Anda di halaman 1dari 30

KEGAWATDARURTAN DALAM KEHAMILAN LANJUT

Dosen Pengampu : Ibu Arsulfa, S. SiT., M. Keb

Oleh
Kelompok 1 :

Amelia Putri Pratiwi ( P00324020101 )


Andi selfi ( P00324020102 )
Anggun Dwi Aryanti ( P00324020103 )
Annisa Diwyanti Aswan ( P00324020104 )
Asfika ( P00324020105 )
Astiar Ahmad ( P00324020106 )
Cherly Sri Kusniatin ( P00324020107 )
Dedeh Rahmawati Ningrum ( P00324020108 )

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KENDARI
PRODI D-III KEBIDANAN
2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Kegawatdaruratan
dalam Kehamilan Lanjut” ini tepat pada waktunya. Tidak lupa kami mengucapkan terima
kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan
baik pikiran maupun materinya.

Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa
pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Bagi kami sebagai penyusun merasa
bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan
pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran
yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Kendari, 26 Februari 2022

Penyusun

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................................................i
DAFTAR ISI........................................................................................................................................ii
BAB I....................................................................................................................................................1
Pendahuluan........................................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan.......................................................................................................................2
BAB II..................................................................................................................................................3
Pembahasan.........................................................................................................................................3
2.1 Definisi Kegawatdaruratan.......................................................................................................3
2.2 Jenis – Jenis Kegawatdaruratan Kehamilan Lanjut...............................................................3
2.2.1 Pre – Eklampsia..................................................................................................................3
2.2.2 Eklampsia............................................................................................................................8
2.2.3 Plasenta Previa..................................................................................................................15
2.2.4 Solusio Plasenta.................................................................................................................20
BAB III...............................................................................................................................................26
Penutup..............................................................................................................................................26
3.1 Kesimpulan..............................................................................................................................26
3.2 Saran.........................................................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................27

2
BAB I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang


Semua wanita hamil beresiko komplikasi obstetri. Komplikasi yang mengancam jiwa
kebanyakan terjadi selama persalinan, dan ini semua tidak dapat diprediksi. Prenatal
screening tidak mengidentifikasi semua wanita yang akan mengembangkan komplikasi
(Rooks, Winikoff, dan Bruce 1990).

Perempuan tidak diidentifikasi sebagai "berisiko tinggi" dapat dan melakukan


mengembangkan komplikasi obstetrik. Kebanyakan komplikasi obstetrik terjadi pada wanita
tanpa faktor resiko.

Penyebab kematian yang paling cepat pada neonatus adalah asfiksia dan perdarahan.
Asfiksia perinatal merupakan penyebab mortalitas dan morbiditas yang penting. Akibat
jangka panjang, asfiksia perinatal dapat diperbaiki secara bermakna jika gangguan ini
diketahui sebelum kelahiran (mis; pada keadaan gawat janin) sehingga dapat diusahakan
memperbaiki sirkulasi/ oksigenasi janin intrauterine atau segera melahirkan janin untuk
mempersingkat masa hipoksemia janin yang terjadi.

Pada saat ini angka kematian ibu dan angka kematian perinatal di Indonesia masih
sangat tinggi. Menusut survei demografi dan kesehatan indonesia (SDKI) tahun 2011 Angka
Kematian Ibu (AKI) masih cukup tinggi, yaitu 228 per 100.000 kelahiran hidup, dan Angka
Kematian Balita di Indonesia tahun 2007 sebesar 44/10.000 Kelahiran Hidup. Jika
dibandingkan dengan negara-negara lain, maka angka kematian ibu di Indonesia adalah 15
kali angka kematian ibu di Malaysia, 10 kali lebih tinggi dari pada thailan atau 5 kali lebih
tinggi dari pada Filipina.

Dari berbagai faktor yang berperan pada kematian ibu dan bayi, kemampuan kinerja
petugas kesehatan berdampak langsung pada peningkatan kualitas pelayanan kesehatan
maternal dan neonatal terutama kemampuan dalam mengatasi masalah yang bersifat
kegawatdaruratan. Semua penyulit kehamilan atau komplikasi yang terjadi dapat dihindari
apabila kehamilan dan persalinan direncanakan, diasuh dan dikelola secara benar. Untuk

3
dapat memberikan asuhan kehamilan dan persalinan yang cepat tepat dan benar diperlukan
tenaga kesehatan yang terampil dan profesional dalam menanganan kondisi
kegawatdaruratan.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian dari Kegawatdaruratan?
2. Apa saja Jenis – Jenis Kegawatdaruratan dalam Kehamilan Lanjut?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui pengertian kegawatdaruratan
2. Untuk mengetahui jenis – jenis Kegawatdaruratan dalam Kehamilan Lanjut

4
BAB II

Pembahasan
2.1 Definisi Kegawatdaruratan
Kegawatdaruratan adalah mencakup diagnosis dan tindakan terhadap semua pasien
yang memerlukan perawatan yang tidak direncnakan dan mendadak atau terhadap pasien
dengan penyakit atau cidera akut untuk menekan angka kesakitan dan kematian pasien.

Obstetri adalah cabang ilmu kedokteran yang berhubungan dengan persalinan, hal-hal
yang mendahuluinya dan gejala-gejala sisanya . membahas tentang fenomena dan
penatalaksanaan kehamilian, persalinan, peurperium baik dalam keadaan normal maupun
abnormal.

2.2 Jenis – Jenis Kegawatdaruratan Kehamilan Lanjut


2.2.1 Pre – Eklampsia
1. Pengertian Pre - Eklampsia

Pre-eklampsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan


disertaidengan proteinuria (Prawirohardjo, 2008).Pre-eklamsia dan eklamsia,
merupakan kesatuan penyakit, yakni yang langsungdisebabkan oleh kehamilan,
walaupun belum jelas bagaimana hal itu terjadi. Pre eklamasidiikuti dengan timbulnya
hipertensi disertai protein urin dan oedema akibat kehamilan setelahusia kehamilan 20
minggu atau segera setelah persalinan (Ilmu Kebidanan Yayasan BinaPustaka
Sarwono Prawiharjo, Fak. UI Jakarta, 1998).Diagnosis pre-eklamsia ditegakkan
berdasarkan adanya dua dari tiga gejala, yaitu penambahan berat badan yang
berlebihan, oedema, hipertensi dan proteinuria. Penambahan berat badan yang
berlebihan bila terjadi kenaikan 1 Kg seminggu berapa kali. Oedema terlihatsebagai
peningkatan berat badan, pembengkakan kaki, jari tangan, dan muka. Tekanan darah>
140/90 mmHg atau tekanan sistolik meningkat >30 mmHg atau tekanan diastolik
>15mmHg yang diukur setelah pasien beristirahat selama 30 menit. (Kapita Selekta
Kedokteran,Mansjoer Arif, Media Aesculapius, Jakarta, 2000).

2. Tanda - Tanda Pre - Eklampsia pada Ibu Hamil

Berikut berbagai tanda preeklampsia pada ibu hamil yang perlu diwaspadai, yaitu:

a. Tekanan darah tinggi

5
Tanda pre-eklampsia ini biasanya paling umum dan mudah terdeteksi. Kondisi
ini ditandai dengan tekanan darah yang ada di angka 140/90 mmHg bahkan lebih
ketika menjalani pengecekan tekanan darah. Jika tanda ini terjadi di minggu ke-20
kehamilan sementara sebelumnya tidak memiliki riwayat darah tinggi, maka segera
konsultasikan ke dokter untuk pemeriksaan mengenai kemungkinan adanya
preeklampsia.

Menurut sebuah jurnal dari Vascular Health and Risk Management,


preeklampsia yang bersifat ringan biasanya ditandai dengan tekanan darah diastolik di
atas 90 mmHg. Sementara itu, tanda preeklampsia berat yang berpotensi
membahayakan ibu dan bayi ditunjukkan dengan tekanan sistolik di atas 160 mmHg,
dan diastolik di atas 110 mmHg.

b. Adanya protein di dalam urine

Proteinuria atau keberadaan protein di dalam urine juga merupakan tanda


adanya preeklampsia. Pasalnya, preeklampsia bisa merusak ginjal yang berfungsi
menyaring cairan dalam tubuh. Akhirnya, protein yang harusnya diserap darah untuk
dialirkan ke seluruh tubuh justru masuk ke dalam urin hingga akhirnya dikeluarkan
dari tubuh. Akibatnya, banyak protein bermanfaat yang justru hilang dari dalam
tubuh.

c. Bengkak

Pembengkakan memang kondisi yang sangat normal selama kehamilan.


Biasanya kondisi ini menyerang kaki sehingga terlihat lebih besar dibanding
biasanya.Namun, ketika wajah, mata, dan tangan juga ikut membengkak, maka Ibu
hamil perlu curiga bahwa ini adalah tanda preeklampsia. Jika mengalami tanda-tanda
preeklampsia ini, segera periksakan diri ke dokter.

d. Sakit kepala

Sakit kepala baik yang terasa tumpul, berat, dan juga berdenyut bisa menjadi
salah satu gejala yang umum selama masa kehamilan. Namun, Ibu hamil perlu
mewaspadai sakit kepala yang disertai dengan gangguan penglihatan, nyeri di bawah
tulang rusuk, serta sesak napas. Hal tersebut bisa jadi merupakan tanda preeklampsia,
apalagi jika kondisi ini mulai sering terjadi di usia ke-20 kehamilan.

6
Jika sakit kepala tidak juga hilang setelah berbaring, dan bahkan disertai
dengan perubahan penglihatan serta sensitif terhadap cahaya, sebaiknya segera
konsultasikan ke dokter. Tanda preeklampsia berupa sakit kepala sama bahayanya
dengan tanda-tanda lainnya dan berpotensi menimbulkan komplikasi yang parah.

d. Kenaikan berat badan secara tiba-tiba

Berat badan yang meningkat secara tiba-tiba sebanyak satu kilogram dalam
seminggu bisa menjadi salah satu ciri Ibu hamil mengalami preeklampsia. Pasalnya,
pembuluh darah yang rusak memungkinkan air bocor dan masuk ke berbagai jaringan
tubuh dan tidak masuk ke ginjal untuk seharusnya dikeluarkan melalui urine. Selain
itu, tanda preeklampsia lain yang mesti Ibu hamil waspadai adalah mual, muntah,
nyeri pada perut dan bahu, dan pandangan buram. Jika Ibu hamil mengalami tanda
preeklampsia di atas, segera konsultasi ke dokter kandungan Ibu hamil. Pasalnya, bila
tanda preeklampsia ini tak cepat ditangani akan menyebabkan kondisi yang lebih
parah dan berbahaya bagi janin.

e. Mual dan muntah

Ibu hamil mungkin mengira bahwa rasa mual dan muntah yang Ibu hamil
alami hanya bagian dari gejala-gejala kehamilan biasa. Namun, Ibu hamil perlu
berhati-hati apabila mual dan muntah masih terjadi setelah trimester pertama
kehamilan. Bisa jadi hal tersebut merupakan tanda preeklampsia.

Pasalnya, gejala morning sickness yang lumrah dialami ibu hamil umumnya
terjadi pada masa-masa awal kehamilan saja. Jika Ibu hamil masih sering merasa
mual, terlebih jika mual muncul secara mendadak, Ibu hamil perlu memeriksakan
tanda awal preeklampsia ini ke dokter.

f. Hiperreflexia

Hiperreflexia juga merupakan bagian dari tanda-tanda preeklampsia, di mana


refleks tubuh terlampau kuat. Misalnya ketika lutut terbentur atau menyentuh sesuatu,
lutut atau kaki akan terpental secara berlebihan.

Kondisi ini terjadi akibat reaksi berlebihan pada sistem saraf involunter di
dalam tubuh Ibu hamil. Umumnya, perubahan refleks pada tubuh memperbesar

7
peluang Ibu hamil mengalami kejang, meskipun kejang juga dapat terjadi tanpa
adanya hiperreflexia.

g. Rasa cemas disertai sesak napas

Tanda preeklampsia juga dapat muncul dalam bentuk rasa cemas berlebihan
(anxiety), yang diikuti dengan gejala sesak napas, denyut nadi meningkat, serta
merasa linglung.

Kondisi ini memang umum terjadi ketika tekanan darah meningkat, serta
kemungkinan berkaitan dengan penumpukan cairan atau edema pada paru-paru.

3. Penyebab Pre – Eklampsia

Penyebab pre-eklamsi belum diketahui secara pasti, banyak teori yang


cobadikemukakan para ahli untuk menerangkan penyebab, namun belum ada jawaban
yangmemuaskan. Teori yang sekarang dipakai adalah teori Iskhemik plasenta. Namun
teori ini juga belum mampu menerangkan semua hal yang berhubungan dengan
penyakit ini. (IlmuKebidanan Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiharjo, Fak. UI
Jakarta, 1998)

4. Klasifikasi Pre - Eklampsia

Pre-eklamsia digolongkan menjadi 2 golongan :

1) Pre-eklamsia ringan :

a. Kenaikan tekanan darah diastolik 15 mmHg atau >90 mmHg dengan 2 kali
pengukuran berjarak 1jam atau tekanan diastolik sampai 110mmHg.
b. Kenaikan tekanan darah sistolik 30 mmHg atau > atau mencapai 140mmHg.
c. Protein urin positif 1, edema umum, kaki, jari tangan dan muka. KenaikanBB
> 1Kg/mgg.

2) Pre-eklampsia berat :

a. Tekanan diastolik >110 mmhg,Protein urin positif 3, oliguria (urine, 5gr/L).


b. Hiperlefleksia, gangguan penglihatan, nyeri epigastrik, terdapat edema dan
sianosis, nyeri kepala, gangguankesadarand.

5. Gangguan Klinis Pre-Eklampsia

8
a. Sakit kepala terutama daerah frontal
b. Rasa nyeri daerah epigastrium
c. Gangguan penglihatan
d. Terdapat mual samapi muntah
e. Gangguan pernafasan sampai sianosis
f. Gangguan kesadaran

6. Diagnosa Pre-Eklampsia

Pada umumnya diagnosis diferensial antara pre-eklamsia dengan hipertensi


manahunatau penyakit ginjal tidak jarang menimbulkan kesukaran. Pada hipertensi
menahun adanyatekanan darah yang meninggi sebelum hamil pada keadaan muda
atau bulan postpartum akansangat berguna untuk membuat diagnosis. Untuk diagnosis
penyakit ginjal saat timbulnya proteinuria banyak menolong. Proteinuria pada pre-
eklamsia jarang timbul sebelum TM ke 3,sedangkan pada penyakit ginjal timbul lebih
dulu

8. Pencegahan Pre-Eklampsia

Belum ada kesepakatan dalam strategi pencegahan pre-eklamsia. Beberapa


penelitian menunjukkan pendekatan nutrisi (diet rendah garam, diit tinggi
protein,suplemen kalsium, magnesium dan lain-lain). Atau medikamentosa
(teofilin,antihipertensi, diuretic, aspirin, dll) dapat mengurangi timbulnya pre-
eklamsia

8. Penanganan Pre-Eklamsia

a. Jika setelah penanganan diastolik tetap lebih dari 110 mmHg, beri obat anti
hipertensisampai tekanan diastolik di antara 90-100mmHg.
b. Pasang infus dengan jarum besar (16G atau lebih besar).
c. Ukur keseimbangan cairan jangan sampai terjadi overload cairan.
d. Kateterisasi urin untuk memantau pengeluaran urin dan proteinuria.
e. Jika jumlah urin kurang dari 30 ml/jam, hentikan magnesium sulfat dan berikan
cairanIV NaCl 0,9% atau Ringer laktat 1 L/ 8 jam dan pantau kemungkinan
oedema paru.
f. Jangan tinggalkan pasien sendirian. Kejang disertai aspirasi muntah
dapatmengakibatkan kematian ibu dan janin.

9
g. Observasi tanda-tanda vital, refleks, dan denyut jantung tiap jam.
h. Auskultasi paru untuk mencari tanda-tanda oedema paru.
i. Hentikan pemberian cairan IV dan beri diuretic (mis: furosemid 40 mg IV sekali
saja jika ada edema paru).
j. Nilai pembekuan darah jika pembekuan tidak terjadi sesudah 7 menit
(kemungkinan terdapat koagulopati)

2.2.2 Eklampsia
1. Pengertian Eklampsia

Eklampsia adalah suatu serangan kejang pada wanita hamil yang merupakan
komplikasi dari preeklampsia. Ibu hamil dengan pre-eklampsia atau mengalami
hipertensi berat dalam kehamilan berisiko muncul eklampsia yang ditandai dengan
kejang dan kemudian diikuti penurunan kesadaran atau koma. Eklampsia jarang
terjadi, tetapi apabila muncul harus segera ditangani karena mengancam nyawa ibu
dan janin dalam kandungan.

2. Tanda dan Gejala Eklampsia

Gejala dari eklampsia, meliputi:

a. Kejang, awalnya kedutan atau kejang pada otot-otot wajah dan kemudian
menyebar keseluruh tubuh. 

b. Penurunan kesadaran atau koma muncul setelah terjadi kejang seluruh tubuh

Beberapa gejala ini dapat dialami sebelum kejang, meliputi:

a. Sakit kepala

b. Meningkatnya respon reflek fisiologis yang dapat dilihat dari lutut dan lengan

c. Edema generalisata atau pembengkakkan seluruh tubuh

d. Gangguan penglihatan

e. Nyeri ulu hati 

f. Sesak nafas

g. Gelisah

10
h. Proteinuria, protein terdeteksi dalam pemeriksaan urine

3. Penyebab Eklampsia

Penyebab pasti dari eklampsia belum diketahui, tetapi kejadian eklampsia


dikaitkan dengan kelainan pada plasenta dan fungsinya, tidak kuatnya aliran darah
pada plasenta, rusaknya pembuluh darah plasenta, dan faktor genetik.

4. Klasifikasi Eklampsia

Diagnosis dan penanganan yang terlambat dari eklampsia dapat menimbulkan


komplikasi serius dan mengancam nyawa ibu dan janin, termasuk salah satunya
kematian ibu dan janin. Beberapa komplikasi dari eklampsia yang dapat terjadi atau
masih dapat terjadi setelah melahirkan :

a. Kerusakan otak bagian oksipital akibat kejang yang dapat menyebabkan kebutaan

b. Perdarahan intrakranial akibat kejang berulang

c. Gagal ginjal akut

d. Sindrom HELLP

e. Disseminated intravascular coagulation (DIC), kondisi di mana terjadi


penggumpalan darah didalam seluruh pembuluh darah bersamaan dengan
perdarahan. 

5. Faktor Resiko Eklampsia

Beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan komplikasi dari preeklampsia


menjadi eklampsia, meliputi:

a. Hamil pada usia tua (diatas 35 tahun) atau usia remaja (dibawah 20 tahun)

b. Memiliki riwayat eklampsia pada kehamilan sebelumnya

c. Memiliki riwayat hipertensi sebelum kehamilan

d. Riwayat diabetes gestasional, diabetes yang terjadi dalam masa kehamilan

e. Kehamilan kembar

11
f. Riwayat keluarga mengalami pre-eklampsia atau eklampsia

g. Obesitas

h. Memiliki riwayat penyakit lupus, arthritis rheumatoid, dan penyakit ginjal

6. Diagnosa Eklampsia

Pada wanita hamil dengan kejang, dokter akan menentukan apakah kejang
akibat komplikasi dari preeklampsia atau sebab lainnya. Pemeriksaan penunjang yang
dapat membantu menegakkan diagnosis:

a. Pemeriksaan laboratorium darah. Analisis darah lengkap dapat membantu dokter


dalam mendeteksi adanya komplikasi dari preeklampsia dan eklampsia, yaitu
sindrom HELLP dengan tanda hemoglobin turun, enzim-enzim hati meningkat,
dan trombositopenia. Pemeriksaan lainnya dengan pemeriksaan studi koagulasi
meliputi waktu protrombin (PT), waktu aktivasi protrombin parsial (aPTT),
fibrinogen, dan D-Dimer untuk mendeteksi disseminated intravascular coagulation
(DIC) yang merupakan komplikasi lain dari preeklampsia dan eklampsia. 

b. Pemeriksaan urine. Proteinuria, protein yang terdeteksi dalam urine merupakan


tanda paling umum pada eklampsia dan sangat membantu mendiagnosis pre-
eklampsia yang sebelumnya tidak terdeteksi.

c. Pemeriksaan fungsi ginjal.Fungsi ginjal dapat dideteksi dengan pemeriksaan


serum kreatinin yang akan meningkat apabila terjadi kerusakan ginjal akibat pre-
eklampsia dan eklampsia.

d. Pemeriksaan Ultrasonografi. Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat kondisi


plasenta dan kondisi janin, pengecekan denyut jantung janin, dan pertumbuhan
janin. Pemeriksaan USG dapat segera dilakukan setelah kejang untuk menilai
kondisi janin, adakah gawat janin akibat kejang.

e. Pemeriksaan pencitraan lain, seperti CT Scan dan MRI dapat dilakukan apabila
curiga adanya komplikasi pada otak seperti pembengkakan jaringan otak (edema
cerebri) dan perdarahan otak akibat kejang.

7. Pencegahan Eklampsia

12
Penyebab dari preeklampsia dan eklampsia tidak diketahui secara pasti maka
pencegahan khusus agar tidak terjadi eklampsia tidak diketahui. Untuk meminimalisir
risiko terjadinya eklampsia dapat dilakukan

a. Pemeriksaan kehamilan rutin agar preeklampsia dapat terdeteksi sedini mungkin


dan segera mendapatkan penanganan

b. Pada wanita yang sudah memiliki hipertensi sebelum kehamilan, pengontrolan


tekanan darah dan menjaga tekanan darah tetap stabil dapat menurunkan risiko
kejadian preeklampsia dan eklampsia dalam kehamilan.

c. Pengontrolan berat badan sebelum merencanakan kehamilan

8. Pemeriksaan Penunjang Eklampsia

Kejang pada eklampsia merupakan kondisi gawat darurat yang mengancam


nyawa ibu dan bayi. Melakukan persalinan adalah pengobatan utama untuk
eklampsia. Pertolongan pertama pada eklampsia adalah memutus kejang, baru
kemudian setelah kejang teratasi dapat diputuskan untuk melakukan proses
persalinan.

Obat-obatan dapat diberikan sebagai pertolongan pertama pada eklampsia:

a. Obat-obatan antikejang : Magnesium sulfat suntikan pelan dalam intravena.


Magnesium sulfat dapat merelaksasi otot-otot yang kejang. Pemberian magnesium
sulfat dilakukan dengan suntikan intravena pelan untuk memutus kejang,
kemudian dilakukan terapi pemeliharaan dengan magnesium sulfat infus selama
24 jam walaupun sudah tidak kejang untuk menghindari kejang berulang.

b. Lorazepam atau Diazepam dapat diberikan apabila terdapat kontraindikasi dari


magnesium sulfat

c. Phenitoin dapat diberikan jika mengalami kejang berulang walaupun sudah


diberikan magnesium sulfat.

d. Obat-obatan anti hipertensi harus sesegera mungkin setelah magnesium sulfat


diberikan jika tensi diatas 160/110 mmHg. Target tekanan darah adalah 140–
160/90–110 mmHg. Obat-obatan hipertensi yang dapat digunakan adalah labetalol
atau nifedipin.

13
e. Obat-obatan diuretik seperti furosemid dapat diberikan apabila terdapat cairan
pada paru (edema pulmo)

Setelah kejang tertangani, maka langkah selanjutnya adalah melahirkan bayi.


Proses melahirkan dapat melalui persalinan normal pervaginam atau operasi caesar,
tergantung kondisi ibu dan usia kehamilan. Jika usia kehamilan sudah cukup bulan,
kondisi ibu memungkinkan untuk melahirkan normal, dan tidak ada kondisi gawat
janin maka persalinan normal pervaginam diusahakan. 

Dapat diberikan induksi persalinan dengan suntikan atau infus oksitosin untuk
merangsang kontraksi rahim apabila belum terdapat kontraksi yang cukup untuk
melahirkan normal. Jika terdapat gawat janin dan kondisi ibu tidak memungkinkan
untuk persalinan normal, maka persalinan caesar segera dilakukan. Jika usia
kehamilan belum cukup bulan atau kurang dari 34 minggu, maka dapat diberikan
injeksi kortikosteroid untuk merangsang pematangan paru pada bayi.

9. Penatalaksanna Eklampsia

Eklampsia merupakan kegawatdaruratan medis yang memerlukan


penatalaksanaan segera untuk mencegah mortalitas ibu dan janin. Terminasi
kehamilan merupakan tata laksana definitif pada penyakit ini. Terapi suportif yang
mencakup airway, breathing, dan circulation harus dipastikan. Magnesium sulfat
dapat digunakan untuk mengobati dan mencegah eklamsia.

a. Terapi Suportif

Terapi suportif pada eklamsia yang perlu diperhatikan adalah:

a) Jaga patensi jalan napas dan pastikan oksigenasi baik. Pada pasien dengan
penurunan kesadaran, peralatan intubasi perlu dipersiapkan
b) Posisikan pasien dalam posisi left lateral decubitus. Posisi ini dapat mencegah
aspirasi dan obstruksi atau penekanan pada vena kava oleh janin yang dapat
meningkatkan uterine blood flow
c) Pasang monitor untuk memantau tanda-tanda vital, yakni tekanan darah, nadi,
laju napas, hingga saturasi oksigen. Lakukan monitor pada janin juga dengan
memeriksa denyut jantung janin secara berkala

14
d) Lakukan pemasangan jalur intravena dengan jarum berukuran 16–
18 gauge untuk mempermudah proses administrasi obat dan cairan serta
mengantisipasi kebutuhan transfusi darah
e) Lakukan pemasangan kateter untuk memonitor urine output
b. Medikamentosa

Berikut ini adalah jenis medikamentosa yang diberikan pada eklamsia:

a) Antikonvulsan

Magnesium sulfat merupakan obat lini pertama sebagai antikonvulsan pada


kejang eklamsia. Dosis inisial sebesar 4–6 gram diberikan dalam 15–20 menit.
Selanjutnya, dosis rumatan 1–2 gram per jam diberikan secara kontinu. Pemberian
magnesium sulfat harus dilanjutkan setidaknya hingga 24 jam setelah kejang terakhir
atau setelah persalinan.

Obat ini harus diberikan dengan perhatian khusus karena dapat menyebabkan
toksisitas, kelumpuhan saluran napas, depresi sistem saraf pusat, dan henti
jantung. Pemantauan refleks, kadar kreatinin, dan urine output penting dilakukan
selama pemberian magnesium sulfat.

Pada kejang refrakter yang tidak merespons terhadap magnesium sulfat, dapat
digunakan lorazepam 2–4 mg melalui intravena dalam 2–5 menit atau diazepam 5–10
mg melalui intravena secara perlahan untuk menangani kejang.

Pada kondisi yang merupakan kontraindikasi terhadap magnesium sulfat,


seperti myasthenia gravis, levetiracetam atau asam valproat dapat menjadi alternatif.
[1,3,4]

b) Antihipertensi

Tekanan darah sistolik >160 mmHg atau diastolik >110 mmHg harus segera
ditangani dengan obat-obat antihipertensi. Pilihan antihipertensi yang
direkomendasikan pada eklamsia adalah labetalol, nifedipine,  dan hydralazine. Dosis
awal labetalol adalah 20 mg intravena, kemudian dapat ditingkatkan menjadi 40–80
mg dengan interval 10 menit, sampai target penurunan tekanan darah tercapai.

15
Dosis awal hydralazine adalah 5–10 mg dalam 2 menit melalui intravena,
kemudian dapat ditingkatkan menjadi 10 mg setelah 20 menit dari dosis awal apabila
tekanan darah sistolik masih di atas 160 mmHg atau diastolik masih di atas 110
mmHg.

Dosis awal nifedipine adalah 10 mg peroral, dapat ditingkatkan menjadi 20


mg. Nifedipine dapat diulangi hingga 2 kali pemberian dengan jeda 30 menit apabila
tekanan darah sistolik masih di atash 160 mmHg atau diastolik masih di atas 110
mmHg.

Tekanan darah sistolik harus di bawah 150 mmHg dan diastolik harus di
bawah 100 mmHg dalam 2 kali pemeriksaan dengan jeda 4 jam. Penurunan tekanan
darah tidak boleh terlalu drastis karena dapat menyebabkan perfusi uteroplasental
yang inadekuat dan gangguan pada fetus. Kontrol tekanan darah postpartum juga
penting  karena risiko eklamsia masih tinggi selama 48 jam setelah persalinan.[3,4]

c) Kortikosteroid 

Kortikosteroid diberikan untuk mengantisipasi persalinan darurat, terutama


ketika usia kehamilan <32 minggu, untuk pematangan paru janin. Dexamethasone 6
mg intramuskular setiap 12 jam diberikan sebanyak 4 dosis atau betamethasone 12 mg
intramuskular setiap 24 jam diberikan sebanyak 2 dosis.[1,3,4]

d) Obat Lainnya

Jika terdapat edema paru, diuretik (furosemide) dapat diberikan.[3]

c. Pemantauan Maternal 

Pemantauan berkala pada status neurologis pasien perlu dilakukan untuk


mendeteksi peningkatan tekanan intrakranial atau perdarahan
intrakranial. Intake cairan dan urine output, laju pernapasan, dan oksigenasi juga perlu
diperiksa secara berkala. Pada pasien yang mengalami edema paru atau
oliguria/anuria, pemantauan tekanan arteri pulmonal dapat dibutuhkan.

Pemeriksaan untuk mendeteksi kemungkinan penyebab lain juga diperlukan


setelah kejang teratasi dan pasien stabil.[1,3,4]

16
Terminasi kehamilan merupakan tata laksana definitif untuk kasus eklamsia.
Namun,  pastikan bahwa pasien sudah dalam kondisi stabil, yakni tidak dalam kondisi
kejang atau koma dan hemodinamik sudah stabil. Apabila tidak
ada malpresentasi  dan gawat janin, maka induksi persalinan dapat dilakukan.

2.2.3 Plasenta Previa


1. Pengertian Plasenta Previa

Plasenta previa adalah kondisi ketika ari-ari atau plasenta berada di bagian
bawah rahim, sehingga menutupi sebagian atau seluruh jalan lahir. Selain menutupi
jalan lahir, plasenta previa dapat menyebabkan perdarahan hebat, baik sebelum
maupun saat persalinan.

Plasenta previa adalah kondisi plasenta yang normalnya berada di sisi atas
rahim justru menutupi seluruh atau sebagian mulut rahim. Padahal mulut rahim
sendiri berfungsi sebagai jalan lahir si Kecil saat proses persalinan.

Plasenta adalah organ yang terbentuk di rahim pada masa kehamilan. Organ
ini berfungsi menyalurkan oksigen dan nutrisi dari ibu kepada janin, serta membuang
limbah dari janin.

Plasenta previa menurut para ahli:

Plasenta previa adalah keadaan dimana plasenta berimplantasi pada tempat


abnormal yaitu pada segmen bawah rahim sehingga menutupi sebagian atau seluruh
pembukaan jalan lahir (Mochtar, 1998). Ante partum hemorargi adalah perdarahan
yang terjadi setelah kehamilan 28 minggu (Mochtar, 1998).

2. Tanda dan Gejala Placenta Previa

Melansir dari Mayo Clinic, plasenta previa adalah kondisi yang ditandai
dengan berbagai gejala seperti:

a. Kram atau nyeri hebat pada kandungan.


b. Muncul perdarahan yang kemudian berhenti tapi bisa timbul lagi dalam
beberapa hari atau minggu kemudian.
c. Muncul perdarahan setelah melakukan hubungan intim.
d. Muncul perdarahan selama trimester kedua kehamilan.

3. Jenis-jenis plasenta previa

17
a. Plasenta previa totalis

Jalan lahir bayi akan seluruhnya ditutupi oleh plasenta. Tertutupnya jalan lahir
secara total menyebabkan bayi tidak mungkin lahir lewat vagina karena selama proses
persalinan, kemungkinan akan mengalami perdarahan yang sangat hebat.

b. Plasenta previa partialis

Plasenta previa partialis hampir menutupi sebagian atau separuh jalan lahir,
sehingga ada kemungkinan membuat bayi sulit untuk dilahirkan. Mengatasi kondisi
ini berarti bayi tidak bisa dilahirkan secara normal karena risiko perdarahannya masih
besar

c. Plasenta previa marginalis

Plasenta previa marginalis memang tidak menutupi jalan lahir saat sedang
terjadi proses persalinan. Ini dikarenakan yang tertutup hanya bagian tepi dalam jalan
lahir saja.

Proses persalinan pun masih bisa terjadi secara normal. Hanya saja tetap ada
kemungkinan besar terjadinya risiko perdarahan.

18
d. Low-lying plasenta

Low lying plasenta adalah kondisi di mana biasanya plasenta terletak rendah
karena hanya berjarak beberapa centimenter atau milimeter dari jalan lahir

4. Diagnosa Plasenta Previa

Diagnosis Plasenta Previa

Dokter dapat menduga ibu hamil mengalami plasenta previa jika terjadi
perdarahan di trimester kedua atau ketiga kehamilan. Namun untuk memastikannya,
dokter akan melakukan sejumlah pemeriksaan berikut:

a. USG transvaginal

Prosedur ini dilakukan dengan memasukkan alat khusus ke dalam vagina


untuk melihat kondisi vagina dan rahim. Pemeriksaan ini adalah metode paling akurat
untuk menentukan letak plasenta.

b. USG panggul

Prosedur ini sama dengan USG transvaginal, tetapi alat hanya ditempelkan
pada dinding perut, guna melihat kondisi di dalam rahim.

c. MRI (magnetic resonance imaging)

Prosedur ini digunakan untuk membantu dokter melihat dengan jelas posisi
plasenta. Jika ibu hamil mengalami plasenta previa, dokter kandungan akan terus
memantau posisi plasenta atau ari-ari dengan USG secara berkala, sampai tiba hari
persalinan.

Diagnosis Banding:

19
Plasenta previa dapat didiagnosis banding dengan solusio plasenta dan vasa previa.

1) Solusio Plasenta

Solusio plasenta atau abrupsio plasenta merupakan lepasnya plasenta dari


dinding rahim sebelum proses persalinan, baik seluruhnya maupun sebagian. Pasien
yang mengalami solusio plasenta biasanya mengalami perdarahan pada kehamilan
trimester ketiga disertai dengan nyeri yang hebat dan gerakan bayi dalam kandungan
yang kurang aktif. Solusio plasenta dapat dibedakan dengan plasenta previa melalui
USG.

2) Vasa Previa

Vasa previa adalah keadaan dimana tali pusat berkembang pada tempat
abnormal selain di tengah plasenta, yang menyebabkan pembuluh darah fetus
menyilang pada serviks. Hal ini dapat menyebabkan ruptur pembuluh darah yang
mengancam janin. Pada pemeriksaan dalam vagina dapat teraba pembuluh darah pada
jalan lahir. Bila sudah terjadi perdarahan, maka akan diikuti dengan denyut jantung
janin yang tidak beraturan, deselerasi atau bradikardi. [12]

3) Plasenta Akreta

Plasenta akreta timbul ketika plasenta melekat terlalu dalam pada rahim,
misalnya hingga ke miometrium. Pada plasenta akreta, pasien umumnya asimtomatik.
Perdarahan dapat timbul pada trimester ketiga kehamilan. Pada kasus yang jarang,
plasenta akreta dapat dideteksi pada USG rutin saat pasien melakukan pemeriksaan
antenatal.

5. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan plasenta previa bergantung pada banyak hal. Biasanya ibu


dengan plasenta previa datang karena perdarahan pervaginam saat kehamilan belum
aterm. Pada keadaan ini, target tatalaksana adalah untuk menjaga kehamilan selama
mungkin agar harapan hidup bayi meningkat.

Tidak semua plasenta previa membutuhkan sectio caesarea. Plasenta previa


dapat bergeser dan tidak menutupi jalan lahir secara spontan, sehingga keputusan
mengenai metode persalinan sebaiknya tidak diambil tergesa-gesa.

20
Plasenta previa dapat bergeser dan tidak menutupi jalan lahir secara spontan,
sehingga tidak semua kasus membutuhkan sectio caesarea.

a. Tatalaksana Umum

Pasien dengan perdarahan yang menunjukkan tanda syok diberikan infus


cairan kristaloid dan urin output dipantau. Pada pasien dengan perdarahan yang berat,
pilihan terbaik adalah dengan transfusi. Jika perdarahan banyak dan berlangsung
lama, tindakan sectio caesarea dipersiapkan tanpa memperhitungkan usia kehamilan.
Namun, jika perdarahan berkurang atau berhenti, dan janin hidup tetapi prematur,
terapi ekspektatif lebih direkomendasikan.

b. Tatalaksana Terapi Ekspektatif

Tatalaksana terapi ekspektatif dilakukan dengan tujuan memperpanjang


kehamilan hingga maturitas paru janin tercapai. Terapi ekspektatif dapat dilakukan
dengan syarat kehamilan preterm dengan perdarahan sedikit yang kemudian berhenti
dengan atau tanpa pengobatan tokolitik, belum ada tanda inpartu, dan janin masih
hidup.

c. Cervical Cerclage

Sebuah studi dengan jumlah subjek studi yang kecil menunjukkan bahwa
cervical cerclage mampu memberikan luaran yang cukup baik pada pasien dengan
plasenta previa. Studi ini menunjukkan bahwa cervical cerclage mampu memfasilitasi
migrasi plasenta dan menurunkan kejadian perdarahan.

d.Terminasi Kehamilan

Tidak semua plasenta previa membutuhkan sectio caesarea. Kemungkinan


plasenta previa menetap menutupi jalan lahir pada kehamilan aterm akan meningkat
pada plasenta previa komplit, jika ditemukan pada usia kehamilan lanjut, atau jika ada
riwayat sectio caesarea. Alur tatalaksana plasenta previa menurut American Family
Physician dapat dilihat pada algoritma di bawah.

6. Pemeriksaan penunjang

Gold standard pemeriksaan penunjang plasenta previa saat ini adalah melalui
transvaginal sonography (TVS). Pemeriksaan transabdominal sonography (TAS)
dapat dilakukan dengan tujuan menilai pertumbuhan janin. Selain itu pemeriksaan

21
TAS juga berfungsi untuk menilai keadaan patologis intrauterin seperti berkurang
atau bertambahnya jumlah cairan amnion.

a. Transabdominal Sonography (TAS)

Plasenta previa dapat dideteksi dengan baik melalui transabdominal


sonography (TAS) pada kehamilan usia 20-24 minggu. Apabila pada pemeriksaan
TAS dicurigai terdapat plasenta previa, maka sebaiknya dilakukan transvaginal
sonography (TVS), karena TVS dapat mengukur jarak plasenta ke orifisium internal
serviks dengan lebih tepat. [1] Dengan pemeriksaan TAS, sulit dilakukan visualisasi
dari plasenta posterior, visualisasi segmen bawah juga dapat terganggu oleh kepala
bayi, obesitas dan kandung kemih yang terlalu penuh.

b. Transvaginal Sonography (TVS)

Pemeriksaan dengan menggunakan transvaginal sonography (TVS) saat ini


lebih disukai karena lebih akurat dalam menentukan letak plasenta. Tingkat akurasi
TVS tinggi dengan sensitivitas 87,5%, spesifisitas 98,8%, positive predictive value
93,3%, dan negative predictive value 97,6%.

2.2.4 Solusio Plasenta


1. Pengertian Solusio Plasenta

Solusio plasenta adalah pelepasan plasenta dari tempat implantasi normalnya


di rahim sebelum kelahiran dan merupakan salah satu penyebab perdarahan ibu hamil
pada trimester ketiga yang terkait dengan kematian ibu dan janin.

Solusio plasenta (solutio plasenta) adalah lepasnya sebagian atau seluruh


plasenta dari dinding rahim bagian dalam sebelum persalinan. Kondisi ini juga
dikenal dengan nama abruptio plasenta.Solusio plasenta adalah komplikasi kehamilan
yang jarang terjadi. Secara keseluruhan, solusio plasenta terjadi pada satu dari 100
kehamilan di seluruh dunia. Meski cukup jarang, komplikasi ini dapat berakibat
sangat serius.Lepasnya plasenta seringkali terjadi secara tiba-tiba. Bila tidak
mendapatkan penanganan yang tepat, komplikasi ini dapat membahayakan janin
maupun sang ibu.Plasenta adalah organ yang memasok oksigen dan nutrisi bagi bayi
yang sedang bertumbuh kembang dalam kandungan. Ketika plasenta lepas sebagian
atau seluruhnya sebelum melahirkan, asupan nutrisi dan oksigen pada janin akan
berkurang atau bahkan berhenti sama sekali.Hal ini dapat meningkatkan risiko bayi

22
lahir prematur dengan berat lahir rendah (BBLR), kematian bayi dalam kandungan
(stillbirth), dan kematian bayi setelah dilahirkan akibat asfiksia neonatorum.Solusio
plasenta juga bisa menyebabkan perdarahan hebat pada ibu setelah melahirkan yang
berakibat fatal.

2. Tanda Tanda dan Gejala Solusio Plasenta

Solusio plasenta umumnya terjadi pada trimester ketiga masa kehamilan,


terutama beberapa minggu sebelum waktunya melahirkan. Namun, tidak menutup
kemungkinan plasenta terlepas setelah usia kehamilan mencapai 20 minggu.

a. Munculnya perdarahan dari area vagina, bisa sedikit seperti flek atau banyak;
kadang bisa tidak muncul karena perdarahan terjadi di dalam.
b. Nyeri pada area perut maupun bagian punggung, yang datang tiba-tiba.
c. Kontraksi rahim secara terus-menerus dan terasa sakit.
d. Munculnya gawat janin (fetal distress) yang ditandai dengan detak jantung janin
tidak normal.
e. Cairan ketuban sedikit.

3. Klasifikasi Solusio Plasenta

a. Klasifikasi dari Solusio Plasenta tersebut adalah sebagai berikut:

1) Solusio plasenta parsialis : bila hanya sebagian saja plasenta terlepas dari
tempat perlengkatannya.

2) Solusio plasenta totalis (komplek) : bila seluruh plasenta sudah terlepas


dari tempat perlengketannya.

3) Prolapsus plasenta : kadang-kadang plasenta ini turun ke bawah dan dapat


teraba pada pemeriksaan dalam.

b. Solusio plasenta dibagi menurut tingkat gejala klinik yaitu :

1) Kelas 0 : asimptomatik Diagnosis ditegakkan secara retrospektif dengan


menemukan hematoma atau daerah yang mengalami pendesakan pada
plasenta. Rupture sinus marginal juga dimasukkan dalam kategori ini.

2) Kelas 1 : gejala klinis ringan dan terdapat hampir 48 % kasus. Solusio


plasenta ringan yaitu rupture sinus marginalis atau terlepasnya sebagian kecil

23
plasenta yang tidak berdarah banyak sama sekali tidak mempengaruhi keadaan
ibu atau janinnya.

Gejala : perdarahan pervaginam yang berwarna kehitamhitaman dan sedikit


sekali bahkan tidak ada, perut terasa agak sakit terus-menerus agak tegang,
tekanan darah dan denyut jantung maternal normal, tidak ada koagulopati, dan
tidak ditemukan tanda-tanda fetal distress.

3) Kelas II : gejala klinik sedang dan terdapat hampir 27% kasus. Solusio
plasenta sedang dalam hal ini plasenta telah lebih dari seperempatnya tetapi
belum sampai dua pertiga luas permukaannya. Gejala : perdarahan pervaginam
yang berwarna kehitamhitaman, perut mendadak sakit terus-menerus dan tidak
lama kemudian disusul dengan perdarahan pervaginam walaupun tampak
sedikit tapi kemungkinan lebih banyak perdarahan di dalam, di dinding uterus
teraba terus-menerus dan nyeri tekan sehingga bagian bagian janin sulit
diraba, apabila janin masih hidup bunyi jantung sukar di dengar dengan
stetoskop biasa harus dengan stetoskop ultrasonic, terdapat fetal distress, dan
hipofibrinogenemi (150 – 250 % mg/dl).

4) Kelas III : gejala berat dan terdapat hampir 24% kasus. Solusio plasenta
berat, plasenta lebih dari dua pertiga permukaannya, terjadinya sangat tiba-tiba
biasanya ibu masuk syok dan janinnya telah meninggal.

Gejala : ibu telah masuk dalam keadaan syok, dan kemungkinan janin telah
meninggal, uterus sangat tegang seperti papan dan sangat nyeri, perdarahan
pervaginam tampaknya tidak sesuai dengan keadaan syok ibu, perdarahan
pervaginam mungkin belum sempat terjadi. Besar kemungkinan telah terjadi
kelainan pembekuan darah dan kelainan ginjal, hipofibrinogenemi (< 150
mg/dl).

c. Berdasarkan ada atau tidaknya perdarahan pervaginam

1) Solusio plasenta ringan Perdarahan pervaginam 100-200 cc

2) Solusio plasenta sedang Perdarahan pervaginam 200 cc, hipersensitifitas


uterus atau peningkatan tonus, syok ringan, dapat terjadi fetal distress.

24
3) Solusio plasenta berat Perdarahan pervaginam luas > 500 ml, uterus tetanik,
syok maternal sampai kematian janin dan koagulopati.

d. Berdasarkan ada atau tidaknya perdarahan pervagin

1) Solusio plasenta yang nyata/tampak (revealed) Terjadi perdarahan


pervaginam, gejala klinis sesuai dengan jumlah kehilangan darah, tidak
terdapat ketegangan uterus, atau hanya ringan.

2) Solusio plasenta yang tersembunyi (concealed) Tidak terdapat perdarahan


pervaginam, uterus tegang dan hipertonus, sering terjadi fetal distress berat.
Tipe ini sering disebut perdarahan retroplasental.

3) Solusio plasenta tipe campuran (mixed) Terjadi perdarahan baik


retroplasental atau pervaginam, uterus tetanik.

e. Berdasarkan luasnya bagian plasenta yang terlepas dari uterus

1) Solusio plasenta ringan Plasenta yang kurang dari ¼ bagian plasenta yang
terlepas. Perdarahan kurang dari 250 ml.

2) Solusio plasenta sedang Plasenta yang terlepas ¼ – ½ bagian. Perdarahan <


1000 ml, uterus tegang, terdapat fetal distress akibat insufisiensi uteroplasenta.

3) Solusio plasenta berat Plasenta yang terlepas > ½ bagian, perdarahan >
1000 ml, terdapat fetal distress sampai dengan kematian janin, syok maternal
serta koagulopati.

4. Faktor Risiko Solusio Plasenta

a. Hipertensi maternal.
b. Trauma maternal seperti jatuh atau kecelakaan kendaraan bermotor.
c. Merokok.
d. Konsumsi alkohol.
e. Penggunaan kokain.
f. Tali pusat pendek.
g. Dekompresi rahim tiba-tiba.
h. Fibromyoma retroplasenta.
i. Perdarahan retroplasenta akibat tusukan jarum, seperti pada amniosentesis.
j. Abnormalitas pembuluh darah rahim.

25
k. Memiliki riwayat solusio plasenta sebelumnya.
l. Korioamnionitis.
m. Ketuban pecah dini.
n. Usia ibu lebih dari 35 tahun
o. Usia ibu kurang dari 20 tahun
p. Janin laki-laki.
q. Status ekonomi sosial rendah.
r. Peningkatan serum alpha-fetoprotein ibu.
s. Hematoma subkorionik.

5. Diagnosis Solusio Plasenta

plasenta dilakukan dengan wawancara medis dan pemeriksaan fisik untuk


menemukan adanya perdarahan dengan nyeri yang terjadi spontan atau karena trauma.
Untuk membantu mengidentifikasi kemungkinan sumber perdarahan vagina, dokter
mungkin akan merekomendasikan tes darah dan urin dan USG.tidak semua solusio
plasenta bisa dideteksi melalui USG.

6. Penatalaksanaan Solusio Plasenta

Pengobatan Solusio Plasenta

a. Pengobatan solusio plasenta meliputi rawat inap, pemberian cairan intravena dan
persiapan transfusi darah. Jika disebabkan oleh gangguan koagulasi, dokter akan
memperbaiki kondisi tersebut dengan obat-obatan atau juga transfusi faktor koagulan.

b. Pemberian Rh immunoglobulin diperlukan pada pasien Rh-negatif. Jika usia


kehamilan kurang dari 37 minggu, pemberian kortikosteroid untuk pematangan paru
janin perlu dilakukan. Jika hemodinamik ibu stabil, dapat dipikirkan kelahiran
pervaginam. Namun, jika kondisi ibu tidak stabil, harus dilakukan pembedahan seksio
cesaria.

7. Pemeriksaan Penunjang Solusio Plasenta

a. Diagnosis terhadap solusio plasenta dapat dilakukan lewat pemeriksaan fisik. Lewat
pemeriksaan ini, dokter akan memastikan tekanan rahim, apakah lunak atau keras.
Namun itu bukanlah satu-satunya pemeriksaan yang bisa dilakukan. Pemeriksaan
lainnya adalah dengan dengan tes darah dan pemeriksaan ultrasound.

26
b. Melalui tes darah dan pemeriksaan ultrasound, dapat diketahui penyebab terjadinya
perdarahan. Penggunaan ultrasound dengan frekuensi tinggi biasanya diperlukan
untuk mengetahui kondisi rahim. Meski demikian, pemeriksaan ini tidak selalu dapat
memastikan solusio plasenta.

BAB III

Penutup

3.1 Kesimpulan

Kegawatdaruratan adalah mencakup diagnosis dan tindakan terhadap semua pasien yang
memerlukan perawatan yang tidak direncnakan dan mendadak atau terhadap pasien dengan
penyakit atau cidera akut untuk menekan angka kesakitan dan kematian pasien.

27
Obstetri adalah cabang ilmu kedokteran yang berhubungan dengan persalinan, hal-hal yang
mendahuluinya dan gejala-gejala sisanya . membahas tentang fenomena dan penatalaksanaan
kehamilian, persalinan, peurperium baik dalam keadaan normal maupun abnormal.
Penyebab kematian yang paling cepat pada neonatus adalah asfiksia dan perdarahan. Asfiksia
perinatal merupakan penyebab mortalitas dan morbiditas yang penting. Akibat jangka
panjang, asfiksia perinatal dapat diperbaiki secara bermakna jika gangguan ini diketahui
sebelum kelahiran (mis; pada keadaan gawat janin) sehingga dapat diusahakan memperbaiki
sirkulasi/ oksigenasi janin intrauterine atau segera melahirkan janin untuk mempersingkat
masa hipoksemia janin yang terjadi.

Dari berbagai faktor yang berperan pada kematian ibu dan bayi, kemampuan kinerja petugas
kesehatan berdampak langsung pada peningkatan kualitas pelayanan kesehatan maternal dan
neonatal terutama kemampuan dalam mengatasi masalah yang bersifat kegawatdaruratan.
Semua penyulit kehamilan atau komplikasi yang terjadi dapat dihindari apabila kehamilan
dan persalinan direncanakan, diasuh dan dikelola secara benar. Untuk dapat memberikan
asuhan kehamilan dan persalinan yang cepat tepat dan benar diperlukan tenaga kesehatan
yang terampil dan profesional dalam menanganan kondisi kegawatdaruratan.

3.2 Saran
Diharapkan bagi penulis agar dapat meningkatkan pengetahuan dan pengalaman pada kasus
dalam memberikan asuhan kebidanan kegawatdaruratan pada kehamilan lanjut. Serta
diharapkan untuk tenaga kesehatan lebih mampu melakukan tindakan segera dan
merencanakan asuhan kebidanan kegawatdaruratan pada kehamilan lanjut.

28
DAFTAR PUSTAKA

29

Anda mungkin juga menyukai