Anda di halaman 1dari 17

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN DIAGNOSA KEPERAWATAN

OTITIS MEDIA AKUT

PRODI S-1 KEPERAWATAN


OLEH
KELOMPOK III
1. DERI J. PA’I (14)
2. YARLIN E.NDOLU ( 140802719)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MARANATHA


KUPANG

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kelompok kami panjatkan kehadirat Tuhan yang maha kuasa atas limpahan
rahmat, Nya sehingga kelompok kami dapat menyelesaikan “Asuhan keperawatan pada pasien
Otitis Media Akut “. Adapun tujuan ASKEP ini disusun untuk melengkapi salah satu tugas mata
kuliah Keperawatan medical bedah III
Dengan harapan ASKEP ini bisa menambah pengetuahuan, menambah wawasan dan
mendatangkan manfaat.
Kelompok menyadari bahwasanya dalam penyusunan Askep ini masih jauh dari kata
sempurna, baik dari segi penyusunan, bahasan, ataupun penulisannya. Oleh sebab itu, kelompok
kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun, khususnya dari dosen mata
kuliah yang bersangkutan guna menjadi acuan dalam bekal pengalaman bagi kami untuk lebih
baik lagi di masa yang akan datang.

Penulis ,

Kupang, 17 Desember 2021


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................

DAFTAR ISI................................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................

A. Latar Belakang..................................................................................................................

B. Tujuan..............................................................................................................................

C. Manfaat.............................................................................................................................

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................................

A. Definisi..............................................................................................................................
B. Etiolog...............................................................................................................................
C. Anatomi Fisiologi ............................................................................................................
D. Patofisiologi......................................................................................................................
E. Manifestasi klinis..............................................................................................................
F. Pemeriksaan Penunjang....................................................................................................
G. Penatalaksanaan ...............................................................................................................
H. Komplikasi........................................................................................................................

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN....................................................................................

A. Pengkajian.....................................................................................................................

B. Diagnosa Keperawatan..................................................................................................
C. Intervensi keperawatan..................................................................................................

D. Implementasi.................................................................................................................

E. Evaluasi..........................................................................................................................

BAB IV PENUTUP...................................................................................................................

A. Kesimpulan....................................................................................................................
B. Saran..............................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Otitis media akut (OMA) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh adanya inflamasi
yang terdapat pada sebagian atau seluruh mukosa telinga bagian tengah, tuba eustachii
dan sel-sel mastoid yang terletak di  belakang  belakang membran membran timpani.
timpani. Peradangan Peradangan yang terjadi terjadi bersifat bersifat akut pada anak-an
anak-anak akan mengeluhkan sakit telinga, sakit telinga, telinga berdengung, keluar 
cairan keruh dari telinga dan dapat disertai demam. Penderita OMA pada anak sangat
berhubungan dengan kejadian penyakit infeksi saluran  pernapasan  pernapasan atas akut
(ISPA). (ISPA). Penyakit Penyakit ISPA di Indonesia Indonesia masih sangat tinggi,
terutama pada anak-anak. Kejadian ISPA pada anak dan dapat menyebabkan peningkatan
kejadian OMA pada anak (Priyono et al., 2011).
Otitis media akut stadium perforasi memiliki komplikasi yang tersering yaitu mastoiditis.
Kejadian mastoiditis yang kronis akan menjadi masalah bagi anak yaitu adanya
penurunan pendengaran, pada anak yang mengalami penurunan pendengaran
menyebabkan penurunan konsentrasi dalam proses belajar di sekolah (Mattos et al.,
2014). Kementrian kesehatan Indonesia memiliki target kesehatan nasional di tahun 2030
akan menjamin semua penduduk di seluruh wilayah Indonesia akan terbebas dari
kejadian tuli (PGPKT, 2017).
 Otitis media kronik merupakan masalah kesehatan global yang  berdampak  berdampak
pada kualitas kualitas hidup seseorang. seseorang. Otitis media kronik sebagai sebagai
kelanjutan dari otitis media akut yang sering terjadi pada anak – anak, sebagian
disebabkan oleh perforasi membran timpani. Keadaan seperti ini mengakibatkan nyeri
telinga, otorrhea yang berhubungan dengan perforasi membran timpani (Anggraini,
2013). Otitis media kronik e dapat menyebabkan morbiditas yang sangat erat
hubungannya dengan gangguan  pendengaran. Terdapat berbagai macam faktor
predisposisi kronisitas otitis media salah satunya adalah riwayat rinitis alergi sebelumnya
(Diana and Haryuna, 2017).  
peningkatan resiko kejadian OMA pada anak yang tinggal serumah dengan perokok
sebesar OR 1,62 serta indeks kepercayaan 95% (CI 1,33- 1,97), untuk peningkatan resiko
kejadian OMA pada anak yang ibunya merokok setelah melahirkan sebesar OR 1,37 (CI
1,25-1,50), peningkatan resiko OMA pada anak yang ibunya merokok sebelum hamil
sebesar OR  1,11 (CI 0,93-1,31) dan akan adanya peningkatan resiko OMA pada anak 
yang ayahnya merokok sebesar OR 1,24 (CI 0,98-1,57) (Jones, 2012). Penelitian yang
dilakukan di Amerika dengan jumlah 412 anak 412 anak yang mederita OMA didapatkan
bahwa ada 155 (37,6 155 (37,6%) anak yang tinggal dengan orang tua perokok aktif.
Hasil penelitian yang didapatkan adanya  peningkatan  peningkatan resiko kejadian
kejadian OMA pada anak yang tinggal tinggal dengan orang tua perokok sebesar OR 2,19
dengan tingkat kepercayaan 95% (CI 1,17- 4,07) (Csákányi et al., 2012).

B.Tujuan
1.Tujuan Umum
Mengetahui tentang gambaran asuhan keperawatan pasien dengan otitis media, serta
mampu memberikan asuhan keperawatan  pada penderita otitis media.

2 Tujuan Khusus
1. Untuk Mengetahui Definisi D inisi Dari Otitis Me itis Media Akut
2. Untuk Mengetahui Anatomi Telinga
3. Untuk Mengetahui Etiologi Dari Otitis Media Akut
4. Untuk Mengetahui Pathway Dari Ot Dari Otitis Media Akut
5. Untuk Mengetahui Patofisiologi Otitis Media Akut
6. Untuk Mengetahui Manifestasi ifestasi Otitis Media Akut
7. Untuk Mengetahui Komplikasi Otit si Otitis Medi is Media Akut
8. Untuk Mengetahui Pemeriksaan Penunjang Otitis Media
9. Untuk Mengetahui Asuhan Keperawatan Dari Otitis Media  
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Definisi
Otitis Media merupakan peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah,
tuba eustachius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid. Otitis media berdasarkan
gejalanya dibagi menjadi dua antara lain otitis media supuratif dan non supuratif, dari
masing-masing golongan mempunyai  bentuk  bentuk akut dan kronis. kronis. Selain
itu terdapat terdapat juga otitis media spesifik, spesifik, seperti otitis media
tuberkulosa atau otitis media sifilitika. Otitis media adalah  peradangan sebagian
peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga eluruh mukosa telinga tengah, tuba
tengah, tuba eustakhius, eustakhius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid (Djaafar ZA,
2017). Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) atau yang biasa disebut “congek”
adalah radang kronis telinga tengah dengan adanya lubang (perforasi) pada gendang
telinga (membran timpani) dan riwayat keluarnya cairan (sekret) dari telinga (otore)
lebih dari 2 bulan, baik terus menerus atau hilang timbul. Sekret mungkin serous,
mukous, atau purulent (WHO, 2014). Otitis Media Akut merupakan peradangan
tengah yang terjadi secara cepat dan secara cepat dan singkat (dalam waktu kurang
dari 3 singkat (dalam waktu kurang dari 3 minggu) yang dis minggu) yang disertai
dengan gejala lokal dan sistemik (Munilson dkk). Menurut Muscari (2015: 219) otitis
media akut (OMA) merupakan inflamasi telinga bagian tengah dan salah satu
penyakit dengan prevalensi paling tinggi pada masa anakanak, dengan puncak
insidensi terjadi pada usia antara 6 bulan sampai 2 tahun. Hampir 70% anak akan
mengalami otitis media akut (OMA) paling sedikit satu periode otitis media

B. Anatomi dan fisiologi


1. anatomi system pendengaran
Telinga merupakan alat penerima gelombang suara atau gelombang udara
kemudian gelombang mekanik ini diubah menjadi impuls pulsa listrik dan listrik dan
diteruskan ke skan ke korteks pendengaran melalui ngaran melalui saraf pendengaran.
Telinga merupakan organ pendengaran dan keseimbangan. Telinga manusia
menerima dan mentransmisikan gelombang bunyi ke otak di mana bunyi tersebut
akan dianalisa dan diintrepetasikan.
2. anatomi telinga luar
Telinga luar terdiri dari daun telinga (aurikula), liang telinga (meatus acusticus
eksterna) sampai membran timpani bagian lateral. Daun telinga dibentuk oleh tulang
rawan dan otot serta ditutupi oleh kulit. Kearah liang telinga lapisan tulang rawan
berbentuk corong menutupi hampir seperti sepertiga 8 lateral, dua pertiga lateral, dua
pertiga lainnya liang telinga dibentu liang telinga dibentuk oleh tulang yang ditutupi
kulit yang melekat erat dan berhubungan dengan membran timpani. Bentuk daun
telinga dengan berbagai tonjolan dan cekungan serta bentuk liang telinga yang lurus
dengan panjang sekitar 2,5 cm, akan menyebabkan terjadinya resonansi bunyi sebesar
3500 Hz. Sepertiga bagian luar iga bagian luar terdiri dari tulang rawan dari tulang
rawan yang banyak mengan yang banyak mengandung   kelenjar serumen dan
rambut, sedangkan dua pertiga bagian dalam terdiri dari tulang dengan sedikit
serumen (Pearce, 2016)
3. anatomi telinga tengah Telinga tengah berbentuk kubus yang terdiri dari
membrana timpani, cavum timpani, tuba eustachius, dan tulang pendengaran. Bagian
atas membran timpani disebut pars flaksida (membran Shrapnell) yang terdiri dari
dua lapisan, yaitu dari dua lapisan, yaitu lapisan luar merupakan lanj lapisan luar
merupakan lanjutan epitel kulit liang telinga dan lapisan dalam dilapisi oleh sel kubus
bersilia. Bagian  bawah membran membran timpani timpani disebut disebut pars
tensa (membran (membran propria) propria) yang memiliki satu lapisan di tengah,
yaitu lapisan yang terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat elastin (Saladin, 2014).
Tulang pendengaran terdiri ngaran terdiri atas maleus (martil), inkus (landasan),
dan stapes (sanggurdi) yang tersusun dari luar kedalam seperti rantai yang
bersambung  bersambung dari membrana membrana timpani timpani menuju rongga
telinga telinga dalam. Prosesus longus maleus melekat pada membran timpani,
maleus melekat  pada inkus, dan inkus melekat melekat pada stapes. stapes. Stapes
terletak terletak pada tingkap tingkap lonjong yang berhubungan dengan koklea.
Hubungan antara tulang-tulang  pendengaran  pendengaran 9 merupakan merupakan
persendian. persendian. Tuba eustachius eustachius menghubungkan menghubungkan
daerah nasofaring dengan telinga tengah (Saladin, 2014). Prosessus mastoideus
merupakan bagian tulang temporalis yang terletak di belakang telinga. Ruang udara
yang berada pada bagian atasnya disebut antrum mastoideus yang berhubungan
dengan rongga telinga tengah. Infeksi dapat menjalar dari rongga telinga tengah
sampai ke antrum mastoideus yang dapat menyebabkan mastoiditis (Saladin, 2014).
4.anatomi telinga dalam Telinga dalam terdiri dari dua bagian, yaitu labirin tulang
dan labirin membranosa. Labirin tulang terdiri dari koklea, vestibulum, dan kanalis
semi sirkularis, sedangkan labirin membranosa terdiri dari utrikulus, sakulus, duktus
koklearis, dan duktus semi sirkularis. Rongga   labirin tulang dilapisi oleh lapisan
tipis periosteum internal atau endosteum, dan sebagian besar diisi oleh trabekula
(susunannya menyerupai spons) (Pearce, 2016).
2. fisiologi
fisiologi pendengaran pendengaran Proses mendengar diawali dengan
ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan
melalui udara atau tulang ke koklea. Getaran tersebut menggetarkan membran
timpani diteruskan ke telinga tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan
mengimpl akan mengimplikasi getaran melalui daya ungkit tulang daya ungkit tulang
pendengaran dan  perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lon
ngkap lonjong. Energi jong. Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan
ke stapes yang menggerakkan tingkap lonjong sehingga perilimfa pada skala
vestibule  bergerak. Getaran diteruskan melalui membrane Reissner yang mendorong
yang mendorong endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara
membran  basilaris  basilaris dan membran membran tektoria. tektoria. Proses ini
merupakan merupakan rangsang rangsang mekanik  mekanik  yang menyebabkan
terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi
penglepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses
depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan neurotransmiter ke dalam sinapsis yang
akan menimbulkan  potensial aksi  potensial aksi pada saraf pada saraf auditorius, lalu
auditorius, lalu dilanjutkan ke dilanjutkan ke nucleus auditorius nucleus auditorius
sampai ke korteks pendengaran (area 39-40) di lobus temporalis (Sherwood, 2014)

C.Klasifikasi
Otitis media OMA dalam perjalanan penyakitnya dibagi menjadi lima stadium,
bergantung  bergantung pada perubahan perubahan pada mukosa telinga telinga
tengah, tengah, yaitu stadium stadium oklusi tuba Eustachius, stadium hiperemis atau
stadium presupurasi, stadium supurasi, stadium perforasi dan stadium resolusi
(Djaafar, 2017)
1) Stadium Oklusi Tuba Eustachius Pada stadium ini, terdapat sumbatan tuba
Eustachiu tuba Eustachius yang ditandai oleh yang ditandai oleh retraksi membran
timpani akibat terjadinya tekanan intratimpan inya tekanan intratimpani negatif di
dalam telinga tengah, dengan adanya absorpsi udara. Retraksi membran timpani
terjadi dan posisi malleus menjadi lebih horizontal, refleks cahaya juga berkurang.
Edema yang terjadi pada tuba Eustachius  juga menyebabkannya tersumbat. Selain
retraksi, membran timpani kadang-kadang tetap normal dan tidak ada kelainan, atau
hanya  berwarna  berwarna keruh pucat. Efusi mungkin mungkin telah terjadi terjadi
tetapi tidak  dapat dideteksi. Stadium ini sulit dibedakan dengan tanda dari otitis
media serosa yang disebabkan oleh virus dan alergi. Tidak  terjadi demam pada
stadium ini (Djaafar, 2017; Dhingra, 2017).
2) Stadium Hipermis
Hiperemis atau Stadium Pre-supurasi Pada stadium ini,terjadi pelebaran
pembuluh darah di membran timpani, yang ditandai oleh membran timpani
mengalami hiperemis, edema mukosa dan adanya sekret eksudat serosa yang sulit
terlihat. Hiperemis disebabkan oleh oklusi tuba yang berpanjangan sehingga
terjadinya invasi oleh mikroorganisme piogenik. Proses inflamasi berlaku di telinga
tengah di telinga tengah dan membran timpani menjadi dan membran timpani
menjadi kongesti. Stadium ini merupakan tanda infeksi bakteri yang menyebabkan
pasien mengeluhkan otalgia, telinga rasa penuh dan demam. Pendengaran mungkin
masih normal atau terjadi gangguan ringan, tergantung dari cepatnya proses
hiperemis. Hal ini terjadi   karena terdapat tekanan udara yang meningkat di kavum
timpani. Gejala-gejala berkisar antara dua belas jam sampai dengan satu hari
(Djaafar, 2017; Dhingra, 2017)
3) Stadium Supurasi Stadium supurasi ditandai oleh terbentuknya sekret eksudat
purulen atau bernanah di telinga tengah dan juga di sel-sel mastoid. Selain itu edema
pada mukosa telinga tengah menjadi makin hebat dan sel epitel superfsial terhancur.
Terbentuknya eksudat yang purulen di kavum timpani menyebabkan membran
timpani menonjol atau bulging ke arah liang telinga luar. Pada keadaan ini, pasien
akan tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat serta rasa nyeri di telinga
bertambah hebat. Pasien selalu mbah hebat. Pasien selalu gelisah dan tidak dan tdak
dapat tidur dapat tidur nyenyak. Dapat disertai dengan gangguan pendengaran
konduksi.
4) Stadium Perforasi Stadium perforasi ditandai oleh ruptur oleh ruptur membran
timpani sehingga sekret berupa nanah yang nanah yang jumlahnya banyak akan hnya
banyak akan mengalir dari telinga tengah ke liang telinga luar. Kadang-kadang
pengeluaran sekret bersifat pulsasi (berdenyut). Stadium ini sering disebabkan oleh
terlambatnya pemberian antibiotik.
5) Stadium Resolusi Keadaan ini merupakan stadium akhir OMA yang diawali
dengan berkurangnya dan berhentinya otore. Stadium resolusi ditandai oleh membran
timpani berangsur normal hingga  perforasi  perforasi membran membran timpani
timpani menutup menutup kembali kembali dan sekret purulen purulen akan
berkurang dan akhirnya kering. Pendengaran kembali normal. Stadium ini
berlangsung walaupun tanpa pengobatan, jika membran timpani masih utuh, daya
tahan tubuh baik, dan virulensi kuman rendah. Apabila stadium resolusi gagal terjadi,
maka akan  berlanjut menjadi otitis  berlanjut menjadi otitis media supuratif kronik.
media supuratif kronik. Kegagalan stadium Kegagalan stadium ini berupa perforasi
membran timpani menetap, dengan sekret yang keluar secara terus-menerus atau
hilang timbul (Djaafar, 2017; Dhingra, 2017)

C. Etiologi
Menurut Adams (2019) penyebab otitis media akut antara lain :
1) Faktor pertahanan tubuh terganggu Telinga tengah biasanya steril, meskipun
terdapat mikroba dinasofaring dan faring. Secara fisiologik  terdapat mekanisme
pencegahan masuknya mikroba ke dalam telinga tengah oleh silia mukosa tuba
eustachius, enzim penghasil mukus (misalnya muramidase) dan antibodi.
2) Obstruksi tuba eusthachius Merupakan suatu faktor penyebab dasar   pada otitis
media akut, karena fungsi tuba eustachius eustachius terganggu, terganggu,
pencegahan  pencegahan invasi kuman ke telinga telinga tengah juga terganggu,
terganggu, sehingga sehingga kuman masuk kedalam telinga tengah dan terjadi
peradangan. Pada bayi terjadinya otitis media akut dipermudah karena tuba
eustachiusnya  pendek, lebar, dan agak horisontal letakny  pendek, lebar, dan agak
horisontal letaknya.
3) Infeksi saluran pernafa i saluran pernafasan atas Terutama diseb san atas
Terutama disebabkan oleh viru abkan oleh virus, pada s, pada anak makin sering
terserang infeksi saluran pernafasan atas makin besar  kemungkinan terjadinya otitis
media akut.

D.Patofisiologi
Patofisiologi OMA Penyebab terjadi OMA terdapat 3  bakteri  bakteri patogen
patogen yang paling sering pada otitis media akut (streptococcus (streptococcus
pneumoniae,  pneumoniae, haemophilus haemophilus influenzae, influenzae,
moraxella moraxella catarrahalis) catarrahalis) yang  berkolonisasi  berkolonisasi
pada nasofaring nasofaring mulai dari saat masa bayi dan dianggap dianggap sebagai
flora normal pada tubuh manusia. Bakteri patogen ini tidak  menimbulkan gejala atau
keluhan sampai terjadi perubahan pada lingkungan pada nasofaring. Virus pada
infeksi saluran pernafasan atas (upper tract infection) memiliki peran penting pada
patogenesis dari otitis media akut ini dimana virus ini menyebabkan inflamasi pada
nasofaring, yang menyebabkan perubahan pada sifat kepatuhan bakteri dan
kolonisasi,   dan gangguan fungsi dari tuba Eusthacius. Tuba Eusthacius adalah
pelindung  pelindung alami yang mencegah mencegah kolonisasi kolonisasi dari
nasofaring nasofaring ke telinga telinga tengah. Anak- anak biasanya rentan terhadap
otitis media akut karena imunitas sistemik yang tidak matang dan imunitas anatomi
yang tidak  matang (Maron dkk., 2015)

E.Pathway

INFEKSI BAKTERI

INFEKSI TELINGAH TENGAH

INFEKSI TELINGAH TENGAH

PROSES PERADANGAN PENINGKATAN CAIRAN SEROSA TEKANAN UDARA TELINGAH TENGAH (-)

NYERI AKUMULASI CAIRAN MUKUS RETRAKSI MEMBRAN TIMPANI

HAMBATAN SUARA UDARA MENURUN TERJADI EROSI PADA KANALIS

GANGGUAN PERSEPSI SENSORI RESIKO IJURY

F. Manifestasi Klinis
Manifestasi Klinis Gejala otitis media akut dapat bervariasi antara lain :
1) nyeri telinga (otalgia)
2) keluarnya cairan d airan dari tel ari telinga
3) demam
4) kehilangan pendengaran
5) tinitus
6) membran timpani tampak merah dan mengg dan menggelembung (Smeltzer &
Bare, 2015: 206).
Gejala otitis media kronik dapat bervariasi antara lain :
1) Telinga berair (otorrhoe) Sekret bersifat purulen atau mukoid tergantung
stadium peradangan. Sekret yang mukus dihasilkan oleh aktivitas kelenjar sekretorik
telinga tengah dan mastoid. Pada OMSK  tipe jinak, cairan yang keluar mukopurulen
yang tidak berbau busuk  yang sering kali yang sering kali sebagai reaksi inflama
reaksi inflamasi mukosa telinga tengah oleh  perforasi  perforasi membran membran
timpani. timpani. Keluarnya Keluarnya sekret biasanya biasanya hilang timbul. hilang
timbul. Meningkatnya jumlah sekret dapat disebabkan infeksi saluran nafas atas atau
kontaminasi dari liang telinga luar setelah mandi atau  berenang
2) Gangguan pendengaran Gangguan pendengaran tergantung dari derajat
kerusakan tulang-tulang pendengaran. Biasanya dijumpai tuli konduktif namun ada
juga bersifat tuli campuran. Gangguan  pendengaran  pendengaran mungkin mungkin
ringan sekalipun sekalipun proses patologi patologi sangat hebat, karena daerah yang
sakit ataupun kolesteatoma dapat menghambat  bunyi dengan efektif ke fenestra
ovalis
3) Otalgia ( nyeri teli eri telinga) Pada OMSK, keluhan nyeri dapa eri dapat
karena terbendungnya drainase sekret. Nyeri dapat menandakan adanya ancaman
komplikasi akibat hambatan pengaliran sekret, terpaparnya durameter atau dinding
sinus atau dinding sinus lateral lateralis, atau ancaman atau ancaman pembentukan
abses otak 
4) Vertigo  
5) Kurang Pendengaran

G. Komplikasi
Komplikasi otitis media adalah sebagai berikut:
1) Tuli konduktif persisten atau fluktuatif (berkurang ±25 dB) pada  pasien
dengan efusi telinga tengah
2) Anak dengan otitis media efusi kronis memiliki gangguan pada kemampuan
berbicara, bahasa, dan kognitif.
3) Perforasi sent asi sentral memb ral membran timp ran timpani dap ani dapat
meny at menyebabkan infek n infeksi kron si kronik   pada telinga tengah dan rongga
mastoid
4) Mastoiditis Mastoiditis akut dapat menginvasi tulang dan membentuk abses
subkutan ( Bezold’s  Bezold’s abscess abscess)
5) Penyebaran secara lokal maupun hematogen dapat menyebabkan infeksi pada
telinga bagian dalam, tulang temporal, otak, bahkan meningitis. Meningitis
merupakan komplikasi intrakranial yang paling serius

H.Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Penunjang dan Diagnostik Otitis Media Menurut Corrwin (2019),
pemeriksaan diagnostic untuk otitis media ialah :
1) Pemeriksaan otoskopi memberikan informasi tentang gendang telinga yang dapat
digunakan untuk mendiagnosis otitis media. Otitis media akut ditandai dengan
penonjolan gendang telinga yang   merah pada pemeriksaan otoskopi. Penanda tulang
dan reflek cahaya mungkin kabur.
2) Pemeriksaan memakai alat pneumonik dengan otoskopi fotoshop  pneumatic lebih
lanjut membantu mendiagnosa  pneumatic lebih lanjut membantu mendiagnosis otitis
media. Dengan menekan balon berisi udara Dengan menekan balon berisi udara yang
dihubungkan yang dihubungkan ke otoskop, ke otoskop,  bolus kecil udara dapat
diinjeksikan kedalam telinga luar. Pada otitis media akut dan otitis media dengan
efusi, mobilitas membrane timpani akan berkurang.
3) Timpanogram, suat am, suatu pemer u pemeriksaan ya iksaan yang mencangkup
pema up pemasangan sonde kecil pada telinga luar dan pengukuran gerakan
membrane timpani (gendang telinga) setelah adanya tonus yang terfiksasi,  juga dapat
digunakan untuk  juga dapat digunakan untuk mengevaluasi mobilotas mengevaluasi
mobilotas membrane membrane timpani.
4) Pemeriksaan radiologi memperlihat deficit pendengaran, yang meruapakan
indikasi penimbunan cairan (infeksi atau alergi). Menurut Betz dan Sowden (2019)
pemeriksaan diagnostic otitis media, yaitu :
A. Otoskopi pneumatik-untuk melihat membran timpani dan uji mobilitas membran
timpani B. Tim panogram untuk mengukur kelenturan dan kekakuan membrane
timpani
C. Kultur dan sensitivity disiapkan hanya bila dilakukan timpani osentesis (aspirasi
jarum pada telinga tengah melalui membran timpani)

I.Penatalaksanaan Medis
1) Pengobatan Penatalaksanaan OMA tergantung pada stadium  penyakitnya.
penyakitnya. Pada stadium stadium oklusi tuba, pengobatan pengobatan bertujuan
bertujuan untuk membuka kembali tuba Eustachius sehingga tekanan negatif  di
telinga tengah hilang. Diberikan obat tetes hidung HCl efedrin 0,5 % dalam larutan
fisiologik untuk anak kurang dari 12 tahun atau HCl efedrin 1 % dalam larutan
fisiologis untuk anak yang  berumur  berumur atas 12 tahun pada orang dewasa.
dewasa. Sumber infeksi infeksi harus diobati dengan pemberian antibiotik (Djaafar,
2017). Pada stadium   hiperemis dapat diberikan antibiotik, obat tetes hidung dan
analgesik. Dianjurkan pemberian antibiotik golongan penisilin atau eritromisin. Jika
terjadi resistensi, dapat diberikan kombinasi dengan asam klavulanat atau
sefalosporin. Untuk terapi awal diberikan penisilin intramuskular agar konsentrasinya
adekuat di dalam darah sehingga tidak terjadi mastoiditis terselubung, gangguan
pendengaran sebagai gejala sisa dan kekambuhan. Antibiotik diberikan minimal
selama 7 hari. Bila pasien alergi tehadap penisilin, diberikan eritromisin. Pada anak,
diberikan ampisilin 50-100 mg/kgBB/hari yang terbagi dalam empat dosis,
amoksisilin atau eritromisin masing-masing 50 mg/kgBB/hari yang terbagi dalam 3
dosis (Djaafar, 2017). Pada stadium Pada stadium supurasi, selain diberikan antibiot
selain diberikan antibiotik, pasien harus pasien harus dirujuk untuk melakukan
miringotomi bila membran timpani masih utuh sehingga gejala cepat hilang dan tidak
terjadi ruptur (Djaafar, 2017).
2) Pembedahan Terdapat beberapa tindakan pembedahan yang dapat menangani
OMA rekuren, seperti miringotomi dengan insersi tuba timpanosintesis, dan
adenoidektomi (Buchman, 2017).
a. Miringotomi
Miringotomi ialah tindakan insisi pada pars tensa membran timpani, supaya terjadi
drainase sekret dari telinga tengah ke liang telinga luar. Syaratnya adalah harus
dilakukan secara dapat dilihat langsung, anak harus tenang sehingga membran
timpani dapat dilihat dengan baik. Lokasi miringotomi ialah di kuadran posterior-
inferior. Bila terapi yang diberikan sudah adekuat, miringotomi tidak perlu dilakukan,
kecuali jika terdapat pus di telinga tengah (Djaafar, 2017). Indikasi miringostomi
pada anak dengan OMA adalah nyeri berat, demam, komplikasi OMA seperti paresis
nervus fasialis, mastoiditis, labirinitis, dan nitis, dan infeksi sistem saraf sistem saraf
pusat. Miringotomi merupakan terapi third-line pada pasien yang mengalami
kegagalan terhadap   dua kali dua kali terapi antibiotik pada satu episode OMA. Salah
satu tindakan miringotomi atau timpanosintesis dijalankan terhadap anak OMA yang
respon kurang memuaskan terhadap terapi second-line, untuk mengidentifikasi
mikroorganisme melalui kultur  (Kerschner, 2017).
b. Timpanosintesis Menurut Bluestone 2015) dalam Titisari (2015), timpanosintesis
merupakan pungsi pada membran timpani, dengan analgesia lokal supaya lokal
supaya mendapatkan sekret untuk tujuan pemeriksaan. Indikasi timpanosintesis
adalah terapi antibiotik tidak memuaskan, terdapat komplikasi supuratif,  pada bayi
baru lahir atau pasien yang sistem imun tubuh rendah. rendah. Menurut Buchman
(2013), pipa timpanostomi dapat menurun morbiditas OMA seperti otalgia, efusi
telinga tengah, gangguan  pendengaran  pendengaran secara signifikan signifikan
dibanding dibanding dengan plasebo plasebo dalam tiga penelitian prospertif,
randomized trial yang telah dijalankan.
3) Adenoidektomi Adenoidektomi efektif dalam menurunkan risiko terjadi otitis
media dengan efusi dan OMA rekuren, pada anak  yang pernah menjalankan
miringotomi dan insersi tuba timpanosintesis, tetapi hasil masih tidak memuaskan.
Pada anak  kecil dengan OMA rekuren yang tidak pernah didahului dengan insersi
tuba, tidak dianjurkan adenoidektomi, kecuali jika terjadi obstruksi jalan napas dan
rinosinusitis rekuren (Kerschner, 2017).

Anda mungkin juga menyukai