Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN KASUS

KETUBAN PECAH DINI KEHAMILAN ATERM

Oleh:
Ni Made Ayu Adnyani (1902612155)
I Gusti Bagus Lulut Premana Mulia (1902612177)
Putri Alifah Mawaddah (1902612187)

Penguji :

dr. I Wayan Artana Putra Sp.OG(K)

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA

DEPARTEMEN/KSM OBSTETRIK DAN GINEKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA RSUP SANGLAH


DENPASAR

2021
i

KETUBAN PECAH DINI KEHAMILAN ATERM

Ni Made Ayu Adnyani (1902612155)


I Gusti Bagus Lulut Premana Mulia (1902612177)
Putri Alifah Mawaddah (1902612187)

Penguji :

dr. I Wayan Artana Putra Sp.OG(K)

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA

DEPARTEMEN/KSM OBSTETRIK DAN GINEKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA RSUP


SANGLAH DENPASAR

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena
atas karunia-Nya, Tugas Laporan Kasus dengan judul “Ketuban Pecah Dini
Kehamilan Aterm” ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Laporan Kasus ini
disusun sebagai salah satu prasyarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya
(KKM) di Departemen/KSM Obstetrik dan Ginekologi Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana/RSUP Sanglah.

Semua tahapan penyusunan Laporan Kasus ini dapat diselesaikan dengan


sebaik-baiknya berkat dukungan berbagai pihak. Untuk itu penulis menyampaikan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. dr. T.G.A. Suwardewa, Sp.OG (K), selaku Ketua


Departemen/KSM Obstetri dan Ginekologi FK UNUD/RSUP Sanglah,
Denpasar.
2. Dr. dr. I G.N. Harry Wijaya Surya, Sp.OG (K), selaku penanggung
jawab pendidikan profesi dokter Departemen/KSM Obstetri dan
Ginekologi FK UNUD/RSUP Sanglah.
3. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian tugas referat
ini.

Kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan dalam
rangka penyempurnaan tugas referat ini. Akhir kata, semoga tugas referat ini dapat
memberikan manfaat bagi kita semua.

Denpasar, 16 September 2021

ii
Penulis

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................ii

DAFTAR ISI............................................................................................................iii

DAFTAR GAMBAR...............................................................................................iv

PENDAHULUAN....................................................................................................1

TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................................2

2.1 Definisi............................................................................................................2

2.2 Epidemiology..................................................................................................2

2.3 Etiology...........................................................................................................3

2.4 Patofisiologi....................................................................................................4

2.5 Diagnosis........................................................................................................5

2.6 Tatalaksana.....................................................................................................7

2.7 Komplikasi......................................................................................................9

2.8 Prognosis....................................................................................................10

SIMPULAN............................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................12

iv
BAB I

PENDAHULUAN

Ketuban Pecah Dini (KPD) adalah salah satu permasalah obstetrik yang
dapat menyebabkan komplikasi pada ibu seperti infeksi intrauterine yang bisa
menjadi chorioamnionitis, plasenta abrupsio, dan sepsis. Kejadian ketuban pecah
dini dapat menyebabkan adanya infeksi pada ibu. Pecahnya selaput ketuban akan
membuat bakteri mudah memasuki uterus dan mudah berkembang biak terutama
pada lingkungan yang hangat dan basah. Kemungkinan terjadinya infeksi akan
meningkat pada KPD yang lama karena bakteri akan memiliki waktu yang lebih
lama untuk bermultiplikasi.1
Di Indonesia pada tahun 2013 insidensi ketuban pecah dini terjadi 35%
pada semua kehamilan. Pada kehamilan aterm insidensinya bervariasi 6-19%,
sedangkan pada kehamilan preterm insidensinya 2% dari semua kehamilan. Pada
kehamilan aterm atau kehamilan lebih dari 37 minggu sebanyak 8-10% ibu hamil
akan mengalami KPD. 70% kasus ketuban pecah dini berhubungan dengan
penyebab kejadian prematuritas dengan insidensi 30-40%.4
KPD dapat berpengaruh terhadap kehamilan dan persalinan, dimana
jarak antara pecahnya ketuban dan permulaan persalinan disebut periode laten atau
dengan sebutan Lag Period. Ada beberapa perhitungan yang mengukur Lag Period,
diantaranya 1 jam atau 6 jam sebelum intrapartum, dan diatas 6 jam setelah ketuban
pecah. Jika periode laten terlalu panjang dan ketuban sudah pecah, maka dapat
terjadi infeksi pada ibu dan juga bayi.2,3
Penyebab KPD masih belum diketaui dengan pasti, tetapi KPD ada
hubungannya dengan hipermotilitas rahim yang sudah lama, selaput ketuban tipis,
infeksi, multipara, disproporsi, serviks inkompeten, dan lain-lain. Komplikasi
ketuban pecah dini yang paling sering terjadi pada ibu bersalin yaitu infeksi dalam
persalinan, infeksi masa nifas, partus lama, perdarahan post partum, meningkatkan
kasus bedah caesar, dan meningkatkan morbiditas dan mortalitas maternal.
Sedangkan komplikasi yang paling sering terjadi pada janin yaitu prematuritas,
penurunan tali pusat, hipoksia dan asfiksia, sindrom deformitas janin, dan
meningkatkan morbiditas dan mortalitas perinatal. Semakin lama KPD semakin
besar kemungkinan komplikasi.4

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Ketuban pecah dini merupakan pecahnya selaput ketuban sebelum
persalinan, dimana dalam keadaan normal, selaput ketuban pecah dalam proses
persalinan. Ketuban pecah dini dapat juga didefinisikan sebagai pecahnya ketuban
secara spontan pada saat belum inpartu, bila diikuti satu jam kemudian tidak
timbul tanda-tanda awal persalinan. KPD ditandai dengan keluarnya cairan dari
vagina setelah kehamilan berusia 22 minggu dan dapat dinyatakan pecah dini jika
terjadi sebelum proses persalinan berlangsung. Cairan keluar melalui selaput
ketuban yang mengalami robekan, muncul setelah usia kehamilan mencapai 28
minggu dan setidaknya satu jam sebelum waktu melahirkan yang sebenarnya.5,6

2.2 Epidemiology
Berdasarkan data yang diperoleh di RSU Bahagia Makassar pada tahun
2016 jumlah ibu bersalin sebanyak 873 ibu bersalin dan jumlah KPD sebanyak 155
ibu bersalin, pada tahun 2017 sebanyak 922 ibu bersalin dan jumlah KPD sebanyak
90 ibu bersalin, pada tahun 2018 sebanyak 915 ibu bersalin dan jumlah KPD
sebanyak 66 ibu bersalin, dan pada tahun 2019 periode Januari sampai dengan
April sebanyak 337 ibu bersalin dan jumlah KPD sebanyak 39 ibu bersalin. Data
yang didapat di Rumah Sakit Jogja yang mengalami Ketuban Pecah Dini selama
Tahun 2016 adalah sebanyak 427 kasus.1,4
Menurut penelitian yang dilakukan di RSUP Sanglah Bali tahun 2013,
mendapatkan hasil 160 pasien ketuban dengan pecah dini pada kehamilan aterm
dimana usia pasien yang paling banyak mengalami kejadian ketuban pecah dini
pada kehamilan aterm adalah pada usia 20 – 35 tahun sebanyak 131 orang (81.9%).
Sebanyak 116 orang (72,5%) pasien ketuban pecah dini pada kehamilan aterm
adalah berpendidikan sedang yaitu hanya sekitar lulusan SMP ataupun SMA. Untuk
pekerjaan ibu rumah tangga memiliki jumlah yang lebih tinggi yaitu 95 orang
(59.4%). Selain itu pasien tanpa riwayat ketuban pecah dini memiliki jumlah yang
tinggi yaitu 142 orang (88.2%). Untuk gravida, yang paling dominan pada pasien
ketuban pecah dini pada kehamilan aterm adalah Gravida 2 yaitu sebanyak 57
orang (35.6%).5

2
2.3 Etiologi
Ketuban pecah dini kejadiannya dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu:
1. Usia
Resiko terjadinya KPD pada ibu hamil aterm dengan usia ≤ 20 tahun & > 35
tahun 4 kali lebih besar dibandingkan ibu hamil aterm usia 21 tahun – 35
tahun. Wanita hamil pada usia < 20 tahun dianggap kehamilan resiko tinggi
karena organ reproduksi belum siap hamil sehingga mempengaruhi
pembentukan selaput ketuban menjadi abnormal. Sedangkan usia >35 tahun
terjadi penurunan organ-organ reproduksi yang berpengaruh pada proses
embryogenesis sehingga selaput ketuban lebih tipis yang memudahkan pecah
sebelum waktunya.7
2. Pekerjaan dan Aktivitas Fisik
Faktor ekstrinsik contohnya aktivitas fisik, KPD terjadi lebih tinggi pada ibu
hamil yang memiliki aktivitas yang tinggi. Aktivitas dan pekerjaan ibu hamil
berpengaruh terhadap kebutuhan energi. Aktivitas fisik pada saat hamil yang
terlalu berat dan dengan lama kerja melebihi tiga jam perhari dapat berakibat
kelelahan. Dimana kelelahan dalam bekerja menyebabkan lemahnya korion
amnion sehingga timbul ketuban pecah dini. Pekerjaan yang berat dalam masa
kehamilan dapat membahayakan kehamilan sehingga perlu di hindari untuk
bekerja berat.5
3. Faktor Risiko Paritas
Paritas lebih dari 3 memiliki risiko 2 kali lebih besar mengalami KPD. Paritas
(multi/grande multipara) merupakan faktor penyebab umum terjadinya ketuban
pecah dini karena peningkatan paritas memungkinkan terjadinya kerusakan
serviks selama proses kelahiran. Pada grandemultipara disebabkan oleh
motilitas uterus berlebih, perut gantung, kelenturan leher rahim yang berkurang
sehingga dapat terjadi pembukaan.7
4. Riwayat KPD
Wanita mengalami KPD pada kehamilan atau menjelang persalinan maka pada
kehamilan berikutnya akan lebih beresiko mengalami kembali antara 3-4 kali
dari wanita yang tidak mengalami KPD sebelumnya, karena komposisi
membran yang menjadi mudah rapuh dan kandungan kolagen yang semakin
menurun pada kehamilan berikutnya.7
3
5. Kehamilan Kembar
Kehamilan kembar dapat memberikan resiko yang lebih tinggi mengalami
KPD karena adanya peningkatan massa plasenta dan produksi hormon yang
dapat menyebabkan ketegangan rahim meningkat, sehingga selaput ketuban
dapat pecah secara tiba-tiba yang diidentifikasikan sebagai KPD.7

2.4 Patofisiologi

Pecahnya selaput ketuban diketahui berhubungan erat dengan proses


biokimia, termasuk adanya gangguan kolagen dari dalam matriks ektraselular dari
amnion dan korion dan juga kematian sel terprogram dari selaput ketuban itu
sendiri. Selaput ketuban terdiri dari amnion dan korion yang merupakan lapisan
yang melekat erat dan terdiri dari beberapa jenis sel, termasuk sel epitel, sel
mesenkim, dan sel trophoblast yang tertanam dalam matriks kolagen. Di antara
amnion dan korion dipisahkan oleh jaringan ikat yang mana lapisan ini menjadi
penentu integritas selaput ketuban lainnya.[8,9]

Pecahnya selaput ketuban merupakan akibat dari berbagai macam faktor


yang pada akhirnya menyebabkan melemahnya selaput ketuban secara cepat.
Secara garis besar, pecahnya selaput ketuban disebabkan oleh peningkatan sitokin
lokal, interaksi yang tidak seimbang antara matrix metalloproteinase (MMP) dan
tissue inhibitor metalloproteinase (TIMP), peningkatan aktivitas kolagenase dan
protease serta faktor-faktor lainnya yang dapat meningkatkan tekanan intrauterine.
Ada pun secara lebih spesifik ketuban pecah dini mekanismenya berawal dari
perubahan struktur dari jaringan ikat yang dipengaruhi oleh MMP dan TIMP. MMP
adalah suatu enzim yang fungsinya menghidrolisis komponen matriks ekstraseluler,
sementara TIMP bekerja sebagai penghambat kerja MMP. Degradasi kolagen yang
terjadi diperantarai oleh MMP yang dihambat kerjanya oleh TIMP serta
penghambat protease. Keutuhan selaput ketuban dapat terjadi karena kombinasi
dari aktivitas MMP yang rendah dan konsentrasi dari TIMP yang cenderung lebih
tinggi. Mendekati waktu persalinan, akan terjadi ketidakseimbangan antara MMP
dan TIMP yang menyebabkan terjadinya degradasi proteolitik dan berujung pada
selaput ketuban yang ketegangannya melemah dan jadi lebih mudah pecah. Pada
kehamilan aterm, pecahnya selaput ketuban merupakan proses fisiologis. [10, 11, 12]

4
Ketuban pecah dini terjadi bila ada gangguan pada keseimbangan
mekanisme MMP dan TIMP yang fisiologis. Gangguan yang terjadi pada
mekanisme MMP dan TIMP berupa terjadinya peningkatan MMP sementara
konsentrasi TIMP rendah sehingga kekuatan jaringan ikat pada selaput ketuban
menurun. Peningkatan MMP ini juga dipengaruhi oleh peningkatan sitokin lokal
terutama IL-1 dan IL-6, TNF-α, dan Prostaglandin. Infeksi dan reaksi inflamasi
yang terjadi merangsang produksi Prostaglandin oleh selaput ketuban.
Prostaglandin dapat mengganggu sintesis kolagen pada selaput ketuban dan dapat
turut serta dalam peningkatan aktivitas enzim MMP terutama MMP-1 dan MMP-3
yang lalu akan mengarah pada iritiabilitas pada uterus dan degradasi proteolitik
yang akan berakhir dengan ketuban pecah dini. Selain itu ketuban pecah dini dapat
terjadi bila selaput amnion mengalami peregangan secara berlebihan. Ada pun
beberapa kondisi yang dapat menyebabkan selaput amnion teregang secara
berlebihan di antaranya adalah kehamilan gemelli, polihidramnion, dan
makrosomia.[11,12,13]
2.5 Diagnosis

Dalam menentukan diagnosis KPD perlu dilakukan anamnesis, pemeriksaan


fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pasien umumnya datang dengan keluhan berupa
adanya semburan cairan yang tiba-tiba dan keluarnya cairan yang terus menerus
dari vagina. Pada anamnesis, perlu ditanyakan beberapa hal seperti usia gestasi,
Pada KPD aterm, 50% kasus kehamilan akan melahirkan secara sepontan dalam 12
jam, 70% dalam 24 jam, 85% dalam 48 jam, dan 95% dalam 72 jam setelah
ketuban pecah tanpa perlu intervensi obstetri. Dari anamnesis perlu dicari pula
waktu serta kuantitas dari cairan yang keluar untuk mengetahui derajat dari
oligohidramnion. Semakin parah derajat oligohidramnion yang dialami pasien,
maka semakin pendek periode latensi yang merupakan waktu interval antara
pecahnya ketuban dengan terjadinya persalinan. Dicari tahu pula mengenai ada atau
tidaknya riwayat KPDsebelumnya pada pasien. Selain itu, dari anamnesis juga
dicari tahu faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya KPD pada pasien.[12, 14]

Pada pemeriksaan fisik, dapat dilakukan pemeriksaan spekulum vagina


yang juga dinyatakan sebagai pemeriksaan baku emas untuk KPD. Pemeriksaan ini
dilakukan dengan cara memasukkan speculum yang sudah dilubrikasi dengan
lubrikan yang sudah dilarutkan dengan cairan steril dan diusahakan untuk tidak
5
menyentuh serviks. Pada pemeriksaan spekulum vagina ini bila terjadi KPD akan
ditemukan 3 tanda klinis berupa :

1. Genangan (pooling) air ketuban pada forniks posterior dari vagina atau pun
kebocoran cairan dari os serviks (bila tidak terlihat, dapat dilakukan induksi
dengan batuk atau manuver Valsava.)
2. Dilatasi dan /atau menipisnya serviks
3. Terlihatnya tali pusat atau bagian tubuh dari janin (temuan ini biasanya jarang)

Bila dicurigai telah terjadi KPD, pemeriksaan Vaginal Touche (VT) tidak
dilakukan, karena hal ini dapat meningkatkan risiko infeksi serta tidak memberi
tambahan informasi dari pemeriksaan speculum.[12,14, 15]

Jika cairan ketuban sudah terlihat jelas pada saat dilakukan pemeriksaan
speculum vagina, maka tidak diperlukan lagi pemeriksaan penunjang untuk
mengonfirmasi penegakan diagnosis. Namun bila tidak dapat ditegakkan diagnosis
dari pemeriksaan speculum vagina, maka dapat dilakukan pemeriksaan penunjang.
Salah satu pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah tes nitrazine dari
forniks posterior vagina yang bertujuan untuk mengukur pH cairan yang diduga
sebagai air ketuban. Air ketuban memiliki pH 7,0-7,3. Bila cairan ketuban diberi
kertas lakmus, maka kertas lakmus akan berubah warna menjadi biru. Bila tidak
terjadi perubahan warna pada kertas lakmus setelah diberi cairan ketuban, bisa saja
KPD terjadi sudah lama dan cairan ketuban sudah berdilusi dengan cairan lain atau
secret vagina.[12, 15]

Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan


mikroskopis dengan menggunakan sampel dari swab forniks posterior. Setelah
mengering, air ketuban akan menunjukkan pola ferning halus yang dapat dibedakan
dengan mucus vagina yang memiliki pola ferning lebih tebal. Selanjutnya, dapat
pula dilakukan pmeriksan ultrasonografi (USG) yang fungsinya untuk menilai
indeks cairan ketuban yang tersisa. Lalu setelahnya dapat pula dilakukan
pemeriksaan Doppler atau kardiotokografi yang mana bertujuan untuk mengetahui
keadaan janin setelah diagnosis KPD.[12, 15]

6
2.6 Tatalaksana

Prinsip utama penatalaksanaan KPD adalah mencegah mortalitas dan


morbiditas pada ibu dan bayi. Penatalaksanaan dilaksanakan berdasarkan usia
gestasi, dikarenakan hal ini berkaitan dengan proses kematangan organ pada janin,
prediksi morbiditas dan mortalitas bila dilakukan persalinan, serta tokolisis.
Terdapat 2 manajemen dalam tatalaksana KPD, yakni manajemen aktif dan
manajemen ekspektatif. Manajemen aktif adalah manajemen yang melibatkan
intervensi pada persalinan sementara manajemen ekspektatif adalah penangan
dengan pendekatan tanpa intervensi.[16]

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya bahwa penatalaksanaan KPD


didasarkan pada usia gestasi, pada Laporan Kasus kali ini penatalaksaan KPD
difokuskan pada usia gestasi 34-38 minggu, atau penatalaksanaan terhadap KPD
aterm. Pada usia kehamilan di atas 34 minggu mempertahankan kehamilan akan
meningkatkan risiko terjadinya korioamnionitis dan sepsis, sehingga akan lebih baik
bila segera dilakukan persalinan daripada mempertahankan kehamilan.[16]

Antibiotik profilaksis disarankan pada kejadian KPD preterm karena dapat


mengurangi morbiditas ibu dan bayi dengan menunda kelahiran yang dapat
memberi waktu yang cukup untuk pemberian profilaksis kortikosteroid prenatal.
Pilihan antibiotic yang disarankan adalah penicillin dan eritromisin, sementara
pemberian co-amoxiclav tidak dianjurkan karena dapat mengakibatkan neonatal
necrotizing enterocolitis. Pemberian antibiotic dipertimbangkan bila terjadi KPD
memanjang (>24 jam).[16]

Tabel 2.1 Antibiotik yang digunakan pada KPD > 24 jam[i]

Pada usia gestasi ≥ 37 minggu, lebih dipilih tindakan induksi awal. Namun
bila pasien memilih untuk menjalankan manajemen ekspektatif terlebih dahulu,
maka lamanya waktu manajemen ekspektatif yang dilaksanakan perlu didiskusikan.
7
Oksitosin lebih dipilih sebagai induksi persalinan pada kasus KPD dibandingkan
prostaglandin pervaginam yang dapat meningkatkan risiko korioamnionitis dan
infeksi neonatal.[16]

Magnesium Magnesium Sulfat IV :


Neuroprotektor pada KPD preterm < 31 Bolus 6 gram selama 40 menit, dilanjutkan
minggu, bila perkiraan persalinan dalam 24 infus 2gram/jam (dosis pemeliharaan)
jam. sampai persalinan atau sampai 12 jam
terapi
Kortikosteroid Bethamethasone :
Menurunkan risiko sindrom distress 12mg tiap 24 jam dikali 2 dosis. Bila tidak
pernapasan pada neonatal ada Bethamethasone dapat diganti dengan
Dexamethasone 6mg tiap 12 jam IM
Antibiotik Ampicillin  2gr tiap 6 jam, dan
Memperpanjang masa laten Erytrhomycin  250mg IV tiap 6 jam
selama 48 jam, dikali 4 dosis, diikuti
dengan
Amoxicillin  250mg PO setiap 8 jam
selama 5 hari
Jika alergi ringan penisilin :
Cefazolin  1 gram IV tiap 8 jam selama
48 jam, dan
Erythromycin  250 mg IV tiap 6 jam
selama 48 jam, diikuti dengan
Cephalexin  500 mg PO tiap 6 jam
selama 5 hari, dan
Erythromycin  333 mg PO tiap 8 jam
selama 5 hari
Jika alergi berat penisilin :
Vancomycin  1 gram IV tiap 12 jam
selama 48 jam dan
Erythromycin  250 mg IV tiap 6 jam
selama 48 jam diikuti dengan

8
Clindamycin  300 mg PO tiap 8 jam
selama 5 hari

Tabel 2.2 Medikamentosa yang digunakan pada KPD[i]

2.7 Komplikasi
a. Komplikasi pada Ibu
Umumnya komplikasi yang sering terjadi pada ibu adalah infeksi intrauterin
seperti endomyometritis, korioamnionitis atau bahkan hingga sepsis. Dari sebuah
penelitian didapatkan 6,8% dari ibu hamil dengan KPD mengalami
endomyometritis purpural, 1,2% mengalami sepsis namun tidak ada yang sampai
mengalami kematian. Pada pasien dengan sepsis diberikan antibiotik spektrum
luas dan sembuh tanpa sekuele, sehingga angka mortalitas belum dapat
dipastikan. Setidaknya 40,9% dari pasien perlu dikuretase untuk mengeluarkan
sisa plasenta dan 4% perlu mendapatkan transfuse karena kehilangan darah secara
signifikan. Tidak didapatkan kasus terlapor dengan kematian ibu atau pun
morbiditas dalam waktu lama.[16]
b. Komplikasi pada Janin
Bila KPD terjadi sangat awal, neonatus yang dilahirkan dapat mengalami
komplikasi berupa malpresentasi, oligohidramnion, kompresi tali pusat, gangguan
neurologi, necrotizing enterocolitis, sindrom distress pernapasan, dan perdarahan
intraventrikel. Ada pun komplikasi yang berpotensi mengancam nyawa janin di
antaranya adalah prolaps tali pusat yang dapat menyebabkan hipoksia dan asfiksia
pada janin serta masalah yang melibatkan plasenta (solusio plasenta dan previa
plasenta).[18,19]
c. Komplikasi Persalinan

Salah satu komplikasi tersering adalah persalinan yang terjadi lebih awal dari
waktu perkiraan persalinan. Periode laten yang merupakan interval antara waktu
pecahnya ketuban hingga terjadinya persalinan secara umum sifatnya
proporsional secara terbalik dengan usia gestasi pada saat KPD terjadi.[16]

9
2.8 Prognosis
Penentuan prognosis Ketuban Pecah Dini bergantung pada cara
penatalaksanaan dan komplikasi-komplikasi kehamilan yang terjadi. Prognosis
untuk janin bergantung pada maturitas janin, presentasi, infeksi intrauterin, dan
seberapa lama kehamilan berlangsung dengan pecah ketuban. Dari maturitas
janin, prognosis bayi yang beratnya di bawah 2500 gram mempunyai prognosis
yang lebih buruk dibanding bayi lebih besar. Presentasi bokong juga memiliki
prognosis yang lebih buruk, terutama pada bayi prematur. Infeksi intrauterin
meningkatkan mortalitas janin. Semakin lama durasi kehamilan berlangsung
dengan ketuban pecah dikaitkan semakin tinggi insiden infeksi.23

10
BAB III

SIMPULAN

Ketuban pecah dini merupakan pecahnya selaput ketuban sebelum


persalinan, dimana dalam keadaan normal, selaput ketuban pecah dalam proses
persalinan. Ketuban pecah dini dapat juga didefinisikan sebagai pecahnya ketuban
secara spontan pada saat belum inpartu, bila diikuti satu jam kemudian tidak
timbul tanda-tanda awal persalinan. KPD ditandai dengan keluarnya cairan dari
vagina setelah kehamilan berusia 22 minggu dan dapat dinyatakan pecah dini jika
terjadi sebelum proses persalinan berlangsung.Terdapat berbagai mekanisme
yang menyebabkan terjadinya Ketuban Pecah Dini. Hal ini bisa terjadi akibat
melemahnya selaput ketuban secara fisiologis disertai dengan kontraksi uterus dan
peregangan yang terjadi berulang dan juga proses biokimia berupa meningkatnya
degradasi proteolitik dari struktur kolagen dan matriks ekstraseluler. Faktor risiko
dari Ketuban Pecah Dini antara lain Usia, Pekerjaan dan aktivitas fisik, factor
risiko paritas, riwayat ketuban pecah dini, dan kehamilan kembar. Tanda dan
gejala yang dapat diamati pada pasien yang mengalami Ketuban Pecah Dini
antara lain keluarnya cairan ketuban melalui vagina tanpa disertai dengan adanya
nyeri pada perut, umumnya datang dengan keluhan berupa adanya semburan
cairan yang tiba-tiba dan keluarnya cairan yang terus menerus dari vagina. Cairan
ketuban umumnya berbau amis, berwarna pucat, dengan terkadang disertai
sedikit garis berwarna darah. Dalam mendiagnosis ketuban pecah dini, perlu
dilakukan beberapa langkah yaitu anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Terdapat dua manajemen dalam penatalaksanaan KPD, yaitu
manajemen aktif dan ekspektatif. Terdapat beberapa upaya mencegah KPD
namun sampai saat ini, belum ditemukan cara yang efektif untuk mencegah
terjadinya Ketuban Pecah Dini. Penentuan prognosis Ketuban Pecah Dini
bergantung pada cara penatalaksanaan dan komplikasi-komplikasi kehamilan
yang terjadi.

11
DAFTAR PUSTAKA

1. Irwan, Agusalim, Yusuf H, Hubungan Antara Pekerjaan dan Usia Kehamilan


Dengan Kejadian Ketuban Pecah Dini Di Rumah Sakit Umum Bahagia
Makassar 2019, Akademi Kebidanan Pelamonia Makassar, Jurnal Kesehatan
Delima Pelamonia, Vol 3(2), 2019.
2. Rohmawati, N., & Fibriana, A. I. Ketuban Pecah Dini di Rumah Sakit Umum
Daerah Ungaran. HIGEA, 23- 32. 2018
3. Fujiyarti. “Hubungan Antara Usia Dan Paritas Ibu Bersalin Dengan Kejadian
Ketuban Pecah Dini Di Puskesmas PONED Cingambul Kabupaten
Majalengka Tahun 2016-2017.” Vol 4: 1–9. 2016.
4. Rahayu, Budi, and Ayu Novita Sari. 2017. “Studi Deskriptif Penyebab
Kejadian Ketuban Pecah Dini (KPD) Pada Ibu Bersalin.” Jurnal Ners dan
Kebidanan Indonesia 5(2): 134.
5. Wiadnya A, Surya N.H, Gambaran Ketuban Pecah Dini Pada Kehamilan
Aterm di RSUP Sanglah tahun 2013, Bagian/SMF Obstetri dan Ginekologi
RSUP Sanglah, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, E-Jurnal Medika,
Vol 5(10), 2016.
6. Sagita D.S. Kehamilan, Persalinan, Bayi Preterm & Postterm Disertai
Evidence Based. Jakarta: Noerfikri. 2017
7. Nugrahani R, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Ketuban Pecah
Dini Pada Kehamilan Aterm Di Rumah Sakit Aura Syifa Kediri, Program
Studi D III Kebidanan, Akademi Kebidanan Medika Wiyata di Kediri, 2013
8. Parry S, Parry JF. Premature Rupture of the Fetal Membranes. The New
England Journal of Medicine. 2013;338(21):663-670.
9. Kumar D, Moore RM, Mercer BM. The Physiology of Fetal Membrane
Weakening and Rupture : Insights Gained from The Determination of
Physical Properties Revisited. Placenta. 2016;42:59-73.
10. Dayal S, Hong PL. Premature Rupture Of Membranes. [Updated 2021 Jul 21].
In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021
Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK532888/
11. Cunningham F. Williams Obstetrics. 24th ed. New York: McGraw-Hill
Education; 2014;840
12
12. Prawirohardjo S. Ilmu Kebidanan. 3rd ed. Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo; 2010;678-680
13. Rif'ati NL, Kristanto H, Wiyati PS, Arkhaesi N. HUBUNGAN
KORIOAMNIONITIS DENGAN ASFIKSIA NEONATUS PADA
KEHAMILAN DENGAN KETUBAN PECAH DINI. DIPONEGORO
MEDICAL JOURNAL (JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO).
2018;7(2):1143-53.
14. Caughey AB, Robinson JN, Norwitz ER. Contemporary diagnosis and
management of preterm premature rupture of membranes. Rev Obstet
Gynecol. 2008;1(1):11-22.
15. Tandijono PL, Kayika IPG. Ketuban Pecah Dini. Dalam Liwang F et al.
Kapita Selekta Kedokteran Jilid II Edisi V. Jakarta : Media Aesculapius. 2020
16. POGI. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ketuban Pecah Dini.
Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia.2016;7-10
17. Soewarto, S. Ketuban Pecah Dini. In: - (ed.) Ilmu Kebidanan Sarwono
Prawirohardjo. Indonesia: In PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2010.
p. 677–681
18. Gahwagi M, Busarira M, Atia M. Premature Rupture of Membranes
Characteristics, Determinants, and Outcomes of in Benghazi, Libya. Open
Journal of Obstetrics and Gynecology. 2015;05(09):494-504.
19. Linehan, L.A, Walsh, J, Morris, A, Kenny, L. Neonatal and maternal
outcomes following midtrimester preterm premature rupture of the
membranes: a retrospective cohort study. BMC Pregnancy and Childbirth.
2016;16(25)

13
20. Lowing J, Lengkong R, Mewengkang M. Gambaran Ketuban Pecah Dini di
RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. Jurnal e-Clinic. 2015;3(3).
21. Ghomian N, Hafizi L, Takhti Z. The Role of Vitamin C in Prevention of
Preterm Premature Rupture of Membranes. Iranian Red Crescent Medical
Journal. 2013;15(2):113-6.
22. Mochtar R. Sinopsis Obstetri. Edisi ke-3. Jakarta: Buku Kedokteran EGC;
2011.
23. Mochtar R. Sinopsis Obstetri. Edisi ke-3. Jakarta: Buku Kedokteran EGC;
2011.

14

Anda mungkin juga menyukai