Anda di halaman 1dari 31

Referat

Diagnosis dan Tatalaksana Gizi Buruk pada Anak

Oleh:

Fathina Zuhda 1010313015


Nadya Novenia 1210312022
Hazazi Nur Adil 1210312007
Dewi Tri Qurraota A’yunin 1210313108
Muhammad Ridwan 1740312299
Aida Juniati Syafni 1740312246
Ihsanul Fikri 1740312109
Rani Fajra 1740312057
Mira Mustika 1210312008

Preseptor:

dr. Gustina Lubis. Sp.A (K)

dr. Nice Rachmawati, Sp.A

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK RSUP. DR. M. DJAMIL

PADANG

2018
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamiin, puji dan syukur atas kehadirat Allah S.W.T

dan shalawat beserta salam untuk Nabi Muhammad S.A.W, berkat rahmat dan

karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah referat dengan judul

“Diagnosis dan Tatalaksana Gizi Buruk pada Anak.” Makalah ini diajukan untuk

melengkapi tugas kepaniteraan klinik senior Departemen Ilmu Kesehatan Anak

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada

preceptor dr. Gustina Lubis. Sp.A (K) dan dr. Nice Rachmawati, Sp.A yang telah

membimbing penulis dalam menyelesaikan makalah ini. Akhir kata, penulis

memohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam penulisan makalah ini. Untuk

itu, penulis menerima kritik dan saran dari berbagai pihak untuk menyempurnakan

makalah ini.

Padang, 1 Maret 2018

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman

Sampul Depan i
Kata Pengantar ii
Daftar Isi iii
Daftar Tabel iv
Daftar Singkatan v

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Tujuan Penulisan 3
1.3 Manfaat Penulisan 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Gizi Buruk 4
2.2 Klasifikasi Gizi Buruk 4
2.3 Patofisiologi Gizi Buruk 6
2.4 Kriteria Diagnostik Gizi Buruk 9
2.5 Faktor Risiko pada gizi buruk 10
2.6 Defisiensi Mikronutrien yang Berhubungan dengan Gizi Buruk 12
2.7 Manajemen Gizi Buruk 14
BAB 3 KESIMPULAN 29

DAFTAR KEPUSTAKAAN 30
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Penilaian status gizi berdasarkan indeks BB/U,TB/U, BB/TB


menggunakan standar baku antropometeri WHO-NCHS 8
Tabel 2.2 Interpretasi status gizi berdasarkan tiga indeks antropometri
(BB/U,TB/U, BB/TB)menggunakanstandar baku antropometeri
WHONCHS 9
Tabel 2.3 Interpretasi status gizi berdasarkan indeks antropometri 15
(BB/U,TB/U, BB/TB) menggunakan standar baku antropometeri
CDC
Tabel 2.4 Fase tatalaksana gizi buruk 20
Tabel 2.5 Formula WHO 20
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Patofisiologi gizi buruk 6


DAFTAR SINGKATAN

PSG : Pemantauan Status Gizi


KLB : Kejadian Luar Biasa
PMT : Pemberian Makanan Tambahan
KEK : Kurang Energi Kronis
MPASI : Makanan Pendamping Air Susu Ibu
NIS : Nilai Individual Subjek
NMBR : Nilai Median Baku Rujukan
CDC : Center for Disease Control and Prevention
BMI : Body Mass Index
DOTS : Directly Observed Tuberculosis Short Course
NGT : Nasogastric Tube
ReSoMal : Rehydration Solution for Malnutrition
F-75 : Formula-75
F-100 : Formula-100
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gizi merupakan salah satu faktor penentu utama kualitas sumber daya manusia.
Status gizi anak dinilai menurut 3 indeks, yaitu Berat Badan menurut Umur
(BB/U), Tinggi Badan menurut Umur (TB/U), Berat Badan menurut Tinggi
Badan (BB/TB). Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun
2016, yang dikatakan dengan gizi buruk adalah status gizi yang didasarkan
pada indeks Berat Badan menurut Umur (BB/U) yaitu <-3,0SD yang
merupakan padanan istilah severely underweight.1
Gizi buruk masih menjadi salah satu masalah yang penting di dunia. Pada
tahun 2016, jumlah anak perempuan dan anak laki-laki yang mengalami gizi
buruk masing-masing sebesar 75 juta dan 117 juta per tahunnya.2 Kejadian gizi
buruk di Indonesia juga masih tinggi, persentase gizi buruk adalah 18,8% pada
kelompok balita dan 14,9% pada kelompok baduta. Menurut laporan hasil
pemantauan status gizi (PSG) tahun 2016, insiden gizi buruk tertinggi terjadi di
Provinsi Kalimantan Barat yaitu sebesar 6,6%.1 Mencuatnya kembali
pemberitaan di media massa akhir-akhir ini mengenai meningkatnya kasus
wabah campak dan gizi buruk di Kabupaten Asmat, Papua pada tahun 2018,
menjadi perhatian masyarakat Indonesia, apalagi sudah di tetapkan menjadi
kejadian luar biasa (KLB) oleh pemerintah. Ada sekitar 7.230 warga yang
terindikasi kena campak, sebagian tergolong gizi buruk. Sebanyak 175 anak-
anak yang terjangkit wabah penyakit tersebut dirawat di rumah sakit dan aula
gereja. Selain itu, ada 399 penderita yang di rawat jalan oleh tenaga medis
di Kabupaten Asmat.3,4
Sumatera Barat menempati urutan ke 10 untuk kasus gizi buruk yaitu
sebesar 1,6% untuk usia 0-23 bulan, 2,1% untuk usia 0-59 bulan. Kejadian gizi
buruk di Kota Padang adalah sebesar 11,5%. Persentase tersebut menjadikan
Kota Padang sebagai urutan ke 11 terbanyak kasus gizi buruk yang terjadi di
Provinsi Sumatera Barat.1 Pemantauan pertumbuhan balita tertera pada
KMS/buku KIA. Masyarakat di Sumatera Barat khususnya di Kota Padang
yang mempunyai buku KIA tersebut hanya 83,2% dan sebagai urutan ke 4
yang paling sedikit mempunyai buku KIA. Artinya, pematauan pertumbuhan
yang dilakukan terhadap balita khususnya di Kota Padang masih minimal,
dengan begitu beberapa usaha untuk mengendalikan kasus gizi buruk juga
berkurang.1
Kegiatan 1000 hari pertama kehidupan merupakan salah satu langkah
perbaikan gizi pada ibu hamil, bayi dan anak sampai usia 24 bulan. Kegiatan
ini adalah bagian utama dari percepatan penanggulangan salah satunya
terhadap pencegahan kasus gizi buruk. Ada 8 upaya penanganan masalah gizi
pada periode emas kehidupan. Dimulai dengan pemberian tablet tambah darah
90 tablet saat hamil, pemberian makanan tambahan (PMT) pada ibu hamil yang
mengalami kurang energi kronis (KEK), pelayanan inisiasi menyusui dini,
konseling menyusui dan pemberian makanan pendamping air susu ibu
(MPASI), penyuluhan bagi seluruh balita di Posyandu, pemberian kapsul
vitamin A pada balita usia 6-60 bulan sebanyak 2 kali setahun, pelaksanaan
PMT pemulihan bagi balita gizi kurang di puskemas, dan perawatan bagi balita
gizi buruk termasuk penyediaan mineral di rumah sakit dan puskesmas.
Menurut laporan hasil pemantauan status gizi (PSG) tahun 2016, usaha
penanggulangan tersebut sudah berjalan sekitar 84%, namun insiden kejadian
gizi buruk masih saja tinggi.5
Pada kasus ini terbukti bahwa gizi buruk merupakan masalah yang penting
dalam bidang kesehatan. Pengendalian gizi buruk juga bukan suatu hal yang
mudah. Jika tingkat kemiskinan tidak dapat diatasi, maka angka kejadian gizi
buruk juga akan terus meningkat. Selain itu, masih minimnya pengetahuan
mengenai manajemen dalam pengendalian gizi buruk juga menjadi
penghambat dalam menurunkan angka gizi buruk. Oleh karena itu, penulis
tertarik mengambil bahasan referat mengenai gizi buruk yang berisikan
mengenai definisi sampai tatalaksana dalam mengendalikan gizi buruk
sehingga diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi pembaca terutama
tenaga kesehatan.
1.2 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan referat ini yaitu diharapkan penulis dan pembaca dapat
mengetahui definisi, penyebab, patogenesis, gejala klinis, diagnosis, dan
tatalaksana gizi buruk pada anak.

1.3 Manfaat Penulisan


Penulisan dari referat ini adalah sebagai bahan rujukan tentang diagnosis
dan tatalaksana gizi buruk pada anak.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Gizi Buruk


Pengertian gizi buruk adalah status gizi yang didasarkan pada indeks Berat
Badan menurut Umur (BB/U) yaitu <-3,0SD yang merupakan padanan istilah
severely underweight.1

2.2 Klasifikasi Gizi Buruk


Gizi buruk berdasarkan gejala klinisnya dapat dibagi menjadi 3, yaitu :
a. Marasmus
Marasmus merupakan salah satu bentuk gizi buruk yang paling sering
ditemukan pada balita. Tipe marasmus ditandai dengan gejala tampak sangat
kurus, wajah seperti orang tua, cengeng dan rewel meskipun setelah makan,
kulit keriput yang disebabkan oleh berkurangnya lemak di bawah kulit,
perut cekung, rambut tipis, jarang dan kusam, tulang iga tampak jelas,
pantat kendur dan keriput (baggy pant).6
b. Kwashiorkor
Kwashiorkor adalah salah satu bentuk malnutrisi protein yang berat
disebabkan oleh asupan karbohidrat yang normal atau tinggi namun asupan
protein yang inadekuat.5 Tipe kwashiorkor ditandai dengan gejala tampak
sangat kurus dan atau edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh,
pertumbuhan terganggu, perubahan status mental, gejala gastrointestinal,
rambut tipis kemerahan seperti warna rambut jagung, mudah dicabut tanpa
rasa sakit, rontok, wajah membulat dan sembab, kulit penderita biasanya
kering dengan menunjukkan garis-garis kulit yang lebih mendalam dan
lebar, sering ditemukan hiperpigmentasi dan persikan kulit, pembesaran hati
serta anemia ringan. Gangguan metabolik dan perubahan sel dapat
menyebabkan perlemakan hati dan edema.
c. Marasmiks-Kwashiorkor
Tipe marasmik-kwashiorkor merupakan gabungan beberapa gejala klinik
kwashiorkor dan marasmus dengan Berat Badan menurut umur (BB/U)
<60% baku median WHO-NCHS yang disertai oedema yang tidak
mencolok.6

2.3 Patofisiologi Gizi Buruk


Ketika asupan masuk anak tidak mencukupi, tubuh melakukan mekanisme
adaptasi dengan menghasilkan energi dari cadangan lemak, selanjutnya
jika cadangan lemak tidak mencukupi makan protein dari otot, kulit,
saluran cerna akan dipecah untuk menghasilkan energi. Energi dihasilkan
dengan mengurangi aktivitas fisik dan pertumbuhan, laju metabolisme
basal, dan mengurangi respon imun dan inflamasi yang berakibat pada7 :
a. Produksi glukosa oleh hati akan berkurang sehingga anak akan lebih
rentan untuk mengalami hipoglikemi. Selain itu produksi albumin,
transferin dan protein – protein transport lainnya oleh hati juga akan
berkurang. Hal ini menyebabkan berkurangnya kemampuan hati
untuk menanggulangi diet tinggi protein dan untuk mengeksresikan
toksin
b. Produksi panas berkurang, sehingga anak lebih rentan terkena
hipotermia
c. Kemampuan ginjal untuk mengeksresikan kelebihan cairan dan
natrium berkurang sehingga terjadi akumulasi cairan di sirkulasi dan
meningkatkan resiko kelebihan cairan
d. Jantung menjadi lebih kecil dan lemah, menyebabkan penurunan
output, kelebihan cairan yang menyebabkan gagal jantung
e. Berkurangnya aktivitas pompa natrium-kalium sehingga
menyebabkan kelebihan kadar natrium, retensi cairan dan edema
f. Kalium bocor keluar sel dan diekresikan ke urin menyebabkan
ketidakseimbangan elektrolit, retensi cairan, edema dan anoreksia
g. Hilangnya kadar protein otot, kalium, magnesium, seng, copper
h. Produksi asam dan enzim lambung berkurang. Motilitas berkurang
sehingga kolonisasi kuman meningkatdi lambung dan usus halus,
sehingga menyebabkan kerusakan mukosa dan menyebabkan
dekonjugasi garam empedu sehingga proses pencernaan dan absorbsi
terganggu
i. Replikasi dan perbaikan sel berkurang sehingga meningkatkan resiko
tranlokasi bakteri melalui mukosa lambung
j. Fungsi imun terganggu, terutama fungsi sel yang yang berhubungan
dengan imunitas. Respon terhadap infeksi menghilang bahkab pada
sakit parah, sehingga sulit mendiagnosa infeksi.

Gambar 2.1 Patofisiologi gizi buruk8


2.4 Kriteria Diagnostik
Dalam kriteria diagnostik gizi buruk diperlukan pemeriksaan antropometri.
Antropometri yang sering dipakai adalah berat badan, panjang/tinggi badan,
lingkar kepala, dan lingkar lengan atas. Diagnosis ditegakkan dengan adanya
data antropometrik untuk perbandingan seperti BB/U (berat badan menurut
umur), TB/U (tinggi badan menurut umur), LLA/U (lingkar lengan atas
menurut umur), BB/TB (berat badan menurut tinggi badan), dan LLA/TB
(lingkar lengan atas menurut tinggi badan).9
2.4.1 Antropometri
Pengukuran antropometrik lebih ditujukan untuk menemukan gizi buruk
ringan dan sedang. Pada pemeriksaan antropometrik, dilakukan
pengukuran-pengukuran fisik anak (berat, tinggi, dan lain-lain) dan
dibandingkan dengan angka standar (anak normal). Untuk anak, terdapat
tiga parameter yang biasa digunakan, yaitu berat dibandingkan dengan
umur anak, tinggi dibandingkan dengan umur anak, dan berat
dibandingkan dengan tinggi/panjang anak. Parameter tersebut lalu
dibandingkan dengan tabel standar yang ada.10
Tabel 2.1 Penilaian status gizi berdasarkan indeks BB/U,TB/U, BB/TB
menggunakan standar baku antropometeri WHO-NCHS11
Indeks yang Batas
Nomor Sebutan Status Gizi
Dipakai Pengelompokan
1 BB/U < -3 SD Gizi buruk
- 3 s/d <-2 SD Gizi kurang
- 2 s/d +2 SD Gizi baik
> +2 SD Gizi lebih
2 TB/U < -3 SD Sangat pendek
- 3 s/d <-2 SD Pendek
- 2 s/d +2 SD Normal
> +2 SD Tinggi
3 BB/TB < -3 SD Sangat kurus
- 3 s/d <-2 SD Kurus
- 2 s/d +2 SD Normal
> +2 SD Gemuk

Tabel 2.2 Interpretasi status gizi berdasarkan tiga indeks antropometri


(BB/U,TB/U, BB/TB) menggunakan standar baku antropometeri WHO-NCHS11
Indeks yang Digunakan
Nomor Interpretasi
BB/U TB/U BB/TB
1 Rendah Rendah Normal Normal, dulu kurang gizi
Rendah Tinggi Rendah Sekarang kurang ++
Rendah Normal Rendah Sekarang kurang +
2 Normal Normal Normal Normal
Normal Tinggi Rendah Sekarang kurang
Normal Rendah Tinggi Sekarang lebih, dulu kurang
3 Tinggi Tinggi Normal Tinggi, normal
Tinggi Rendah Tinggi Obese
Tinggi Normal Tinggi Sekarang lebih, belum obesitas
Keterangan: untuk ketiga indeks (BB/U,TB/U, BB/TB)
Rendah bila< -2 SD Standar Baku Antropometri WHO-NCHS
Normal bila -2 s/d +2 SD Standar Baku Antropometri WHO-NCHS
Tinggi bila > + 2 SD Standar Baku Antropometri WHO-NCHS

2.4.2 Z-score
Pengukuran Skor Simpang Baku (Z-score) dapat diperoleh dengan
mengurangi nilai individual subjek (NIS) dengan nilai median baku
rujukan (NMBR) pada umur yang bersangkutan, hasilnya dibagi dengan
nilai simpang baku rujukan (NSBR) atau dengan menggunakan rumus:11

Z-score = (NIS-NMBR) / NSBR

Berdasarkan rujukan WHO-NCHS, status gizi dikategorikan sesuai


dengan tabel 1 diatas serta diinterpretasikan dengan menggunakan
gabungan tiga indeks antropometri seperti pada tabel 2.2
2.4.3 Kurva pertumbuhan CDC
Center for disease control and prevention (CDC) merekomendasikan
penggunaan kurva pertumbuhan WHO untuk semua dari lahir hingga usia
2 tahun, sementara kurva pertumbuhan CDC digunakan untuk usia 2
hingga 20 tahun. Body mass index (BMI) dihitung pada usia 2 sampai 20
tahun12

Tabel 2.3 Interpretasi status gizi berdasarkan indeks antropometri (BB/U,TB/U,


BB/TB) menggunakan standar baku antropometeri CDC12
Indikator antropometri Presentil Keterangan
BMI ≥95th Overweight
BB/TB ≥95th Overweight
BMI 85th - 95th Resiko overweight
BMI ≤5th Underweight
BB/TB ≤5th Underweight
TB/U ≤5th Short Stature

2.5 Faktor Risiko pada Anak Gizi Buruk


2.5.1 Campak
Anak-anak gizi buruk sangat berisiko tinggi menghadapi komplikasi medis
dan kematian karena serangan campak. Penyakit ini bisa memperburuk
defisiensi vitamin A. Morbiditas dan mortalitas campak pada populasi gizi
buruk mudah dicegah dengan memberi vaksinasi pada anak berusia 6
bulan sampai 14 tahun. Suplemen vitamin A juga diperlukan pada anak
yang berusia di bawah 5 tahun karena meminimalkan komplikasi campak
seperti kebutaan, pneumonia dan diare.13
2.5.2 Diare
Menyediakan air bersih dan sanitasi yang baik, serta edukasi masyarakat
tentang keamanan pangan di rumah tangga merupakan langkah penting
untuk mengurangi terjadinya penyakit diare. Tindakan yang paling penting
dalam tatalaksana penyakit diare pada anak balita adalah memastikan ibu
terus menyusui anaknya, selama dan setelah diare. Suplemen zinc
diberikan selama 10-14 hari untuk anak-anak dengan diare akut (20 mg
sehari dan 10 mg untuk bayi di bawah 6 bulan) dapat mengurangi tingkat
keparahan diare dan mencegah kejadian lebih lanjut dalam 2-3 bulan ke
depan.14
2.5.3. Tuberkulosis
Meski bukan penyebab utama kematian pada fase darurat, tuberkulosis
sering muncul sebagai masalah kritis begitu penyakit campak dan diare
cukup memadai untuk dikendalikan. Tuberkulosis, yang seringkali terjadi
bersamaan dengan HIV / AIDS, sering terjadi pada populasi orang dengan
kekurangan gizi.15 Disfungsi sistem kekebalan tubuh dapat meningkatkan
kerentanan terhadap infeksi tuberkulosis. Temuan kasus TB dapat
dikonfirmasi melalui pemeriksaan mikroskopik sputum. Pengobatan yang
tepat untuk pasien TB yaitu sesuai dengan persyaratan pada sistem directly
observed tuberculosis short course (DOTS).16
2.5.4 Xeroftalmia
Penyakit ini sering ditemukan pada malnutrisi yang berat terutama pada
tipe marasmus-kwashiokor. Pada kasus malnutrisi ini, vitamin A serum
sangat rendah sehingga dapat menyebabkan kebutaan. Oleh sebab itu,
setiap anak dengan malnutrisi sebaiknya diberikan vitamin A baik secara
parenteral maupun oral, ditambah dengan diet makanan yang mengandung
vitamin A.17
2.5.5 Noma
Noma merupakan penyakit yang kadang-kadang menyertai malnutrisi tipe
marasmus-kwashiokor. Noma atau stomatitis gangraenosa merupakan
pembusukan mukosa mulut yang bersifat progresif sehingga dapat
menembus pipi. Noma terjadi pada malnutrisi berat karena adanya
penurunan daya tahan tubuh. Penyakit ini mempunyai bau yang khas dan
tercium dari jarak beberapa meter. Noma dapat sembuh tetapi
menimbulkan bekas luka yang tidak dapat hilang seperti lenyapnya hidung
atau tidak dapat menutupnya mata yang disebabkan oleh proses fibrosis.18

2.6 Defisiensi Mikronutrien yang Berhubungan dengan Malnutrisi


Kekurangan mikronutrien dikenal dengan istilah “Hidden Hunger”. Hal ini
akan memberi dampak buruk yang bersifat jangka panjang. Kekurangan
mikronutrien yang paling umum pada malnutrisi adalah kekurangan zat
besi, iodium, dan vitamin A. Meskipun hanya dibutuhkan dalam jumlah
yang sedikit, mikronutrien sangat berguna dalam proses fisiologis seperti
pertumbuhan dan perkembangan (fisik dan mental). Kekurangan
mikronutrien secara umum dapat menyebabkan gangguan universal dalam
pertumbuhan, perkembangan fisik dan intelektual, fungsi kekebalan dan
kapasitas reproduksi dan kemampuan untuk mempertahankan kehamilan
yang sehat atau kemampuan agar bayi tumbuh di dalam rahim. 19
2.6.1 Defisiensi Vitamin A
Menurut data yang tersedia, prevalensi defisiensi vitamin A pada anak-
anak prasekolah menunjukkan bahwa 23,5% anak-anak memiliki kadar
vitamin A dalam plasma kurang dari 0,70 μmol/l. Jumlah ini merupakan
titik potong yang menunjukkan bahwa seseorang memiliki kadar vitamin
A rendah dalam darah. Vitamin A sangat penting untuk penglihatan,
fungsi kekebalan tubuh, kesehatan kulit dan epitel mukosa, reproduksi dan
pertumbuhan. Anak-anak dengan kekurangan vitamin A ditemukan
memiliki peningkatan risiko penyakit dan kematian akibat penyakit
menular. Suplementasi vitamin A telah terbukti secara signifikan
menurunkan prevalensi dan tingkat keparahan sejumlah penyakit pada
anak-anak. 19
2.6.2 Defisiensi Besi
Organisasi kesehatan dunia (WHO) memperkirakan bahwa sekitar 24,8%
dari penduduk di dunia menderita anemia dengan kelompok yang paling
tinggi prevalensinya adalah ibu hamil, usia lanjut dan diikuti oleh bayi dan
anak usia dua tahun, anak usia pra sekolah, anak usia sekolah dan wanita
tidak hamil. WHO juga memperkirakan bahwa anemia defisiensi besi telah
menyebabkan 273.000 kematian, yaitu 45% terjadi di Asia Tenggara, 31%
di Afrika, 9% di Mediterania timur, 7% di Amerika, 4% di area Pasifik
Barat dan 3% di Eropa. Dari jumlah tersebut, 97% kejadian ini ditemukan
pada negara dengan tingkat pendapatan rendah sampai menengah. Akibat
anemia defisiensi besi terjadi penurunan produktivitas kerja yang berakibat
menurunnya pendapatan negara dengan rerata pada 10 negara berkembang
sebesar $16,78 per kapita atau 4% dari pendapatan negara secara kasar. 20
Suplementasi zat besi saat antenatal penting bagi kesehatan ibu dan
anaknya yang belum lahir. Besi sangat penting untuk produksi
hemoglobin dalam darah untuk pengangkutan oksigen ke jaringan dan
metabolisme energi. Besi juga terlibat dalam fungsi kekebalan tubuh.
Kekurangan zat besi dikaitkan dengan fungsi kognitif yang buruk pada
anak-anak yang mempengaruhi kinerja sekolah. Pada kehamilan, defisiensi
besi dikaitkan dengan peningkatan risiko bayi berat lahir rendah dan
prematuritas. 19
2.6.3 Defisiensi Iodium
Iodium merupakan mikronutrien yang diperlukan dalam pertumbuhan.
Kekurangan iodium gestasional akan menyebabkan aborsi, kelainan
kongenital, berat lahir rendah, kretinisme, cacat psikomotor dan
peningkatan angka kematian neonatal. Selain itu, defisiensi iodium juga
dapat menyebabkan terjadinya goiter, gangguan fungsi mental, gangguan
perkembangan mental dan fisik terbelakang serta berkurangnya prestasi
sekolah yang terlihat pada masa kanak-kanak dan remaja. 21
2.7 Tatalaksana
Anak yang terdeteksi memiliki gizi buruk harus dilakukan pemeriksaan klinis
secara keseluruhan terlebih dahulu untuk mengonfirmasi adanya kemungkinan
komplikasi. Selain itu, nafsu makan anak juga perlu diidentifikasi. Jika anak
memiliki nafsu makan serta keadaan umum yang baik, maka anak dapat
dirawat jalan. Sedangkan jika telah terdapat komplikasi, edema berat atau
nafsu makan yang buruk, maka anak akan dirawat inap. Anak harus
dipisahkan dari pasien infeksi dan ditempatkan diruangan yang hangat (25-
30oC).22,23
Tabel 2.4 Fase tatalaksana gizi buruk24
No Stabilisasi Rehabilitasi
Hari 1-2 Hari 3-7 Minggu 2-6
1. Pencegahan atau
tatalaksana hipoglikemia
2. Pencegahan atau
tatalaksana hipotermia
3. Tatalaksana atau
pencegahan dehidrasi
4. Memperbaiki gangguan
keseimbangan elektrolit
5. Mengobati infeksi
6. Koreksi defisiensi non zat besi Dengan zat besi
mikronutrien
7. Mulai memberikan
makanan dengan perlahan
8. Memberikan makanan
untuk tumbuh kejar
9. Memberikan stimulasi
untuk tumbuh kembang
10. Mempersiapkan untuk
tindak lanjut di rumah

Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui bahwa penatalaksanaan gizi


buruk dilakukan melalui dua fase yaitu fase stabilisasi dan fase rehabilitasi.24,25

2.7.1 Fase stabilisasi


Fase stabilisasi berlangsung selama 7 hari dengan tujuan untuk
memperbaiki fungsi seluler, fungsi cairan, ketidakseimbangan elektrolit,
homeostasis serta mencegah infeksi. Pada fase ini dillakukan pencegahan
atau tatalaksana terhadap hipoglikemia, hipotermia dan dehidrasi. Selain
itu, juga dilakukan koreksi terhadap gangguan keseimbangan elektrolit,
mengobati infeksi, koreksi defisiensi mikronutrien, serta memberikan
stimulasi untuk tumbuh kembang.24
a. Hipoglikemia
Hipoglikemia adalah keadaan dimana kadar glukosa darah jauh dibawah
nilai normal yaitu <3mmol/L atau < 54mg%. Klinis yang dijumpai pada
hipoglikemia umumnya adalah letargi. Penatalaksanaan hipoglikemia
adalah sebagai berikut:24,25
1) Apabila anak sadar dan tidak ada letargi, maka diberikan larutan
glukosa 10% atau larutan gula pasir 10% secara oral atau melalui
nasogastric tube (NGT), kemudian diberikan bolus sebanyak 50ml.
24,25

2) Apabila anak tidak sadar dan tampak letargi, maka diberikan larutan
glukosa 10% secara intravena, dibolus sebanyak 5ml/kgBB.
Selanjutnya diberikan larutan glukosa 10% atau larutan gula pasir
10% secara oral atau melalui nasogastric tube (NGT) sebanyak 50ml.
24,25

3) Apabila terdapat renjatan (syok), maka diberikan ringer laktat dan


dektrosa/glukosa 10% dengan perbandingan 1:1 (sama dengan RLG
5%). Larutan tersebut diberikan sebanyak 15ml/kgBB selama 1 jam
pertama atau 5 tetes/menit/kgBB. Selanjutnya diberikan larutan
glukosa 10% melalui intravena sebanyak 5ml/kgBB. 24,25
Pencegahan hipoglikemia dilakukan dengan segera memberikan
makanan pada anak, makanan diberikan setiap 3 jam baik pada siang
maupun malam hari. Kehangatan juga diberikan agar anak tidak
hipotermi. 24,25

b. Hipotermia
Hipotermia adalah keadaan dimana suhu aksila <350C atau suhu rektal
<35,50C. Hipotermia biasanya bersamaan dengan hipoglikemia.
Pencegahan terhadap hipotermia dapat dilakukan dengan beberapa hal
berikut, yaitu: 24,25
1) Menyelimuti anak atau bayi termasuk kepalanya
2) Menghindari hembusan angin berlebihan didalam ruang rawatan
3) Mempertahankan suhu ruangan dalam rentang 25-300C
4) Jika bayi akan diperiksa, tangan di hangatkan terlebih dahulu
5) Pakaian bayi atau anak segera diganti jika sudah basah
6) Suhu tubuh di monitor setiap 30 menit untuk memastikan suhu pasien
tidak terlalu tinggi
7) Tindakan penghangatan dihentikan apabila suhu tubuh sudah
mencapai 370C
c. Dehidrasi
Anak dengan dehidrasi ditandai dengan letargi, gelisah, rewel, tidak ada air
mata, mata cekung, mulut dan lidah kering, haus serta turgor kulit yang
lambat. Keseimbangan cairan pada dehidrasi diberikan dengan pemberian
rehydration solution for malnutrition (ReSoMal) sampai defisit berat
badannya terkoreksi. Cairan dihentikan jika anak sudah mengalami
rehidrasi. Pemberian pertama yaitu sebanyak 10ml/kgBB/2jam pertama,
melalui nasogastric tube (NGT). Evaluasi yang dilakukan setelah
pemberian cairan yaitu:26
1) Apabila terdapat penambahan berat badan tetapi terjadi perburukan
kondisi klinis, menunjukkan diagnosis dehidrasi yang ditegakkan
adalah suatu hal yang salah. Oleh karena itu, pemberian cairan
dihentikan dan pemberian formula 75 (F-75) dimulai.
2) Apabila terdapat penambahan berat badan dan tidak ada perbaikan
maupun perburukan klinis, kemungkinan diagnosis dehidrasinya
salah, maka diberikan salah satu dari F-75 atau sebagai alternatif F-75
dan ReSoMal.
3) Apabila terdapat penambahan berat badan dan terjadi perbaikan klinis
tetapi masih ada tanda-tanda dehidrasi, maka pemberian cairan
dilanjutkan sampai target berat badan terpenuhi. Formula 75 dan
ReSoMal diberikan atau ReSoMal saja yang dilanjutkan.
4) Apabila terdapat penambahan berat badan dan terjadi resolusi pada
dehidrasinya, maka semua terapi cairan dihentikan dan F-75 mulai
diberikan.
5) Apabila berat badan terus mengalami penurunan, maka pemberian
cairan ReSoMal ditingkatkan menjadi 10ml/kgBB/jam, kemudian
evaluasi lagi setelah 1 jam.
6) Apabila tidak terdapat penambahan berat badan, maka laju pemberian
ReSoMal ditingkatkan menjadi 5ml/kgBB/jam, kemudian evaluasi
lagi setelah 1 jam.
d. Koreksi keseimbangan elektrolit
Pada anak dengan gizi buruk dapat terjadi gangguan keseimbangan
elektrolit yang meliputi natrium, kalium maupun magnesium. Seluruh anak
dengan gizi buruk memiliki kadar natrium yang berlebih didalam tubuhnya,
meskipun kadar natrium di plasma bisa saja rendah. Untuk kalium dan
magnesium dapat terjadi defisiensi dan membutuhkan waktu paling kurang
2 minggu untuk melakukan koreksi. Gangguan keseimbangan elektrolit
inilah yang menyebabkan edema pada anak dengan gizi buruk, oleh karena
itu diuretik tidak boleh diberikan pada anak gizi buruk yang mengalami
edema.27
e. Mencegah dan mengobati infeksi
Infeksi yang terjadi pada anak dengan gizi buruk diobati dengan antibiotik
spektrum luas. Pemilihan antibiotiknya tergantung kepada kondisi anak,
yaitu:27
1) Apabila anak sakit parah (apatis, letargi) atau memiliki komplikasi
(hipoglikemia, hipotermia, gangguan kulit, meningitis, infeksi pada
saluran napas serta saluran kemih) dan dicurigai adanya sepsis, maka
diberikan seftriakson. Antibiotik ini diberikan dengan dosis
100mg/kgBB/hari selama 7 hari dan diberikan melaui jalur intra vena
atau intramuskular.
2) Apabila anak memiliki komplikasi tanpa adanya sepsis yang berat dan
bukan merupakan suatu keadaan yang gawat, maka diberikan
ampisilin atau gentamisin. Ampisilin diberikan dengan dosis
50mg/kgBB, 6 kali pemberian dalam sehari dan diberikan selama 7
hari. Setelah 2 hari, ampisilin diberikan melalui oral dengan dosis
30mg/kgBB, diberikan 3 kali sehari selama 7 hari. Gentamisin juga
dapat diberikan dengan dosis 7,5mg/kgBB, diberikan secara intravena
ataupun intamuskular dengan frekuensi satu kali sehari selama 7 hari.
3) Apabila anak tidak memiliki komplikasi, berikan antibiotik oral yaitu
amoksisilin 15mg/kgBB dengan frekuensi 3x/hari selama 5 hari.
f. Pemberian makan secara perlahan
Pemberian makanan harus dimulai sesegera mungkin pada anak dengan
gizi buruk. Makanan yang diberikan adalah F-75. Ketentuan pemberian
makannya adalah:27
1) Makanan diberikan dalam porsi kecil tapi sering, rendah osmolaritas
dan rendah laktosa
2) Makanan diberikan secara oral atau melalui NGT
3) Energi yang diberikan yaitu 100kkal/kg/hari
4) Protein yang diberikan yaitu 0,9-1 gram/kg/hari
5) Volume makanan yang diberikan adalah 30ml/kg/hari jika tidak ada
edema atau terdapat edema ringan, akan tetapi 100ml/kg/hari jika
terdapat edema yang hebat
6) Bayi yang masih menyusui tetap diberikan air susu ibu (ASI)

Selama pemberian makan, dilakukan monitoring terahadap


toleransi makan anak dengan beberapa hal berikut yaitu:27
1) Jumlah makanan yang dapat dihabiskan
2) Muntah
3) Buang air besar
4) Berat badan
Apabila nafsu makan anak sudah baik, biasanya dalam seminggu
dan atau edema sudah hilang atau berkurang, tatalaksana gizi buruk dapat
diubah menjadi fase rehabilitasi dan mengubah F-75 menjadi formula 100
(F-100).6

Tabel 2.5 Formula WHO25


Formula WHO
Bahan Makanan Per 1000 ml F75 F100
Formula WHO
Susu skin bubuk G 25 85
Gula pasir G 100 50
Minyak sayur G 30 60
Larutan elektrolit Ml 20 20
Teoung beras G
Tambahan air s/d Ml 1000 1000
Nilai Gizi
Energi Kkal 750 1000
Protein G 9 29
Laktosa G 13 42
Kalium Mmol 36 59
Natrium Mmol 6 19
Magnesium Mmol 4,3 7,3
Seng Mg 20 23
Tembaga Mg 2,5 2,5
% energi protein - 5 12
% energi lemak - 36 53
Osmolaritas mOsm/L 413 419

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui komposisi dan takaran


masing-masing formula. Formula 75 diberikan pada fase stabilisasi,
sedangkan F-100 diberikan pada fase rehabilitasi.4Anak dengan gizi buruk
memerlukan perawatan karena terdapat berbagai komplikasi yang
membahayakan hidupnya. Tindakan yang dilakukan berdasarkan pada ada
atau tidaknya tanda bahaya dan tanda penting, yang dikelompokkan
menjadi 5, yaitu:28

a. Kondisi I

Kondisi I yaitu apabila ditemukan renjatan (syok), letargis, muntah atau


diare atau dehidrasi. Pada kondisi ini dilakukan rencana I, dengan tindakan
segera, yaitu, memberikan oksigen (O2) 1-2L/menit, memasang infus
ringer laktat dan dextrose atau glukosa 10% dengan perbandingan 1:1
(RLG 5%), memberikan glukosa 10% intravena (IV) bolus dengan dosis
5ml/kgBB bersamaan dengan ReSoMal 5ml/kgBB melalui NGT. 7
Pada 1 jam pertama, dilanjutkan dengan pemberikan cairan RLG 5%
sebanyak 15ml/kgBB selama 1 jam atau 5 tetes/menit/kgBB (infus tetes
makro 20cc/menit) dan mencatat nadi dan frekuensi nafas setiap 10 menit.
28

Apabila pada jam kedua, denyut nadi tetap lemah dan frekuensinya
tetap tinggi serta frekuensi nafas tetap tinggi, maka pemberian cairan
intravena diteruskan dengan dosis diturunkan menjadi 1 tetes
makro/menit/kgBB (4ml/kgBB/jam), namun apabila nadi menguat dan
frekuensi nafas menurun maka infus diteruskan dengan cairan dan tetesan
yang sama selama 1 jam. Jika rehidrasi belum selesai dan anak minta
minum, maka berikan ReSoMal sesuai dengan kemampuan anak.
Frekuensi nadi dan nafas dicatat setiap 10 menit. 28
Sepuluh jam berikutnya, frekuensi nadi dan nafas tetap dicatat
setiap 1 jam. Larutan ReSoMal dan F-75 diberikan berselang-seling setiap
1 jam. Jika sudah terjadi rehidrasi dan tidak ada diare, maka pemberian
ReSoMal dihentikan dan F-75 diteruskan setiap 2 jam. Frekuensi nadi dan
nafas dicatat setiap 1 jam. Harus diperhatikan tanda-tanda over rehidrasi
yang dapat menyebabkan gagal jantung. Apabila anak diare, maka setiap
diare diberikan ReSoMal.28
Jika diare/muntah berkurang dan anak dapat menghabiskan sebagian besar
F-75, maka F-75 diberikan setiap 3 jam dengan sisanya diberikan lewat
NGT. Akan tetapi, jika tidak ada diare/muntah dan anak dapat
menghabiskan F-75, maka pemberian F-75 diganti menjadi setiap 4 jam.28

b. Kondisi II

Kondisi II yaitu apabila ditemukan letargis dan muntah atau diare atau
dehidrasi. Pada kondisi ini dilakukan rencana II, dengan tindakan segera,
yaitu memberikan bolus glukosa 10 % intravena (5ml/kgBB). Pemberian
selanjutnya dengan glukosa atau larutan gula pasir 10% melalui NGT
sebanyak 50ml. 28
Pada dua jam pertama diberikan ReSoMal secara oral/NGT setiap
30 menit sebanyak 5ml/kgBB setiap pemberian. Frekuensi nadi, nafas dan
pemberian ReSoMal dicatat setiap 30 menit. Jika setelah 2 jam pertama
keadaan anak memburuk (renjatan/syok), maka infus segera dipasang,
kembali ke rencana I tanpa memberikan bolus glukosa.28
Jika setelah 2 jam keadaan anak membaik, maka 10 jam berikutnya
pemberian ReSoMal diteruskan berselang-seling dengan F-75 setiap 1
jam. Frekuensi nadi dan napas dicatat setiap 1 jam. Jika diare dan muntah
berkurang, anak mampu menghabiskan sebagian besar F-75, maka F-75
diberikan setiap 3 jam. Apabila tidak ada diare/muntah dan anak dapat
menghabiskan F-75, maka pemberian F-75 diganti menjadi setiap 4 jam.28

c. Kondisi III
Kondisi III yaitu apabila ditemukan muntah dan atau diare atau dehidrasi.
Pada kondisi ini dilakukan rencana III, dengan tindakan segera, yaitu
memberikan 50ml glukosa atau larutan gula pasir 10% (oral/NGT). Pada 2
jam pertama, ReSoMal diberikan secara oral / NGT setiap 30 menit,
sebanyak 5ml/kgBB setiap pemberian. Frekuensi nadi, nafas dicatat setiap
30 menit. Jika keadaan memburuk (renjatan/syok) maka infus segera
dipasang, kembali ke rencana I tanpa memberikan bolus glukosa. Jika
membaik, maka 10 jam berikutnya, pemberian ReSoMal diteruskan
berselang-seling dengan F-75 setiap 1 jam. Frekuensi nadi dan napas tetap
dicatat.28 Apabila diare dan muntah berkurang, anak mampu menghabiskan
F-75, berikan F-75 setiap 3 jam. Apabila tidak ada diare/muntah dan anak
dapat menghabiskan F-75, ubah pemberian F-75 menjadi setiap 4 jam.28
d. Kondisi IV

Kondisi IV yaitu apabila ditemukan letargis. Pada kondisi ini dilakukan


rencana IV, dengan tindakan segera yaitu memberikan bolus glukosa 10%
intravena sebanyak 5ml/kgBB. Kemudian dilanjutkan dengan glukosa atau
larutan gula pasir 10% melalui NGT sebanyak 50ml. Pada 2 jam pertama,
diberikan F-75 setiap 30 menit, satu per empat dari dosis untuk 2 jam
sesuai dengan berat badan (NGT). Apabila anak belum sadar (masih
letargi), maka pemberian F-75 diulangi setiap 30 menit, satu per empat
dari dosis untuk 2 jam sesuai dengan berat badan (NGT). Kemungkinan
penyebab lain dipikirkan jika anak masih belum sadar. Frekuensi nadi,
napas serta kesadaran dicatat setiap 30 menit.28
Apabila anak sudah sadar, maka pada 10 jam berikutnya pemberian
F-75 tetap dilanjutkan setiap 2 jam (oral/NGT). Frekuensi nadi dan napas
dicatat setiap 1 jam. Apabila anak mampu menghabiskan sebagian besar F-
75, pemberian diganti menjadi setiap 3 jam dan apabila anak dapat
menghabiskan F-75, pemberian diganti menjadi setiap 4 jam.28
e. Kondisi V
Kondisi V yaitu apabila tidak ditemukan renjatan (syok), letargis, muntah
dan atau diare atau dehidrasi. Pada kondisi ini dilakukan rencana V,
dengan tindakan segera yaitu memberikan 50ml glukosa atau larutan gula
pasir 10% oral serta mencatat frekuensi nadi, nafas dan kesadaran.28
Pada 2 jam pertama diberikan F-75 setiap 30 menit satu per empat dari
dosis untuk 2 jam sesuai berat badan. Frekuensi nadi, nafas, kesadaran dan
asupan F-75 dicatat setiap 30 menit.28
Sepuluh jam berikutnya diteruskan pemberian F-75 setiap 2
jam.frekuensi nadi, nafas dan asupan F-75 dicatat. Apabila anak dapat
menghabiskan sebagian besar F-75, maka pemberian diganti menjadi
setiap 3 jam. Apabila anak dapat menghabiskan F-75, maka pemberian
diganti menjadi setiap 4 jam.7 Pada rencana I-V, jika anak masih menyusu,
maka ASI tetap diberikan diantara F-75.28
2.7.2 Fase Rehabilitasi
Fase rehabilitasi adalah suatu terapi gizi buruk yang bertujuan untuk
mengembalikan jaringan yang hilang atau catch-up growth. Fase ini
ditandai dengan kembalinya nafsu makan, tidak ada hipoglikemi serta
edema berkurang atau menghilang. Fase ini penting karena akan terjadi
perbaikan sistem metabolik sehingga dapat terjadi peningkatan berat
badan.29,30
Peningkatan berat badan harus dilakukan secara bertahap karena
peningkatan berat badan yang terlalu cepat berpotensi terjadi “refeeding
syndrome”. Oleh karena itu, diperlukan transisi bertahap dari F75 menjadi
F100 atau menjadi RUTF (Ready to use therapeutic food) selama lebih
dari 2-3 hari. Setelah itu, dapat diberikan susu formula tinggi kalori tinggi
protein yaitu F100 (100 kkal dan 3g protein per 100 cc) atau RUTF atau
makanan keluarga yang telah dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan.
Selanjutnya, F100 dinaikkan sebanyak 10 mL sampai makanan bersisa.29,30
Pemberian makanan setelah fase transisi selesai dilakukan sesering
mungkin dengan jumlah tidak terbatas (maksimal 200 mL/kgBB/hari).
F100 diberikan sebanyak 150-220 kkal/kgBB/hari dan 4-6 gram
protein/kgBB/hari dan dilanjutkan dengan pemberian kalium, magnesium
serta mikronutrien lainnya. Zat besi dapat ditambahkan 3mg/kgBB/hari.
Pemberian ASI tetap dilanjutkan apabila bayi dapat menyusu.29,30
RUTF diberikan sedikit tetapi teratur dan anak harus didorong
untuk makan sesering mungkin (awalnya 8 kali makan sehari dan setelah
itu 5-6 kali makan sehari). Jika anak tidak dapat menghabiskan semua
RUTF, dapat ditambahkan F75 hingga anak dapat menghabiskan semua
makanan. Jika anak tidak dapat menghabiskan sebagian RUTF dalam 12
jam, RUTF dapat dihentikan dan kemudian diberi F75. Setelah itu, RUTF
dapat diulangi dalam 1 sampai 2 hari. 29,30
Perkembangan anak setelah fase transisi harus dimonitor dengan
mengukur berat badan setiap pagi sebelum diberi makan. Penambahan
berat badan tersebut dicatat setiap 3 hari (g/kg per hari). Jika penambahan
berat badan kurang dari 5g/kgBB/hari, pemeriksaan ulang harus dilakukan.
Jika 5-10 kgBB/hari, dapat diperiksa apakah intake target sudah tercapai
atau belum atau apakah ada infeksi yang terlewatkan. Jika besar dari
10kgBB/hari maka dapat dikatakan bahwa penambahan berat badannya
baik. 29,30
BAB 3
PENUTUP
Gizi buruk merupakan status gizi yang didasarkan pada indeks Berat
Badan menurut Umur (BB/U) < -3 SD. Secara umum terdapat 3 jenis gizi
buruk yang sering dijumpai yaitu kwashiorkor, marasmus, dan gabungan dari
keduanya marasmiks-kwashiorkor. Pengertian kwashiorkor sendiri adalah
suatu bentuk malnutrisi protein yang berat disebabkan oleh asupan
karbohidrat yang normal atau tinggi dan asupan protein yang inadekuat.
Kwashiorkor dapat dibedakan dengan marasmus yang disebabkan oleh
asupan dengan kurang dalam kuantitas tetapi kualitas yang normal,
sedangkan marasmiks-kwashiorkor adalah gabungan dari kwashiorkor
dengan marasmus yang disertai dengan oedema. Diagnosis gizi buruk dapat
diketahui melalui gejala klinis, antropometri dan pemeriksaan laboratorium.
Gejala klinis gizi buruk berbeda-beda tergantung dari derajat dan lamanya
deplesi protein dan energi, umur penderita, modifikasi disebabkan oleh
karena adanya kekurangan vitamin dan mineral yang menyertainya. Jika
pasien memiliki nafsu makan yang baik serta keadaan umum baik, maka
pasien dapat dirawat jalan. Sedangkan jika telah terdapat komplikasi, edema
berat atau nafsu makan yang buruk, maka pasien akan dirawat inap.Selain itu,
anak harus dipisahkan dari pasien infeksi, ditempatkan diruangan yang hangat
(25-30oC, bebas dari angin), dipantau secara rutin dan memandikan anak
seminimal mungkin dan dikeringkan sesegera mungkin. Terdapat 2 fase
dalam manajemen gizi buruk pada anak, yaitu fase stabilisasi dan rehabilitasi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Hasil pemantauan status gizi


(psg) dan penjelasannya. Jakarta: Direktorat Gizi Masyarakat; 2016.
2. Abay A, Alderman H, Balaban D, Barrere B, Beecher J, Blencowe H.
From promise to impact ending malnutrition by 2030. Washington DC:
Global Nutrition Report; 2016.
3. https://www.antaranews.com/berita/683014/artikel-bersatu-padu-atasi-klb-
campak-gizi-buruk-asmat. Diakses pada 28 februari 2018.
4. http://regional.liputan6.com/read/3235026/7230-anak-asmat-terindikasi-
wabah-campak-dan-gizi-buruk. Diakses pada 28 februari 2018.
5. Anorital, Sundari S, Soetiarto F, Sudirman H, Mulyadi, Sari DI. Kinerja
dua tahun kementrian kesehatan republic Indonesia tahun 2009-
2011:menuju masyarakat sehat yang mandiri dan berkeadilan. Jakarta:
Kementerian Kesehatan; 2011.
6. Dewi NA. Faktor-faktor risiko kejadian gizi buruk pada balita yang dirawat
di RSUP Dr.Kariadi Semarang. Semarang: Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro; 2012.
7. Grover Z, Ee LC. Protein energy malnutrion. Pediatr Clin N Am. 2009;
56(5):301-2
8. Hoffer LJ. Clinical nutrition: 1. protein–energy malnutrition in the
inpatient. CMAJ 2001;165(10):1347
9. Shetty, P. Malnutrition and Undernutrition. Medicine, 2006. 34:524-29.
10.Dewi RK, Budiantara IN. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Angka Gizi
Buruk Di Jawa Timur dengan Pendekatan Regresi Nonparametrik Spline.
Jurnal Sains Dan Seni ITS. 2012.1(1):177- 82.
11. Depkes RI. Analisis Situasi Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta,
2004.
12. World Health Organization. WHO child growth standards: length/height-
for-age, weight-for-age, weight-for-length, weight-for-height and body
mass index-for-age: methods and development. Geneva: World Health
Organization; 2006.
13. WHO. Communicable Disease Control in Emergencies - A Manual.
Geneva, World Health Organization, 2005.
14. WHO. Five Keys to Safer Food Manual. Geneva, World Health
Organization,2006.
15. WHO/UNHCR. Tuberculosis Care and Control in Refugee and Displaced
Populations: an Inter-Agency Field Manual. Stop TB. Geneva, World
Health Organization,2006.
16. NUTRISURVEY SOFTWARE Standardized Monitoring and Assessment
of Relief and Transitions. (SMART) Software and Software for
Emergency Nutrition Assessment (ENA for SMART). 2008
17. Pudjiadi Solihin. Penyakit KEP (Kurang Energi dan Protein) dari Ilmu
Gizi Klinis pada Anak edisi keempat, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta, 2005 : 95-137
18. Rosli AW, Rauf S, Lisal JS, Albar H. Relationship Between Protein
Energy Malnutrition andUrinary Tract Infectiont in Children in Paediatrica
Indonesiana, 48th volume, May, 2008 : 166-69
19. United Nations Children’s Fund [UNICEF]. Malnutrion in Namibia.
UNICEF Annual Report.2010
20. Pasricha S.R, et all. Diagnosis and management of iron deficiency
anaemia:a clin update. MJA.2013: 193 (09): 525-32
21. K Bhan, Maharaj. Micronutrient deficiency in children. British J of
Nutrition. 2014.
22. World Health Organization. Guideline: Updates on the management of
severe acute malnutrition in infants and children. Geneva. 2013.
23. World Health Organization. Gizi Buruk. Dalam: Buku saku pelayanan
kesehatan anak di rumah Sakit. Jakarta. 2009;193-222.
24. Ashworth A. Nutrition food security, and Health. Dalam: Kliegman MR.
Nelson: Textbook of pediatrics, Edition 20. Philadhelphia: Elsevier Inc.
2016;295-305.
25. Kementerian kesehatan republik Indonesia. Direktorat Jenderal Bina Gizi
dan Kesehatan Ibu dan Anak. Direktorat Bina Gizi. Petunjuk teknis
tatalaksana anak gizi buruk. Buku II. Jakarta. 2011.
26. Action Contre La Faim International. Guidelines for the integrated
management of severe acute malnutrition: in-and out-patient treatment.
French. 2011
27. Department Health Province of Kwazulu-Natal. Guidelines on the
integrated management of acute malnutrition (IMAM). Kwazulu Natal.
2014.
28. Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Bina
Kesehatan Masyarakat Direktorat Bina Gizi Masyarakat. Buku bagan
tatalaksana anak gizi buruk. Buku I. Jakarta. 2011.
29. Ashworth A. Nutrition, food security and health. Dalam : Kliegman RM,
Stanton BF, Geme JWS, Schor NF, Behrman RE, editors. Nelson
Textbook of Pediatrics. 20nd Edition. Philadelphia : Elsevier Inc. 2016. p.
295-305.
30. WHO. Pocket book of hospital care for children : Guidelines for the
management of common child illnesses 2nd Edition. 2013.

Anda mungkin juga menyukai