Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

2.1 Latar Belakang

Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu sindrom klinik yang khas


ditandai oleh adanya hiperglikemia yang disebabkan oleh defisiensi atau
penurunan efektifitas insulin. Hiperglikemia kronik pada DM berhubungan
dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan organ tubuh,
terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah.1 Gejala yang
dikeluhkan pada penderita Diabetes Melitus yaitu polidipsia, poliuria, polifagia,
penurunan berat badan, kesemutan.2

International Diabetes Federation (IDF) menyebutkan bahwa


prevalensi Diabetes Melitus di dunia adalah 1,9% dan telah menjadikan DM
sebagai penyebab kematian urutan ke tujuh di dunia sedangkan tahun 2012
angka kejadian diabetes melitus didunia adalah sebanyak 371 juta jiwa dimana
proporsi kejadian diabetes melitus tipe 2 adalah 95% dari populasi dunia yang
menderita diabetes mellitus. Hasil Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2008,
menunjukan prevalensi DM di Indonesia membesar sampai 57%. Tingginya
prevalensi Diabetes Melitus tipe 2 disebabkan oleh faktor risiko yang tidak
dapat berubah misalnya jenis kelamin, umur, dan faktor genetik yang kedua
adalah faktor risiko yang dapat diubah misalnya kebiasaan merokok tingkat
pendidikan, pekerjaan, aktivitas fisik, kebiasaan merokok, konsumsi alkohol,
Indeks Masa Tubuh, lingkar pinggang dan umur.3

Penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa terjadi abnormalitas sistem


imun pada penderita DM dapat berakibat meningkatnya kejadian infeksi kulit.
Tingginya kadar glukosa darah menyebabkan meningginya kadar glukosa kulit
pada pasien diabetes melitus sehingga mempermudah timbulnya manifestasi
kulit berupa dermatitis, infeksi bakterial , infeksi jamur, dan lain-lain.4 Kulit
menjadi salah satu organ yang sering terkena dampak dari DM. Manifestasi

1
kulit berupa infeksi menjadi salah satu komplikasi kronik yang sering terlihat
pada pasien diabetes mellitus.5

Tinea corporis adalah suatu penyakit kulit menular yang menyerang


daerah kulit tak berambut yang disebabkan jamur dermatofita spesies
Trichophyton, Microsporus, Epidermophyton. Dari tiga golongan tersebut
penyebab tersering penyakit tinea corporis adalah Tricophyton rubrum dengan
prevalensi 47% dari semua kasus tinea corporis. Tinea corporis merupakan
infeksi yang umum terjadi pada daerah dengan iklim tropis seperti Negara
Indonesia dan dapat menyerang semua usia terutama dewasa.5

Penegakan diagnosis tinea corporis berdasarkan gambaran klinis, status


lokalis dan pemeriksaan penunjang. Keluhan yang dirasakan penderita biasanya
gatal terutama saat berkeringat. Keluhan gatal tersebut memacu pasien untuk
menggaruk lesi yang pada akhirnya menyebabkan perluasan lesi terutama di
daerah yang lembab. Kelainan kulit berupa lesi bentuk bulat atau lonjong,
berbatas tegas, terdiri atas eritema, skuama, kadang-kadang dengan vesikel dan
papul di tepi. Daerah tengahnya biasanya lebih tenang. Pada pemeriksaan
mikroskopis kerokan lesi dengan larutan kalium hidroksida (KOH) 10%
didapatkan hifa.5

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Diabetes Melitus

Diabetes mellitus adalalah gangguan metabolisme yang secara genetik


dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi
karbohidrat, jika telah berkembang penuh secara klinis maka diabetes mellitus
ditandai dengan hiperglikemia puasa dan postprandial, aterosklerosis dan
penyakit vaskular mikroangiopati.1

Diabetes Mellitus Tipe 2 merupakan penyakit hiperglikemi akibat


insensivitas sel terhadap insulin. Kadar insulin mungkin sedikitmenurun atau
berada dalam rentang normal. Karena insulin tetap dihasilkan oleh sel-sel beta
pankreas, maka diabetes mellitus tipe II dianggap sebagai non insulin dependent
diabetes mellitus.2,3

Diabetes Mellitus Tipe 2 adalah penyakit gangguan metabolik yang di


tandai oleh kenaikan gula darah akibat penurunan sekresi insulin oleh sel beta
pankreas dan atau ganguan fungsi insulin (resistensi insulin).3

2.2 Prevalensi Diabetes Melitus Tipe 2

Kejadian DM Tipe 2 pada wanita lebih tinggi daripada laki-laki. Wanita


lebih berisiko mengidap diabetes karena secara fisik wanita memiliki peluang
peningkatan indeks masa tubuh yang lebih besar. Hasil Riset Kesehatan Dasar
pada tahun 2008, menunjukan prevalensi DM di Indonesia membesar sampai
57%, pada tahun 2012 angka kejadian diabetes melitus didunia adalah sebanyak
371 juta jiwa, dimana proporsi kejadian diabetes melitus tipe 2 adalah 95% dari
populasi dunia yang menderita diabetes mellitus dan hanya 5% dari jumlah
tersebut menderita diabetes mellitus tipe 1. 1,4

3
2.3 Patogenesis Terjadinya Kelainan Kulit pada Penderita Diabetes Melitus

Beberapa kelainan kulit yang terjadi pada pasien diabetes berhubungan


dengan keadaan hiperglikemia dan hiperlipidemia. Kerusakan progresif dari
vaskular, neurologic atau sistem imun juga turut andil dalam terjadinya
manifestasi kulit. Hiperglikemi menyebabkan nonenzymatic glycosylation
(NEG) dari beberapa struktur protein termasuk kolagen. Walaupun NEG terjadi
normal pada proses penuaan, hal ini terjadi lebih cepat pada pasien diabetes.
NEG menyebabkan terjadinya pembentukan advanced glycation end products
(AGEs) yang bertanggung jawab terhadap penurunan tingkat kelarutan asam
dan pencernaan enzimatik dari kolagen kulit. Kelainan seperti diabetic thick
skin dan limited joint mobility (LJM) disebabkan karena penumpukan secara
langsung dari AGEs.6

Gangguan pada mekanisme imunoregulator juga terjadi pada pasien


diabetes. Hiperglikemi dan ketoasidosis mengurangi kemampuan sel darah
putih untuk melakukan kemotaksis, fagositosis dan bakterisidal serta terjadi
penurunan respon sel T kutaneus terhadap antigen, sehingga pada pasien
diabetes sering terjadi infeksi bakteri dan jamur.6

Abnormalitas metabolik, seperti hiperinsulinemia, yang terlihat pada


awal terjadinya resistensi insulin pada diabetes tipe 2 dapat menimbulkan
manifestasi kulit. Kerja insulin pada insulin-like growth factor-1 (IGF-1)
tampaknya menimbulkan proliferasi epidermal yang abnormal dan
menyebabkan gambaran dari akantosis nigrikan. Gangguan metabolisme lipid
juga terjadi pada pasien diabetes. Aktivitas dari lipoprotein lipase (LPL)
bergantung secara langsung pada insulin, membuat insulin sebagai pusat dari
proses metabolisme triglyceride-rich chylomicrons dan very-low-density
lipoproteins. Pada pasien diabetes, kerusakan proses metabolism lipid dapat
menyebabkan hipertrigliseridemia masif dengan manifestasi kulit berupa
eruptive xanthomas.6,7

4
Makro dan mikroangiopati pada pasien diabetes juga memberikan
peranan dalam manifestasi kulit. Pada pasien diabetes terdapat peningkatan
permeabilitas pembuluh darah, penurunan respon vaskular terhadap persarafan
simpatetik, dan berkurangnya kemampuan merespon panas dan stres
hipoksemik. Arteriosklerosis pada pembuluh darah besar dan gangguan
mikrovaskular ini dapat menyebabkan terjadinya ulkus diabetikum.8

Hilangnya persarafan sensorik kulit pada pasien diabetes juga


merupakan faktor predisposisi terjadinya luka dan infeksi. Hilangnya sinyal dari
sel neuroinflamatori juga berperan dalam ulkus di ekstremitas bawah yang sulit
untuk sembuh.8

2.4 Manifestais Dermatologis Diabetes Melitus

2.4.1 Pruritus

Pruritus generalisata dahulu dianggap sebagai gejala yang khas pada


pasien DM, tetapi penelitian gagal memberikan data statistik yang
mendukung.8 Pruritus generalisata lebih disebabkan karena komplikasi dari
DM itu sendiri yaitu gagal ginjal kronik (GGK) dan neuropati. Pada GGK
terjadi peningkatan urea dalam darah yang menyebabkan terjadinya
manifestasi pruritus pada kulit. Sedangkan pada neuropati, kemungkinan
pruritus disebabkan karena iritasi dari ujung-ujung saraf. Pruritus pada DM
terutama pada daerah anogenital dan intertriginosa.7

Gatal di kedua tungkai bawah pada pasien geriatri yang menderita


DM bukanlah disebabkan karena hiperglikemia, melainkan lebih
disebabkan oleh kulit yang kering. Pemberian lubrikan dengan
kortikosterioid potensi rendah dapat membantu menghilangkan gejala
tersebut.

5
2.4.2 Nekrosis Lipoidika Diabetikorum (NLD)

Penyakit ini sangat jarang terjadi, hanya terdapat pada 0,3 % dari
penderita DM. Angka kejadian tiga kali lebih tinggi pada wanita dan
biasanya asimtomatik. Penyakit ini dapat terjadi pada semua usia, tetapi
umumnya pada usia dewasa muda (rata-rata 34 tahun). Pada saat seseorang
didiagnosa menderita NLD, 10% dari orang tersebut akan menderita DM
atau menderita gangguan toleransi glukosa dalam waktu 5 tahun mendatang,
atau memiliki riwayat DM paling tidak dari salah satu orang tuanya.5

Lesi paling sering ditemukan pada bagian anterior dan lateral


tungkai bawah, tetapi dapat juga ditemukan pada wajah, lengan dan batang
tubuh. Lesi dapat ditemukan hanya satu atau beberapa, dapat unilateral atau
bilateral. Lesi awalnya berbentuk papul/nodul eritema yang perlahan-lahan
membesar membentuk plak dengan tepi iregular, datar dan pada akhirnya
menjadi lebih rendah dari sekitarnya karena terjadi atrofi dermis. Plak
berubah warna menjadi coklat kekuningan tetapi tepi plak tetap eritema,
plak tersebut dapat bergabung dan membesar meliputi seluruh tibia anterior.
Lapisan epidermis licin atau berskuama halus dan atrofi sehingga pembuluh
darah kapiler dapat terlihat. Lesi tersebut mungkin dapat mengalami
anestesi atau sensasi terhadap pin prick dan sentuhan halus berkurang
karena kerusakan dari saraf kutaneus.8

Pada lesi kronik biasanya terjadi ulkus dangkal, indolen dan nyeri.
Pada stadium awal NLD dapat menyerupai granuloma anulare atau sarkoid.
Perubahan patologi terjadi di dermis bagian bawah di mana terjadi edema,
basofilis dan penurunan jumlah kolagen dengan kerusakan struktur
normalnya (nekrobiosis). Terjadi peningkatan kolagenase dan penumpukan
sel-sel inflamasi pada lesi kulit. Pada akhirnya terjadi pembentukan sel busa
yang memberikan gambaran lipoidika.5

Pada NLD terjadi perubahan vaskularisasi yang ditandai dengan


proliferasi endotel dan oklusi dari lumen arteriol dan venul. Hubungan

6
antara DM dengan pathogenesis terjadinya perubahan tersebut masih belum
jelas. Ada hipotesis yang mengatakan bahwa kemungkinan terjadinya
peningkatan agregrasi platelet adalah faktor pemicu dari terjadinya
perubahan vaskular. Pengobatan NLD sampai sekarang belum ada yang
menunjukkan hasil yang memuaskan. Progresi dari lesi kulit tidak
berhubungan dengan menurunnya kadar gula darah. Pemberian
glukokortikoid topikal dengan cara oklusi atau injeksi intralesi dapat
memberikan perbaikan pada lesi yang aktif. Pemberian aspirin dengan dosis
3,5 mg/kg setiap 48-72 jam juga memberikan efek yang baik. Obat-obatan
lain yang cukup membantu misalnya klofazimin, nikotinamid, dan
pentoksifilin dapat juga digunakan. Pemaparan sinar ultra violet juga cukup
membantu penyembuhan ketika lesi muncul kembali.9

2.4.3 Diabetik Dermopati

Merupakan penyakit kulit yang paling sering terjadi pada pasien


DM. Paling sering terjadi pada pria usia lebih dari 50 tahun. Pada DD terjadi
perubahan dari pembuluh darah kecil.5 Lesinya berupa makula kecil (<1
cm) dengan bentuk ireguler, permukaannya cekung (atrofi) dan berwarna
coklat terang, pada awalnya terdapat pada tungkai bawah anterior, tetapi
dapat juga mengenai lengan atas, paha, dan tempat-tempat penonjolan
tulang. Pigmentasi ini disebabkan karena penumpukan hemosiderin pada
histiosit dan ekstravasasi dari eritrosit. Lesi muncul berkelompok dan secara
perlahanlahan membaik dalam kurun waktu lebih dari 12-18 bulan.
Kelainan ini bersifat asimtomatik sehingga tidak membutuhkan pengobatan,
tetapi sebaiknya menghindarkan area tersebut dari trauma dan infeksi
sekunder.7

7
2.4.4 Akantosis Nigrikans

Akantosis nigrikans merupakan manifestasi klinik yang dapat


langsung terlihat pada pasien-pasien DM. Biasanya berhubungan dengan
obesitas, resistensi insulin, dan pada beberapa kasus berhubungan dengan
peningkatan produksi androgen. Akantosis nigrikans dapat dijadikan
indikator prognosis terbentuknya DM tipe 2.7

Insulin mempunyai peranan penting dalam terjadinya akantosis


nigrikans. Ada 3 tipe resistensi insulin yang berhubungan dengan akantosis
nigrikans, yaitu (1) Tipe A, resistensi insulin disebabkan karena kerusakan
reseptor yang menyebabkan terjadinya penurunan dari pengikatan insulin.
(2) Tipe B, resistensi insulin terjadi karena efek dari adanya antibodi
antireseptor. Dan (3) Tipe C, terjadi kerusakan pascareseptor, yaitu terjadi
abnormalitas dari transduksi sinyal seperti autofosforilasi dari reseptor dan
aktivasi enzim tirosin kinase yang menghambat kerja insulin.9

Pada wanita dengan hiperandrogen dan resistensi insulin yang


mengalami akantosis nigrikans, dapat ditemukan adanya kerusakan fungsi
reseptor insulin atau adanya antibodi reseptor anti-insulin. Ada postulat
yang mengatakan bahwa stimulasi growth factor yang berlebihan pada kulit
menyebabkan proliferasi yang tidak normal dari keratinosit dan fibroblas
yang menghasilkan gambaran dari akantosis nigrikans. Pada keadaan
resistensi insulin dan hiperinsulinemia, akantosis nigrikan dapat disebabkan
oleh insulin binding yang berlebihan terhadap reseptor IGF-1 pada
keratinosit dan fibroblas. Reseptor IGF-1 terdapat pada keratinosit basal dan
berfungsi untuk mengatur proliferasi. Konsentrasi insulin yang tinggi
menstimulasi proliferasi fibroblas melalui reseptor IGF-1.

Secara klinis akantosis nigrikans tampak sebagai penebalan kulit


dengan papil-papil berwarna kecoklatan sampai kehitaman pada daerah
lipatan seperti belakang leher, ketiak, selangkangan, lipatan payudara dan
lipatan perut. Distribusinya biasanya simetris. Kulit yang terkena tampak

8
kotor dan permukaannya tampak seperti beludru. Bagian belakang leher
adalah bagian yang paling sering terkena.10 Kadang-kadang dapat disertai
pula dengan akrokordon/skin tag pada area yang terkena.9

Histopatologi dari lesi kulit menunjukkan adanya papilomatosis dan


hiperkeratosis dengan sedikit akantosis. Tampak sedikit hiperpigmentasi
pada lapisan basal, tetapi warna kecoklatan dari lesi kulit lebih disebabkan
karena hiperkeratosis.7

Pengobatan dari akantosis nigrikans secara umum kurang efektif.


Pengobatan yang biasanya diberikan adalah pemberian kalsipotriol, asam
salisilat, urea topikal, dan retinoid topikal maupun sistemik. Pengobatan
dari penyakit yang mendasarinya dapat membantu mempercepat
kesembuhan. Pengurangan berat badan dari pasien-pasien obesitas juga
membantu resolusi dari kelainan tersebut. Pemberian obat yang
meningkatkan sensitivitas insulin seperti metformin juga dapat membantu
kesembuhan.7

2.4.5 Diabetikorum Bulosa

Sangat jarang terjadi, tetapi karakteristik pada pasien DM.


Patogenesis terjadinya diabetikorum bulosa sampai saat ini belum
diketahui. Bula muncul secara spontan, biasanya di daerah dorsum dari
tungkai bawah dan kaki, kadang-kadang dapat pula terjadi pada lengan
bawah dan tangan. Ukuran bula bervariasi dari millimeter sampai
sentimeter. Lesi biasanya bilateral, bula berisi cairan steril yang jernih dan
tidak ada eritema di sekelilingnya. Bula ini pada umumnya tidak
menimbulkan nyeri maupun gatal dan dapat menghilang dalam waktu
beberapa minggu (2-5 minggu) tanpa terjadinya jaringan parut karena
terletak di subepidermal, tetapi dapat rekurens. Bula ini terjadi bukan karena
trauma ataupun infeksi. Penyebab manifestasi dari DM ini belum diketahui.
Umumnya tidak membutuhkan pengobatan spesifik tetapi harus menjaga
agar tidak terjadi infeksi sekunder.10

9
2.4.6 Sklerederma Diabetikorum

Sklerederma adalah penyakit kulit yang ditandai dengan penebalan


dan kekakuan dari jaringan subkutaneus. Indurasi simetris dan penebalan
kulit ini biasanya dimulai dari daerah punggung atas dan leher tanpa rasa
nyeri dan dapat pula menyebar ke muka, bahu, dada dan perut. Kulit tampak
seperti kayu dan terdapat gambaran seperti kulit jeruk (peau d'orange).
Skleredema diabetikorum terdapat pada 2,5 % - 14 % dari pasien-pasien
DM. Kelainan kulit ini terjadi pada pasien DM yang kronik dan
berhubungan dengan obesitas.7 Perbandingan antara pria dan wanita adalah
10:1. Patogenesis terjadinya skleredema diabetikorum disebabkan karena
produksi molekul matriks ekstraselular oleh fibroblas yang tidak teratur,
menyebabkan terjadinya penebalan dari serat kolagen dan peningkatan
penumpukan dari glikosaminoglikan terutama asam hialuronat. Pada pasien
dengan skleredema diabetikorum, pada daerah lesi terjadi penurunan
sensasi terhadap nyeri dan sentuhan halus dan terdapat keterbatasan dari
pergerakan ekstremitas atas dan leher. Pengobatan pada pasien skleredema
diabetikorum biasanya kurang memuaskan, pada beberapa laporan kasus
dapat digunakan radioterapi, metotreksat dosis rendah, psoralen, PUVA,
fotoforesis ekstrakorporeal, faktor XIII, dan prostaglandin E1.7

2.5 Infeksi Kulit yang berhubungan dengan Diabetes Melitus

Pada pasien-pasien DM infeksi kulit sering terjadi dengan keadaan yang


lebih berat dan risiko komplikasi yang lebih besar daripada orang tanpa DM.
Ada penelitian yang mengatakan bahwa pada pasien DM, terutama ketika dalam
keadaan hiperglikemia dan diabetic asidosis, kemotaksis, fagositosis dan
perlekatan dari leukosit terganggu. Penelitian lain menunjukkan bahwa fungi
dari sel T kulit dan respon terhadap antigen menurun. Infeksi kulit yang paling
sering terjadi adalah infeksi bakteri dan jamur.7

10
2.5.1 Infeksi Bakteri

2.5.1.1 Infeksi Streptokokus grup B

Pada studi dari 424 orang dengan infeksi streptokokus grup


B masif, didapatkan 30% kasus terjadi pada pasien-pasien DM.
Lokasi paling sering terjadinya infeksi ini adalah di kulit, jaringan
lunak dan tulang (selulitis, ulkus diabetik, dan ulkus dekubitus).7

2.5.1.2 Infeksi Streptokukus grup A

Pada sebuah studi dikatakan bahwa risiko terjadinya infeksi


Streptokokus grup A 3,7 kali lebih besar pada pasien DM. Lokasi
paling sering terjadinya infeksi ini adalah jaringan lunak.9

2.5.1.3 Infeksi Stafilokokus

Dahulu infeksi stafilokokus erat hubungannya dengan DM


dan pasien yang menderita furunkulosis atau folikulitis
direkomendasikan untuk diperiksa apakah mempunyai DM atau
tidak. Breen dan Karchmer menyimpulkan dari data terbaru bahwa
infeksi hanya terjadi pada orang-orang yang tertentu saja.7

2.5.2 Infeksi Jamur

2.5.2.1 Infeksi Kandida

Infeksi kandida terjadi lebih sering pada pasien-pasien DM,


terutama pada pasien-pasien yang tidak terkontrol. Intertrigo (aksila,
inguinal, sela-sela jari), vulvovaginitis, balanitis, paronikia,
onikomikosis, glositis dan angular keilitis sering terjadi. Wanita
pascamenopause dengan keluhan vulvovaginitis kandida yang
berulang dianjurkan melakukan pemeriksaan untuk melihat apakah
ada DM atau tidak.7

11
2.5.2.2 Infeksi Dermatofit

Foss et al meneliti 403 pasien diabetes, 82,6% dari pasien


tersebut menderita infeksi dermatofit dan 42,6% dari infeksi
dermatofit tersebut adalah onikomikosis. Onikomikosis akhir-akhir
ini dikatakan sebagai predictor terjadinya ulkus diabetik pada pasien
DM. Pada pasien DM pengobatan yang agresif dari tinea pedis
sangat penting untuk mencegah masuknya infeksi sekunder dari
bakteri.7

Tinea korporis adalah dermatofitosis pada kulit tubuh tidak


berambut (glabrous skin). Keluhan yang dirasakan penderita
biasanya gatal dengan kelainan kulit berupa lesi bentuk bulat atau
lonjong, berbatas tegas, terdiri atas eritema, skuama, kadang-kadang
dengan vesikel dan papul di tepi. Daerah tengahnya biasanya lebih
tenang. Kadang-kadang dapat terlihat erosi dan krusta akibat
garukan. Kelainan kulit dapat pula terlihat sebagai lesi dengan
pinggir yang polisiklik, karena beberapa lesi kulit yang bergabung
menjadi satu.

2.6 Tinea Korporis

Tinea korporis adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infeksi jamur
superfisial golongan dermatofitas, menyerang daerah kulit yang tidak berambut
pada wajah, badan, lengan, dan tungkai. Penyebabnya adalah jamur golongan
dermatofita, yang tersering adalah epidermophyton, floccosum, atau T. rubrum.
Panyakit ini tersebar di seluruh dunia terumata pada daerah beriklim tropis.
Insiden penyakit meningkat pada daerah dengan kelembaban udara yang tinggi.
Kebersihan perorangan dan lingkungan sangat berpengaruh terhadapt
perkembangan penyakit ini.5

Pasien biasanya mengeluh gatal, terutama saat berkeringat. Dengan


gambaran efloresensi berupa macula atau plak eritema atau hiperpigmentasi
dengan tepi yang aktif dan central healing. Pada lesi dijumpai papul-papul

12
eritematosa dan vesikel. Pada perjalanan penyakit yang kronik dapat dijumpai
likenifiakasi. Gambaran lesi dapat polisiklik, anular, atau geografis.5,7

Diagnosis tinea korporis ditegakkan dengan anamnesa, dan pemeriksaan


fisik. Bila perlu dapat dilakukan pemeriksaan kerokan kulit dengan KOH 10%
dengan hasil akan ditemukan adanya hifa.7

Pengobatan secara umum dilakukan dengan meningkatkan kebersihan


badan, menghindari pakainan yang tidak menyerap keringat. Selain itu dapat
diberikan pengobatan sistemik berupa Antihistamin untuk menngurangi
keluhan gatal. Griseofulvin 500-1000 mg/hari, atau itrakonazol 100mg/hari
selama 2 minggu dapat diberikan sebagi antifungal sistemik. Untuk pengobatan
topical dapat diberikan salep Whitefield, zalf 2-4, imidazole, ketoconazole, atau
preparat azole yang lain.7

13
BAB III

IDENTIFIKASI KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama :INY
Umur : 61 tahun
Jenis kelamin : laki-laki
Alamat : Br. Bukti
Pekerjaan : Petani
Suku : Bali
Agama : Hindu
Pendidikan terakhir : SMP
Status pernikahan : Menikah
No. Rekam Medis : 202663
Status : Rawat Inap (Interna)

3.2 Anamnesa

Keluhan Utama : Gatal-gatal di seluruh tubuh

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien dikonsulkan dari bagian Interna karena mengeluh gatal-gatal


di seluruh tubuh. Pasien di rawat dengan diagnosis Diabetes Melitus dengan
Gastropati DM + Dislipidemia + Hiperurisemia + Hipertensi grade II dan
Gagal Ginjal Kronis stage III. Pertama kali gatal muncul di bagian perut dan
selangkangan sekitar 3 bulan yang lalu yang kemudian menyebar sampai
ke kedua ketiak. Awalnya hanya berupa bintik-bintik kemerahan yang
kemudian semakin meluas. Keluhan gatal dirasakan semakin memberat
terutama setelah berkeringat. Saat dirawat gatal dirasakan pasien sampai ke

14
seluruh tubuh, terutama di bagian bawah ketiak sebelah kanan, sampai
pasien tidak bias berhenti menggaruk tubuhnya.

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien menderita Hipertensi sejak + 10 tahun, tidak rajin minum


obat dan kontrol. Pasien mengaku baru mengetahui kalau menderita DM
saat masuk rumah sakit. Riwayat Jantung dan Asma di sangkal pasien.

Riwayat Penyakit Keluarga

Pasien menyangkal penyakit Hipertensi, Diabetes Melitus, Jantung,


Asma, Ginjal di keluarga.

Riwayat Sosial

Pasien bekerja sebagai petani, tinggal bersama istri dan anak-


anaknya di sebuah rumah. Pasien mengaku jarang mencuci baju dan
mengganti baju bila berkeringat. Pasien juga mengatakan dulu saat masih
muda sering minum-minuman beralkohol.

3.3 Status Present

Keadaan umum : sedang


Kesadaran : Compos mentis, GCS E4V5M6
Tekanan darah : 130/100 mmHg
Nadi : 90x/menit, regular, kuat angkat
Pernafasan : 22x/menit, teratur
Suhu : 36,6C
Berat badan : 73 kg
Tinggi badan : 160 cm
IMT : 28,51 kg/m2 (normal)

15
3.4 Status General

Mata : konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)

THT : kesan tenang

Leher : Pembesaran KGB (-), kelenjar tiroid tidak teraba

Thorax

Cor : S1S2 tunggal, regular, murmur (-)

Pulmo : suara napas vesikuler, wheezing (-), rhonki (-)

Abdomen : distensi (-), bising usus (+) normal, nyeri tekan epigastrium (+)

Ekstrimitas : akral teraba hangat di keempat ekstimitas, tidak tampak adanya


edema

3.5 Status Dermatologi

Efloresensi : Pada dada sebelah kanan di bawah axila terdapat plak eritem
geografika, papul multiple dengan tepi tidak rata dan dasar lesi yang meninggi
dengan ukuran bervariasi, gambaran sentral healing positif.

3.6 Pemeriksaan Penunjang

Darah lengkap :

WBC : 13.8 x 103

RBC : 5.37 x 106

HB : 14.5 g/dl

HCT : 40.5 %

PLT : 325 x 103

16
Pemeriksaan fungsi ginjal, gula darah puasa dan 2jam postprandial,
trigliserida, cholesterol, asam urat.

Urea : 67 mg/dl

Creatinin : 1.83 mg/dl

GFR : 36.57 ml/mnt/1.732m2

GDP : 348 mg/dl

GD2JPP : 892 mg/dL

Trigliserida : 275 mg/dL

Cholesterol : 285 mg/dL

Asam Urat : 14.97 mg/dL

3.7 Diagnosis

- Tinea Korporis + Pruritus DM

- Diabetes Melitus dengan Gastropati DM

- Dislipidemia

- Hiperurisemia

- Hipertensi grade II

- Gagal Ginjal Kronis stage III

3.8 Penatalaksanaan

- Injeksi Dipenhidramin 2x1

- Ketoconazole cream 2% 10gr + zalf 2-4, 2 kali sehari

- Dexhametazone cream 0.25% + zalf 2-4, 2 kali sehari

- Terapi dari Interna

o IVFD NaCl 0.9% 8tpm

17
o Novorapid 3x 10 IU sc

o Lantus 0-0-10 IU sc

o Simvastatin 0-0-20mg p.o

o Valsartan 1x80mg p.o

o Omeprazole 2x40mg i.v

o Sanmol tablet 3x500mg p.o

18
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Pembahasan Kasus

Dermatofitosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh golongan


jamur dermatofita yang menyerang jaringan dengan keratin, seperti stratum
korneum pada epidermis, rambut, dan kuku. Dermatofita termasuk dalam kelas
Fungi imperfecti, yang terbagi dalam 3 genus, yaitu Microsporum,
Trichophyton, dan Epidermophyton.4 Dermatofitosis disebut juga dengan
istilah infeksi tinea yang dikelompokkan lebih lanjut berdasarkan lokasi
infeksinya, yaitu tinea kapitis, tinea korporis, tinea kruris, tinea manum, tinea
pedis dan tinea unguium.4,5

Pada tinea korporis atau ringworm biasanya persebaran lesi akan berada
disekitar dada, ekstremitas atau wajah. Tampak adanya central healing pada
bagian tengah lesi dengan tepi lesi yang merah dan meninggi. Terkadang
terdapat erosi dan krusta akibat garukan. 4,5

Pada kasus, keluhan utama yang menyebabkan pasien ini dikonsulkan


dari bagian Interna adalah rasa gatal pada daerah dada dibawah aksila yang
diawali dengan adanya kemerahan serta lesi yang semakin menyebar.
Didapatkan juga lesi dengan tepi yang lebih merah dan meninggi, serta terdapat
central healing yang ditutupi skuama halus pada bagian tengah lesi, lesi berbatas
tegas, berbentuk semiluner dengan ukuran asimetris. Manifestasi klinis ini
sesuai dengan tinea korporis. Pasien juga memiliki riwayat diabetes melitus
yang menjadi predisposi terjadinya dermatofitosis.

Beberapa metode diagnostik dapat digunakan untuk memastikan


dermatofitosis, yaitu dengan mikroskopik potasium hidroksida (KOH). Metode
ini dapat membantu untuk melihat adanya hifa pada sediaan dan memastikan
diagnosis dermatofitosis. Metode lain yang juga dapat dilakukan adalah dengan
kultur jamur, metode ini termasuk metode yang lama dan mahal serta biasanya
digunakan hanya pada kasus yang berat dan tidak berespon pada pengobatan

19
sistemik. Pada pasien tidak dilakukan pemeriksaan mikroskopis dengan KOH
10%.

Tinea korporis biasanya dapat disembuhkan dengan obat anti jamur


topikal. Umumnya, anti jamur topikal membutuhkan dosis satu atau dua kali
sehari selama 2 minggu. Pengobatan sistemik merupakan alternatif untuk pasien
yang tidak berespon atau resisten terhadap pengobatan topikal dan pada pasien
dengan lesi yang luas. Anti jamur yang dapat digunakan adalah golongan azole.
Pengobatan dengan azole yang direkomendasikan adalah ketoconazole,
econazole, oxiconazole, clotrimazole, dan miconazole. Terbinafine dan
natrifine merupakan allylamine yang dapat digunakan. Efek samping untuk
pengobatan topikal sangat minimal dibandingkan dengan pengobatan sistemik
seperti itraconazole, ketoconazole dan griseofulvin yang menyebabkan sakit
kepala dan muntah.

Untuk kasus tinea korporis pada pasien ini diberikan campuran


ketokonazol cream 2% dan zalf 2-4 dua kali sehari selain itu pasien juga
diedukasi untuk menghindari progresifitas penyakit yaitu menghindari
penggunaan pakaian dari bahan yang tidak menyerap keringat dan tetap
menjaga agar lesi tetap kering dan menjaga higienitas pasien.

Umumnya pasien dengan tinea korporis dapat sembuh secara total tapi
dapat juga kambuh kembali dan tergantung pada faktor predisposisi. Mengingat
pasien ini memiliki riwayat diabetes melitus dan juga berusia tua kemungkinan
pasien akan sembuh namun akan dapat kambuh.

20
BAB V

PENUTUP

5.1 Simpulan

Telah dilaporkan satu kasus tinea korporis pada pasien diabetes melitus.
Diagnosa didapatkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pengobatan
yang diberikan untuk kasus diatas adalah pengobatan dengan anti jamur topikal
dengan ketokonazol cream dan zalf 2-4 dan diberikan antihistamin dipenhidramin
injeksi untuk mengurangi gatal.

Diabetes adalah penyakit endokrin yang paling sering terjadi, dan banyak
penyakit kulit berhubungan dengan diabetes. Pengetahuan akan kondisi-kondisi
kulit tersebut dapat membantu seorang dokter layanan primer dalam diagnosis
diabetes dan penatalaksanaan penyakit kulit yang berhubungan dengannya.
Sebagian besar dapat diatasi oleh dokter layanan primer tetapi rujukan ke
dermatologis dapat dilakukan pada beberapa kasus. Seiring dengan meningkatnya
insidens dan prevalensi penderita diabetes, manifestasi kulit yang berhubungan
dengan diabetes akan lebih umum lagi. Maka dari itu, dokter layanan primer harus
membiasakan diri dengan gejala klinis dan terapinya.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Purnamasari, Dyah. 2009. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus.


Dalam: Sudoyo, Aru., Setyohadi, Bambang., Alwi, Idrus., ed. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 5. Jilid 3. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu
PenyakitDalam FK UI
2. Buraerah, Hakim. Analisis Faktor Risiko Diabetes Melitus tipe 2 di
Puskesmas Tanrutedong, Sidenreg Rappan,. Jurnal Ilmiah Nasional;2010.
Available from :http://lib.atmajaya.ac.id/default.aspx?tabID=
61&src=a&id=186192
3. Shah, BR., Hux, JE. 2003. Quantifying The Risk of Infection Disease For
People With Diabetes. Diabetes Care
4. Djuanda, Suria. 2008. Hubungan Kelainan Kulit dan Penyakit Sistemik.
Dalam:Djuanda, adhi., Hamzah, Mochtar., Aisah, Siti., ed. Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
5. Budimulja U. Mikosis. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Keenam, Cetakan Kedua. Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta; 2011.
6. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus pengelolaan dan
pencegahan diabetes melitus tipe 2 di Indonesia; 2006.
7. Kalus AA, Chien AJ, Olerud JE. Fitzpatrick's dermatology in general
medicine. 7th ed. Vol 2. New York: McGraw-Hill. 2008
8. James WD, Berger TG, Elston DM. Andrew's Disease of the skin clinical
dermatology. 11th ed. Elsevier Saunders; 2011.
9. Soebroto, Catherine, 2011, Manifestasi Dermatologis pada Pasien Diabetes
Melitus. Jakarta
10. Bhat YJ, Gupta V, Kudyar RP. Cutaneous manifestations of diabetes
mellitus. Int J Diab Dev Ctries. 2006

22

Anda mungkin juga menyukai