Anda di halaman 1dari 23

Laporan Kasus

Perawatan Pasca Sectio Caesarea

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
pada Bagian/SMF Ilmu Kebidanan dan Kandungan FK Unsyiah/RSUDZA
Banda Aceh

Oleh:
Rauzah Munziah
1607101030095
Riana Maya Sari
1607101030120
Willa Mutia Syafrida
1607101030162

Pembimbing:
dr. Roziana, Sp. OG

BAGIAN/ SMF ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
RSUD dr. ZAINOEL ABIDIN
BANDA ACEH
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala,


karena atas berkat rahmat dan hidayah-Nya, penulisan laporan kasus ini dapat
diselesaikan. Selanjutnya shalawat dan salam penulis panjatkan kepangkuan Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam yang telah membimbing umat manusia
dari alam kegelapan ke alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
Adapun laporan kasus dengan judul ”Perawatan Pasca Sectio Caesarea”
ini diajukan sebagai salah satu tugas dalam menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
pada Bagian/SMF Ilmu Kebidanan dan Kandungan Fakultas Kedokteran Unsyiah
/ BLUD Rumah Sakit Umum Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada pembimbing laporan kasus
kami, dr. Roziana, Sp. OG yang telah bersedia meluangkan waktu membimbing
penulis untuk menyelesaikan penulisan tugas ini. Penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada para sahabat dan rekan-rekan yang telah memberikan
dorongan moril dan materil sehingga tugas ini dapat selesai pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam laporan kasus ini.
Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif dari
pembaca sekalian demi kesempurnaan laporan kasus ini.

Banda Aceh, Mei 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR ............................................................................... ii
DAFTAR ISI .............................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................... 3


2.1Sectio Caesarea ............................................................................. 3
2.1.1 Definisi ............................................................................... 3
2.1.2 Epidemiologi ...................................................................... 3
2.1.3 Indikasi ............................................................................... 3
2.1.4 Kontra indikasi .................................................................. 5
2.1.5 Komplikasi ........................................................................ 5
2.2Perawatan Pasca Sectio Caesarea ................................................. 5
2.2.1 Tujuan.................................................................................. 5
2.2.2 Pedoman Perawatan ............................................................ 6

BAB III LAPORAN KASUS .................................................................... 11


3.1 Identitas Pasien ......................................................................... 11
3.2 Anamnesis................................................................................. 11
3.3 Pemeriksaan Fisik ..................................................................... 12
3.4 Pemeriksaan Penunjang ............................................................ 13
3.5 Diagnosis .................................................................................. 14
3.6 Tatalaksana ............................................................................... 14
3.7 Prognosis .................................................................................. 15

BAB IV ANALISA KASUS ...................................................................... 16

BAB V KESIMPULAN .......................................................................... 19

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 20

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Seksio sesarea merupakan jenis pembedahan dengan tujuan untuk


melahirkan janin melalui suatu insisi pada dinding depan perut (laparotomi)
dan dinding rahim (histerektomi) (1)
Seksio sesarea adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan
membuka dinding perut dan dinding uterus. Pertolongan operasi persalinan
merupakan tindakan dengan tujuan untuk menyelamatkan ibu maupun bayi.
Infeksi setelah operasi persalinan masih tetap mengancam sehingga perawatan
setelah operasi memerlukan perhatian untuk menurunkan angka kesakitan dan
kematian.(2)
Seksio sesarea telah menjadi tindakan bedah kebidanan kedua tersering
yang digunakan di Indonesia dan di luar negeri. Ia mengikuti ekstraksi vakum
dengan frekuensi yang dilaporkan 6% sampai 15%. Alasan terpenting untuk
perkembangan ini adalah: peningkatan prevalensi primigravida, peningkatan usia
ibu, peningkatan insiden insufisiensi plasenta, perbaikan pengamatan
kesejahteraan fetus, peningkatan keengganan melakukan tindakan persalinan
pervaginam yang sukar.(2)
Sayatan pada dinding uterus dan dinding depan abdomen menimbulkan luka
bekas operasi seksio sesarea. Hal ini menyebabkan terputusnya jaringan dan
kerusakan sel. Luka sembuh karena degenerasi jaringan atau oleh pembentukan
granulasi. Sel-sel yang cedera mempunyai kapasitas regenerasi yang akan
berlangsung bila struktur sel yang melatar belakangi tidak rusak. Bila otot cedera,
akan terjadi hipertrofi sel-sel marginal atau garis tepi. Pada sistem saraf perifer
tidak terjadi regenerasi bila badan sel rusak,namun bila akson rusak, terjadi
degenerasi akson sebagian dan disusul dengan regenerasi. Pada torehan bedah
yang biasa, jaringan otot ditoreh, sel epitel regenerasi diatas jaringan granulasi.
Menurut statistic tentang 3.509 kasus seksio sesarea adalah disproporsi janin
panggul 21% gawat janin 14%, plasenta previa 11%, pernah seksio sesarea 11%,
kelainan letak 10%, incoordinate uterine action 9%, pre-eklampsia dan hipertensi
7% dengan angka kematian ibu sebelum dikoreksi 17 0/00 dan sesudah dikoreksi

1
2

0,58 0/00, sedang kematian janin 14,5 0/00 pada persalinan 774 persalinan yang
kemudian terjadi, terdapat 1,03 0/00 ruptura uteri. (2)
Pasien yang telah melakukan operasi akan merasakan cemas bila melihat
lukanya dan akan takut untuk merawat lukanya itu. Oleh sebab itu pasien dan
keluarganya harus mengerti langkah-langkah dasar dari cara perawatan luka yang
ditutupi. Memberi kesempatan pada pasien atau anggota keluarganya untuk
mencoba tekniknya dibawah pengawasan sebelum keluar rumah sakit akan
berguna sekali.(2)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Seksio Sesarea

2.1.1 Definisi
Persalinan sectio caesaria (SC) merupakan persalinan buatan melalui
dinding rahim untuk mengeluarkan janin karena tidak dapat dilakukan persalinan
spontan. Sectio caesaria merupakan bagian dari metode obstetrik operatif.
Tujuan dilakukan persalinan dengan cara ini agar ibu dan bayi yang dilahirkan
sehat dan selamat. (3)

2.1.2 Epidemiologi
Hasil riskesdas 2013 menunjukkan kelahiran melalui proses SC sebesar
9,8% dengan proporsi tertinggi di DKI Jakarta (19,9%), dan terendah di Sulawesi
Tenggara (3,3%). Secara umum pola persalinan melalui SC menurut karakteristik
menunjukkan proporsi tertinggi pada ibu yang menyelesaikan D1-D3/PT
(perguruan tinggi) (25,1%), pekerjaan sebagai pegawai (20,9%), tinggal di
perkotaan (13,8%). Dari data diatas dapat diketahui bahwa rata-rata yang
melakukan operasi SC adalah masayarakat dengan ekonomi menengah ke atas dan
dengan jenjang pendidikan yang cukup tinggi. (4)
2.1.3 Indikasi
Indikasi persalinan SC semakin berkembang, selain indikasi medis ada pula
indikasi nonmedis. Berikut indikasi persalinan SC: (5)
1. Indikasi mutlak
Indikasi ibu:
a. Panggul sempit absolut
b. Gagalnya persalinan normal karena kurangnya stimulasi
c. Adanya tumor jalan lahir
d. Stenosis serviks
e. Plasenta previa
f. Disproporsi sefalopelvik
g. Ruptur uteri

3
4

Indikasi janin(5)
a. Gawat janin
b. Prolapsus plasenta
c. Perkembangan janin terhambat
d. Mencegah hipoksia janin karena PE
2. Indikasi relatif
a. Riwayat SC sebelumnya
b. Presentasi bokong
c. Distosia fetaldis
d. Preeklampsia berat
e. Ibu dengan HIV positif sebelum inpartu
3. Indikasi sosial(5)
Permintaan ibu untuk melakukan SC sebenarnya bukanlah suatu indikasi
untuk dilakukan SC. Alasan yang spesifik dan rasional harus dieksplorasi
dan didiskusikan. Beberapa alasan ibu meminta dilakukan persalinan SC,
antara lain:
a. Ibu yang melahirkan berdasarkan pengalaman sebelumnya
b. Ibu yang ingin SC secara elektif karena takut bayinya mengalami
cedera atau asfiksia selama persalinan
2.1.4 Jenis Insisi Sectio Caesarea
Ada dua jenis insisi pada SC yaitu: (6)
1. Sayatan melintang
Sayatan ini dilakukan dibagian bawah rahim dari ujung selangkangan
bagian atasbatas rambut pubis sekitar 10-14 cm. keuntungan jenis ini adalah
meminimalkan risiko ruptur uteri, karena pada masa nifas bagian bawah
rahim tidak banyak mengalami kontraksi sehingga luka dapat sembuh
dengan sempurna.
2. Sayatan memanjang
Sayatan dilakukan secara vertikal atau mediana, tegak lurus mulai dari
tepat dibawah pusar sampai tulang simpisis pubis. Sayatan ini berupa insisi
yang panjang sehingga memberikan ruang yang luas untuk jalan keluarnya
5

janin. Namun cara ini jarang digunakan karena lebih berisiko untuk
menyebabkan komplikasi.
2.1.5 Kontra Indikasi
Kontraindikasi dilakukan SC adalah tidak adanya indikasi yang tepat
untuk melakukan SC. Kontraindikasi SC antara lain: janin mati, syok,
anemia berat, kelainan kongenital berat, infeksi progenik pada dinding
abdomen, minimnya fasilitas SC. (6)
2.1.6 Komplikasi(7)
Sectio Caesaria merupakan operasi besar dengan banyak keuntungan
tetapi juga dengan banyak risiko yang mungkin terjadi pada ibu dan janin.
Komplikasi utama SC adalah kerusakan organ-organ seperti vesika urinaria
dan uterus saat dilangsungkannya operasi, komplikasi anestesi, perdarahan,
infeksi dan tromboemboli. Kematian ibu lebih besar jika dibandingkan
dengan persalinan pervaginam.
Takipneu sesaat pada bayi baru lahir lebih sering terjadi pada persalinan
SC dan kejadian-kejadian trauma persalinan juga tidak dapat disingkirkan.
Risiko jangka panjang yang dapat terjadi adalah terjadinya plasenta previa,
solusio plasenta akreta, dan ruptur uteri.
2.2 Perawatan Pasca Seksio Sesarea

2.2.1 Tujuan
Tujuan perawatan pasca operasi adalah pemulihan kesehatan fisiologi dan
psikologi wanita kembali normal. Periode post operatif meliputi waktu dari akhir
prosedur pada ruang operasi sampai pasien melanjutkan rutinitas normal dan gaya
hidupnya. (8)
Secara klasik, kelanjutan ini dibagi menjadi 3 fase yang tumpang tindik
pada status fungsional pasien. Aturan dan perhatian para ginekolog secara gradual
berkembang sejalan dengan pergerakan pasien dari satu fase ke fase lainnya. Fase
pertama, stabilisasi perioperatif, menggambarkan perhatian para ahli bedah
terhadap permulaan fungsi fisiologi normal, utamanya sistem respirasu,
kardiovaskular dan saraf. Pada pasien yang berumur lanjut, akan memiliki
komplikasi yang lebih banyak, dan prosedur pembedahan yang lebih kompleks,
serta periode waktu pemulihan yang lebih panjang.(8)
6

Periode ini meliputi pemulihan dari anastesia dan stabilisasi homeostasis,


dengan permulaan intake oral. Biasanya periode pemulihan 24-28 jam. Fase
kedua, pemulihan postoperative, biasanya berakhir 1-4 hari. Fase ini dapat terjadi
di rumah sakit dan di rumah. Selama masa ini, pasien akan mendapatkan diet
teratur, ambulasi dan perpindahan pengobatan nyeri dari parenteral ke oral.
Sebagian besar komplikasi tradisional postoperasi bersifat sementara pada masa
ini. Fase terakhir dikenal dengan istilah “kembali ke normal”, yang berlangsung
pada 1-6 minggu terakhir. Perawatan selama masa ini muncul secara primer dalam
keadaan rawat jalan. Selama fase ini, pasien secara gradual meningkatkan
kekuatan dan beralih dari masa sakit ke aktivitas normal. (8)

2.2.2 Pedoman Perawatan


Setelah postoperatif selesai, penderita tidak boleh ditinggalkan sampai ia
sadar. Harus dijaga supaya jalan napas tetap bebas. Periode postoperatif meliputi
waktu dari akhir prosedur pada ruang operasi sampai pasien melanjutkan rutinitas
normal dan gaya hidupnya. Penderita yang menjalani operasi kecuali operasi
kecil, keluar dari kamar operasi dengan infus intravena yang terdiri atas larutan
NaCl 0,9% atau glukosa 5% yang diberikan berganti-gantian menurut rencana
tertentu. Di kamar operasi atau sesudah keluar dari kamar operasi, jika perlu
diberi juga transfusi darah. Pada waktu operasi penderita kehilangan sejumlah
cairan, sehingga ia meninggalkan kamar operasi dengan defisit cairan. Oleh
karena itu, biasanya pasca operasi minum air dibatasi, sehingga perlu pengawasan
keseimbangan antara cairan yang masuk dengan infus dan cairan yang keluar.
Perlu dijaga jangan sampai terjadi dehidrasi, tetapi sebaliklnya juga jangan terjadi
kelebihan dengan akibat edema paru-paru. Untuk diketahui, air yang dikeluarkan
dari badan dihitung dalam 24 jam berupa air kencing dan cairan yang keluar
denga muntah harus ditambah dengan evaporasi dari kulit dan pernapasan. Dapat
diperkirakan bahwa dalam 24 jam sedikitnya 3 liter cairan harus dimasukkan
untuk mengganti cairan yang keluar.(9)
Sebagai akibat anestesi, penderita pasca operasi biasanya enek, kadang
sampai muntah. Ia tidak boleh minum, sampai rasa enek hilang sama sekali;
kemudian, ia boleh minum sedikit-sedikit, untuk lambat laun ditingkatkan. Dalam
7

24 jam sampai 48 jampascaoperasi, hendaknya diberi makan cair, sesudah itu,


apalagi jika sudah keluar flatus, dapat diberi makanan bergizi untuk lambat-laun
menjadi makanan biasa.(9)
Pada pascaoperasi peristaltik usus mengurang dan baru lambat laun pulih
kembali. Pada hari kedua pascaoperasi biasanya usus bergerak lagi; dengan gejala
mules, kadang-kadang disertai dengan perut kembung sedikit. Pengeluaran flatus
dapat dibantu dengan pemberian dosis kecil prostigmin, dengan teropong angin
dimasukkan ke dalam rektum dan kadang-kadang perlu diberikan klisma kecil
terdiri atas 150 cc campuran minyak dan gliserin. Pemberian antibiotik pada pasca
operasi tergantung dari jenis operasi yang dilakukan.(9)
Pasien dengan masalah kesehatan membutuhkan perawatan post operatif
dalam ICU untuk mendapatkan ventilasi jangka panjang dan monitoring sentral.
Ketika pasien diserahterimakan kepada perawat harus disertai dengan laporan
verbal mengenai kondisi pasien tersebut berupa kesimpulan operasi dan instruksi
pasca operatif. Instruksi pasca operatif harus sesuai dengan elemen berikut: (9)
1. Tanda-tanda vital
Evaluasi tekanan darah, nadi dan laju pernapasan dilakukan setuap 15-30
menit sampai pasien stabil kemudian setiap jam setelah itu paling tidak untuk
4-6 jam. Beberapa perubahan signifikan harus dilaporkan sesegera mungkin.
Pengukuran ini, termasuk temperatur oral, yang harus direkam 4 kali sehari
untuk rangkaian sisa pasca operatif. Anjurkan pernapasan dalam setiap jam
pada 12 jam pertama dan setiap 2-3 jam dalam 12 jam berikutnya.
Pemeriksaan spirometri dan pemeriksaan respirasi oleh terapis menjadi
pilihan terbaik, utamanya pada pasien yang berumur tua, obesitas atau
sebaliknya pada pasien lainnya yang bersedia atau yang tidak bisa berjalan.(9)
2. Perawatan luka
Fokus penanganan luka adalah mempercepat penyembuhan luka dan
meminimalkan komplikasi dan biaya perawatan. Fokus utama dalam
penanganan luka adalah dengan evakuasi semua hematoma dan seroma dan
mengobati infeksi yang menjadi penyebabnya. Perhatikan perdarahan yang
terlalu banyak (isnpeksi lapisan dinding abdomen atau perineal). Lakukan
pemeriksaan hematokrit sehari setelah pembedahan mayor dan jika
8

perdarahan berlanjut, diindikasikan untuk pemeriksaan ulang. Luka abdomen


harus diinspeksi setiap harinya. Umunya luka jahitan pada kulit dilepaskan 3-
5 hari post operasi dan digantikan dengan steril-strips. Idealnya, balutan luka
diganti setiap hari dan diganti menggunakan bahan hidrasi yang baik. Pada
luka yang nekrosis, digunakan balutan tipis untuk mengeringkan dan
mengikat jaringan sekitarnya ke balutan dalam setiap penggantian balutan.
Pembersihan yang sering harus dihindari karena hal tersebut menyebabkan
jaringan vital terganggu dan memperlambat penyembuhan luka.(9)
a. Pengertian
Suatu penanganan luka yang terdiri dari membersihkan luka, mengangkat
jahitan, menutup dan membalut luka sehingga dapat membantu proses
penyembuhan luka.(2)
b. Tujuan
- Mencegah terjadinya infeksi
- Mempercepat proses penyembuhan luka
- Meningkatkan kenyamanan fisik dan psikologis
c. Persiapan
1. Alat
a. Set perawatan luka dan angkat jahitan dalam bak instrument steril:
 Sarung tangan steril
 Pinset 4 (2 anatomis, 2 cirugis)
 Gunting hatting up
 Lidi waten
 Kom 2 buah
 Kasa steril
b. Plester
c. Gunting perban
d. Bengkok 2 buah
e. Larutan NaCl
f. Perlak dan alas
g. Betadin
h. Korentang
9

i. Alcohol 70%
j. Kapas bulat dan sarung tangan bersih
2. Lingkungan
a. Menutup tirai/jendela
b. Merapikan tempat tidur
3. Pelaksanaan
a. Mengatur posisi sesuai dengan kenyamanan pasien
b. Menjelaskan tujuan dan prosedur tindakan yang akan dilakukan
c. Inform consent
4. Prosedur Pelaksanaan
a. Jelaskan prosedur pada klien dengan menggambarkan langkah-
langkah perawatan luka
b. Dekatkan semua peralatan yang diperlukan
c. Letakkan bengkok dekat pasien
d. Tutup ruangan/tirai di sekitar tempat tidur
e. Bantu klien pada posisi nyaman
f. Cuci tangan secara menyeluruh
g. Pasang perlak dan alas
h. Gunakan sarung tangan bersih sekali pakai dan lepaskan plester.
Angkat balutan dengan pinset.
i. Lepaskan plester dengan melepaskan ujung dan menariknya dengan
perlahan, sejajar pada kulit dan mengarah pada balutan
j. Dengan sarung tangan/pindet, angkat balutan.
k. Bila balutan lengket pada luka, lepaskan dengan memberikan larutan
NaCl.
l. Observasi karakter dan jumlah drainase.
m. Buang bakutan kotor pada bengkok, lepaskan sarung tangan dan
buang pada bengkok yang berisi Clorin 5%
n. Buka bak instrument, siapkan betadin dan larutan NaCl pada kom,
siapkan plester, siapkan depress.
o. Kenakan sarung tangan steril.
10

p. Inspeksi luka, perhatikan kondisinya, letak drain, integritas jahitan dan


karakter drainase serta palpasi luka (kalau perlu)
q. Bersihkan luka dengan larutan NaCl dan betadin dengan
menggunakan pinset. Gunakan satu kasa untuk setiap kali usapan.
Bersihkan dari area yang kurang terkontaminasi ke area yang
terkontaminasi. Gunakan dalam tekanan progresif menjauh dari
insisi/tepi luka.
r. Gunakan kasa baru untuk mengeringkan luka/insisi. Usap dengan cara
seperti pada langkah diatas.
s. Melepaskan jahitan satu persatu selang seling dengan cara: menjepit
simpul jahitan dengan pinset cirugis dan ditarik sedikit ke atas
kemudian menggunting benang tepat dibawah simpul yang berdekatan
dengan kulit pada sisi lain yang tidak ada simpul.
t. Olesi luka dengan betadin.
u. Menutup luka dengan kasa steril.
v. Merapikan pasien.
w. Membersihkan alat-alat dan mengembalikan pada tempatnya.
x. Melepaskan sarung tangan.
y. Perawatan mencuci tangan.
5. Hal-hal yang perlu diperhatikan
a. Pegangkatan balutan dan pemasangan kembali balutan dapat
menyebabkan pasien terasa nyeri.
b. Cermat dalam menjaga kesterilan.
c. Mengangkat jahitan sampai bersih tidak ada yang ketinggalan.
d. Teknik pengangkatan jahitan di sesuaikan dengan tipe jahitan.
e. Peka terhadap privasi klien. (2)
11

BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama : Novie Anggraini


Tanggal Lahir/Umur : 14 November 1987/30 thn
Alamat : Aceh Besar
Agama : Islam
Suku : Aceh
CM : 1-07-44-74
Jaminan : JKN
Tanggal masuk : 17 April 2018

3.2 Anamnesis
Keluhan Utama : Gerakan janin berkurang
Riwayat Penyakit Sekarang:Pasien dating dengan kiriman Sp. OG dengan
keluhan gerakan janin berkurang. Pasien juga mengeluhkan mules-mules sejak
tadi pagi. Pasien mengaku hamil 9 bulan. HPHT: 22/7/2017, TTP: 29/4/18 ~38-39
minggu. Selama hamil pasien kontrol ke Sp. OG 5x dan USG terakhir di katakan
janin dalam keadaan baik. BAK dan BAB dalam batas normal.
Riwayat Penyakit Dahulu: Diabetes mellitus (-), hipertensi (-), asma(-), alergi(-).
Riwayat Penyakit Keluarga: Hipertensi (-), DM (-), Asma (-), Alergi (-)
Riwayat Pemakaian Obat :Tidak ada.
Riwayat Menarche : Usia 13 tahun, teratur, selama 6-7 hari, 2-3x ganti
pembalut,dismenorea (-).
Riwayat Pernikahan : Pernikahan 1 kali, saat berusia 25 tahun.
Riwayat Kehamilan dan Persalinan :
I. Perempuan, 4,5 thn, 2300 gr, SC a/i ketuban berkurang
II. Hamil saat ini
Riwayat ANC: Pasien rutin melakukan Antenatal Care, menurut keterangan
pasien pada kehamilan yang ini pasien ANC 5 kali ke SPOG.
Riwayat KB:Tidak ada
12

3.3 Pemeriksaan Fisik


3.3.1 Vital Sign
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 130/100 mmHg
Denyut nadi : 80 x/menit
Nafas : 20 x/menit
Suhu : 36,5 C
3.3.2 Status Generalisata
- Wajah : Simetris, edema (-), deformitas (-), pucat (-)
- Mata : Konjunctiva pucat (-/-), ikterik (-/-), sekret (-/-)
- Telinga/ Hidung/Mulut : Dalam batas normal
- Leher : Simetris, Pembesaran KGB (-)
- Thorax : Simetris, Vesikular (+/+), Rh (-/-), wheezing (-/-)
- Jantung : BJ I > BJ II , reguler (+), bising (-)
- Abdomen : Soepel, peristaltik (+), laserasi (-), nyeri tekan (-),
membesar sesuai usia kehamilan
- Ekstremitas :Edema (-/-), Sianosis (-/-), akral dingin (-/-)
3.3.3 Status Obstetri
Leopold I : TFU 31 cm, TBJ: 3100 gr
Leopold II : Punggung kanan, DJJ : x/menit, His : irreguler
Leopold III : Presentasi Kepala
Leopold IV : 5/5
I : v/u tenang
Io : Portio livide, OUE tertutup, Flour (-), Fluxus (+), Valsava (-)
VT : Posisi posterior, konsistensi kenyal, tebal 3 cm, Ǿ 0 cm, kepala
floating.
3.4 Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium (18 April 2018)

Pemeriksaan Laboratorium Hasil Nilai Normal

Darah Rutin
Hemoglobin 10,7 gr/dl 12-15 gr/dl
Hematokrit 32% 37-47 %
13

Leukosit 13,4mm3 4.500-10.500/mm3


Eritrosit 4,0 mm3 4,2-5,4 x 106/mm3
Trombosit 247 mm3
150.000-450.000/mm3
MCV 81 fL 80-100 fL
MCH 27 pg 27-31 pg
MCHC 33 % 32-36 %
RDW 14,6 % 11,5-14,5 %
MPV 10,4 fL 7,2-11,1 fL
Hitung Jenis
Eosinofil 2% 0-6 %
Basofil 1% 0-2 %
Netrofil Batang 0% 2-6%
Netrofil segmen 66% 50-70 %
Limfosit 23% 20-40 %
Monosit 8% 2-8 %
Imunoserologi
Hepatitis

HbsAg Negatif Negatif


Diabetes
Glukosa Darah Sewaktu
125mg/dL <200 mg/dL
Ginjal Hipertensi

Ureum 11mg/dL 13-43 mg/dL


Kreatinin
0,41mg/dL 0,51-0,95 mg/dL
Elektrolit Serum

Natrium 143nmo/L 132-146 nmo/L


Kalium 3,6nmo/L 3,7-5,4 nmo/L
Klorida 111nmo/L 98-106 nmo/L
Urinalisis
Makroskopik
Protein Negatif Negatif
Keton Negatif Negatif
14

2. Pemeriksaan CTG

Baseline 140 dpm, Variabilitas 5-15 dpm, Akselerasi1-3 kali, Deselerasi


tidak ada, His Tidak ada, Gerakan janin aktif.

Kesimpulan: CTG Kategori I


3.5 Diagnosa Kerja
G2P1 Hamil 38-39 minggu, Janin presentasi kepala tunggal hidup, BSC 1x
(IDT 4,5th), panggul sempit, inpartu.
3.6 Tatalaksana
 Inj. Ceftriaxone 2 gr/24 jam
 Drip metronidazole 500 mg/8 jam
 Inj. Ketorolac 1 amp/8 jam
 Kaltropen supp 3xII
 Inj. Ranitidine 1 amp/12 jam
 Sohobion 1x360 mg
 Mobilisasi bertahap
 Diet TKTP
 FC 1x24 jam
 Buka Benang hari ke 7 post op
 Drip oxytocin 20 IU dalam 500 mg RL habis dalam 16 jam
 Cek lab 2 jm post op
 Transfusi bila Hb<10 gr/dl
3.7 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanactionam : dubia ad bonam
15

BAB IV
ANALISA KASUS

Persalinan sectio caesaria (SC) merupakan persalinan buatan melalui


dinding rahim untuk mengeluarkan janin karena tidak dapat dilakukan persalinan
spontan. Diketahui bahwa rata-rata yang melakukan operasi SC adalah
masyarakat dengan ekonomi menengah ke atas dan dengan jenjang pendidikan
yang tinggi. Sectio caesaria merupakan suatu tindakan persalinan yang memilki
risiko lebih besar dibandingkan persalinan normal, sehingga harus dilakukan
sesuai indikasi. Indikasi pada pasien ini sehingga dilakukan SC adalah atas
indikasi panggul sempit. Pasien merupakan seorang multigravida dengan
persalinan sebelumnya juga dilakukan SC atas indikasi yang sama.
Terapi awal pada pasien ini adalah pemasangan iv line RL dengan
kecepatan 20 gtt per menit. Selama operasi berlangsung cairan RL yang habis ±
500 cc. hal ini sesuai dengan teori bahwa perawatan selama dan setelah tindakan
SC yang pertama adalah pemasangan intra venous (IV) line. Cairan yang biasa
digunakan adalah Ringer Laktat (RL) atau cairan kristaloid lainnya dengan
dextrosa 5 persen. Biasanya dibutuhkan dua sampai tiga liter cairan selama
operasi berlangsung. Normalnya, kehilangan darah saat SC tanpa adanya
komplikasi yaitu 1000 ml. (6)
Setelah operasi selesai pasien langsung diberikan analgetik, obat yang
digunakan yaitu kaltropen suppositoria untuk mengurangi rasa nyeri pasca operasi
dan juga misoprostol agar kontraksi uterus adekuat. Di ruang Recovery Room
kondisi pasien dipantau dan pasien ditransfer keruangan setelah kondisi stabil
(perdarahan terkontrol, tanda vital stabil dan pengeluaran urin yang adekuat).
Sesuai teori bahwa di ruang Recovery Room evaluasi ketat perdarahan melalui
vagina setelah SC dilakukan paling kurang selama 1 jam pertama. Penilaian
kontraksi uterus yang adekuat juga harus dilakukan dengan cara melakukan
palpasi fundus uteri. Pemberian analgetik melalui intravena juga dapat dilakukan
dan efektif untuk mengurangi rasa nyeri pasca operasi. Pasien dapat ditrasnfer ke
ruang rawat kebidanan jika perdarahan sudah minimal, tanda vital stabil, dan
pengeluaran urin yang adekuat.(6)
16

Di ruang rawat, pasien dilakukan observasi keadaan umum, tanda-tanda


vital, perdarahan selama 2 hari. Pasien juga dilakukan evaluasi darah laboratorium
2 jam setelah operasi, jika Hb <10 gr/dl dilakuakn transfusi, tetapi pada pasien ini
Hb 2 jam post operasi dalam batas ormal. Sesuai teori bahwa evaluasi yang
dilakukan di ruangan rawat yaitu tanda vital, tonus uterus, jumlah pengeluaran
urin, dan evaluasi perdarahan. Pemeriksaan jumlah hematokrit juga perlu
dilakukan beberapa jam setelah operasi. Tetapi pada keadaan kehilangan banyak
darah saat operasi, hipotensi, takikardi, oliguria, atau tanda hipovolemia,
pemeriksaan kadar hematokrit harus dilakukan segera. Jika kadar hematokrit
menurun dapat dilakukan transfusi darah. (6)

Foley kateter pada pasien dilepas setelah 24 jam, kateter ini berfungsi
untuk memantau pengeluaran urin karena efek anestesi spinal saat SC yaitu
gangguan eliminasi urin sehingga dapat menyebabkan retensi urin. Foley kateter
dapat dilepas setelah 12 jam pasca operasi atau satu hari setelah operasi.
Prevalensi terjadinya retensi urin setelah SC adalah 3-7%. Pada pasien tanpa
komplikasi, makanan padat dapat diberikan 8 jam pasca SC. Salah satu
komplikasi pasca sc pada bagian gastrointestinal adalah ileus dengan
gejaladistensi abdomen, kembung, dan sulit baung angin, jika terjadi ileus yang
berat dapat dilakukan dekompresi dengan menggunakan nasogastric tube
(NGT).(2)(10)
Mobilisasi bertahap dilakukan pada pasien ini, enam jam pasca operasi
pasien bergerak memiringkan badan kekiri dan kekanan, 24 jam pasca operasi
pasien sudah belajar untuk duduk dan , setelah dapat duduk psien dianjurkan
untuk belajar nerjalan. Salah satu risiko pasca SC adalah tromboembolisme.
Beberapa faktor risiko terjadinya tromboembolisme adalah usia>35 tahun,
obesitas, paritas>3 kali, SC emergency, infeksi, preeklampsia, deep vein
trombosis (DVT). Ambulasi merupakan salah satu cara untuk mengurangi risiko
tromboembolisme. Satu hari pasca SC, pasien harus dilatih berjalan dengan
bantuan asisten, pada hari kedua, pasien sudah harus dapat berjalan tanpa
bantuan.(6)
Pasien ini dilakukan penggantian perban pada hari ketiga pasca operasi.
Luka bekas insisi harus dievaluasi setiap hari, biasanya benang dapat dilepas pada
17

hari ke empat pasca SC, tetapi pada pasien dengan obesitas biasanya benang baru
dapat dibuka pada hari ke tujuh atau sepuluh pasca SC. Pasien dapat pulang pada
hari ketiga atau keempat pasca operasi jika tidak ada komplikasi. Aktivitas pada
minggu pertama harus dibatasi dan dibantu. (6)
18

BAB V
KESIMPULAN

Perawatan post SC merupakan tindakan yang sangat bermanfaaat, baik dilihat dari
segi kesehatan maupun segi kosmetiknya. Hal tersebut berguna untuk mencegah
terjadinya komplikasi pada ibu-ibu yang harus menjalani atau memilih operasi seksio
sesarea sebgai jalan untuk melahirkan bayi mereka. Untuk itu, dibutuhkan tenaga
medis professional yang mampu memahami dan menerapkan perawatan luka pasca
operai seksio sesarea dengan baik dan benar.
19

DAFTAR PUSTAKA

1. Cunningham FG. Williams Obstetry Section VII : Obstetrical Complication,


chapter 34 : Hypertensive Disorders in Pregnancy. 23rd ed. USA: Mc-Graw
Hill; 2010.
2. Winknjosastro. 2010. Buku Panduan Praktis Pelayanan
Kesehatan Maternal dan Neonatal, Edisi 1. Jakarta: Bina Pustaka
3. Reeder, SJ., Martin, L.L., dan Griffin, D.K. 2011. Keperawatan
Maternitas: Kesehatan Wanita, bayi, dan keluarga, edii 18.
Jakarta: EGC
4. Balitbang, Kemenkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar;
RISKESDAS. Jakarta: Balitbang Kesehatan RI
5. Rasjidi, Imam. 2009. Manual Seksio Sesarea dan Laparotomi
Kelainan Adneksa. Jakarta: CV Sagung Seto
6. Cunningham, FG., et all. 2013. Obstetri William. Jakarta: EGC
7. Wang, Bing Sun. 2010. Effect of Caesarean section on maternal
health in Low Risk Nulliparous Woman: a Prospective Matched
Cohort Study in Shanghai, China. BMC Journal
8. Pinar, Gul.et all. 2011. The Efficacy of Preoperative Instruction in
Reducing Anxiety Following Gyneoncological Surgery: A case
control study. BMC Journal
9. Nelson G, Altman AD, Nick A, Meyer LA, Ramirez PT, Achtari
C, Antrobus J, Huang J, Scott M, Wijk L, Acheson N. Guidelines
for pre-and intra-operative care in gynecologic/oncology surgery:
Enhanced Recovery After Surgery (ERAS) Society
Recommendation-Part 1. Gynecologic oncology. 2016 Feb
1;140(2):313-22
10.Wulaningsih I, Ratinah S. Pengaruh Bladder Training Terhadap
Kemampuan Ibu Postpartum SC Dalam Berkemih di RSUD Kajen
20

Kab. Pekalongan. Jurnal SMART Keperawatan Sekolah Tinggi


Ilmu Kesehatan Karya Husada Semarang. 2017. Vol: 4, hal 50

Anda mungkin juga menyukai