Anda di halaman 1dari 18

DAFTAR ISI

BAB I

PENDAHULUAN.............................................................................................1

1.1.

Latar Belakang................................................................................................1

1.2.

Tujuan..............................................................................................................2

1.3.

Manfaat............................................................................................................2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................................3


2.1.

Definisi.............................................................................................................3

2.2.

Faktor Resiko..................................................................................................3

2.2.1.

Umur.........................................................................................................3

2.2.2.

Genetik......................................................................................................3

2.2.3.

Lingkungan...............................................................................................3

2.2.4.

Hormon Endogen dan Penyakit Kronis....................................................4

2.2.5.

Sifat fisik tulang.........................................................................................4

2.3.

Patogenesis.....................................................................................................4

2.3.1.

Fisiologi Tulang.........................................................................................4

2.3.2.

Osteoporosis Primer.................................................................................6

2.3.3.

Osteoporosis Sekunder............................................................................7

2.4.

Diagnosis Osteoporosis..................................................................................7

2.4.1.

Anamnesis................................................................................................7

2.4.2.

Pemeriksaan Fisik....................................................................................7

2.4.3.

Pemeriksaan Penunjang..........................................................................8

2.5.

Terapi.............................................................................................................12

2.5.1.

Edukasi dan Pencegahan.......................................................................12

2.5.2.

Terapi Non Farmakologis........................................................................12

2.5.3.

Terapi Farmakologis...............................................................................13

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN.........................................................................17


3.1.

Kesimpulan....................................................................................................17

3.2.

Saran.............................................................................................................17

BAB I
PENDAHULUAN

BAB II Latar Belakang


Osteoporosis berasal dari kata osteo yang berarti tulang dan por yang berarti
lubang, atau pori. Secara sederhana osteoporosis sering diartikan sebagai tulanng yang
rapuh (berlubang) (Monash, 2010). Osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik yang
ditandai oleh penurunan densitas massa tulang dan perburukan mikroarsitektur tulang
sehingga tulang menjadi rapuh dan mudah patah (Setyohadi, 2014). Osteoporosis
merupakan penyebab utama terjadinya fraktur pada wanita post menopause dan orang tua.
Fraktur dapat terjadi pada semua tulang, namun paling sering terjadi pada tulang panggul,
tulang belakang, dan pergelangan tangan. Beberapa fraktur dapat menyebabkan
keterbatasn permanen, terutama bila terjadi pada panggul (NIH, 2014).
Sejalan dengan meningkatnya usia harapan hidup manusia, berbagai penyakit
degeneratif dan metabolik termasuk osteoporosis muncul sebagai masalah kesehatan
dunia. Kejadian fraktur akibat kerapuhan tulang terjadi setiap 3 detik di seluruh dunia
dengan jumlah hampir 25.000 fraktur setiap harinya atau 9 juta kejadian setiap tahunnya
(IOF, 2012). Di Indonesia, kejadian osteoporosis pada umur kurang dari 70 tahun untuk
perempuan sebanyak 18-36%, sedangkan laki-laki 20-27%, untuk usia diatas 70 tahun
perempuan sebanyak 53,6%, sedangkan laki-laki 38% (RS Bethesda, 2012).
Osteoporosis sering disebut dengan istilah silent disease. Data International
Osteoporosis Foundation (IOF) menyebutkan sekitar 1 dari 3 perempuan dan 1 dari 5 lakilaki usia diatas 50 tahun akan mengalami fraktur karena osteoporosis, namun banyak
kejadian osteoporosis tidak diketahui hingga seseorang mengalami fraktur untuk
pertamakalinya. Hal ini dikarenakan perjalanan penyakit osteoporosis tidak menampakkan
gejala hingga terjadinya fraktur (International Osteoporosis Foundation, 2012). Fraktur yang
terjadi akhirnya akan berakibat pada menurunnya kualitas hidup seseorang. Sebagai
contoh, fraktur tulang belakang sebagai manifestasi tersering osteoporosis akan
menyebabkan nyeri punggung dan deformitas hingga mengakibatkan disabilitas yang
apabila terjadi pada seseorang dengan usia lanjut bahkan dapat meningkatkan resiko
kematian (Kristine and John, 2011).

BAB III

Tujuan
Untuk dapat mengetahui dan memahami definisi, faktor resiko, patogenesis,

diagnosis, dan tatalaksana osteoporosis.

BAB IV

Manfaat
Diharapkan dengan adanya responsi kasus ini dapat bermanfaat bagi penulis dan

pembaca khususnya dokter muda agar dapat menangani kasus oteoporosis sebagai dokter
umum di kemudian hari.

BAB V
TINJAUAN PUSTAKA

BAB VI

Definisi
Osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh adanya

compromised bone strength sehingga tulang menjadi rapuh dan mudah patah (National
Institute of Health,2001).

BAB VII

Faktor Resiko
Osteoporosis merupakan penyakit dengan etiologi multifaktorial. Terdapat beberapa

macam faktor resiko terjadinya osteoporosis.


BAB VIII

Umur
Semakin meningkatnya umur akan semakin meningkatkan angka terjadinya

fraktur osteoporotik. Hal ini ditandai salah satunya dengan meningkatnya angka kejadian
fraktur pergelangan tangan secara bermakna setelah umur 50-an, fraktur vertebra juga
meningkat setelah umur 60-an. Pada perempuan resiko fraktur dua kali lipat dibandingkan
oleh laki-laki sehingga prevalensi fraktur osteoporotik pada perempuan menjadi lebih tinggi
dibanding laki-laki.
BAB IX

Genetik
Perbedaan genetik dan ras juga berhubungan dengan risiko osteoporosis.

Etnis kaukasus/oriental memiliki resiko lebih besar dalam mengalami fraktur osteoporotik
dibandingkan dengan etnis orang hitam/polinesia. Sedangkan untuk jenis kelamin, wanita
memiliki prevalensi mengalami fraktur osteoporotik dibandingkan dengan laki-laki . Selain
itu, seseorang dengan riwayat keluarga yang pernah mengalami fraktur osteoporotik akan
lebih beresiko mengalami hal yang serupa karena berhubungan dengan tingkat kesamaan
genetik dalam satu keluarga.
BAB X Lingkungan
Faktor lingkungan berhubungan dengan terjadinya osteoporosis terutama
yang menyangkut pola makan, adanya defisiensi konsumsi kalsium harian, pola aktivitas
fisik dan pembebanan mekanik dalam kehidupan sehari-hari, serta penggunaan beberapa
obat-obatan tertentu yang memiliki pengaruh terhadap metabolism tulang seperti
3

penggunaan kortikosteroid, antikonvulsan dan heparin. Kebiasaan mengonsumsi alkohol


dan merokok serta riwayat trauma juga diketahui memiliki kontribusi terhadap terjadinya
osteoporosis.
BAB XI

Hormon Endogen dan Penyakit Kronis


Beberapa hormon endogen memiliki peran dalam proses homeostasis tulang

sehingga dapat mencegah adanya penurunan densitas massa tulang yang akan
meningkatkan resiko terjadinya fraktur tulang. Hormon estrogen dan hormon androgen
memiliki peran penting dalam menjaga homeostasis tulang melalui mekanisme homeostasis
kalsium dengan meregulasi absorpsi kalsium di usus dan eksresi kalsium di ginjal serta
mengatur sekresi hormone paratiroid.
Selain itu beberapa penyakit kronis seperti sirosis juga berhubungan dengan
densitas tulang yang rendah. Selain itu adanya gastrektomi, tirotoksikosis, hiperkortisolisme
akan mempengaruhi turunnya metabolisme kalsium yang akan menganggu keseimbangan
homeostasis pada tulang.
BAB XII

Sifat fisik tulang


Beberapa parameter sifat fisik tulang, meliputi densitas massa tulang, ukuran

dan geometri tulang, mikroarsitektur tulang dan komposisi tulang akan berpengaruh pada
mekanisme remodeling tulang sehingga berperan dalam mempertahankan densitas massa
tulang untuk terhindar dari resiko terjadinya fraktur tulang. (Setyohadi, 2014)

BAB XIII

Patogenesis

BAB XIV

Fisiologi Tulang

Jaringan tulang terdiri dari komponen sel dan matriks. sel tulang terdiri dari
osteoblas, osteosit dan osteoclast sebagai remodelling cells. Dan untuk Matriks tulang terdiri
dari serat kolagen dan protein non-kolagen yang disebut osteoid. (Clarke, 2008)
Osteoblas adalah sel tulang yang bertanggung jawab terhadap proses formasi
tulang, yaitu berfungsi dalam sintesis matriks tulang yang disebut osteoid, yaitu komponen
protein dari jaringan tulang. Selain itu osteoblas juga berperan memulai proses resorpsi
tulang dengan cara membersihkan permukaan osteoid yang akan diresorpsi melalui
berbagai proteinase netral. Terdapat berbagai reseptor mediator metabolisme di permukaan

osteoblas, sehingga osteoblas merupakan sel yang sangat penting dalam bone turnover.
(PEROSI, 2010)
Osteosit merupakan sel tulang yang terbenam di dalam matriks tulang. Sel ini
berasal dari osteoblas, terletak di dalam rongga yang disebut lakuna dan memiliki juluran
sitoplasma (prosesus) yang menghubungkan antara satu osteosit dengan osteosit lainnya
(terletak di kanilikuli) disebut dengan bone lining cells di permukaan tulang membentuk
sistem lakunokanilikular (LCS), fungsi osteosit belum sepenuhnya diketahui, namun diduga
berperan pada transmisi signal dan stimuli dari satu sel ke sel lainnya. Baik osteoblas
maupun osteosit berasa dari sel mesenkimal yang terdapat di dalam sumsul tulang,
periosteum, dan endothel pembulur darah. Sekali osteoblas mensintesis osteosit maka
osteoblas akan langsung berubah menhadi osteosit dan terbenam di dalam osteosit yang
disintesisnya. (PEROSI, 2010)
Osteoklas adalah sel tulang yang bertanggung jawab terhadap proses resorpsi
tulang. Pada tulang trabekular, osteoklas akan membentuk cekungan pada permukaan
tulang yang aktif yang disebut dengan lakuna Howship. Sedangkan pada tulang kortikal,
osteoklas akan membentuk kerucut sebagai hasil resoropsinya yang disebut dengan cutting
cone, dan osteoklas berapa di apex kerucut terssebut. Osteoklas merupakan Giant cell
yang berasal dari sel hematopoetik mononuklear. (PEROSI, 2010)

Gambar 2.1

Bone Remodeling (Sumber: Encyclopedia Britannica, Inc, 2010)


bone remodeling. Encyclopdia Britannica. 2010.

Menurunnya massa tulang dan memburuknya arsitektur jaringan tulang ini


berhubungan erat dengan abnormalitas proses remodeling tulang. Pada proses remodeling,
tulang secara kontinyu mengalami bone resorbtion dan bone

formation. Pembentukan

tulang terutama terjadi pada masa pertumbuhan. Pembentukan dan penyerapan tulang
5

berada dalam keseimbangan pada individu berusia sekitar 30 - 40 tahun. Keseimbangan ini
mulai terganggu dan lebih berat ke arah penyerapan tulang ketika wanita mencapai
menopause dan pria mencapai usia 60 tahun. (Shane, 2003)
BAB XV

Osteoporosis Primer

BAB XVI

Osteoporosis tipe I

Setelah menopause, maka resorpsi tulang akan meningkat, terutama pada dekade
awal setelah menopause, sehingga insidens fraktur, terutama fraktur vertebra dan radius
distal meningkat. Penurunan densitas tulang terutama pada tulang trabekular, karena
memiliki permukaan yang luas dan hal ini dapat dicegah dengan terapi sulih estrogen.
Petanda resorpsi tulang dan formasi tulang, keduanya meningkat menunjukkan adanya
peningkatan bone turnover. Estrogen juga berperan menurunkan produksi berbagai sitokin
oleh bone marrow yang berperan meningkatkan kerja osteoklas. Dengan demikian
penurunan kadar estrogen akibat menopause akan meningkatkan produksi berbagai sitokin
tersebut sehingga aktifitas osteoklas meningkat. Selain peningkatan aktifitas osteoklas,
menopause juga menurunkan absorpsi kalsium di usus dan meningkatkan ekskresi kalsium
di ginjal. (Keith R., 2007)
BAB XVII

Osteoporosis Tipe II

Peningkatan resorpsi tulang merupakan risiko fraktur yang independen terhadap


BMD. Peningkatan osteokalsin seringkali didapatkan pada orang tua, tetapi hal ini lebih
menunjukkan peningkatat turnover tulang dan bukan peningkatan formasi tulang. Sampai
saat ini belum diketahui secara pasti pebnyebab penurunan fungsi osteoblas pada orang
tua. Defisiensi kalsium dan vitamin D juga sering didapatkan pada orang tua. Hal ini
disebabkan oleh asupan kalsium dan vitamin D yang kurang, anoreksia, malabsorpsi dan
paparan

sinar

matahari

yang

rendah.

Akibat

defisiensi

kalsium,

akan

timbul

hiperparatiroidisme sekunder yang persisten sehingga akan semakin meningkatkan resorpsi


tulang dan kehilangan massa tulang, terutama pada orang-orang yang tinggal di daerah 4
musim. Faktor lain yang juga ikut berperan terhadap kehilangan massa tulang pada orang
tua adalah faktor genetik dan lingkungan (merokok, alkohol, obat-obatan, imobilisasi lama).
Defisiensi estrogen, ternyata juga merupakan masalah yang penting sebagai salah satu
penyebab osteoporosis pada orang tua, baik pada laki-laki maupun perempuan. (Keith R.,
2007)

BAB XVIII

Osteoporosis Sekunder

Orang dewasa muda dan orang bahkan lebih tua yang menderita osteoporosis sering
merupakan produk dari kondisi lain atau obat yang digunakan. Bahkan ada berbagai macam
penyakit bersama dengan obat-obatan tertentu dan agen beracun yang dapat menyebabkan
atau memberikan kontribusi terhadap perkembangan osteoporosis.8 Individu yang
mengalami osteoporosis dikarenakan beberapa keadaan ini dikatakan mengalami
osteoporosis sekunder. Individu dengan osteoporosis sekunder biasanya mengalami
kehilangan tulang lebih dari individu normal dengan usia, jenis kelamin, dan ras yang sama.
Penyebab sekunder pada umumnya merupakan penyebab dari osteoporosis pada
perempuan premenopause dan laki-laki. Pada kenyataannya, dengan beberapa perkiraan
mayoritas laki-laki dengan osteoporosis menunjukkan osteoporosis sekunder. Selain itu,
hingga sepertiga dari wanita premenopause dengan osteoporosis juga memiliki kondisi lain
yang dapat menyebabkan kerapuhan pada tulang. (Saag K., 2003)

BAB XIX

Diagnosis Osteoporosis

BAB XX

Anamnesis
Anamnesis terhadap penegakkan diagnosa osteoporosis berhubungan dengan

evaluasi keluhan utama penderita osteoporosis, meliputi apakah terdapat fraktur pada
trauma minimal, imobilisasi lama, penurunan tinggi badan pada orang tua, rendahnya
paparan sinar matahari, asupan kalsium, fosfor dan vitamin D yang tidak mencukupi,
minimnya latihan fisik weight bearing dalam meningkatkan kekuatan otot maupun tulang.
Riwayat pengobatan yang diminum jangka panjang seperti steroid, obat-obatan tiroid,
antikonvulsan, heparin, antasida dengan kandungan alumunium, sodium dan bifosfonat
serta obat kontrasepsi hormonal. Riwayat sosial meliputi kebiasaan merokok, minum
alkohol, kebiasaan makan tinggi kolesterol. Riwayat penyakit dahulu seperti penyakit ginjal,
gangguan pencernaan yaitu sindrom malasorbsi, penyakit hati, endokrin dan sirosis bilier
primer, insufisiensi pankreas, keganasan hematologik dan penyakit saraf. Riwayat keluarga
berhubungan dengan kelainan metabolik tulang herediter (Setyohadi, 2014).
BAB XXI

Pemeriksaan Fisik

Beberapa hal yang harus dinilai dalam pemeriksaan fisik penderita osteoporosis
adalah tinggi badan, berat badan, gaya jalan, deformitas tulang, leg-length inequality, spinal
dan jaringan parut. Pemeriksaan fisik pada osteoporosis juga membantu menegakkan
diagnosa dan membedakan dengan kelainan tulang lainnya. Misalnya, pada pemeriksaan
7

mata, jarang didapatkan adanya anemis atau ikterik pada pasien osteoporosis pengecualian
pada kondisi malnutrisi maupun terdapat komorbiditas lain pada pasien. Sklera mata yang
biru biasanya dapat ditemukan pada osteogenesis imperfecta. Pada penderita osteoporosis
dapat ditemukan adanya kifosis dorsal / gibbus dan penurunan tinggi badan.
BAB XXII

Pemeriksaan Penunjang

BAB XXIII

Pemeriksaan Biokimia Tulang

Biokimia tulang sangat penting dalam menganalisa kandungan mineral yang


berperan pada metabolisme tulang. Kadar total kalsium dalam serum, kadar kalsium dan
fosfor serum, fosfat urin, osteokalsin serum, piridinolin urin, hormon paratiroid dan vitamin D
merupakan parameter kandungan mineral yang dapat dievaluasi melalui pemeriksaan
biokimia (Setyohadi, 2014).
Analisa penanda tulang bertujuan untuk mendeteksi laju proses pergantian tulang,
menilai terapi non invasif jangka pendek dan efisiensi waktu. Bone marker serum yang
tersedia meliputi Bone Spesific Alkaline Phosphatase (BSAP), Osteocalcin (OC),
Carboxyterminal Propeptide Tipe 1 Colagen (PICP), Aminoterminal Propeptide Tipe 1
Colagen (PJNP) Sedangkan untuk bone marker urin yang tersedia meliputi hydroxyproline,
free and total pyridinolines, free and total deoxypyridinolines, N-telopeptide collagen crosslink, C-telopeptide of collagen cross-link (Tannenbaum, 2002).
BAB XXIV

Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan

radiologis

diperlukan

untuk

membedakan

osteoporosis

dan

menyingkirkan diagnosa kelainan tulang lain karena pemeriksaan radiologis ini memiliki
gambaran yang khas pada penderita osteoporosis. Gambaran yang dapat diberikan dapat
berupa adanya penipisan kortek dengan daerah trabekuler yang lebih lusen. Tulang vertebra
akan memberikan gambaran frame-picture vertebrae. Pemeriksaan foto x ray pada
penderita osteoporosis biasanya di sasarkan pada foto area vertebrae brakialis dan lumbalis
AP juga lateral untuk mencari adanya fraktur akibat osteoporosis (Setyohadi, 2014).
BAB XXV

Densitometri

Densitometri merupakan salah satu alat diagnostik dalam menegakkan diagnosa


osteoporosis. Alat ini merupakan alat yang akan mengukur densitas massa tulang sehingga
dapat digunakan untuk menilai prognosis, prediksi fraktur, dan diagnosis osteoporosis.
Metode yang dapat digunakan ialah single-photon absorptiometry (SPA) dan single energy
X-ray absorptiometry (SPX) lengan bawah dan tumit, dual-photon absorptiometry (DPA) dan
8

dual-energy x-ray absorptiometry (DXA) lumbal dan proksimal femur serta quantitative
computed tomo-graphy (QCT) (Hologic-Osteoporosis Australia, 2014).

Indikasi Pemeriksaan densitometry DXA (Hologic-Osteoporosis Australia, 2014):


1. Pasien berusia 50 tahun dengan faktor resiko
a. Osteoporosis/osteopenia
b. Menopause dini
c. Hypogonadisme
d. Pengguna kortikosteroid lebih dari 3 bulan
e. Terdapat gangguan malabsorbsi / Coeliac disease
f.

Rheumatoid arthritis

g. Hiperparatiroid primer
h. Hipertiroid
i.

Penyakit ginjal kronis atau penyakit liver

j.

Kanker payudara dengan pengobatan inhibitor aromatase

k. Berat badan rendah


l.

HIV

m. Pengobatan SSRI
n. DM tipe 1 atau 2
o. Multipel Myeloma
p. Transplan organ atau sumsum tulang
2. Suspek fraktur vertebra
3. Pasien dengan fraktur minimal akibat trauma
4. Pasien usia lebih dari 70 tahun
Pada pemeriksaan densitometri, hasil pemeriksaan akan dibandingkan dengan
kepadatan mineral tulang ideal atau puncak pada orang dewasa yang sehat di usia 30 tahun
menghasilkan nilai T-score. Skor 0 menunjukkan kepadatan yang sama dengan orang
dewasa muda yang sehat. Penyimpangan hasil dengan nilai kepadatan pada orang dewasa
muda yang sehat diukur dalam satuan yang disebut standar deviasi (SD). Nilai standar
9

deviasi yang semakin di bawah 0 menunjukkan risiko fraktur yang lebih tinggi (Monash
University, 2010).

3.

Densitas
tulang normal

T-Score lebih dari


atau sama dengan
-1,0

Osteopenia

T-Score antara -1,0


sampai dengan -2,5

Osteoporosis

T-Score kurang dari


atau sama dengan
-2,5

Kepadatan mineral
tulang tidak lebih dari
1,0 SD dibawah rata-rata
orang dewasa muda.
Kepadatan mineral tulang
diantara 1,0 sampai dengan
2,5 SD dibawah rata-rata
orang dewasa muda.
Kepadatan mineral tulang
kurang dari atau sama
dengan 2,5 SD dibawah
rata-rata orang dewasa
muda.

Definisi Nilai T-score (Sumber:Womens Health Program, Monash University,


2010)

4.

Rekomendasi Penatalaksanaan bedasarkan T-score


10

BAB XXVI

Fracture Risk Assessment Tool (FRAX)

WHO Fracture Risk Assesment Tool (FRAX) merupakan alat perhitungan resiko
fraktur setelah 10 tahun bedasarkan studi. Informasi yang diperlukan dalam penghitungan
antaralain:

Negara
Densitas mineral tulang (Opsional)
Usia
Jenis kelamin
Faktor resiko klinis
FRAX tersedia

dalam bentuk Software yang dapat diakses online atau dalam

bentuk tabel prababilitas fraktur setelah 10 tahun (McCloskey, 2009).

Gambar 2.2

Form FRAX Online (Sumber: WHO Collaborating Centre for


Metabolic Bone Diseases, University of Sheffield, 2011)

11

5. Contoh Tabel Probabilitas Fraktur Osteoporosis Mayor Sesuai Faktor Resiko Klinis
dan BMI pada Wanita Usia 50 Tahun di Indonesia (Sumber: WHO Collaborating
Centre for Metabolic Bone Diseases, University of Sheffield, 2011)

BAB XXVII

Terapi

Terapi pada osteoporosis memiliki 4 tujuan utama, yaitu pencegahan fraktur,


stabilisasi atau pencapaian peningkatan massa tulang, pengurangan gejala fraktur dan
deformitas skeletal, dan maksimalisasi fungsi fisik.

Dalam pencapaian keempat tujuan

tersebut terapi pada osteoporosis dibagi dalam sebuah pendekatan piramidal yang dimulai
dari tingkat pertama, yaitu perubahan gaya hidup, tingkat kedua berupa pengobatan
penyebab sekunder osteoporosis, tingkat ketiga meliputi intervensi farmakoterapi untuk
memperbaiki densitas tulang dan mengurangi resiko terjadinya fraktur (Gass & DawsonHudges, 2006)
BAB XXVIII

Edukasi dan Pencegahan

Edukasi dan pencegahan osteoporosis merupakan kunci terpenting dalam


menurunkan angka kejadian osteoporosis di masyarakat karena perubahan mikroarsitektur
tulang berhubungan dengan kehilangan struktur tulang yang bersifat irreversibel.
Pencegahan osteoporosis dapat dilakukan baik melalui perawatan kesehatan skeletal
dimulai sebelum lahir melalui nutrisi maternal maupun melalui perawatan lanjutan hingga
tulang mencapai maksimalisasi puncak massa tulangnya pada usia dewasa muda melaui
berbagai pilihan, seperti penambahan asupan vitamin D, kalsium, adanya kebiasaan
aktivitas yang teratur, penerapan gaya hidup yang sehat dan lain sebagainya (Lewiecki,
2008).

12

Edukasi dalam menurunkan angka kejadian osteoporosis di masyarakat menjadi


teknik yang mudah dilakukan namun bermanfaat cukup besar dalam menekan angka
kejadian dan komplikasi fraktur akibat osteoporosis. Edukasi kepada masyarakat dapat
dilakukan melalui proses maksimalisasi massa tulang hingga seorang manusia mencapai
usia puncak massa tulangnya karena tingkat nutrisi dan perawatan massa tulang usia muda
berhubungan erat dengan usaha meminimalisasi kehilangan tulang disaat tulang tersebut
telah melewati usia massa puncaknya. Sehingga masyarakat perlu mengetahui rentang
waktu pemberian nutrisi tulang dan macam-macam nutrisi yang diperlukan tulang untuk
tumbuh dan berkembang dalam mencapai puncak massa tulangnya (Lewiecki, 2006).
BAB XXIX

Terapi Non Farmakologis

BAB XXX

Aktivitas Fisik

Aktivitas fisik diperlukan dalam membentuk dan menjaga massa tulang sepanjang
hidup. Aktivitas fisik yang dapat dilakukan adalah olahraga. Olahraga memberikan
keuntungan pada proses osteogenik terutama oleh olahraga yang melibatkan gaya beban
tinggi. Mekanisme tersebut disebabkan oleh adanya regangan biomekanis yang dihasilkan
kontraksi otot selama olahraga sebagai contributor dominan terhadap pertambahan massa
tulang berupa peningkatan BMD (Bone Mass Density). Pada wanita pasca menopause awal,
intervensi olahraga berupa jalan kaki moderat selama 30 menit yang dikombinasikan
dengan olahraga beban tubuh dua kali seminggu mampu mencegah kehilangan tulang.
Sedangkan bagi wanita lebih tua, kombinasi olahraga beban tubuh juga efektif
meningkatkan BMD tulangnya (West et al.,2009).
BAB XXXI

Nutrisi dan Suplementasi Kalsium/Vitamin D

Nutrisi yang baik dan diet seimbang dengan kalori yang tepat, tidak berlebih
maupun kurang sangat diperlukan dalam pertumbuhan normal. Asupan kalsium memiliki
peran yang penting dalam menjaga dan mencapai massa tulang yang adekuat. Sedangkan,
Vitamin D diperlukan dalam proses absorbs kalsium di intestinal. Kombinasi suplementasi
vitamin D dan kalsium juga mampu menurunkan resiko terjadinya fraktur. Asupan diet
kalsium yang direkomendasikan adalah 1000 mg/hari pada pria dan wanita usia < 50 tahun.
Bagi wanita usia > 50 tahun rekomendasi dietnya sebesar 1200 mg/hari. Untuk asupan
Vitamin D yang direkomendasikan adalah 400 IU/hari untuk pria dan wanita usia 51-70
tahun dan 600 IU untuk usia > 71 tahun (Gass & Dawson-Hudges, 2006).

13

BAB XXXII

Faktor Gaya Hidup Lain

Gaya hidup dan kebiasaan penderita berhubungan erat dengan osteoporosis dan
faktor resiko terjadinya fraktur. Penderita osteoporosis harus menjauhi alkohol, kafein, dan
merokok serta meningkatkan asupan antioksidan yang terdapat pada makanan seperti
sayur-sayuran dan buah-buahan. Alkohol, kafein dan merokok diketahui mengandung
beragam zat kimia yang dapat menurunkan massa tulang melalui mekanisme yang tidak
sepenuhnya jelas dan kemungkinan besar dapat terjadi oleh mekanisme radikal bebas yang
masuk ke dalam tubuh ketika mengkonsumsi alkohol, kafein dan merokok (Lewiecki, 2008).
BAB XXXIII

Terapi Farmakologis

Terapi farmakologis pada osteoporosis meliputi pemberian senyawa kimia berupa


obat-obatan, hormon, antara lain bisphosphonate, selective estrogen receptor modulators
(SERMs), kalsitonin, teriparatide, dan estrogen (Gass & Dawson-hudges, 2006).
BAB XXXIV

Biphosphonate

Bisphosphonate merupakan analog stabil dari pirofosfonat yang memiliki afinitas


kuat terhadap apatit tulang. Agen ini dapat menghambat resorpsi tulang melalui
pengurangan

rekrutmen

dan

aktivitas

osteoklas

serta

meningkatkan

apoptosis.

Biphosphonate mengandung nitrogen yang menghambat resorpsi yang diperantarai oleh


osteoklas melalui blockade aktivitas enzim pada pathway mevalonate, FPP sintetase, dan
akhirnya prenilasi small GTPases untuk mengatur penataan sitoskeletal. Biphosphonate
juga dapat menurunkan risiko fraktur dengan meningkatkan densitas tulang dan
menurunkan resorpsi tulang. Obat resorptif ini mampu menghambat resorpsi tulang
sebanyak 50-70 % (Gass & Dawson).
Namun terapi bisphosphonate memiliki beberapa efek samping, yakni intoleransi
gastrointestinal, hipokalemia, acute-phase reaction, nyeri otot dan tulang kronis. Intoleransi
gastrointestinal terjadi bila terapi bisphosphonate diberikan secara oral setiap hari, dalam
kondisi asam, dan adanya iritasi esophagus sebelumnya. Hipokalemia dapat terjadi akibat
kurangnya efluks kalsium dari tulang sehingga dapat menurunkan serum kalsium. Sehingga
kompensasinya ialah peningkatan hormon paratiroid serum. Reaksi fase akut lain setelah
pemberian bisphosphonate adalah gejala flu yakni demam tidak terlalu tinggi, myalgia, nyeri
kepala, artalgia, nyeri tulang, dan mual yang dapat berkurang sekitar 3-7 hari (Recker,2009).

14

BAB XXXV

Alendronate

Alendronate sodium diindikasikan untuk pencegahan (5 mg harian dan 35 mg


mingguan ) dan pengobatan (10 mg harian dan 70 mg mingguan) pada wanita osteoporosis.
Alendronate

dapat

digunakan

sebagai

pengobatan

osteoporosis

akibat

induksi

kostikosteroid dan penyakit Paget tulang pada pria dan wanita. Alendronate juga berperan
sebagai pengobatan untuk menurunkan resiko fraktur dengan mekanisme penekanan
remodeling tulang yang akhirnya meningkatkan BMD tulang, penurunan porositas kortikal,
perbaikan parameter geometri tulang dan meningkatkan keseragaman mineralisasi pada
tulang kortikal. Dosis pemberianyang dianjurkan adalah seminggu sekali (Iwamoto et al.,
2008).
BAB XXXVI

Risedonate

Riesedonate sodium (5 mg harian atau 35 mg mingguan) diindikasikan untuk


pengobatan dan pencegahan osteoporosis pada wanita khususnya pasca menopause.
Untuk pengobatan, risedonate diindikasikan untuk meningkatkan BMD dan menurunkan
insidensi fraktur. Untuk pencegahan osteoporosis, risedonate diindikasikan dalam menjaga
massa tulang dan menurunkan risiko fraktur pada wanita beresiko osteoporosis serta juga
diindikasikan untuk osteoporosis terinduksi glukokortikoid dan penyakit Paget (Gass &
Dawson-Hudges, 2006).
BAB XXXVII Ibandronate
Ibandronate sodium (2,5 mg sekali sehari atau 150 mg sekali perbulan)
diindikasikan

untuk

pengobatan

dan

pencegahan

osteoporosis

pada

wanita

pascamenopause. Ibandronate juga berperan dalam pegobatan osteoporosis melalui


mekanisme peningkatan BMD tulang dan pecegahan terjadinya fraktur (Gass & DawsonHudges, 2006).
BAB XXXVIII SERMs
Raloxifene (60 mg sekali sehari) saat ini merupakan obat yang juga ditujukan untuk
pencegahan dan pengobatan osteoporosis. Raloxifen berperan sebagai agonis estrogen
untuk metabolism tulang dan lipid serta sebagai estrogen antagonis pada payudara dan
endometrium. Raloxifene efektif dalam mencegah kehilangan massa tulang pada wanita
pascamenopause. Efek raloxifene nonskeletal termasuk penurunan lipid serum dan
penurunan resiko kanker payudara pada wanita osteoporosis. Namun, raloxifene juga dapat

15

meningkatkan risiko thrombosis vena dalam dan emboli paru yang mirip dengan terapi
hormonal (Gass & Dawson-Hudges,2006).
BAB XXXIX

Terapi Estrogen

Hormon steroid seks diperlukan dalam mekanisme homeostasis kalsium normal


dan kesehatan tulang, seperti estradiol yang berperan dalam pencapaian dan memelihara
puncak massa tulang bagi wanita. Estrogen pada pria juga berefek sebagai antiresorptif,
kontributif dalam pencapaian massa puncak tulang dan pertahanan skeletal pada dewasa.
Namun terapi hormonal memiliki resiko terhadap peningkatan adanya kanker payudara,
stroke, dan penyakit kardiovaskuler yang berhubungan erat dengan penggunaaan estrogen.
Pemberian terapi sulih hormone tidak boleh diberikan pada wanita osteoporosis yang tidak
mengalami menopause karena dapat memberikan efek samping dan gejala yang
menganggu metabolism tubuh (Boonen, 2005).
BAB XL

Teriparatide
Teriparatide adalah formulasi rekombinan 34-N terminal asam amino dari hormon

paratiroid yang meningkatkan massa tulang dan memperbaiki mikrostruktur tulang.


Teriparatide disetujui untuk diberikan secara subkutan injeksi 20 mikrogram sekali sehari ke
dinding abdomen atau paha selama kurang dari 2 tahun. Obat ini dapat memberikan efek
samping berupa mual dan sakit kepala, hiperkalsemia ringan dan sementara dan lain
sebagainya (Gass & Dawson-Hudges, 2006).
BAB XLI

Kalsitonin

Kalsitonin merupakan hormone polipeptida endogen yang menghambat resorpsi


tulang. Untuk penggunaan klinik dapat diberikan secara injeksi atau nasal dengan dosis 200
IU nasal setara dengan 50 IU injeksi. Kalsitonin dapat meningkatkan densitas mineral tulang
sehingga dapat menurunkan resiko fraktur tulang (Boonen, 2005).
BAB XLII

Human monoclonal antibody anti RANKL

Antibody anti RANKL dapat menghambat munculnya penyakit pada tulang dengan
mekanisme menghambat ikatan RANKL dengan RANK sehingga akan mencegah proses
resorptif pada tulang oleh osteoklas. Salah satu obatnya ialah Denosumab (AMG 162) yang
merupakan antibody spesifik terhadap RANKL (Bekker et al., 2004; McClung, et al., 2006).

16

BAB XLIII
KESIMPULAN

1.

Osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh adanya


compromised bone strength sehingga tulang menjadi rapuh dan mudah patah.

2.

Osteoporosis dapat disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya adalah umur,


genetik, hormonal, penyakit kronis, lingkungan dan sifat fisik tulang.

3.

Keseimbangan proses pembentukan dan penyerapan tulang dapat terganggu


terutama pada wanita menopause dan pria usia di atas 60 tahun.

4.

Terapi pada osteoporosis memiliki 4 tujuan utama, yaitu pencegahan fraktur,


stabilisasi atau pencapaian peningkatan massa tulang, pengurangan gejala
fraktur dan deformitas skeletal, dan maksimalisasi fungsi fisik.
17

Anda mungkin juga menyukai