Oleh:
Radi Prawira Darma, S. Ked
G1A218047
Dosen Pembimbing :
dr. Irawan Anasta Putra, Sp.A
1
HALAMAN PENGESAHAN
Case Report Session (CRS)
Disusun Oleh
Radi Prawira Darma, S.Ked
G1A218047
PEMBIMBING
2
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
atas segala limpahan kasih dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan
Case Report Session ini dengan judul “Status Epileptikus Ec Epilepsi ”.Laporan
ini merupakan bagian dari tugas Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu
Kesehatan Anak RSUD Raden Mattaher Jambi.
Terwujudnya laporan ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan dan dorongan
dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih
kepada dr. Irawan Anasta Putra, Sp.A selaku pembimbing yang telah memberikan
arahan sehingga laporan Case Report Session ini dapat terselesaikan dengan baik
dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian laporan ini.
Penulis menyadari laporan ini masih banyak kekurangannya, untuk itu
saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan oleh penulis.Sebagai
penutup semoga kiranya laporan Case Report Session ini dapat bermanfaat bagi
kita khususnya dan bagi dunia kesehatan pada umumnya.
Penulis
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
mengalami trauma luka. Kadang bintik-bintik kecil merah (disebut Petechiae)
muncul pula pada permukaan kulitnya. Jika jumlah sel darah merah ini sangat
rendah, penderita ITP bisa juga mengalami mimisan yang sukar berhenti, atau
mengalami perdarahan dalam organ ususnya. ITP merupakan salah satu dari tanda
penyakit SLE.
Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah penyakit autoimun sistemik
yang ditandai dengan adanya autoantibodi terhadap autoantigen, pembentukan
kompleks imun, dan disregulasi sistem imun, menyebabkan kerusakan pada
beberapa organ tubuh. Pada setiap penderita, peradangan akan mengenai jaringan
dan organ yang berbeda. Penyakit ini terutama mengenai perempuan diusia
reproduksi dengan angka kematian yang cukup tinggi. Faktor genetic, imunologik,
dan hormonal serta lingkungan diduga dalam patofisiologi SLE.
Perjalanan penyakit SLE sulit diduga dan sering berakhir dengan
kematian. Karenanya SLE harus dipertimbangkan sebagai merupakan penyakit
inflamasi autoimun kronis dengan etiologi yang belum diketahui serta manifestasi
klinis, perjalanan penyakit dan prognosis yang sangat beragam. Penyakit ini
terutama menyerang wanita usia reproduksi dengan angka kematian yang cukup
tinggi. Faktor genetik, imunologik dan hormonal serta lingkungan diduga
berperan dalam patofisiologi SLE.
Insiden tahunan SLE di Amerika serikat sebesar 5,1 per 100.000
penduduk, sementara prevalensi SLE di Amerika dilaporkan 52 kasus per 100.000
penduduk, dengan rasio jender wanita dan laki-laki antara 9-14:1. Belum terdapat
data epidemiologi SLE yang mencakup semua wilayah Indonesia.
Manifestasi klinis SLE sangat luas, meliputi keterlibatan kulit dan mukosa,
sendi, darah, jantung, paru, ginjal, susunan saraf pusat (SSP) dan sistem imun.
Dilaporkan bahwa pada 1000 pasien SLE di Eropa yang diikuti selama 10 tahun,
manifestasi klinis terbanyak berturut-turut adalah artritis sebesar 48,1%, ruam
malar 31,1%, nefropati 27,9%, fotosensitiviti 22,9%, keterlibatan neurologik
19,4% dan demam 16,6% sedangkan manifestasi klinis yang jarang dijumpai
adalah miositis 4,3%, ruam diskoid 7,8 %, anemia hemolitik 4,8%, dan lesi
subkutaneus akut 6,7%. Morbititas dan mortalitas pasien SLE masih cukup tinggi
5
BAB II
LAPORAN KASUS
2.2 Anamnesis
Alloanamnesis
Keluhan Utama : Demam
Keluhan Tambahan : Mimisan, Bab hitam, lemas, Mual, Muntah, Nyeri
kepala,
6
Pasien juga mengeluh Muntah. Muntah sebanyak 1 kali. Muntah berisi
makanan yang dimakan. Volume sekali muntah ± ½ gelas belimbing.
Lendir (-), darah (-). Pasien juga mengeluh BAB cair. BAB sebanyak 2
kali. BAB cair bewarna kehitaman. BAB sebanyak 2-3 kali. Lendir (-),
darah (-). Keluhan juga disertai Mual (+). Penurunan nafsu makan (+),
nyeri menelan (-), gusi berdarah (-), batuk (-). Pilek (-), BAK normal.
± 1 minggu SMRS pasien mengeluh timbul lebam pada bagian perut dan
lengan atas pasien, namun lebam hilang dengan sendirinya setelah ± 1
minggu. Pasien mengatakan sering timbul lebam di tubuhnya sejak ia kecil.
Lebam berbentuk bundar bewarna keunguan, lebam timbul tanpa penyebbab
yang jelas dan hilang dengan sendirinya.
Pasien juga sering mengeluh badan lemas. Orang tua pasien mengatakan
bahwa pasien tidak bisa terlalu capek, sehingga aktivitas pasien sangat
terbatas. Pasien juga memiliki riwayat sering pingsan apabila terlalu capek
beraktivitas.
Orang tua pasien mengatakan bahwa pasien juga tidak bisa terkena panas,
pasien mengatakan jika lama berada dibawah matahari, kepala pasien pusing
dan timbul bintik bintik merah dibagian pipi pasien.
7
Riwayat penyakit keluarga :
- Ibu pasien mengeluh penyakit yang sama yaitu sering lemas, timbul
lebam dan tidak bisa terkena sinar matahari lama. Namun ibu pasien
belum pernah berobat.
- Ayah pasien diketahui meninggal karena penyakit leukimia.
- Riwayat keluhan DBD (-)
- Riwayat penyakit autoimun (-)
- Riwayat alergi (-)
- Riwayat penyakit kronik (-)
Tambahan :
- Riwayat teman sekolah terkena DBD (-)
- Riwayat tetangga terkena DBD (-)
- Riwayat bepergian kedaerah endemis dll (-)
8
ASI : Asi eksklusif sampai usia 6 bulan
Susu formula : Susu formula sampai usia 2 tahun
Bubur nasi :+
Nasi tim/lembek :+
Nasi biasa :+
Riwayat imunisasi
a. BCG :+
b. Polio :+
c. DTP :+
d. Campak :+
e. Hepatitis :+
Kesan : Imunisasi dasar lengkap
Riwayat perkembangan
Gigi pertama : 7 bulan
Tengkurap : Ibu lupa
Merangkak : 8 bulan
Duduk : 9 bulan
Berdiri : 1 tahun
Berjalan : 1 tahun 2 bulan
Aktifitas : Aktif
Status gizi
BB : 35 Kg
TB : 136 Cm
LK : 53 Cm
LL : 15 Cm
LP : 54 Cm
Usia 10 tahun 10 bulan dengan berat badan 35 kg dan tinggi badan 136 cm
- BB/U = p 25-50 Kesan: Normal
9
- PB/U = p 10-25 Kesan: Normal
- BB/PB = 90 % Kesan: Gizi baik
Riwayat penyakit yang pernah diderita
Parotitis :- Muntah berak : + (muntah)
Pertusis :- Asma :-
Difteri :- Cacingan :-
Tetanus :- Patah tulang :-
Campak :- Jantung :-
Varicella :- Sendi bengkak: -
Thypoid :- Kecelakaan :-
Malaria :- Operasi :-
DBD :- Keracunan :-
Demam menahun : - Sakit kencing : -
Radang paru :- Sakit ginjal :-
TBC :- Alergi :+
Kejang :- Perut kembung: +
Lumpuh :- Otitis Media : -
Batuk/pilek :+
10
Kulit
Sianosis :-
Turgor : Baik
Lain-lain : Petekie (-), Purpura (-), malar rash (-)
Kepala
Bentuk : Normochepal, tanda-tanda trauma (-)
Rambut
Warna : Hitam, merata, tidak mudah dicabut
Mata
Palpebra : Edema (-), cekung (-)
Alis dan bulu mata : Hitam
Konjungtiva : Anemis (-/-)
Sklera : Ikterik (-/-)
Pupil : Isokor, refleks cahaya (+/+)
Telinga
Bentuk : Simetris
Sekret : Tidak ada
Serumen : (+/+) minimal
Nyeri tekan : (-/-)
Hidung
Bentuk : Simetris
Sekret : -/-
Epistaksis : - /-
Lain-lain :-
Mulut dan Gigi
Bentuk : Simetris
Bibir : Sianosis (-), Ulcer (-)
Karies :+
Faring
Hiperemis :-
11
Edema :-
Membran / pseudomembran : -
Tonsil
Warna : Hipertrofi
Pembesaran : T2-T2
Abses / tidak :-
Membran / pseudomembran : -
Leher
Pembesaran kelenjar KGB : -
Paru
Inspeksi : Simetris (+), retraksi (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), masa (-)
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Vesikuler (+/+), Ronkhi (-/-), wheezing (-/-).
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS V linea midclavicular sinistra
Perkusi :
Batas kiri : ICS V linea mid klavikularis sinistra
Batas kanan : ICS IV linea parasternalis dekstra
Batas atas : ICS II linea parasternalis sinistra
Auskultasi : Bj I/II reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Nyeri tekan epigastrium (+)
Hati : Tidak teraba
Lien : Tidak teraba
Ginjal : Tidak teraba
Perkusi : Timpani (+), Asites (-)
12
Ekstremitas
Superior : Akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-), sianosis (-)
Inferior : Akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-), sianosis (-)
Genitalia : Dalam batas normal
Kesan : ditemukan Tosilitis T2/T2
Jenis
26/08 27/08 Normal
Pemeriksaan
WBC 7,44 6,77 (4-10,0 103/mm3)
RBC 4,61 4,55 (3,5-5,5 106/mm3)
HGB 12,7 12,6 (11,0-16 g/dl)
HCT 38,8 38,8 (35,0-50,0 %)
PLT 95 313 (100-300 103/mm3)
MCV 84,2 85,2 (80-100 fl)
MCH 27,5 27,7 (27-34 pg)
MCHC 327 325 (320-360g/dl)
GDS 81 - (<200mg/dl)
Kesan : Trombositopenia
13
Pemeriksaan Analisis Urine
Warna : Kuning
Berat Jenis : 1010
Ph :6
Glukosa :-
Sedimen :
- Leukosit : 0-1/LPB
- Eritrosit : 2-3/LPB
- Epitel : 1-2/LPK
Silinder :
- Hialin :-
- Granuler :-
- Epitel :-
- Darah :-
- Leukosit :-
Kristal :
- Ca-oksalat : -
- Tri fosfat :-
- Urat :-
- Lain-lain :-
Kesan : Normal
14
Diagnosa banding perdarahan
- ITP
- SLE
- Kelainan darah (ALL,CLL,AML,CML)
2.7 Diagnosis Kerja
Primer : Idiopathic Trombocytopenic purpura ec. Suspek SLE
Sekunder : tonsilitis
2.8 PENATALAKSANAAN
Farmakologi
1. IVFD D5 ¼ NS 25 tpm
2. PO Paracetamol 3 x 350 mg jika T > 38,5◦c
Nonfarmakologi
1. Tirah baring
2. Diet lunak
3. Edukasi
15
1.9 Follow Up
Tabel 2.1 Follow Up Pasien
Tanggal Perkembangan
27/08/2019 S: Demam (-) Lemas (+), BAB hitam (-), nyeri kepala (+),
muntah (-), Mual (-),
O: TD: 100/60 N : 80x/menit RR: 22x/menit T : 36,6
SpO2 : 95 %
Darah rutin :
WBC : 6,77 x109/L
RBC : 4,55 x1012/L
HGB : 12,6 g/dL
HCT : 38,8 %
PLT : 313 x109/L
A: TDBD Grade II
P:
IVFD RL 1500 cc/24 jam
PCT jika > 38 C
Inj. Omeprazole 1 x 40 mg
- Cek darah rutin/24 jam
- Cek urin
- Cek imunologi
- Konsul THT
28/08/2019 S: Demam (-) Lemas (+), belum BAB, nyeri kepala (+),
muntah (-), Mual (-)
O: TD: 100/60 N : 94x/menit RR: 25x/menit T : 36,6
16
SpO2 : 95 %
A: ITP
P:
IVFD RL D5 ¼ NS 20 tpm
Inj Omeprazole 2 x 15 mg
- Cek Sadt, Sitbc,
29/08/2019 S: Demam (-) Lemas (+), sakit kepala (-), muntah (-), Mual
(-)
O: TD: 100/60 N : 94x/menit RR: 26x/menit T : 36,6
SpO2 : 96 %
A: ITP ec suspek SLE
P:
IVFD RL D5 ¼ NS 20 tpm
Inj Omeprazole 15 mg IV
- Pasien diperbolehkan pulang
- Rawat jalan
2.9 Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad Fungtionam : Dubia ad bonam
Quo ad Sanationam : Dubia ad malam
17
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.2 Etiologi
Dalam kebanyakan kasus, penyebab ITP tidak diketahui. Seringkali pasien
yang sebelumnya terinfeksi oleh virus (rubella, rubeola, varisela) atau, sekitar tiga
minggu menjadi ITP. Hal ini diyakini bahwa tubuh, ketika membuat antibodi
terhadap virus, "sengaja" juga membuat antibodi yang dapat menempel pada sel-
sel platelet. Tubuh mengenali setiap sel dengan antibodi sebagai sel asing dan
18
menghancurkan mereka. Itulah sebabnya ITP juga disebut sebagai imuno
thrombocytopenic purpura.
Sumsum tulang adalah jaringan lembut, kenyal yang berada di tengah
tulang panjang dan bertanggung jawab untuk membuat sel-sel darah, termasuk
trombosit. Sumsum tulang merespon rendahnya jumlah trombosit dan
menghasilkan lebih banyak untuk mengirim ke tubuh. Sel-sel di sumsum tulang
pada pasien dengan ITP, akan banyak trombosit muda yang telah dihasilkan.
Namun, hasil tes darah dari sirkulasi darah akan menunjukkan jumlah trombosit
yang sangat rendah. Tubuh memproduksi sel-sel normal, tetapi tubuh juga
menghancurkan mereka. Dalam kebanyakan kasus, tes darah lainnya normal
kecuali untuk rendahnya jumlah trombosit. Pada pasien ITP, trombosit biasanya
bertahan hanya beberapa jam, dibandingkan dengan trombosit yang normal yang
memiliki umur 7 sampai 10 hari. Trombosit sangat penting untuk pembentukan
bekuan darah.
3.3 Epidemiologi
Insiden ITP pada anak antara 4,0-5,3 per 100.000, ITP akut umunya terjadi
pada anakanak usia antara 2-6 tahun. 7-28% anak-anak dengan ITP akut
berkembang menjadi kronik. Purpura Trombosit Idiopatik pada anak berkembang
19
menjadi bentuk ITP kronik pada beberapa kasus menyerupai ITP dewasa yang
khas. Insidensi ITP kronis pada anak diperkirakan 0,46 per 100.000 anak
pertahun.
Insidensi ITP kronis dewasa adalah 58-66 kasus baru per satu juta populasi
pertahun (5,8- 6,6 per 100.000) di Amerika dan serupa yang ditemukan di Inggris.
Idiopathic Thrombocytopenic Purpura kronik pada umumnya terdapat pada orang
dewasa median ratarata usia 40-45 tahun. Ratio antara perempuan dan laki-laki
adalah 1:1 pada penderita ITP akut sedangkan pada ITP kronik adalah 2-3:1.
Jumlah insiden ITP yang sebenarnya, tidak diketahui, karena individu
dengan penyakit ringan mungkin asimtomatik sehingga tidak terdiagnosis. Di
Amerika Serikat, penyakit gejala terjadi pada sekitar 70 dewasa / 1.000.000 dan
50 anak / 1.000.000. Penderita ITP refrakter didefinisikan sebagai suatu ITP yang
gagal diterapi dengan kortikosteroid dosis standar dan splenektomi yang
selanjutnya mendapat terapi karena angka trombosit dibawah normal atau ada
perdarahan. Penderita ITP refrakter ditemukan kira-kira 25-30 persen dari jumlah
penderita ITP. Kelompok ini mempunyai respon jelek terhadap pemberian terapi
dengan morbiditas yang cukup bermakna dan mortalitas kira-kira 16%.
3.4 Patofisiologi
Sindroma ITP disebabkan oleh antibody trombosit spesifik yang berikatan
dengan trombosit autolog kemudian dengan cepat dibersihkan dari sirkulasi oleh
system fagosit mononuklir melalui reseptor Fe makrofag. Pada tahun 1982 Van
Leeuwen pertama mengidentifikasi membrane trombosit glikoprotein IIb/IIIa
(CD41) sebagai antigen yang dominant dengan mendemostrasikan bahwa elusi
autoantibody dari trombosit pasien ITP berikatan dengan trombosit normal.
Diperkiraan ITP diperantai oleh suatu autoantibody, mengingat kejadian
transient trombositopeni pada neonatus yang lahir dari ibu yang menderita ITP,
dan perkiraan ini didukung oleh kejadian transient trombositopeni pada orang
sehat yang menerima transfuse plasma kaya Ig G, dari seorang pasien ITP.
Trombosit yang diselimuti oleh autoantibody Ig G akan mengalami percepatan
pembersihan di lien dan di hati setelah berikatan dengan reseptor Fcg yang
20
diekspresikan oleh makrofag jaringan. Pada sebagian besar pasien, akan terjadi
mekanisme kompensasi dengan peningkatan produksi trombosit. Pada sebagian
kecil yang lain, produksi trombsit tetap terganggu, sebagian akibat destruksi
trombosit yang diselimuti autoantibody oleh makrofag di dalam sumsum tulang
(intramedullary) atau karena hambatan pembentukan megakariosit
(megakaryocytopoiesis), kadar trombopoetin tidak meningkat, menunjukkan
adanya masa megakariosit normal.
Antigen pertama yang berhasil diidentifikasikan berasal dari kegagalan
antibody ITP untuk berikatan dengan trombosit yang secara genetic kekurangan
kompleks glikoprotein Ib/IX, Ia/IIa, IV dan V dan determinan trombosit yang lain.
Juga dijumpai antibody yang bereaksi terhadap berbagai antigen yang berbeda.
Destruksi trombosit dalam sel penyaji antigen diperkirakan dipicu oleh antibody,
akan menimbulkan pacuan pembentukan neoantigen, yang berakibat produksi
antibody yang cukup untuk menimbulkan trombositopeni (Gambar I). Secara
alamiah, antibody terhadap kompleks glikoprotein IIb/IIIa memperlihatkan
restriksi penggunaan rantai ringan, sedangkan antibody ang berasal dari display
phage menunjukkan penggunaan gen VH+. Pelacakan pada daerah yang berikatan
dengan antigen dari antibody-antibodi ini menunjukkan bahwa antibody tersebut
berasal dari klon sel B yang mengalami seleksi afinitas yang diperantai antigen
dan melalui mutasi somatic. Pasien ITP pada orang dewasa sering menunjukan
peningkatan jumlah HLA-DR + T cells, peningkatan jumah interleukin 2 dan
peningkatan profil sitokin yang menunjukkan aktivitas precursor sel T helper dan
sel T helper tipe 1. Pada pasien-pasien ini, sel T akan merangsang sintesis
antibody setelah terpapar fragmen glikoprotein IIb/IIIa tetapi bukan karena
terpapar oleh protein alami. Penurunan epitop kriptik ini secara in vivo dan alasan
aktivasi sel yang bertahan lama tidak diketahui dengan pasti.
Dari gambar 1 dapat memperjelas bahwa, factor yang memicu produksi
autoantibody tidak diketahui. Kebanyakan pasien mempunyai antibody terhadap
glikoprotein pada permukaan trombosit pada saat penyakit terdiagnosis secara
klinis. Pada awalnya glikoprotein II/IIIa dikenali autoantibody, sedangkan
antibody yang mengenali glikoprotein Ib/IX belum terbentuk pada tahap ini (1).
21
Trombosit yang diselimuti autoantibodi akan berikatan dengan sel penyaji antigen
(makrofag atau sel dendritik) melalui reseptor Fcg kemudian mengalami proses
internalisasi dan degradasi (2). Sel penyaji antigen yang teraktivasi (4)
mengekspresikan peptide baru pada permuakaan sel dengan bantuan kostimulasi
(yang ditunjukkan oleh interaksi antara CD 154 dan CD 40) dan sitokin yang
memfasilitasi proliferasi inisiasi CD4-positif T cellclone (T-cell clone-1) dan
spesifitas tambahan (T-cell clone-2) (5). Reseptor sel immunoglobulin sel B yang
mengenali antigen trombosit (B-cell clone-2) dengan demikian akan menginduksi
proliferasi dan sintesis antiglikoprotein Ib/IX antibody dan juga meningkatkan
produksi anti-glikoprotein IIb/IIIa antibody oeh B-cell clone 1.
Metode yang saat ini digunakan untuk penatalaksanaan ITP diarahkan
secara langsung pada berbagai aspek berbeda dari lingkaran produksi antbosi dan
sensitisasi. Klirens dan produki trombosit (2).
22
Splenektomi sedikitnya bekerja pada sebagian mekanisme ini namun mungkin
pula menggangu interaksi sel-T dan sel-B yang terlibat dalam sintesis antibody
pada beberapa pasien. Kortikosteroid dapat pula meningkatan trombosit dengan
cara menghalangi kemampuan makrofag dalam sumsum tulang untuk
menghancurkan trombosit, seangkan trombopoetin berperan merangsang
progenitor megakariosit (2). Beberapa immunosupresan non spesifik seperti
azathioprin dan siklosporin, bekerja pada tingkat sel-T (3). Antibody monoclonal
terhadap CD 154 yang saat ini menjadi target uji klinik, merupakan kostimulasi
molekul yang diperlukan untuk mengoptimalkan sel-T makrofag dan interaksi
selT dan sel-B yang terlibat dalam interaksi antibody dan pertukaran klas (4).
Immunoglobulin iv mengandung antiidiopytic antybody yang dapat menghambat
produksi antibody. Antibody monoclonal yang mengenali ekspresi CD20 pada
sel-sel B masih menjadi penelitan (5). Plasmaferesis dapat mengeluarkan antibody
sementara dari plasma (6). Tranfusi trombosit diperlukan pada kondisi darrat
untuk terapi perdarahan. Efek dari stafilokokkus protein A masih dalam penelitian
(7).
Genetik
ITP telah didiagnosa pada kembar monozigot dan pada beberapa keluarga, serta
telah diketahui adanya kecenderungan menghasilkan autoantibody pada anggota
keluarga yang sama. Adanya peningkatan prevalensi HLA-DRW2 dan DRB*0410
pada beberapa populasi etnis diketahui. Alel HLA-DR4 dan DRB*0410
dihubungkan dengan respon yang menguntungkan dan merugikan terhadap
kortikosteroid, dan HLADRB1*1510 dihubungkan dengan respon yang tidak
menguntungkan terhadap splenektomi. Meskipun demikian, banyak penelitian
gagal menunjukkan hubungan yang konsisten antara ITP dan kompleks HLA yang
spesifik.
23
Antibodi-anti Trombosit
Autoantibody yang berhubungan dengan trombositopenia ditemukan pada 75 %
pasien ITP. Autoantibody IgG antitrombosit ditemukan pada + 50 – 85 % pasien.
Antibody antitrombosit IgA serum ditemukan sesering IgG, dan hampir 50 %
kasus, kedua serotype immunoglobulin tersebut ditemukan pada pasien yang
sama. Antibody IgM juga ditentukan pada sejumah kecil pasien tetapi tidak
pernah sebagai autoantibody tunggal. Peningkatan jumlah IgG telah tampak di
permukaan trombosit dan kecepatan destruksi trombosit pada ITP adalah
proporsional terhadap kadar yang menyerupai trombosit yang berhubungan
dengan immunoglobulin. Autoantibody dengan mudah ditemukan dalam plasma
atau dalam elusi trombosit pada pasien dengan penyakit yang aktif, tetapi jarang
ditemukan pada pasien yang mengalami remisi. Hilangnya antibody-antibodi
berkaitan dengan kembalinya jumlah trombosit yang normal.
24
hidup terukur yang lebih lama dibandingkan dengan pasien dengan
trombositopenia berat.
25
saluran cerna (0,4%), dan hematuria (1,3%). Delapanpuluh lima persen pasien ITP
anak tidak mengalami perdarahan.
3.6 Klasifikasi
Berdasarkan onset penyakit ITP dibedakan tipe akut dan kronik
a. ITP akut.
Kejadiaannya kurang atau sama dengan 6 bulan. ITP akut sering dijumpai
pada anak, jarang pada dewasa. Onset penyakit biasanya mendadak, riwayat
infeksi mengawali terjadinya perdarahan berulang, sering dijumpai eksantem
pada anak-anak (rubeola dan rubella) dan penyakit saluran napas yang
disebabkan oleh virus. Virus yang paling banyak diindetifikasi adalah
varicella zooster dan ebstein barr. Manifestasi perdarahan ITP akut pada anak
biasanya ringan, perdarahn intrakranial terjadi kurang dari 1% pasien. Pada
ITP dewasa bentuk akut jarang terjadi, namun dapat mengalami perdarahan
dan perjalanan penyakit lebih fulminan. ITP akut pada anak biasanya self
limiting, remisi spontan terjadi pada 90% penderita, 60% sembuh dalam 4-6
minggu dan lebih dari 90% sembuh dalam 3-6 bulan.
b. ITP kronik
Kejadiaannya lebih dari 6 bulan. Onset ITP kronik biasanya tidak menentu,
riwayat perdarahan sering ringan sampai sedang, infeksi dan pembesaran lien
jarang terjadi dan perjalanan klinis yang fluktuatif. Episode perdarahan dapat
berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu, mungkin intermitten
atau terus menerus. Manifestasi perdarahan ITP berupa ekimosis, petekie,
purpura. Pada umumnya berat dan frekuensi perdarahan berkorelasi dengan
jumlah trombosit. Secara umum bila pasien dengan AT > 50.000/ml maka
biasanya asimptomatik, AT 30.000-50.000/ml terdapat luka memar/hematom,
AT 10.000-30.000/ml terdapat perdarahan spontan, menoragi dan perdarahan
memanjang bila ada luka, AT < 10.000/ml terjadi perdarahan mukosa
(epistaksis, perdarahan gastrointestinal dan genitourinaria) dan resiko
perdarahan sistem saraf pusat.
26
3.7 Pemeriksaan Penunjang
Untuk memastikan diagnosis Idiopathic Thrombocytopenic Purpura, dilakukan
dengan pemeriksaan laboratorium yang tepat. Pemeriksaan dapat dilakukan antara
lain dengan pemeriksaan:
1. Pemeriksaan darah rutin, akan didapatkan nilai trombosit yang rendah (<
150.000) dengan jumlah eritrosit (apabila tidak terjadi perdarahan yang berat)
dan leukosit dalam batas normal.
2. Pemeriksaan darah tepi, akan didapatkan trombositopenia dengan eritrosit dan
leukosit dengan morfologi normal. Dijumpai trombosit muda dengan ukuran
yang lebih besar (megatrombosit).
3. Pemeriksaan PT dan APTT dalam batas normal, fibrinogen normal.
4. Monoclonal antigen capture assay. Pengukuran trombosit dihubungkan
dengan antibodi, secara langsung untuk mengukur trombosit yang berkaitan
dengan antibodi.
5. Pemeriksaan sumsum tulang normal atau peningkatan jumlah megakariosit
dan agranuler, serta tidak mengandung trombosit. 4,6 Pedoman dari america
society of hematology menyatakan pemeriksaan sumsum tulang tidak
diperlukan pada usia > 40 tahun, pasien dengan gambaran tidak khas
( gambaran sitopeni) atau pasien yang tidak berespon baik dengan terapi.
Meskipun tidak dianjurkan, banyak ahli pediatrik hematologi
merekomendasikan dilakukan pemeriksaan sumsum tulang sebelum memulai
pemberian kortikosteroid untuk menyingkirkan kasus leukemia akut.
3.8 Diagnosis
Pada umumnya pasien ITP tampak sehat, namun tibatiba mengalami
perdarahan pada kulit (petekie atau purpura) atau pada mukosa hidung
(epistaksis). Perlu juga dicari riwayat tentang penggunaan obat atau bahan lain
27
yang dapat menyebabkan trombositopenia. Riwayat keluarga umumnya tidak
didapatkan. Pada pemeriksaan fisik biasanya hanya didapatkan buktiadanya
perdarahan tipe trombosit (platelet-type bleeding), yaitu petekie, purpura,
perdarahan konjungtiva, atau perdarahan mukokutaneus lainnya. Perlu dipikirkan
kemungkinan suatu penyakit lain, jika ditemukan adanya pembesaran hati dan
atau limpa, meskipun ujung limpa sedikit teraba pada lebih kurang 10% anak
dengan ITP.
Selain trombositopenia, pemeriksaan darah tepi lainnya pada anak dengan
ITP umumnya normal sesuai umurnya. Pada lebih kurang 15% penderita
didapatkan anemia ringan karena perdarahan yang dialaminya. Pemeriksaan
hapusan darah tepi diperlukan untuk menyingkirkan kemungkinan
pseudotrombositopenia, sindrom trombosit raksasa yang diturunkan (inherited
giant platelet syndrome), dan kelainan hematologi lainnya. Trombosit yang imatur
(megatrombosit) ditemukan pada sebagian besar penderita. Pada pemeriksaan
dengan flow cytometry terlihat trombosit pada ITP lebih aktif secara metabolik,
yang menjelaskan mengapa dengan jumlah trombosit yang sama, perdarahan lebih
jarang didapatkan pada ITP dibanding pada kegagalan sumsum tulang.
Pemeriksaan aspirasi sumsum tulang pada anak dengan dugaan ITP, masih
menimbulkan perbedaan pendapat di antara para ahli. Umumnya pemeriksaan ini
dilakukan pada kasus-kasus yang meragukan, namun tidak pada kasus-kasus
dengan manifestasi klinis yang khas. Pemeriksaan sumsum tulang dianjurkan pada
kasus-kasus yang tidak khas1, misalnya pada
a. Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik yang tidak umum, misalnya demam,
penurunan berat badan, kelemahan, nyeri tulang, pembesaran hati dan atau
limpa.
b. Kelainan eritrosit dan leukosit pada pemeriksaan darah tepi
c. Kasus yang akan diobati dengan steroid, baik sebagai pengobatan awal atau
yang gagal diterapi dengan imunoglobulin intravena.
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan pada penderita ITP adalah mengukur
antibodi yang berhubungan dengan trombosit (platelet-associated antibody)
dengan menggunakan direct assay. Namun pemeriksaan ini juga belum dapat
28
membedakan ITP primer dengan sekunder, atau anak yang akan sembuh dengan
sendirinya dengan yang akan mengalami perjalanan menjadi kronis. Diagnosis
ITP ditegakkan dengan menyingkirkan kemungkinan penyebab trombositopenia
yang lain. Bentuk sekunder kelainan ini didapatkan bersamaan dengan systemic
lupus erythematosus (SLE), sindroma antifosfolipid, leukemia atau limfoma,
defisiensi IgA, hipogamaglobulinemia, infeksi HIV atau hepatitis C, dan
pengobatan dengan heparin atau quinidine.
3.10 Tatalaksana
Terapi PTI ditujukan untuk menjaga jumlah trombosit dalam kisaran aman
sehingga mencegah terjadinya perdarahan mayor. Terapi umum meliputi
menghindari aktivitas fisik berlebihan untuk mencegah trauma kepala. Terapi
khusus yaitu terapi farmakologis, antara lain:
29
setelah 10 hari terapi awal, terhentinya perdarahan. Tidak berespon bila
peningkatan AT < 30.000/ μL, AT 50.000/ μL setelah terapi 10 hari.
Respon menetap bila AT > 50.000/ μL setelah 6 bulan follow up. Pasien
yang simptomatik persisten dan trombositopenia berat (AT < 10.000/ μL)
setelah mendapat terapi prednisolon perlu dipertimbangkan untuk
splenektomi.
Immunoglobullin Intervena.
Immunogobullin intervena (Ig IV) dosis 1gr/Kg/hari selama 2 – 3 hari
berturut-turut bila terjadi perdarahan interna, setelah 5000/ μL meskipun
telah mendapatkan kortikosteroid dalam beberapa hari atau adanya purpura
yang progresif. Hampir 80 % pasien berespon baik dengan cepat
meningatkan AT namun perlu pertimbangan biaya. Gagal ginjal dan
insufisiensi paru dapat terjadi serta syok anafilaktik pada pasien yang
mempunyai defisiensi IgA congenital. Mekanisme kerja IgIV pada PTI
masih belum banyak diketahui, namun meliputi blockade fc reseptor, anti-
idiotype antibodies pada IgIV yang menghambat ikatan autoantibodi
dengan trombosit yang bersirkulasi dan imunosupresi.
Splenektomi.
Splenektomi untuk terapi PTI sudah digunakan sejak tahun 1916 dan
digunakan sebagai pilihan terapi setelah steroid sejak tahun 1950-an.
Splenektomi pada PTI dewasa 18 dipertimbangkan sebagai terapi lini
kedua yang gagal berespon dengan terapi kortikosteroid atau yang perlu
terapi trombosit terusmenerus. Efek splenektomi pada kasus yang berhasil
adalah menghilangkan tempat-tempat antbodi yang tertempel trombosit
yang bersifat merusak dan menghilangkan produksi antibody antitrombin.
Indikasi splenektomi sebagai berkut: Bila AT < 50.000/ μL setelah 4
minggu (satu studi menyatakan bahwa semua pasien yang mengalami
remisi komplit mempunyai AT >50.000/μL dalam 4 minggu), angka
trombosit tidak menjadi normal setelah 6 -8 minggu (karena problem efek
samping), angka trombosit normal tetapi menurun bila dosis diturunkan
(tapering
30
off). Respon pasca splenektomi didefinisikan sebagai: tak ada
respon bila gagal mempertahankan > 50.000/ μL beberapa waktu setelah
splenektomi. Relaps bila AT turun < 50.000/ μL. Angka 50.000 dipilih
karena diatas batas ini, pasien tidak diberi terapi. Respon splenektomi
bervariasi antara 50% sampai dengan 80%.
31
Pasien refakter (+ 25 – 30 % pada PTI) didefinsikan sebagai terap
kortikosteroid dosis standar dan splenektomi serta lebih membutuhkan terapi
lanjut karena AT yang rendah atau terjadi perdarahan klinis. Kelompok ini
memiliki respon terapi yang rendah, mempunyai morbiditas yang bermakna
terhadap penyakit ini dan terapinya serta memiliki 20 mortalitas sekitar 16%. PTI
refrakter kronik ditegakkan bila ditemukan 3 kriteria sebagai berikut: PTI menetap
lebih dari 3 bulan, pasien gagal berespon dengan splenektomi dan AT < 30.000/
mL.
32
IVIg dosis tinggi.
Immunoglobulin intravena dosis tinggi 1 mg/kgBB/hari selama 2 hari
berturut-turut sering dikombinasikan dengan kortikosteroid, akan
meningkatkan AT dengan cepat. Efek samping terutama sakit kepala, namun
jika berhasil maka dapat diberikan secara intermitten atau substitusi dengan
anti-D intravena.
Anti-D intravena.
Anti-D intravena telah menunjukkan peningatan AT 79-90% pada orang
dewasa. Dosis anti-D 50-75% mg/kg/hari IV. Mekanisme kerja anti-D yakni
destruksi sel darah merah rhesus D-positif yang secara khusus dibersihkan
oleh RES terutama dilien, jadi bersaing dengan autoantibody yang
menyelimuti trombosit melalui Fc reseptor blockade.
Alkaloid vinka.
Semua terapi golongan alkaloid vinka jarang digunakan meskipun mungkin
bernilai ketika terapi lainnya gagal dan ini diperlukan untuk meningkatkan
AT dengan cepat, misalnya vinkristin 1 mg atau 2 mg iv, vinblastin 5 - 10
mg, setiap minggu selama 4 – 6 minggu.
Danazol.
Dosis danazol 200 mg p.o 4x sehari selama 6 bulan karena respon sering
lambat. Fungsi hati harus diperiksa setiap bulan. Bila respon terjadi, dosis
diteruskan sampai dosis maksimal sekuang-kurangnya 1 tahun dan kemudian
diturunkan 200 mg/hari selama 4 bulan.
Immunosupresif dan kemoterapi kombinasi.
Immunosuprsif digunakan pada pasien yang gagal berespon dengan terapi
lainnya. Terapi dengan azatrioprin (2 mg/kg maksimal 150 mg/hari) atau
siklofosfamid sebagai obat tunggal yang dapat dipertimbangkan dan responya
bertahan sampai 25%. Pada pasien yang berat, simptomatik, PTI kronik
refrakter terhadap berbagai terapi sebelumnya. Pemakaian siklofosfamid,
vinkristin dan prednisolon sebagai kombinasi telah efektif digunakan seperti
pada limfoma. Siklofosfamid 50 – 100 mg p.o bila 3 bulan tidak ada respon
33
obat dihentikan, bila ada respon sampai 3 bulan turunkan sampai dosis
terkecil.
Dapsone.
Dapson dosis 75 mg p.o per hari, respon terjadi dalam 2 bulan. Pasien-pasien
harus diperiksa G6PD, karena pasien dengan kadar G6PD yang rendah
mempunyai risiko hemolisis yang serius.
3.11 Prognosis
Respons terapi dapat mencapai 50 – 70% dengan kortikosteroid. Pasien
PTI dewasa hanya sebagian kecil dapat mengalami remisi spontan penyebab
kematian pada PTI biasanya disebabkan oleh perdarahan intracranial yang
34
berakibat fatal berkisar 2.2% untuk usia lebih dari 40 tahun dan sampai 47.8%
untuk usia lebih dari 60 tahun.
B. Etiologi
Sistem imun tubuh kehilangan kemampuan untuk membedakan antigen dari
sel dan jaringan tubuh sendiri. Penyimpangan reaksi imunologi ini akan
menghasilkan antibodi secara terus menerus.
Telah diketahui bahwa penyebab lupus dapat dikategorikan dalam 3 faktor yaitu:
genetik, hormonal dan lingkungan.
1. Genetik
Orang yang mempunyai riwayat keluarga dengan lupus memiliki 3-10%,
risiko menderita penyakit tidak terbatas hanya lupus, tetapi juga penyakit
autoimun lainnya seperti arthritis reomatoid atau Sjorgen’s Syndrome. Pada
kembar identik, risiko lupus meningkat menjadi 25% pada saudara kembar
dari pasien yang menyandang lupus.
35
2. Hormon
Penyandang lupus wanita: pria adalah 9:1, dan sebagian besar penyandang
wanita adalah mereka dalam usia produktif. Hal ini diduga disebabkan oleh
faktor hormonal. Estrogen terbukti sebagai hormon yang mempengaruhi
aktifnya lupus dalam penelitian hewan baik secara invitro maupun invivo.
Sehingga harus benar-benar dipertimbangkan pemberian terapi hormon dan
alat kontrasepsi yang mengandung estrogen pada Odapus.
3. Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan diduga berperan kuat mencetuskan lupus,
diantaranya adalah infeksi, zat kimia, racun, rokok, dan sinar matahari.
o Infeksi
Beberapa infeksi diduga menyebabkan lupus, salah satu penyebab terkuat
adalah EBV (Epstein-Barr Virus), virus penyebab demam kelenjar
(mononucleosis). Sebagian besar odapus tercatat pernah terinfeksi virus
ini dalam riwayat penyakitnya. Hal ini dapat dibuktikan bahwa system
imun mulai terganggu saat berusaha menyerang EBV juga menyerang sel
tubuhnya sendiri. Sehingga proses tersebut diduga kuat berhubungan
dengan penyebab lupus.
o Zat kimia dan racun
Beberapa penelitian membuktikan bahwa paparan terhadap zat kimia dan
racun termasuk pekerjaan yang berhubungan silika.
o Merokok
Akhir-akhir ini, merokok telah terbukti berhubungan dengan munculnya
lupus. Merokok juga meningkatkan risiko penyakit autoimun lainnya
seperti arthritis reumathoid dan multiple sclerosis.
o Sinar matahari
Paparan terhadap ultraviolet telah terbukti dapat menyebabkan
perburukan manifestasi lupus. Yaitu menyebabkan timbulnya ruam kulit
dan munculnya gejala lupus pada organ lainnya. Menghindari sinar
matahari dan menggunakan tabir surya (sun block) adalah hal yang tidak
36
mudah namun mutlak harus dilakukan oleh odapus karena sangat
bermanfaat.
C. Manifestasi Kinis
Gejala:
o Gejala klinis yang sering muncul antara lain:
Kulit: ruam, sariawan, rambut rontok.
Persendian: nyeri, kemerahan, bengkak.
Ginjal: kelainan urin, gagal ginjal.
Membran: radang selaput paru (pleurisy), selaput jantung
(perikarditis), selaput dinding perut organ (peritonitis).
Darah: anemia, leukopenia, trombositopenia.
Paru-paru: batuk, sesak napas.
Sistem saraf: kejang psikosa.
o Gejala non spesifik:
Fatigue/lelah merupakan gejala yang paling sering muncul.
Weight loss/ penurunan berat badan.
Weight gain/penambahan berat badan dapat disebabkan oleh
pembengkakan pada kedua tungkai atau pembesaran perut akibat
organ ginjal yang terkena.
Fever/demam indikasi saat lupus menjadi aktif.
Swollen glands/pembengkakan kelenjar.
o Gejala spesifik:
Untuk membantu membedakan lupus dari penyakit lainnya, dokter dari
American College of Rheumatology telah menemukan 11 kriteria gejala
sebagai berikut:
Diagnosa lupus ditegakkan bila terdapat paling sedikit 4 gejala dari 11
kriteria sebagai berikut:
Malar rash: ruam merah berbatas tegas di daerah wajah dan leher.
37
Discoid rash: bercak merah dikulit yang berhubungan dengan
scalling dan penyumbatan folikel rambut.
Photosensitivity: ruam kulit kemerahan setelah terpapar sinar
matahari.
Mucosal ulcer: sariawan sariawan kecil di daerah mukosa rongga
mulut dan hidung.
Serositis: peradangan di lapisan serosa paru-paru, jantung dan
dinding perut.
Arthritis: peradangan sendi, merupakan manifestasi yang paling
sering timbul.
Renal disorder: gangguan ginjal, biasanya terdeteksi dari
pemeriksaan darah rutin dan analisis urin.
Neurological disorder: gangguan sistem saraf, gejala dapat berupa
kejang atau psikosa.
Haematological disorder: gangguan sel darah, dapat bermanifestasi
sebagai: anemia hemolitik, leukopenia, limfopenia, trombositopenia.
Immunological disorder: kelainan hasil pemeriksaan LE cells, anti
DNA dan antibody anti-Sm.
Anti-Nuclear Antibody (ANA test): sebagai pertanda aktifnya lupus
bila ditemukan dalam darah pasien.
D. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Lab yang dilakukan thd pasien SLE;
Tes ANA ( Anti Nuclear Antibody)
Tes Anti dsDNA (double stranded)
Tes Antibodi anti-S (Smith)
Tes Anti-RNP (Ribonukleoprotein), anti-ro/anti-SS-A, anti-La
(antikoagulan
lupus anti SSB, dan antibodi antikardiolipin)
Komplemen C3, C4, dan CH50 (komplemen hemolitik)
38
Tes sel LE
Tes anti ssDNA (single stranded)
Jika ssDNA + à menderita nefritis
E. Diagnosis
Kriteria untuk klasifikasi SLE dari American Rheumatism Association (ARA,
1992) :
1. Artritis
2. Tes ANA diatas titer normal
3. Bercak Malar
4. Fotosensitif bercak reaksi sinar matahari --- dari anamnesis
5. Bercak diskoid
6. Salah satu Kelainan darah; anemia hemolitik, Leukosit<4000/mm³,
Limfosit<1500/mm³, Trombosit<100000/mm³
7. Salah satu Kelainan Ginjal; Proteinuria > 0,5 g per 24 jam, sedimen seluler
8. Salah satu Serositis; Pleuritis, Perikarditis
9. Salah satu kelainan Neurologis; Konvulsi, Psikosis
10.Ulser Mulut
11.Salah satu Kelainan Imunologi
Sel LE +
Anti dsDNA diatas titer normal
Anti Sm (Smith) diatas titer normal
Tes serologi sifilis positif palsu
Seorang pasien diklasifikasikan menderita SLE apabila memenuhi minimal 4
dari 11 butir kriteria tersebut diatas “
F. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan lupus tidak mudah. Penyakit ini memiliki banyak
manifestasi dan setiap orang memiliki pola tersendiri yang berubah dari waktu ke
waktu, yang terkadang berlangsung cepat. Secara umum, pasien dengan lupus
39
berat, misalnya lupus ginjal atau sistem saraf pusat (SSP), dan mereka yang
menderita lebih dari satu jenis penyakit autoantibodi cenderung memiliki gejala
yang seirus dan menetap. Pasien yang memiliki gejala ringan dapat terus
mengalami gejala ringan atau berkembang menjadi lebih serius. Sehingga penting
untuk memperhatikan semua gejala baru yang timbul sebgai manifestasi dari
penyakit tersebut karena penatalaksanaan lupus sangat berkaitan dengan gejala
klinis dan organ tubuh yang terkena.
Berbagai indeks penilaian derajat penyakit telah dikembangkan dan digunakan
oleh para spesialis, namun aktivitas penyakit yang terus berubah dan kerusakan
jaringan yang terjadi menyulitkan untuk membedakan pengaruh dari peradangan
aktif atau akibat kerusakan yang terbentuk.
Sehingga oada prakteknya, lupus dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu ringan, sedang
dan berat, sesuai dengan berat ringannya gejala yang muncul.
o Lupus ringan
Manifestasi yang umum adalah nyeri sendi, ruam, sensitif terhadap cahaya
matahari, sariawan di mulut, Raynaud’s syndrome (perubahan warna pada
ujung jari akibat suhu dingin), rambut rontok, dan kelelahan/ seringkali gejala
tersebut cukup dikontrol oleh analgesik dan mengurangi paparan sinar
matahari dengan menggunakan tabir surya. Hidroksikloroquin umumnya
digunakan dalam gejala ini.
Kelelahan merupakan gejala lain dari tingkatan ini yang terkadang menjadi
alasan digunakan steroid dosis rendah, walaupun hasilnya kadang tidak
maksimal. Nyeri sendi atau ruam kulit dapat juga menggunakan dosis
tersebut. Dosis steroid yang tinggi harus dihindari jika risiko efek samping
yang timbul cenderung lebih besar dari manfaatnya. Hal ini penting untuk
dipertimbangkan dalam membuat keputusan pemberian steroid karena efek
samping obat lebih umum terjadi pada orang dengan lupus dibandingkan
populasi lainnya. Pola hidup sehat (makanan sehat dan olah raga ringan yang
teratur) juga sangat dianjurkan.
40
o Lupus sedang
Tingkatan ini meliputi pleuritis (radang selaput paru), perikarditis (radang
selaput jantung), ruam berat dan manifestasi darah seperti trombositopenia
atau leukopenia.
Dalam kasus ini, terapi steroid biasanya sudah diperlukan, namun dengan
penggunaan dosis yang cukup untuk mengendalikan penyakit dan kemudian
mengurainya menjadi dosis pemeliharaan serendah mungkin. Agak sulit
untuk menstandarisasi dosis, namun pada umumnya pleuritis dapat dikontrol
dengan 20 mg prednisolon per hari, kelainan darah membutuhkan dosis 40
mg atau lebih.
Hidroksikloroquin sudah memadai sebagai tindakan tambahan steroid, tapi
kadang obat imunosuppressan juga dibutuhkan seperti Azathioprine, dan
Methotrexate. Siklosporin juga dapat digunakan khususnya dalam pengobatan
trombositipenia, tetapi karena kecenderungan menyebabkan hipertensi dan
merusak fungsi ginjal harus digunakan secara hati-hati. Obat-obat
immunosupresan ini membutuhkan waktu 1-3 bulan sampai efeknya muncul,
sehingga dalam periode tersebut steroid masih dibutuhkan dalam dosis yang
cukup untuk mengontrol penyakit. Jika pasien sudah dapat distabilkan dengan
obat imunosupresan, dosis steroid harus segera diturunkan ke dosis terendah
untuk pengendalian penyakit.
o Lupus berat
Ginjal, SSP, dan manifestasi kulit berat atau kelainana darah berat termasuk
ke dalam tingkatan ini. Steroid sangat dibutuhkan dalam tahap ini dengan
tambahan obat imunosupresan. Prednisolon atau metilprednisolon intravena
mungkin dibutuhkan untuk mengendalikan penyakit ini. Azathioprin,
methotrexate, atau mychophenolate dapat digunakan sebagai imunosupresif
dan dapat mengurangi dosis steroid yang diperlukan. Pengobatan dapat dibagi
menjadi 2 fase yaitu: induksi awal dimana penyakit aktif dikendalikan, fase
pemeliharaan agar penyakit tetap terkontrol.
Pengobatan tambahan yang digunakan untuk lupus berat meliputi
immunoglobulin intravena, plasma exchhange, dan antibodi monoclonal
41
(agen biologi), mengalami penurunan penggunaannya dibandingkan waktu
yang lalu tapi banyak yang masih percaya bahwa pengobatan tersebut sangat
membantu pada lupus akut, penyakit berat, dan sebagian lupus yang
mengenai otak. Antibodi monoklonal, terutama rituximab sangat menjanjikan
dan cenderung memainkan bagian penting dalam pengelolaan penyakit
sedang dan berat.
42
Peningkatan risiko terserang infeksi merupakan perhatian utama dalam
terapi steroid, terutama pada mereka yang juga mengkonsumsi obat
imunosupresan.
Steroid juga dapat memperburuk hipertensi, memprovokasi diabetes dan
memiliki efek buruk pada profil lipid yang mungkin berkontribusi pada
meningkatnya kematian akibat penyakit jantung.
Steroid dosis tinggu meningkatkan risiko perdarahan gastrointestinal dan
terjadi pada dosis yang lebih rendah jika digunakan bersama NSAID.
Osteonekrosis (nekrosis vaskular) juga cukup umum pada lupus dan
tampaknya terkait terutama dengan penggunaan steroid oral dosis tinggi
atau metilprednisolon intravena.
Meskipun memiliki banyak efek samping, obat kortikosteroid tetap
merupakan obat yang berperan penting dalam pengendalian aktifitas
penyakit. Karena itu, obat ini tetap digunakan dalam terapi lupus.
Pengaturan dosis yang tepat merupakan kunci pengobatan yang baik.
3. Antimalaria
Hydroxychloroquine (Plaquenil) lebih sering digunakan dibanding
kloroquin karena risiko efek samping pada mata diyakini lebih rendah.
Toksisitas pada mata berhubungan baik dengan dosis harian dan kumulatif.
Selama dosis tidak melebihi, resiko tersebut sangat kecil. Pasien
dianjurkan untuk memeriksa ketajaman visual setiao 6 bulan untuk
identifikasi dini kelainanan mata selama pengobatan. Dewasa ini
pemberian terapi hydroxychloroquine dianjurkan untuk semua kasus lupus
dan diberikan untuk jangka panjang. Obat ini memiliki manfaat untuk
mengurangi risiko cedera jaringan yang menetap serta cukup aman pada
kehamilan.
a. Immunosupresan
o Azathioprine
43
Azathioprine (Imuran) adalah antimetabolit imunosupresan:
mengurangi biosintesis purin yang diperlukan untuk
perkembangbiakan sel termasuk sel sistem kekebalan tubuh. Mual
adalah efek samping yang umum terjadi, sedangkan leukopenia dan
trombositopenia terjadi hanya pada sekitar 4% kasus. Pemantauan
efek obat bisa menjadi masalah jika odapus sudah memiliki gejala
klinis tersebut. Azathioprine dianggap aman digunakan selama
kehamilan.
Mycophenolate mofetil
Methotrexate
Cyclosporin
Cyclophosphamide
Rituximab
44
Efusi Pleura
Prednison 15-40 mg/hari. Bila efusi masif, dilakukan pungsi pleura/drainase
Lupus Pneunomitis
Prednison 1-1,5 mg/kg BB/hari selama 4-6 minggu
Lupus serebral
Metilprednison 2 mg/kg BB/hari untuk 3-5 hari, bila berhasil dilanjutkan
dengan pemberian oral 5-7 hari lalu diturunkan perlahan. Dapat diberikan
metilprednison pulse dosis selama 3 hari berturut-turut
G. Prognosis
Dengan diagnosis dini dan penatalaksanaan yang mutakhir maka 80-90 %
pasien dapat mencapai harapan hidup 10 tahun dengan kualitas hidup yang hampir
normal.
BAB IV
ANALISIS KASUS
45
Pasien juga mengeluh Muntah. Muntah sebanyak 1 kali. Muntah berisi
makanan yang dimakan. Volume sekali muntah ± ½ gelas belimbing. Lendir (-),
darah (-). Pasien juga mengeluh BAB cair. BAB sebanyak 2 kali. BAB cair
bewarna kehitaman. BAB sebanyak 2-3 kali. Lendir (-), darah (-). Keluhan juga
disertai Mual (+). Penurunan nafsu makan (+), nyeri menelan (+), gusi berdarah
(-), batuk (-). Pilek (-), BAK normal.
± 1 minggu SMRS pasien mengeluh timbul lebam pada bagian perut dan
lengan atas pasien, namun lebam hilang dengan sendirinya setelah ± 1 minggu.
Pasien mengatakan sering timbul lebam di tubuhnya sejak ia kecil. Lebam
berbentuk bundar bewarna keunguan, lebam timbul tanpa penyebbab yang jelas
dan hilang dengan sendirinya.
Pasien juga sering mengeluh badan lemas. Orang tua pasien
mengatakan bahwa pasien tidak bisa terlalu capek, sehingga aktivitas pasien
sangat terbatas. Pasien juga memiliki riwayat sering pingsan apabila terlalu capek
beraktivitas. Orang tua pasien mengatakan bahwa pasien juga tidak bisa terkena
panas, pasien mengatakan jika lama berada dibawah matahari, kepala pasien
pusing dan timbul bintik bintik merah dibagian pipi pasien.
46
manifestasi klinis yang terdapat pada DBD. Namun, pasien juga mengeluh nyeri
menelan, perlu difikirkan juga demam yang diakibatkan oleh virus atau bakteri.
Dari hasil anamnesis mengenai riwayat penyakit pasien didapatkan,
pasien memiliki riwayat sering mimisan, timbul lebam, badan lemas, tidak bisa
terkena sinar matahari lama, sering pingsan. diketahui bahwa ibu pasien
mengalami keluhan yang serupa. Dan ayah pasien meninggal karena kelainan
darah. Dan tidak terdapat riwayat bepergian kedaerah endemis DBD serta tidak
adanya keluarga, teman atau tetangga yang terkena DBD. Dari hasil anamnesis
mengenai riwayat penyakit, perlu difikirkan bahwa mimisan yang terjadi pada
pasien bukan sepenuhnya adalah perdarahan spontan karena penyakit DBD,
karena pasien juga memiliki riwayat sering mimisan, bisa jadi karena penyakit
ITP, DBD atau penyakit akibat kelainan darah yang lain. Sering timbul lebam
tanpa penyebab yang jelas adalah manifestasi klinis yang khas pada ITP setelah
penyebab lain disingkirkan. Badan lemas, tidak bisa terkena cahaya matahari
lama, serta ibu yang memiliki riwayat sakit serupa adalah beberapa dari gejala
penyakit autoimun yang mungkin pada SLE. Tidak adanya riwayat keluarga,
tetangga, teman sekolah terkena DBD, dan tidak ada riwayat bepergian ke
daerah endemis dapat sedikit menyingkirkan diagnosis DBD. Namun untuk
meneggakkan perdarahan yang terjadi karena SLE atau DBD diperlukan
pemeriksaan penunjang yang lengkap.
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik juga didapatkan demam sudah tidak
ada lagi, ditemukan tonsil hiperemis T2/T2 dan nyeri pada epigastrium. Hal ini
menegakkan diagnosis baru berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik
bahwa pada pasien terdapat tonsilitis oleh karena ditemukannya riwayat demam,
nyeri menelan dan pembesaran tonsil. Tidak ditemukannya demam pada hari ke
5 dan ditemukannya nyeri epigastrium belum dapat menyingkirkan DBD. Pada
DBD terdapat fase kritis yaitu demam turun pada hari ke 3-5 dan kembali naik
pada hari selanjutnya. Oleh sebab itu perlu pemantauan yang lebih lanjut. Untuk
nyeri epigastrium, memang sering bermanifestasi pada pasien yang terkena
DBD. Namun diagnosa gastritis juga perlu difikirkan.
47
Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik sementara, didapatkan
bahwa dapat ditegakkan penyakit TDBD grade II + tonsilitis + ITP ec. Suspek
SLE. Oleh karena kriteria diagnosis belum terpenuhi seluruhnya, dilakukan
pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium berupa darah rutin,
khususnya melihat kadar hemoglobin, hematokrit, trombosit, dan leukosit,
pemeriksaan urin, pemeriksaan imunologi, Selain itu juga dapat dilakukan
pemeriksaan antigen NS 1 untuk deteksi awal demam hari pertama sampai
kedelapan serta uji serologis IgM dan IgG Dengue untuk menilai antibodi yang
terbentuk akibat infeksi virus Dengue. Pemeriksaan tes ANA untuk
meneggakkan SLE, pemeriksaan Sadt dan Sitbc untuk melihat apakah ada
kelainan darah, serta pemeriksaan Ct-scan kepala untuk menyingkirkan
diagnosis.
Dari hasil pemeriksaan penunjang, pada pemeriksaan laboratorium hari
pertama didapatkan nilai WBC 7,44 x109/L Hb 12,7 g/dl, Ht 38,8% dan
Trombosit 95/mm3. Monitoring penilaian laboratorium per 12 jam selanjutnya
dibutuhkan untuk melihat respon terapi yang diberikan pada pasien. Sedangkan
pemeriksaan laboratorium hari kedua didapatkan nilai WBC 6,77 x10 9/L Hb
12,6 g/dl, Ht 38,8%, PLT 313. Dari hasil pemeriksaan penunjang darah rutin,
didapatkan kesan trombositopenia. Hal ini sejalan dengan pemeriksaan
penunjang pada DBD, namun terlihat bahwa tidak terdapat peningkatan dari Ht.
48
≥ 20 % (bukti
ada kebocoran
plasma)
DBD II gejala di atas ditambah Trombositopeni
perdarahan spontan a < 100.000,
HT meningkat
≥ 20 % (bukti
ada kebocoran
plasma)
DBD III Gejala di atas Trombositopeni
ditambah kegagalan a < 100.000,
sirkulasi (kulit dingin HT meningkat
dan lembab serta ≥ 20 % (bukti
gelisah) ada kebocoran
plasma)
DBD IV Syok berat disertai Trombositopeni
dengan tekanan darah a < 100.000,
dan nadi tidak terukur HT meningkat
≥ 20 % (bukti
ada kebocoran
plasma)
49
dipertimbangkan untuk menegakkan diagnosis SLE. Namun, untuk saat ini,
pasien belum memenuhi kriteria penegakkan diagnosis SLE. Oleh sebab itu
diperlukan tes lainnya untuk menegakkan SLE.
Dari hasil pemeriksaan urin tidak didapatkan kelainan. Dari hasil
pemeriksaan imunologi ditemukan Asto kualitatif postif (+), yang berarti terdapat
riwayat infeksi streptokokus sebelumnya. Hal ini sejalan dengan anamnesis
ditemukannya nyeri menelan, pemeriksaan fisik ditemukan tonsil hiperemis dan
pemeriksaan penunjang asto positif, dapat ditegakkan diagnosis tonsilitis. Hal ini
juga sesuai dengan hasil konsul terhadap THT, yaitu adta tonsilitis akut.
Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang
dtegakkan diagnosis tonsilitis + ITP ec suspek SLE.
Tatalaksana farmakologis yang diberikan pada pasien ini adalah
pemberian cairan dengan rumus 1500 + (BB-20) x 20 = 1800 cc/24 jam. Dapat
diberikan D5 ¼ NS 25 tpm. Pemberian paracetamol sirup jika suhu T > 38 C,
yaitu 10-15 mg/kgbb/ kali minum. Sedangkan terapi non farmakologisnya adalah
tirah baring, diet lunak, serta memberikan edukasi tentang penyakit pasieen
berupa, menghindari faktor fator seperti terkena sinar matahari lama,
BAB V
KESIMPULAN
50
Berdasarkan onset kejadian dibagi menjadi ITP akut dan kronik. ITP akut
biasanya timbul akibat infeksi dan biasanya self limitting disease, infeksi dapat
berupa infeksi saluran nafas atas.
ITP terbagi menjadi ITP primer dan sekunder. Salah satu penyebab ITP
sekunder adalah SLE. Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit
autoimun yang melibatkan berbagai organ dengan manifestasi klinik bervariasi
dari yang ringan sampai berat.
51
DAFTAR PUSTAKA
52
13. Isbagio H, Albar Z, Kasjmir YI, et al. Lupus Eritematosus Sistemik. Dalam:
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, et al, editor. Ilmu Penyakit Dalam Jilid
III. Edisi kelima. Jakarta: Interna Publishing, 2009 ; 2565-2579.
14. NN.Update of the 1982 American College of Rheumatology Revised Criteria
for Classification of Systemic Lupus Erythematosus. 1997 [cited
2011Dec9].Availablefrom:http://www.rheumatology.org/practice/clinical/
classification/SLE/
1997_update_of_the_1982_acr_revised_criteria_for_classification_of_sle.pdf
15. Akib AAP, Soepriadi M, Setiabudiawan B. Lupus Eritematosus Sistemik.
Dalam: Akib AA, Munasir Z, Kurniati N, penyunting. Buku Ajar Alergi-Imu-
nologi Anak, Edisi ke-2. Jakarta: Balai Penerbit IDAI,2007.h.362-3.
16. Petri MA, Systemic lupus erythematosus: Clinical aspects. In: Koopman WJ.
Editor.Arthritis and Allied conditions. 15th ed. Philadelphia: Lippincott
William & Wilkins. 2005:1473-147411.
53