Anda di halaman 1dari 43

HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus

Judul

Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) + Sindrom Dispepsia

dengan Dehidrasi Low Intake

Oleh:

dr. Ribka Juita. S

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat mengikuti Program
Internsip Dokter Indonesia Kementrian Kesehatan Republik Indonesia di RSUD
Dr. H. Mohammad Rabain Muara Enim

Muara Enim, 24 Juni 2019

dr. Dini Ardiyani, Sp.PD

i
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT


karena atas berkat dan rahmat-Nya penulisan makalah diskusi kasus yang berjudul
“Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) + Sindrom Dispepsia dengan Dehidrasi Low
Intake” ini dapat diselesaikan. Laporan kasus ini diajukan untuk memenuhi syarat
guna mengikuti Kegiatan Internsip Dokter Indonesia, RSUD Dr.H.Mohammad
Rabbain, Muara Enim.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Dini Ardiyani, Sp.PD, selaku
pembimbing yang telah banyak membimbing dalam penulisan dan penyusunan
laporan kasus, serta kepada pembimbing kegiatan internsip dr. Vivin J. Susilo dan
juga teman sejawat yang lainnya.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena
itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk
perbaikan di masa mendatang. Semoga makalah diskusi kasus ini bermanfaat bagi
pembaca.

Muara Enim, 24 Juni 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman Judul.................................................................................................. i

Halaman Pengesahan ....................................................................................... ii

Kata Pengantar ................................................................................................. ii

Daftar Isi........................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1

BAB II LAPORAN KASUS .......................................................................... 2

3.1. Definisi ................ .................................................................. 15


3.2. Epidemiologi....... ................................................................... 15
3.3. Etiologi dan Faktor Risiko .................................................... 17
3.4. Patogenesis ......... ................................................................... 18
3.5. Manifestasi Klinis ................................................................. 20
3.6. Penegakan Diagnosis ............................................................ 23
3.7. Pemeriksaan Penunjang ........................................................ 26
3.8. Derajat Berat Ringannya Penykit SLE ................................. 27
3.9. Penilaian Aktivitas Penyakit SLE ......................................... 28
3.10. Penatalaksanaan SLE Secara Umum .................................... 30

BAB IV ANALISIS MASALAH ................................................................... 38

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 40

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit inflamasi autoimun


kronis yang belum kompleks ditandai dengan adanya autoantibodi terhadap inti sel
dan melibatkan banyak sistem organ dalam tubuh. Penyebab SLE diduga
melibatkan interaksi yang komples dan multifaktorial antara variasi genetik dan
faktor lingkungan.1 SLE atau lupus awalnya berupa kelainan kulit di daerah wajah
berupa kemerahan, nyeri sendi dan rambut rontok.2,3 Dalam perkembangannya
ternyata penyakit lupus tidak hanya mengenai kulit wajah saja tetapi juga dapat
menyerang hampir seluruh organ tubuh diantaranya sendi, ginjal, otak, dan sel-sel
darah. Lupus diperantarai oleh suatu sistem imun atau kekebalan, dimana system
imun ini menyerang tubuhnya sendiri disebut sebagai penyakit autoimun.4,5

Insiden tahunan SLE di Amerika serikat sebesar 5,1 per 100.000 penduduk,
sementara prevalensi SLE di Amerika dilaporkan 52 kasus per 100.000 penduduk,
dengan rasio jender wanita dan laki-laki antara 9-14:13. Belum terdapat data
epidemiologi SLE yang mencakup semua wilayah Indonesia. Data tahun 2002 di
RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan 1.4% kasus SLE dari
total kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam, sementara di RS
Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 pasien SLE atau 10.5% dari total pasien yang
berobat ke poliklinik reumatologi selama 2010.8

Pengobatan pada penderita SLE ditujukan untuk mengatasi gejala dan induksi
remisi serta mempertahankan remisi selama mungkin pada perkembangan penyakit.
Karena manifestasi klinis yang sangat bervariasi maka pengobatan didasarkan pada
manifestasi yang muncul pada masing-masing individu. Menggingat manifestasi
klinis, perjalanan penyakit SLE sangat beragam, dan risiko kematian yang tinggi
maka diperlukan upaya pengenalan dini serta penatalaksanaan yang tepat. 4,5

1
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identifikasi
Nama : Ny. Desti Reskani
Umur : 23 Tahun
Alamat : Desa Kebun Agung, Lawang Kidul, Muara Enim
Suku : Sumatera
Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
MRS : 9 Juni 2019 Pukul 18.56 WIB
Tanggal periksa : 11 Juni 2019 pukul 13.30 WIB
No. RM : 248376
Ruang : Penyakit Dalam

2.2 Anamnesis
Autoanamnesis dari pasien a.n Ny Desti (Selasa, tanggal 11 Juni 2019, pukul
13.30 WIB)

Keluhan Utama:
Pasien datang dengan keluhan badan terasa lemas sudah sejak 2 minggu SMRS.

Keluhan Tambahan:
Mual, muntah, tidak nafsu makan, nyeri ulu hati dan nyeri sendi.

Riwayat Perjalanan Penyakit:


Sejak 1 tahun SMRS, pasien mengeluh timbul bercak kemerahan pada kulit
wajah dan tangan, bercak timbul saat terpapar sinar matahari yang terasa perih dan
gatal. Rambut rontok (+), nyeri sendi (+), sariawan (-), mual muntah (-), BAK
berbusa (-), BAB (+) biasa, pandangan berkunang-kunang (-), telinga berdenging

2
(-), mimisan (-), gusi berdarah (-), muntah darah (-), bercak kebiruan dikulit (-).
Pasien juga mengeluh badan lemas dan mudah lelah yang berkurang ketika
istirahat. Nyeri ulu hati (-), mual (+), muntah (-), nafsu makan menurun (+), makan
3 kali sehari setengah porsi makan. Pasien berobat ke Puskesmas Setempat dan
dirujuk ke RS Rabain. Di RS Rabain pasien dinyatakan mengalami SLE. Pasien
dirawat selama + 3 hari di RS Rabain. Pasien pulang dengan perbaikan dan
mendapat obat metilprednisolon.
Sejak 4 bulan SMRS pasien mengeluh badan lemas dan sulit beraktivitas
seperti biasa. Pasien kembali ke RS Rabain dan dirawat selama 4 hari di RS Rabain.
Setelah perbaikan keadaan umum pasien, kemudian pasien di rujuk ke RS
Mohammad Husein Palembang untuk mendapatkan terapi dan pemeriksaan darah
yang lengkap dari dokter penyakit dalam spesialis alergi imunolgi. Dan melakukan
control ulang untuk mendapatkan obat yang setiap bulannya diterima pasien.
Sejak 2 minggu SMRS pasien mengeluhkan badan terasa lemas, mual,
muntah dan nyeri ulu hati. Sehingga pasien datang ke IGD RS Rabain dan menjalani
paerawatan di RS Rabain selama 5 hari sampai mengalami perbaikan keadaan
umum dan pasien dapat berobat jalan. Pasien tidak diberikan obat selama pulang,
karena pasien memiliki obat rutin dari RS Mohmmad Hoesin Palembang.

Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat sakit kuning sebelumnya tidak ada
 Riwayat menderita sakit hati sebelumnya tidak ada
 Riwayat diabetes melitus tidak ada
 Riwayat sakit ginjal tidak ada
 Riwayat hipertensi tidak ada

Riwayat Penyakit Dalam Keluarga


 Riwayat hipertensi tidak ada
 Riwayat diabetes melitus tidak ada
 Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga tidak ada

3
Riwayat Kebiasaan:
 Riwayat merokok (-)
 Riwayat minum alcohol (-)
 Riwayat sering minum obat warung (-)
 Riwayat minum jamu (-)
 Riwayat menggunakan jarum suntik (-)

Riwayat pengobatan:
 Riwayat menggunakan jarum suntik (-)
 Riwayat transfusi darah (-)

Status Sosial Ekonomi dan Gizi:


Pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga. Pasien makan 3 kali sehari dengan variasi
nasi, ayam, ikan, telur, sayur, tahu, dan tempe.
Kesan : sosial ekonomi menengah ke bawah.

2.3 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan Fisik Umum
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan Darah : 110/80 mmHg
Nadi : 76 x/ menit, isi/kualitas cukup, reguler
Respirasi : 20x/menit, reguler
Suhu : 36,7oC
Saturasi Oksigen : 99%

Pemeriksaan Khusus
Kepala :Normocephali, warna rambut hitam, rambut licin, alopesia
(+),bagian depan, distribusi tidak merata. Malar rash (-).
deformitas tulang kepala (-)

4
Mata :Konjungtiva palpebra pucat (+/+), sklera ikterik (-/-),pupil
bulat isokor, RC (+/+), visus baik
Hidung :Tampak luar tidak ada kelainan, septum deviasi (-), kavum
nasi lapang, sekret (-), epistaksis (-)
Mulut : Bibir kering, sianosis (-), sariawan (+), gusi berdarah (-),
lidah berselaput (-), atrofi papil (-), Tonsil T1-T1, faring
hiperemis (-)
Leher : JVP (5-2 cmH2O), pembesaran KGB (-), struma (-)

Pulmo
Inspeksi : Statis dan dinamis: simetris kanan dan kiri, retraksi dinding
dada (-/-), spider naevi (-)
Palpasi : Stem fremitus normal kiri=kanan
Perkusi : Sonor pada kiri=kanan
Auskultasi : Vesikuler normal kiri=kanan

Cor
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba, thrill (-)
Perkusi : Batas jantung atas ICS II linea parasternalis
Batas jantung kanan ICS IV linea sternalis dextra
Batas jantung kiri ICS V linea axillaris anterior sinistra.
Auskultasi :HR 74x/menit, regular, Bunyi jantung I-II (+) normal,
murmur (-), gallop (-)

Abdomen
Inspeksi : Datar, kaput medusa (-), venektasi (-)
Palpasi : Supel, hepar tidak teraba.
Perkusi : Shifting dullness (-), undulasi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) <5

5
Ekstremitas
Ekstremitas superior : Akral hangat (+), palmar eritema (-/-)
Ekstremitas inferior : Akral hangat (+), edema pretibial (-/-)

2.4 Pemeriksaan Penunjang


Saat diIGD dilkukan pemeriksaan darah 09-06-2019

2.5 Pemeriksaan Penunjang


Laboratorium tahun 2018

Pemeriksaan Sero-imunologi Hasil


ANA Test Positif

Hasil Laboratorium tanggal 09 Juni 2019


Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Interpretasi
HEMATOLOGI
Hemoglobin 10.1 g/dl 11.4-15.0 g/dl Menurun
Eritrosit (RBC) 4,1 x106/mm3 4.0-4.5 x106/mm3 Normal
Leukosit (WBC) 9,91 x106/mm3 4.73-10.89 x106/mm3 Normal
Trombosit(PLT) 296 x103/uL 189-436 x103/uL Normal
Hematokrit 36% 35-45% Normal
MCV 87 85-95 fL Normal
MCH 29 28-31 pg Normal
Diff Count
Basofil 0% 0-1% Normal
Eosinofil 1% 1-6% Normal
Netrofil 66% 50-70% Normal
Limfosit 27% 20-40% Normal
Monosit 5% 2-8% Normal

6
Kriteria ARA:
1. Malar rash (-)
2. Ruam discoid (+)
3. Fotosensitifitas (-)
4. Ulkus oral (-)
5. Serositis (-)
6. Artritis (+)
7. Nefrtitis (-)
8. Neurologis (-)
9. Tromositopenia, leukopenia (-)
10. Kelainan imunilogi (-)
11. ANA (+) hasil + 1tahun yang lalu

Kriteria SLICC:
 Acute Cutaneous Lupus (-)
 Chronic Cutaneous Lupus (-)
 Oral or nasal ulcers (-)
 Non-scarring alopecia (+)
 Arthritis (+)
 Serositis (-)
 Renal (-)
 Neurologic (-)
 Hemolytic anemia (-)
 Leukopenia (-)
 Trombositopenia (-)
Immunologic Criteria
 ANA test (+)
 Anti-DsDNA (-)
 Anti-Sm (-)
 Antiphospholipid (-)

7
 Coomb Test (-)

2.5 Diagnosis Sementara


Sistemik lupus eritematous (SLE) + Sindrom Dispepsia dengan Dehidrasi Low
Intake

2.6 Diagnosis Banding


 Sistemik lupus eritematous + Sindrom Dispepsia dengan Dehidrasi Low
Intake
 Artritis rheumatoid
 Sindrom sjogren

2.7 Terapi awal


Non farmakologis:
- Istirahat
- Diet TKTP
Farmakologis:
- IVFD RL drip neurosanbe gtt XX x/m
- Injeksi Ondancentrone 2 x 2 mg
- Injeksi Omeprazole 1x 40 mg
- Dexamethasone 0,5 mg 3x 1
- Sandimun 25 mg 1x 1
- Metil Prednisone 16 mg 1x1
- Anemolat 1 mg 3 x 1
- Lansoprazole 30 mg 2 x 1
- Myportic 36o mg 1 x 1
- Calos 500 mg 1 x 1

2.8 Prognosis
 Quo ad Vitam : Dubia ad bonam
 Quo ad Functionam : Dubia ad bonam

8
 Quo ad Sanationam : Dubia ad bonam
2.9 Follow up
Tanggal: 10 Juni 2019
S: Badan lemas, mual (+) Lab
O: Keadaan Umum : Tampak sakit sedang Hb : 10,1 g/dL
Kesadaran : Compos Mentis HT : 36 %
TD : 110/70mmHg A: SLE + Syndrome dyspepsia +
Nadi : 80x/ menit DLI
RR : 20x/menit, P:
Suhu : 36,7oC Non farmakologis:
Pemeriksaan Khusus  Istirahat
Kepala: Normosefali, simetris, rambut  Diet TKTP
berwarna hitam, licin, mudah  Edukasi
dicabut, alopesia bagian depan Farmakologis:
kepala.  IVFD RL + Neurosanbe I
Mata: konjungtiva pucat (+/+), sklera amp gtt xx/menit
ikterik (-/-)  Inj Ondancentrone 2 x 2 amp
Leher: JVP (5-2 cmH2O), pembesaran KGB (iv)
(-).  Inj Omeprazole 1 x 40 mg
Pulmo: Statis dinamis: simetris kanan dan (iv)
kiri, retraksi dinding dada (-/-),  Dexamethasone 0,5 mg 3x 1
stem fremitus normal kanan=kiri,
sonor pada kedua hemithoraks,  Sandimun 25 mg 1x 1
vesikuler (+) normal, ronkhi (-),  Metil Prednisone 16 mg 1x1
wheezing (-).
 Anemolat 1 mg 3 x 1
Cor: Iktus kordis tidak terlihat, iktus kordis
tidak teraba, batas jantung dbn,  Lansoprazole 30 mg 2 x 1
HR: 80x/menit, regular, BJ I-II (+)  Myportic 36o mg 1 x 1
normal, murmur (-), gallop (-)
 Calos 500 mg 1 x 1
Abdomen: datar, lemas, nyeri tekan
epigastrium (+), teraba hepar
1jbac, spleen S1, timpani, bising
usus (+) normal.
Ekstremitas: deformitas (-), palmar pucat (-
/-)

9
Tanggal: 11 Juni 2019
S: Badan lemas, mual (+) Lab
O: Keadaan Umum : Tampak sakit sedang Hb : 10,1 g/dL
Kesadaran : Compos Mentis HT : 36 %
TD : 120/70mmHg A: SLE + syndrome dyespepsia +
Nadi : 79x/ menit DLI
RR : 23x/menit, P:
Suhu : 36,5oC Non farmakologis:
Pemeriksaan Khusus  Istirahat
Kepala: Normosefali, simetris, rambut  Diet TKTP
berwarna hitam, licin, mudah  Edukasi
dicabut, alopesia bagian depan Farmakologis:
kepala.  IVFD RL + Neurosanbe I
Mata: konjungtiva pucat (+/+), sklera amp gtt xx/menit
ikterik (-/-)  Inj Ondancentrone 2 x 2 amp
Leher: JVP (5-2 cmH2O), pembesaran KGB (iv)
(-).  Inj Omeprazole 1 x 40 mg
Pulmo: Statis dinamis: simetris kanan dan (iv)
kiri, retraksi dinding dada (-/-),  Dexamethasone 0,5 mg 3x 1
stem fremitus normal kanan=kiri,
sonor pada kedua hemithoraks,  Sandimun 25 mg 1x 1
vesikuler (+) normal, ronkhi (-),  Metil Prednisone 16 mg 1x1
wheezing (-).
 Anemolat 1 mg 3 x 1
Cor: Iktus kordis tidak terlihat, iktus kordis
tidak teraba, batas jantung dbn,  Lansoprazole 30 mg 2 x 1
HR: 80x/menit, regular, BJ I-II (+)  Myportic 36o mg 1 x 1
normal, murmur (-), gallop (-)
 Calos 500 mg 1 x 1
Abdomen: datar, lemas, nyeri tekan (-),
teraba hepar 1jbac, spleen S1,
timpani, bising usus (+) normal.
Ekstremitas: deformitas (-), palmar pucat (-
/-)

10
Tanggal: 12 Juni 2019
S: Badan lemas Lab
O: Keadaan Umum : Tampak sakit ringan Hb : 10,1 g/dL
Kesadaran : Compos Mentis HT : 36 %
TD : 120/80mmHg A: SLE dengan DLI
Nadi : 82x/ menit P:
RR : 19x/menit, Non farmakologis:
Suhu : 36,7oC  Istirahat
Pemeriksaan Khusus  Diet TKTP
Kepala: Normosefali, simetris, rambut  Edukasi
berwarna hitam, licin, mudah Farmakologis:
dicabut, alopesia bagian depan  IVFD RL gtt xx/menit
kepala.  Inj Ondancentrone 2 x 2 amp
Mata: konjungtiva pucat (+/+), sklera (iv)
ikterik (-/-)  Inj Omeprazole 1 x 40 mg
Leher: JVP (5-2 cmH2O), pembesaran KGB (iv)
(-).  Dexamethasone 0,5 mg 3x 1
Pulmo: Statis dinamis: simetris kanan dan
kiri, retraksi dinding dada (-/-),  Sandimun 25 mg 1x 1
stem fremitus normal kanan=kiri,  Metil Prednisone 16 mg 1x1
sonor pada kedua hemithoraks,
 Anemolat 1 mg 3 x 1
vesikuler (+) normal, ronkhi (-),
wheezing (-).  Lansoprazole 30 mg 2 x 1
Cor: Iktus kordis tidak terlihat, iktus kordis  Myportic 36o mg 1 x 1
tidak teraba, batas jantung dbn,
 Calos 500 mg 1 x 1
HR: 80x/menit, regular, BJ I-II (+)
normal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen: datar, lemas, nyeri tekan (-),
teraba hepar 1jbac, spleen S1,
timpani, bising usus (+) normal.
Ekstremitas: deformitas (-), palmar pucat (-
/-)

11
Tanggal: 13 Juni 2019
S: Badan lemas Lab
O: Keadaan Umum : Tampak sakit ringan Hb : 10,1 g/dL
Kesadaran : Compos Mentis HT : 36
TD : 120/80mmHg A: SLE +syndrome dyspepsia+ DLI
Nadi : 84x/ menit P:
RR : 19x/menit, Non farmakologis:
Suhu : 36,2oC  Istirahat
Pemeriksaan Khusus  Diet TKTP
Kepala: Normosefali, simetris, rambut  Edukasi
berwarna hitam, licin, mudah Farmakologis:
dicabut, alopesia bagian depan  IVFD RL gtt xx/menit
kepala.  Inj Ondancentrone 2 x 2 amp
Mata: konjungtiva pucat (+/+), sklera (iv)
ikterik (-/-)  Inj Omeprazole 1 x 40 mg
Leher: JVP (5-2 cmH2O), pembesaran KGB (iv)
(-).  Dexamethasone 0,5 mg 3x 1
Pulmo: Statis dinamis: simetris kanan dan
kiri, retraksi dinding dada (-/-),  Sandimun 25 mg 1x 1
stem fremitus normal kanan=kiri,  Metil Prednisone 16 mg 1x1
sonor pada kedua hemithoraks,
 Anemolat 1 mg 3 x 1
vesikuler (+) normal, ronkhi (-),
wheezing (-).  Lansoprazole 30 mg 2 x 1
Cor: Iktus kordis tidak terlihat, iktus kordis  Myportic 36o mg 1 x 1
tidak teraba, batas jantung dbn,
 Calos 500 mg 1 x 1
HR: 80x/menit, regular, BJ I-II (+)
normal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen: datar, lemas, nyeri tekan (-),
teraba hepar 1jbac, spleen S1,
timpani, bising usus (+) normal.
Ekstremitas: deformitas (-), palmar pucat (-
/-)

12
Tanggal: 14 Juni 2019
S: Badan lemas Lab
O: Keadaan Umum : Tampak sakit ringan Hb : 10,1
Kesadaran : Compos Mentis HT : 36
TD : 120/80mmHg A: SLE +syndrome dyspepsia+ DLI
Nadi : 84x/ menit P:
RR : 19x/menit, Non farmakologis:
Suhu : 36,2oC  Istirahat
Pemeriksaan Khusus  Diet TKTP
Kepala: Normosefali, simetris, rambut  Edukasi
berwarna hitam, licin, mudah Farmakologis:
dicabut, alopesia bagian depan  IVFD RL gtt xx/menit
kepala.  Inj Ondancentrone 2 x 2 amp
Mata: konjungtiva pucat (+/+), sklera (iv)
ikterik (-/-)  Inj Omeprazole 1 x 40 mg
Leher: JVP (5-2 cmH2O), pembesaran KGB (iv)
(-).  Dexamethasone 0,5 mg 3x 1
Pulmo: Statis dinamis: simetris kanan dan
kiri, retraksi dinding dada (-/-),  Sandimun 25 mg 1x 1
stem fremitus normal kanan=kiri,  Metil Prednisone 16 mg 1x1
sonor pada kedua hemithoraks,
 Anemolat 1 mg 3 x 1
vesikuler (+) normal, ronkhi (-),
wheezing (-).  Lansoprazole 30 mg 2 x 1
Cor: Iktus kordis tidak terlihat, iktus kordis  Myportic 36o mg 1 x 1
tidak teraba, batas jantung dbn,
 Calos 500 mg 1 x 1
HR: 80x/menit, regular, BJ I-II (+)
normal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen: datar, lemas, nyeri tekan (-),
teraba hepar 1jbac, spleen S1,
timpani, bising usus (+) normal.
Ekstremitas: deformitas (-), palmar pucat (-
/-)

13
Tanggal: 15 Juni 2019
S: keluhan sudah berkurang Lab
O: Keadaan Umum : Tampak sakit ringan Hb : 10,1 g/dL
Kesadaran : Compos Mentis HT : 36 %
TD : 120/700mmHg A:
Nadi : 83x/ menit P : SLE +syndrome dyspepsia+ DLI
RR : 20x/menit, Non farmakologis:
Suhu : 36,8oC  Istirahat
Pemeriksaan Khusus  Diet TKTP
Kepala: Normosefali, simetris, rambut  Edukasi
berwarna hitam, licin, mudah Farmakologis:
dicabut, alopesia bagian depan  IVFD RL gtt xx/menit
kepala.  Inj Ondancentrone 2 x 2 amp
Mata: konjungtiva pucat (+/+), sklera (iv)
ikterik (-/-)  Inj Omeprazole 1 x 40 mg
Leher: JVP (5-2 cmH2O), pembesaran KGB (iv)
(-).  Dexamethasone 0,5 mg 3x 1
Pulmo: Statis dinamis: simetris kanan dan
kiri, retraksi dinding dada (-/-),  Sandimun 25 mg 1x 1
stem fremitus normal kanan=kiri,  Metil Prednisone 16 mg 1x1
sonor pada kedua hemithoraks,
 Anemolat 1 mg 3 x 1
vesikuler (+) normal, ronkhi (-),
wheezing (-).  Lansoprazole 30 mg 2 x 1
Cor: Iktus kordis tidak terlihat, iktus kordis  Myportic 36o mg 1 x 1
tidak teraba, batas jantung dbn,
 Calos 500 mg 1 x 1
HR: 80x/menit, regular, BJ I-II (+)
normal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen: datar, lemas, nyeri tekan (-),
teraba hepar 1jbac, spleen S1,
timpani, bising usus (+) normal.
Ekstremitas: deformitas (-), palmar pucat (-
/-)

14
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. DEFINISI
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit reumatik
autoimun yang ditandai adanya inflamasi yang tersebar luas, yang
melibatkan setiap organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan
dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun sehingga mengakibatkan
kerusakan jaringan akibat hilangnya toleransi dan disregulasi interferon.
Pada pasien SLE, terdapat autoantibodi yang langsung menyerang double
stranded DNA (anti ds-DNA) dan/atau small nuclear RNA-binding proteins
(anti Ro, anti-La, anti-Sm, dan anti-RNP).4,5
Perjalanan penyakitnya bersifat episodik yang diselingi periode
sembuh. Pada setiap penderita, peradangan akan mengenai jaringan dan
organ yang berbeda. Beratnya penyakit bervariasi mulai dari penyakit yang
ringan sampai penyakit yang menimbulkan kecacatan, tergantung dari
jumlah dan jenis antibodi yang muncul dan organ yang terkena. Perjalanan
penyakit SLE sulit diduga dan sering berakhir dengan kematian.4

3.1. EPIDEMIOLOGI
WHO mencatat jumlah penderita SLE di seluruh dunia mencapai 5
juta orang, dan setiap tahun ditemukan lebih dari 100 ribu kasus baru. Di
Amerika, berdasarkan The Lupus Foundation of America memperkirakan
terdapat 1,5 juta kasus SLE dengan sekitar 16 ribu kasus baru setiap
tahunnya. Di Indonesia, jumlah penyakit SLE secara tepat belum dapat
diketahui, namun berdasarkan survei yang dilakukan oleh prof. Handono
Kalim, dkk memperkirakan 0,5% dari populasi Indonesia atau sekitar 1,2
juta orang menderita penyakit SLE.6,7
Berdasarkan laporan data dari 858 Rumah Sakit di Indonesia, pada
tahun 2016 terdapat 2.166 pasien rawat inap dengan diagnosis SLE, jumlah

15
ini meningkat dua kali lipat dibandingkan tahun 2014. Perhimpunan SLE
Indonesia (PESLI) pada tahun 2016 mendapatkan rata-rata insiden kasus
baru SLE dari data 8 Rumah Sakit adalah sebesar 10,5% dengan rincian
pada Tabel 1 sebagai berikut:

Tabel 1. Insiden kasus baru di delapan rumah sakit di Indonesia tahun 2016 6

Penyakit SLE dapat menyerang berbagai usia dan jenis kelamin,


namun lebih sering menyerang perempuan usia produktif (15-44 tahun).
Penyakit ini juga dapat menyerang semua ras, namun lebih sering ditemukan
pada ras kulit berwarna. Penelitian di Amerika pada tahun 2013 menunjukan
bahwa perempuan ras Afrika Amerika, Latin, Asia, penduduk asli Amerika,
Alaska, Hawaii dan Kepulauan Pasifik dua kali lebih banyak menderita SLE
dibandingkan perempuan ras kaukasoid.
Manifestasi klinis SLE sangat luas, meliputi keterlibatan kulit dan
mukosa, sendi, darah, jantung, paru, ginjal, susunan saraf pusat (SSP) dan
sistem imun. Dilaporkan bahwa pada 1000 pasien SLE di Eropa yang diikuti
selama 10 tahun, manifestasi klinis terbanyak berturut-turut adalah artritis
sebesar 48,1%, ruam malar 31,1%, nefropati 27,9%, fotosensitiviti 22,9%,
keterlibatan neurologik 19,4% dan demam 16,6% sedangkan manifestasi
klinis yang jarang dijumpai adalah miositis 4,3%, ruam diskoid 7,8 %,
anemia hemolitik 4,8%, dan SLE subkutaneus akut 6,7%.7,8

16
3.2. ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO
Etiopatogenesis dari SLE masih belum diketahui secara jelas, dimana
terdapat banyak bukti bahwa SLE bersifat multifaktoral seperti faktor
genetik, faktor lingkungan, dan faktor hormonal terhadap respons imun.
Faktor Genetik
Faktor genetik memegang peranan pada banyak penderita lupus
dengan resiko yang meningkat pada saudara kandung dan kembar
monozigot. Diduga berhubungan dengan gen respons imun spesifik pada
kompleks histokompabilitas mayor kelas II, yaitu HLA-DR2 dan HLA-DR3
serta dengan komponen komplemen yang berperan dalam fase awal reaksi
ikat komplemen ( yaitu C1q, C1r, C1s, C4, dan C2) telah terbukti. Gen-gen
lain yang mulai ikut berperan adalah gen yang mengkode reseptor sel T,
imunoglobulin dan sitokin.4
Studi lain mengenai faktor genetik ini yaitu studi yang berhubungan
dengan HLA (Human Leucocyte Antigens) yang mendukung konsep bahwa
gen MHC (Major Histocompatibility Complex) mengatur produksi
autoantibodi spesifik. Penderita lupus (kira-kira 6%) mewarisi defisiensi
komponen komplemen, seperti C2, C4, atau C1q14-15. Kekurangan
komplemen dapat merusak pelepasan sirkulasi kompleks imun oleh sistem
fagositosit mononuklear sehingga membantu terjadinya deposisi jaringan.
Defisiensi C1q menyebabkan sel fagosit gagal membersihkan sel apoptosis
sehingga komponen nuklear akan menimbulkan respon imun.4,9
Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita lupus, seperti
radiasi ultra violet, tembakau, obat-obatan, dan infeksi virus. Sinar UV
mengarah pada self-immunity dan hilangnya toleransi karena menyebabkan
apoptosis keratinosit. Selain itu sinar UV menyebabkan pelepasan mediator
imun pada penderita lupus, dan memegang peranan dalam fase induksi yang
secara langsung mengubah sel DNA, serta mempengaruhi sel
imunoregulator yang bila normal membantu menekan terjadinya kelainan

17
pada inflamasi kulit. Faktor lingkungan lainnya yaitu kebiasaan merokok
yang menunjukkan bahwa perokok memiliki resiko tinggi terkena lupus,
berhubungan dengan zat yang terkandung dalam tembakau yaitu amino
lipogenik aromatik. Pengaruh obat juga memberikan gambaran bervariasi
pada penderita lupus. Pengaruh obat-obatan salah satunya yaitu dapat
memodifikasi respon selular dan imunogenitas dari self-antigen. Faktor
lingkungan lainnya yaitu peranan agen infeksius terutama virus dapat
ditemukan pada penderita lupus. Virus rubella, sitomegalovirus, dan Epstein
Barr Virus (EBV) dapat menginduksi respon spesifik melalui kemiripan
molekul (molecular mimicry) dan gangguan terhadap regulasi imun.4,9

Faktor Hormonal
Faktor ketiga yang mempengaruhi patogenesis lupus yaitu faktor
hormonal. Pada konsentrasi fisiologis maupun suprafisiologis, estrogen
memfasilitasi respon imun humoral dengan meningkatkan proliferasi sel B
dan produksi antibodi. Selain itu estrogen juga memperburuk SLE dengan
memperpanjang hidup sel-sel autoimun, meningkatkan produksi sitokin sel
T helper tipe 2 (Th2) dan menstimulasi produksi autoantibodi oleh sel B.
Penggunaan pil kontrasepsi oral juga berhubungan dengan sedikit
peningkatan risiko berkembangnya SLE.4

3.3. PATOGENESIS
Produksi autoantibodi merupakan patogenesis utama pada SLE.
Auoantibodi terhadap inti sel dan melibatkan banyak sistem organ
menimbulkan manifestasi klinis SLE. Pembentukan kompleks imun dan
aktivasi komplemen menghasilkan disregulasi sistem imun. Berbagai sitikin
pro- dan anti-inflamasi sepert TGF-β, IL-10, BAFF, IL-6, IFN-α, IFN-γ, IL-
17, dan IL-23 juga memainkan peran patogenik yang penting. Pada pasien
SLE biasanya menunjukan aktivitas IFN-α yang tinggi. IFN-α memicu
respon sel B dan pertukaran kelas immunoglobulin sehingga terjadi
peningkatan produksi antibodi IgG dan IgA. Pada SLE proses apoptosis

18
dan/atau pembersihan material apoptosis terganggu sehingga menginduksi
modifies nuklear autoantigen yang akan merangsang sistem imun dan
dikenali sebagai antigen non self yang mampu mencetuskan sinyal
bahaya.4,5
Peningkatan jumlah endogen asam nukleat pemicu apoptosis
menstimulasi produksi IFNα dan mengeluarkan autoimunitas dengan
merusak toleransi diri melalui aktiavasi sel penyaji antigen (antigen-
presenting cell). Dalam LES semua hal mengacu kepada produksi asam
nukleat dari IFNα. Peningkatan produksi dari autoantigen saat apoptsis,
mengurangnya pembuangan, pengaturan deregulasi dan pemaparan adalah
hal penting dalam inisiasi respon autoantigen. Nukleosom yang
mengandung ligan endogen berbahaya dapat bergabung dengan pola
reseptor mulekul patogen (yang berhubungan dengan apoptosis) dapat
memicu aktivasi sel dendrit, sel B, produksi IFN dan autoantibodi secara
berturut-turut. 11
Reseptor sel basal seperti reseptor sel B dan reseptor Fc IIa
memfasilitasi endositosis dari asam amino yang mengandung bahan atau
kompleks imun dan penyatu reseptor endosomal dari imunitas asli seperti
Toll-like Receptors (TLRs). Pada stadium awal penyakit, saat autoantobodi
dan kompleks imun belum dibentuk, peptida antimikroba terlepas oleh
jaringan yang rusak dan penangkap netrofil ekstraseluler, yang nantinya
bergabung dengan asam nukleat menginhibisi degradasinya dan juga
memfasilitasi endositosisnya serta menstimulasi TLR-7/9 di dalam
palsmasitoid sel dendrit. Penghancuran sistem kekebalan tubuh
menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah asam nukleat endogen
apoptosis memicu produksi dari IFN dan autoimun melalui aktivasi dan
pematangan dari sel dendrit sederhana (myeloid). Produksi dari
autoantibodi oleh sel B pada lupus di kendalikan oleh keberadaan dari
antigen endogen dan sangat besar tergantung pada sel T-helper, yang
dimediasi oleh interaksi sel basal (CD40L/CD40) dan sitokin (IL21).11

19
3.4. MANIFESTASI KLINIK
Manifestasi klinis penyakit ini sangat beragam tergantung organ yang
terlibat dimana dapat melibatkan banyak organ dalam tubuh manusia
dengan perjalanan klinis yang kompleks, sangat bervariasi, dapat ditandai
oleh serangan akut, periode aktif, kompleks, atau remisi dan seringkali pada
keadaan awal tidak dikenali sebagai SLE. Hal ini dapat terjadi karena
manifestasi klinis penyakit SLE ini seringkali tidak terjadi secara
bersamaan. Seseorang dapat saja selama beberapa tahun mengeluhkan nyeri
sendi yang berpindah-pindah tanpa adanya keluhan lain. Kemudian diikuti
oleh manifestasi klinis lainnya seperti fotosensitivitas dan sebagainya yang
pada akhirnya akan memenuhi kriteria SLE.1,8,9
a. Manifestasi Konstitusional
Kelelahan merupakan keluhan umum yang dijumpai pada
penderita SLE dan biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis
lainnya, kelelahan ini sulit dinilai karena banyak kondisi lain yang
mennyebabkan kelelahan seperti pada anemia, meningkatya beban
kerja, konflik kejiwaan, serta pemakaian obat seperti perdnison.
Apabila kelelahan disebabkan oleh aktivitas penyakit SLE, diperlukan
pemeriksaan penunjang lain yaitu kadar C3 serum yang rendah.
Kelelahan akibat penyakit ini memberikan respons terhadap pemberian
steroid atau latihan.9
Penurunan berat badan juga dijumpai pada penderita SLE dan
terjadi dalam beberapa bulan sebelum diagnosis ditegakan. Penurunan
berat badan ini disebabkan oleh menurunnya nafsu makan atau akibat
gejala gastrointestinal.9
Demam sebagai salah satu gejala konstitusional sulit dibedakan
dari sebab lain seperti infeksi, karena suhu tubuh dapat lebih dari 400C
tanpa adanya bukti infeksi lain seperti leukositosis, demam akibat SLE
biasanya tidak disertai menggigil.9
b. Manifestasi Muskuloskeletal

20
Keluhan muskuloskeletal merupakan manifesasi klinik yang
paling sering terjadi pada penderita SLE, lebih dari 90%. Keluhan dapat
terjadi berupa nyeri otot (myalgia), nyeri sendi (atralgia) atau
merupakan suatu artitis dimana tampak jelas bukti inflamasi sendi.
Keluhan ini sering kali dianggap sebagai manifestasi Artritis Rematoid
karena keterlibatan sendi yang banyak dan simetris. Pada SLE tidak
ditemukan adanya deformitas, kaku sendi yang berlangsung beberapa
menit dan sebagainya. Osteoporosis juga ditemukan dan berhubungan
dengan aktifitas penyakit dan terapi steroid.9
c. Manifestasi Kulit
Kelainan kulit yang sering didapatkan pada SLE adalah
fotosensitivitas, butterfly rash, ruam malar, SLEi diskoid kronik,
alopesia, panikulitis, SLEipsoriaform dan lain sebagainya. Selain itu,
pada kulit juga dapat ditemukan tanda-tanda vaskulitis kulit, misalnya
fenomena Raynaud, livedo retikularis, ulkus jari, gangren.9
d. Manifestasi Paru
Berbagai manifestasi klinik pada paru-paru dapat terjadi baik
berupa radang interstitial parenkim paru (pneumonitis), emboli paru,
hipertensi pulmonal, atau perdarahan paru. Pneumonitis lupus dapat
terjadi secara akut dan berlanjut secara kronik, pada keadaan akut
biasanya penderita akan merasa sesak, batuk kering dan mulai dijumpai
ronkhi di basal. Keadaan ini sebagai akibat deposisi kompleks imun
pada alveolus atau pembuluh darah paru, baik disertai vaskulitis atau
tidak. Pneumonitis lupus ini memberikan respon baik terhadap
pemberian streroid. 1,9
e. Manifestasi Kardiologis
Kelainan kardiovaskular pada SLE antara lain penyakit
perikardial, dapat berupa perikarditis ringan, efusi perikardial sampai
penebalan perikardial. Miokarditis dapat ditemukan pada 15% kasus,
ditandai oleh takikardia, aritmia, interval PR yang memanjang,
kardiomegali sampai gagal jantung.9

21
Penyakit jantung koroner dapat pula dijumpai pada penderita SLE
dan bermanifestasi sebagai angina pectoris, infark miokard atau gagal
jantung kongestif. Keadaan ini semakin banyak dijumpai pada
penderita SLE usia muda dengan jangka penyakit yang panjang serta
penggunaan steroid jangka panjang.8,9
f. Manifestasi Renal
Gejala dan tanda keterlibatan ginjal pada umumnya tidak nampak
sebelum terjadi kegagalan ginjal atau sindroma nefrotik. Untuk menilai
keterlibatan ginjal pada penderita SLE perlu dilakukan biopsi ginjal.8,9
g. Manifestasi Gastrointestinal
Manifestasi klinis gastrointestinal tidak spesifik pada penderita
SLE, secara klinis tampak adanya keluhan penyakit pada esofagus,
mesenteric valkulitis, inflamantory bowel disease (IBS), pankreatitis
dan penyakit hati. Dapat berupa hepatomegali, nyeri perut yang tidak
spesifik, splenomegali, peritonitis aseptik. Selain itu, ditemukan juga
peningkatan SGOT dan SGPT harus dievaluasi terhadap kemungkinan
hepatitis autoimun.9
h. Manifestasi Hemopoetik
Pada SLE, terjadi peningkatan Laju Endap Darah (LED) yang
disertai dengan anemia normositik normokrom yang terjadi akibat
anemia akibat penyakit kronik, penyakit ginjal kronik, gastritis erosif
dengan perdarahan dan anemia hemolitik autoimun.9
i. Manifestasi Susunan Saraf
Keterlibatan Neuropsikiatri SLE sangat bervariasi, dapat berupa
migrain, neuropati perifer, sampai kejang dan psikosis. Kelainan
tromboembolik dengan antibodi anti-fosfolipid dapat merupakan
penyebab terbanyak kelainan serebrovaskular pada SLE. Neuropati
perifer, terutama tipe sensorik ditemukan pada 10% kasus.9
Keterlibatan saraf otak, jarang ditemukan. Kelainan psikiatrik
sering ditemukan, mulai dari anxietas, depresi sampai psikosis.
Kelainan psikiatrik juga dapat dipicu oleh terapi steroid. Analisis cairan

22
serebrospinal seringkali tidak memberikan gambaran yang spesifik,
kecuali untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi.
Elektroensefalografi (EEG) juga tidak memberikan gambaran yang
spesifik. CT scan otak kadang-kadang diperlukan untuk membedakan
adanya infark atau perdarahan.1,8,9

3.5. PENEGAKAN DIAGNOSIS


Kecurigaan akan penyakit SLE perlu dipikirkan bila dijumpai 2 (dua) atau
lebih kriteria sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu:
a. Wanita muda dengan keterlibatan dua organ atau lebih.
b. Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan
penurunan berat badan.
c. Muskuloskeletal: artritis, artralgia, miositis
d. Kulit: butterfly atau malar rash, fotosensitivitas, SLEi membrana
mukosa, alopesia, fenomena Raynaud, purpura, urtikaria, vaskulitis.
e. Ginjal: hematuria, proteinuria, silinderuria, sindroma nefrotik
f. Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen
g. Paru-paru: pleurisy, hipertensi pulmonal, SLEi parenkhim paru.
h. Jantung: perikarditis, endokarditis, miokarditis
i. Retikulo-endotel: limfadenopati, splenomegali, hepatomegali
j. Hematologi: anemia, leukopenia, dan trombositopenia
k. Neuropsikiatri:kejang,gangguan kognitif neuropati kranial dan perifer.
Diagnosis SLE dapat ditegakan berdasarkan gambaran klinik dan
laboratorium. American College of Rheumatology (ACR), pada tahun
1982, mengajukan 11 kriteria untuk klasifikasi SLE, dimana bila
didapatkan 4 kriteria, maka diagnosis SLE dapat ditegakan

23
Tabel 2. Kriteria diagnosis SLE berdasarkan ACR 1997 9
No Kriteria Batasan
1. Ruam malar Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah malar
dan Cenderung tidak melibatkan lipat nasolabial.
2. Ruam diskoid Plak eritema menonjol dengan keratotik dan sumbatan folikular.
Pada SLE lanjut dapat ditemukan parut atrofik
3. Fotosensitivitas Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar
matahari, baik dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh
dokter pemeriksa.
4. Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat
oleh dokter pemeriksa.
5. Artitritis Artritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi perifer,
ditandai oleh nyeri tekan, bengkak atau efusia.
6. Serositis
a. Pleuritis Riwayat nyeri pleuritik atau pleuritc friction rub yang didengar
oleh dokter pemeriksa atau terdapat bukti efusi pleura.

Terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial friction rub


b. Karditis atau terdapat bukti efusi perikardium
7. Gangguan renal Proteinuria menetap >0.5 gram per hari atau >3+ bila tidak
dilakukan pemeriksaan kuantitatif. Atau Silinder seluler : -
dapat berupa silinder eritrosit, hemoglobin, granular, tubular
atau campuran
8. Gangguan Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau
Neurologi gangguan misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidak
seimbangan elektrolit
Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau
gangguan
Metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidak
seimbangan elektrolit.)
9. Gangguan a. Anemia hemolitik dengan retikulosis. Atau
hematologi b. Lekopenia <4.000/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau
lebih. Atau
c. Limfopenia <1.500/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau
lebih. Atau
d. Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa disebabkan oleh
obat-obatan
10. Gangguan a. Anti -DNA: antibodi terhadap native DNA dengan titer
imunologik yang abnormal. Atau
b. Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap antigen nuklear
Sm. Atau
c. Temuan positif terhadap antibodi anti fosfolipid yang
didasarkan atas :
1. kadar serum antibodi anti kardiolipin abnormal baik
IgG atau IgM,
2. Tes lupus anti koagulan positif menggunakan

24
metoda standard,
3. hasil tes serologi positif palsu terhadap sifi lis
sekurang- kurangnya selama 6 bulan dan
dikonfirmasi dengan test imobilisasi Treponema
pallidum atau tes fluoresensi absorpsi an•bodi
treponema.
11. Antibodi Titer abnormal dari antibodi anti-nuklear berdasarkan
Anti nuklear pemeriksaan imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat
positif (ANA) pada setiap kurun waktu perjanan penyakit tanpa keterlibatan
obat yang diketahui hubungan dengan sindroma lupu yang
diinduksi obat.

Bila didapatkan 4 kriteria dari 11 kriteria, maka bisa ditegakkan SLE


yang memiiki sensitifitas 85% dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya
3 kriteria dan salah satunya ANA positif, maka sangat mungkin SLE dan
diagnosis bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif,
maka kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya tes ANA positif dan
manifestasi klinis lain tidak ada maka belum tentu SLE, dan observasi
jangka panjang diperlukan.9
Gambar 1. Kriteria SLICC

25
3.6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Darah Rutin dan Urin Rutin
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada penyakit Lupus
Eritematosus Sistemik (SLE) adalah pemeriksaan darah rutin dan
pemeriksaan urin. Hasil pemeriksaan darah pada penderita SLE
menunjukkan adanya anemia hemolitik, trombositopenia, limfopenia,
atau leukopenia; erytrocyte sedimentation rate (ESR) meningkat
selama penyakit aktif, Coombs test mungkin positif, level IgG mungkin
tinggi, ratio albumin-globulin terbalik, dan serum globulin meningkat.
Selain itu, hasil pemeriksaan urin pada penderita SLE menunjukkan
adanya proteinuria, hematuria, peningkatan kreatinin, dan
ditemukannya Cast, heme granular atau sel darah merah pada urin.4,9
b. Pemeriksaan Imunologik
Tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan
diagnosis SLE adalah tes ANA generik.(ANA IF dengan Hep 2 Cell).
Tes ANA dikerjakan/diperiksa hanya pada pasien dengan tanda dan
gejala mengarah pada SLE. Pada penderita SLE ditemukan tes ANA
yang positif sebesar 95-100%, akan tetapi hasil tes ANA dapat positif
pada beberapa penyakit lain yang mempunyai gambaran klinis
menyerupa SLE misalnya infeksi krnis (tuberkulosis), penyakit
autoimun (misalnya Mixed connective tissue disease (MCTD), artritis
rematoid, tiroiditis autoimun) , keganasan atau pada orang normal. Jika
hasil tes ANA negatif, pengulangan segera tes ANA tidak diperlukan,
tetapi perjalanan penyakit reumatik sistemik termasuk SLE seringkali
dinamis dan berubah, mungkin diperlukan pengulangan tes ANA pada
waktu yang akan datang terutama jika didapatkan gambaran klinis yang
mencurigakan. Bila tes ANA dengan menggunakan sel Hep-2 sebagai
substrat; negatif, dengan gambaran klinis tidak sesuai SLE umumnya
diagnosis SLE dapat disingkirkan.4,9
Beberapa tes lain yang perlu dikerjakan setelah tes ANA positif
adalah tes antibodi terhadap antigen nuklear spesifik, termasuk anti-

26
dsDNA, Sm, nRNP, Ro(SSA), La (SSB), Scl-70 dan anti-Jo.
Pemeriksaan ini dikenal sebagai profil ANA/ENA. Antibodi anti-
dsDNA merupakan tes spesifik untuk SLE, jarang didapatkan pada
penyakit lain dan spesifitasnya hampir 100%. Titer anti-dsDNA yang
tinggi hampir pasti menunjukkan diagnosis SLE dibandingkan dengan
titer yang rendah. Jika titernya sangat rendah mungkin dapat terjadi
pada pasien yang bukan SLE.4,9
Kesimpulannya, pada kondisi klinik adanya anti-dsDNA positif
menunjang diagnosis SLE sementara bila anti ds-DNA negatif tidak
menyingkirkan adanya SLE. Meskipun anti-Sm didapatkan pada 15% -
30% pasien SLE, tes ini jarang dijumpai pada penyakit lain atau orang
normal. Tes anti-Sm relatif spesifik untuk SLE, dan dapat digunakan
untuk diagnosis SLE. Titer anti-Sm yang tinggi lebih spesifik untuk
SLE. Seperti anti-dsDNA, anti-Sm yang negatif tidak menyingkirkan
diagnosis.4,9

3.7. DERAJAT BERAT RINGANNYA PENYAKIT


Seringkali terjadi kebingungan dalam proses pengelolaan SLE,
terutama menyangkut obat yang akan diberikan, berapa dosis, lama
pemberian dan pemantauan efek samping obat yang diberikan pada pasien.
Salah satu upaya yang dilakukan untuk memperkecil berbagai kemungkinan
kesalahan adalah dengan ditetapkannya gambaran tingkat keparahan SLE.9
Penyakit SLE dapat dikategorikan menjadi ringan, berat, sampai
mengancam nyawa:7,9
1. Kriteria untuk dikatakan SLE ringan adalah:
a. Secara klinis tenang
b. Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa
c. Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung,
gastrointestinal, susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit.
Contoh SLE dengan manifestasi arthritis dan kulit.

27
2. Kriteria SLE Derajat Sedang adalah:
a. Nefritis ringan sampai sedang ( Lupus nefritis kelas I dan II)
b. Trombositopenia (trombosit 20-50x103/mm3)
c. Serositis mayor
3. Kriteria SLE derajat berat dan dapat mengancam nyawa:
a. Jantung: endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis arteri koronaria,
miokarditis, tamponade jantung, hipertensi maligna.
b. Paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis,
emboli paru, infark paru, ibrosis interstisial, shrinking lung.
c. Gastrointestinal: pankreatitis, vaskulitis mesenterika.
d. Ginjal: nefritis proliferatif dan atau membranous.
e. Kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh
(blister).
f. Neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati
transversa, mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis,
sindroma demielinasi.
g. Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosit <1.000/mm3),
trombositopenia < 20.000/mm3 , purpura trombotik
trombositopenia, trombosis vena atau arteri.

3.8. PENILAIAN AKTIVITAS PENYAKIT SLE


Perjalanan penyait SLE yang ditandai dengan eksaserbasi dan
remisi, memerlukan pemantauan yang ketat akan aktivitas penyakitnya.
Evaluasi aktivitas penyakit ini berguna sebagai panduan dalam pemberian
terapi. Indeks yang dignakan untuk penilaian penyakit seperti SLEDAI,
MEX-SLEDAI, SLAM, BILAG score, dsb. MEX-SLEDAI lebih mudah
diterapkan pada pusat esehatan primer yang jauh dari tersedianya fasilitas
laboratorium canggih.

28
Tabel 3. MEX-SLEDAI7
Masukkan bobot MEX SLEDAI
bila terdapat gambaran deskripsi pada saat pemeriksaan atau dalam 10 hari ini.
Bobot Deskripsi Definisi
8 Gangguan neurologis Psikosa. Gangguan kemampuan melaksanakan aktivitas fungsi
normal dikarenakan gangguan persepsi realitas. Termasuk:
halusinasi, inkoheren, kehilangan berasosiasi, isi pikiran yang
dangkal, berfi kir yang tidak logis, bizzare, disorganisasi atau
bertingkah laku kataton. Eksklusi :uremia dan pemakaian obat.
CVA (Cerebrovascular accident) : Sindrom baru. Eksklusi
arteriosklerosis.
Kejang: Onset baru, eksklusi metabolik, infeksi, atau
pemakaian obat.
Sindrom otak organik : Keadaan berubahnya fungsi mental
yang ditandai dengan gangguan orientasi, memori atau fungsi
intelektual lainnya dengan onset yang cepat, gambaran klinis
yang berfl uktuasi. Seperti : a) kesadaran yang berkabut dengan
berkurangnya kapasitas untuk memusatkan pikiran dan
ketidakmampuan memberikan perhatian terhadap lingkungan,
disertai dengan sedikitnya 2 dari b) gangguan persepsi;
berbicara melantur; insomnia atau perasaan mengantuk
sepanjang hari; meningkat atau menurunnya aktivitas
psikomotor. Eksklusi penyebab metabolik, infeksi atau
penggunaan obat.
Mononeuritis: Defisit sensorik atau motorik yang baru disatu
atau lebih saraf kranial atau perifer.
Myelitis: Paraplegia dan/atau gangguan mengontrol BAK/BAB
dengan onset yang baru. Eksklusi penyebab lainnya.
6 Gangguan ginjal Castc, Heme granular atau sel darah merah.
Haematuria. >5 /lpb. Eksklusi penyebab lainnya (batu/infeksi)
Proteinuria. Onset baru, >0.5g/l pada random spesimen.
Peningkatan kreatinine (> 5 mg/dl)
4 Vaskulits Ulserasi, gangren, nodul pada jari yang lunak, infark
periungual, splinter haemorrhages. Data biopsi atau angiogram
dari vaskulitis
3 Hemolisis Hb<12.0 g/dl dan koreksi retikulosit > 3%.
Trombositopeni Trombositopeni : < 100.000. Bukan disebabkan oleh obat
3 Miositis Nyeri dan lemahnya otot-otot proksimal, yang dihubungkan
dengan peningkatan CPK
2 Artritis Pembengkakan atau efusi lebih dari 2 sendi.
2 Gangguan Ruam malar. Onset baru atau malar erithema yang menonjol.
Mukokutaneous Mucous ulcers. Oral atau nasopharyngeal ulserasi dengan onset
baru atau berulang.
Abnormal Alopenia. Kehilangan sebagaian atau seluruh rambut
atau mudahnya rambut rontok.
2 Serositis Pleuritis. Terdapatnya nyeri pleura atau pleural rub atau efusi
pleura pada pemeriksaan fi sik.
Pericarditis. Terdapatnya nyeri pericardial atau terdengarnya
rub.
Peritonitis. Terdapatnya nyeri abdominal difus dengan rebound
tenderness (Eksklusi penyakit intra-abdominal).
1 Demam Demam > 38o C sesudah eksklusi infeksi.
Fatigue Fatigue yang tidak dapat dijelaskan

29
1 Lekopenia Sel darah putih < 4000/mm3, bukan akibat obat
Limfopeni Limfosit < 1200.mm3, bukan akibat obat.
TOTAL SKOR MEX-SLEDAI

Interpretasi kriteria MEX-SLEDAI adalah sebagai berikut:


- Skor < 2 memiliki aktivitas penyakit SLE ringan.
- Skor 2-5 memiliki aktivitas penyakit SLE sedang.
- Skor > 5 memiliki aktivitas penyakit SLE berat.

3.9. PENATALAKSANAAN SLE SECARA UMUM7,9


a. Edukasi
Penyuluhan dan intervensi psikososial sangat penting
diperhatikan dalam penatalaksanaan penderita SLE, terutama pada
penderita yang baru terdiagnosis. Hal ini dapat dicapai dengan
penyuluhan langsung kepada penderita atau dengan membentuk
kelompok penderita yang bertemu secara berkala untuk membicarakan
masalah penyakitnya. Pada umumnya, penderita SLE mengalami
fotosensitivitas sehingga penderita harus selalu diingatkan untuk tidak
terlalu banyak terpapar oleh sinar matahari. Mereka dinasihatkan untuk
selalu menggunakan krim pelindung sinar matahari, baju lengan
panjang, topi atau payung bila akan berjalan di siang hari. Pekerja di
kantor juga harus dilindungi terhadap sinar matahari dari jendela. Selain
itu, penderita SLE juga harus menghindari rokok.
Karena infeksi sering terjadi pada penderita SLE, penderita harus
selalu diingatkan bila mengalami demam yang tidak jelas penyebabnya,
terutama pada penderita yang memperoleh kortikosteroid dosis tinggi,
obat-obat sitotoksik, penderita dengan gagal ginjal, vegetasi katup
jantung, ulkus di kulit dan mukosa. Profilaksis antibiotika harus
dipertimbangkan pada penderita SLE yang akan menjalani prosedur
genitourinarius, cabut gigi dan prosedur invasif lainnya.
Pengaturan kehamilan sangat penting pada penderita SLE,
terutama penderita dengan nefritis, atau penderita yang mendapat obat-
obat yang merupakan kontraindikasi untuk kehamilan, misalnya

30
antimalaria atau dapat mencetuskan eksaserbasi akut SLE dan memiliki
risiko tersendiri terhadap fetus. Oleh sebab itu, pengawasan aktifitas
penyakit harus lebih ketat selama kehamilan.
Sebelum penderita SLE diberi pengobatan, harus diputuskan dulu
apakah penderita tergolong yang memerlukan terapi konservatif, atau
imunosupresif yang agresif. Pada umumnya, penderita SLE yang tidak
mengancam nyawa dan tidak berhubungan dengan kerusakan organ,
dapat diterapi secara konservatif. Bila penyakit ini mengancam nyawa
dan mengenai organ-organ mayor, maka dipertimbangkan pemberian
terapi agresif yang meliputi kortikosteroid dosis tinggi dan
imunosupresan lainnya.
b. Program Rehabilitasi
Terdapat berbagai modalitas yang dapat diberikan pada pasien
dengan SLE tergantung maksud dan tujuan dari program ini. Salah satu
hal penting adalah pemahaman akan turunnya masa otot hingga 30%
apabila pasien dengan SLE dibiarkan dalam kondisi immobilitas selama
lebih dari 2 minggu. Disamping itu penurunan kekuatan otot akan
terjadi sekitar 1-5% per hari dalam kondisi imobilitas. Berbagai latihan
diperlukan untuk mempertahankan kestabilan sendi. Modalitas fisik
seperti pemberian panas atau dingin diperlukan untuk mengurangi rasa
nyeri, menghilangkan kekakuan atau spasme otot. Demikian pula
modalitas lainnya seperti transcutaneous electrical nerve stimulation
(TENS) memberikan manfaatyang cukup besar pada pasien dengan
nyeri atau kekakuan otot.
c. Terapi Konservatif
1) Athritis, athralgia dan myalgia
Arthritis, Arthralgia, dan Mialgia merupakan keluhan yang
sering dijumpai pada penderita SLE. Pada keluhan yang ringan
dapat diberikan analgetik sederhana atau obat antiinflamasi
nonsteroid. Yang harus diperhatikan pada penggunaan obat-obat
ini adalah efek sampingnya agar tidak memperberat keadaan umum

31
penderita. Efek samping terhadap sistem gastrointestinal, hepar
dan ginjal haru diperhatikan, misalnya dengan memeriksa kreatinin
serum secara berkala.
Apabila analgetik dan obat antiinflamasi nonsteroid tidak
memberikan respons yang baik, dapat dipertimbangkan pemberian
obat antimalaria, misalnya hidroksiklorokuin 400 mg/hari. Bila
dalam waktu 6 bulan, obat ini tidak memberikan efek yang baik,
harus segera distop. Pemberian klorokuin lebih dari 3 bulan atau
hidroksiklorokuin lebih dari 6 bulan memerlukan evaluasi
oftalmologik, karena obat ini mempunyai efek toksik terhadap
retina.
Pada beberapa penderita yang tidak menunjukkan respons
adekuat dengan analgetik atau obat antiinflamasi non steroid atau
obat antimalaria, dapat dipertimbangkan pemberian kortikosteroid
dosis rendah, dengan dosis tidak lebih dari 15 mg, setiap pagi.
Metotreksat dosis rendah (7,5-15 mg/minggu), juga dapat
dipertimbangkan untuk mengatasi arthritis pada penderita SLE.
2) Lupus Kutaneus
Sekitar 70% penderita SLE akan mengalami fotosensitivitas.
Eksaserbasi akut SLE dapat timbul bila penderita terpapar oleh
sinar ultraviolet, sinar inframerah, panas dan kadang-kadang juga
sinar fluoresensi. Penderita fotosensitivitas harus berlindung
terhadap paparan sinar-sinar tersebut dengan menggunakan baju
pelindung, kaca jendela yang digelapkan, menghindari paparan
langsung dan menggunakan sunscreen. Sebagian besar sunscreen
topikal berupa krem, minyak, lotion atau gel yang mengandung
PABA dan esternya, benzofenon, salisilat dan sinamat yang dapat
menyerap sinar ultraviolet A dan B. Sunscreen ini harus selalu
dipakai ulang setelah mandi atau berkeringat.
Glukokortikoid lokal, seperti krem, salep atau injeksi dapat
dipertimbangkan pada dermatitis lupus. Pemilihan preparat topikal

32
harus hati-hati, karena glukokortikoid topikal, terutama yang
bersifat diflorinasi dapat menyebabkan atrofi kulit, depigmentasi
teleangiektasis dan fragilitas. Untuk kulit muka dianjurkan
penggunaaan preparat steroid lokal berkekuatan rendah dan tidak
diflorinasi, misalnya hidrokortison. Untuk kulit badan dan lengan
dapat digunakan steroid topikal berkekuatan sedang, misalnya
betametason valerat dan triamsinolon asetonid. Untuk SLEi
hipertrofik, misalnya di daerah palmar dan plantar pedis, dapat
digunakan glukokortikoid topikal berkekuatan tinggi, misalnya
betametason dipropionat. Penggunaan krem glukokortikoid
berkekuatan tinggi harus dibatasi selama 2 minggu, untuk
kemudian diganti dengan yang berkekuatan lebih rendah.
Obat-obat antimalaria sangat baik untuk mengatasi lupus
kutaneus, baik lupus kutaneus subakut, maupun lupus diskoid.
Antimalaria mempunyai efek sunsblocking, antiinflamasi dan
imunosupresan. Pada penderita yang resisten terhadap antimalaria,
dapat dipertimbangkan pemberikan glukokortikoid sistemik.
Dapson dapat dipertimbangkan pemberiannya pada penderita lupus
diskoid, vaskulitis dan SLE berbula. Efek toksik obat ini terhadap
sistem hematopoetik adalah methemoglobinemia,
sulfhemoglobinemia, dan anemia hemolitik, yang kadang-kadang
memperburuk ruam SLE di kulit.
3) Kelelahan dan Keluhan Sistemik
Kelelahan merupakan keluhan yang sering didapatkan pada
penderita SLE, demikian juga penurunan berat badan dan demam.
Kelelahan juga dapat timbul akibat terapi glukokortikoid,
sedangkan penurunan berat badan dan demam dapat juga
diakibatkan oleh pemberian quinakrin. Dokter harus bersikap
simpati dalam mengatasi masalah ini. Seringkali hal ini tidak
memerlukan terapi spesifik, cukup menambah waktu istirahat dan
mengatur jam kerja. Pada keadaan yang berat dapat menunjukkan

33
peningkatan aktivitas penyakit SLE dan pemberian glukokortikoid
sistemik dapat dipertimbangkan.
4) Serositis
Nyeri dada dan nyeri abdomen pada penderita SLE dapat
merupakan tanda serositis. Pada beberapa penderita, keadaan ini
dapat diatasi dengan salisilat, obat antiinflamasi non-steroid,
antimalaria atau glukokortikoid dosis rendah (15 mg/hari). Pada
keadaan yang berat, harus diberikan glukokortikoid sistemik untuk
mengontrol penyakitnya
d. Terapi Agresif
1) Kortikosteroid
Kortikosteroid digunakan sebagai pengobatan utama pada
pasien dengan SLE. Meski dihubungkan dengan munculnya
banyak laporan efek samping, kortikosteroid tetap merupakan obat
yang banyak dipakai sebagai antiinflamasi dan imunosupresi.
Dosis kortikosteroid yang digunakan juga bervariasi. Untuk
meminimalkan masalah interpretasi dari pembagian ini maka
dilakukanlah standarisasi berdasarkan patofisiologi dan
farmakokinetiknya.
Tabel 4. Terminologi Pembagian Kortikosteroid

Dosis rendah < 7.5 mg prednison atau setara perhari


Dosis sedang >7.5 mg, tetapi < 30 mg prednison atau setara
perhari
Dosis tinggi >30 mg, tetapi < 100 mg prednison atau setara
perhari
Dosis sangat tinggi >100 mg prednison atau setara perhari
Terapi pulse >250 mg prednison atau setara perhari untuk 1 hari
atau beberapa hari
Pembagian dosis kortikosteroid membantu dalam
menatalaksana kasus rematik. Dosis rendah sampai sedang
digunakan pada SLE yang relatif tenang. Dosis sedang sampai

34
tinggi berguna untuk SLE yang aktif. Dosis sangat tinggi dan terapi
pulse diberikan untuk krisis akut yang berat seperti pada vaskulitis
luas, nephritis lupus, lupus cerebral. Pulse terapi kortikosteroid
digunakan untuk penyakit rematik yang mengancam nyawa,
induksi atau pada kekambuhan. Dosis tinggi ini ini biasanya
diberikan intravena dengan dosis 0,5-1 gram metilprednisolon
diberikan selama 3 hari berturut-turut.
2) Sparing Agen Kortikosteroid
Istilah ini digunakan untuk obat yang diberikan
untukmemudahkan menurunkan dosis kortikosteroid dan berfungsi
juga mengontrol penyakit dasarnya. Obat yang sering digunakan
sebagai sparing agent ini adalah siklofosfamid, azatioprin,
siklosporin dan metrotrexate.
a) Siklofosfamid, Indikasi siklofosfamid pada SLE :
 Penderita SLE yang membutuhkan steroid dosis tinggi
(steroidsparing agent).
 Penderita SLE yang dikontraindikasikan terhadap steroid dosis
tinggi.
 Penderita SLE kambuh yang telah diterapi dengan steroid
jangka lama atau berulang.
 Glomerulonefritis difus awal.
 SLE dengan trombositopenia yang resisten terhadap steroid.
 Penurunan laju filtrasi glomerulus atau peningkatan
kreatininserum tanpa adanya faktor-faktor ekstrarenal lainnya.
 SLE dengan manifestasi susunan saraf pusat.
Bolus siklofosfamid intravena 0,5-1 gr/m2 dalam 150 ml
NaCl 0,9% selama 60 menit diikuti dengan pemberian cairan 2-3
liter/24 jam setelah pemberian obat, banyak digunakan secara luas
pada terapi SLE. Siklofosfamid diberikan selama 6 bulan dengan
interval 1 bulan, kemudian tiap 3 bulan selama 2 tahun. Selama
pemberian siklofosfamid, dosis steroid diturunkan secara bertahap

35
dengan memperhatikan aktifitas lupusnya. Pada penderita dengan
penurunan fungsi ginjal sampai 50%, dosis siklofosfamid
diturunkan sampai 500-750 mg/m2.
Setelah pemberian siklofosfamid, jumlah leukosit darah
harus dipantau. Bila jumlah leukosit mencapai 1500/ml, maka
dosis siklofosfamid berikutnya diturunkan 25%. Kegagalan
menekan jumlah leukosit sampai 4000/ml menunjukkan dosis
siklofosfamid yang tidak adekuat sehingga dosisnya harus
ditingkatkan 10% pada pemberian berikutnya. Toksisitas
siklofosfamid meliputi mual dan muntah, alopesia, sistitis
hemoragika, keganasan kulit, penekanan fungsi ovarium dan
azoospermia.
b) Azatioprin
Azatioprin merupakan analog purin yang dapat digunakan
sebagai alternatif terhadap siklofosfamid dengan dosis 1-3
mg/kgBB/hari dan diberikan secara per oral. Obat ini dapat
diberikan selama 6-12 bulan pada penderita SLE, setelah
penyakitnya dapat dikontrol dan dosis steroid sudah seminimal
mungkin, maka dosis azatioprin juga dapat diturunkan perlahan
dan dihentikan setelah penyakitnya betul-betul terkontrol dengan
baik. Toksisitas azatioprin meliputi penekanan sistem hemopoetik,
peningkatan enzim hati dan mencetuskan keganasan.
c) Siklosporin
Imunosupresan lain yang dapat digunakan untuk
pengobatan SLE adalah Siklosporin dosis rendah (3-6
mg/kgBB/hari). Obat ini dapat digunakan pada SLE baik tanpa
manifestasi renal maupun dengan nefropati membranosa. Selama
pemberian harus diperhatikan tekanan darah penderita dan kadar
kreatinin darah. Bila kadar kreatinin darah meningkat 20% dari
kadar kreatinin darah sebelum pemberian siklosporin, maka
dosisnya harus diturunkan.

36
Gambar 2. Algoritma penatalaksanaan SLE

Keterangan :
TR : Tidak respon CYC :Siklofosfamid
RS : Respon sebagian AZA : Azatioprin
RP : Respon penuh MP : Metilprednisolon
OAINS : Obat anti inflamasi non steroid NPSLE : Neuropsikiatri SLE
KS : Kortikosteroid setara prednison

37
BAB IV
ANALISIS KASUS
Penegakkan diagnosis SLE pada pasien ini didapat dari data identifikasi pasien, anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Pada data identifikasi pasien, pasien berjenis kelamin perempuan dan berusia 23 tahun
dengan usia pertama kali didiagnosis SLE adalah 22 tahun, yang sesuai dengan epidemiologi dari
systemic lupus eritematous (SLE) pada sebuah penelitian di RSUP Cipto Mangunkusumo Jakarta
yaitu 71% pasien didiagnosa SLE pada usia ≥ 18 tahun, 19% pasien pada usia 12-18 tahun, dan
10% pada usia ≤ 11 tahun. Pada penelitian tersebut juga didapatkan 94,6% pasien berjenis kelamin
perempuan dan 5,4% pasien berjenis kelamin laki-laki. Berdasarkan jenis kelamin dan usia pasien
dapat menjadi faktor risiko untuk kejadian penyakit SLE pada kasus ini.
Penegakan diagnosis pada pasien ini berdasarkan kriteria menurut The America
Rheumatism Association (ARA) yang telah dimodifikasi pada tahun 1997, pada pasien ini
ditemukan beberapa kriteria yang memenuhi, yaitu:
1. Arthritis
2. Gangguan hematologi (anemia)
3. Discoid Lession
4. Anti Nuclear Antibody (ANA test positif)
Pada pasien ini telah ditemukan 4 kriteria dari 11 kriteria berdasarkan ARA sehingga
diagnosis systemic lupus eritematous (SLE) sudah bisa ditegakkan dengan sensitifitas 95%.
Penegakkan diagnosis anemia pada pasien ini berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis didapatkan gejala anemia yaitu badan lemas, mudah lelah
saat beraktifitas, wajah terlihat pucat, dan pusing (lihgtheadedness), pada pemeriksaan fisik
ditemukan konjungtiva pucat dan palmar dan plantar pucat, dan pada hasil laboratorium kadar
hemoglobin pasien 10,1 g/dL, serta tidak ditemukan peningkatan pada kadar leukosit dan
trombosit, dari semua temuan tersebut maka disimpulkan bahwa pasien ini mengalami anemia.
Pasien ini sebelumnya telah terdiagnosis penyakit SLE yang merupakan penyakit autoimun
sehingga memiliki kemungkinan besar mengalami anemia hemolitik autoimun sehingga pada
pasien ini disarankan pemeriksaan retikulosit, bilirubin indirek, dan Coomb’s Test Direct dan
Indirect untuk menegakkan diagnosis anemia hemolitik autoimun, Namun pasien tidak diperiksa
darah lengkap sehingga belum bisa ditegakan anemia karena autoimun.

38
Jadi berdasarkan hasil temuan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang, pasien pada kasus ini didiagnosis dengan SLE . Tatalaksana yang dilakukan adalah
pemberian kortokosteroid (metil prednisolon), siklosporin (sandimmun) sebagai steroid sparing
agent, dan asam folat. Untuk melihat respons terapi , dilakukan pemantauan terhadap kadar
hemoglobin, eritrosit, dan hematokrit untuk melihat respons terapi. Bila ada respons terhadap
steroid, dosis diturunkan tiap 1-2 minggu hingga dosis rendah-sedang lalu dipertahankan pada
dosis tersebut untuk mengkontrol aktivitas penyakit. Untuk menurunkan efek iritasi kortikosteroid
pada mukosa lambung serta menurunkan resiko terjadinya anemia defisiensi besi, diberikan juga
obat Proton Pump Inhibitor (PPI) yaitu Lansoprazole. Proses hemolisis yang aktif menyebabkan
peningkatan kebutuhan asam folat, maka pada kasus ini diberikan suplementasi asam folat.

39
DAFTAR PUSTAKA

1. Isbagio H, Albar Z, Kasjmir YI, et al. 2015. Lupus Eritematosus Sistemik. Dalam: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, et al, editor. Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi keenam. Jakarta: Interna
Publishing; 2565-2579.
2. Yoga I Kasjmir, dkk. 2011. Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritemaotosus Sistemik.
Perhimpunan Reumatologi Indonesia; Jakarta.
3. Mok CC, Lau CS. 2003. Pathogenesis of systemic lupus erythematosus page. J Clin Pathol; 481-
490.
4. Isbagio H, Albar Z, Kasjmir YI, et al. 2015. Lupus Eritematosus Sistemik. Dalam: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, et al, editor. Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi keenam. Jakarta: Interna
Publishing; 2565-2579.
5. Ghodke, Y and T.B. Niewold. Immunogenetics of systemic lupus erythematosus: A
comprehensive review. Journal of Autoimmunity. 2015: 64; 125-136.
6. Kemenkes RI. 2017. Situasi Lupus Di Indonesia. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Jakarta
7. Perhimpunan Reumatologi Indonesia. 2011. Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus
Sistemik. Jakarta
8. Yu, C., E. Gershwin, and C. Chang. Diagnostic criteria for systemic lupus erythematosus: A
critical review. Journal of Autoimmunity. 2014: 30; 1-4.
9. Suarjana, IN. Imunopatogenesis Lupus Eritematosus Sistemik. In Setiati S, Alwi Idrus, Sudoyo
AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi
VI. Interna Publishing, Jakarta, 2014: 2607-2613.
10. Djoerban Z. Kelainan Hematologi pada Lupus Eritematosus Sistemik. In Setiati S, Alwi Idrus,
Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
III. Edisi VI. Interna Publishing, Jakarta, 2014: 3392-3396
11. Bertsias G, Ricard Carvera, Dimitrios T Boumpas. 2012. Systemic Lupus Erythematosus: Pathogenesis and
Clinical Features. EULAR 2012;20:476-505.

40

Anda mungkin juga menyukai