Anda di halaman 1dari 22

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ALKHAIRAAT
PALU
REFERAT
Oktober 2017

MORBILI PADA KEHAMILAN

Disusun Oleh :

Andi Muh. Wahyoeri Saputra, S. Ked

Pembimbing :
dr.Sari Handayani, M.Kes, Sp.KK

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS KEPANITERAAN KLINIK PADA


BAGIAN ILMU KESEHATAN
KULIT DAN KELAMIN

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ALKHAIRAAT
PALU
2017
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa:


Nama : Andi Muh. Wahyoeri Saputra
Fakultas : Kedokteran
Program Studi : Pendidikan Dokter
Universitas : Alkhairaat
Judul Referat : Morbili Pada Kehamilan
Bagian : Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin

Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


RSU Anutapura Palu
Program Studi Pendidikan Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Alkhairaat

Palu, Oktober 2017

Pembimbing Dokter Muda

Dr.Sari Handayani, M.kes, Sp.KK Andi. Muh. Wahyoeri Saputra

Mengetahui KPM

Dr. Nur Rahma, M.kes, Sp.KK

2
BAB I

PENDAHULUAN

Campak atau morbili merupakan infeksi virus akut yang disebabkan oleh virus yang
tergolong dalam famili Paramyxovirus dan genus Morbilivirus. Morbili saat ini masih mejadi
salah satu penyebab kematian tertinggi pada negara berkembang, angka kejadian morbili
dapat meningkat akibat infeksi yang terjadi selama musim dingin dan musim semi. Nama lain
penyakit ini adalah campak, measles, dan rubeola.
Morbili ditandai dengan 3 stadium, yaitu :
1. Stadium prodormal (kataral)
2. Stadium eksantem
3. Stadium konvalesen (penyembuhan)
Morbili adalah penyakit menular yang berpotensi menjadi penyakit berat pada bayi,
ibu hamil, dan orang dengan penurunan sistem imun. morbili dapat dicegah dengan program
vaksinasi. Komplikasi morbili hampir mengenai semua sistem organ. Pneumonia dan
ensefalitis adalah penyebab umum kematian. Tingkat komplikasi lebih tinggi pada anak usia
kurang dari 5 tahun dan lebih dari 20 tahun. Peningkatan komplikasi terjadi karena penurunan
kekebalan tubuh, kekurangan gizi, kekurangan vitamin A, dan tidak ada vaksinasi morbili
sebelumnya.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI
Morbili adalah penyakit infeksi virus menular yang dapat ditularkan melalui kontak
dengan penderita yang terinfeksi baik secara batuk dan atau droplet, dengan gejala-gejala
eksantem akut, demam, inflamasi mukosa dan saluran napas, yang diikuti erupsi
makulopapular berwarna merah dan diakhiri dengan deskuamasi kulit yang dapat
menginfeksi anak dan dewasa. Morbili adalah penyakit menular yang ditandai dengan 3
stadium, yaitu stadium prodormal (kataral), stadium eksantem, dan stadium konvalesen yang
bermanifestasi dengan demam, konjungtivitis dan bercak koplik. Umur terbanyak penderita
morbili adalah < 12 bulan, diikuti kelompok umur 1-4 dan 5-14 tahun. Nama lain penyakit ini
adalah campak, measles, dan rubeola.1,2,3,4

II. EPIDEMIOLOGI
Morbili adalah penyakit menular yang berpotensi menjadi penyakit berat pada bayi,
ibu hamil, dan orang dengan penurunan sistem imun. Dibeberapa negara angka kejadian
morbili dapat meningkat akibat infeksi yang terjadi selama musim dingin dan musim semi.
Beberapa tahun terakhir telah menunjukkan peningkatan cakupan imunisasi dengan vaksinasi
virus morbili yang dilemahkan, jadwal vaksinasi sebanyak dua kali, dan tindakan preventif
terhadap morbili telah menurunkan angka kematian global, dilaporkan dari tahun 2000
hingga 2008, angka kematian akibat morbili mengalami penurunan sebanyak 78%, dari
733.000 jumlah kasus yang dilaporkan menjadi 164,000. Mayoritas dari jumlah kematian
karena morbili terjadi di Afrika dan Asia akibat terhambatnya program imunisasi dan
kurangnya pelayanan kesehatan yang memadai.1,5.6
Wabah dapat terjadi pada kelompok anak yang rentan terhadap morbili, yaitu di
daerah dengan populasi balita banyak mengidap gizi buruk dan daya tahan tubuh yang lemah4

III. ETIOPATEGENESIS
Virus Morbili adalah virus RNA dari genus Morbillivirus termasuk golongan
Paramyxovirus berbentuk bulat dengan tepi yang kasar dan bergaris tengah 140 nm,
dibungkus oleh selubung luar yang terdiri dari lemak dan protein (lipoprotein)1.

4
Gambar Struktur virus morbili.7

Virus morbili adalah organisme yang tidak dapat bertahan di luar tubuh manusia. Pada
temperatur kamar ia akan kehilangan 60% sifat infektivitasnya setelah 3-5 hari, pada suhu
37°C waktu paruh usianya 2 jam, sedangkan pada suhu 56°C hanya satu jam. Sebaliknya
virus ini mampu berahan dalam keadaan dingin, pada suhu -70°C dengan media protein ia
dapat hidup selama 5,5 tahun, sedangkan dalam lemari pendingin dengan suhu 4-6°C, dapat
hidup selama 5 bulan. Tetapi bila tanpa media protein, virus ini hanya mampu bertahan
selama 2 minggu, dan dapat dengan mudah dihancurkan oleh sinar ultraviolet.4
Cara penularan penyakit dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu penularan secara
vertikal dan penularan secara horizontal. Penularan secara vertikal yaitu penularan yang
terjadi dari ibu ke bayi melalui plasenta saat bayi berada dalam kandungan atau menular ke
bayi yang baru lahir pada saat proses kelahiran normal. Sedangkan penularan secara
horizontal yaitu penularan yang terjadi karena individu sehat berkontak langsung dengan
individu yang terinfeksi oleh suatu penyakit menular. Kontak langsung dapat melalui udara,
batuk, bersin, makanan, minuman, dan bahkan kotoran individu yang mengandung virus
penyakit menular
Pada morbilli dapat terjadi penularan secara droplet melalui udara, kontak langsung,
melalui sekret hidung atau tenggorokan dari orang yang terinfeksi. Masa penularan
berlangsung mulai dari hari pertama sebelum munculnya gejala prodormal biasanya sekitar 4
hari sebelum timbulnya ruam, minimal hari kedua setelah timbulnya ruam. Virus morbili
menempel dan berkembang biak pada epitel nasofaring. Tiga hari setelah invasi, replikasi dan
kolonisasi berlanjut pada kelenjar limfe regional dan terjadi viremia primer. Di sini virus
5
memperbanyak diri dengan sangat perlahan dan dimulailah penyebaran ke sel jaringan
Limforetikular seperti limpa. Sel mononuklear yang terinfeksi menyebabkan terbentuknya sel
raksasa berinti banyak (sel Warthin), sedangkan limfosit-T (termasuk T-supressor dan T-
helper) yang rentan terhadap infeksi turut aktif membelah.
Virus menyebar pada semua sistem retikuloendotelial dan menyusul viremia sekunder
setelah 5-7 hari dari infeksi awal yang ekstensif dan menyebabkan terjadinya infeksi secara
generalisata, kulit, konjungtiva, dan saluran nafas adalah lokasi infeksi yang nyata, tetapi
organ lainnya seperti kandung kemih, dan usus juga dapat terinfeksi. Adanya giant cells dan
proses peradangan merupakan dasar patologik ruam dan infiltrat peribronkial paru. Juga
terdapat udema, bendungan dan perdarahan yang tersebar pada otak. Kolonisasi dan
penyebaran pada epitel dan kulit menyebabkan batuk, pilek, mata merah (3C : coryza, cough
and conjuctivitis) dan demam yang makin lama makin tinggi. Gejala panas, batuk, pilek
makin lama makin berat dan pada hari ke 10 sejak awal infeksi (pada hari penderita kontak
dengan sumber infeksi) mulai timbul ruam makulopapuler warna kemerahan.Virus dapat
berbiak juga pada susunan saraf pusat dan menimbulkan gejala klinik ensefalitis. Setelah
masa konvelesen, hipervaskularisasi mereda dan menyebabkan ruam menjadi makin gelap,
berubah menjadi deskuamasi dan hiperpigmentasi. Proses ini disebabkan karena pada
awalnya terdapat perdarahan perivaskuler dan infiltrasi limfosit.2,8,9
Pada hari ke-9-10, fokus infeksi yang berada di epitel saluran nafas dan konjungtiva,
akan menyebabkan timbulnya nekrosis pada satu sampai dua lapis sel. Pada saat itu virus
dalam jumlah banyak masuk kembali ke pembuluh darah dan menimbulkan manifestasi klinis
dari system saluran nafas diawali dengan dengan keluhan batuk pilek disertai selaput
konjungtiva yang tampak merah. Respon imun yang terjadi ialah proses peradangan epitel
pada system saluran pernapasan diikuti dengan manifestasi klinis berupa demam tinggi, anak
tampak sakit berat dan tampak suatu ulsera kecil pada mukosa pipi yang disebut bercak
Koplik, yang dapat tanda pasti untuk menegakkan diagnosis.2,8,9
Selanjutnya daya tahan tubuh menurun. Sebagai akibat respons delayed
hypersensitivity terhadap antigen virus, muncul ruam makulopapular pada hari ke-14 sesudah
awal infeksi dan pada saat itu antibody humoral dapat dideteksi pada kulit. Kejadian ini tidak
tampak pada kasus yang mengalami defisit sel-T.10
Dari hari ke-11 hingga 14 infeksi, kandungan virus dalam darah, saluran nafas, dan
organ lain mencapai puncaknya dan kemudian titer virus akan menurun menurun secara cepat

6
dalam waktu 2 hingga 3 hari. Selama proses infeksi, virus morbili akan bereplikasi di dalam
sel endotel, sel epitel, monosit, dan makrofag.9,10
Daerah epitel yang nekrotik di nasofaring dan saluran pernafasan memberikan
kesempatan serangan infeksi bakteri sekunder berupa bronkopneumonia, otitis media, dan
lainnya. Dalam keadaan tertentu, adenovirus dan herpes virus pneumonia dapat terjadi pada
kasus morbili.2,8,9

Gambar 1. Evolusi tanda dan gejala pada morbili.6

IV. MANIFESTASI KLINIS


Gejala klinis morbili muncul setelah masa inkubasi, sekitar 10 hari setelah infeksi
akan muncul demam yang biasanya tinggi, diikuti dengan coriza/pilek, batuk dan peradangan
pada mata. Gejala morbili dikategorikan dalam tiga stadium:
Masa inkubasi morbili berlangsung kira-kira 12-14 hari. Walaupun pada masa ini
terjadi viremia dan reaksi imunologi yang ekstensif, penderita tidak menampakkan gejala
sakit.
a. Stadium Prodromal
Manifestasi klinis morbili biasanya baru mulai tampak pada stadium prodromal yang
berlangsung selama 2 hingga 5 hari. Gejala utama yang muncul adalah demam yang terus
meningkat hingga mencapai puncaknya suhu 39,4 - 40,6°C pada hari ke 4 atau 5 yaitu pada
saat ruam muncul. Selain itu biasanya terdapat batuk, pilek dan konjungtivitis. Inflamasi
konjungtiva dan fotofobia dapat menjadi petunjuk sebelum munculnya bercak Koplik. Garis
melintang kemerahan yang terdapat pada konjungtuva dapat menjadi penunjang diagnosis
pada stadium prodromal. Garis tersebut akan menghilang bila seluruh bagian konjungtiva
telah terkena radang
Koplik spot yang merupakan tanda patognomonik untuk morbili muncul pada hari ke-
10 infeksi. Koplik spot adalah suatu bintik putih keabuan sebesar butiran pasir dengan areola
tipis berwarna kemerahan dan biasanya bersifat hemoragik. Tersering ditemukan pada
mukosa bukal di depan gigi geraham bawah tetapi dapat juga ditemukan pada bagian lain dari
rongga mulut seperti palatum, juga di bagian tengah bibir bawah dan karunkula lakrimalis.
Muncul 1-2 hari sebelum timbulnya ruam dan menghilang dengan cepat yaitu sekitar 12-18

7
jam kemudian. Pada akhir masa prodromal, dinding posterior faring biasanya menjadi
hiperemis dan penderita akan mengeluhkan nyeri tenggorokkan. 4,8,11

Gambar 2. Koplik spot pada morbili berupa papul berwarna merah pada mukosa buccal 3

b. Stadium Eksantem
Pada morbili yang tipikal, ruam akan muncul sekitar hari ke-14 infeksi yaitu pada saat
stadium erupsi. Ruam muncul pada saat puncak gejala gangguan pernafasan dan saat suhu
berkisar 39,5˚C. Ruam pertama kali muncul sebagai makula yang tidak terlalu tampak jelas di
lateral atas leher, belakang telinga, dan garis batas rambut. Kemudian ruam menjadi
makulopapular dan menyebar ke seluruh wajah, leher, lengan atas dan dada bagian atas pada
24 jam pertama. Kemudian ruam akan menjalar ke punggung, abdomen, seluruh tangan, paha
dan terakhir kaki, yaitu sekitar hari ke-2 atau 3 munculnya ruam. 4,8,11

a b
Gambar3.(a) Gambaran klasik eksantem morbiliform dengan papul berwarna merah yang menyebar
dari kepala dan postauricular hingga ke bagian leher, badan dan kemudian lengan (b) gambaran morbiliform
erupsi pada anak. 1,3

c. Stadium Konvalesen

8
Saat ruam muncul di kaki, ruam pada wajah akan menghilang diikuti oleh bagian
tubuh lainnya sesuai dengan urutan munculnya. Saat awal ruam muncul akan tampak
berwarna kemerahan yang akan tampak memutih dengan penekanan. Saat ruam mulai
menghilang akan tampak berwarna kecokelatan yang tidak memudar bila ditekan. Seiring
dengan masa penyembuhan maka muncullah deskuamasi kecoklatan pada area konfluensi.
Beratnya penyakit berbanding lurus dengan gambaran ruam yang muncul. Pada infeksi
morbili yang berat, ruam dapat muncul hingga menutupi seluruh bagian kulit, termasuk
telapak tangan dan kaki. Wajah penderita juga menjadi bengkak sehingga sulit dikenali.4,8,11

V. DIAGNOSIS
Diagnosis morbili biasanya dapat dibuat dengan berdasarkan kelompok gejala klinis
yang sangat berkaitan, yaitu koriza dan mata meradang disertai batuk dan demam tinggi
dalam beberapa hari diikuti timbulnya ruam yang memiliki ciri khas, yaitu diawali dari
belakang telinga kemudian menyebar ke muka, dada, tubuh, lengan dan kaki dalam waktu 3
hari atau lebih bersamaan dengan meningkatnya suhu tubuh (demam 38,3 °C (101°F) dan
selanjutnya mengalami hiperpigmentasi dan mengelupas. Pada stadium prodromal dapat
ditemukan eksantema di mukosa pipi yang merupakan tanda patognomonis morbili (bercak
Koplik).4,8
Tetapi gejala klinis pada penyakit morbili sering mengalami modifikasi misalnya
penyakit morbili dapat timbul tanpa disertai demam dan tanpa timbul ruam-ruam pada kulit.
Hal seperti ini sering terjadi pada anak atau bayi yang sangat muda, penderita dengan
immunokompresi, anak dengan malnutrisi atau bisa pada anak yang sebelumnya telah
mendapat imunisasi morbili. Karena banyak penderita menunjukkan gejala yang tidak jelas,
maka untuk mendiagnosis perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium.:
1. Pemeriksaan darah rutin
Biasanya ditemukan leukopenia.
2. Deteksi virus
a. Virus morbili dapat ditemukan pada sel mononuclear darah tepi, sekresi saluran nafas,
usapan konjugtiva dan dalam urin. Tetapi virus morbili sangat sulit ditemukan,
sehingga pemeriksaan untuk menemukan virus jarang digunakan untuk menegakkan
diagnosis penyakit morbili.
b. Sel epitel yang berasal dari nasofaring, mukosa bukalis, konjungtiva atau urin dapat
digunakan untuk pemeriksaan sitologi secara langsung untuk melihat sel raksasa dan

9
mendeteksi antigen dengan menggunakan antibodi terhadap protein N virus. Protein
ini paling banyak ditemukan pada sel yang terinfeksi.
c. Pemeriksaan jaringan langsung pada penderita dengan immunocompromised karena
respon antibodinya tidak terbentuk.
d. RNA virus dapat dideteksi dengan reverse transcription dan diamplifikasi memakai
PCR, teknik ini belum digunakan secara luas untuk menegakkan diagnosis.
3. Mendeteksi antibodi
Diagnosis penyakit morbili paling sering ditegakkan dengan pemeriksaan serologi.
Menggunakan sampel saliva atau serum. Antibodi IgM muncul bersamaan dengan munculnya
ruam pada kulit dan sebagian besar dideteksi 3 hari sesudah munculnya ruam. Antibodi IgM
meningkat cepat dan kemudian menurun hingga tidak dapat dideteksi setelah 4-12 minggu.
IgG sebaiknya diperiksa pada sampel yang sama untuk mengetahui apakah sudah pernah
terinfeksi atau sudah pernah mendapat imunisasi.10

Saat pengambilan serum yang tepat untuk dilakukan pemeriksaan laboratorium


adalah:
a. Usapan tenggorokan dan saliva diambil dalam 6 minggu sesudah munculnya gejala
untuk pemeriksaan antibodi IgM spesifik morbili dan mendeteksi RNA virus.
b. Sampel darah diambil dalam 6 minggu sesudah munculnya gejala untuk mendeteksi
antibodi IgM spesifik virus dan RNA virus
c. Sampel darah umumnya diambil pada fase akut (1-7 hari setelah munculnya rum pada
kulit) dan pada fase konvalesen untuk mendeteksi antibodi IgG spesifik morbili.
Positif jika terjadi kenaikan titer antara fase akut dan konvalesen 4 kali lipat.11,12

VI. DIAGNOSIS BANDING


1. Rubella
Rubella (German measles) merupakan suatu penyakit virus yang umumnya pada naka
dan dewasa muda, yang ditandai oleh suatu masa prodromal yang pendek, pembesaran
kelenjar getah bening servikal, suboksipital dan postaurikular, disertai erupsi yang
berlangsung 2-3 hari. Pada anak yang lebih besar dan orang dewasa dapat disertai kelainan
sendi dan purpura. Tubella pada kehamilan mudadapat mengakibatkan abortus, bayi lahir
mati, dan menimbulkan kelainan kongenital yang berat pada janin

10
Penularan terjadi melalui oral droplet, dari nasofaring, atau rute pernafasan.
Selanjutnya virus rubella memasuki aliran darah. Namun terjadinya erupsi di kulit belum
diketahui patogenesisnya. Viremia mencapai puncaknya tepat sebelum timbul erupsi di kulit.
Di nasofaring virus tetap ada sampai 6 hari setelah timbulnya erupsi dan kadang-kadang lebih
lama. Selain dari secret nasofaring, virus rubella telah diisolasi dari kelenjar getah bening,
urin, cairan serebrospinal, ASI, cairan synovial, dan paru.
Penularan dapat terjadi biasanya sejak 7 hari sebelum hingga 5 hari sesudah
timbulnya erupsi. Daya tular tertinggi terjadi pada akhir masa inkubasi, kemudian menurun
dengan cepat, dan berlangsung hingga menghilangya erupsi.
Manifestasi klinis:
1. Masa inkubasi: Masa inkubasi berkisar antara 14-21 hari. Dalam beberapa laporan
lain waktu inkubasi minimum 12 hari dan maksimum 17 sampai 21 hari.
2. Masa prodromal: Pada anak biasanya erupsi timbul tanpa keluhan sebelumnya, jarang
disertai gejala dan tanda pada masa prodromal. Namun pada remaja dan dewasa muda
masa prodromal berlangsung 1-5 hari dan terdiri dari emam ringan, sakit kepala, nyeri
tenggoril, kemerahan pada konjungtiva, rhinitis, batuk, dan limfadenopati. Gejala ini
segera menghilang pada waktu erupsi timbul. Gejala dan tanda prodromal biasanya
mendahului erupsi di kulit 1-5 hari sebelumnya. Pada beberapa penderita dewasa
gejala dan tanda tersebut dapat menetap lebih lama dan bersifat lebih berat. Pada 20%
penderita selama masa prodromal atau hari pertama erupsi, timbul enantemam
Forscheimer spot, yaitu macula atau petekia pada palatum molle, bias saling
merengkuh sampai seluruh permukaan faucia. Pembesaran kelenjar limfe bias timbul
5-7 hari sebelum timbul eksantema, khas mengenai kelenjar suboksipital,
postaurikular dan servikal, dan disertai nyeri tekan.
3. Masa eksantema. Seperti pada morbili eksantema mulai retroaurikular atau pada muka
dan dengan cepat meluas secara kraniokaudal ke bagian lain dari tubuh, mula-mula
berupa macula yang berbatas tegas dan kadang-kadang dengan cepat meluas dan
menyatu, memberikan bentuk morbiliform. Pada hari kedua eksantema di muka
menghilang, diikuti hari ke-3 di tubuh dan hari ke-4 di anggota gerak. Pada 40%
kasus infeksi rubella terjadi tanpa eksantema. Meskipun sangat jarang, dapat terjadi
deskuamasi posteksantematik.4
Selain eksantema, limfadenopati merupakan suatu gejala klinis yang penting pada
rubella. Biasanya pembengkakan kelenjar getah bening itu berlangsung selama 5-8 hari.

11
Pada penyakit rubella yang tidak mengalami penyulit sebagian besar penderita sudah
dapat bekerja seperti biasa pada hari ke-3. Sebagian kecil penderita masih terganggu dengan
nyeri kepala, sakit mata, rasa gatal selama 7-10 hari.4
2. Erupsi Obat Alergi
Erupsi obat alergi adalah reaksi alergi pada kulit atau mukokutan yang terjadi sebagai
akibat pemberian obat dengan cara sistemik. Ada dua macam mekanisme pathogenesis erupsi
obat alergi. Pertama adalah reaksi mekanisme imunologis dan kedua adalah mekanisme non-
imunologis. Umumnya erupsi obat alergi timbul karena reaksi hipersensitivitas berdasarkan
reaksi imunologis. Reaksi ini juga dapat terjadi melalui mekanisme non-imunologis yang
disebabkan oleh toksisitas obat, over dosis, interaksi antar obat, dan perubahan dalam
metabolisme.
Dasar diagnosis erupsi obat alergi adalah anamnesis yang teliti mengenai obat-
oabatan yang dipakai, kelainan kulit yang timbul akut atau dapat juga beberapa hari sesudah
masuknya obat, dan rasa gatal yang dapat pula disertai demam yang biasanya subfebris.
Selain itu, dilihat juga kelainan kulit yang ditemukan baik distribusi yang menyerluruh dan
simetris serta bentuk kelainan yang timbul.
Penegakkan diagnosis harus dimulai dari pendeskripsian yang akurat dari jenis lesi
dan distribusinya serta tanda ataupun gejala lain yang menyertainya. Data mengenai semua
jenis obat yang pernah dimakan pasien, dosisnya, data kronologis mengenai cara pemberian
obat serta jangka waktu antara pemakaian obat dengan onset timbulnya erupsi harus ikut
dikumpulkan. Akan tetapi ada kalanya hal ini sulit untuk dievaluasi terutama pada penderita
yang mengkonsumsi obat yang mempunyai waktu paruh yang lama atau mengalami erupsi
obat alergi yang bersifat persisten.4
Pemeriksaan diagnostik untuk kasus erupsi obat alergi adalah dengan mengkonfirmasi
marker biokemikal atau marker imunologi yang menyatakan aktivasi jalur imunopatologi
reaksi obat. Pemilihan pemeriksaan penunjang didasarkan atas mekanisme imunologis yang
mendasari erupsi obat. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilaksanakan untuk memastikan
penyebab erupsi obat alergi adalah:
1. Biopsi kulit
Pemeriksaan histopatologi dan imunofloresensi direk dapat membantu menegakkan
diagnosis erupsi obat alergi. Hal ini dapat dilihat dari adanya eosinofil dan edema jaringan.
Akan tetapi pemeriksaan ini tidak dapat menentukan obat penyebab erupsi.
2. Pemeriksaan laboratorium

12
Pemeriksaan laboratorium digunakan untuk mengevaluasi dan menegakkan diagnosis
serta melihat kemungkinan etiologi penyebab erupsi. Pemeriksaan ini mencakup perhitungan
darah lengkap (atypical lymphocytosis, neutrophilia, eosinophilia, dan lain-lain) serta fungsi
kerja hati dan ginjal. Peningkatan jumlah eosinofil dapat menunjukkan erupsi obat alergi
dimana bila perhitungan eosinofil lebih dari 1000 sel/mm 3 menunjukkan erupsi obat alergi
yang serius. Level obat dapat terdeteksi apabila terdapat overdosis dari obat tersebut.
3. Pemeriksaan uji tempel dan uji provokasi
Uji tempel (patch test) memberikan hasil yang masih belum dapat dipercaya. Uji
provokasi (exposure test) dengan melakukan pemaparan kembali obat yang dicurigai adalah
yang paling membantu untuk saat ini, tetapi risiko dari timbulnya reaksi yang lebih berat
membuat cara ini harus dilakukan dengan cara hati-hati dan harus sesuai dengan etika
maupun alasan mediko legalnya.4
Pada erupsi obat alergi, dapat timbul erupsi makulopapular atau morbiliformis. Erupsi
makulopapular atau morbiliformis disebut juga erupsi eksantematosa dapat diinduksi oleh
hampir semua obat. Seringkali terdapat erupsi generalisata dan simetris yang terdiri atas
eritema dan selalu ada gejala pruritus. Kadang-kadang ada demam, malaise, dan nyeri sendi.
Lesi biasanya timbul dalam 1-2 minggu setelah dimulainya terapi. Erupsi jenis ini sering
disebabkan oleh ampisilin, OAINS, sulfonamid, dan tetrasiklin.4
3. Scarlet fever
Scarlet fever atau demam skarlatina adalah penyakit infeksi saluran napas atas yang
disebabkan infeksi Grup A Streptokokus (GAS) yang memproduksi eksotoksin pyrogenic
(erythrogenic toxin) di faring. Pada scarlet fever dapat ditemukan ruam yang karateristik, di
mana ruam ini diakibatkan infeksi Grup A Streptokokkus. Saat ini scarlet fever lebih sulit
ditemui dan virulensi-nya telah menurun dibanding masa lampau, tetapi siklus insidensi
masih ada, tergantung pada prevalensi strain bakteri yang memproduksi toxin dan status
imunitas populasi.
Metode transmisi penyebaran GAS pada faring terjadi melalui udara (droplet nuclei,
debu) dan lingkungan yang tercemar (baju, tempat tidur) merupakan sebagian kecil dari poses
penyebaran streptokokus. Kontak erat dengan individu terinfeksi dibutuhkan untuk transmisi
Streptokokus faring langsung secara droplet atau transfer fisik dari secret respirasi yang berisi
bakteri infeksi. Penyebaran di dalam keluarga dan sekolah sering terjadi. Pasien infeksi aktif
maupun infeksi subklinis mungkin bisa menyebarkan infeksi. Pada umumnya penyebaran
kedua (oleh penderita karier) terjadi 2 minggu pertama setelah bebas saki, karier karena

13
infeksi Streptokokus pada saluran nafas dan sering menimbulkan penularan organisme.
Makanan atau susu yang terkontaminasi mungkin bias menimbulkan infeksi Streptokokus
pada faring.
Ruam timbul pada 24-48 jam setelah onset simptom. Ruam sering dimulai dari area
sekitar leher dan menyebar ke perut dan dada serta ekstremitas. Ruam yang timbul difus,
popular berbatas tegas, dan erupsi eritme menghasilkan warna merah pucat pada kulit yang
menghilang dengan penekanan. Ruam sering ditemukan pada lipatan siku, axilla, dan
selangkangan. Saat diraba kulit terasa kasar dan teraba adanya bintik-bintik seperti pada kulit
angsa. Pada pipi sering terlihat kemerahan dengan mulut yang terlihat pucat. Setelah 3-4 hari
ruam mulai menghilang, diikuti dengan deskuamasi yang dimulai dari wajah kemudian
meluas ke bawah sehingga kulit terlihat seperti terbakar matahari ringan. Terkadang,
deskuamasi juga dapat terlihat pada ujung jari, telapak tangan, dan tumit. Selain itu, lidah
terlihat seperti terlapis dengan papilla yang membesar. Setelah deskuamasi, pada pasien
scarlet fever dapat ditemukan strawberry tongue.4
VII. PENATALAKSANAAN
Penderita morbili tanpa komplikasi dapat berobat jalan. Anak harus diberikan cukup
cairan dan kalori, sedangkan pengobatan bersifat simtomatik, dengan pemberian antipiretik,
antitusif, ekspektoran, dan antikonvulsan bila diperlukan, diperlukan perbaikan keadaan
umum dengan memperbaiki kebutuhan cairan dan diet yang memadai.
Pemberian vitamin A pada pasien morbili untuk usia <6 bulan sebanyak 50.000 IU,
usia 6 bulan – 1 tahun sebanyak 100.000 IU, anak >1 tahun sebanyak 200.000 IU sebanyak
satu kali.12 Apabila terdapat malnutrisi dilanjutkan 1500 IU tiap hari.1,2,4,5
Indikasi rawat inap bila hiperpireksia (suhu >39,5˚C), dehidrasi, kejang, asupan oral
sulit atau adanya penyulit. Di rumah sakit pasien morbili dirawat di bangsal isolasi system
pernapasan. Pengobatan dengan penyulit disesuaikan dengan penyulit yang timbul.5,4,10

VIII. PENCEGAHAN
a. Pencegahan tingkat awal
Pencegahan tingkat awal dilakukan dalam mencegah munculnya faktor predisposisi
atau resiko terhadap penyakit morbili. Sasaran dari pencegahan primordial adalah anak-anak
yang masih sehat dan belum memiliki resiko yang tinggi agar tidak memiliki faktor resiko
yang tinggi untuk penyakit morbili. Edukasi kepada orang tua anak sangat penting
peranannya dalam upaya pencegahan primordial. Tindakan yang perlu dilakukan seperti

14
penyuluhan mengenai pendidikan kesehatan, konselling nutrisi dan penataan rumah yang
baik.
b. Pencegahan tingkat pertama
Sasaran dan pencegahan primer adalah orang-orang yang termasuk kelompok
berisiko, yakni anak yang belum terkena morbili, tetapi berpotensi untuk terkena penyakit
morbili. Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya untuk mencegah seseorang terkena
penyakit morbili, yaitu:
1) Memberi penyuluhan kepada masyarakat mengenai pentingnya pelaksanaan
Program Imunisasi Nasional (vaksinasi morbili) untuk semua bayi.
2) Vaksinasi dengan virus morbili hidup yang dilemahkan. Vaksin ini diberikan
secara subkutan sebanyak 0,5 ml. Vaksin morbili tidak boleh diberikan pada
wanita hamil, anak dengan TBC yang tidak diobati, dan penderita leukemia.
Vaksin morbili dapat diberikan sebagai vaksin monovalent (measles-containing
vaccine; MCV) atau polivalen (measles-mumps-rubella; MMR).
c. Pencegahan tingkat kedua
Pencegahan sekunder adalah upaya untuk mencegah atau menghambat timbulnya
komplikasi dengan tindakan-tindakan seperti tes penyaringan yang ditujukan untuk
pendeteksian dini morbili serta penanganan segera dan efektif. Tujuan utama kegiatan-
kegiatan pencegahan sekunder adalah untuk mengidentifikasi orang-orang tanpa gejala yang
telah sakit atau penderita yang beresiko tinggi untuk mengembangkan atau memperparah
penyakit. Memberikan pengobatan penyakit sejak awal sedapat mungkin dilakukan untuk
mencegah kemungkinan terjadinya komplikasi. Edukasi dan pengelolaan morbili memegang
peran penting untuk meningkatkan kepatuhan pasien berobat.
d. Pencegahan tingkat ketiga
Pencegahan tersier adalah semua upaya untuk mencegah kecacatan akibat komplikasi.
Kegiatan yang dilakukan antara lain mencegah perubahan dari komplikasi menjadi kecatatan
tubuh dan melakukan rehabilitasi sedini mungkin bagi penderita yang mengalami kecacatan.
Dalam upaya ini diperlukan kerjasama yang baik antara pasien dengan dokter. Penyuluhan
juga sangat dibutuhkan untuk meningkatkan motivasi pasien untuk mengendalikan penyakit
morbili. Pelayanan kesehatan yang holistik dan terintegrasi antara disiplin terkait juga sangat
diperlukan, terutama di rumah sakit rujukan, baik dengan para ahli sesama disiplin ilmu.5

IX. IMUNISASI

15
Angka kejadian morbili di dunia mengalami penurunan yang signifikan dengan
pemberian imunisasi, Imunisasi merupakan suatu cara untuk meningkatkan kekebalan
seseorang secara aktif terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak terpajan pada antigen yang
serupa, tidak terjadi penyakit. Dilihat dari cara timbulnya maka terdapat dua jenis kekebalan,
yaitu kekebalan aktif dan kekebalan pasif. Kekebalan pasif adalah kekebalan yang diperoleh
dari luar tubuh, bukan oleh individu itu sendiri. Sedangkan kekebalan aktif adalah kekebalan
yang dibuat oleh tubuh sendiri akibat terpajan oleh antigen seperti pada imunisasi, atau
terpajan secara alamiah. Kekebalan aktif biasanya berlangsung lebih lama karena adanya
memori imunologik.
Kekebalan aktif terhadap morbili didapatkan melalui program imunisasi. Kekebalan
pasif terhadap morbili didapat dari transfer antibodi IgG maternal melalui plasenta pada
masa-masa akhir kehamilan. Setelah dilahirkan, konsentrasi antibodi terhadap morbili ini
menurun sehingga lamanya durasi imunitas pasif ini bergantung pada jumlah konsentrasi
awal antibodi saat dilahirkan.12
Pemberian vaksin seharusnya tidak diberikan pada wanita hamil atau dapat
merencanakan kehamilan setelah 3 bulan mendapatkan vaksinasi.6

Saat ini ada beberapa macam vaksin morbili:


1) Monovalen
2) Kombinasi vaksin morbili dengan vaksin rubella (MR)
3) Kombinasi dengan mumps dan rubella (MMR)
4) Kombinasi dengan mumps, rubella dan varisela (MMRV).

Vaksin monovalen diberikan pada bayi usia 9 bulan, sedangkan vaksin polivalen
diberikan pada anak usia 15 bulan. Penting diperhatikan penyimpanan dan transportasi
vaksin harus pada temperature antara 2ºC - 8ºC atau ± 4ºC serta vaksin tersebut harus
dihindarkan dari sinar matahari.13

a. Vaksin morbili monovalen


Telah dikeluarkan Permenkes no 42 tahun 2013 mengenai pemberian imunisasi untuk
morbili diberikan 2 kali, yaitu pada umur 9 bulan sebagai imunisasi dasar dan pada umur 2
tahun sebagai imunisasi lanjutan. Kemudian pada anak usia sekolah dasar, diberikan
imunisasi morbili yang ketiga pada Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS)

16
Imunisasi tidak dianjurkan pada ibu hamil, anak dengan imunodefisiensi primer,
pasien TB yang tidak diobati, pasien keganasan atau transplantasi organ, mereka yang
mendapat pengobatan imunosupresif jangka panjang atau anak imunokompromais yang
terinfeksi HIV. Anak yang terinfeksi HIV tanpa imunosupresi berat dan tanpa bukti kekebalan
terhadap morbili, bisa mendapat imunisasi morbili.13

Dosis dan cara pemberian:


- Dosis vaksin morbili 0,5 ml.
- Pemberian diberikan pada umur 9 bulan, secara subkutan walaupun dapat diberikan
secara intramuscular.
- Imunisasi morbili diberikan lagi pada umur 2 tahun dan saat masuk sekolah SD
(Program BIAS)

Reaksi KIPI
- Reaksi KIPI imunisasi morbili yang banyak dijumpai terjadi pada imunisasi ulang
pada seorang yang telah memiliki imunitas. Kejadian KIPI imunisasi morbili telah
menurun dengan digunakannya vaksin morbili hidup yang dilemahkan.
- Gejala KIPI yang berupa demam yang lebih dari 39,5°C yang terjadi pada 5-15 %
kasus, demam mulai dijumpai pada hari ke 5-6 sesudah imunisasi dan berlangsung
selama 5 hari.
- Berbeda dengan infeksi alami demam tidak tinggi, walaupun demikian peningkatan
suhu tubuh tersebut dapat merangsang terjadinya kejang demam.
- Ruam dapat dijumpai pada 5% resipien, timbul pada hari ke 7-10 sesudah imunisasi
dan berlangsung selama 2-4 hari. Hal ini sukar dibedakan dengan akibat imunisasi
jika seseorang memperoleh imunisasi pada saat masa inkubasi penyakit alami.
- Reaksi KIPI berat jika ditemukan gangguan fungsi sistem saraf pusat seperti
ensefalopati pasca imunisasi. Diperkirakan risiko terjadinya efek samping tersebut 30
hari sesudah imunisasi 1 di antara 1 milyar dosis vaksin.13

b. Kombinasi vaksin morbili, mumps, dan rubella


Vaksin untuk mencegah morbili, gondongan, dan rubella merupakan vaksin
kombinasi yang dikenal sebagai vaksin MMR (measles, mumps, dan rubella), dosis 05 ml.

17
vaksin MMR merupakan vaksin kering yang mengandung virus hidup, harus disimpan pada
temperature 2-8°C atau lebih dingin dan terlindung dari cahaya. Vaksin harus digunakan
dalam waktu 1 jam setelah dicampur dengan pelarutnya, tetap sejuk dan terlindung dari
cahaya, karena setelah dicampur vaksin sangat tidak stabl dan cepat kehilangan potensinya
pada temperatur kamar. Pada temperature 22-25°C, akan kehilangan potensi 50% dalam 1
jam, pada temperature >37°C vaksin menjadi tidak aktif setelah 1 jam.
Pemberian vaksin MMR dengan dosis tunggal 0,5 ml suntikan secara intramuscular
atau subkutan dala,. Imunisasi ini menghasilkan serokonversi terhadap ketiga virus ini >90%
kasus dan diberikan pada umur 12-18 bulan.
Sesuai dengan Jadwal Pemberian Imunisasi anak umur 6-18 tahun rekomendasi IDAI
tahun 2014, vaksin MMR diberikan pada umur 15 bulan. Namun apabila belum mendapat
imunisasi morbili, maka pemberian MMR dapat diberikan pada kesempatan pertama anak
datang ke tempat pelayanan kesehatan (rumah sakit atau dokter / dokter spesialis anak).
Pemberian imunisasi MMR kedua diberikan pada umur 5 tahun.
Vaksin MMR harus diberikan sekalipun ada riwayat infeksi morbili, gondongan dan
rubella atau imunisasi morbili. Tidak ada dampak imunisasi yang terjadi pada anak yang
sebelumnya telah mendapat imunitas terhadap salah satu atau lebih dari ketiga penyakit ini.

Berikut reaksi KIPI yang dapat terjadi pasca imunisasi MMR:


1) Pada penelitian yang mencakup 6000 anak yang berusia 1-2 tahun, dilaporkan setelah
vaksinasi MMR dapat terjadi malaise, demam, atau ruam yang sering terjadi 1 minggu
setekah imunisasi yang berlangsung selama 2-3 hari.
2) Laporan dari CDC menyatakan bahwa vaksin MMR dapat menyebabkan efek
samping demam, komponen morbili yang paling sering menyebabkan efek samping
ini. Kurang lebih 5% anak akan mengalami demam >39,4°C setelah imunisasi MMR.
Reaksi demam tersebut biasanya berlangsung 7-12 hari setelah imunisasi dan
umumnya berlangsung 1-2 hari.
3) Dalam masa 6-11 hari setelah imunisasi, dapat terjadi kejang demam pada 0,1% anak,
ensefalitis pasca imunisasi <1/1.000.000, dan pembengkakan kelenjar parotis pada 1%
anak berusia sampai 4 tahun, pada umumnya terjadi pada minggu ketiga dan kadang-
kadang lebih lama.

18
4) Meningoensefalitis yang disebabkan oleh imunisasi gondongan terjadi kira-kira
1/1.000.000 kasus dengan galur virus gondongan Urabe, angka kejadian ini lebih kecil
apabila menggunakan jalur virus gondongan Jeryl Lyn.
5) Trombositopenia biasanya akan sembuh sendiri, kadang-kadang dihubungkan dengan
komponen rubella dari MMR. Kepada orang tua harus dijelaskan tentang
kemungkinan gejala yang bakal timbul dan diberikan petunjuk untuk mengurangi
demam, teramsuk pengguanan parasetamol pada masa 5-12 hari setelah imunisasi.13

Kontra indikasi vaksin MMR:


1) Anak dengan penyakit keganasan yang tidak diobati atau gangguan imunitas, mereka
yang mendapat pengobatan dengan imunosupresif atau terapi sinar atau mendapat
steroid dosis tinggi (ekuivalen dengan 2 mg / kgbb / hari prednisolon).
2) Anak dengan alergi berat terhadap gelatin atau neomisin.
3) Anak yang mendapat vaksin hidup yang lain. Imunisasi MMR ditunda lebih kurang 1
bulan setelah imunisasi yang terakhir.
4) Jika MMR diberikan pada wanita dewasa dengan kehamilan harus ditunda selama 2
bulan, seperti pada vaksin rubella.
5) Vaksin MMR tidak boleh diberikan dalam waktu 3 bulan setelah pemberian
immunoglobulin atau transfuse darah (whole blood).
6) Defisiensi imun bawaan dan didapat (termasuk HIV).13

X. PROGNOSIS
Prognosis morbili tanpa disertai dengan komplikasi pada umunya baik. Sedangkan
pada morbili yang disertai komplikasi (misal ensefalitis dan pneumonia) maka prognosisnya
buruk karena dapat menimbulkan kecacatan seumur hidup meskipun jarang ditemukan.
Penyakit morbili juga merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas yang penting pada
anak-anak yang mengalami malnutrisi sehingga harus diwaspadai.10

19
BAB III

KESIMPULAN

Morbili adalah salah satu penyakit infeksi menular yang sering menyerang anak-anak
yang angka kejadiannya cukup tinggi didunia. morbili merupakaan penyakit yang disebabkan
oleh virus RNA dari famili Paramyxovirus dan genus Morbilivirus. Penyakit ini ditandai
dengan demam, korizya, batuk, konjungtivitis, dan tanda koplik. Penularan penyakit ini dapat
terjadi ketika seseorang yang daya tahan tubuhnya menurun menghirup percikan yang
mengandung virus dari secret nasofaring pasien. Morbili merupakan penyakit yang jarang
ditemukan dalam kehamilan, namun berpotensi menyebabkan komplikasi serius bagi ibu,
janin maupun neonatus.morbili dalam kehamilan merupakan suatu masalah yang
terkomplikasi, sehingga perhatian lebih cermat harus diberikan kepadanya.Virus ini ditularkan
kepada janin secara transplasental, sehingga penanganan terhadap janin dan neonatus menjadi
permasalahan tersendiri yang tidak bisa dipisahkan dari maternal morbili. Untuk menghindari
morbili dalam kehamilan, maka idealnya seorang ibu harus tervaksinasi sebelum ia hamil.
Vaksinasi sebelum hamil atau setelah melahirkan harus dipertimbangkan pada wanita yang
tidak memiliki imunitas yang baik. Apabila telahterjadi kehamilan diharapkan agar ibu tidak
melakukan vaksinasi saat mengandung. Pencegahan penyakit morbili amat penting. Di
20
Indonesia sampai saat ini pencegahan penyakit morbili dilakukan dengan vaksinasi morbili
secara rutin yaitu diberikan pada bayi berumur 9-15 bulan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Belazarian L, Lorenzo M, Pearson A, Sweeney S, Wiss K. Exanthematous Viral


Diseases. Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine, Eighth Edition. 2012.Hal
2337-2340.
2. James D, W. Berger T, G. Elston D, M. Andrew’s Disease of The Skin Clinical
Dermatology, Tenth Edition. 2008. Hal 399-400.
3. Wolf K, Johnson R, Saavedra A. Fitzpatrick’s Color Atlas and Synopsis of Clinical
Dermatology, Seventh Edition. 2013. Hal 650-652.
4. Marcdante KJ, Behrman RE, Kliegman R, Jenson HB. Nelson ilmu kesehatan anak.
Edisi Enam. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2014.
5. Haralambieva IH, Ovsyannikova IG, Pankratz VS, Kennedy RB, Jacobson RM,
Poland GA. The genetic basis for interindividual immune response variation to
measles vaccine: new understanding and new vaccine approaches. Expert Review of
Vaccines 2013 01;12(1):57-70.
6. Thomas P. Habif. Clinical Dermatology: A Color Guide to Diagnosis and Therapy 4th
edition.October 2003. Hal 460-461
7. Aref S, Bailey, K. Fielding, A. Measles to the Rescue: A Review of Oncolytic Measles
Virus. UCL Cancer Institute, University College London, London 2016.

21
8. Sabella C. 'Measles: Not just a childhood rash', Cleveland Clinic Journal of Medicine
2010;77(3):207-13.
9. Swart D, Rik L. 'The Pathogenesis of Measles Revisited'. Pediatric Infectious Disease
Journal 2007; 27(10).
10. Chen S. Measles: Practice Essentials, Background, Pathophysiology.
Emedicine.medscape. 2016.
11. Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C. Rook’s Textbook of Dermatology. Edisi 8.
2010.
12. Borras E, Urbiztondo L, Costa J, Batalla J, Torner N, Plasencia A, et al. Measles
antibodies and response to vaccination in children aged less than 14 months:
implications for age of vaccination. Epidemiol Infect 2012;140(9):1599-606.
13. Ranuh, IGNG, Suyitno H, Hadinegoro SRS, Kartasasmita CB, Ismoedianto,
Soedjatmiko, edirot. Pedoman imunisasi di Indonesia. Edisi ke-5. Jakarta: Badan
Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2014.

22

Anda mungkin juga menyukai