Anda di halaman 1dari 30

OTITIS MEDIA AKUT

TUGAS MATA KULIAH PERSEPSI SENSORI

NAMA KELOMPOK 3 :
1. ABDUL QODAS (1410001)
2. ANA SULISTIYOWATI (141000)
3. FANDI FATULLAH (14100)
4. IKA RETNO PALUPI N. H (1410021)
5. LULUK BADRIYAH (1410028)
6. SYAIFUL ANAM (14100)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ARTHA BODHI ISWARA
2015
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
rahmatNya sehingga penulis menyelesaikan penulisan makalah ini. Adapun tujuan
makalah kami yang berjudul ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN
OTITIS MEDIA AKUT (OMA) ini adalah untuk memenuhi tugas Mata Kuliah
Keperawatan Medikal Bedah.

Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada pembimbing yang telah


banyak membantu memberikan bimbingan dan arahan.

Penulis menyadari banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini. Oleh


karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi
kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Terima kasih.

Malang, 23 Oktober 2017

Kelompok 2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................... 2
DAFTAR ISI........................................................................................................ 3
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................................ 4
B. Rumusan Masalah ................................................................................... 5
C. Tujuan ..................................................................................................... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi OMA.......................................................................................... 7
B. Anatomi dan Fisiologi ............................................................................. 7
C. Etiologi OMA .......................................................................................... 12
D. Faktor Risiko ........................................................................................... 13
E. Gejala Klinis ............................................................................................ 14
F. Patofisiologi ............................................................................................. 15
G. Pemeriksaan Diagnostik ........................................................................... 23
H. Penatalaksanaan ....................................................................................... 24
I. Komplikasi ................................................................................................ 28
J. Pencegahan ............................................................................................... 28
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN OMA
A. Pengkajian ............................................................................................... 30
B. Diagnosa Keperawatan ............................................................................ 31
C. Intervensi Keperawatan ........................................................................... 31
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................. 34
B. Saran ........................................................................................................ 34
DAFTARPUSTAKA ........................................................................................... 35
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Otitis media akut (OMA) adalah peradangan akut telinga tengah. Penyakit ini masih
merupakan masalah kesehatan khususnya pada anak-anak. Diperkirakan 70% anak
mengalami satu atau lebih episode otitis media menjelang usia 3 tahun. Penyakit ini
terjadi terutama pada anak dari baru lahir sampai umur sekitar 7 tahun, dan setelah itu
insidennya mulai berkurang.
Anak umur 6-11 bulan lebih rentan menderita OMA. Insiden sedikit lebih tinggi
pada anak laki-laki dibanding perempuan. Sebagian kecil anak menderita penyakit ini
pada umur yang sudah lebih besar, pada umur empat dan awal lima tahun. Beberapa
bersifat individual dapat berlanjut menderita episode akut pada masa dewasa. Kadang-
kadang, orang dewasa dengan infeksi saluran pernafasan akut tapi tanpa riwayat sakit
pada telinga dapat menderita OMA.
Faktor-faktor risiko terjadinya OMA adalah bayi yang lahir prematur dan berat
badan lahir rendah, umur (sering pada anak-anak), anak yang dititipkan kepenitipan
anak, variasi musim dimana OMA lebih sering terjadi pada musim gugur dan musim
dingin, predisposisi genetik, kurangnya asupan air susu ibu, imunodefisiensi, gangguan
anatomi seperti celah palatum dan anomaly kraniofasial lain, alergi, lingkungan padat,
sosial ekonomi rendah, dan posisi tidur tengkurap.
Penatalaksanaan OMA tanpa komplikasi mendapat sejumlah tantangan unik.
Pilihan terapi OMA tanpa komplikasi berupa observasi dengan menghilangkan nyeri
(menggunakan asetaminofen atau ibuprofen), dan atau antibiotik. Di Amerika Serikat
(AS), kebanyakan anak dengan OMA secara rutin mendapat antibiotik. Cepatnya
perubahan spectrum patogen menyebabkan sulitnya pemilihan terapi yang paling
sesuai. Berkembangnya pengetahuan baru tentang patogenesis OMA, perubahan pola
resistensi, dan penggunaan vaksin baru memunculkan tantangan yang lebih lanjut pada
penatalaksanaan efektif pada OMA. Food and Drug Administration (FDA) menyetujui
penggunaan vaksin pneumokokus konjugat sebagai cara baru dalam menurunkan
prevalensi OMA dan mencegah sekuele dari infeksi telinga.
Beberapa peneliti dari Eropa Barat, Inggris, dan AS menyarankan bahwa anak
dengan OMA dapat diobservasi saja daripada diterapi segera dengan antibiotik. Di
Belanda, pengurangan penggunaan antibiotik untuk OMA sudah dipraktekkan sejak
tahun 1990an. Pada tahun 2004, American Academy of Pediatrics dan the American
Academy of Family Physicians mengeluarkan rekomendasi diagnosis dan
penatalaksanaan OMA. Menurut petunjuk rekomendasi ini, observasi
direkomendasikan tergantung pada umur pasien, kepastian diagnosis dan berat-
ringannya penyakit. Sekitar 80% anak sembuh tanpa antibiotik dalam waktu 3 hari.

1.2. Rumusan Masalah


1. Bagaimana konsep dari Otitis Media Akut (OMA) ?
2. Bagaimana Asuhan Keperawatan pada OMA ?

1.3. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami Asuhan Keperawatan pada pasien
dengan Otitis Media Akut (OMA)
2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa mampu memahami pengkajian dalam asuhan keperawatan dengan
Otitis Media Akut (OMA).
b. Mahasiswa mampu mengelompokkan data sesuai dengan tanda dan gejala pada
Otitis Media Akut (OMA)
c. Mahasiswa mampu merumuskan diagnosa keperawatan dalam asuhan
keperawatan dengan Otitis Media Akut (OMA)
d. Mahasiswa mampu membuat perencanaan dalam asuhan keperawatan Otitis
Media Akut (OMA)
e. Mahasiswa mampu melakukan intervensi/tindakan keperawatan dalam rangka
penerapan asuhan keperawatan dengan Otitis Media Akut (OMA)
f. Mahasiswa mampu mengevaluasi terhadap intervensi yang telah dilakukan
dalam asuhan keperawatan dengan Otitis Media Akut (OMA).
1.4. Manfaat
1. Manfaat bagi Mahasiswa
a. Mahasiswa mendapatkan pemahaman tentang konsep Penyakit Otitis Media
Akut (OMA).
b. Mahasiswa mendapatkan pemahaman tentang asuhan keperawatan pada
Penyakit Otitis Media Akut (OMA)
2. Manfaat bagi Akademik
a. Akademik mendapatkan tambahan referensi untuk melengkapi bahan
pembelajaran.
b. Akademik mendapatkan dorongan untuk memotivasi mahasiswa tentang Otitis
Media Akut (OMA) melalui proses belajar dan praktik dilapangan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Otitis Media adalah peradangan pada sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah,
tuba Eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid. Otitis media berdasarkan
gejalanya dibagi atas otitis media supuratif dan otitis media non supuratif, di mana
masing-masing memiliki bentuk yang akut dan kronis. Selain itu, juga terdapat jenis
otitis media spesifik, seperti otitis media tuberkulosa, otitis media sifilitika. Otitis
media yang lain adalah otitis media adhesiva (Djaafar, 2007).
Otitis media akut (OMA) adalah peradangan telinga tengah dengan gejala dan
tanda-tanda yang bersifat cepat dan singkat. Gejala dan tanda klinik lokal atau sistemik
dapat terjadi secara lengkap atau sebagian, baik berupa otalgia, demam, gelisah, mual,
muntah, diare, serta otore, apabila telah terjadi perforasi membran timpani. Pada
pemeriksaan otoskopik juga dijumpai efusi telinga tengah (Buchman, 2003).
Terjadinya efusi telinga tengah atau inflamasi telinga tengah ditandai dengan
membengkak pada membran timpani atau bulging, mobilitas yang terhad pada
membran timpani, terdapat cairan di belakang membran timpani, dan otore (Kerschner,
2007).

2.2. Stadium OMA


OMA dalam perjalanan penyakitnya dibagi menjadi lima stadium, bergantung pada
perubahan pada mukosa telinga tengah, yaitu stadium oklusi tuba Eustachius, stadium
hiperemis atau stadium pre-supurasi, stadium supurasi, stadium perforasi dan stadium
resolusi (Djaafar, 2007).
1. Stadium Oklusi Tuba Eustachius
Pada stadium ini, terdapat sumbatan tuba Eustachius yang ditandai oleh
retraksi membran timpani akibat terjadinya tekanan intratimpani negatif di dalam
telinga tengah, dengan adanya absorpsi udara. Retraksi membran timpani terjadi
dan posisi malleus menjadi lebih horizontal, refleks cahaya juga berkurang. Edema
yang terjadi pada tuba Eustachius juga menyebabkannya tersumbat. Selain retraksi,
membran timpani kadang- kadang tetap normal dan tidak ada kelainan, atau hanya
berwarna keruh pucat. Efusi mungkin telah terjadi tetapi tidak dapat dideteksi.
Stadium ini sulit dibedakan dengan tanda dari otitis media serosa yang disebabkan
oleh virus dan alergi. Tidak terjadi demam pada stadium ini (Djaafar, 2007;
Dhingra, 2007).

2. Stadium Hiperemis atau Stadium Pre-supurasi


Pada stadium ini, terjadi pelebaran pembuluh darah di membran timpani,
yang ditandai oleh membran timpani mengalami hiperemis, edema mukosa dan
adanya sekret eksudat serosa yang sulit terlihat. Hiperemis disebabkan oleh oklusi
tuba yang berpanjangan sehingga terjadinya invasi oleh mikroorganisme piogenik.
Proses inflamasi berlaku di telinga tengah dan membran timpani menjadi kongesti.
Stadium ini merupakan tanda infeksi bakteri yang menyebabkan pasien
mengeluhkan otalgia, telinga rasa penuh dan demam. Pendengaran mungkin masih
normal atau terjadi gangguan ringan, tergantung dari cepatnya proses hiperemis.
Hal ini terjadi karena terdapat tekanan udara yang meningkat di kavum timpani.
Gejala-gejala berkisar antara dua belas jam sampai dengan satu hari (Djaafar, 2007;
Dhingra, 2007).

3. Stadium Supurasi
Stadium supurasi ditandai oleh terbentuknya sekret eksudat purulen atau
bernanah di telinga tengah dan juga di sel-sel mastoid. Selain itu edema pada
mukosa telinga tengah menjadi makin hebat dan sel epitel superfisial terhancur.
Terbentuknya eksudat yang purulen di kavum timpani menyebabkan membran
timpani menonjol atau bulging ke arah liang telinga luar.
Pada keadaan ini, pasien akan tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat
serta rasa nyeri di telinga bertambah hebat. Pasien selalu gelisah dan tidak dapat
tidur nyenyak. Dapat disertai dengan gangguan pendengaran konduktif. Pada bayi
demam tinggi dapat disertai muntah dan kejang.
Stadium supurasi yang berlanjut dan tidak ditangani dengan baik akan
menimbulkan iskemia membran timpani, akibat timbulnya nekrosis mukosa dan
submukosa membran timpani. Terjadi penumpukan nanah yang terus berlangsung
di kavum timpani dan akibat tromboflebitis vena-vena kecil, sehingga tekanan
kapiler membran timpani meningkat, lalu menimbulkan nekrosis. Daerah nekrosis
terasa lebih lembek dan berwarna kekuningan atau yellow spot.
Keadaan stadium supurasi dapat ditangani dengan melakukan miringotomi.
Bedah kecil ini kita lakukan dengan menjalankan insisi pada membran timpani
sehingga nanah akan keluar dari telinga tengah menuju liang telinga luar. Luka
insisi pada membran timpani akan menutup kembali, sedangkan apabila terjadi
ruptur, lubang tempat perforasi lebih sulit menutup kembali. Membran timpani
mungkin tidak menutup kembali jikanya tidak utuh lagi (Djaafar, 2007; Dhingra,
2007).

4. Stadium Perforasi
Stadium perforasi ditandai oleh ruptur membran timpani sehingga sekret
berupa nanah yang jumlahnya banyak akan mengalir dari telinga tengah ke liang
telinga luar. Kadang-kadang pengeluaran sekret bersifat pulsasi (berdenyut).
Stadium ini sering disebabkan oleh terlambatnya pemberian antibiotik dan
tingginya virulensi kuman. Setelah nanah keluar, anak berubah menjadi lebih
tenang, suhu tubuh menurun dan dapat tertidur nyenyak.
Jika mebran timpani tetap perforasi dan pengeluaran sekret atau nanah tetap
berlangsung melebihi tiga minggu, maka keadaan ini disebut otitis media supuratif
subakut. Jika kedua keadaan tersebut tetap berlangsung selama lebih satu setengah
sampai dengan dua bulan, maka keadaan itu disebut otitis media supuratif kronik
(Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).
5. Stadium Resolusi
Keadaan ini merupakan stadium akhir OMA yang diawali dengan
berkurangnya dan berhentinya otore. Stadium resolusi ditandai oleh membran
timpani berangsur normal hingga perforasi membran timpani menutup kembali dan
sekret purulen akan berkurang dan akhirnya kering. Pendengaran kembali normal.
Stadium ini berlangsung walaupun tanpa pengobatan, jika membran timpani masih
utuh, daya tahan tubuh baik, dan virulensi kuman rendah.
Apabila stadium resolusi gagal terjadi, maka akan berlanjut menjadi otitis
media supuratif kronik. Kegagalan stadium ini berupa perforasi membran timpani
menetap, dengan sekret yang keluar secara terus-menerus atau hilang timbul.
Otitis media supuratif akut dapat menimbulkan gejala sisa berupa otitis
media serosa. Otitis media serosa terjadi jika sekret menetap di kavum timpani
tanpa mengalami perforasi membran timpani (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).

2.3. Etiologi
1. Bakteri
Bakteri piogenik merupakan penyebab OMA yang tersering. Menurut
penelitian, 65-75% kasus OMA dapat ditentukan jenis bakteri piogeniknya melalui
isolasi bakteri terhadap kultur cairan atau efusi telinga tengah. Kasus lain tergolong
sebagai non- patogenik karena tidak ditemukan mikroorganisme penyebabnya. Tiga
jenis bakteri penyebab otitis media tersering adalah Streptococcus pneumoniae
(40%), diikuti oleh Haemophilus influenzae (25-30%) dan Moraxella catarhalis
(10-15%). Kira-kira 5% kasus dijumpai patogen-patogen yang lain seperti
Streptococcus pyogenes (group A beta- hemolytic), Staphylococcus aureus, dan
organisme gram negatif. Staphylococcus aureus dan organisme gram negatif banyak
ditemukan pada anak dan neonatus yang menjalani rawat inap di rumah sakit.
Haemophilus influenzae sering dijumpai pada anak balita. Jenis mikroorganisme
yang dijumpai pada orang dewasa juga sama dengan yang dijumpai pada anak-anak
(Kerschner, 2007).
2. Virus
Virus juga merupakan penyebab OMA. Virus dapat dijumpai tersendiri atau
bersamaan dengan bakteri patogenik yang lain. Virus yang paling sering dijumpai
pada anak-anak, yaitu respiratory syncytial virus (RSV), influenza virus, atau
adenovirus (sebanyak 30-40%). Kira-kira 10-15% dijumpai parainfluenza virus,
rhinovirus atau enterovirus. Virus akan membawa dampak buruk terhadap fungsi
tuba Eustachius, menganggu fungsi imun lokal, meningkatkan adhesi bakteri,
menurunkan efisiensi obat antimikroba dengan menganggu mekanisme
farmakokinetiknya (Kerschner, 2007). Dengan menggunakan teknik polymerase
chain reaction (PCR) dan virus specific enzyme-linked immunoabsorbent assay
(ELISA), virus-virus dapat diisolasi dari cairan telinga tengah pada anak yang
menderita OMA pada 75% kasus (Buchman, 2003).

2.4. Faktor Risiko


Faktor risiko terjadinya otitis media adalah umur, jenis kelamin, ras, faktor
genetik, status sosioekonomi serta lingkungan, asupan air susu ibu (ASI) atau susu
formula, lingkungan merokok, kontak dengan anak lain, abnormalitas kraniofasialis
kongenital, status imunologi, infeksi bakteri atau virus di saluran pernapasan atas,
disfungsi tuba Eustachius, inmatur tuba Eustachius dan lain-lain (Kerschner, 2007).
Faktor umur juga berperan dalam terjadinya OMA. Peningkatan insidens OMA
pada bayi dan anak-anak kemungkinan disebabkan oleh struktur dan fungsi tidak
matang atau imatur tuba Eustachius. Selain itu, sistem pertahanan tubuh atau status
imunologi anak juga masih rendah. Insidens terjadinya otitis media pada anak laki-laki
lebih tinggi dibanding dengan anak perempuan. Anak-anak pada ras Native American,
Inuit, dan Indigenous Australian menunjukkan prevalensi yang lebih tinggi dibanding
dengan ras lain. Faktor genetik juga berpengaruh. Status sosioekonomi juga
berpengaruh, seperti kemiskinan, kepadatan penduduk, fasilitas higiene yang terbatas,
status nutrisi rendah, dan pelayanan pengobatan terbatas, sehingga mendorong
terjadinya OMA pada anak- anak. ASI dapat membantu dalam pertahanan tubuh. Oleh
karena itu, anak-anak yang kurangnya asupan ASI banyak menderita OMA.
Lingkungan merokok menyebabkan anak-anak mengalami OMA yang lebih signifikan
dibanding dengan anak-anak lain. Dengan adanya riwayat kontak yang sering dengan
anak-anak lain seperti di pusat penitipan anak-anak, insidens OMA juga meningkat.
Anak dengan adanya abnormalitas kraniofasialis kongenital mudah terkena OMA
karena fungsi tuba Eustachius turut terganggu, anak mudah menderita penyakit telinga
tengah. Otitis media merupakan komplikasi yang sering terjadi akibat infeksi saluran
napas atas, baik bakteri atau virus (Kerschner, 2007).

2.5. Manifestasi Klinis


Gejala klinis yang umumnya dirasakan oleh penderita otitis media akut, antara lain :
1. Keluar cairan putih dari telinga.
2. Edema pada membran timpani.
3. Nadi dan suhu meningkat.
4. Nyeri hebat di telinga.
5. Terdapat sensasi penuh ditelinga.
6. Penurunan fungsi pendengaran.
Gejala klinis OMA bergantung pada stadium penyakit serta umur pasien. Pada anak
yang sudah dapat berbicara keluhan utama adalah rasa nyeri di dalam telinga, di
samping suhu tubuh yang tinggi. Biasanya terdapat riwayat batuk pilek sebelumnya.
Pada anak yang lebih besar atau pada orang dewasa, selain rasa nyeri, terdapat
gangguan pendengaran berupa rasa penuh di telinga atau rasa kurang mendengar. Pada
bayi dan anak kecil, gejala khas OMA adalah suhu tubuh tinggi dapat mencapai 39,5C
(pada stadium supurasi), anak gelisah dan sukar tidur, tiba-tiba anak menjerit waktu
tidur, diare, kejang-kejang dan kadang-kadang anak memegang telinga yang sakit. Bila
terjadi ruptur membran timpani, maka sekret mengalir ke liang telinga, suhu tubuh
turun dan anak tidur tenang (Djaafar, 2007).
Penilaian klinik OMA digunakan untuk menentukan berat atau ringannya suatu
penyakit. Penilaian berdasarkan pada pengukuran temperatur, keluhan orang tua pasien
tentang anak yang gelisah dan menarik telinga atau tugging, serta membran timpani
yang kemerahan dan membengkak atau bulging.

Menurut Dagan (2003) dalam Titisari (2005), skor OMA adalah seperti berikut:
Kemerahan Bengkak
Tarik Pada Pada
Skor Suhu Gelisah
telinga Membran Membran
Timpani Timpani
0 < 38,0 Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
1 38,0 38,5 Ringan Ringan Ringan Ringan
2 38,6 39,0 Sedang Sedang Sedang Sedang
3 > 39,0 Berat Berat Berat Berat,
termasuk
otore

Penilaian derajat OMA dibuat berdasarkan skor. Bila didapatkan angka 0 hingga 3,
berarti OMA ringan dan bila melebihi 3, berarti OMA berat. Pembagian OMA lainnya yaitu
OMA berat apabila terdapat otalgia berat atau sedang, suhu lebih atau sama dengan 39C
oral atau 39,5C rektal. OMA ringan bila nyeri telinga tidak hebat dan demam kurang dari
39C oral atau 39,5C rektal (Titisari, 2005).
2.6. PATHWAYS Infeksi sekunder (ISPA) Bakteri Trauma, Benda Asing
Streptococcus, Hemophylus
Influenza
Ruptur Gendang Telinga

Invasi Bakteri

Infeksi telinga tengah


(kavum timpani, tuba eustachius)

Kesulitan/sakit Proses peradangan Peningkatan produksi cairan Tekanan udara pd telinga Pengobatan tdk tuntas Kurangnya
menelan dan serosa tengah (-) Episode berulang Informasi
mengunyah
Nyeri Akumulasi cairan mukus Retraksi membran
dan serosa timpani Infeksi berlanjut dpt sampai
ke telinga dalam Kurang
Resiko pemenuhan
pengetahuan
kebuth nutrisi
kurang dari Ruptur membran timpani krn Hantaran suara / udara yg
kebuth desakan diterima menurun Merusak tulang krn
Tjd erosi pd kanalis adanya epitel skuamosa
Tinitus
semisirkularis di dlm rongga telinga
Penurunan fungsi
pendengaran tengah (kolesteatom)
Sekret keluar dan berbau Tuli konduktif ringan
tidak enak (otorrhoe)
Pening / vertigo
Kesimb. Tbh menurun
Tindakan operasi dgn
Ggn persepsi mastoidektomi
sensori
Ggn Body Image Resiko tjd injuri /
pendengaran
trauma

Nyeri Cemas Resiko


akut Infeksi
2.7. Patofisiologi
OMA pada sebagian besar anak-anak dimulai oleh infeksi saluran
pernapasan atas (ISPA) atau alergi, sehingga terjadi kongesti dan edema pada
mukosa saluran napas atas, termasuk nasofaring dan tuba Eustachius. Tuba
Eustachius menjadi sempit, sehingga terjadi sumbatan tekanan negatif pada
telinga tengah. Bila keadaan demikian berlangsung lama akan menyebabkan
refluks dan aspirasi virus atau bakteri dari nasofaring ke dalam telinga tengah
melalui tuba Eustachius.
Mukosa telinga tengah bergantung pada tuba Eustachius untuk mengatur
proses ventilasi yang berkelanjutan dari nasofaring. Jika terjadi gangguan
akibat obstruksi tuba, akan mengaktivasi proses inflamasi kompleks dan
terjadi efusi cairan ke dalam telinga tengah. Ini merupakan faktor pencetus
terjadinya OMA dan otitis media dengan efusi. Bila tuba Eustachius
tersumbat, drainase telinga tengah terganggu, mengalami infeksi serta terjadi
akumulasi sekret di telinga tengah, kemudian terjadi proliferasi mikroba
patogen pada sekret.
Akibat dari infeksi virus saluran pernapasan atas, sitokin dan mediator-
mediator inflamasi yang dilepaskan akan menyebabkan disfungsi tuba
Eustachius. Virus respiratori juga dapat meningkatkan kolonisasi dan adhesi
bakteri, sehingga menganggu pertahanan imum pasien terhadap infeksi
bakteri. Jika sekret dan pus bertambah banyak dari proses inflamasi lokal,
perndengaran dapat terganggu karena membran timpani dan tulang- tulang
pendengaran tidak dapat bergerak bebas terhadap getaran. Akumulasi cairan
yang terlalu banyak akhirnya dapat merobek membran timpani akibat
tekanannya yang meninggi (Kerschner, 2007).
Obstruksi tuba Eustachius dapat terjadi secara intraluminal dan
ekstraluminal. Faktor intraluminal adalah seperti akibat ISPA, dimana proses
inflamasi terjadi, lalu timbul edema pada mukosa tuba serta akumulasi sekret
di telinga tengah. Selain itu, sebagian besar pasien dengan otitis media
dihubungkan dengan riwayat fungsi abnormal dari tuba Eustachius, sehingga
mekanisme pembukaan tuba terganggu. Faktor ekstraluminal seperti tumor,
dan hipertrofi adenoid (Kerschner, 2007).
2.8. Penatalaksanaan Medis
Terapi bergantung pada stadium penyakitnya. Pengobatan pada stadium
awal ditujukan untuk mengobati infeksi saluran napas, dengan pemberian
antibiotik, dekongestan lokal atau sistemik, dan antipiretik.
1. Stadium Oklusi
Terapi ditujukan untuk membuka kembali tuba Eustachius sehingga
tekanan negatif di telinga tengah hilang. Diberikan obat tetes hidung HCl
efedrin 0,25 % untuk anak < 12 tahun atau HCl efedrin 0,5 % dalam
larutan fisiologis untuk anak diatas 12 tahun dan dewasa. Sumber infeksi
lokal harus diobati. Antibiotik diberikan bila penyebabnya kuman.
2. Stadium Presupurasi
Diberikan antibiotik, obat tetes hidung dan analgesik. Bila membran
timpani sudah terlihat hiperemis difus, sebaiknya dilakukan miringotomi.
Dianjurkan pemberian antibiotik golongan penisilin atau eritromisin. Jika
terjadi resistensi, dapat diberikan kombinasi dengan asam klavulanat atau
sefalosporin. Untuk terapi awal diberikan penisilin intramuskular agar
konsentrasinya adekuat di dalam darah sehingga tidak terjadi mastoiditis
terselubung, gangguan pendengaran sebagai gejala sisa dan kekambuhan.
Antibiotik diberikan minimal selama 7 hari.
3. Stadium Supurasi
Selain antibiotik, pasien harus dirujuk untuk melakukan miringotomi bila
membran timpani masih utuh sehingga gejala cepat hilang dan tidak terjadi
ruptur.
4. Stadium Perforasi
Terlihat sekret banyak keluar, kadang secara berdenyut. Diberikan obat
cuci telinga H2O2 3% selama 3-5 hari serta antibiotik yang adekuat sampai
3 minggu. Biasanya sekret akan hilang dan perforasi akan menutup sendiri
dalam 7-10 hari.
5. Stadium Resolusi
Membran timpani berangsur normal kembali, sekret tidak ada lagi, dan
perforasi menutup. Bila tidak, antibiotik dapat dilanjutkan sampai 3
minggu. Bila tetap, mungkin telah terjadi mastoiditis.
Pengobatan yang biasa diberikan adalah:
1. Antibiotik
OMA umumnya adalah penyakit yang akan sembuh dengan
sendirinya. Sekitar 80% OMA sembuh dalam 3 hari tanpa antibiotik.
Penggunaan antibiotik tidak mengurangi komplikasi yang dapat terjadi,
termasuk berkurangnya pendengaran. Observasi dapat dilakukan pada
sebagian besar kasus. Jika gejala tidak membaik dalam 48-72 jam atau ada
perburukan gejala, antibiotik diberikan. American Academy of Pediatrics
(AAP) mengkategorikan OMA yang dapat diobservasi dan yang harus
segera diterapi dengan antibiotik sebagai berikut:
Yang dimaksud dengan gejala ringan adalah nyeri telinga ringan
dan demam <39C dalam 24 jam terakhir. Sedangkan gejala berat adalah
nyeri telinga sedang berat atau demam 39C. Pilihan observasi selama
48-72 jam hanya dapat dilakukan pada anak usia enam bulan dua tahun
dengan gejala ringan saat pemeriksaan, atau diagnosis meragukan pada
anak di atas dua tahun. Untuk dapat memilih observasi, follow-up harus
dipastikan dapat terlaksana. Analgesia tetap diberikan pada masa
observasi.
British Medical Journal memberikan kriteria yang sedikit berbeda
untuk menerapkan observasi ini. Menurut BMJ, pilihan observasi dapat
dilakukan terutama pada anak tanpa gejala umum seperti demam dan
muntah. Jika diputuskan untuk memberikan antibiotik, pilihan pertama
untuk sebagian besar anak adalah amoxicillin.
a. Sumber seperti AAFP (American Academy of Family Physician)
menganjurkan pemberian 40 mg/kg berat badan/hari pada anak dengan
risiko rendah dan 80 mg/kg berat badan/hari untuk anak dengan risiko
tinggi. Risiko tinggi yang dimaksud antara lain adalah usia kurang dari
dua tahun, dirawat sehari-hari di daycare, dan ada riwayat pemberian
antibiotik dalam tiga bulan terakhir.
b. WHO menganjurkan 15 mg/kg berat badan/pemberian dengan
maksimumnya 500 mg.
c. AAP menganjurkan dosis 80-90 mg/kg berat badan/hari. Dosis ini
terkait dengan meningkatnya persentase bakteri yang tidak dapat
diatasi dengan dosis standar di Amerika Serikat. Sampai saat ini di
Indonesia tidak ada data yang mengemukakan hal serupa, sehingga
pilihan yang bijak adalah menggunakan dosis 40 mg/kg/hari.
Dokumentasi adanya bakteri yang resisten terhadap dosis standar harus
didasari hasil kultur dan tes resistensi terhadap antibiotik.
d. Buku ajar THT UI menganjurkan pemberian pada anak, ampisilin
diberikan dengan dosis 50-100 mg/BB per hari, dibagi dalam 4 dosis,
atau amoksisilin 40 mg/BB/hari dibagi dalam 3 dosis, atau eritromisin
40 mg/BB/hari.

Antibiotik pada OMA akan menghasilkan perbaikan gejala dalam


48-72 jam. Dalam 24 jam pertama terjadi stabilisasi, sedang dalam 24 jam
kedua mulai terjadi perbaikan. Jika pasien tidak membaik dalam 48-72
jam, kemungkinan ada penyakit lain atau pengobatan yang diberikan tidak
memadai. Dalam kasus seperti ini dipertimbangkan pemberian antibiotik
lini kedua. Misalnya:
a. Pada pasien dengan gejala berat atau OMA yang kemungkinan
disebabkan Haemophilus influenzae dan Moraxella catarrhalis,
antibiotik yang kemudian dipilih adalah amoxicillin-clavulanate.
Sumber lain menyatakan pemberian amoxicillin-clavulanate dilakukan
jika gejala tidak membaik dalam tujuh hari atau kembali muncul dalam
14 hari.
b. Jika pasien alergi ringan terhadap amoxicillin, dapat diberikan
cephalosporin seperti cefdinir, cefpodoxime, atau cefuroxime.
c. Pada alergi berat terhadap amoxicillin, yang diberikan adalah
azithromycin atau clarithromycin.
d. Pilihan lainnya adalah erythromycin-sulfisoxazole atau
sulfamethoxazole-trimethoprim. Namun kedua kombinasi ini bukan
pilihan pada OMA yang tidak membaik dengan amoxicillin.
e. Jika pemberian amoxicillin-clavulanate juga tidak memberikan hasil,
pilihan yang diambil adalah ceftriaxone selama tiga hari.Perlu
diperhatikan bahwa cephalosporin yang digunakan pada OMA
umumnya merupakan generasi kedua atau generasi ketiga dengan
spektrum luas. Demikian juga azythromycin atau clarythromycin.
Antibiotik dengan spektrum luas, walaupun dapat membunuh lebih
banyak jenis bakteri, memiliki risiko yang lebih besar. Bakteri normal
di tubuh akan dapat terbunuh sehingga keseimbangan flora di tubuh
terganggu. Selain itu risiko terbentuknya bakteri yang resisten terhadap
antibiotik akan lebih besar. Karenanya, pilihan ini hanya digunakan
pada kasus-kasus dengan indikasi jelas penggunaan antibiotik ini
kedua.
Pemberian antibiotik pada otitis media dilakukan selama sepuluh
hari pada anak berusia di bawah dua tahun atau anak dengan gejala berat. 6
Pada usia enam tahun ke atas, pemberian antibiotik cukup 5-7 hari. Di
Inggris, anjuran pemberian antibiotik adalah 3-7 hari atau lima hari.
Ulasan dari Cochrane menunjukkan tidak adanya perbedaan bermakna
antara pemberian antibiotik dalam jangka waktu kurang dari tujuh hari
dibandingkan dengan pemberian lebih dari tujuh hari. Dan karena itu
pemberian antibiotik selama lima hari dianggap cukup pada otitis media.
Pemberian antibiotik dalam waktu yang lebih lama meningkatkan risiko
efek samping dan resistensi bakteri.

2. Analgesik
Selain antibiotik, penanganan OMA selayaknya disertai penghilang
nyeri (analgesia). Analgesia yang umumnya digunakan adalah analgesia
sederhana seperti paracetamol atau ibuprofen. Namun perlu diperhatikan
bahwa pada penggunaan ibuprofen, harus dipastikan bahwa anak tidak
mengalami gangguan pencernaan seperti muntah atau diare karena
ibuprofen dapat memperparah iritasi saluran cerna.

3. Pembedahan
Myringotomy (myringotomy: melubangi gendang telinga untuk
mengeluarkan cairan yang menumpuk di belakangnya) juga hanya
dilakukan pada kasus-kasus khusus di mana terjadi gejala yang sangat
berat atau ada komplikasi. Cairan yang keluar harus dikultur (Brunner and
sudarth, 2002).

2.9. Pemeriksaan Penunjang


1. Otoscope untuk melakukan auskultasi pada bagian telinga luar
2. Timpanogram untuk mengukur keseuaian dan kekakuan membrane
timpani.
3. Kultur dan uji sensitifitas ; dilakukan bila dilakukan timpanosentesis
(Aspirasi jarum dari telinga tengah melalui membrane timpani).
4. Laboratorium
Biasanya tidak diperlukan tes laboraturium sampai infeksi mereda dan
pemeriksaan tindak lanjut akan mencakup audiometri dan timpanometri
bila terdapat otore, contoh nanah dapat diambil untuk pemeriksaan kultur
dan sensitivitas antimikroba.
5. CT Scan dan MRI (Sudoyo, 2007).

2.10. Komplikasi
Sebelum adanya antibiotik, OMA dapat menimbulkan komplikasi, mulai
dari abses subperiosteal sampai abses otak dan meningitis. Sekarang semua
jenis komplikasi tersebut biasanya didapat pada otitis media supuratif kronik.
Mengikut Shambough (2003) dalam Djaafar (2005), komplikasi OMA terbagi
kepada komplikasi intratemporal (perforasi membran timpani, mastoiditis akut
, paresis nervus fasialis, labirinitis, petrositis), ekstratemporal (abses
subperiosteal), dan intracranial (abses otak, tromboflebitis). Komplikasi yang
serius adalah: Infeksi pada tulang di sekitar telinga tengah (mastoiditis atau
petrositis) Labirinitis (infeksi pada kanalis semisirkuler) Kelumpuhan pada
wajah, Tuli Peradangan pada selaput otak (meningitis) (Sudoyo, 2007 &
Smelter, 2001).

2.11. Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
Data yang muncul saat pengkajian:
a. Sakit telinga/nyeri
b. Penurunan/tak ada ketajaman pendengaran pada satu atau kedua
telinga
c. Tinitus
d. Perasaan penuh pada telinga
e. Suara bergema dari suara sendiri
f. Bunyi letupan sewaktu menguap atau menelan
g. Vertigo, pusing, gatal pada telinga
h. Penggunaan minyak, kapas lidi, peniti untuk membersihkan telinga
i. Tanda-tanda vital (suhu bisa sampai 40o C), demam
j. Kemampuan membaca bibir atau memakai bahasa isyarat
k. Reflek kejut
l. Toleransi terhadap bunyi-bunyian keras
m. Tipe warna 2 jumlah cairan
n. Cairan telinga; hitam, kemerahan, jernih, kuning
o. Dengan otoskop tuba eustacius bengkak, merah, suram
p. Adanya riwayat infeksi saluran pernafasan atas, infeksi telinga
sebelumnya, alergi.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi ditandai dengan
suhu tubuh pasien meningkat (38oC).
b. Nyeri berhubungan dengan penarikan membran timpani karena
tekanan dalam telinga ditandai dengan pasien terlihat meringis.
c. Resiko infeksi berhubungan dengan penumpukan eksudat transudat
dalam telinga
d. Gangguan persepsi sensori (pendengaran) berhubungan dengan
penumpukan pus sehingga Gendang telinga dan tulang-tulang kecil
penghubung gendang telinga dengan organ pendengaran di telinga
dalam tidak dapat bergerak bebas ditandai dengan pasien
mengalami gangguan pendengaran.
e. Gangguan citra diri berhubungan dengan penurunan fungsi
pendengaran ditandai dengan penolakan terhadap berbagai
perubahan aktual.
f. Kurangnya pengetahuan tentang penyakit, prognosis dan
pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi,
keterbatasan kognitif ditandai dengan sering bertanya, menyatakan
masalahnya, dan tidak akurat dalam mengikuti
instruksi/pencegahan komplikasi.
3. Perencanaan

NO Dx Tujuan dan Intervensi Rasional


Kriteria Hasil
1. 1 Setelah diberikan 1. Kaji suhu tubuh pasien 1. Mengetahui peningkatan suhu
asuhan keperawatan tubuh, memudahkan intervensi
selama 3 x 24 jam 2. Beri kompres air hangat
diharapkan suhu tubuh 2. Mengurangi panas dengan
pasien kembali normal pemindahan panas secara
dengan KH : suhu konduksi. Air hangat
tubuh mengontrol pemindahan panas
3. Berikan/anjurkan pasien untuk
( 36,5 37,50C) secara perlahan tanpa
banyak minum 1500-2000
menyebabkan hipotermi atau
cc/hari (sesuai toleransi)
menggigil.
3. Untuk mengganti cairan tubuh
4. Anjurkan pasien untuk
yang hilang akibat evaporasi.
menggunakan pakaian yang
tipis dan mudah menyerap
keringat.
4. Memberikan rasa nyaman dan
pakaian yang tipis mudah
menyerap keringat dan tidak
merangsang peningkatan suhu
tubuh.
2. 2 Setelah diberikan 1. Tentukan riwayat nyeri, 1. Memberikan informasi yang
asuhan keparawatan lokasi, durasi dan intensitas diperlukan untuk
3x24 diharapkan rasa merencanakan asuhan.
2. Ajarkan tenik ROM
nyeri pasien berkurang 2. Untuk melancarkan
3. Berikan posisi yang
dengan KH : pasien peredaran darah sehingga
nyaman pada pasien
tampak rileks, skala nyeri berkurang
nyeri ( 1-3 ) 3. Untuk meningkatkan
4. Berikan pengalihan seperti
relaksasi.
reposisi dan aktivitas
menyenangkan seperti
4. Untuk meningkatkan
menonton TV
kenyamanan dengan
mengalihkan perhatian klien
dari rasa nyeri

3. 3 Setelah diberikan 1. Kaji tanda tanda perluasan 1. Untuk mengantisifasi


asuhan keperawatan infeksi, mastoiditis, vertigo. perluasan lebih lanjut.
selam 3x24 jam
diharapkan pasien 2. Jaga kebersihan pada daerah 2. Untuk mengurangi
dapat liang telinga. pertumbuhan mikroorganisme
mencegah/menurunkan
resiko infeksi dengan 3. Hindari mengeluarkan ingus 3. Untuk menghindari transfer
KH: dengan paksa/terlalu keras organisme dari tuba eustachius
tidak ada tanda tanda ke telinga tengah
infeksi
4. 4 Setelah diberikan 1. Kaji ketajaman pendengaran, 1. Untuk mengetahui tingkat
asuhan keperawatan 3 catat apakah kedua telinga ketajaman pendengaran pasien
x 24 jam diharapkan terlibat dan untuk menentukan
ganggaun sensori intervensi selanjutnya
persepsi 2. Berbicara jelas dan tegas pada 2. Mempermudah klien untuk
berkurang/hilang klien tanpa perlu berteriak. menerima stimolus.
dengan KH : - Klien 3. Memberikan kode bibir yang 3. Mempermudah untuk melihat
dapat menerima pesan memadai bila klien bergantung gerak bibir.
melalui metode pilihan pada gerak bibir
( misal : komunikasi 4. Berikan posisi yang nyaman 4. Agar telinga klien tidak tambah
tulisan, bahasa dan tidak bising sakit karena kebisingan dapat
lambang)berbicara menjadi faktor pencetus nyeri
dengan jelas pada telinga dan penurunan
telinga yang baik. pendengaran
5. 5 Setelah diberikan 1. Beritahu pasien bahwa 1. Mengurangi kecemasan klien
asuhan keperawatan penyakitnya bisa
3x24 jam diharapkan disembuhkan
pasien tidak malu 2. Beritahu klien untuk 2. Buruknya status kesehatan
terhadap meningkatkan status akan mengakibatkan
penampilannya dengan kesehatan bertambahnya pengeluaran
KH: pasien sekret dan berbau tidak enak
menunjukkan rasa 3. Anjurkan klien untuk 3. Penggunaan antibiotika secara
percaya dirinya, tidak melaksanakan anjuran yang teratur dapat mencegah
malu terhadap telah diberikan (penggunaan perkembangan bakteri.
penampilan. antibiotik) secara teratur

6. 6 Setelah diberikan 1. Tentukan persepsi pasien 1. Membuat pengetahuan dasar


asuhan keperawatan tantang proses penyakit. dan memberikan kesadaran
selama 3 x 24 jam kebutuhan belajar individu.
diharapkan kebutuhan
akan informasi 2. Kaji ulang proses penyakit, 2. Membantu individu untk
terpenuhi dengan KH : penyebab/efek hubungan faktor mengetahui faktor
- melakukan prosedur yang menimbulkan gejala dan pencetus/pemberat individu
yang diperlukan dan mengidentifikasi cara sehingga dapat menghindari.
3. Steroid dapat digunakan untuk
menjelaskan alasan menurunkan faktor pendukung
mengotrol inflamsi dan
dari suatu tindakan. 3. Kaji ulang obat, tujuan,
mempengaruhi remisi penyakit
-memulai perubahan frekwensi, dosis, dan
: namun obat dapat
gaya hidup yang kemungkinan efek samping
menurunkan ketahanan
diperlukan dan ikut
terhadap infeksi dan
serta dalam regimen
menyebabkan retensi cairan.
perawatan.
4. Implementasi
Tahap pelaksanaan merupakan tahap keempat dalam proses keperawatan
dan merupakan tahapan dimana perawat merealisasikan rencana keperawatan
ke dalam tindakan keperawatan nyata, langsung pada klien.Tindakan
keperawatan itu sendiri merupakan pelaksanaan dari rencana tindakan yang
telah diktentukan dengan maksud agar kebutuhan klien terpenuhi secara
optimal.

5. Evaluasi
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan
yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan, dan
pelaksanaan sudah berhasil di capai. Melalui evaluasi memungkinkan perawat
memonitor kealpaan yang terjadi selama tahap pengkajian, analisa,
perencanaan, dan pelaksanaan tindakan.
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Telinga tengah terdiri dari Membran timpani, Kavum timpani, Prosesus
mastoideus, dan Tuba eustachius
2. Otitis media akut (OMA) adalah peradangan sebagian atau seluruh
mukosa telinga tengah, tuba eustachius, antrum mastoid dan sel-sel
mastoid.
1. Penyebab otitis media akut (OMA) dapat merupakan virus maupun
bakteri. Bakteri penyebab otitis media tersering adalah Streptococcus
pneumoniae, diikuti oleh Haemophilus influenzae dan Moraxella
cattarhalis
2. Anak lebih mudah terserang otitis media dibanding orang dewasa.
3. Gejala klinis otitis media akut (OMA) tergantung pada stadium penyakit
dan umur pasien.
4. Terapi bergantung pada stadium penyakitnya
5. Jika diputuskan untuk memberikan antibiotik, pilihan pertama untuk
sebagian besar anak adalah amoxicillin dan pemberian antibiotik adalah
3-7 hari atau lima hari.

B. Saran
1. Bagi Mahasiswa
Setelah mempelajari dan memahami secara lebih dalam tentang
konsep dan gambaran umum serta asuhan keperawatan dari Penyakit Otitis
Media Akut (OMA) diharapkan mahasiswa mampu mengapresiasikan apa
yang telah dipelajari dan diperolehnya dengan menerapkannya langsung
melalui praktik di lapangan terhadap pasien dengan Penyakit Otitis Media
Akut (OMA) dalam rangka memberikan Asuhan keperawatan yang
kompetitif dan terarah sehingga dapat memberikan manfaat bagi siapa saja
yang membutuhkannya.
DAFTAR PUSTAKA

Buchman, C.A., Levine, J.D., Balkany, T.J., 2003. Infection of the Ear. In: Lee,
K.J., ed. Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery. 8th ed. USA:
McGraw-Hill Companies, Inc., 462-511.

Djaafar, Z.A., Helmi, Restuti, R.D., 2007. Kelainan Telinga Tengah. Dalam:
Soepardi, E.A., ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala dan Leher. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 64-86..

Kerschner, J.E., 2007. Otitis Media. In: Kliegman, R.M., ed. Nelson Textbook of
Pediatrics. 18th ed. USA: Saunders Elsevier, 2632-2646.

Titisari, H., 2005. Prevalensi dan Sensitivitas Haemophilus Influenzae pada Otitis
Media Akut di PSCM dan RSAB Harapan Kita. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta..

Smelter, Suzanne C., 2001 Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth. Edisi 8.Jakarta.EGC.

Djaafar ZA, Helmi. Kelainan telinga tengah. Buku ajar Ilmu kesehatan
telinga hidung tenggorok kepala dan leher.6th ed. Jakarta, 2007:p 64-8)

Brunner and sudarth, 2002 .Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah, Ed. 8, Vol.3,
Jakarta: EGC.

Carpenito, Lynda Juall. 2001. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC

Price, Sylvia A, 2005. Patofisiologi. Ed. 6, Vol. 2. Jakarta : EGC.

Sudoyo, Aru W., dkk., 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 1, Ed. IV.
Jakarta: Pusat Penerbitan IPD FK UI.

Anda mungkin juga menyukai