Anda di halaman 1dari 22

REFERAT

“TOXOPLASMOSIS CEREBRI”

Referat ini dibuat untuk melengkapi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior
di Bagian Radiologi di RSUD Dr. R.M Djoelham Binjai

Disusun Oleh:
Abdi Kresna Putra
`102119021

Pembimbing:

dr. Juliamor, Sp.Rad

KEPANITERAAN KLINIS ILMU RADIOLAGI


RSUD DR RM DJOELHAM KOTA BINJAI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BATAM
TAHUN 2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena

atas izinnya penulis dapat menyelesaikan refarat ini yang berjudul

“TOXOPLASMOSIS CEREBRI”. Refarat ini di buat untuk melengkapi

persyaratan dalam mengikuti kegiatan kepanitraan klinik senior dibagian radiologi

di RSUD. DR. R. M. Djoelham Binjai.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada

pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan

pengarahan agar refarat ini lebih baik dan bermanfaat. Tentunya penulis

menyadari bahwa refarat ini banyak kekurangan, untuk itu penulis mengharapkan

kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca agar kedepannya

penulis dapat memperbaiki dan menyempurnakan kekurangan tersebut.

Besar harapan penulis agar refarat ini dapat bermanfaat bagi para pembaca

serta dapat memberikan suatu pengetahuan baru bagi mahasiswa untuk

meningkatkan keilmuannya.

Binjai, Agustus 2019

Penulis

4
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ....................................................................................................................i

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................... 3

A. Defenisi .................................................................................................... 3

B. Epidemiologi ............................................................................................ 3

C. Etiologi..................................................................................................... 4

D. Patofisiologi ............................................................................................. 4

E. Manifestasi Klinis .................................................................................... 9

F. Penegakan Diagnosis .............................................................................. 10

G. Diagnosis Banding .................................................................................. 14

H. Prognosis ................................................................................................ 15

BAB III PENUTUP ...................................................................................................... 16

DAFTAR PUSTAKA

i
BAB I

PENDAHULUAN

Toxoplasmosis ialah penyakit infeksi yang dapat meyerang binatang dan

manusia yangdisebabkan oleh sporozoa Toxoplasma gondii, yaitu suatu parasit

intraselluler. Manusia dapat terjangkit penyakit ini biasanya melalui perantara

makanan atau minuman yang terkontaminasi T. gondii seperti meminum susu sapi

segar atau memakan daging yang belum matang sempurna dari hewan yang

terinfeksi atau memakan sayuran yang terkontaminasiatau melalui kontak

langsung dengan feses kucing.

Toxoplasmosis cerebri merupakan salah satu infeksi oportunistik yang paling

sering pada sistem saraf pusat pasien HIV. Infeksi toxoplasma Gondii pada pasien

HIV terutama terjadi jika pada kondisi CD4 yang rendah, penurunan produksi

sitokin dan interferon gama, dan menurunnya fungsi sel limfosit T sitotoksik

sehingga menyebabkan reaktivasi dari infeksi laten T. Gondii.

Toxoplasmosis cerebri merupakan kasus emergensi neurologi pada HIV, oleh

karena itu memerlukan penatalaksanaan yang serius. Terapi meliputi

penatalaksanaan infeksi aktif diikuti dengan terapi maintanance untuk mencegah

rekuren pada pasien dengan CD4 <200 sel/mm3. Terapi standar diberikan

primetamin loading dose 100 mg diikuti 50mg maintanance dan sulfadiazin 100

mg/hari. Untuk pasien yang intoleran dengan sulfadiazin dapat diberikan

klindamisin 600 mg setiap 6 jam.Terapi maintanance diberikan minimal 6

minggu. Untuk mengurangi toksisitas pirimetamin terhadap sumsum tulang dapat

1
diberikan asam folat 2 sampai 4 mg/hari.Untuk mengurangi edem cerebri dapat

diberikan steroid intravena.

Diagnosis toksoplasmosis dibuat berdasarkan temuan klinis, laboratoris, dan

radioimaging. Pemeriksaan penunjang laboratorium toksoplasmosis akut dibuat

berdasarkan kultur, pemeriksaan serologis dan PCR. Pemeriksaan laboratorium

tidak ada yang spesifik kecuali limfositosis, peningkatan LED dan peningkatan

transaminase. Pemeriksaan cairan cerebrospinal pada meningoensefalitis

menunjukkan peningkatan tekanan intrakranial, pleidositosis mononuklear (10-50

sel/ml), peningkatan kadar protein.

Pemeriksaan Brain CT Scan pada pasien toxoplasmosis cerebri menunjukkan

gambaran menyerupai cincin yang multipel pada 70-80% kasus. Pada pasien

dengan AIDS yang telah terdeteksi dengan IgG Toxoplasma gondii dan gambaran

cincin yang multipel pada CT scan 85% merupakan toxoplasmosis cerebri. Lesi

tersebut terutama berada pada ganglia basal dan corticomedullary junction.

Magnetic resonance imaging (MRI) merupakan prosedur diagnostik yang

lebih baik daripada CT scan dan sering menunjukkan lesi-lesi yang tidak

terdeteksi dengan CT scan. Oleh karena itu MRI merupakan prosedur baku jika

memungkinkan terutama bila CT scan menunjukkan gambaran lesi tunggal.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFENISI

Toxoplasmosis cerebri merupakan salah satu infeksi oportunistik yang


paling sering pada sistem saraf pusat pasien HIV. Infeksi toxoplasma
gondii pada pasien HIV terutama terjadi jika pada kondisi CD4 yang
rendah, penurunan produksi sitokin dan interferon gama, dan menurunnya
fungsi sel limfosit T sitotoksik sehingga menyebabkan reaktivasi dari
infeksi laten T. gondii. Toxoplasmosis cerebri merupakan kasus emergensi
neurologi pada HIV, oleh karena itu memerlukan penatalaksanaan yang
serius.

B. EPIDEMIOLOGI
Aquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) pertama kali
diidentifikasi pada tahun 1981, dan Human Immunodeficiency Virus (HIV)
telah diketahui sebagai penyebab pada tahun 1984. Pada bulan Desember
2002, World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa 42 juta
penduduk hidup dengan HIV. Dalam tahun 2002, dtemukan 5 juta
penderita baru yang terinfeksi HIV dan 3,1 juta meninggal dunia.
Kasus pertama HIV/AIDS di Indonesia ditemukan pada tahun 1987 di
Bali.2,3 Secara kumulatif pengidap infeksi dan kasus HIVAIDS 1 April
1987 sampai 30 September 2005, terdiri dari 4065 HIV dan 4186 AIDS
dengan jumlah total 7098 dengan jumlah kematian 1028 penderita.
Berdasarkan data kasus HIV-AIDS dari Dinas Kesehatan Sumatera
Utara menunjukkan peningkatan yang signifikan. Dari jumlah kasus HIV-
AIDS di bulan Juli 286 penderita meningkat pada bulan Oktober menjadi
301 penderita dengan perincian 177 HIV positif dan 124 AIDS.
Peningkatan penemuan kasus juga meningkat di RSU. H. Adam Malik
Medan sampai bulan Oktober 2005 ditemukan 132 kasus HIV/AIDS.

3
Keterlibatan sistem saraf pada infeksi HIV dapat terjadi secara
langsung karena virus tersebut dan tidak langsung akibat infeksi
oportunistik immunocompromised. Studi di negara barat melaporkan
komplikasi pada sistim saraf terjadi pada 30-70% penderita HIV, bahkan
terdapat laporan neuropatologik yang mendapat kelainan pada 90
spesimen post mortem dari penderita HIV yang diperiksa. Infeksi
oportunistik terhadap sistim saraf pada AIDS bisa oleh patogen viral atau
non viral. infeksi tersering adalah ensefalitis toksolasmosis (ET) yang
disebabkan oleh Toxoplasma gondii (T.gondii). Secara klinik ET dijumpai
pada 30-40 % penderita AIDS, dimana penyakit ini lebih sering
disebabkan reaktivasi dari infeksi laten yang sudah ada sebelumnya
dibanding infeksi yang baru di dapat.

C. ETIOLOGI
Toxoplasma gondii adalah parasite intraselular yang menginfeksi
burung dan mamalia. Tahap utama daur hidup parasit adalah pada kucing
(pejamu definitif). Dalam sel epitel usus kucing berlangsung daur aseksual
(skizogoni) dan daur seksual (gametoni, sporogoni) yang menghasilkan
ookista yang dikeluarkan bersama tinja. Ookista yang berbentuk lonjong
dengan ukuran 12,5 mikron menghasilkan 2 sporokista yang masing-
masing mengandung 4 sporozoid.
Bila ookista ini tertelan oleh mamalia lain atau burung (hospes
perantara), maka pada berbagai jaringan hospes perantara ini dibentuk
kelompok-kelompok tropozoit yang membela secara aktif.

D. PATOFISOILOGI
Kasus infeksi T.gondii pada manusia biasanya terjadi melalui jalur oral
atau transplasenta dan sangat jarang melalui transfusi darah maupun
transplantasi organ. Kebiasaan mengkonsumsi daging mentah atau tidak
dimasak dengan baik mengandung kista viabel, air dan sayuran yang
terkontaminasi ookista merupakan alur primer penularan melalui oral.

4
Manusia adalah host sekunder untuk T.gondii, sedangkan kucing adalah
host definitif. Kucing terinfeksi menyebarkan penyakit ketika
mengeluarkan ookista melalui kotorannya. Ketika kista jaringan
mengandung bradisoit atau ookista tertelan manusia, kista terlepas oleh
enzim pencernaan usus halus, sporozoit dilepaskan masuk ke sel epitel
usus halus dan sebagian mati oleh karena proses fagositosis dan sebagian
lagi melanjutkan perkembangannya menjadi trophozoit atau takisoit
(Joynson dan Wreghitt, 2001).
Sporozoit yang terlepas dapat menghindari sistem imun tubuh pertama
oleh karena memiliki mantel lamina dan matrik protein ekstraseluler yang
dapat mencegah fagositosis dan kerusakan oksidatif Aminoff dkk, (2007),
walaupun saat ini respon imunitas seluler terhadap toksoplasma sangat
efektif namun pada seseorang dengan imunokompremis (AIDS), sistem ini
tidak mampu bekerja secara optimal. Seiring menurunnya kadar CD4
menyebabkan kista yang awalnya bersifat laten akan mengalami
perubahan fase.
Kista di jaringan otak mengandung banyak bradisoit (kista jaringan
otak
dengan daya replikasi sangat rendah), akan mengalami perubahan fase
menjadi takisoit dalam kista (pseudokista) yang mempunyai aktivitas
pembelahan sangat cepat, aktif dan invasif. Perkembangan selanjutnya
takisoit atau trophozoit akan mengalami replikasi secara cepat sehingga
mengisi seluruh sel glial otak.
Proses takisoit menembus masuk ke sel glial, menempel pada
permukaan sel hospes kemudian membentuk vakuola, pengeluaran enzim
dari roptri sehingga mempermudah menembus kedalam sel hingga
sempurna dalam waktu ± 10 detik. Selanjutnya bereplikasi sangat cepat
mengisi seluruh sel glial hingga penuh menyebabkan sel pecah dan parasit
bersporulasi menginfeksi sel jaringan otak sekitarnya. Takisoit yang baru
terbentuk akan menyebar dan segera mengaktivasi sistem imunitas tubuh

5
ditangkap oleh makrofag dan limfosit yang merupakan sistem imun diluar
sistem saraf pusat (SSP) (Dubey, 2010).
Sitokin yang dihasilkan oleh sel astrosit dan mikroglia seperti IL-1, IL-

6, Tumor Necrosis Factor α (TNFα) dan Tumor Growth Factor ß (TGF-ß)

dan sitokin yang dihasilkan oleh oligodendrodit seperti IL-1, dan TGF- ß,
sel-sel tersebut merupakan komponen sistem imun dalam otak (SSP) yang
bekerja untuk menghancurkan dan menghambat perkembangan parasit

(Dubey, 2010). Astrosit dan mikroglia memproduksi TNFα yang

memodulasi ekspresi MCH-I dan MCH-II yang ditemukan pada beberapa

jenis sel SSP. Interferon gamma (IFN-γ) diproduksi oleh sistem imun di

SSP maupun diperifer dan INF-γ inilah yang kerjanya diduga sebagai

penghubung antara SSP dan sistem imun diseluruh tubuh (Karnen, 2006).
Lesi di otak menjadi lebih berat dan permanen akibat destruksi
jaringan oleh karena ploriferasi takisoit, mengakibatkan sel otak
mengalami kematian atau nekrosis (Claudia dkk., 2003). Mekanisme
kematian sel glia secara morfologi terdiri dari dua mekanisme yaitu,
apoptosis dan nekrosis. Sebagai akibat proses integrasi antigen antibodi.
Kedua mekanisme sel ini pada awalnya diakibatkan oleh suatu stress
oksidatif sebagai pemicu awalnya, namun proses kematian sel selanjutnya
sangat berbeda. Takisoit menginduksi terjadinya proses infiltrasi inflamasi

sel mikroglia untuk menginduksi IFN-γ selanjutnya menghasilkan Nitrit

Oksida (NO) sebagai stress oksidatif yang merusak mikondria sel. Sitokin

proinflamasi dalam otak IL-1 dan TNFα merangsang Apaf-1

mengaktifkan caspase untuk terjadinya apoptosis yaitu kematian sel tipe-1,


selanjutnya terjadi kematian sel tipe-2, cytoplasmic autophagig vakuola
dalam lisosom yang merusak intraseluler yang merusak nukleus dan
sitoplasma sebagai penetrasi takisoit dalam target nukleus sehingga
kematian sel tipe-3 yang dikenal dengan nekrosis terjadi. Nekrosis ditandai

6
dengan kariolisis dan edem sel sehingga terjadi pembengkakan dan
hilangnya plasma serta integritas membran (Jorge dkk, 2000). Keluaran
radikal bebas Nitrit Oksida (NO) dalam jumlah tinggi menimbulkan gejala
serebral melalui hambatan neurotransmisi (Denkers dan Gazzinelli, 1998).
Keadaan AIDS menyebabkan respon perlawanan terhadap T.gondii
sangat lemah, tidak mampu membatasi perkembangan parasit. Sifat parasit
yang obligat intraseluler memperburuk keadaan, dimana parasit masuk
secara intraseluler kemudian dengan mudah menyebar keseluruh tubuh
secara hematogen dan limfogen. Parasit dapat masuk menembus sawar
darah otak yang memperberat infeksi disamping oleh reaktivasi dari kista
jaringan yang memang sebelumnya berada di jaringan otak. Pada saat
takisoit menyebar dalam darah terjadi parasitemia yang berlangsung
beberapa hari. Takisoit beredar dalam sirkulasi akan difagosit oleh
makrofag. Takisoit mempunyai kemampuan menghambat fusi fagosom
dan lisosom, sehingga terhindar dari enzim lisosom yang dapat
membunuhnya. Kondisi sistem imun rendah menyebabkan takisoit tetap
dapat berkembang dalam makrofag dan justru secara aktif menginvasi sel
makrofag untuk membelah diri dalam fagosom, selanjutnya makrofag
pecah mengeluarkan banyak takisoit baru dan siap menginfeksi sel host
lainnya melalui proses endodiogeni (Viqar, 1997).
Penderita AIDS yang terjadi kegagalan mempertahankan keadaan
seimbang antara hospes dan parasit oleh karena terserangnya CD4
sehingga kemampuan pengenalan antigen yang depresentasikan bersama
Major Histocompatibilitas Complex (MHC-II), oleh Antigen Presenting
Cell (APC) yang berkembang menjadi sel efektor Th1 menurun sehingga

sekresi IFN-γ menurun dan terjadi penurunan fungsi imunitas seluler

fagosit/makrofag secara menyeluruh menurun.


Sistem imun ini yang sangat berperan dalam terjadinya reaktivasi
T.gondii. Pada host yang imunokompeten cell mediated immunity (CMI )
atau sel T CD8+ / sel T cytotoxic (Tc) memiliki peranan yang penting

7
dalam mengendalikan infeksi interaseluler toksoplasma akut. Sel Tc
mengenal peptida antigen dalam sitoplasma sel terinfeksi yang diikat
molekul MHC-I yang ditemukan pada semua sel tubuh bernukleus dengan
menghancurkan sel yang terinfeksi tersebut (Karnen, 2006). Kista jaringan
di sel glial pada pasien AIDS akan mengalami degenerasi dan terjadi
perkembangan fase, kista yang mengandung bradisoit berubah menjadi
bentuk takisoit yang aktif dan invasif. Perkembangan kista laten inilah
yang merupakan sumber infeksi baru toksoplasmosis pada pasien AIDS
dan bertanggung jawab untuk terjadinya toksoplasmosis serebri (Dubey,
2010).
Pada pasien AIDS terjadi keadaan defisiensi imun yang disebabkan
oleh defisiensi secara kualitatif dan kuantitatif yang progresif dari subset
limfosit T yaitu T helper (Th1). Subset sel T digambarkan secara fenotip
oleh ekspresi pada permukaan sel molekul CD4 yang bekerja sebagai
molekul sel primer pada penderita HIV (Merati dan Samsuridjal, 2006)).
Setelah beberapa tahun, jumlah CD4 akan mengalami deplesi dan

menurun dibawah level kritis ≤ 100 sel/mL, pasien sangat rentan terhadap

infeksi oportunistik seperti infeksi laten T.gondii akan menjadi aktif


kembali (Pokdisus, 2005).
Imunitas seluler menjadi sangat penting dalam mengontrol infeksi
T.gondii dengan bantuan imunitas humoral. Makrofag dan sel dendritik
yang teraktivasi oleh adanya takisoit akan memproduksi IL-12 dan sinyal
sel T seperti ligan CD140 (CD40L) yang mengikat atau mengekspresikan
CD40. IL-12 bekerja terhadap limfosit dan sel NK untuk merangsang

produksi IFN–γ dan aktifitas sitolitik untuk menyingkirkan takisoit

intraseluler. Mekanisme terjadinya infeksi T.gondii pada pasien AIDS


sifatnya multipel. Mekanisme ini termasuk penurunan kadar CD4,

gangguan produksi IL-12 dan IFN-γ serta sel CD40L (CD140) yang

8
mengikat CD40 menurun, sehingga infeksi T.gondii yang laten dapat
teraktivasi (Zubairi dan Samsuridjal, 2006).
Penelitian terdahulu mengenai T.gondii dilaporkan bahwa kemampuan
dan peranan sel CD4+ untuk melawan infeksi T.gondii sangat jelas.
Walaupun pada seseorang dengan fungsi sel T kurang, namun gejala tidak
akan timbul secara menyeluruh, hal ini diyakini karena virulensi dari
strains T.gondii yang berbeda (Pohan, 2006).

E. MANIFESTASI KLINIS
Setelah invasi yang biasanya terjadi di usus, maka parsit memasuki sel
atau difagositosis. Sebagian parasite mati setelah difagositosis, sebagian
lainnya berkembang biak dalam sel, menyebabkan sel hospes pecah dan
menyerang sel-sel lain. Dengan danya parasite dalam makrofag dan
limfosit, maka penyebaran secara hematogen dan limfogen ke seluruh
bagian tubuh mudah terjadi.
Lesi pada susunan saraf pusat dan mata biasanya lebih berat dan
permanen, oleh karena jaringan ini tidak mempunyai kemampuan untuk
beregenerasi. Kelain pada susunan saraf pusat berupa nekrosis yang
disertai dengan kalsifikasi. Penymbatan akuaduktus Sylvii oleh karena
epidimitis mengakibatkan hidrosefalus pada bayi.
Pasien imunokompromais mempunyai resiko tinggi untuk mengidap
toksoplasmosis yang berat dan sering fatal akibat infeksi baru maupun
reaktif. Penyakit yang berkembang menyerang susunan saraf pusat seperti
ensefalitis, meningoensefalitis, atau space occupiying lesion (SOL).
Toxoplasmosis cerebri menyebabkan lesi unifokal, jarang lesi yang
difus. Gejala klinis tergantung pada lokasi dan jumlah lesi. Gejala yang
paling sering dikeluhkan meliputi: sakit kepala (49-63%), demam (41-
68%), deficit fokal (22-80%), kejang (19-29%), kebingungan (15-52%),
ataxia (15-25%), letargi (12- 44%), kelemahan saraf kranial (12-19%), dan
gangguan penglihatan (8-15%). Manifestasi lainnya dapat bjuga berupa

9
disartria, gangguan kognitif, peningkatan tekanan intrakranial, dan gerakan
involunter

F. PENEGAKAN DIAGNOSIS
Diagnosis untuk toksoplasmosis serebri dilakukan berdasarkan
diagnosis
presumtif dan definitif. Diagnosis presumtif menurut kriteria CDC,1993
berdasarkan gejala klinis, gambaran radiologis (sken kepala dengan
kontras), pemeriksaan imunologi darah tepi maupun CSS (Vidal dkk.,
2004). Diagnosis definitif dengan melakukan biopsi jaringan otak untuk
mengetahui adanya parasit T.gondii yang terisolasi (Sara dkk, 2009).
1. Tes Serologi
Tes serologi dapat mnunjnag diagnosis toksoplasmosis. Tes yang
dipakai adalah tes warna Sabin Feldman (Sabin-Feldman dye test) dan
tes hemaglutinasi tidak langsung (IHA), untuk deteksi antibodi IgG,
tes anti T. gondii flouresen tidak langsung (IFA), dan tes ELISA untuk
deteksi antibodi IgG dan IgM.
2. Pemeriksaan CT Scan Otak
Pemeriksaan CT scan pada pasien dengan ensefalitis
toksoplasmosis menunjukkan gambaran menyerupai cincin yang
multiple pada 70% kasus. Pada pasien dengan AIDS yang telah
terdeteksi dengan IgG Toxoplasma gondii dan gambaran cincin yang
multiple pada CT Scan sekitar 80% merupakan TE. Lesi tersebut
terutama berada pada ganglia basal dan cortocomedullary junction.

10
Gambar 2.1 CT Scan Kepala dengan Penyangatan Kontras berbentuk Cincin
pada Basal Ganglia (Dubey, 2010).

Gambar 2.2 CT scan didapatkan gambaran lesi hipodens multiple dengan kesan
suatu abses serebri.

Pada pasien HIV, gambaran toksoplasmosis serebri sering muncul


dalam bentuk abses serebri. Untuk mendapatkan gambaran yang jelas
dari suatu infeksi toksoplasmosis serebri pada CT scan kepala tersebut
hendaknya dilakukan dengan memakai kontras, karena dengan kontras
pencitraan dapat menunjukkan gambaran ring enhancement.

11
3. MRI
MRI merupakan prosedur diagnostic yang lebih baik dari pada CT
scan dan sering menunjukkan lesi-lesi yang ridak terdeteksi dengan
CT scan. Oelh karena itu MRI merupakan prosedur baku bila
memungkinkan terutama bila pada CT scan menunjukkan gambar lesi
tunggal. Namun gambaran yang terdapat pada MRI dan CT scan tidak
patognomonik untuk ET. Salah satu diagnosis banding yang penting
adalah limfoma dengan lesi multiple pada 40% kasus.

Gambar 2.3 MRI kepala

12
Gambar 2.4 Lesi hiperintens pada basal ganglia dan thalamus sinistra

Gambar 2.5 Lesi berbatas tegas, irregular, dan intensitas rendah pada pusat lesi

13
Gambar 2.6 dikontraskan,gambar menunjukkan tidak adanya peningkatan dalam
lesi

G. DIAGNOSIS BANDING
1. Metastasis serebral

Gambar 2.7 MRI deposit metastasis

14
Pada gambaran radiologi di atas, terlihat adanya lesi multiple
berbentuk cincin kecil yang tersebar. Hal tersebut membuktikan
adanya tanda-tanda metastasis hingga ke otak. Salah satu contohnya
adalah pada kanker payudara yang dapat bermetastasis hingga keotak
dengan cara hematogeneus.
2. Lymphoma

Gambar 2.8 MRI pada lymphoma

Lymphoma memiliki kecenderungan dengan penyebaran


periventrikuler. Berdasaarkan sifat sel lymphoma yaitu padat, maka
penggunakan kontras jarang digunakan. Hal ini juga berlaku pada
pemeriksaan CT scan dengan gambaran yang sering muncul adalah
hiperdens.
3. Intrakranial Tuberkuloma
Tuberkuloma berbeda dengan abses dengan bukti adanya reaksi
granulomatosus dan menyebabkan nekrosis secara histologi.
Sedangkan abses tidak terdapat reaksi granulomatosus dan inti lesi
penuh dengan nanah. Namun tidak semua tuberkuloma memiliki inti
padat, ada beberapaka kasus ditemukan berbentuk lunak.

15
Gambar 2.9 MRI pada intracranial tuberculosis

Pada gambar di atas terlihat multiple cincin granuloma pada otak


menggunakan kontras.

H. PROGNOSIS
Toksoplasmosis pada pasien imunokompeten mempunyai prognosis
yang baik. Sebaliknya pada pasien dengan immunocompromised, kematian
terkait toksoplasmosis serebri pada HIV/AIDS sering menimbulkan
kematian hampir 100% apabila terdapat keterlambatan terapi.

BAB III

KESIMPULAN

Toxoplasmosis cerebri merupakan infeksi oportunistik pada system saraf pusat


yang paling sering dijumpai pada pasien HIV. Infeksi ini terjadi akibat terjadinya
reaktivasi T. gondii pada kondisi immunocompromised. Penegakan diagnosis
berdasarkan anamnesa, gambaran klinis, pemeriksaan neurologis, pemeriksaan
penunjang atau serologi. Diagnosis yang cepat dan tepat dapat memperbaiki
outcome pasien.

16
17
DAFTAR PUSTAKA

Claudia, R., Martinez, R., Figueiredo, R.T., Bozza, T.M., Lima, F.R.S., Pires,
L.A., Bonomo, A., Vieira, L.J., De Souza, W., Neto, V.M. 2003. Soluble
Factors Released by Toxoplasma gondii-Infected Astrocytes Down-
Modulate Nitric Oxide Production by Gamma Interferon-Activated
Microglia and Prevent Neuronal Degeneration. Infection and Immunity
Journal; 71(4):2047-2057.

Denkers, E.Y., Gazzinelli, R.T. 1998. Regulation and Fuction of T-Cell-Mediated


Immunity during Toxoplasma gondii Infection. Clinical Microbiology
Reviews; 11 (4): 569-588.

Depkes (Departemen Kesehatan RI) Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit


Menular dan Penyehatan Lingkungan. 2004. Pemantauan Klinis dan
Laboratorium. Dalam: Pulungsih, S.P., editors. Pedoman Pengobatan
Antiretroviral (ART) di Indonesia. Jakarta: Direktur Jenderal PPM&PL.hal.
22-24.

Dubey, J.P. 2010. Toxoplasmosis of Animals and Humans. Second Edition. New
York: CRC Press

Jorge, C., Tato, C., Cai, G., Villegas, E.N., Speirs, K., Craig, L., Alexander,
J.,Hunter, C.A. 2000. Identification of a Role for NF- kappa B2 in the
Regulation of Apoptosis and in Maintenance of T Cell-Mediated Immunity
to Toxoplasma gondii. J. Immunol: 165: 5720-5728.

Karnen, G.B. 2006. Imunologi Dasar . Edisi ke-7.Jakarta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia

Pohan, H.T. 2006. Toksoplasmosis. Dalam: Sudoyo,A.W., Setiyohadi,B., Alwi,I.,


Simadibrata,M.K., Setiati,S., editors. Ilmu Penyakit Dalam. 4th.Ed. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.hal.1780-1788.

Pokdisus (Kelompok Studi Khusus) AIDS Fakultas Kedokteran Universitas


Indonesia ., Perhimpunan Dokter Peduli AIDS Indonesia (PDPAI).2005.
Toksoplasmosis. Dalam: Yunihastuti, E., Djauzi, S., Djoerban, Z., editors.
Infeksi Oportunistik pada AIDS.Ed.Jakarta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.hal.33-38.
Swami A, Thakuria R, Kharat S. Cerebral Toxoplasmosis in a Treatment Naive
HIV Patient with High CD4 Count Responding to Treatment with a Regime
of Cotrimoxazole and Pyrimethamine: Do We Need to Start Prophylaxis for
Toxoplasmosis at a Higher CD4 Count? HIV/AIDS Research and
Treatment. 2015 August; 2(3):72-5

Yancheva N, Tsvetcova N, Marinova I, Elenkov I, Tchervenyakova T, Nikolova


M, et al. A Report of Two Cases with Different Clinical Presentation of
Cerebral Toxoplasmosis in HIV-Infected Bulgarian Patient. Journal of
AIDS and Clinical Research. 2017 February; 8(673):1-3

https://radiopaedia.org/articles/neurotoxoplasmosis

https://pubs.rsna.org/doi/full/10.1148/rg.294085205

Anda mungkin juga menyukai