Anda di halaman 1dari 25

LABORATORIUM KLINIK REFERAT

ILMU PENYAKIT DALAM MEI 2023


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO

TROMBOSITOPENIA PADA HIV

Disusun Oleh :

Siska Nur Anggraeni, S.Ked


K1B1 22 119

Pembimbing
dr. Dwiana Pertiwi T, M.Sc, Sp.PD, FINASIM

LABORATORIUM KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2023
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan di bawah ini, menyatakan bahwa :

Nama : Siska Nur Anggraeni, S.Ked

Stambuk : K1B1 22 119

Judul Referat : Trombositopenia Pada HIV

Telah menyelesaikan tugas Referat dalam rangka kepaniteraan klinik pada Bagian

Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran, Universitas Halu Oleo.

Kendari, Juni 2023

Pembimbing

dr. Dwiana Pertiwi T, M.Sc, Sp.PD, FINASIM

Nip. 198807212014041001

ii
DAFTAR ISI

Sampul...............................................................................................................i

Halaman Pengesahan.......................................................................................ii

Daftar Isi.........................................................................................................iii

Daftar Tabel.....................................................................................................iv

Daftar Gambar..................................................................................................v

A. Pendahuluan ........................................................................................... 1

B. Pembahasan ........................................................................................... 3

a. Immune Trombositopenia..................................................................3

b. Epidemiologi ......................................................................................4

c. Etiologi .............................................................................................. 5

d. Patofisiologi ........................................................................................5

e. Manifestasi klinik................................................................................ 8

f. Diagnosis............................................................................................. 9

g. Tatalaksana........................................................................................10

Daftar Pustaka............................................................................................... 14

iii
Daftar Tabel

Nomor Tabel Judul Tabel Halaman

Tabel 1 Kategori ITP menurut International 5


Working Group

Tabel 2 Terapi lini pertama standar 12

Tabel 3 Tatalaksana trombositopenia pada infeksi 12


HIV/AIDS

iv
Daftar Gambar

Nomor Judul Gambar Halaman


Gambar

Gambar 1 Mekanisme terjadinya ITP 7

v
TROMBOSITOPENIA PADA HIV

Siska Nur Anggraeni, Dwiana

A. PENDAHULUAN

Trombositopenia atau defisiensi trombosit, merupakan keadaan

dimana trombosit dalam sistem sirkulasi jumlahnya dibawah normal

(150.000-450.000/µl darah). Trombositopenia biasanya dijumpai pada

penderita anemia, leukemia, infeksi virus dan protozoa yang diperantarai oleh

sistem imun (Human Infection Virus, demam berdarah dan malaria). 1

Trombositopenia merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada

pasien dengan infeksi HIV, dimana patogenesisnya sampai saat ini belum

diketahui dengan jelas. Mekanisme yang bertanggung jawab terhadap

kejadian trombositopenia meliputi mediasi oleh sistem imun dan non imun.

Mekanisme yang mungkin terjadi dan telah dilaporkan adalah destruksi

trombosit oleh antibodi yang dimediasi reaksi imun, infeksi langsung atau

disfungsi megakariosit, hipersplenisme, infeksi oportunistik, keganasan, serta

efek toksik dan mielosupresi dari terapi ARV. Mekanisme imun yang

mendasari terjadinya penurunan masa hidup trombosit tidak hanya meliputi

klirens trombosit di sistem retikuloendotelial (dimediasi oleh sistem imun),

namun juga akibat gangguan imunitas sel T, aktivasi komplemen, dan klirens

trombosit oleh imunoglobulin. Megakariosit matur dapat terinfeksi oleh HIV

melalui ikatan dengan reseptor CD4, dimana genom HIV dapat dideteksi pada

megakariosit matur yang sudah dipurifikasi dari sumsum tulang pada pasien

1
infeksi HIV. Selain itu, infeksi HIV juga menimbulkan trombositopenia

kronik melalui mekanisme autoimun, yang dihubungkan dengan reaksi silang

antara antibodi anti-HIV dengan glikoprotein pada membran trombosit,

dimana kondisi ini juga dapat bermanifestasi pada stadium awal penyakit.2

Trombositopenia dapat ditemukan pada semua stadium penyakit,

dengan prevalensi yang paling tinggi pada stadium lanjut (jumlah CD4

rendah). Selain itu, perubahan myelodisplastik juga dapat ditemukan pada

sebagian besar pasien HIV, dimana hal ini dapat dideteksi pada semua

stadium. 2

Infeksi HIV memiliki karakteristik terjadinya penurunan dan

kelemahan secara progresif dari sistem imun, yang ditandai dengan

menurunnya jumlah sel limfosit T helper CD4 di dalam sirkulasi. Hal ini akan

menimbulkan risiko yang lebih tinggi pada pasien HIV untuk munculnya

berbagai infeksi oportunistik dan penyakit neoplastik lainnya. Fase yang

paling berat dari infeksi HIV adalah AIDS, dimana jumlah CD4 turun hingga

dibawah 200/mm3 , dan ditandai dengan munculnya berbagai infeksi

oportunistik yang jelas.3

Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan tantangan besar

yang saat ini dihadapi oleh manusia di seluruh dunia selama puluhan tahun,

dimana manifestasi klinis yang muncul dapat merupakan akibat dari infeksi

HIV itu sendiri maupun akibat infeksi oportunistik. Abnormalitas hematologi

dapat juga menjadi manifestasi awal pada infeksi HIV, meskipun pasien tidak

2
mengalami gejala klinis (asimtomatik), dan dapat semakin memburuk seiring

dengan progresi penyakit, dimana hal ini berhubungan dengan penurunan

jumlah CD4. 4

B. PEMBAHASAN

A. Immune Trombocytopenia

ITP dahulu merupakan singkatan idiopathic thrombocytopenic

purpura, yang kemudian berubah menjadi immune thrombocytopenic

purpura. Namun kenyataannya, banyak pasien tidak memiliki gejala

purpura dan perdarahan, sehingga disepakati bahwa istilah purpura tidak

digunakan lagi. Sekarang telah disepakati bahwa ITP merupakan

singkatan immune thrombocytopenia. Immune thrombocytopenia adalah

penyakit autoimun yang ditandai dengan jumlah trombosit rendah dan

meningkatnya risiko perdarahan. Jumlah trombosit rendah dapat

disebabkan oleh proses penghancuran trombosit yang dimediasi oleh

sistem antibodi bersamaan dengan gangguan produksi trombosit, sehingga

ITP tidak dapat lagi dianggap sebagai penyakit idiopatik. Penyakit ini

terbagi menjadi dua kategori, yaitu ITP primer dan sekunder, tergantung

penyebab. Selain itu, terdapat kategori lain yang dapat menentukan jenis

terapi, yaitu ITP yang baru terdiagnosis, ITP kronis, ITP persisten, dan

ITP berat.5

Trombositopenia atau defisiensi trombosit, merupakan keadaan

dimana trombosit dalam sistim sirkulasi jumlahnya dibawah normal

3
(150.000-350.000/µl darah). Trombositopenia biasanya dijumpai pada

penderita anemia, leukemia, infeksi virus dan protozoa yang diperantarai

oleh sistem imun (Human Infection Virus, demam berdarah dan malaria).

Trombositopenia juga dapat terjadi selama masa kehamilan, pada saat

tubuh mengalami kekurangan vitamin B12 dan asam folat, dan sedang

menjalani radioterapi dan kemoterapi. 1

B. Epidemiologi

Insidensi ITP kronis dewasa adalah 58-66 kasus baru per satu

juta populasi pertahun (5,8-6,6 per 100.000) di amerika dan serupa yang

ditemukan di inggris. ITP kronik pada umumnya terdapat pada orang

dewasa dengan median rata-rata usia 18-40 tahun. Ratio antara laki-laki

dan perempuan 1:1 pada penderita ITP akut sedangkan pada ITP kronis

adalah 2-3:1 2-3 kali lebih sering mengenai perempuan dari pada laki-

laki.6

Trombositopenia didapatkan pada sekitar 40% pasien dengan

infeksi HIV/AIDS. Penyebab timbulnya trombositopenia juga

multifaktorial, namun mekanisme destruksi trombosit akibat immune

mediated merupakan salah satu penyebab terbanyak. Antibodi antiplatelet,

circulating immune complex akan menimbulkan destriksi trombosit di

perifer mirip yang terjadi pada ITP (immune thrombocytopenic purpura).

Penyebab lain timbulnya trombositopenia adalah akibat infeksi HIV pada

megakariosit, supresi sumsum tulang pada infeksi HIV sendiri,

4
penggunaan obat-obatan yang menimbulkan myelosupresi, penurunan

HSC, myeloid progenitor sel sehingga terjadi penurunan produksi

megakariosit di sumsum tulang. 7

C. Etiologi

Berdasarkan etiologi, ITP dapat dikategorikan menjadi ITP

primer dan sekunder. ITP primer merupakan jenis ITP terbanyak, tidak

ditemukan adanya kondisi atau penyakit yang mendasari terjadinya ITP.5

ITP primer paling banyak disebabkan karena autoantibodi IgG. IgG

sendiri berikatan dengan glikoprotein GPIIbIIIa di permukaan trombosit

dan GPIbIX-V yang banyak terdapat pada permukaan megakariosit.

Trombosit yang berikatan dengan IgG dapat dikenali oleh sel

fagosit yang membawa reseptor FcΎ, sehingga terjadi proses fagositosis

dan destruksi trombosit yang dimediasi oleh antibodi; terutama terjadi di

limpa. Selain itu, autoantibodi yang berikatan dengan megakariosit dapat

menghambat maturasi dan menyebabkan destruksi megakariosit. Destruksi

yang berlebihan menyebabkan trombopoietin tubuh tidak mampu

menormalisasi jumlah trombosit.

ITP yang memiliki faktor yang mendasari disebut ITP sekunder.

ITP sekunder dapat disebabkan oleh infeksi, seperti virus hepatitis C

(HCV), human immunodeficiency virus (HIV), dan Helicobacter pylori.

Pada kasus infeksi, proses terjadinya ITP mungkin disebabkan antigen

virus yang mirip antigen trombosit, disebut juga molecular mimicry, yang

5
kemudian meningkatkan autoantibodi antiplatelet. Gangguan autoimun

dan limfoproliferatif juga dapat mendasari terjadinya ITP seperti systemic

lupus erythematosus (SLE) dan leukemia limfositik kronis.

Tabel 1. Kategori ITP menurut International Working Group8

Kategori ITP
ITP primer Tidak ditemukan faktor lain yang
menyebabkan trombositopenia
ITP sekunder Dapat terjadi akibat penyakit atau
kondisi lain yang mendasari
terjadinya trombositopenia
ITP yang baru terdiagnosis Merujuk pada kasus ITP yang baru
terdiagnosis dalam 3 bulan
ITP persisten Merujuk pada kasus ITP yang
terdiagnosis 3 – 12 bulan
sebelumnya
ITP kronis Kasus ITP yang sudah lebih dari 12
bulan
ITP berat Muncul gejala perdarahan yang
membutuhkan terapi atau gejala
perdarahan baru yang membutuhkan
intervensi tambahan atau
peningkatan dosis terapi

D. Patofisiologi immune trombositopenia

Berdasarkan etiologi, ITP dapat dikategorikan menjadi ITP primer

dan sekunder. ITP primer merupakan jenis ITP terbanyak, tidak

6
ditemukan adanya kondisi atau penyakit yang mendasari terjadinya ITP.

ITP primer paling banyak disebabkan karena autoantibodi IgG. IgG

sendiri berikatan dengan glikoprotein GPIIbIIIa di permukaan trombosit

dan GPIbIX-V yang banyak terdapat pada permukaan megakariosit.

Trombosit yang berikatan dengan IgG dapat dikenali oleh sel fagosit yang

membawa reseptor FcΎ, sehingga terjadi proses fagositosis dan destruksi

trombosit yang dimediasi oleh antibodi; terutama terjadi di limpa. Selain

itu, autoantibodi yang berikatan dengan megakariosit dapat menghambat

maturasi dan menyebabkan destruksi megakariosit. Destruksi yang

berlebihan menyebabkan trombopoietin tubuh tidak mampu

menormalisasi jumlah trombosit. ITP yang memiliki faktor yang

mendasari disebut ITP sekunder. ITP sekunder dapat disebabkan oleh

infeksi, seperti virus hepatitis C (HCV), human immunodeficiency virus

(HIV), dan Helicobacter pylori. Pada kasus infeksi, proses terjadinya ITP

mungkin disebabkan antigen virus yang mirip antigen trombosit, disebut

juga molecular mimicry, yang kemudian meningkatkan autoantibodi

antiplatelet. Gangguan autoimun dan limfoproliferatif juga dapat

mendasari terjadinya ITP seperti systemic lupus erythematosus (SLE) dan

leukemia limfositik kronis. 9

7
Gambar 1. Mekanisme terjadinya ITP

Pada pasien HIV/AIDS dengan trombositopenia terutama pada fase awal

infeksi HIV dengan CD4+ count yang masih tinggi, tanpa infeksi

oportunistik dan tidak ditemukan kondisi atau penyakit lain yang

menyebabkan trombositopenia serta tidak mengonsumsi obat-obatan yang

menimbulkan trombositopenia maka HIV-related ITP dapat diduga

sebagai penyebabnya. Proses autoimun yang terjadi pada HIV-related ITP

dapat dijelaskan dengan adanya circulating immune complex yang

membentuk autoantibodi pada protein envelope HIV, yaitu gp120 dan

p24. Terjadi cross reactive antibody tersebut pada glycoprotein platetet

8
gpIIb/IIIa sehingga timbul antibodi antiplatelet. Hal ini dapat juga

disebabkan karena megakariosit juga mengekspresikan reseptor CD4+ dan

CCR5 reseptor sehingga virus HIV dapat menginfeksi megakariosit dan

autoantibodi yang beredar dapat mengenai kedua glikoprotein HIV

maupun megakariosit. 7

E. Manifestasi klinis

Perdarahan merupakan manifestasi klinis yang paling sering.

Perdarahan dapat terjadi pada mukokutaneus seperti rongga mulut dan

kulit. Perdarahan kulit dapat berupa purpura tanpa penyebab yang jelas,

pada mukosa dapat berupa mimisan, gusi berdarah, dan perdarahan

saluran gastrointestinal. Perdarahan intrakranial dan saluran cerna sangat

jarang namun sangat berbahaya. Pemeriksaan fisik menunjukkan

pembesaran limpa, penyakit hepar kronik, dan kelainan-kelainan yang

mendasari lainnya. Splenomegali ringan sampai sedang mungkin sulit

ditemukan akibat bentuk tubuh dan/atau obesitas tetapi dapat dengan

mudah diketahui dengan ultrasonografi abdomen. Perdarahan intrakranial

memiliki insidens kurang dari 0,2% dan terjadi pada jumlah trombosit

kurang dari 10.000/µL.2,3 Keluhan lain yang sering diabaikan adalah

kelelahan (fatigue). Gejala ini bisa terjadi pada pasien ITP dengan

trombosit di bawah 10.000/ µL, perdarahan, serta terapi steroid. Beberapa

penelitian menyebutkan bahwa rasa lelah dapat dipengaruhi oleh

9
meningkatnya sitokin inflamasi seperti IL-2 dan IFN-Ύ.2 Pasien ITP

memiliki risiko tromboemboli disebabkan peningkatan antiphospholipid

antibodies (APLA). 5

Sebagian besar pasien HIV-related ITP biasanya hanya

didapatkan perdarahan minor pada subkutan dan submukosa, ditandai

adanya petechie, echimosis, dan occasional epistaxis terutama bila jumlah

trombosit > 100.000 sel/cmm. 7

F. Diagnosis

Diagnosis melalui beberapa pemeriksaan dasar seperti

anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan darah tepi, dan pemeriksaan

sumsum tulang belakang. Anamnesis untuk riwayat keluarga, riwayat

perdarahan, riwayat penyakit sebelumnya, serta penggunaan obat-obatan.

Pemeriksaan fisik lengkap terutama pada bagian-bagian tubuh yang sering

mengalami perdarahan seperti mukokutan dan persendian; namun pada

sebagian besar pasien ITP tidak didapati kelainan pada pemeriksaan fisik.

Pada pasien ITP juga perlu dicari adanya limfadenopati atau splenomegali

untuk menyingkirkan keganasan seperti gangguan limfoproliferatif. Pada

pasien dewasa perlu dilakukan pemeriksaan HCV dan HIV untuk

menyingkirkan kemungkinan ITP sekunder. Pemeriksaan laboratorium

apusan darah tepi merupakan pemeriksaan sederhana yang sangat penting.

ITP ditandai dengan menurunnya jumlah trombosit terisolasi kurang dari

100.000/µL.1 Trombositopenia terisolasi didefinisikan sebagai

10
trombositopenia tanpa gangguan morfologi serta jumlah eritrosit dan

leukosit. Menurut American Society of Hematology, pemeriksaan

sumsum tulang belakang tidak perlu karena pemeriksaan apusan darah tepi

yang cermat sudah dapat menegakkan diagnosis ITP. Pada pemeriksaan

sumsum tulang belakang, dapat ditemukan jumlah megakariosit

meningkat atau normal, dapat terjadi peningkatan jumlah megakariosit

imatur. 5

Diagnosis HIV-related ITP dibuat dengan menyingkirkan

penyebab trombositopenia lainnya dan menyingkirkan penyebab lain

destruksi trombosit di perifer. Toksisitas obat yang mensupresi sumsum

tulang seperti gansiklovir, pentamidine, rifabutine, clarithromycin, dan

cotrimoxazole, infiltrasi keganasan seperti lymphoma, destruksi trombosit

di perifer seperti sequestrasi limpa pada penyakit hati dengan hipertensi

portal serta DIC semuanya harus disingkirkan. Pemeriksaan biopsi dan

aspirasi sumsum tulang perlu dilakukan untuk membedakan penyebab

trombositopenia pada infeksi HIV/AIDS, peningkatan megakariosit

ditemukan sebagai respons kompensasi terhadap HIV-related ITP,

sedangkan penurunan jumlah megakariosit dan hipoplasia sumsum tulang

dapat merupakan tanda trombositopenia pada HIV yang tidak terkait ITP.

Biopsi dan aspirasi sumsum tulang juga perlu dilakukan untuk evaluasi

pada kasus trombositopenia yang tidak respon dengan pengobatan ARV

dan kortikosteroid. 7

11
G. Tatalaksana

Setelah menyingkirkan penyebab sekunder trombositopenia pada

infeksi HIV/AIDS dan menghentikan obat-obatan yang menimbulkan

trombositopenia beberapa pilihan terapi dapat digunakan (Tabel 3).

Optimalisasi pemberian ARV merupakan pilihan utama untuk

meningkatkan jumlah trombosit. Selain CD4+ count, pasien dengan

jumlah trombosit < 30.000 sel/cmm atau dengan perdarahan spontan

sebaiknya segera dimulai terapi ARV. Bila tidak terjadi respons

peningkatan jumlah trombosit dalam 2-4 minggu pemberian ARV maka

lini terapi berikutnya dapat diberikan kortikosteroid (dexametason atau

prednison) atau IVIG. Pemberian kortikosteroid dapat memberikan

respons baik pada 40-80% pasien, sedangkan IVIG dapat meningkatkan

jumlah trombosit secara cepat namun efeknya hanya sementara selama 2-

3 minggu. Transfusi trombosit hanya diberikan pada kondisi yang

mengancam jiwa dan adanya perdarahan aktif. Splenektomi dapat

dipertimbangkan pada kasus yang tidak respons dengan pengobatan lini

pertama dan kedua. Dapat memberikan hasil yang cukup baik dengan

durabilitas respons yang panjang pada sekitar 60% pasien, namun isu

peningkatan kejadian infeksi paska splenektomi membuat perlunya

dilakukan profilaksis vaksinasi sebelum pembedahan. Pilihan terapi lain

dengan menggunakan trombopoietin receptor agonist (TRA) seperti

12
eltrombopag dan romiplostim dapat dipertimbangkan untuk pasien

dengan risiko perdarahan aktif dan tidak respons dengan terapi ARV,

kortikosteroid dan IVIG. 7

1. Terapi Lini Pertama

Kortikosteroid oral menjadi pilihan utama karena efek

samping tidak parah, dan tidak membutuhkan infus intravena; terdiri

dari dua regimen, yaitu prednison dan deksametason.

Terapi prednison standar dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari,

diberikan hingga terlihat respons, kemudian dosis dapat diturunkan

(tapered off). Deksametason diberikan per oral 40 mg/hari selama 4

hari berturut-turut dan dapat diulang hingga 3 siklus; dosis tersebut

adalah dosis tinggi. Pada penelitian Wei Y, et al, pengobatan ITP

dewasa yang baru terdiagnosis lebih menguntungkan dengan

deksametason dosis tinggi dibandingkan dengan prednison. Pada

penelitian tersebut, keuntungan yang didapat adalah berkurangnya

gejala perdarahan terutama pada stadium awal ITP dan dosis tinggi

deksametason setara dengan pemberian prednison konvensional

sehingga dapat mengurangi efek samping penggunaan steroid jangka

lama.

Immunoglobulin Intravena (IVIg) dapat digunakan jika

membutuhkan peningkatan trombosit secara cepat, terutama pada

kasus perdarahan yang mengancam jiwa.1 Dosis IVIg adalah 0,8 – 1,0

13
g/kgBB dosis tunggal. Kontraindikasi penggunaan kortikosteroid juga

dapat menjadi dasar penggunaan IVIg. Terapi IVIg memiliki beberapa

kekurangan, misalnya biaya mahal, tidak nyaman saat pemberian,

serta efek samping yang dapat berupa trombosis, insufisiensi renal,

nyeri kepala, dan reaksi anafilaksis pada pasien defisiensi IgA.

Anti-D imunoglobulin merupakan terapi alternatif pasien

ITP dengan Rho(D)-positif dan belum menerima tindakan

splenektomi. Dosis Anti-D imunoglobulin 50 – 75 µg/ kgBB

intravena selama 2–5 menit. Anti – D imuoglobulin memiliki efek

samping hemolisis sehingga tidak boleh diberikan pada hemoglobin

kurang dari 10 g/dL, atau pada pasien dengan penurunan fungsi

sumsum tulang belakang. Terapi ini tidak efektif pada pasien Rh-

negatif atau pasien yang telah splenektomi.

2. Terapi Lini Kedua

Terapi lini kedua dapat digunakan pada pasien ITP yang

resisten terhadap kortikosteroid, IVIg, atau anti–D imunoglobulin;

terdiri dari rituximab, splenektomi, dan thrombopoietin receptor

agonist. Belum ada konsesus pilihan terapi lini kedua yang terbaik;

splenektomi menghasilkan waktu remisi yang lebih panjang daripada

terapi lini kedua lain, namun penggunaannya kini telah berkurang.

Rituximab merupakan antibodi monoklonal CD20. CD20

banyak terdapat pada permukaan sel B dan berperan dalam

14
perkembangan sel B. Rituximab menyebabkan apoptosis dan

destruksi sel B di limpa. Deplesi sel B ini sendiri menghambat

pembentukan anti-GPIIbIIIa dan GPIb-IX-V antibodies. Rituximab

biasanya digunakan sebagai terapi antineoplastik pada limfoma.

Untuk terapi ITP dapat digunakan dosis 375 mg/m2 sekali seminggu

selama 4 minggu. Terapi ini memiliki beberapa kelemahan seperti

reaksi infus, serum sickness, dan aritmia. Rituximab

dikontraindikasikan pada pasien Hepatitis B.

Thrombopoietin receptor agonist (TRA) digunakan apabila

terapi lini pertama serta splenektomi tidak berhasil baik. Obat ini

tidak mengurangi destruksi trombosit, tetapi meningkatkan produksi

trombosit dengan cara menstimulasi produksi megakariosit serta

berikatan dengan reseptor trombopoietin. Obat kelas ini yang tersedia

adalah romiplostim dan eltrombopag. Romiplostim merupakan fusi

protein atau peptiody yang menstimulasi produksi trombosit dengan

mekanisme yang mirip trombopoietin endogen. Obat ini diberikan

satu kali tiap minggu sebagai injeksi subkutan dengan dosis 1 – 10

µg/kg untuk menjaga jumlah trombosit di atas 50.000/µL.

Eltrombopag adalah obat oral, memiliki molekul

thrombopoietin receptor agonist yang kecil dan memiliki mekanisme

yang sama dengan romiplostim. Dalam penelitian Cheng, et al,

eltrombopag berhasil meningkatkan jumlah trombosit selama 6 bulan

15
penelitian. Obat ini efektif pada pasien yang sudah ataupun belum

splenektomi, dengan dosis 50 mg sehari sekali. Fungsinya sama

seperti romiplostim yaitu menjaga agar jumlah trombosit tetap di atas

50.000/µL.

3. Splenektomi

Limpa merupakan tempat destruksi trombosit, sehingga

splenektomi dapat mengembalikan jumlah trombosit fisiologis pada

pasien ITP. Tindakan ini efektif hingga saat ini. Penderita yang telah

menjalani spelenektomi akan membutuhkan plasma enam kali lipat

lebih banyak untuk mengalami trombositopenia. Sebanyak 66%

pasien yang telah menjalani splenektomi mengalami remisi komplit,

yaitu jumlah trombosit normal tanpa terapi lain selama observasi rata-

rata 29 bulan.

Tabel 2. Terapi lini pertama standar 8

Terapi Dosis Efek Samping

Kortikosteroi Prednison 1 – 2 Hipertensi, hiperglikemia,


d mg/kgBB per hari gastritis, perubahan mood
dengan tapering
Dewasa Deksametason 40
mg/hari selama 4 hari
untuk 1 – 3 siklus
2-4 mg/kgBB per oral;
Anak dosis terbagi dua kali

16
sehari untuk 5 – 7 hari
IVIg 0,8 – 1,0 g/kgBB IV Reaksi infus, nyeri kepala,
dosis tunggal meningitis aseptik,
trombosis
Anti-D immunoglobulin 50 – 75 µg/kgBB IV Hemolisis
dosis tunggal

Tabel 3. Tatalaksana trombositopenia pada infeksi HIV/AIDS7

Diagnosis Terapi

HIV-related  Respons dengan terapi ARV, peningkatan

Trombositopenia CD4+ dan status imun

 Prednisone 30-60 mg / hari, tappering

sesuai respons

 IVIG 400mg/kg/hari 4-5 hari atau

1000mg/kg 2 hari, respons dalam 24-48

jam reserve untuk perdarahan akut dan

tindakan bedah

 Anti-Rh antibodi Rho(D) 25-50 mcg/kg

3-4 hari tappering 3-4 minggu

 Splenectomi, bila refrakter dengan terapi

di atas

 Eltrombopag (50mg/hari) atau

romiplostim (1 mcg/ minggu) turunkan

17
dosis pada pasien dengan gangguan hati,

adjust dose bila plt > 50.000

 Tranfusi trombosit hanya pada perdarahan

aktif

TTP  Plasma exchange dengan FFP dilakukan

hingga jumlah trombosit normal

 Rituximab 375 mg/m2 tiap minggu

selama 4 dosis bila tidak respons dengan

terapi sebelumnya

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Benedictus, Nicholas. 2014. Trombositopenia dan Berbagai Penyebabnya.

Departemen Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran. UNBRA. CDK—127.

Vol. 41. No. 6.

2. Yogi, I Nyoman. 2022. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Abnormalitas

Hematologi Pasien Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) Di

Rumah Sakit Wahidin Makassar. Departemen Penyakit Dalam. Fakultas

Kedokteran. UNHAS.

3. Paolo Gresele. Platelets in Hematologic and Cardiovascular Disorders. A

Clinical Handbook. Cambrige University Press. 155-165

4. Irsha Amalia dkk. Trombositopenia Sebagai Gejala Awal Kegagalan

Terapi Antiretroviral. Divisi Hematologi Onkologi. Departemen Ilmu

Penyakit Dalam. FK UI.

5. Teny Tjitra. 2018. Immune Thrombocytopenia Purpura. Sari Pediatri.

Vol. 20. No. 1.

6. Aru. W sudoyono. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II,III Edisi V.

19
7. Afif Nurul. 2019. Manajemen HIV/AIDS. Airlangga University Press.

205-208.

8. Wijaya, Sandi. 2019. Immune Thrombocytopenia. CDK-280. Vol. 46.

No. 11.

9. Diah Pramudianti. 2011. Clinical Pathology and Medical Laboratory.

Indonesia Association Of Clinucal Pathologists. Vol. 17 No. 2.

20

Anda mungkin juga menyukai