Anda di halaman 1dari 31

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Diabetes mellitus adalah suatu penyakit yang ditandai dengan kadar glukosa

dalam darah yang mlebihi batas normal. Apabila penyakit ini dibiarkan tak terkendali,

maka akan menimbulkan komplikasi-komplikasi ke bagian organ-organ tubuh yang

lainnya. Bisa juga berakibat fatal seperti penyakit jantung, kebutaan, dan mudah

terkena ateroskelosis. (Mansjoer,dkk,2001)

Diabetes melitus (DM) merupakan suatu penyakit dimana terjadi gangguan

metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Hal ini diakibatkan oleh kurangnya

sensitivitas otot ataupun jaringan terhadap insulin, yang disebut dengan resistensi

insulin ataupun oleh kurangnya hormon insulin atau disebut dengan defisiensi insulin.

Gejala paling khas pada diabetes mellitus adalah polyuria, polidipsi, polifagi,

lemas, berat badan turun, hiperglikemi, dan glukosuria. Umumnya diabetes mellitus

disebabkan oleh rusaknya sebagian kecil / sebagian besar sel beta pada pulau-pulau

Langerhans pada pankreas yang berfungsi menghasilkan insulin, sehingga terjadi

kekurangan insulin.

Ternyata sampai saat ini masih saja penderita DM bertambah banyak. Hal

tersebut disebabkan masih banyak masyarakat yang khususnya penerita DM tidak

tanggap terhadap penyakitnya. Hal itu mungkin disebabkan karena ketidaktahuannya

akan penyakit DM tersebut, tidak ada yang peduli terhadap DM itu sendiri. Padahal

sudah jelas betapa penyakit DM itu dapat menimbulkan komplikasi yang dapat

berakibat fatal.

Terdapat dua jenis penyakit diabetes mellitus, yaitu Diabetes mellitus tipe I

(insulin-dependent diabetes mellitus) dan diabetes mellitus tipe II (noninsulin-

1
dependent diabetes mellitus). Diabetes mellitus tipe I yaitu dicirikan dengan

hilangnya sel penghasil insulin pada pulau-pulau langhernas pankreas sehingga

terjadi kekurangan insulin pada tubuh. Diabetes mellitus tipe II, terjadi akibat

ketidakmampuan tubuh untuk merespon dengan wajar terhadap aktivitas insulin yang

dihasilkan pankreas (resistensi insulin), sehingga tidak tercapai kadar glukosa yang

normal dalam darah. Diabetes mellitus tipe II lebih banyak ditemukan dan meliputi

90% dari semua kasus diabetes di seluruh dunia.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Apa pengertian dari Diabetes Mellitus ?


1.2.2 Apa saja klasifikasi dari Diabetes Mellitus ?
1.2.3 Bagaimana etiologi Diabetes Mellitus ?
1.2.4 Bagaimana patofisiologi Diabetes Mellitus ?
1.2.5 Bagaimana manifestasi klinis Diabetes Mellitus ?
1.2.6 Apa saja komplikasi Diabetes Mellitus ?
1.2.7 Bagaimana penatalaksanaan Diabetes Mellitus ?
1.2.8 Bagaimana WOC Diabetes Mellitus ?
1.2.9 Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien Diabetes Mellitus ?

1.3 Tujuan

1.3.1 Mengetahui pengertian dari Diabetes Mellitus


1.3.2 Mengetahui klasifikasi dari Diabetes Mellitus
1.3.3 Mengetahui etiologi Diabetes Mellitus
1.3.4 Mengetahui patofisiologi Diabetes Mellitus
1.3.5 Mengetahui manifestasi klinis Diabetes Mellitus
1.3.6 Mengetahui komplikasi Diabetes Mellitus
1.3.7 Mengetahui penatalaksanaan Diabetes Mellitus
1.3.8 Mengetahui WOC Diabetes Mellitus
1.3.9 Mengetahui asuhan keperawatan pada pasien Diabetes Mellitus

2
BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1 Konsep Medis


2.1.1 Pengertian Diabetes Mellitus

Diabetes Melitus adalah gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis

termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat.

Diabetes Mellitus bukanlah suatu entitas tunggal tetapi lebih merupakan suatu

kelompok penyakit metabolik dengan gambaran umum hiperglikemia. Hiperglikemia

dalam diabetes diakibatkan karena kerusakan dalam sekresi insulin, kerja insulin atau

dari keduanya. Hiperglikemia kronis dan kerusakan metabolik yang mendukung

mungkin berhubungan dengan kerusakan sekunder pada multipel sistem organ,

khususnya ginjal, mata, saraf dan pembuluh darah. Diabetes Mellitus merupakan

penyakit metabolik yang ditimbulkan oleh interaksi berbagai faktor: genetik,

imunologik, lingkungan dan gaya hidup. Penyakit ini ditandai dengan hiperglikemia,

suatu kondisi yang terjalin erat dengan kerusakan pembuluh darah besar

(makrovaskuler) maupun kecil (mikrovaskuler) yang berakhir sebagai kegagalan,

kerusakan, atau gangguan fungsi organ. (Kowalak,dkk,2014)

Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa Diabetes Mellitus

merupakan kelompok penyakit metabolik dengan manifestasi hiperglikemia dan

dapat menyebabkan kerusakan organ lain dalam tubuh.

2.1.2 Klasifikasi Diabetes Mellitus

Beberapa klasifikasi diabetes mellitus telah diperkenalkan berdasarkan metode

presentasi klinis, umur awitan dan riwayat penyakit. Klasifikasi diabetes mellitus

berdasarkan pengetahuan mutakhir mengenai patogenesis sindrom diabetes dan

3
gangguan toleransi glukosa terbagi menjadi empat tipe yaitu: diabetes mellitus tipe 1,

dan diabetes mellitus tipe 2. (Mansjoer,dkk,2001).

1. Diabetes Mellitus tipe 1

Secara tradisional dianggap timbul terutama pada umur 18 tahun, tetapi

sekarang diketahui dapat timbul pada semua umur. Diabetes jenis ini terjadi akibat

kerusakan sel beta pankreas dikenal sebagai tipe juvenile onset dan tipe dependen

insulin. Diabetes Mellitus tipe 1 biasanya ditandai oleh defisiensi insulin absolut

karena kerusakan sel beta pankreas akibat serangan autoimun, faktor genetis,

imunologis, mungkin juga lingkungan (mis: virus).

Awitan pada DM tipe 1 ditandai oleh poliuria, polidipsia, polifagia, penurunan

berat badan, pandangan kabur yang merupakan akibat gangguan metabolic. Defisiensi

insulin menyebabkan keadaan katabolik pada metabolisme glukosa, lemak dan

protein. Hiperglikemia yang terjadi melebihi ambang reabsorpsi ginjal sehingga

timbul glikosuria.

Glikosuria memicu diuresis osmotik dan menyebabkan poliuria, sehingga air

dan elektrolit keluar dalam jumlah besar. Pengeluaran air melalui ginjal disertai

hiperosmolaritas akibat meningkatnya kadar glukosa di dalam darah cenderung

menguras air intrasel, merangsang osmoreseptor di pusat-pusat haus di otak. Dengan

cara ini timbul rasa haus yang hebat (polidipsia). Katabolisme protein dan lemak

cenderung memicu keseimbangan energi negatif, yang menyebabkan nafsu makan

meningkat (polifagia). Meskipun nafsu makan meningkat, efek katabolik tetap lebih

dominan sehingga berat badan menurun dan otot melemah.

2. Diabetes Mellitus tipe 2

Kadar glukosa darah normalnya dipertahankan dalam kisaran sangat sempit,

biasanya 70-120 mg/dl. Pemeriksaan kadar glukosa darah puasa dilakukan pada

4
pasien yang telah berpuasa minimal selama 8 jam (boleh minum) tidak boleh lebih

dari 16 jam diambil untuk diperiksa. Pemeriksaan glukosa darah puasa merupakan

pemeriksaan baku emas (gold standard) untuk diagnosis DM. Diagnosa DM tipe 2

dipastikan oleh peningkatan glukosa darah yang memenuhi salah satu dari tiga

kriteria berikut ini. (Mansjoer,dkk,2001)

DM jenis ini mulai pada pertengahan umur atau lebih. Gejala mulai lebih

bertahap dibanding dengan DM tipe 1 dan diagnosis sering dibuat jika individu tanpa

gejala ditemukan mempunyai peningkatan glukosa plasma pada pemeriksaan

laboratotium rutin. Insiden DM tipe 2 90-95% dari keseluruhan DM. DM tipe 2

disebabkan oleh kombinasi dari faktor genetik yang berhubungan dengan gangguan

sekresi insulin dan resistensi insulin relatif dan lingkungan faktor-faktor seperti

obesitas, makan berlebihan, kurang olahraga dan stres serta penuaan.

Sekitar 80% pasien DM tipe 2 mengalami obesitas. Obesitas berkaitan dengan

resistensi insulin, maka akan timbul kegagalan toleransi glukosa yang menyebabkan

DM tipe 2. Pengurangan berat badan seringkali dikaitkan dengan perbaikan dalam

sensitifitas insulin dan pemulihan toleransi glukosa. Sintesis lemak terstimulasi

insulin dalam hati dengan transpor lemak (melalui lipoprotein kepadatan sangat

rendah) menyebabkan penyimpanan lemak sekunder dalam otot. Peningkatan

oksidasi lemak akan mengganggu ambilan glukosa dan sintesis glikogen. Penurunan

pelepasan insulin yang terlambat dapat disebabkan oleh efek toksik glukosa terhadap

pulau pankreas atau akibat defek genetik yang mendasari. Namun obesitas bukan

merupakan satu-satunya penyebab resistensi insulin. DM jenis ini disebut juga

diabetes onset-matur (onset-dewasa) dan diabetes resistan-ketosis.

DM tipe 2 juga dapat bermanifestasi sebagai poliuria dan polidipsia tetapi tidak

seperti DM tipe 1. Pasien sering berumur lebih tua (lebih dari 40 tahun). Namun

5
dengan meningkatnya obesitas dan gaya hidup yang tidak banyak breaktivitas dalam

masyarakat kita, DM tipe 2 sering dijumpai pada anak dan remaja.

Tidak terjadinya ketoasidosis dan gambaran klinis yang lebih ringan pada DM

tipe 2 diperkirakan disebabkan oleh kadar insulin vena porta yang lebih tinggi

dibanding dengan pasien DM tipe 1, yang mencegah oksidasi asam lemak berlebihan

di hati dan menekan pembentukan badan keton

2.1.3 Etiologi Diabetes Mellitus

Diabetes Melitus mempunyai etiologi yang heterogen, dimana berbagai lesi

dapat menyebabkan insufisiensi insulin, tetapi determinan genetik biasanya

memegang peranan penting pada mayoritas DM. Faktor lain yang dianggap sebagai

kemungkinan etiologi DM yaitu :

1. Kelainan sel beta pankreas, berkisar dari hilangnya sel beta sampai kegagalan

sel beta melepas insulin.

2. Faktor – faktor lingkungan yang mengubah fungsi sel beta, antara lain agen

yang dapat menimbulkan infeksi, diet dimana pemasukan karbohidrat dan gula

yang diproses secara berlebihan, obesitas dan kehamilan.

3. Gangguan sistem imunitas. Sistem ini dapat dilakukan oleh autoimunitas yang

disertai pembentukan sel-sel antibodi antipankreatik dan mengakibatkan

kerusakan sel - sel penyekresi insulin, kemudian peningkatan kepekaan sel beta

oleh virus.

4. Kelainan insulin. Pada pasien obesitas, terjadi gangguan kepekaan jaringan

terhadap insulin akibat kurangnya reseptor insulin yang terdapat pada membran

sel yang responsir terhadap insulin.

Insulin Dependent Diabetes Melitus (IDDM) Atau Diabetes Melitus Tergantung

Insulin (DMTI) disebabkan oleh destruksi sel beta pulau langerhans akibat proses

6
autonimun. Sedangkan Non Insulin Dependent Diabetes Melitus (NIDDM) atau

Diabetes Melitus Tidak Tergantung Insulin (DMTTI) disebabkan kegagalan relatif sel

beta dan resistensi insulin. Resistensi insulin adalah turunnya kemampuan insulin

untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat

produksi glukosa oleh hati. Sel beta tidak mampu mengimbangi resistensi insulin ini

sepenuhnya, artinya terjadi defisiensi relatif insulin. Ketidakmampuan ini terlihat dari

berkurangnya sekrsi insulin pada rangsangan glukosa. Maupun pada rangsangan

glukosa bersama bahan perangsang sekresi insulin lain. Berarti sel beta pankreas

mengalami desensititasi terhadap glukosa.

2.1.3.1 Etiologi DM Tipe 1

1. Faktor genetik. Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri;

tetapi mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan genetik ke arah

terjadinya DM tipe I. Kecenderungan genetik ini ditemukan pada individu yang

memiliki tipe antigen HLA.

2. Faktor imunologi. Adanya respons autoimun yang merupakan respons

abnormal dimana antibodi terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara

bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah sebagai

jaringan asing. Yaitu otoantibodi terhadap sel-sel pulau Langerhans dan insulin

endogen.

3. Faktor lingkungan. Virus, bakteri, bahan toksik.

2.1.3.2 Etiologi DM Tipe 2

1. Faktor genetik (resistensi insulin)

2. Usia (resistensi cenedrung meningkat di usia 65 tahun)

3. Obesitas, makan berlebihan, kurang olah raga, stres dan penuaan

4. Riwayat keluarga dengan diabetes

7
2.1.4 Patofisiologi

Sebagian besar gambaran patologik dari DM dapat dihubungkan dengan salah

satu efek utama akibat kurangnya insulin berikut (Kowalak,dkk,2014),:

1. Berkurangnya pemakaian glukosa oleh sel – sel tubuh yang mengakibatkan

naiknya konsentrasi glukosa darah setinggi 300 – 1200 mg/dl.

2. Peningkatan mobilisasi lemak dari daerah penyimpanan lemak yang

menyebabkan terjadinya metabolisme lemak yang abnormal disertai dengan

endapan kolestrol pada dinding pembuluh darah.

3. Berkurangnya protein dalam jaringan tubuh. Pasien – pasien yang mengalami

defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan kadar glukosa plasma puasa

yang normal atau toleransi sesudah makan. Pada hiperglikemia yang parah

yang melebihi ambang ginjal normal (konsentrasi glukosa darah sebesar 160 –

180 mg/100 ml), akan timbul glikosuria karena tubulus – tubulus renalis tidak

dapat menyerap kembali semua glukosa.

2.1.4.1 Patofisiologi DM Tipe 2

Dua defek metabolik yang merupakan karaktersitik DM tipe 2 adalah

1. Resistensi terhadap kerja insulin pada jaringan target,

2. Disfungsi sel beta yang ditandai dengan sekresi insulin yang tidak adekuat.

Pada penelitian lain dipaparkan juga penyebab DM tipe 2 ketidakadekuatan

produk supresi yaitu glucagon. Dalam banyak kasus resistensi insulin

merupakan penyebab utama kemudian diikuti dengan disfugsi sel beta.

Resistensi insulin didefinisikan sebagai resistensi terhadap efek insulin pada

penyerapan, metabolisme atau penyimpanan glukosa. Resistensi insulin merupakan

gambaran khas pada kebanyakan pasien DM tipe 2 dan hampir selalu ditemukan pada

8
pengidap DM yang kegemukan. Resiko DM meningkat seiring dengan peningkatan

BMI (suatu ukuran kandungan lemak tubuh).

Obesitas pada DM tipe 2 menunjukkan bahwa dalam keadaan kelebihan lemak

terdapat kelainan mendasar pada pembentukan sinyal insulin. Obesitas sentral (lemak

abdomen) lebih besar kemungkinannya menyebabkan resistensi insulin dibanding

dengan endapan lemak perifer (gluteus/subkutis). Resistensi insulin menyebabkan

berkurangnya penyerapan glukosa di otot dan jaringan lemak dan ketidakmampuan

hormon menekan glukoneogenesis di hati. (Kowalak,dkk,2014)

Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri khas diabetes

tipe II, namun masih terdapat insulin dengan jumlah yang adekuat untuk mencegah

pemecahan lemak dan produksi badan keton yang menyertainya. Karena itu,

ketoasidosis diabetik tidak terjadi pada diabetes tipe II. Meskipun demikian, diabetes

tipe II yang tidak terkontrol dapat menimbulkan masalah akut lainnya yang

dinamakan sindrom hiperglikemik hiperosmoler nonketotik (HHNK).

Penanganan primer diabetes tipe II adalah dengan menurunkan berat badan, karena

resistensi insulin bekaitan dengan obesitas. Latihan merupakan unsur yang penting

pula untuk meningkatkan efektifitas insulin.

2.1.5 Manifestasi Klinis

Poliuria, polidipsia dan polifagia. Malaise, kesemutan pada ekstremitas.

Keletihan dan kelemahan, perubahan pandangan secara mendadak, sensasi kesemutan

atau kebas di tangan atau kaki, kulit kering, lesi kulit atau luka yang lambat sembuh,

atau infeksi berulang .

Awitan diabetes tipe 1 dapat disertai dengan penurunan berat badan mendadak

atau mual, muntah atau nyeri lambung.

9
DM tipe 2 disebabkan oleh intoleransi glukosa yang progesif dan berlangsung

perlahan (bertahun-tahun) dan mengakibatkan komplikasi jangka panjang apabila

diabetes tidak terdeteksi selama bertahun-tahun (mis : penyakit mata, neuropati

perifer). Komplikasi dapat muncul sebelum diagnosis yang sebenarnya ditegakkan.

2.1.6 Komplikasi Diabetes Mellitus

Gangguan makrovaskular dan mirkovaskular

1. Kekurangan insulin akan mengganggu jalur poliol (glukosa, sorbitol, fruktosa)

yang kahirnya menyebabkan penimbunan sorbitol.

2. Penimbunan sorbitol dalam lensa menyebabkan katarak dan kebutaan.

3. Pada jairngan saraf penimbunan sorbitol dan fruktosa dan penurunan kadar

mioinositol dapat berefek pada kondisi neuropati.

4. Perubahan biokimia dalam jaringan saraf akan mengganggu kegiatan metabolik

sel Schwan dan menyebabkan kehilangan akson.

5. Pada tahap dini kecepatan konduksi motorik akan berkurang selanjutnya

muncul keluhan nyeri, parestesia, berkurnag sensai getar dan propioseptik dan

gangguan motorik yang disertai hilangnya refleks tendon, kelemahan otot dan

atrofi.

6. Neuropati dapat menyerang saraf perifer, saraf kranial atau saraf otonom.

7. Terserangnya sistem saraf otonom dapat disertai diare noktural, keterlambatan

pengosongan lambung, hipotensi postural dan impotensi.

8. Peningkatan glukosa menyebabkan peningkatan sorbitol dalam intima vaskular,

hiperlipoproteinemia dan kelainan pembekuan darah. Akibat kerusakan pada

pembuluh darah besar atau dikenal dengan makroangipati.

9. Makroangipati akan mengakibatkan penyumbatan vaskular > jika menyumbat

pada arteri perifer yang disertai klaudikasio intermiten dan ganggren

10
ekstremitas, jika pembuluh darah arteria koronaria dan aorta yang terkena >

infark dan angina.

2.1.7 Penatalaksanaan Medis

Tujuan utama terapi: menormalkan aktivitas insulin dan kadar glukosa darah

guna mengurangi komplikasi vaskular dan neuropatik.

Tujuan terapeutik pada setiap tipe DM : mencapai kadar glukosa darah normal,

tanpa disertai hipoglikemia dan tanpa mengganggu aktivitas pasien sehari-hari.

Terdapat 5 komponen penatalaksanana diabetes :

1. Nutrisi

2. Olah raga

3. Pemantauan terapi farmakologis

4. Edukasi

Terapi primer untuk diabetes tipe 1 adalah insulin. Terapi primer untuk diabetes

tipe 2 adalah penurunan berat badan. Olahraga penting untuk meningkatkan

keefektifan insulin

Penggunaan agens hipoglikemik oral apabila diet dan olah raga tidak berhasil

mengontrol kadar gula darah. Injeksi insulin dapat digunakan pada kondisi akut.

Mengingat terapi bervariasi selama perjalanan penyakit karena adanya perubahan

gaya hidup dan status fisik serta emosional dan juga kemjuan terapi, terus kaji dan

modifikasi rencana terapi serta lakukan penyesuaian terapi setiap hari. Edukasi

diperlukan untuk pasien dan keluarga.

2.1.8 Penatalaksanaan Diabetes Mellitus

1. Rencana makan harus dipertimbangkan pilihan makanan pasien, gaya hidup,

kebiasaan waktu makan pasien, latar belakang etnis dan budaya pasien.

11
2. Bagi yang membutuhkan insulin untuk mengontrol kadar gula darah diperlukan

konsistensi dalam mempertahankan jumlah kalori dan karbohodrat yang

dikonsumsi pada setiap sesi makan.

3. Edukasi tentang kebiasaan makan yang konsisten.

12
2.2 WOC

13
2.3 Konsep Asuhan Keperawatan Diabetes Mellitus

2.3.1 Pengkajian

Pengkajian merupakan tahap dimana perawat mengumpulkan data secara

sistematis, memilih dan mengatur data yang dikumpulkan dan mendokumentasikan

data dalam format yang didapat. Untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian

tentang masalah-masalah klien sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan

keperawatan.

1. Anamnese

1) Identitas

Meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, alamat,

status perkawinan, suku bangsa, nomor register, tanggal masuk rumah sakit dan

diagnosa medis.

2) Keluhan Utama

Pada umumnya keluhan utamanya yakni adanya rasa kesemutan pada kaki atau

tungkai bawah, rasa raba yang menurun, adanya luka yang tidak sembuh - sembuh

dan berbau, adanya nyeri pada luka. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap

tentang rasa nyeri klien digunakan teori PQRST.

3) Riwayat Penyakit Sekarang

Menggambarkan perjalanan penyakit yang saat ini sedang dialaminya. Berisi

tentang kapan terjadinya luka, penyebab terjadinya luka serta upaya yang telah

dilakukan oleh penderita untuk mengatasinya. Biasanya klien masuk ke RS dengan

keluhan utama gatal-gatal pada kulit yang disertai bisul/lalu tidak sembuh-sembuh,

kesemutan atau rasa berat, mata kabur, kelemahan tubuh. Disamping itu klien juga

mengeluh poli urea, polidipsi, anorexia, mual dan muntah, BB menurun, diare

kadang-kadang disertai nyeri perut, kramotot, gangguan tidur atau istirahat, haus-

14
haus, pusing-pusing atau sakit kepala, kesulitan orgasme pada wanita dan masalah

impoten pada pria.

4) Riwayat Penyakit Dahulu

Adanya riwayat penyakit DM atau penyakit - penyakit lain yang ada kaitannya

dengan defisiensi insulin misalnya penyakit pankreas. Adanya riwayat penyakit

jantung, obesitas, maupun arterosklerosis, tindakan medis yang pernah di dapat

maupun obat-obatan yang biasa digunakan oleh penderita.

a. Riwayat hipertensi/infark miocard akut dan diabetes gestasional.

b. Riwayat ISK berulang.

c. Penggunaan obat-obat seperti steroid, dimetik (tiazid), dilantin dan

penoborbital.

d. Riwayat mengkonsumsi glukosa/karbohidrat berlebihan.

5) Riwayat Penyakit atau Kesehatan Keluarga

Terdapat salah satu anggota keluarga yang juga menderita DM atau penyakit

keturunan yang dapat menyebabkan terjadinya defisiensi insulin misal hipertensi, dan

jantung.

6) Riwayat Psikososial

Meliputi informasi mengenai prilaku, perasaan dan emosi yang dialami

penderita sehubungan dengan penyakitnya serta tanggapan keluarga terhadap

penyakit penderita.

2.3.2 Pola Pemenuhan Kebutuhan Dasar

1. Pola Persepsi Management Kesehatan

Menjelaskan tentang persepsi atau pandangan klien terhadap sakit yang

dideritanya, tindakan atau usaha apa yang dilakukan klien sebelum dating kerumah

sakit, obat apa yang telah dikonsumsi pada saat akan dating kerumah sakit.

15
2. Pola Nutrisi Dan Metabolisme

Menggambarkan asupan nutrisi, keseimbangan cairan dan elektrolit, kondisi

rambut, kuku dan kulit, kebiasaan makan, frekuensi makan, nafsu makan, makanan

pantangan, makanan yang disukai dan banyaknya minum yang dikaji sebelum dan

sesudah masuk RS. Pada pasien DM akibat produksi insulin tidak adekuat atau

adanya defisiensi insulin maka kadar gula darah tidak dapat dipertahankan sehingga

menimbulkan keluhan sering kencing, banyak makan, banyak minum, berat badan

menurun dan mudah lelah. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya

gangguan nutrisi dan metabolisme yang dapat mempengaruhi status kesehatan

penderita.

3. Pola Eliminasi

Menggambarkan pola eliminasi klien yang terdiri dari frekuensi, volume,

adakah disertai rasa nyeri, warna dan bau.

4. Pola Tidur Dan Istirahat

Menggambarkan penggunaan waktu istirahat atau waktu senggang, kesulitan

dan hambatan dalam tidur, pada pasien dengan kasusu DM Adanya poliuri, nyeri

pada kaki yang luka dan situasi rumah sakit yang ramai akan mempengaruhi waktu

tidur dan istirahat penderita, sehingga pola tidur dan waktu tidur penderita mengalami

perubahan.

5. Pola Aktivitas Dan Latihan

Menggambarkan kemampuan beraktivitas sehari-hari, fungsi pernapasan dan

fungsi sirkulasi.

6. Pola Kognitif Perceptual

Menggambarkan pola kemampuan klien untuk proses berpikir, pola

penglihatan, pendengaran, pengecapan, penciuman dan persepsi sensasi nyeri serta

16
kemampuan berkomunikasi dan mengerti akan penyakitnya. Pasien dengan gangren

cenderung mengalami neuropati / mati rasa pada luka sehingga tidak peka terhadap

adanya trauma.

7. Pola Persepsi Dan Konsep Diri

Menggambarkan citra diri, identitas diri, harga diri dan ideal diri seseorang

dimana perubahan yang terjadi pasa kasus DM adanya perubahan fungsi dan struktur

tubuh akan menyebabkan penderita mengalami gangguan pada gambaran diri. Luka

yang sukar sembuh, lamanya perawatan, banyaknya biaya perawatan dan pengobatan

menyebabkan pasien mengalami kecemasan dan gangguan peran pada keluarga.

8. Pola Hubungan Dan Peran

Menggambarkan tentang hubngan klien dengan lingkungan disekitar serta

hubungannya dengan keluarga dan orang lain. Seseorang dengan kasus DM akan

menyebabkan Luka gangren yang sukar sembuh dan berbau menyebabkan penderita

malu dan menarik diri dari pergaulan.

9. Pola Seksual Dan Reproduksi

Meggambarkan tentang seksual klien. Dampak angiopati dapat terjadi pada

sistem pembuluh darah di organ reproduksi sehingga menyebabkan gangguan potensi

sek, gangguan kualitas maupun ereksi, serta memberi dampak pada proses ejakulasi

serta orgasme.

10. Pola Mekanisme Koping Dan Toleransi Terhadap Stress

Menggambarkan kemampuan koping pasien terhadap masalah yang dialami dan

dapat menimbulkan ansietas. Lamanya waktu perawatan, perjalanan penyakit yang

kronik, perasaan tidak berdaya karena ketergantungan menyebabkan reaksi psikologis

yang negatif berupa marah, kecemasan, mudah tersinggung dan lain – lain, dapat

17
menyebabkan penderita tidak mampu menggunakan mekanisme koping yang

konstruktif / adaptif.

11. Pola Tata Nilai Dan Kepercayaan

Menggambarkan sejauh mana keyakinan pasien terhadap kepercayaan yang

dianut dan bagaimana dia menjalankannya. Adanya perubahan status kesehatan dan

penurunan fungsi tubuh serta luka pada kaki tidak menghambat penderita dalam

melaksanakan ibadah tetapi mempengaruhi pola ibadah penderita.

2.3.3 Pemeriksaan Penunjang

Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah, tidak

dapat ditegakkan hanya atas dasar adanya glukosuria saja. Dalam menegakkan

diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara

pemeriksaan yang dipakai . Untuk diagnosis DM, pemeriksaan yang dianjurkan

adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan glukosa darah

plasma vena. Saat ini banyak dipasarkan alat pengukur kadar glukosa darah cara

reagen kering yang umumnya sederhana dan mudah dipakai.

Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah memakai alat-alat tersebut dapat

dipercaya sejauh kalibrasi dilakukan dengan baik dan cara pemeriksaan sesuai dengan

cara standar yang dianjurkan. Untuk memantau kadar glukosa darah dapat dipakai

bahan darah kapiler. Ada perbedaan antara uji diagnostic DM dan pemeriksaan

penyaring. Uji diagnostic DM dilakukan untuk mereka yang menunjukan gejala atau

tanda DM. Sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidenfikasi

mereka yang tidak bergejala tetapi memilliki resiko DM.

Pemeriksaan penyaring perlu dilakukan pada kelompok dengan resiko tinggi

untuk DM, yaitu kelompok usia dewasa tua (>40 tahun), obesitas, tekanan darah

18
tinggi, riwayat keluaraga DM, riwayat kehamilan dengan berat badan lahir bayi

>4.000 g, riwayat DM pada kehamilan, dan dislipidemia.

Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan dengan pemeriksaan glukosa darah

sewaktu, kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan Tes Toleransi

Glukosa Oral (TTGO) standar. Untuk kelompok risiko tinggi yang hasil pemeriksaan

penyaringnya negatif, perlu pemeriksaan penyaring ulangan tiap tahun. Bagi pasien

berusia >45 tahun tanpa faktor risiko, pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap

3 tahun.

Cara pemeriksaan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) adalah :

1. Tiga hari sebelum pemeriksaan pasien makan seperti biasa.

2. Kegiatan jasmani sementara cukup, tidak terlalu banyak.

3. Pasien puasa semalam selama 10- 12 jam.

4. Periksa glukosa darah puasa.

5. Berikan glukosa 75 g yang dilarutkan dalam air 250 ml,lalu minum dalam

waktu 5 menit.

6. Periksa glukosa darah 1 jam dan 2 jam sesudah beban glukosa.

7. Selama pemeriksaan, pasien yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok.

WHO (1985) menganjurkan pemeriksaan standar seperti ini,tetapi kita hanya

memakai pemeriksaan glukosa darah 2 jam saja.

Pemeriksaan Laboratorium :

1. Pemeriksaan darah. Pemeriksaan darah meliputi : GDS > 200 mg/dl, gula darah

puasa >120 mg/dl dan dua jam post prandial > 200 mg/dl.

2. Urine. Pemeriksaan didapatkan adanya glukosa dalam urine. Pemeriksaan

dilakukan dengan cara Benedict ( reduksi ). Hasil dapat dilihat melalui

19
perubahan warna pada urine : hijau ( + ), kuning ( ++ ), merah ( +++ ), dan

merah bata ( ++++ ).

3. Kultur pus. Mengetahui jenis kuman pada luka dan memberikan antibiotik yang

sesuai dengan jenis kuman.

2.3.4 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik pada klien DM meliputi pemeriksaan fisik umum per sistem

dari observasi keadaan umum, pemeriksaan tanda-tanda vital, B1 (Breathing), B2

(Blood), B3 (Brain), B4 (Bladder), B5 (Bowel), B6 (Bone).

1. Keadaan Umum dan Tanda-Tanda Vital

Keadaan penderita, keluhan nyeri, kesadaran, suara bicara, tinggi badan, berat

badan (apakah mengalami penurunan) dan tanda – tanda vital. Lemah, letih, sulit

bergerak atau berjalan, Kram otot, tonus otot menuru. Gangguan tidur dan istirahat.

Kaji bentuk kepala, keadaan rambut, adakah pembesaran pada leher, telinga

kadang-kadang berdenging, adakah gangguan pendengaran, lidah sering terasa tebal,

ludah menjadi lebih kental, gigi mudah goyah, gusi mudah bengkak dan berdarah,

apakah penglihatan kabur / ganda, diplopia, lensa mata keruh.

2. B1 (Breathing)

Takipnoe pada keadaan istirahat atau dengan aktifitas, sesak nafas, batuk

dengan tanpa sputum purulent dan tergantung ada atau tidaknya infeksi, panastesia

atau paralise otot pernafasan (jika kadar kalium menurun tajam), RR > 24 x/menit.

Adakah sesak nafas, batuk, sputum, nyeri dada. Pada penderita DM mudah terjadi

infeksi.

20
3. B2 (Blood)

Perfusi jaringan menurun, nadi perifer lemah atau berkurang, takikardi /

bradikardi, hipertensi atau hipotensi, aritmia, kardiomegalis. Takikardia atau nadi

menurun atau tidak ada, perubahan TD postural, hipertensi dysritmia.

4. B3 (Brain)

Sakit kepala, menyatakan seperti mau muntah, kesemutan, lemah otot,

disorientasi, letargi, koma dan bingung, stupor / koma, gangguan memori, kekacauan

mental, reflek tendon menurun, aktifitas kejang. Terjadi penurunan sensoris,

parasthesia, anastesia, letargi, mengantuk, reflek lambat, kacau mental, disorientasi.

5. B4 (Blandder)

Terdapat polifagi, polidipsi, mual, muntah, diare, konstipasi, dehidrasi,

perubahan berat badan, peningkatan lingkar abdomen, obesitas. Kekakuan atau

distensi abdomen, aseitas, wajah meringis pada palpitasi, bising usus lemah /

menurun. Urine encer, pucat, kuning, poliuria (dapat berkembang menjadi oliguria /

anuria jika terjadi hipovolemia berat), urine berkabut, bau busuk (infeksi), abdomen

keras, bising usus lemah dan menurun.

6. B5 (Bowel)

Hilang napsu makan, mual atau muntah, tidak mengikuti diet, peningkatan

masukan glukosa / karbohidrat, penurunan berat badan lebih dari periode beberapa

hari/minggu, haus.

7. B6 (Bone)

Penyebaran lemak, penyebaran masa otot, perubahn tinggi badan, cepat lelah,

lemah dan nyeri, adanya gangren di ekstrimitas. Tonus otot menurun, penurunan

kekuatan otot, ulkus pada kaki, reflek tendon menurun kesemuatan/rasa berat pada

tungkai.

21
Turgor kulit menurun, adanya luka atau warna kehitaman bekas luka,

kelembaban dan shu kulit di daerah sekitar ulkus dan gangren, kemerahan pada kulit

sekitar luka, tekstur rambut dan kuku.

2.3.5 Diagnosa Keperawatan

1. Risiko hipovolemia berhubungan dengan kehilangan cairan secara aktif

2. Defisit Nutrisi berhubungan dengan peningkatan metabolisme di tandai dengan

cepat kenyang setelah makan, nafsu makan menurun

3. Resiko infeksi berhubungan dengan penyakit kronis ( diabetes militus)

4. Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan hiperglikemia di tandai

dengan nyeri ekstermitas, penyembuhan luka lambat

5. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan neuropati perifer di tandai

dengan kerusakan jaingan dan/atau lapisan kulit, nyeri, perdarahan, kemerahan,

hematoma

6. Keletihan berhubungan dengan gangguan tidur di tandai dengan merasa kurang

tenaga, mengeluh lelah

22
2.3.6 Intervensi

Risiko hipovolemia berhubungan dengan kehilangan cairan secara aktif

Pecencanaan
Tujuan Intervensi Rasional
Kondisi tubuh stabil, 1. periksa tanda dan 1. Hypovolemia dapat
tanda-tanda vital, turgor gejala hipovolemia dimanisfestasikan oleh
kulit, normal dalam waktu 2. monitor intake dan hipotensi dan takikardia.
3x24 Jam dengan kriteria out put cairan Perkiraan berat ringannya
hasil : 3. hiting kebutuhan hypovolemia dapat dibuat
Pasien menunjukan adanya cairan ketika tekanan darah
perbaikan keseimbangan 4. berikan posisi sistolik pasien turun lebih
cairan, dengan kriteria ; modified dari 10 mm Hg dari posisi
pengeluaran urine yang trendelenburg berbaring ke posisi duduk
adekuat (batas normal), 5. berikan asupan / berdiri.
tanda-tanda vital stabil, cairan oral
tekanan nadi perifer jelas, 6. anjurkan 2. Merupakan indicator
turgor kulit baik, pengisian memperbanyak dari tingkat dehidrasi, atau
kapiler baik dan membran asupan cairan oral volume sirkulasi yang
mukosa lembab atau adekuat
basah.
3. Memberikan perkiraan
kebutuhan akan cairan
pengganti, fungsi ginjal
dan keefektifan dari terapi
yang diberikan

4. Tipe dan jumlah cairan


tergantung pada derajat
kekurangan cairan dan
respon pasien secara
individual. Plasma
ekspander (pengganti)
kadang dibutuhkan jika
kekurangan tersebut
mengancam kehidupan
atau tekanan darah sudah
tidak dapat kembali
normal dengan usaha-
usaha rehidrasi yang telah
dilakukan.

Defisit Nutrisi berhubungan dengan peningkatan metabolisme di tandai dengan cepat


kenyang setelah makan, nafsu makan menurun
Perencanaan
Tujuan Intervensi Rasional
Berat badan dapat 1. identifikasi status nutrisi 2. Mengkaji pemasukan

23
meningkat dengan nilai 2. monitor asupan makanan makanan yang adekuat
laboratorium normal dan 3. monitor berat badan (termasuk absorbsi dan
tidak ada tanda-tanda 4. sajikan makanan secara utilisasinya).
malnutrisi dalam waktu menarik dan suhu yang Intervensi
3x24 jam dengan kriteria sesuai
hasil : 5. berikan makanan tinggi 2. Mengidentifikasi
1. Pasien mampu serat kekurangan dan
mengungkapkan pengimpangan dari
pemahaman tentang kebutuhan terapeutik.
penyalahgunaan zat,
penurunan jumlah intake
(diet pada status nutrisi). 3. Hiperglikemia dan
2. Mendemonstrasikan gangguan keseimbangan
perilaku, perubahan gaya cairan dan elektrolit dapat
hidup untuk meningkatkan menurunkan motilitas atau
dan mempertahankan berat fungsi lambung (distensi
badan yang tepat. atau ileus paralitik) yang
akan mempengaruhi
pilihan intevensi

4. Analisa di tempat tidur


terhadap gula darah lebih
akurat (menunjukkan
keadaan saat dilakukan
pemeriksaan) dari pada
memantau gula dalam
urine (reduksi urine) yang
tidak cukup akurat untuk
mendeteksi fluktuasi
kadar gula darah dan
dapat dipengaruhi oleh
ambang ginjal pasien
secara individual atau
adaya retensi urine atau
gagal ginjal.

5. Gula darah akan


menurun perlahan dengan
penggantian cairan dan
terapi insulin terkontrol.
Dengan pemberian insulin
dosis optimal, glukosa
kemudian dapat masuk
kedalam sel dan
digunakan untuk sumber
kalori. Ketika hal ini
terjadi, kadar aseton akan
menurun dan asidosis daat
dikoreksi.

24
Resiko infeksi berhubungan dengan penyakit kronis ( diabetes militus)
Perencanaan
Tujuan Intervensi Rasional
Infeksi dapat dikurangi 1. monitor tanda dan 1. Pasien mungkin masuk
atau tidak terjadi dalam gejala infeksi local dengan infeksi yang
waktu 2x24 jam dengan dan sistemik biasanya telah
kriteria hasil : 2. perawatan luka mencetuskan keadaan
Mengindentifikasi faktor- 3. jelaskan tanda dan ketoasidosis atau dapat
faktor risiko individu dan gejala infeksi mengalami infeksi
intervensi untuk 4. ajarkan cara nosokomial.
mengurangi potensial mencuci tangan
infeksi. dengan benar 2. Kadar glukosa yang
5. anjurkan tinggi dalam darah akan
meningkatkan menjadi media terbaik
asupan nutrisi bagi pertumbuhan kuman.
6. anjurkan
meningkatkan
asupan cairan

3. Penanganan awal dapat


membantu mencegah
timbulnya sepsis.
Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan hiperglikemia di tandai dengan nyeri
ekstermitas, penyembuhan luka lambat
Pecencanaan
Tujuan Intervensi Rasional
Kondisi tubuh stabil, 1. identifikasi factor 1. Hypovolemia dapat
tanda-tanda vital, turgor resiko gangguan dimanisfestasikan oleh
kulit, normal dalam waktu sirkulasi hipotensi dan takikardia.
3x24 Jam dengan kriteria 2. monitor panas, Perkiraan berat ringannya
hasil : kemerahan, nyeri hypovolemia dapat dibuat
Pasien menunjukan adanya atau bengkak pada ketika tekanan darah
perbaikan keseimbangan ekstermitas sistolik pasien turun lebih
cairan, dengan kriteria ; 3. lakukan dari 10 mm Hg dari posisi
pengeluaran urine yang pencegahan infeksi berbaring ke posisi duduk
adekuat (batas normal), 4. lakukan perawatan / berdiri.
tanda-tanda vital stabil, kaki dan kuku
tekanan nadi perifer jelas, 5. anjurkan 2. Merupakan indicator
turgor kulit baik, pengisian melakukan dari tingkat dehidrasi, atau
kapiler baik dan membran perawatan kulit volume sirkulasi yang
mukosa lembab atau yang tepat adekuat
basah. 6. informasikan tanda
dan gejala darurat 3. Memberikan perkiraan
yang harus di kebutuhan akan cairan

25
laporkan pengganti, fungsi ginjal
dan keefektifan dari terapi
yang diberikan

4. Tipe dan jumlah cairan


tergantung pada derajat
kekurangan cairan dan
respon pasien secara
individual. Plasma
ekspander (pengganti)
kadang dibutuhkan jika
kekurangan tersebut
mengancam kehidupan
atau tekanan darah sudah
tidak dapat kembali
normal dengan usaha-
usaha rehidrasi yang telah
dilakukan.

Gangguan integritas kulit berhubungan dengan neuropati perifer di tandai dengan


kerusakan jaingan dan/atau lapisan kulit, nyeri, perdarahan, kemerahan, hematoma
Perencanaan
Tujuan Intervensi Rasional
Berat badan dapat 1. identifikasi gangguan 2. Mengkaji pemasukan
meningkat dengan nilai penyebab gangguan makanan yang adekuat
laboratorium normal dan integritas kulit (termasuk absorbsi dan
tidak ada tanda-tanda 2. lakukan perawatan luka utilisasinya).
malnutrisi dalam waktu 3. gunakan produk Intervensi
3x24 jam dengan kriteria berbahan petroleum atau
hasil : minyak pada kulit kering 2. Mengidentifikasi
1. Pasien mampu 4. anjurkan menggunakan kekurangan dan
mengungkapkan pelembab pengimpangan dari
pemahaman tentang 5. anjurkan minum air kebutuhan terapeutik.
penyalahgunaan zat, yang cukup
penurunan jumlah intake
(diet pada status nutrisi). 3. Hiperglikemia dan
2. Mendemonstrasikan gangguan keseimbangan
perilaku, perubahan gaya cairan dan elektrolit dapat
hidup untuk meningkatkan menurunkan motilitas atau
dan mempertahankan berat fungsi lambung (distensi
badan yang tepat. atau ileus paralitik) yang
akan mempengaruhi
pilihan intevensi

4. Analisa di tempat tidur


terhadap gula darah lebih
akurat (menunjukkan
keadaan saat dilakukan

26
pemeriksaan) dari pada
memantau gula dalam
urine (reduksi urine) yang
tidak cukup akurat untuk
mendeteksi fluktuasi
kadar gula darah dan
dapat dipengaruhi oleh
ambang ginjal pasien
secara individual atau
adaya retensi urine atau
gagal ginjal.

5. Gula darah akan


menurun perlahan dengan
penggantian cairan dan
terapi insulin terkontrol.
Dengan pemberian insulin
dosis optimal, glukosa
kemudian dapat masuk
kedalam sel dan
digunakan untuk sumber
kalori. Ketika hal ini
terjadi, kadar aseton akan
menurun dan asidosis daat
dikoreksi.
Keletihan berhubungan dengan gangguan tidur di tandai dengan merasa kurang
tenaga, mengeluh lelah
Perencanaan
Tujuan Intervensi Rasional
Infeksi dapat dikurangi 1. monitor pola dan 1. Pasien mungkin masuk
atau tidak terjadi dalam jam tidur dengan infeksi yang
waktu 2x24 jam dengan 2. berikan aktivitas biasanya telah
kriteria hasil : distraksi yang mencetuskan keadaan
Mengindentifikasi faktor- menenangkan ketoasidosis atau dapat
faktor risiko individu dan 3. ajarkan strategi mengalami infeksi
intervensi untuk koping untuk nosokomial.
mengurangi potensial mengatur kelelahan
infeksi. 2. Kadar glukosa yang
tinggi dalam darah akan
menjadi media terbaik
bagi pertumbuhan kuman.

27
3. Penanganan awal dapat
membantu mencegah
timbulnya sepsis.

2.3.7 Evaluasi

Evaluasi yang diharapkan pada pasien dengan diabetes mellitus adalah :

1. Kondisi tubuh stabil, tanda-tanda vital, turgor kulit, normal.


2. Berat badan dapat meningkat dengan nilai laboratorium normal dan tidak ada
tanda-tanda malnutrisi.
3. Infeksi tidak terjadi
4. Rasa lelah berkurang atau penurunan rasa lelah
5. Pasien mengutarakan pemahaman tentang kondisi, efek prosedur dan proses
pengobatan.

28
BAB 3

KASUS

29
BAB 4

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Diabetes melitus (DM) merupakan suatu penyakit dimana terjadi gangguan


metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Hal ini diakibatkan oleh kurangnya
sensitivitas otot ataupun jaringan terhadap insulin, yang disebut dengan resistensi
insulin ataupun oleh kurangnya hormon insulin atau disebut dengan defisiensi insulin.

Terdapat dua jenis penyakit diabetes mellitus, yaitu Diabetes mellitus tipe I
(insulin-dependent diabetes mellitus) dan diabetes mellitus tipe II (noninsulin-
dependent diabetes mellitus). Etiologi DM Faktor genetik (resistensi insulin), usia
(resistensi cenedrung meningkat di usia 65 tahun), obesitas, makan berlebihan,
kurang olah raga, stres dan penuaan, riwayat keluarga dengan diabetes. Gejala paling
khas pada diabetes mellitus adalah polyuria, polidipsi, polifagi, lemas, berat badan
turun, hiperglikemi, dan glukosuria.

4.2 Saran

Sebagai tenaga kesehatan kita harus memberikan upaya promotive dan


prefentive untuk meminimalkan banyaknya penderita DM. Pilihan makanan, faktor
genetic atau keturunan, gaya hidup, kebiasaan, latas belakang etnis, dan budaya
sangat mempengaruhi kondisi kesehatan terkait DM. Harus bisa mengontrol kadar
gula darah diperlukan konsistensi dalam mempertahankan jumlah kalori dan
karbohidrat yang dikonsumsi pada setiap sesi makan.

30
DAFTAR PUSTAKA

Cahya,A. 2013. Asuhan keperawatan DM. Diakses Tanggal 9 Februari 2020. Pk


12:20 dari https://ainicahayamata.wordpress.com/nursing-only/keperawatan-
medikal-bedah-kmb/askep-diabetes-melitus/
Doenges,M ,Moorhouse,M ,Geissler, A. 1993. Rencana Asuhan Keperawatan :
Pedoman Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Ed.3.
Alih Bahasa : Kariasa,M ,Sumarwati,M. 2012. Jakarta : ECG
Kowalak,J ,Welsh,W ,Mayer,B. 2003. Buku Ajar Patofisiologi. Alih Bahasa :
Hartono,A. 2014. Jakarta : ECG
Mansjoer,A ,Triyani,K ,Savitri, R,Dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta :
Media Aesculapius
Tambayong,J. 2000. Patofisiologi Untuk Keperawatan. Jakarta : EGC

31

Anda mungkin juga menyukai