DIABETES MELLITUS
OLEH :
FENNY NOORHAYATI WAHYUNI
NPM. 1914901110025
1.2. Etiologi
Etiologi secara umum tergantung dari tipe Diabetes, yaitu :
1.2.1. Diabetes Tipe I ( Insulin Dependent Diabetes Melitus / IDDM )
Diabetes yang tergantung insulin yang ditandai oleh penghancuran
sel-sel beta pancreas disebabkan oleh :
1.2.1.1. Faktor genetic
Penderita DM tidak mewarisi DM tipe 1 itu sendiri tapi
mewarisi suatu predisposisi / kecenderungan genetic ke arah
terjadinya DM tipe 1. Ini ditemukan pada individu yang
mempunyai tipe antigen HLA ( Human Leucocyte Antigen )
tertentu. HLA merupakan kumpulan gen yang bertanggung
jawab atas antigen transplatasi dan proses imun lainnya.
1.2.1.2. Faktor Imunologi
Respon abnormal dimana antibody terarah pada jaringan
normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan
tersebut yang dianggap seolah-olah sebagai jaringan asing.
1.2.1.3. Faktor lingkungan
Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses autoimun
yang menimbulkan destruksi sel beta.
1.2.2 Diabetes Tipe II (Non Insulin Dependent Diabetes Melitus /
NIDDM)
Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan
gangguan sekresi insulin pada diabetes tipe II belum diketahui.
Faktor genetic diperkirakan memegang peranan dalam proses
terjadinya resistensi insulin . Selain itu terdapat faktor-faktor resiko
tertentu yang berhubungan yaitu :
1.2.2.1 Usia
Resistensi insulin cenderung meningkat pada usia diatas 65
tahun
1.2.2.2 Obesitas
1.2.2.3 Riwayat Keluarga
1.2.2.4 Kelompok etnik
Di Amerika Serikat, golongan hispanik serta penduduk asli
amerika tertentu memiliki kemungkinan yang lebih besar
untuk terjadinya diabetes tipe II disbanding dengan
golongan Afro-Amerika
1.4. Patofisiologi
Diabetes tipe I. Pada diabetes tipe satu terdapat ketidakmampuan untuk
menghasilkan insulin karena sel-sel beta pankreas telah dihancurkan oleh
proses autoimun. Hiperglikemi puasa terjadi akibat produkasi glukosa yang
tidak terukur oleh hati. Di samping itu glukosa yang berasal dari makanan
tidak dapat disimpan dalam hati meskipun tetap berada dalam darah dan
menimbulkan hiperglikemia posprandial (sesudah makan).
Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi maka ginjal tidak dapat
menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar, akibatnya glukosa
tersebut muncul dalam urin (glukosuria). Ketika glukosa yang berlebihan di
ekskresikan ke dalam urin, ekskresi ini akan disertai pengeluaran cairan dan
elektrolit yang berlebihan. Keadaan ini dinamakan diuresis osmotik. Sebagai
akibat dari kehilangan cairan berlebihan, pasien akan mengalami
peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus (polidipsia).
Defisiensi insulin juga akan menggangu metabolisme protein dan lemak
yang menyebabkan penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami
peningkatan selera makan (polifagia), akibat menurunnya simpanan kalori.
Gejala lainnya mencakup kelelahan dan kelemahan. Dalam keadaan normal
insulin mengendalikan glikogenolisis (pemecahan glukosa yang disimpan)
dan glukoneogenesis (pembentukan glukosa baru dari dari asam-asam amino
dan substansi lain), namun pada penderita defisiensi insulin, proses ini akan
terjadi tanpa hambatan dan lebih lanjut akan turut menimbulkan
hiperglikemia.
Diabetes tipe II. Pada diabetes tipe II terdapat dua masalah utama yang
berhubungan dengan insulin yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi
insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada
permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan resptor tersebut,
terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa di dalam sel.
Resistensi insulin pada diabetes tipe II disertai dengan penurunan reaksi
intrasel ini. Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk
menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan.
Diabetes tipe II paling sering terjadi pada penderita diabetes yang berusia
lebih dari 30 tahun dan obesitas. Akibat intoleransi glukosa yang
berlangsung lambat (selama bertahun-tahun) dan progresif, maka awitan
diabetes tipe II dapat berjalan tanpa terdeteksi. Jika gejalanya dialami pasien,
gejala tersebut sering bersifat ringan dan dapat mencakup kelelahan,
iritabilitas, poliuria, polidipsi, luka pada kulit yang lama sembuh-sembuh,
infeksi vagina atau pandangan yang kabur (jika kadra glukosanya sangat
tinggi).
1.6. Komplikasi
1.6.1 Akut
1.6.1.1 Ketoasidosis diabetik
1.6.1.2 Hipoglikemi
1.6.1.3 Koma non ketotik hiperglikemi hiperosmolar
1.6.1.4 Efek Somogyi ( penurunan kadar glukosa darah pada malam
hari diikuti peningkatan rebound pada pagi hari )
1.6.1.5 Fenomena fajar / down phenomenon ( hiperglikemi pada
pagi hari antara jam 5-9 pagi yang tampaknya disebabkan
peningkatan sikardian kadar glukosa pada pagi hari )
1.6.2 Komplikasi jangka panjang
1.6.2.1 Penyakit arteri koroner ( aterosklerosis )
1.6.2.2 Penyakit vaskuler perifer
1.6.2.3 Stroke
1.6.2.4 Retinopati
1.6.2.5 Nefropati
1.6.2.6 Neuropati diabetik
1.7. Penatalaksanaan
Tujuan utama terapi diabetes adalah mencoba menormalkan aktifitas insulin
dan kadar glukosa darah dalam upaya mengurangi terjadi komplikasi
vaskuler serta neuropatik.Tujuan terapetik pada setiap tipe DM adalah
mencapai kadar glukosa darah normal tanpa terjadi hipoglikemia dan
gangguan serius pada pola aktifitas pasien. Ada 5 komponen dalam
penatalaksanaan DM yaitu diet, latihan, pemantauan, terapi dan pendidikan
kesehatan.
1.7.1. Penatalaksanaan diet
Prinsip umum : diet dan pengndalian berat badan merupakan dasar
dari penatalaksanaan DM.
Tujuan penatalaksanaan nutrisi :
1.7.1.1. Memberikan semua unsur makanan esensial missal
vitamin, mineral
1.7.1.2. Mencapai dan mempertahankan berat badan yang sesuai
1.7.1.3. Memenuhi kebutuhan energi
1.7.1.4. Mencegah fluktuasi kadar glukosa darah setiap haridengan
mengupayakan kadar glukosa darah mendekati normal
melalui cara-cara yang aman dan praktis.
1.7.1.5. Menurunkan kadar lemak darah jika kadar ini meningkat
1.7.2. Latihan fisik
Latihan penting dalam penatalaksanaan DM karena dapat
menurunkan kadar glikosa darah dan mengurangi factor resiko
kardiovaskuler. Latihan akan menurunkan kadar glukosa darah
dengan meningkatkan pengambilan glukosa oleh otot dan
memperbaiki pemakaian insulin. Sirkulasi darah dan tonus otot juga
diperbaiki dengan olahraga.
1.7.3. PemantauanPemantauan glukosa dan keton secara mandiri untuk
deteksi dan pencegahan hipoglikemi serta hiperglikemia.
1.7.4. Terapi
1.7.4.1. Insulin
Dosis yang diperlukan ditentukan oleh kadar glukosa
darah
1.7.4.2. Obat oral anti diabetik
a. Sulfonaria
1) Asetoheksamid ( 250 mg, 500 mg )
2) Clorpopamid(100 mg, 250 mg )
3) Glipizid ( 5 mg, 10 mg )
4) Glyburid ( 1,25 mg ; 2,5 mg ; 5 mg )
5) Totazamid ( 100 mg ; 250 mg; 500 mg )
6) Tolbutamid (250 mg, 500 mg )
b. Biguanid
Metformin 500 mg
1.7.5. Pendidikan kesehatan
Informasi yang harus diajarkan pada pasien antara lain :
1.7.5.1. Patofisiologi DM sederhana, cara terapi termasuk efek
samping obat, pengenalan dan pencegahan hipoglikemi /
hiperglikemi
1.7.5.2. Tindakan preventif(perawatan kaki, perawatan mata ,
hygiene umum )
1.7.5.3. Meningkatkan kepatuhan progranm diet dan obat
1.8. Pahtway
Resiko infeksi
Poliuri
Sklerosis mikrovaskuler
Perubahan nutrisi
kurang dari kebutuhan Kekurangan volume cairan Neuron
Perubahan persepsi
sensori perabaan
Gangguan fungsi penglihatan
Diagnosa Keperawatan
Intervensi Keperawatan
Kriteria hasil:
a. BB stabil
b. BB mengalami penambahan ke arah normal
Intervensi :
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol 3.
Jakarta: EGC
Herdman, Heather, dkk. (2018). Nanda-I Diagnosis Keperawatan : Definisi dan
Klasifikasi 2018-2020, Edisi 11. Jakarta: EGC.
Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius
Nurarif, Amin Huda. (2013). Asuhan Keperawatan Praktis. Jilid 1. Jogjakarta:
Mediaction.
Nurjannah, Intansari, dkk. (2018). Nursing Interventions Classification (NIC).
Jogyakarta: Mocomedia
Nurjannah, Intansari, dkk. (2018). Nursing Outcomes Classification (NOC).
Jogyakarta: Mocomedia
Paramita. 2011, Anatomi Fisiologi Kurikulum Berbasis kompetensi untuk
keperawatan & kebidanan. Edisi Keempat. Jakarta EGC