KOMUNITAS
STUNTING
OLEH
KELOMPOK II
1. MEGA LUISA ITO
2. PUTRI K.N YAHBROB
3. INTAN K. MEMBUBU
4. LAHENDRA ULY HIA
5. DEWATA SUKI
6. MARIA G.P UTAMI
7. ANDRIAS HINA KAMBOMBU
8. SEPJUNFAI BIHA
9. INDRO T. NOMLENI
10. TRIS E. BANUNAEK
11. NILDA LIUFETO
12. KORNELIUS ROHI
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................
1.1L.atar Belakang .................................................................................................................
1.2.Tujuan Penulisan
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................
2.1.Definisi
2.2.Etiologi
2.3.Tanda Gejala..........................................................................................................................
2.4.Patofisiologi ......................................................................................................................
2.5.Penatalaksanaan Medis..........................................................................................................
2.6.Penatalaksanaan Keperawatan
2.7.Peran Perawat Komunitas......................................................................................................
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN STUNTING ..............................................................
3.1.Pengkajian Keperawatan Komunitas.....................................................................................
3.2.Diagnosa Keperawatan komunitas........................................................................................
3.3.Analisa Data..........................................................................................................................
3.4.Intervensi Keperawatan
3.5.Implementasi Keperawatan...................................................................................................
3.6.Evaluasi Keperawatan
BAB IV PENUTUP....................................................................................................................
4.1.Kesimpulan............................................................................................................................
4.2.Saran ...............................................................................................................................
Daftar Pustaka..............................................................................................................................
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar belakang
Indonesia sebagai negara berkembang selalu berupaya melakukan peningkatan derajat
kesehatan masyarakat, karena pemerintah memiliki kewajiban terhadap kesejahteraan
masyarakat salah satunya melalui peningkatan kesehatan. Contoh upaya peningkatan
derajat kesehatan adalah perbaikan gizi masyarakat, karena gizi yang seimbang dapat
meningkatkan ketahanan tubuh namun sebaliknya gizi yang tidak seimbang
menimbulkan masalah yang sangat sulit sekali ditanggulangi. Empat masalah gizi
kurang yang mendominasi di Indonesia yaitu (Almatsier, 2001): Kurang Energi
Protein (KEP), Kurang Vitamin A (KVA), Gangguan Akibat Kekurangan Yodium
(GAKY) dan Anemia Gizi Besi (AGB). Masalah Kurang Energi Protein (KEP) atau
biasa dikenal dengan gizi kurang, penyebab gizi buruk itu sendiri pada dasarnya
sederhana yaitu kurangnya intake (konsumsi) makanan terhadap kebutuhan makan
seseorang. Padahal sebelum kasus gizi buruk itu terjadi telah melewati beberapa
tahapan yang mulai dari penurunan berat badan dari berat badan ideal seorang anak
sampai akhirnya terlihat anak tersebut sangat buruk. Jadi masalah sebenarnya adalah
masyarakat atau keluarga balita kurang mengetahui cara menilai status berat badan
anak selain itu juga belum mengetahui pola pertumbuhan berat badan anak
Secara nasional prevalensi berat kurang pada 2010 adalah 17,9% yang terdiri dari
4,9% gizi buruk dan 13,0 gizi kurang. Bila dibandingkan dengan pencapaian MDGs
tahun 2015 yaitu 15,5% maka prevalensi berat kurang secara nasional harus
diturunkan minimal sebesar 2,4% dalam periode 2011 - 2015 (Depkes RI, 2010).
Secara regional ada beberapa provinsi yang tercatat memiliki angka gizi buruk yang
cukup tinggi, Jawa Tengah merupakan salah satunya, pada tahun 2011 angka tersebut
dapat ditekan hingga menjadi 3187 kasus (Gizinet, 2012). Berdasarkan laporan Dinas
Kesehatan Kabupaten Klaten tercatat jumlah balita usia 0-59 bulan sebesar 81.003
dan kasus gizi buruk berdasarkan BB/TB pada tahun 2014 terdapat 16 kasus atau
0.02%
. Stunting adalah ketidakseimbangan gizi yang merupakan penurunan kecepatan
pertumbuhan dan gangguan pertumbuhan fisik. (Losong, 2017). Standar WHO
menunjukkan bahwa kategori stunting berada pada indeks panjang badan dibanding
4
umur (PB/U) atau tinggi badan dibanding umur (TB/U) dengan batas (z-score) kurang
dari -2 SD (Loya 2013). Masalah stunting masih menjadi permasalahan utama di
Indonesia.
Dari pengalaman peneliti sebagai perawat di puskesmas perawat mempunyai peranan
penting dalam upaya pencegahan kasus gizi buruk melalui upaya promotif meliputi
pertemuan rutin tingkat desa/kelurahan yang diadakan setahun sekali, penyuluhan
kepada ibu balita yang diadakan sebulan sekali saat posyandu, penyuluhan kepada
kader-kader posyandu yang diadakan tiap bulan sekali di Puskesmas, media KIE
seperti poster, leaflet, lembar balik, booklet, food model dan lain-lain. Upaya
preventif meliputi penimbangan berat badan, pengukuran lingkar lengan dan tinggi
badan yang dilakukan sebulan sekali di posyandu, pemberian paket obat dan makanan
untuk pemulihan gizi, pemberian obat gizi seperti: kapsul vitamin A warna biru
(100.000 SI) untuk bayi 6 - 11 bulan, kapsul vitamin A warna merah (200.000 SI)
setiap 6 bulan (Februari dan Agustus) untuk anak umur 12 - 59 bulan, tablet tambah
darah, obat cacing, pemberian konseling pada ibu balita yaitu dengan memberikan
anjuran pemberian makan sesuai umur dan kondisi anak dan cara menyiapkan makan
formula, melaksanakan anjuran makan dan memilih atau mengganti makanan
kemudian dengan menggunakan leaflet yang berisi jumlah, jenis dan frekuensi/jadwal
pemberian makanan, berikan contoh menu, promosikan ASI bagi anak dibawah usia 2
tahun dan demonstrasikan praktek memasak makanan kepada ibu (Kemenkes RI,
2011).
Akan tetapi pada kenyataannya menurut pengamatan peneliti, sampai
saat ini masih ada beberapa permasalahan terhadap peran perawat dalam pencegahan
gizi buruk diantaranya dimana masih ada perawat yang belum mengetahui perannya
yaitu sebagai peneliti dan advokat klien, karena kurangnya tenaga perawat di
puskesmas sehingga masih banyak perawat yang merangkap dalam pekerjaannya
seperti perawat merangkap sebagai bendahara, perawat merangkap sebagai petugas
administrasi dan lain-lain, belum tersedianya tenaga perawat terlatih manajemen dan
tatalaksana penanganan gizi buruk, belum tercukupinya sarana/prasarana dan biaya
operasional dalam pelacakan kasus gizi buruk. Berdasarkan latar belakang tersebut,
peneliti tertarik untuk meneliti Peran Perawat Terhadap Pencegahan Gizi Buruk Pada
Balita di Kabupaten Klaten.
1.2. Tujuan Penulisan
5
1.2.1.Tujuan Umum
BAB II
PEMABAHASAN
2.1.Definisi
Balita pendek ( stunting ) merupakan keadaan tubuh yang pendek dan sangat pendek
hingga melampaui defisit -2 SD dibawah median panjang atau tinggi badan. Stunting
dapat di diagnosis melalui indeks antropometri tinggi badan menurut umur yang
mencerminkan pertumbuhan linier yang dicapai pada pra dan pasca persalinan dengan
indikasi kekurangan gizi jangka panjang, akibat dari gizi yang tidak memadai.
Stunting merupakan pertumbuhan linear yang gagal untuk mencapai potensi genetic
sebagai akibat dari pola makan yang buruk dan penyakit infeksi (ACC/SCN, 2000).
Stunting adalah masalah gizi utama yang akan berdampak pada kehidupan sosial dan
ekonomi dalam masyarakat. Ada bukti jelas bahwa individu yang stunting memiliki
tingkat kematian lebih tinggi dari berbagai penyebab dan terjadinya peningkatan
penyakit. Stunting akan mempengaruhi kinerja pekerjaan fisik dan fungsi mental dan
intelektual akan terganggu (Mann dan Truswell, 2002)
2.2.Etiologi
Menurut beberapa penelitian, kejadian stunted pada anak merupakan suatu proses
kumulatif yang terjadi sejak kehamilan, masa kanak-kanak dan sepanjang siklus
kehidupan. Pada masa ini merupakan proses terjadinya stunted pada anak dan peluang
peningkatan stunted terjadi dalam 2 tahun pertama kehidupan. Faktor gizi ibu sebelum
dan selama kehamilan merupakan penyebab tidak langsung yang memberikan
kontribusi terhadap pertumbuhan dan perkembangan janin. Ibu hamil dengan gizi
kurang akan menyebabkan janin mengalami intrauterine growth retardation (IUGR),
sehingga bayi akan lahir dengan kurang gizi, dan mengalami gangguan pertumbuhan
dan perkembangan.
Anak-anak yang mengalami hambatan dalam pertumbuhan disebabkan kurangnya
asupan makanan yang memadai dan penyakit infeksi yang berulang, dan
meningkatnya kebutuhan metabolic serta mengurangi nafsu makan, sehingga
meningkatnya kekurangan gizi pada anak. Keadaan ini semakin mempersulit untuk
mengatasi gangguan pertumbuhan yang akhirnya Gizi buruk kronis ( stunting) tidak
hanya disebabkan oleh satu faktor saja seperti yang telah dijelaskan diatas, tetapi
disebabkan oleh banyak faktor, dimana faktor-faktor tersebut saling berhubungan satu
7
sama lainnnya. Terdapat tiga faktor utama penyebab stunting yaitu sebagai berikut :
Asupan makanan tidak seimbang (berkaitan dengan kandungan zat gizi dalam
makanan yaitu karbohidrat, protein,lemak, mineral, vitamin, dan air)
Riwayat berat badan lahir rendah (BBLR)
Riwayat penyakit.
2.3.Tanda Gejala
Berat badan dan panjang badan lahir bisa normal,atau BBLR(berat bayi lahir rendah)
pada keterlambatan tumbuh intra uterine, umumnya tumbuh kelenjarnya tidak
sempurna.
Pertumbuhan melambat, batas bawah kecepatan tumbuh adalah 5cm/tahun desimal.
Pada kecepatan tumbuh tinggi badan < 4cm/ tahun kemungkinan ada kelainan
hormonal.
Umur tulang(bone age)bisa normal atau terlambat untuk umurnya
Pertumbuhan tanda tanda pubertas terlambat.
2.4.Patofisiologi
Terjadinya stunting pada balita seringkali tidak disadari, dan setelah dua tahun baru
terlihat ternyata balita tersebut pendek Masalah gizi yang kronis pada balita
disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu yang cukup lama akibat orang
tua/keluarga tidak tahu atau belum sadar untuk memberikan makanan yang sesuai
dengan kebutuhan gizi anaknya. Riskesdas 2010 menemukan bahwa ada 21,5% balita
usia 2-4 tahun yang mengonsumsi energi di bawah kebutuhan minimal dan 16% yang
mengonsumsi protein di bawah kebutuhan minimal. Dan bila ini berlangsung dalam
waktu lama, maka akan mengganggu pertumbuhan berat dan tinggi badan.
Pada ibu hamil juga terdapat 44,4% yang mengonsumsi energi di bawah
kebutuhan minimal dan 49,5% wanita hamil yang mengonsumsi protein di bawah
kebutuhan minimal yang berdampak pada terhambatnya pertumbuhan janin yang
dikandungnya. Selain asupan yang kurang, seringnya anak sakit juga menjadi
penyebab terjadinya gangguan pertumbuhan. Sanitasi lingkungan hidup bersih
dan sehat dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan kronis dan berdampak anak
menjadi pendek.
8
2.5.Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan kwashiorkor bervariasi tergantung pada beratnya kondisi anak.
Keadaanshock memerlukan tindakan secepat mungkin dengan restorasi volume darah
dan mengkontroltekanan darah. Pada tahap awal, kalori diberikan dalam bentuk
karbohidrat, gula sederhana, danlemak. Protein diberikan setelah semua sumber kalori
lain telah dapat menberikan tambahanenergi. Vitamin dan mineral dapat juga
diberikan.Dikarenan anak telah tidak mendapatkan makanan dalam jangka waktu
yang lama,memberikan makanan per oral dapat menimbulkan masalah, khususnya
apabila pemberianmakanan dengan densitas kalori yang tinggi. Makanan harus
diberikan secara bertahap/ perlahan.Banyak dari anak penderita malnutrisi menjadi
intoleran terhadap susu (lactose intolerance) dandiperlukan untuk memberikan
suplemen yang mengandung enzim lactase.Penatalaksaan gizi buruk menurut standar
pelayanan medis kesehatan anak.
IDAI (ikatan dokter anak Indonesia) : Penanganan dini pada kasus-kasus kwashiorkor
umumnya memberikanhasil yang baik. Penanganan yang terlambat (late stages)
mungkin dapat memperbaiki statuskesehatan anak secara umum, namun anak dapat
mengalami gangguan fisik yang permanen dangangguan intelektualnya. Kasus-kasus
kwashiorkor yang tidak dilakukan penanganan atau penanganannya yang terlambat,
akan memberikan akibta yang fatal
Peran tenaga kesehatan adalah memberikan masukan, pemantauan dan evaluasi dalam
aspek menyeluruh kesehatan. Sehingga dapat memberi masukan kepada keluarga atas
pemantauan yang dilakukannya. Pemantauan yang dilakukan berupa masalah
kesehatan yang terjadi dalam masyarakat desa memberikan masukan kepada
masyarakat atas masalah yang terjadi. Pemantauan yang dilakukan dapat berupa
kunjungan langsung kerumah warga (Effendy, 2020).
Tenaga kesehatan yang rutin melakukan interaksi dengan masyarakat yaitu dengan
melakukan kunjungan ke rumah warga, dan memberi in
formasi yang tepat kepada ibu terkait kesehatan keluarga untuk berperilaku hidup
sehat. Kunjungan rutin yang dilakukan tenaga kesehatan dengan memberikan
informasi yang bermanfaat dapat memberikan dukungan kepada masyarakat untuk
berperilaku sehat dan bersih. Dukungan yang ada juga dapat berupa dukungan
emosional dan instrumental
Minat masyarakat juga dipengaruhi oleh teknologi dan sikap yang dimiliki oleh
tenaga kesehatan. Kemampuan teknologi yang dimiliki akan memunculkan
ketertarikan masyarakat. Petugas yang memanfaatkan teknologi akan sejalan dengan
kemudahan akses ke teknologi informasi. Kemudian kemudahan pada akses media
dan pers. Kemudahan akses ke alat elektronik pada lingkungannya serta akses yang
lebih optimal pada pelayanan kesehatan (Melo, 2013).
10
BAB III
Gejala : kelemahan, kelelahan, cape atau lelah, insomnia, tidak bisa tidur pada
malam hari, karena badan demam.
Eliminasi
Gejala : Tekstur feses bervariasi dari bentuk lunak, bau, atau berair Tanda :
kadang – kadang terjadi peningkatan bising usus.
3.3.Diagnosa Keperawatan komunitas
Langkah-langkah menentukan diagnosa keperawatan :
1. Interpretasi data, perawat bertugas membuat interpretasi atas data yang sudah
dikelompokkan dalam bentuk masalah keperawatan atau masalah kolaboratif.
Untuk menuliskan diagnosa keperawatan Gordon menguraikan komponen
yang harus ada sebagai berikut :
2. Diagnosa aktual : komponen terdiri dari tiga bagian, yaitu :
Problem/masalah = P
Etiologi/penyebab = E
Sign and symptom/tanda dan gejala = S
3. Diagnosa resiko, potensial/possible : P+E
Perumusan diagnosa keperawatan, setelah perawat mengelompokan,
mengidentifikasi dan memvalidasi data-data yang signifikan maka tugas perawat
pada tahap ini adalah merumuskan suatu diagnosa keperawatan (Nursalam, 2015).
Defisit Nutrisi b.d ketidakmampuan mengasorbsi nutrien (D.0019)
Deficit kesehatan komunitas d.d Tidak tersedia program untuk mencegah
masalah kesehtan komunitas (D.0110)
Defesit pengetahuan b.d menanyakan masalah yang terjadi
3.4.Intervensi Keperawatan
Perencanaan adalah proses kegiatan mental yang memberi pedoman atau pengarahan
secara tertulis kepada perawat atau anggota tim kesehatan lainnya tentang
intervensi/tindakan keperawatan yang akan dilakukan kepada pasien. Rencana
keperawatan merupakan rencana tindakan keperawatan tertulis yang menggambarkan
masalah kesehatan pasien, hasil yang akan diharapkan, tindakan-tindakan
keperawatan dan kemajuan pasien secara spesifik.
Intervensi keperawatan merupakan bagian dari fase pengorganisasian dalam proses
keperawatan sebagai pedoman untuk mengarahkan tindakan keperawatan dalam
usaha membantu, meringankan, memecahkan masalah atau untuk memenuhi
13
3.5.Implementasi Keperawatan
Implementasi merupakan tahap ketika perawat mengaplikasikan atau melaksanakan
rencana asuhan keperawatan kedalam bentuk intervensi keperawatan guna membantu
klien mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Nursalam, 2015).
Pada tahap pelaksanaan ini kita benar-benar siap untuk melaksanakan intervensi
keperawatan dan aktivitas-aktivitas keperawatan yang telah dituliskan dalam rencana
keperawatan pasien. Dalam kata lain dapat disebut bahwa pelaksanaan adalah
peletakan suatu rencana menjadi tindakan yang mencakup :
Penulisan dan pengumpulan data lanjutan
Pelaksanaan intervensi keperawatan
Pendokumentasian tindakan keperawatan
Pemberian laporan/mengkomunikasikan status kesehatan pasien dan respon
pasien terhadap intervensi keperawatan
Pada kegiatan implementasi diperlukan kemampuan perawat terhadap penguasaan
teknis keperawatan, kemampuan hubungan interpersonal, dan kemampuan intelektual
untuk menerapkan teori-teori keperawatan kedalam praktek.
3.6.Evaluasi Keperawatan
Implementasi merupakan tahap ketika perawat mengaplikasikan atau melaksanakan
rencana asuhan keperawatan kedalam bentuk intervensi keperawatan guna membantu
klien mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Nursalam, 2015).
Pada tahap pelaksanaan ini kita benar-benar siap untuk melaksanakan intervensi
keperawatan dan aktivitas-aktivitas keperawatan yang telah dituliskan dalam rencana
keperawatan pasien. Dalam kata lain dapat disebut bahwa pelaksanaan adalah
peletakan suatu rencana menjadi tindakan yang mencakup :
Penulisan dan pengumpulan data lanjutan
Pelaksanaan intervensi keperawatan
Pendokumentasian tindakan keperawatan
Pemberian laporan/mengkomunikasikan status kesehatan pasien dan respon
pasien terhadap intervensi keperawatan
Pada kegiatan implementasi diperlukan kemampuan perawat terhadap
penguasaan teknis keperawatan, kemampuan hubungan interpersonal, dan
kemampuan intelektual untuk menerapkan teori-teori keperawatan kedalam
praktek
15
BAB IV
PENUTUP
4.1.KESIMPULAN
Stunting adalah masalah gizi utama yang akan berdampak pada kehidupan sosial dan
ekonomi dalam masyarakat. Ada bukti jelas bahwa individu yang stunting memiliki
tingkat kematian lebih tinggi dari berbagai penyebab dan terjadinya peningkatan
penyakit. Stunting akan mempengaruhi kinerja pekerjaan fisik dan fungsi mental dan
intelektual akan terganggu (Mann dan Truswell, 2002)
4.2.SARAN
DAFTAR PUSTAKA
Candra, A. (2013). Hubungan underlying factors dengan kejadian stunting pada anak
1-2 tahun. Journal of Nutrition and Health, Vol.1, No.1. Diakses dari
http://www.ejournal.undip.ac.id [12 September 2017]
17