Anda di halaman 1dari 19

1

MAKALAH
KASUS STUNTING PADA GIZI KESEHATAN MASYARAKAT

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Untuk Melamar Sebagai Technical
Assistant Wilayah Aceh Tengah dan Bener Meriah

Disusun Oleh :
Reky Marta Yusfa, S.Kep
2

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyanyang,
karena berkat limpahan rahmat, hidayah dan inayah-Nya kepada kami. Sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Makalah ini merupakan
salah satu persyaratan untuk melamar sebagai Technical Assistant Wilayah Aceh
Tengah dan Bener Meriah tentang “Kasus Stunting Pada Anak”

Terlepas dari semua itu penulis menyadari bahwa makalah ini masi banyak
kekurangan baik dari segi penyusunan kalimat ataupun tatabahsanya. Oleh karena itu,
dengan tangan terbuka penulis menerima saran dan kritikan dari pembaca untuk
penyempurnaan makalah ini.

Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita
semua.

Bener Meriah, 16 Maret 2022


Penyusun
3

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang Masalah 1
1.2. Rumusan Masalah 2
1.3. Tujuan Penulisan 2
1.4. Manfaat Penulisan 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3
2.1. Gizi Pada Anak 3
2.2. Empat Pilar Gizi Seimbang 4
2.3. Status Gizi Pada Anak 6
2.4. Penyakit Mal Nutrisi 11
BAB III PEMBAHASAN 14
3.1. Stunting 14
3.2. Analisis Kasus Stunting 14
3.3. Pencegahan dan Penanggulangan Kasus Stunting di Indonesia 17
BAB IV KESIMPULAN 18
DAFTAR PUSTAKA 19
4

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Stunting adalah keadaan paling umum dari bentuk kekurangan gizi (PE /
mikronutrien), yang mempengaruhi bayi sebelum lahir dan awal setelah lahir, terkait
dengan ukuran ibu, gizi selama ibu hamil, dan pertumbuhan janin. Menurut Sudiman
dalam Ngaisyah, stunting pada anak balita merupakan salah satu indikator status gizi
kronis yang dapat memberikan gambaran gangguan keadaan sosial ekonomi secara
keseluruhan di masa lampau dan pada 2 tahun awal kehidupan anak dapat
memberikan dampak yang sulit diperbaiki. Salah satu faktor sosial ekonomi yang
mempengaruhi stunting yaitu status ekonomi orang tua dan ketahanan pangan
keluarga.

Status ekonomi orang tua dapat dilihat berdasarkan pendapatan orang tua.
Pendapatan keluarga merupakan pendapatan total keluarga yang diperoleh dari
berbagai sumber, yaitu hasil kepala keluarga, hasil istri, hasil pemberian, hasil
pinjaman, dan hasil usaha sampingan per bulan.3 Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Ngaisyah pada tahun 2015 menunjukkan bahwa pada kelompok
stunting lebih banyak pendapatannya adalah dibawah UMR yakni sebanyak 67
responden (35,8%) , sedangkan yang memiliki pendapatan diatas UMR hanya sedikit
yakni sebanyak 45 orang (22%). Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Lestari et
all. tahun 2014 menunjukkan bahwa pendapatan keluarga yang rendah merupakan
faktor resiko kejadian stunting pada balita 6- 24 bulan. Anak dengan pendapatan
keluarga yang rendah memiliki resiko menjadi stunting sebesar 8,5 kali dibandingkan
pada anak dengan pendapatan tinggi.

Rendahnya tingkat pendapatan secara tidak langsung akan menyebabkan


terjadinya stunting hal ini dikarenankan menurunnya daya beli pangan baik secara
kuantitas maupun kualitas atau terjadinya ketidaktahanan pangan dalam keluarga.

Menurut Peraturan Pemerintah No 68 Tahun 2002 dan UU Pangan No 18


Tahun 2012 tentang Ketahanan Pangan, maka ketahanan pangan merupakan kondisi
terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari ketersediaan pangan
yang cukup, baik jumlah, maupun mutunya, aman, merata, dan konsumsi pangan
yang cukup merupakan syarat mutlak terwujudnya ketahanan pangan rumah tangga.
Ketidaktahanan pangan dapat digambarkan dari perubahan konsumsi pangan yang
mengarah pada penurunan kuantitas dan kualitas termasuk perubahan frekuensi
konsumsi makanan pokok. Ketahanan pangan keluarga erat hubungannya dengan
ketersediaan pangan yang merupakan salah satu faktor atau penyebab tidak langsung
yang berpengaruh pada status gizi anak. Gizi buruk menyebabkan terhambatnya
5

pertumbuhan pada balita, sehingga tinggi badan anak tidak sesuai dengan umurnya
atau disebut dengan balita pendek atau stunting.

Berdasarkan hasil RISKESDAS pada tahun 2013 kasus stunting di Indonesia


mencapai (37,2 %), tahun 2010 (35,6%), dan tahun 2007 (36,8 %). Hal tersebut tidak
menunjukkan penurunan yang signifikan.

Selaian itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menempatkan Indonesia


sebagai Negara ketiga dengan angka prevelensi stunting tertinggi di ASIA pada tahun
2017. Angkanya mencapai 36,4%. Namun, pada tahun 2018 menurut daa Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas), angka terun menurun hingga 23,6 persen.

Penurunan dari angka stunting Di Indonesia merupakan kabar baik, namun


belum berarti bias membuat tenang. Karena bila merujuk pada standar WHO, batas
maksimalnya adalah 20% atau per lima dari jumlah total anak dan balita.

1.2. Rumusan Masalah


Dengan mengacu pada latar belakang sebelumnya, maka kami merumuskan
masalah yang akan dibahas pada makalah ini sebagai berikut :
1) Apa yang dimaksud dengan stunting ?
2) Bagaimana analisis kasus stunting yang terjadi di Indonesia?
3) Mengapa kasus stunting di Indonesia ternyata belum menurun sepenuhnya?
1.3. Tujuan Penulisan
1) Untuk mengetahui stunting
2) Untuk mengetahui analisis kasus stunting di Indonesia yang terjadi di
Indonesia
3) Untuk mengetahui kasus stunting di Indonesia ternyata belum menurun
sepenuhnya.
1.4. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Sebagai referensi bagi pembaca untuk mengatahui kasus stunting yang terjadi
di Indonesia khususnya pada tahun 2018 tentang posisi Indonesia yang belum
memenuhi standar WHO
2. Sebagai sumber dan bahan masukan bagi penulis lain untuk mengali informasi
lebih baik lagi tentang kasus stunting.
6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Gizi Kesehatan


Masyarakat
Istilah gizi dalam kesehatan masyarakat mengacu pada gizi sebagai
komponen daricabang kesehatan masyarakat, “gizi dan kesehatan masyarakat”
berkonotasi koeksistensigizi dan kesehatan masyarakat, dan gizi
masyarakat mengacu pada cabang kesehatanmasyarakat yang berfokus pada
promosi kesehatan individu, keluarga, dan masyarakatdengan menyediakan
layanan berkualitas dan program-program berbasis masyarakat
yangdisesuaikan dengan kebutuhan yang unik dari komunitas yang berbeda
dan populasi. Gizimasyarakat meliputi program promosi kesehatan,
inisiatif kebijakan dan legislatif,pencegahan primer dan sekunder, dan
kesehatan di seluruh rentang hidup.
Gizi masyarakat berkaitan dengan gangguan gizi pada kelompok
masyarakat, olehsebab itu, sifat dari gizi masyarakat lebih ditekankan pada
pencegahan (prevensi) danpeningkatan (promotif). Karena berhubungan
dengan masyarakat yang mempunyai aspekcukup luas, maka penanganannya
harus multisektor dan multidisiplin.
Penanganan gizi masyarakat tidak cukup dengan upaya terapi
para penderita sajakarena apabila mereka telah sembuh, maka meraka akan
kembali lagi ke masyarakat. Sehingga terapi penderita gangguan gizi
masyarakat ini tidak saja ditunjukkan kepadapara penderitanya saja, akan
tetapi kepada seluruh masyarakat tersebut.
Masalah gizi masyarakat bukan hanya menyangkut pada aspek
kesehatan, melainkanaspek-aspek terkait lainnya, seperti ekonomi, sosial-
budaya, pendidikan, kependudukan,dan sebagainya. Oleh sebab itu,
penanganan atau perbaikan gizi sebagai upaya terapitidak hanya diarahkan
pada gangguan gizi atau kesehatan saja, melainkan juga ke arahbidang-bidang
yang lain. Misalnya, penyakit gizi KKP (kekurangan kalori dan protein)pada
anak-anak balita, tidak cukup dengan hanya pemberian makanan
tambahan saja (PMT), tetapi juga dilakukan perbaikan ekonomi
keluarga, peningkatan pengetahuan tentang gizi, dan sebagainya.

2.2. Empat Pilar Gizi Seimbang


7

Pedoman Gizi Seimbang yang telah diimplementasikan di Indonesia sejak


tahun 1955merupakan realisasi dari rekomendasi Konferensi Pangan Sedunia
di Roma tahun 1992.Pedoman tersebut menggantikan slogan “4 Sehat 5
Sempurna” yang telah diperkenalkansejak tahun 1952 dan sudah tidak
sesuailagi dengan perkembangan ilmu pengetahuan danteknologi (IPTEK)
dalam bidang gizi serta masalah dan tantangan yang dihadapi. Dengan
mengimplementasikan pedoman tersebut diyakini bahwa masalah gizi beban
ganda dapatteratasi. Prinsip Gizi Seimbang terdiri dari 4 (empat) Pilar yang
pada dasarnya merupakanrangkaian upaya untuk menyeimbangkan antara zat
gizi yang keluar dan zat gizi yangmasuk dengan memonitor berat badan
secara teratur. Empat Pilar tersebut adalah:
1. Mengonsumsi makanan beragam.
Tidak ada satupun jenis makanan yang mengandung semua jenis zat
gizi yang dibutuhkan tubuh untuk menjamin pertumbuhan dan
mempertahankan kesehatannya, kecuali Air Susu Ibu (ASI) untuk bayi
baru lahir sampai berusia 6 bulan. Contoh: nasi merupakan sumber
utama kalori, tetapi miskin vitamin dan mineral; sayuran danbuah-
buahan pada umumnya kaya akan vitamin, mineral dan serat, tetapi
miskinkalori dan protein; ikan merupakan sumber utama protein tetapi
sedikit kalori. Khususuntuk bayiberusia 0-6 bulan, ASI merupakan
makanan tunggal yang sempurna. Halini disebabkan karena ASI
dapat mencukupi kebutuhan untuk tumbuh danberkembang dengan
optimal, serta sesuai dengan kondisi fisiologis pencernaan danfungsi
lainnya dalam tubuh

2. Membiasakan perilaku hidup bersih


Perilaku hidup bersih sangat terkait dengan prinsip Gizi
Seimbang, dengan penjelasan sebagai berikut:
8

Penyakit infeksi merupakan salah satu faktor penting yang


mempengaruhi status gizi seseorang secara langsung, terutama
anak-anak. Seseorang yang menderitapenyakit infeksi akan mengalami
penurunan nafsu makan sehingga jumlah dan jeniszat gizi yang masuk
ke tubuh berkurang. Sebaliknya pada keadaan infeksi, tubuh
membutuhkan zat gizi yang lebih banyak untuk memenuhi peningkatan
metabolism pada orang yang menderita infeksi terutama apabila disertai
panas. Pada orang yang menderita penyakit diare, berarti mengalami
kehilangan zat gizi dan cairan secara langsung akan memperburuk
kondisinya. Demikian pula sebaliknya, seseorang yang menderita kurang
gizi akan mempunyai risiko terkena penyakit infeksi karena pada keadaan
kurang gizi daya tahan tubuh seseorang menurun, sehingga kuman
penyakit lebih mudah masuk dan berkembang. Kedua hal tersebut
menunjukkan bahwa hubungan kurang gizi dan penyakit infeksi adalah
hubungan timbal balik. Dengan membiasakan perilaku hidup bersih akan
menghindarkan seseorang dariketerpaparan terhadap sumber infeksi.
Contoh:
1) Selalu mencuci tangan dengan sabun dan air bersih mengalir sebelum
makan, sebelum memberikan ASI, sebelum menyiapkan
makanan dan minuman, dan setelah buang air besar dan kecil, akan
menghindarkan terkontaminasinya tangan dan makanan dari kuman
penyakit antara lain kuman penyakit typus dan disentri;
2) Menutup makanan yang disajikan akan menghindarkan makanan
dihinggapi lalat dan binatang lainnya serta debu yang membawa
berbagai kuman penyakit;
3) Selalu menutup mulut dan hidung bila bersin, agar tidak menyebarkan
kuman penyakit; dan
4) Selalu menggunakan alas kaki agar terhindar dari penyakit
kecacingan.
3. Melakukan aktivitas fisik.
Aktivitas fisik yang meliputi segala macam kegiatan tubuh
termasuk olah raga merupakan salah satu upaya untuk
menyeimbangkan antara pengeluaran dan pemasukan zat gizi
utamanya sumber energi dalam tubuh. Aktivitas fisik memerlukan energi.
Selain itu, aktivitas fisik juga memperlancar sistem metabolisme di
dalam tubuh termasuk metabolisme zat gizi. Oleh karenanya, aktivitas
fisik berperan dalam menyeimbangkan zat gizi yang keluar dari dan yang
masuk ke dalam tubuh.
4. Mempertahankan dan memantau Berat Badan (BB) normal
9

Bagi orang dewasa salah satu indikator yang menunjukkan bahwa


telah terjadi keseimbangan zat gizi di dalam tubuh adalah tercapainya
Berat Badan yang normal,yaitu Berat Badan yang sesuai untuk Tinggi
Badannya. Indikator tersebut dikenal dengan Indeks Masa Tubuh
(IMT). Oleh karena itu, pemantauan BB normal merupakan hal
yang harus menjadi bagian dari ‘Pola Hidup’ dengan ‘Gizi
Seimbang’,sehingga dapat mencegah penyimpangan BB dari BB
normal, dan apabila terjadi penyimpangan maka dapat segera
dilakukan langkah-langkah pencegahan dan penanganannya. Bagi bayi
dan balita indikator yang digunakan adalah perkembangan berat badan
sesuai dengan pertambahan umur. Pemantauannya dilakukan
dengan menggunakan KMS.

2.3. Status Gizi


Menurut Djoko Pekik Irianto (2007: 65), status gizi adalah ekspresi
dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu atau dapat
dikatakan bahwa status gizi merupakan indikator baik buruknya penyediaan
makanan sehari-hari.
I Dewa Nyoman Supariasa (2002: 18), menyatakan bahwa status gizi adalah
ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu,
atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu.
Menurut Moch Agus Krisno Budiyanto yang dikutip Krisna Fitriyanto (2011:
13), faktor-faktor 12 yang mempengaruhi status gizi seseorang adalah sebagai
berikut:
1) Produk pangan, (jumlah dan jenis makanan),
2) Pembagian makanan atau pangan
3) Akseptabilitas;
4) Prasangka buruk pada bahan makanan tertentu;
5) Pantangan pada makanan tertentu;
6) Kesukaan terhadap jenis makanan tertentu;
7) Keterbatasan ekonomi;
8) Selera makan;
9) Sanitasi makanan (penyiapan, penyajian, dan penyimpanan) dan
10) Pengetahuan gizi
10

Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi akan saling berinteraksi


satu sama lain sehingga berimplikasi kepada status gizi seimbang. Hal ini
sangat penting terutama bagi pertumbuhan, perkembangan, kesehatan, dan
kesejahteraan manusia.

Menurut Djoko Pekik Irianto (2007: 23), secara umum status gizi
dibagi menjadi tiga kelompok yaitu sebagai berikut:

1. Kecukupan Gizi (Gizi Seimbang)


Dalam hal ini asupan gizi seseorang seimbang dengan kebutuhan
gizi yang bersangkutan. Kebutuhan gizi seseorang ditentukan oleh
kebutuhan gizi basal, kegiatan pada keadaan fisiologis tertentu serta dalam
keadaan sakit.
2. Gizi Kurang
Gizi kurang merupakan keadaan tidak sehat (patologis yang
timbul karena tidakcukup makan, dengan demikian konsumsi energi
dan protein kurang selama jangka waktu tertentu.
3. Gizi Lebih
Keadaan patologis (tidak sehat) yang disebabkan kebanyakan
makanan.Mengkonsumsi energi lebih banyak dari pada yang diperlukan
oleh tubuh dalam jangkawaktu yang panjang, dikenal sebagai gizi lebih
(Moch. Agus Krisno Budiyanto, 2001:14).
Menurut Djoko Pekik Irianto (2006: 65), penilaian status gizi dapat
dilakukan denganberbagai cara antara lain :
1) Pemeriksaan Langsung
a. Anthropometri Pemeriksaan
Antropometri dilakukan dengan cara mengukur tinggi badan, berat
badan, lingkarlengan atas, tebal lemak (triceps, biceps,
subscapula), bertujuan untuk mengetahui status gizi berdasarkan
satu ukuran menurut ukuran lainnya.
b. Pemeriksaan Biokimia.Pemeriksaan laboratorium (biokimia),
dilakukan melalui pemeriksaan specimen jaringan tubuh (darah,
urine, tinja dan otot) yang diuji secara laboratoris terutama untuk
mengetahui kadar hemoglobin, feritin, glukosa, dan kolesterol.
Pemeriksaan biokimia bertujuan mengetahui kekurangan gizi
spesifik.
c. Pemeriksaan Klinis
Pemeriksaan klinis dilakukan pada jaringan epitel (superfisiel
ephiteltissue) sepertikulit, mata, rambut, dan mukosa oral, tujuan
11

untuk mengetahui status kekurangan gizi dengan melihat tanda-


tanda khusus.
d. Pemeriksaan Biofisik
Pemeriksaan biofisik dilakukan dengan melihat kemampuan
fungsi serta perubahan struktur jaringan. Tujuan untuk
mengetahui situasi tertentu misalnya pada orang yang buta senja.
2) Pemeriksaan Tidak Langsung
a. Survei Konsumsi
Penilaian konsumsi makanan dilakukan dengan wawancara
kebiasaan makanan dan penghitungan makanan sehari-hari.
b. Statistik Vital
Pemeriksaan dilakukan dengan menganalisa data kesehatan,
seperti angka kematian, kesakitan akibat hal-hal yang
berhubungan dengan gizi
c. Faktor Ekologi
Pengukuran status gizi didasarkan atas ketersediannya makan yang
dipengaruhi oleh faktor-faktor ekologi (iklim, tanah, irigasi).

Menurut I Dewa Nyoman Supariasa (2002: 21) faktor-faktor yang


perlu dipertimbangkan dalam memilih metode penilaian status gizi adalah sebagai
berikut:

a. Tujuan pengukuran.
b. Unit sampel yang diukur.
c. Jenis informasi yang dibutuhkan.
d. Tingkat reliabilitas dan akurasi yang dibutuhkan.
e. Tersedianya fasilitas dan peralatan.
f. Ketersediannya tenaga.
g. Ketersediannya waktu.
h. Dana yang dibutuhkan.

Hal-hal di atas tidak berdiri sendiri, melainkan selalu terkait faktor yang satu
denganyang lainnya. Dalam penelitian metode status gizi harus
memperhatikan secara keseluruhan dan mencermati keunggulan dan
kelemahan metode tersebut. Pengukuran status gizi anak berdasarkan
kriteria antropometrik mungkin mempunyai kelemahan-kelemahan, namun
sampai saat ini dianggap merupakan cara yang paling mudah danpraktis
untuk dilakukan, karena siapa saja dapat melakukannya dengan terlebih dahulu
mendapat latihan. Melakukan penimbangan dan pengukuran tinggi badan
anak secara teratur merupakan langkah yang tepat dalam rangka
kewaspadaan terhadap perubahankeadaan gizi. Data penimbangan berat
badan ini sebaiknya ditulis pada kartu grafik perkembangan berat badan
12

anak yang disebut Kartu Menuju Sehat, dengan demikian selalu dapat
dimonitor satus gizinya. Dalam ilmu gizi, status gizi tidak hanya diketahui dengan
mengukur berat badan dantinggi badan sesuai umur secara sendiri-sendiri, tetapi
juga dalam bentuk indikator yang merupakan kombinasi ketiganya. Masing-
masing indikator mempunyai makna tersendirimisalnya kombinasi antara Berat
Badan (BB) dan umur membentuk indikator BB menurutumur yang
disimbolkan dengan BB/U, kombinasi antara TB dan umur
membentukindikator TB menurut umur atau “TB/U”. dan kombinasi antara BB
dan TB membentukindikator BB menurut TB atau “BB/TB”. Indikator
BB/U menunjukan secara sensitifstatus gizi saat ini (saat diukur) karena
mudah berubah. Namun indikator BB/U tidakspesifik karena berat badan
selain dipengaruhi oleh umur juga dipengaruhi oleh TB.Indikator TB/U
menggambarkan status gizi masa lalu, dan indikator BB/TB
menggambarkan secara sensitif dan spesifik status gizi saat ini. Dalam
penelitian inimenggunakan rumus BB sebenarnya:

BB dalam table menurut tinggi badan x 100%

Pengukuran status gizi menurut rumus (Djoko Pekik Irianto 2007 : 80) adalah
sebagai berikut :

Status Gizi = BB (sebenarnya) X 100% BB menurut tinggi badan

Menurut Djoko Pekik Irianto (2004 : 133-134), empat masalah pokok yang
paling serius yang dihadapi bangsa Indonesia terkait dengan penyakit Gizi salah
adalah sebagai berikut :

a. KKP (Kekurangan Kalori Protein)


KKP umumnya dialami anak-anak dengan status ekonomi kurang karena
makanan hewani relative mahal, sehingga tterjangkau.
b. KVA (Kekurangan Vitamin A)
Anak pada umumnya kurang menyukai sayuran dan buah-buahan yang
merupakan sumber vitamin utama, sehingga sering menyebabkan terjadinya
avitaminosis A.
c. ABG (Anemia Gizi Besi)
Zat gizi banyak terdapat pada makanan hewani serta sayuran yang berwarna
hijau tua. Bagi anak-anak dari keluarga mampu dan mereka yang tidak
menyukai sayuran akan berisiko kekurangan zat besi (Anemia)
d. GAKI (Gangguan Akibat Kekurangan Zat Iodium)
Garam beriodium merupakan upaya untuk menghindarkan masyarakat dari
kekurangan iodium.
13

Munculnya permasalahan gizi tersebut disebabkan oleh kurangnya konsiumsi


makanan yang beraneka ragam, pemahaman yang salah terhadap jenis
makanan, ketidak teraturan pola makan serta gaya hidup.
Berdasarkan berbagai pendapat diatas maka dapat disimpulkan bahwa status
gizi adalah gambaran keseimbangan antara kebutuhan gizi yang diperlukan
tubuh dengan konsumsi zat gizi.
2.4. Penyakit Malnutrisi
Penyakit malnutrisi dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Kelebihan nutrisi/ gizi disebut gizi lebih (overnutrition)
2. Kekurangan gizi atau gizi kurang (undernutrition)

BAB III
PEMBAHASAN
3.1. STUNTING
3.1.1. Definisi Stunting
Stunting adalah kondisi dimana balita memiliki atau tinggi badan yang
kurang jika dibandingkan umur. Kondisi ini diukur dengan panjang
atau tinggi badan yang lebih dari minus dua standar deviasi median
standar pertumbuhan anak dari WHO.
3.1.2. Faktor Terjadinya Stunting
Stunting termasuk masalah gizi kronik yang disebabkan oleh banyak
factor seperti kondisi ekonomi, gizi ibu saat hamil, kesakitan pada
bayi, dan kurangnya asupan gizi pada bayi. Penderita stunting dimasa
yang akan dating akan mengalami kesulitan dalam mencapai
perkembangan fisik dan kognitif yang optimal.
3.1.3. Peningkatan Kasus Stunting
Riset Kesehatan Dasar 2013 mencatat prevelensi stunting nasional
mencapai 37,2% meningkat dari tahun 2010 (35,6%) dan 2007
(36,8%). Artinya, pertumbuhan tak maksimal diserita oleh sekitar 8,9
juta anak Indonesia, atau satu dari tiga anak Indonesia.
3.2. Analisis Kasus Stunting
3.2.1. Kasus Stunting di Indonesia
Stunting adalah masalah gizi kronis pada balita yang ditandai dengan
tinggi badan yang lebih pendek dibandingkan dengan anak seusianya.
Anak yang menderita stunting akan lebih rentan terhadap penyakit dan
ketika dewasa berisiko untuk mengidap penyakit degenerative.
Dampak stunting tidak hanya pada segi kesehatan tetapi juga
mempengaruhi tingkat kecerdasan anak.
Pemerintah mencadangkan program intervensi pencegahan stunting
terintegrasi yang melibatkan lintas kementrian dan lembaga. Pada
14

tahun 2018, ditetapkan 100 kabupaten di 34 Provinsi sebagai lokasi


prioritas penurunan stunting. Junlah ini akan bertambah sebanyak 60
kabupaten pada tahun berikutnya. Dengan adanya kerjasama lintas
sektor ini diharapkan dapat menekan angka stunting di Indonesia
sehingga dapat tercapai target Sustainable Development Goals (SDGs)
pada tahun 2025 yaitu diperoleh dari hasil Riskesdes tahun 2018 yang
juga menjadi ukuran keberhasilan program yang sudah diupayakan
oleh pemerintah.

Kejadian balita stunting (pendek) merupakan masalah gizi utama yang


dihadapi Indonesia. Berdasarkan data Pemantauan Status Gizi (PSG)
selama tiga tahun terakhir, stunting memiliki prevelensi tertinggi
dibandingkan dengan masalah gizi lainnya seperti gizi kurang, kurus,
dan gemuk. Prevelensi balita pendek mengalami peningkatan dari
tahun 2016 yaitu 27,5% menjadi 29,6% pada tahun 2017.
15

Berdasarkan hasil PSG tahun 2015, prevelensi balita pendek di


Indonesia adalah 29%. Angka ini mengalami penurunan pada tahun
2016 menjadi 27,5%. Namun prevelensi balita pendek kembali
meningkat menjadi 29,6% pada tahun 2017.
Prevelensi balita sangat pendek dan pendek usia 0-59 bulan di
Indonesia tahun 2017 adalah 9,8%. Kondisi ini meningkat dari tahun
sebelumnya yaitu prevelensi balita sangat pendek sebesar 8,5% dan
balita pedek sebesar 19%. Provinsi dengan prevelensi tertinggi balita
sangat pendek dan pendek pada usia 0-59 bulan tahun 2017 adalah
Nusa Tenggara Timur, sedangkan provinsi dengan prevelensi terendah
adalah Bali.
Dalam diskusi ahli dipaparkan, prevelensi stunting tertinggi
diatas 40% berada diprovinsi Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi
Barat. Pada angka 30% hingga 40% berada di provinsi Aceh,
Sumatera Barat, Lampung, semua provinsi di Kalimantan, Sulawesi,
Maluku, Papua Barat, dan Papua. Provinsi lain memiliki
tingkatprevelensi 20% hingga 30% terkecuali Bali yang menjadi satu-
satunya provinsi dengan prevelensi kurang dari 20%.
Masalah stunting haruslah segara di atasi karena kasus stunting
ini memiliki potensi trans-generasi, karena ibu yang stunting akan
cendrung memiliki anak yang stunting. Stunting dapat mempengaruhi
tumbuh kembang anak dan kesehatan anak hingga masa dewasa dan
juga anak stunting akan memiliki daya saing yang rendah
dibandingkan dengan anak yang sehat. Berdasarkan hasil penelitian,
anak stunting memiliki incone learning (kemampuan menyerap
pembelajaran) 25% lebih rendah dibandingkan dengan anak lainnya
yang tidak mengalami stunting. Selain menghambat pertumbuhan otak
dan perkembangan kecerdasan. Stunting juga meningkatkan resiko
penyakit seperti diabetes dan penyakit lain, karena pertumbuhan yang
terhambat mengakibatkan kelainan sel pankreas.
Tidak heran jika angka stunting di Indonesia tidak berubah dan
cenderung meningkat. Terjadi gagal tumbuh (growth faltering) mulai
bayi berusia 2 bulan, dampak dari calon ibu hamil (remaja putri) yang
sudah bermasalah, dilanjutkan dengan ibu hamil yang juga
16

bermasalah. Hal ini sangat terkait oleh banyak factor, utamanya secara
kronis karena asupan gizi yang tidak memadai dan kemungkinan
rentan terhadap infeksi, sehinnga sering sakit.
3.2.2. Pencegahan dan Penanggulangan Kasus Stunting di Indonesia
Stunting didefinisakn sebagai kondisi anak usia 0-59 bulan,
menurut umur berada dibawah minus 2 standar devisi (< 2SD) dari
standar median WHO. Lebih lanjut dikatakan bahwa stunting akan
berdampak dan dikaitakn dengan proses kembang otak yang
terganggu, dimana dalam jangka pendek berpengaruh pada
kemampuan kognitif. Jangka panjang mengurangi kapasitas untuk
berpendidikan lebih baik dan hilangnya kesempatan untuk peluang
kerja dengan pendapatan lebih baik.
Dalam jangka panjang, anak stunting yang berhasil
mempertahankan hidupnya, pada usia dewasa cendrung akan menjadi
gemuk (obese), dan berpeluang menderita penyakit tidak menular
(PTM), seperti hipertensi, diabetes, kanker, dll.
Merujuk pada pola pikir UNICEF/Lancet, masalah stunting
terutama disebabkankarena ada pengaruh dari pola asuh,
cakupan dan kualitas pelayanan kesehatan,lingkungan, dan
ketahanan pangan, maka berikut ini mencoba untuk membahas dari
sisipola asuh dan ketahanan pangan tingkat keluarga.
Dari kedua kondisi ini dikaitkan dengan strategi implementasi
program yang harusdilaksanakan. Pola asuh (caring), termasuk di
dalamnya adalah Inisiasi Menyusu Dini(IMD), menyusui eksklusif
sampai dengan 6 bulan, dan pemberian ASI dilanjutkandengan
makanan pendamping ASI (MPASI) sampai dengan 2 tahun
merupakan prosesuntuk membantu tumbuh kembang bayi dan anak.
Strategi ke depan terkait dengan pola asuh, antara lain:
1. Melakukan monitoring pasca pelatihan konselor menyusui
utamanya di tingkat kecamatan dan desa;
2. Melakukan sanksi terhadap pelanggar PP tentang ASI;
3. Melakukan konseling menyusui kepada pada ibu hamil yang
datang ke ante natalcare/ANC (4 minggu pertama kehamilan)
untuk persiapan menyusui;
4. Meningkatkan kampanye dan komunikasi tentang menyusui;
5. Melakukan konseling dan pelatihan untuk cara penyediaan dan
pemberian MP-ASI sesuai standar (MAD).
Kebijakan dan strategi yang mengatur pola asuh ini ada
pada Undang-UndangNomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal
128, Peraturan Pemerintah Nomor 33 tahun 2012 tentang ASI, dan
Rencana Strategis Kementerian Kesehatan 2015-2019, Keputusan
Menteri Kesehatan Nomor HK.02.02/MENKES/52/2015.
Ketahanan pangan (food security) tingkat rumah tangga
adalah aspek penting dalam pencegahan stunting. Isu ketahanan
pangan termasuk ketersediaan pangan sampai level rumah tangga,
kualitas makanan yang dikonsumsi (intake), serta stabilitas dari
ketersediaan pangan itu sendiri yang terkait dengan akses
penduduk untuk membeli. Dalam jangka panjang masalah ini akan
menjadi penyebab meningkatnya prevalensi stunting, ada proses
gagal tumbuh yang kejadiannya diawali pada kehamilan,
sebagaidampak kurangnya asupan gizi sebelum dan selama
kehamilan. Amanat ketahanan pangan di Indonesia adalah dari UU
Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, dan juga UU Nomor 36 Tahun
2009 tentang Kesehatan.
17

Strategi ke depan terkait dengan ketahanan pangan, antara lain:


1. Dapat disusun program yang secara khusus ditujukan untuk
memenuhi kebutuhan keluarga miskin meliputi target sasaran
termasuk ibu hamil, bentuk jenis makana harus memenuhi standar
gizi, terintegrasi dengan pelayanan kesehatan yang lain; dan
2. Perlu dibuat standar bantuan pangan. Asupan gizi yang optimal
untuk pencegahan stunting dapat dilakukan dengan gerakan
nasional percepatan perbaikan gizi yang didasari oleh komitmen
negara untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia agar
sehat, cerdas dan produktif, yang merupakan aset sangat berharga
bagi bangsadan negara Indonesia. Untuk mewujudkan sumber
daya manusia yang berkualitas diperlukan status gizi yang
optimal dengan cara melakukan perbaikan gizi secaraterus
menerus. Gerakan nasional yang dimaksud meliputi :
Sasaran Gerakan Nasional Pelaksanaan Kegiatan
Sasaran utama di masyarakat meliputi : Kegiatan dilaksanakan melalui :
a. Masyarakat khususnya remaja, a. Kampanye nasional dan
ibu hamil, ibu menyusui, anak derah
usia dibawah dua tahun b. Advokasi dan sosialisasi
b. Kader-kader dimasyarakat lintas sektor dan lintas
c. Perguruan tinggi lembaga
d. Pemerintah dan pemerintah c. Dialog untuk menggalang
daerah kerja sama dan kontribusi
e. Media massa d. Pelatihan
f. Dunia usaha, dan e. Diskusi
g. Lembaga swadaya masyarakat f. Intervensi kegiatan gizi
dan mitra pembangunan langsung (spesifik)
internasional g. Intervensi gizi tidak
langsung (sensitive)
3.2.3. Kasus Stunting di Indonesia menurut WHO
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukan
bahwa balita diIndonesia yang mengalami stunting berada pada angka
23,6 persen. World Health Organization (WHO) menempatkan
Indonesia sebagai negara ketiga dengan angkaprevalensi stunting
tertinggi di Asia pada 2017, yang angkanya mencapai 36,4 persen.
Meski pada tahun 2018 kasus stunting berada pada angka 23,6 persen
di Indonesiaadalah penurunan dibanding tahun 2017 yang menunjukan
angka 36,4 persen. Namun Angka 23,6 persen masih jauh dari target
World Health Organization (WHO) yakni 20persen “Meski
demikian, angkanya masih jauh dari target Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) yakni 20 persen,” ujar Kepala Balitbang Kesehatan,
Siswanto.
Ambang batas prevalensi global stunting oleh WHO
mengkategorikan angka stunting 20 persen hingga 30 persen sebagai
tinggi, dan lebih dari atau sama dengan 30 persen dikatergorikan
sangat tinggi. Pada kasus stunting, pada tahun 2017 Indonesia
menempati peringkat ke 3 tertinggi di kawasan ASEAN setelah
Timor Leste.
Meskipun di Indonesia terjadi angka penurunan kasus stunting
yang terjadi. Namun Indonesia belum dikatakan sudah memenuhi
ambang batas yang ditentukan oleh WHO, yang berarti Indonesia
masih dalam kondisi mengkhawatirkan dalam kasus stunting ini.
Seluruh Provinsi yang ada di Indonesia masih melebihi ambang batas
yang ditentukan terkecuali Bali.
18

BAB IV
KESIMPULAN

Dengan melihat beberapa pembahasan pada makalah di


atas, maka dapat kami simpulkan bahwa stunting adalah kondisi
dimana balita memiliki panjang atau tinggi badanyang kurang jika
dibandingkan umur. Berdasarkan hasil PSG tahun 2015, prevalensi
balita pendek di Indonesia adalah 29%. Angka ini mengalami
penurunan pada tahun 2016 menjadi 27,5%. Namun prevalensi balita
pendek kembali meningkat menjadi 29,6% pada tahun 2017.

Prevelensi balita sangat pendek dan pendek usia 0-59 bulan di


Idonesia tahun 2017adalah 9,8% dan 19,8%. Kondisi ini meningkat
dari tahun sebelumnya yaitu prevelensi balita sangat pendek sebesar
8,5% dan balita pendek sebesar 19%. Provinsi dengan prevelensi
tertinggi balita sangat pendek dan pendek pada usia 0-59 bulan tahun
2017 adalah Nusa Tenggara Timut, sedangkan provinsi dengan
prevelensi terendah adalah Bali.

Karena masalah stunting utamanya disebabkan oleh adanya


pengaruh dari pola asuh,cakupan dan kualitas pelayanan kesehatan,
lingkungan, dan ketahanan pangan. Maka hal tersebut merupakan
langkah yang tepat untuk diperbaiki bersama sesuai dengan kebijakan
pemerintah yang merujuk pada pola pikir UNICEF.
19

Maka, sudah selayaknya seluruh masyarakat turut serta untuk


menjaga kesehatan diri dan lingkungan bukan karena sebatas
patuh terhadap aturan dan kebijakan pemerintah, namun karena
masyarakat sudah sangat menyadari akan pentingnya
kesehatan. Lalu bagaimanakah caranya? Salah satunya dengan
peduli terhadap gizi kesehatan demi menyongsong bonus
demografi di Indonesia pada tahun 2030 mendatang.

DAFTAR PUSTAKA

Notoatmodjo, Soekidjo. 2011 (edisi revisi). Kesehatan Masyarakat:


Ilmu dan Seni. Jakarta: PT Asdi Mahasatya
Kementeria Kesehatan RI. 2018. Buletin Jendela Data dan Informasi
Kesehatan: Situasi Balita Pendek (Stunting) di Indonesia. Jakarta:
Redaksi Pusat Data dan Informasi
Diakses di laman www.depkes.go.id
Diakses di laman www.mca-indonesia.go.id
Jurnaldiaksesdi laman https://eprints.uny.ac.id/9289/3/BAB%202%20-
%2010604227399.pdf
Jurnaldiaksesdilaman
https://hakimkep.wordpress.com/2012/06/08/makalah-gizi-
masyarakat/
Jurnal diakses di laman http://digilib.unila.ac.id/19376/16/BAB
%20II.pdf
Berita diakses di laman
https://kominfo.go.id/content/detail/17436/kominfo-ajak-masyarakat-
turunkan-prevalensi-stunting/0/sorotan_media
Berita diakses di laman https://beritagar.id/artikel/berita/angka-
stunting-turun-tapi-belum-standar-who

Anda mungkin juga menyukai