penyelenggaraan pelayanan penyakit akibat kerja tercantum dalam Lampiran I dan
Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 15
(1) Menteri Kesehatan, dinas kesehatan provinsi, dan dinas kesehatan kabupaten/kota
melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pelayanan
penyakit akibat kerja sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini sesuai dengan
tugas dan fungsi masing-masing.
(2) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
melibatkan organisasi profesi.
(3) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui:
ATAU 2) Pasien infeksi pernapasan akut dengan tingkat keparahan ringan sampai
berat dan salah satu berikut dalam 14 hari sebelum onset gejala:
Seseorang yang mengalami gejala demam atau riwayat demam tanpa pneumonia yang
memiliki riwayat perjalanan ke Tiongkok atau wilayah/negara yang terjangkit, dan
tidak memiliki satu atau lebih riwayat paparan diantaranya:
C. Kasus Probable
D. Kasus terkonfirmasi
1. Trisna D.V, dkk.2006 .Standar Profesi Dokter Keluarga hal 52. Depok:PDKI
2. Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit .2020. PEDOMAN
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN CORONAVIRUS DISESASE (COVID-19)
Revisi Ke-4. Kementerian Kesehatan RI