Anda di halaman 1dari 6

Aspek etika dan Medikolegal “Pemisahan Bayi Kembar Siam”

1 2 3 4
Taufik Suryadi , Azmi , Usnatun Hasanah , Rauzah Munziah
1
Bagian Ilmu Forensik dan Medikolegal Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Indonesia
2,3,4
Dokter Muda Ilmu Forensik dan Medikolegal Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh,
Indonesia
Email: 1abiforensa@yahoo.com, 2 azmiazmi37@gmail.com, 3
unaaalkhalidi@yahoo.com ,
4
rauzahmunziah@gmail.com

Abstrak
Kembar siam muncul karena ada anomali dari perkembangan embrio saat di dalam kandungan. Keadaan
dimana proses pemisahan terhambat dan tidak seluruh bagian dari embrio terpisah maka akan terbentuk
kembar siam. Insidensi kembar siam secara umum berkisar antara 1:50.000-200.000 kelahiran. Kembar
siam dengan jenis kelamin perempuan adalah yang paling sering, perbandingannya dengan jenis kelamin
laki-laki adalah 4:1. Bayi dengan kembar siam akan menemukan banyak permasalahan kedepannya.
Dengan perkembangan dibidang medis yang semakin maju, keberhasilan teknik operasi untuk pemisahan,
perkiraan survival rate dari kedua bayi kembar siam membuat orangtua dan pihak dokter kesulitan dalam
mengambil keputusan dari segi etika.

Kata Kunci : kembar siam, etika, pemisahan

Abstact
Conjoined twins appear because there is an anomaly of embryonic development intauterine. This
condition occur in which the separation process is inhibited and not all parts of the embryo are separated.
The incidence of conjoined twins in general ranges from 1: 50.000-200.000 births. The conjoined twins at
female sex are the most frequent, the comparison with male and female is 4: 1. Babies with conjoined
twins will find many problems going forward. With progress in the medical field, the success of surgical
techniques for separation, the estimated survival rate of both conjoined twins makes it difficult for parents
and doctors to make ethical decisions.

Key word : conjoined twins, ethical,separated


I. Pendahuluan
Kembar siam adalah kembar identik dengan jenis kelamin yang sama, berkembang dari satu
buah ovum yang terfertilisasi. Insidensi kembar siam secara umum berkisar antara 1:50.000-
200.000 kelahiran. Kembar siam dengan jenis kelamin perempuan adalah yang paling sering,
perbandingannya dengan jenis kelamin laki-laki adalah 4:1. Pemisahan bayi kembar siam
pertamakali berhasil dilakukan di Swiss pada tahun 1689. Terminologi kata ‘kembar siam’ mulai
dipakai ketika Eng dan Chang lahir di Siam pada tahun 1811. Sejauh ini belum ada catatan
populasi insidensi kembar siam di Indonesia.1
Kembar siam muncul karena ada anomali dari perkembangan embrio saat di dalam
kandungan. Pada keadaan dimana embrio yang berasal dari satu sperma dan satu ovum dapat
melakukan pemisahan dengan cepat dan sempurna maka akan terbentuk bayi kembar identik.
Namun sewaktu-waktu ada keadaan dimana proses pemisahan terhambat dan tidak seluruh
bagian dari embrio terpisah maka akan terbentuk kembar siam.2
Kembar siam terdiri dari delapan tipe: omphalopagus, thoracopagus, cephalopagus,
ischiopagus, parapagus, craniopagus, rachipagus dan pyopagus. Thoracopagus adalah yang
paling sering (40%) diikuti oleh omphalopagus (32%), pyopagus (19%), ischiopagus (6%) dan
craniopagus (2%). Bayi dengan kembar siam akan menemukan banyak permasalahan
kedepannya. Dengan perkembangan dibidang medis yang semakin maju, keberhasilan teknik
operasi untuk pemisahan, perkiraan survival rate dari kedua bayi kembar siam membuat
orangtua dan pihak dokter kesulitan dalam mengambil keputusan dari segi etik.1
Dalam melakukan operasi pemisahan ada beberapa tujuan: Memisahkan kembar menjadi
dua individu dengan kondisi tanpa berbagi organ, atau memisahkan kembar dengan
mengorbankan salah satu individu. Kondisi yang kedua adalah situasi yang paling sulit untuk
memutuskan dari segi medis dan moral dari sudut pandang bioetik.3

II. Pembahasan
Dalam kasus ini aspek etika yang dipertimbangkan oleh pihak medis adalah: apakah bayi
kembar siam dapat dianggap sebagai dua individu yang sah secara hokum, walaupun salah satu
dari kembar siam terlihat hanya sebagai parasite tanpa organ yang utuh untuk bertahan hidup.
Situasinya akan terlihat lebih mudah jika salah satu dari kembar siam dalam kondisi yang lebih
buruk dari yang satunya atau bahkan sudah mati oleh sebab yang tidak diketahui daripada
kondisi dimana salah satu kembar sengaja dikorbankan untuk menyelamatkan hidup yang
satunya. Dari segi medis keputusan untuk memisahkan kembar siam akan lebih mudah karena
salah satu individu kondisinya lebih buruk baik dari segi fisik atau mental. Bahkan beberapa
organ yang awalnya harus berbagi dapat dialihkan ke kembar yang normal untuk tujuan bertahan
hidup yang lebih baik. Ketika kita berbicara tentang tatalaksana kembar siam, ada aspek yang
harus diperhatikan antara lain, anatomi individunya, kualitas hidup, risiko yang diambil oleh
dokter untuk keuntungan pasien.3
Pada tahun 2000 ada sebuah kasus biomedis yang sangat kompleks yang terjadi di rumah
sakit St. Mary’s di Manchester yaitu pemisahan bayi kembar siam yang bernama Marry dan
Jodie. Secara medis kondisi bayi kembar siam ini sangatlah berat dimana tulang pinggul mereka
menempel beserta seluruh bagian bawah tubuh menyambung.. Jodie tampak dalam keadaan fisik
yang normal, tetapi jantung dan paru-parunya mendapat beban berat, karena harus menyediakan
darah beroksigen juga untuk saudaranya, Menurut para dokter keadaan ini hanya bisa
berlangsung tiga sampai enam bulan. Kalau keadaan ini dibiarkan lama, dua-duanya akan
meninggal dunia.4
Dalam kasus kembar siam tersebut ada beberapa dilemma yang muncul:

 Apakah kembar yang tidak memiliki jantung, paru sendiri bisa dianggap seorang
individu yang sah secara hokum?

Menurut hukum di Amerika, kembar siam dianggap dua inidividu jika memiliki masing-
masing satu kepala dan bagian tubuh yang terpisah. Sebagai contoh, untuk kasus kembar siam
dengan tipe ischyopagus (yang menyatu hanya bagian pelvik saja), baik dokter dan orang tua
menganggap hal yang paling penting adalah terdapat dua otak yang terpisah yang berkerja secara
sendiri-sendiri.3

 Apakah pemisahan kembar siam yang berisiko kematian tinggi dianggap sebagai
suatu pembunuhan? Dan apakah keputusan medis untuk merengut satu nyawa demi
menyelamatkan nyawa yang lain dapat dibenarkan?

Dalam kasus kembar siam dimana sudah sah bahwa kembar tersebut adalah dua organisme
yang berbeda, manajemen dalam segi medis ,dalam hal ini adalah operasi pemisahan lebih sulit
dalam mengambil keputusan daripada kembar siam yang mana kembar yang satunya hanya
dianggap sebagai parasite atau organ lain yang berkembang. Jika kembar siam dianggap dua
organisme berbeda, prinsip ‘double effect’ adalah konsep yang amat penting dalam mengambil
keputusan operasi. Prinisip ‘double effect’ ini dapat digunakan untuk membenarkan efek
samping yang merugikan dari tindakan medis selama tindakan tersebut adalah suatu efek
samping bukan merupakan tujuan langsung dari tindakan. Dalam moral teologi ada empat
kondisi yang dapat diterapkan prinsip ‘double effect’:5
1. Tindakan itu sendiri merupakan perbuatan moral yang baik atau minimal netral.
2. Pelaku dari tindakan tersebut tidak menginginkan atau secara sengaja menyebabkan efek
negatif yang timbul. Jika sesuatu yang baik dapat dicapai tanpa menimbulkan efek negatif,
maka cara tersebut yang harus diambil.
3. Efek yang baik harus terjadi dari tindakan yang diambil dan bukan dari efek negatif yang
terjadi.
4. Harus ada alasan yang begitu kuat secara proposional untuk mengijinkan efek negatif
terjadi. Di sini diperlukan kebijaksanaan untuk memutuskan suatu tindakan, sehingga efek
yang baik adalah lebih besar dari efek negatif.

 Apakah orang tua yang membiarkan kembar siam tidak dioperasi dan membiarkan
mereka mati dikemudian hari dapat dituduh sebagai pembunuhan? Siapa yang harus
membuat keputusan untuk operasi pemisahan kembar siam? Dan atas dasar apa
seseorang tersebut harus mengambil keputusan?

Andai kasus ini adalah kasus dewasa, relatif mudah unutuk memahami keputusan tindakan-
tindakan pembedahan yang diambil guna menyelamatkan nyawa. Namun dalam kasus bayi baru
lahir atau anak-anak aspek ini dapat berbeda. Bagi masyarakat barat, orang tualah yang berhak
menentukan keputusan. Bagi masyarakat timur, keluargalah yang utama sebagai pengambil
keputusan bahkan dibeberapa keadaan keputusan keluarga lebih penting dari pada keputusan
pasien itu sendiri. Bagi masyarakat transisi, terjadi pergeseran dari model paternistik menjadi
wewenang dokter dalam mengambil keputusan medis. Seperti halnya di Roma, yang merupakan
masyarakat transisi nilai-nilai ini tidak begitu jelas, pasien ingin menyampaikan keinginan
autonominya namun mereka tidak berani untuk mengambil keputusan (mereka masih memegang
paradigm, ‘dokter tau yang terbaik untuk mereka’), dan dokter masih mau membagi tanggung
jawab tersebut dengan pasien.3
Kembali pada kasus Marry dan Jodie, tentunya menimbulkan banyak dilema dari berbagai
pihak baik orang tua, dokter dan hakim yang sangat sulit mengambil keputusan, tetapi akibat
terburuknya adalah jika Marry dan Jodie tidak dipisahkan mereka akan meninggal bersama-
sama. Jika mereka dipisahkan melalui operasi, Marry pasti akan mati, karena ia tidak bisa
bernafas sendiri, sedangkan Jodie mempunyai peluang baik untuk hidup dengan agak normal,
walaupun dalam keadaan cacat dan harus menjalani banyak operasi lagi untuk sedikit demi
sedikit memulihkan kembali kondisi fisiknya.4
Dari pihak dokter yang menanganinya, aspek moral dan etika terhadap kasus ini berkaitan
dengan tanggung jawab moral profesi kedokteran tercantum dalam sumpah kedokteran yang
dimulai dengan sifat humaniter/perikemanusiaan. Dalam sumpah kedokteran Indonesia terlihat
pada Ayat 1 bahwa “Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan.“,
dan ayat 7 menurut sumpah kedokteran indonesia bahwa “Saya akan menghormati setiap hidup
insani mulai dari saat pembuahan.“ Dan ayat 8 bahwa “Saya akan senantiasa mengutamakan
kesehatan penderita.“ Dalam sumpah kedokteran baik di Indonesia maupun di luar Indonesia
memegang prosfesi seorang dokter berarti memegang sumpah bahwa sisi kemanusiaan dari
manusia harus dihormati dan di utamakan. Peran dokter dalam kasus ini tentu perlu untuk
diperhatikan sebab dokterlah yang akan melaksanakan operasi permisahan bayi kembar siam,
serta memberikan informasi lebih lanjut tentang kondisi fisik maupun mental dari sang bayi.
“Informasi yang diberikan oleh dokter adalah bahwa jantung dan paru-paru dari Mary tidak
berfungsi, serta otaknya juga tidak berkembang penuh. Jodie nampaknya dalam keadaan fisik
yang normal, namun ia mendapat beban berat, sebab ia harus berbagi jantung dan paru-paru
kepada saudaranya. Sehingga menurut para dokter keadaan ini hanya bisa berlangsung tiga
sampai enam bulan. Kalau keduanya dibiarkan lebih lama, maka dua-duanya akan meninggal.“
Namun, masih ada harapan untuk hidup bagi salah satu dari bayi kembar siam, yakni Jodie
mempunyai peluang untuk hidup agak normal, walaupun dalam keadaan cacat dan harus
menjalani banyak operasi lagi untuk sedikit demi sedikit membetulkan kondisi fisiknya. Nasib
buruk pun dialami oleh Mary, sebab ia harus menerima kenyataan bahwa akan meninggal ketika
dipisahkan.4
III. Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa hasil dari tindakan medis untuk memisahkan kembar siam tidak
akan pernah mencapai hasil yang memuaskan selama pihak orang tua dan dokter tidak
integrative dalam mengambil keputusan medis.

Daftar Pustaka
1. Roohadi, Parapagus Dicephalus Conjoined Twins and Evaluation Of Ischiopagus Tetrapus
Conjoined Twins in Indonesia: A Case Report, J Med Sci. 2013, Vol 45: page146-150.
2. Savulescu J, Conjoined Twin: Philosophical Problem and Ethical Challenges. Journal of
Medicine and Philosophy. 2016, vol 41: page 41-55.
3. Aprodu G, Gavrilovici C, Hanganu E. The Separation of Conjoined Twins – Ethical
Dilemmas. Romanian Journal of Bioethics. 2009, vol 7.
4. K. Bertens, Sketsa-Sketsa Moral, 50 Esai tentang Masalah Aktual, Yogyakarta, Kanisius,
2004, page. 85-86.
5. Wenkel DH. Separation of Conjoined Twins and the Principle of Double Effect. Chistian
Bioethics. 2006, vol 12: page 291-300.

Anda mungkin juga menyukai