Anda di halaman 1dari 28

KESEHATAN LINGKUNGAN

“PEMBUANGAN KOTORAN MANUSIA (TINJA)”


Untuk Memenuhi Tugas Dalam Mata Kuliah Kesehatan Masyarakat

Disusun oleh :

 Lusi Farhani
 Siti Suaebatul Aslamiah
 Sutisna
 Yohana Bili
 Yuni Fariyati

Kelas : IV B

STIKes WIDYA DHARMA HUSADA

Program Studi S1 Keperawatan

Jl.Surya Kencana No.1 Pamulang Tangerang Selatan

2013
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkah dan rahmat-
Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul Kesehatan Lingkungan
“Pembuangan Kotoran Manusia (Tinja)”.

Dengan terselesaikannya makalah ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada


semua pihak yang telah membantu dan memberikan bantuan dalam pembuatan makalah
ini.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna.Oleh karena itu
kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan
makalah ini.

Semoga karya tulis ini bermanfaat bagi kita semua. Amiin.

Pamulang, Maret 2013

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .........................................................................................................1


B. Tujuan ........................................................................................................................1

BAB II. PEMBAHASAN

A. Pengertian Tinja........................................................................................................2
B. Pengelolaan Pembuangan Kotoran Tinja...............................................................4
C. Teknik Pembuangan Tinja........................................................................................5
1. Teknik Pembuangan Tinja dengan Sistem Jamban.......................................5
2. Teknik Pembuangan Tinja dengan Sistem Aliran Air ...................................16
D. Pemeliharaan Sarana Pembuangan Tinja.............................................................24

BAB III. PENUTUP

A. Kesimpulan...............................................................................................................25
B. Saran.........................................................................................................................25

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Kotoran manusia adalah semua benda atau zat yang tidak dipakai lagi oleh tubuh
yang harus dikeluarkan dari dalam tubuh. Zat-zat yang harus dikeluarkan dari dalam
tubuh ini berbentuk tinja (feces), air seni (urine), dan CO 2 sebagai hasil dari proses
pernapasan.
Saat ini akses masyarakat terhadap sarana sanitasi khususnya jamban, masih jauh
dari harapan. Berbagai kampanye dan program telah banyak dilakukan, terakhir dengan
pemberlakuan program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM). Berbagai upaya
tersebut sebetulnya bermuara pada terpenuhinya akses sanitasi masyarakat, khususnya
jamban. Namun akses tersebut selain berbicara kuantitas yang terpenting adalah kualitas.
Berdasarkan hasil penelitian yang ada, seorang yang normal diperkirakan
menghasilkan tinja rata-rata sehari 970 gram dan menghasilkan air seni 970 gram. Jadi
bila penduduk Indonesia dewasa saat ini 200 juta maka setiap hari tinja yang dikeluarkan
sekitar 194.000 juta gram (194.000 ton). Maka bila pengelolaan tinja tidak baik, jelas
penyakit akan mudah tersebar. Dengan bertambahnya penduduk yang tidak sebanding
dengan area pemukiman, masalah pembuangan kotoran manusia meningkat. Dilihat dari
segi kesehatan masyarakat, masalah pembuangan kotoran manusia merupakan masalah
yang pokok untuk sedini mungkin diatasi.
Kurangnya perhatian terhadap pengelolaan tinja disertai dengan cepatnya
pertambahan penduduk, jelas akan mempercepat penyebaran penyakit-penyakit yang
ditularkan melalui tinja. Karena kotoran manusia (faeces) adalah sumber penyebaran
penyakit yang multikompleks. Penyebaran penyakit yang bersumber pada faeces dapat
melalui berbagai macam jalan atau cara.

B. TUJUAN
Adapun tujuan dalam pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui
pengelolaan tinja di daerah pemukiman.

BAB II

PEMBAHASAN
1
A. Pengertian Tinja
Tinja merupakan semua benda atau zat yang tidak dipakai lagi oleh tubuh yang
harus dikeluarkan dari dalam tubuh. Tinja (faeces) merupakan salah satu sumber
penyebaran penyakit yang multikompleks. Orang yang terkena diare, kolera dan infeksi
cacing biasanya mendapatkan infeksi ini melalui tinja (faeces). Seperti halnya sampah,
tinja juga mengundang kedatangan lalat dan hewan-hewan lainnya. Lalat yang hinggap
di atas tinja (faeces) yang mengandung kuman-kuman dapat menularkan kuman-kuman
itu lewat makanan yang dihinggapinya, dan manusia lalu memakan makanan tersebut
sehingga berakibat sakit. Beberapa penyakit yang dapat disebarkan akibat tinja manusia
antara lain tipus, disentri, kolera, bermacam-macam cacing (gelang, kremi, tambang,
pita), schistosomiasis, dan sebagainya.
1. Sumber Tinja
 Manusia sebagai Individu
Manusia sebagai individu dalam hal ini adalah seorang manusia yang hidup
sendiri dalam suatu tempat tinggal terpisah dari individu yang menempati tempat
tinggal lain, atau kelompok manusia yang satu individu dengan individu lainnya
terikat dalam satu hubungan kekeluargaan atau kekerabatan yang menempati satu
tempat tinggal sebagai satu keluarga. Tinja yang dihasilkan dari sumber ini biasanya
ditangani secara perorangan oleh individu atau keluarga yang bersangkutan dengan
menggunakan sarana pembuangan tinja berupa jamban perorangan atau jamban
keluarga.
 Manusia sebagai Kelompok
Manusia sebagai kelompok adalah kumpulan manusia yang bertempat tinggal
di satu wilayah geografis dengan batas-batas tertentu. Individu dalam kelompok
terikat oleh satu hubungan kemasyarakatan yang memiliki norma kelompok yang
disepakati bersama. Masalah penanganan tinja pada kelompok ini sering bersifat
sangat kompleks. Berbagai faktor penyebab, yaitu keterbatasan penyediaan lahan,
kepentingan yang berbeda antara individu, faktor sumber daya, faktor fisibilitas
pengelolaan dan sebagainya sangat menentukan keberhasilan penanganan tinja dari
manusia sebagai kelompok ini. Penanganan tinja dari manusia sebagai kelompok
biasanya dilakukan secara kolektif dengan menggunakan jamban umum.
2. Dekomposisi Tinja

2
Tinja dimana saja berada atau ditampung akan segera mulai mengalami
penguraian (decompotition), yang pada akhirnya akan berubah menjadi bahan yang
stabil, tidak berbau, dan tidak mengganggu.
Aktifitas utama dalam proses dekomposisi adalah :
1. Pemecahan senyawa organic kompleks, seperti protein dan urea, menjadi bahan
yang lebih sederhana dan lebih stabil;
2. Pengurangan volume dan massa (kadang – kadang sampai 80%) dari bahan yang
mengalami dekomposisi, dengan hasil gas metan, karbon dioksida, amoniak, dan
nitrogen yang dilepaskan ke atmosfer; Bahan – bahan yang terlarut yang dalam
keadaan tertentu meresap kedalam tanah di bawahnya; dan
3. Penghancuran organisme pathogen yang dalam beberapa hal tidak mampu hidup
dalam proses dekomposisi, atau diserang oleh banyak jasad renik didalam massa
yang tengah mengalami dekomposisi.
Bakteri memegang peranan penting dalam dekomposisi. Aktifitas bakteri dapat
berlangsung dalam suasana aerobik, yakni dalam keadaan terdapat udara, atau anaerobic
dalam keadaan tidak terdapat oksigen. Seluruh proses dapat berlangsung secara
anaerobik, seperti yang terjadi pada kakus air (aqua privy), tangki pembusukan (septic
tank), atau pada dasar lubang yang dalam; atau secara aerobik, seperti pada dekomposisi
tertentu. Disamping itu, dekomposisi dapat terdiri lebih dari satu tahap, sebagian aerobic
dan sebagian lainnya anaerobik, tergantung pada kondisi fisik yang ada. Sebagai contoh,
proses anaerobik berlangsung dalam tangki pembusukan, efluen cair meresap kedalam
tanah melalui saluran peresapan dan meninggalkan banyak bahan organik pada lapisan
atas tanah. Bahan organik itu diuraikan secara aerobic oleh bakteri saprofit yang mampu
menembus tanah sampai sedalam 60cm.
Proses dekomposisi berlangsung pada semua bahan organic mati yang berasal
dari tumbuhan atau hewan, terutama pada komponen nitrat, sulfat, atau karbonat yang
dikandungnya. Pada kotoran manusia yang merupakan campuran tinja dan air seni yang
relative kaya akan senyawa nitrat, proses dekomposisi terjadi melalui siklus nitrogen.
Pada siklus ini, pertama – tama, senyawa dipecahkan menjadi amonia dan bahan
sederhana lainnya. Kemudian, diubah oleh bakteri nitrit (nitrifying bacteria) menjadi
nitrit dan nitrat. Bau merangsang yang timbul selama dekomposisi air seni disebabkan
oleh amonia yang tetrlepas sebelum berubah menjadi bentuk yang lebih stabil.
Dekomposisi dapat berlangsung sangat cepat, dari beberapa hari pada dekomposisi
mekanis yang sangat terkendali sampai dengan beberapa bulan, bahkan hamper satu
tahun pada kondisi rata – rata lubang jamban.

3
Pada umunya, kondisi yang terjadi pada dekomposisi tinja tidak menguntungkan
bagi kehidupan organism pathogen. Bukan hanya karena temperatur dan kandungan
airnya yang menghambat pertumbuhan organisme pathogen itu, melainkan kompetisi
antara flora bakteri dan protozoa, yang bersifat predator dan merusak. Pathogen
cenderung cepat mati apabila produk akhir dekomposisi yang berbentuk seperti humus
itu di hamparkan diluar dan mengering. Bakteri pathogen tidak dapat hidup lebih lama
dari 2 bulan pada isi lubang jamban yang dibiarkan begitu saja. Telur cacing tambang
akan tetap hidup lebih lama, tergantung pada kelembaban dan temperature udara, smapai
5 bulan pada iklim dingin, dan lebih pendek waktunya pada kondisi tropis. Mereka
bahkan menetas dalam kondisi ada udara, dan akan menghasilkan larva yang dapat hidup
selama beberapa minggu pada tanah yang lembab dan berpasir. Telur ascaris dapat hidup
2 atau 3 pekan dalam bahan yang terdapat pada lubang jamban.
Hasil akhir proses dekomposisi mengandung nutrient tanah yang bermanfaat dan
dapat memberikan keuntungan bila digunakan sebagia pupuk penyubur tanaman
(fertilizer). Kadang – kadang petani mengeluh karena sedikitnya kandungan nitrogen
pada tinja yang telah memngalami dekomposisi. Tinja segar memang mengandung lebih
banyak bahan nitrogen, namun bahan itu tidak dapat digunakan oleh tanaman pada
susunan nya yang asli. Tanaman hanya dapat menggunaan nitrogen sebagia amonia,
nitrit, atua nitrat yang mana dihasilkan selama dekomposisi tahap lanjutan. Bila tinja
segar dihamparkan diatas tanah, kebanyakan nitrogen akan berubah menjadi bahan padat
yang menguap ke udara sehingga tidak dapat dimanfaatkan oleh tanaman.
B. Pengelolaan Pembuangan Kotoran Tinja
Menurut Ehlers & Steel (Wagner & Lanoix, 1958, hlm 39), hasil studi literature
menyatakan bahwa terdapat keragaman yang besar dalam metode pembuangan tinja di
seluruh dunia. Karakteristik jamban sering sangat berbeda. Namun, dari segi teknik
murni, disepakati bahwa jamban atau metode pembuangan lainnya harus memenuhi
persyaratan berikut
1. Tidak mengotori permukaan tanah di sekeliling jamban tersebut.
2. Tidak mengotori air permukaan di sekitarnya.
3. Tidak mengotori air tanah di sekitarnya.
4. Tidak dapat terjangkau oleh serangga terutama lalat dan kecoa dan binatang -
binatang lainnya.
5. Tidak menimbulkan bau.
6. Mudah digunakan dan dipelihara (maintenance).
7. Sederhana desainnya.
8. Murah
9. Dapat diterima oleh pemakainya.

4
Agar persyaratan-persyaratan ini dapat dipenuhi maka perlu diperhatikan antara
lain sebagai berikut :
1. Sebaiknya jamban tersebut tertutup, artinya bangunan jamban terlindung dari panas
dan hujan, serangga dan binatang-binatang lain, terlindung dari
pandangan orang (privacy) dan sebagainya.
2. Bangunan jamban sebaiknya mempunyai lantai yang kuat, tempat berpijak yang
kuat, dan sebagainya.
3. Bangunan jamban sedapat mungkin ditempatkan pada lokasi yang tidak
mengganggu pandangan, tidak menimbulkan bau, dan sebagainya.
4. Sedapat mungkin disediakan alat pembersih seperti air atau kertas pembersih.

C. Teknik Pembuangan Tinja

Wagner & Lenoix (1958, hlm 39 – 42) mengelompokan teknik pembuangan tinja
ke dalam dua kategori yakni Teknik Pembuangan Tinja dengan Sistem Jamban
(privy method) dan Teknik Pembuangan Tinja dengan Sistem Aliran Air (water
carried method)

1. Teknik Pembuangan Tinja dengan Sistem Jamban (privy method)


Terdapat tiga kelompok teknik pembuangan tinja dengan system jamban, yaitu :
a. Teknik yang menggunakan jamban tipe utama,
b. Teknik yang menggunakan jamban tipe yang kurang dianjurkan, dan
c. Teknik yang menggunakan jamban untuk situasi khusus.

a. Teknik yang menggunakan Jamban Tipe Utama


Dua jenis jamban tipe utama yang paling memenuhi ketujuh persyaratan
tetrsebut diatas adalah jamban cubluk dan jamban air.

1) Jamban Cubluk
Jamban Cubluk digunakan secara luas di Negara barat termasuk Eropa,
dan Negara di Afrika, serta Timur Tengah. Dengan perhatian sedikit pada
penempatan dan konstruksi, jenis jamban itu tidak akan mencemari tanah
ataupun mengkontaminasi air permukaan serta air tanah. Tinja tidak akan dapat
dicapai oleh lalat apabila lubang jamban selalu tertutup. Bahkan, meskipun
lubang dibiarkan terbuka, masalah lalat tidak terlalu gawat karena lalat tidak
akan tertarik pada lubang dan permukaan yang gelap. Rumah jamban ynag baik
akan membantu mencegah masuknya sinar matahari kedalam lubang. Dengan
jamban cubluk, tidak akan terjadi penanganan langsung tinja. Bau dapat
diabaikan dan tinja biasanya tidak terlihat. Jamban cubluk mudah
direncanakan, digunakan, dan tidak memerlukan pengoperasian. Masa

5
penggunaannya bervariasi, dari 5 sampai 15 tahun, tergantung pada kapasitas
lubang dan penggunaan bahan pembersih yang dimasukkan kedalamnya.
Keuntungan yang utama dari jenis jamban itu adalah dapat dibuat dengan biaya
rendah, dapat dibuat di setiap tempat didunia, dapat dibuat dengan bahan yang
tersedia. Jenis jamban itu mempunyai sedikit kelemahan, tapi dapat berperan
utama dalam pencegahan penyakit yang disebarkan melalui tinja.

Jamban cubluk terdiri dari lubang dalam tanah yang digali dengan
tangan, dilengkapi dengan lantai tempat berjongkok, dan dibuat rumah jamban
diatasnya. Lubang berfungsi untuk mengisolasi dan menyimpan tinja manusia
sedemikian rupa sehingga bakteri yang berbahaya tidak dapat berpindah ke
inang yang baru. Lubang biasanya berbentuk bulat atau bujur sangkar untuk
instalasi jamban keluarga, dan empat persegi panjang untuk jamban umum.
Lubang mempunyai diameter atau panjang sisi bervariasi, dari 90 sampai 120
cm. Jamban umum dengan lubang berbentuk empat persegi panjang, biasanya
berukuran lebar 90 - 100 cm, dan panjangnya berganntung pada jumlah lubang
pemasukan tinja. Kedalaman lubang sekitar 2,5 meter, tetapi dapat bervariasi,
dari 1,8 meter sampai 5 meter.
Penentuan volume dan ukuran lubang jamban untuk periode
penggunaan tertentu perlu memperhatikan tipe lubang yang dipakai : apakah
tipe lubang basah yang menembus permukaan air tanah atau lubang kering
yang tidak menembus permukaan air tanah. Volume dan kedalaman lubang
jamban dengan luas penampang melintang 0,8361 m2, untuk satu keluarga yang
terdiri dari lima orang. Perhatikan table berikut !

6
Pada tanah yang mudah runtuh, dinding lubang perlu diperkuat dengan
pasangan bata, batu kali, atau anyaman bamboo. Lantai jamban harus dibuat
dari bahan yang kuat, tahan lama, kedap air dengan permukaan yang keras, dan
mudah dibersihkan. Bahan untuk lantai dapat berupa beton bertulang atau
susunan kayu yang diisi dengan campuran semen. Rumah jamban perlu dibuat
dengan memperhatikan persyaratan yang menyangkut factor ukuran, ventilasi,
pencahayaan, serta kebersihan. Bahan untuk rumah jamban disesuaikan dengan
biaya yang tersedia. Dindingnya dapat dibuat dari pasangan bata, kayu, atau
bamboo. Atapnya dapat dibuat dari genting, sirap, atau ilalang,
2) Jamban Air
Jamban air merupakan modifikasi jamban yang menggunakan tangki
pembusukan, yang berasal dari Amerika Serikat kira – kira Sembilan puluh
tahun yang lalu. Kini, jenis jamban itu banyak digunakan di negara – negara di
Afrika, Timur Tengah, dan Asia Tenggara. Apabila tangkinya kedap air, maka
tanah, air tanah, serta air permukaan tidak akan terkontaminasi. Lalat tidak
akan tertarik pada isi tangki, tidak ada bau, ataupun kondisi yang tidak sedap
dipandang. Jenis jamban itu dapat dibangun di dekat rumah. Tinja dan lumpur
bersama – sama dengan batu, batang kayu, kain bekas, dan sampah lain yang
mungkin terbuang kedalamnya akan tertumpuk dalam tangki. Sudah barang
tentu, benda itu harus dihilangkan pada periode tertentu. Apabila kapasitas
tangki cukup besar, penanganan isi tangki dapat diusahakan minimum. Jamban
air memerlukan penambahan air setiap hari agar dapat beroperasi sebagaimana

7
mestinya. Air itu biasanya berasal dari air yang digunakan untuk pembersih
anus dan untuk pembersih lantai jamban, serta pipa atau corong pemasukan
tinja. Jenis jamban ini memerlukan sedikit pemeliharaan dan merupakan jenis
instalasi yang permanen. Jamban ini lebih mahal pembuatannya dibandingkan
dengan jamban cubluk.
Jamban air terdiri dari sebuah tangki berisi air, di dalamnya terdapat pipa
pemasukan tinja yang tergantung pada lantai jamban. Tinja dan air seni jatuh
melalui pipa pemasukan ke dalam tangki dan mengalami dekomposisi
anaerobik, seperti pada tangki pembusukan. Lumpur hasil dekomposisi, yang
hanya mengandung sekitar 25% dari volume tinja yang dimasukkan, akan
berakumulasi dalam tangki dan harus dipindahkan secara berkala.

Perhatikan gambar !

Ukuran tangki jamban air bervariasi sesuai dengan jumlah orang yang
akan menggunakan. Kapasitas tangki untuk jamban air keluarga sebaiknya
tidak kurang dari 1 m3 untuk periode pengurasan enam tahun atau lebih. Untuk
jamban umum, kapasitas tangki dapat dibuat dengan pedoman angka 115 liter
per orang dikalikan jumlah maksimum pemakai. Kedalaman cairan dalam
tangki dapat dibuat antara 1,0 dan 1,5 m. Efluen limbahan dari tangki yang
potensial mengandung bakteri pathogen serta telur cacing parasit harus
diresapkan ke dalam tanah melalui sumur atau parit peresapan.
3) Jamban Leher Angsa
Jamban leher angsa atau jamban tuang siram yang menggunakan sekat
air bukanlah jenis instalasi pembuangan tinja yang tersendiri, melainkan lebih
merupakan modifikasi yang penting dari slab atau lantai jamban biasa. Lantai
dengan sekat air dapat dipasang diatas lubang pada jamban cubluk atau diatas
tangki air pada jamban air.

8
Jamban leher angsa terdiri dari lantai beton biasa yang dilengkapi leher
angsa. Slab itu dapat langsung dipasang diatas lubang galian, lubang hasil
pengeboran, atau tangki pembusukan. Satu sampai tiga liter air cukup untuk
menggelontor tinja kedalam lubang. Dengan adanya sekat air pada leher angsa,
lalat tidak dapat mencapai bahan yang terdapat pada lubang jamban, dan bau
tidak dapat keluar dari lubang itu.

Perhatikan gambar !

9
b. Teknik Yang Menggunakan Jamban Tipe Yang Kurang Dianjurkan
Jamban bor (bored-hole latrine), jamban keranjang (bucket latrine), jamban
parit (trench latrine), dan jamban gantung (overhung privy) kurang dianjurkan
penggunaannya karena berbagai resiko pencemaran dan penularan penyakit yang
dapat ditimbulkannya.
Jamban bor merupakan variasi dari jamban cubluk yang lubangnya dibuat
dengan cara dibor. Lubangnya mempunyai penampang melintang yang lebih kecil,
denga diameter sama dengan diameter mata bor yang digunakan (10-30cm) dan
lebih dalam. Dengan demikian, kapasitasnya jauh lebih kecil dari pada jamban
cubluk biasa dan masa penggunaanya pun lebih pendek. Karena kedalamannya
dapat mencapai 6 m, lubang akan menembus air tanah dan akan mencemarinya.
Keruntuhan dinding lubang sering menjadi masalah yang gawat pada jamban bor.
Jamban bor murah dan mudah pembuatannya apabila tersedia peralatan yang
diperlukan. Jamban ini digunakan secara luas di banyak wilayah dunia, terutama
di Timur Tengah dan Asia Tenggara. Perhatikan gambar !

Jamban keranjang, atau jamban kotak, atau jamban kaleng banyak digunakan
pada masa lalu di Eropa, Amerika, Australia dan masih banyak digunakan di
banyak ngara di Afrika, Asia Tenggara dan Asia Pasifik Barat. Namun,
penggunaannya semakin berkurang. Meskipun secara teoretis dan dengan
pengawasan yang efisien jamban keranjang dapat digunakan secara higienis,
pengalaman dimana-mana menunjukan bahwa pada kenyataannya tidaklah

10
demikian. System jamban keranjang biasanya menarik lalat dalam jumlah besar,
tidak di lokasi jambannya, tetapi d sepanjang perjalanan ke tempat pembuangan.
Penggunaan jamban keranjang sangat memungkinkan penanganan tinja segar.
Akibat penggunaan jenis jamban ini, selalu ada bahaya terjadi pencemaran tanah,
air permukaan, dan air tanah. Penggunaan jenis jamban ini biasanya menimbulkan
bau serta pemandangan yang tidak sedap. Meskipun biaya awal penggunaan
jamban keranjang tidak mahal namun biaya operasinya, setelah beberapa tahun,
menjadikannya tipe instalasi yang mahal. Jamban ini dianjurkan pemakaiannya di
daerah yang menggunakan tinja sebagai pupuk tanaman. Meskipun demikian, di
daerah itu tetap harus dikembangkan penggunaan jamban kompos. Perahatikan
gambar !

Jamban parit biasa digunakan di beberapa daerah di afrika, di daerah


perkemahan dan dalam keadaan darurat. Jenis jamban ini dapat digunakannsecara
seniter atau sangat seniter, tergantung pada kepatuhan pemakai pada ketentuan
yang harus diperhatikan atau dilaksanakannya. Penggunaan jamban parit sering
mengakibatkan pelanggaran standar dasar sanitasi, terutama yang berhubungan
dengan pencegahan tinja oleh hewan. Karena berpotensi menimbulkan berbagai
kerugian, jamban pasrit tidak dianjurkan untuk digunakan.
Lubang di atas tanah yang digunakan pada jamban parit biasanya berbentuk
bujur sangkar dengan ukuran 30 x 30 cm dan kedalaman 30 cmn. Tanah hasil
galian ditumpuk di sekitar lubang. Diharapkan pemakai mau melempar tanah itu
untuk menutup tinja yang telah dibuangnya. Perhatikan gambar !

11
c. Teknik yang Menggunakan Jamban untuk Situasi Khusus
Beberapa jenis jamban yang cocok untuk situasi khusus adalah jamban
kompos, jamban kimia, jamban kolam dan jamban gas bio. Kakus kompos
digunakan didaerah yang penduduknya yang suka membuat kompos dari
campuran tinja dan sampah organik di jamban yang digunakannya.
Prosedur pembuatan dan pengopeerasian kakus kompos adalah sebagai
berikut:
a) Galilah lubang sesuai dengan ukuran yang diperlukan. Dasar lubang harus
selalu diatas permukaan air tanah.
b) Sebelum slab atau lantai diletakkan diatasnya, tutuplah dasar lubang setinggi
50 cm dengan potongan rumput, dan daunan yang kecil, sampah daun, kertas,
dan sebagainya.
c) Tempatkanlah slab dan rumah jamban sedemikian rupa sehingga dipindahkan
secara berkala ke tempat lain.
d) Selain tinja manusia, masukkan juga sampah daun – daunan yang dihasilkan
setiap hari ke dalam lubang, kemudian kotoran sapi, tanah atau jerami yang
terkena rembesan air seni. Bahan yang disebut terakhir penting karena air
seni kaya akan nitrogen nutrient utama bagi tanaman.
e) Kurang lebih seminggu sekali masukkanlah kedalam lubang beberapa
kilogram guntingan rumput dan daun – daunan yang berstektur halus.
f) Apabila isi lubang telah mencapai ketinggian 50 cm dibawah permukaan
tanah, galilah sebuah lubang baru pada jarak 1,5 – 2 m dari lubang itu dan
slab serta rumah jamban dipindahkan keatasnya. Lubang pertama ditutup,
pertama – tama dengan guntingan rumput dan daun – daunan setinggi 15 cm
kemudian tanah setebal 35 cm.
g) Apabila lubang kedua penuh, lubang pertama dibuka dan komposnya
dikeluarkan. Kompos ini bersifat stabil dan akan menjadi pupuk bagus yang
dapat segera digunakan di kebun atau disimpan.

Volume lubang tergantung pada kebutuhan akan pupuk dan jumlah orang yang
akan menggunakan jamban. Proporsi volume tinja yang dapat ditambahkan pada
volume sampah, agar pembuatan kompos berlangsung memuaskan, kira – kira 1 :
5.

12
Jamban kimia merupakan instalasi pembuangan tinja yang efisien dan
memenuhi semua kriteria jamban saniter tersebut diatas. Teknik pembuangan tinja
dengan jamban kimia dapat dikatakan mahal, baik biaya awal maupun
pengoperasiannya. Keuntungan utama dari jamban kimia adalah dapat
ditempatkan didalam rumah. jamban itu sering digunakan dirumah dan sekolah
didaerah yang tingkat ekonominya memungkinkan, serta pada sarana transportasi
jarak jauh, baik darat, laut maupun udara. Perhatikan gambar !

Jamban kimia terdiri dari sebuah tangki logam yang berisi larutan soda
kaustik. Tempat duduk atau tempat jongkok dengan penutupnya ditempatkan
langsung diatas tangki. Tangki dilengkapi dengan pipa ventilasi yang ujunganya
menjorok sampai ke atas atap rumah. larutan soda kaustik yang dimasukkan
tersusun dari 11,3 kg soda kaustik dilarutkan dalam 50 liter air untuk tiap tempat
duduk atau tempat jongkok. Tinja yang tertampung dalam tangki akan dicairkan
dan disterilkan oleh bahan kimia itu, yang akan menghancurkan pula bakteri
pathogen dan telur cacing. Untuk memudahkan pengoperasiannya, tangki
biasanya dilengkapi dengan pengaduk yang akan membantu menghancurkan
bahan padat dan mempercepat penghancurannya oleh bahan kimia. Setelah
beberapa bulan penggunaan, bahan kimia yang telah digunakan serta cairan yang
dihasilkan dibuang atau dialirkan keluar, dan dipindahkan ke kolam pembuangan
rembes air. Untuk sarana transportasi kapal, pesawat udara, kereta api, bus dan
sebagainya jamban kimia dapat dibuat dengan kapasitas kira – kira 40 liter agar
dapat dipindah – pindahkan.

Jamban kolam banyak dijumpai di berbagai daerah di Indonesia, terutama


didaerah yang penduduknya banyak mengusahakan kolam atau tambak ikan.

13
Orang yang menggunakan jamban itu memanfaatkan tinja yang dibuangnya secara
langsung untuk makanan ikan yang dipeliharanya. Namun, penggunaan jamban
kolam ini dapat menimbulkan pencemaran yaitu terjadinya pencemaran
bakteriologis pada air permukaan yang mengandung resiko besar terjadinya
penularan penyakit melalui tinja dan air, dari penderita kepada orang yang sehat.

Apabila jamban kolam akan digunakan, ketentuan berikut harus diperhatikan


dan dilaksanakan.

a) Air kolam tidak boleh digunakan untuk keperluan sehari – hari seperti mandi,
cuci dan minum.
b) Kolam harus selalu penuh dengan air.
c) Kolam harus cukup luas, selalu mendapatkan sinar matahari dan tidak terdapat
pohon rindang didekatnya.
d) Letak jamban harus sedemikan rupa sehingga tinja selalu jatuh ke air.
e) Ikan yang diperoleh dari kolam terssebut tidak boleh dimakan mentah atau
setengah masak.
f) Aman dalam pemakaiannya.
g) Tidak terdapat sumur air minum yang terletak dibawah kolam atau yang
sejajar dengan jarak kurang dari 15 meter.
h) Tidak terdapat tanaman yang tumbuh diatas permukaan air kolam.

Jamban gas bio merupakan instalaasi pembuangan tinja yang membeerikan


keuntungan ganda. Apabila dibuat, dioperasikan, dan dipelihara sebagaimana
mestinya dengan memperhatikan persyaratan sanitasi pembuangan tinja, teknik
pembuangan tinja akan mencegah penularan penyakit saluran pencernaan. Selain
itu, teknik yang sama akan menghasilkan dua bahan yang bermanfaat, yakni gas
bio yang dapat digunakan sebagai bahan bakar dan kompos yang berguna untuk
menyuburkan tanaman.

Jamban gas bio terdiri dari rumah jamban, tangki pencerna, penampung gas,
dan system perpipaan untuk menyalurkan gas bio dari tangki pencerna ke
penampungan gas dan dari penampungan gas ke tempat pemakaian gas (kompor,
alat penerangan dan sebagainya). Ke dalam tangki pencerna, setiap hari
dimasukkan tinja, sampah organic yang berupa sampah daun, dan kotoran
kandang. Dalam tangki pencerna, bahan isian yang merupakan campuran bahan
organic akan mengalami dekomposisi secara anaerobic dan menghasilkan gas bio.
Gas bio adalah campuran berbagai gas yang dihasilkan dari suatu proses

14
fermentasi bahan organic oleh bakteri dalam keadaan tanpa oksigen. Perhatikan
gambar !

2. Teknik Pembuangan Tinja dengan Sistem Aliran Air (Water Carried Method)
Metode ini memenuhi semua criteria sanitasi dan keindahan bagi sarana
pembuangan tinja. Dengan metode itu, kontaminasi tanah dan air permukaan dapat
dihindari. Buangan yang potensial berbahaya diupayakan untuk tidak dicapai oleh
lalat, tikus dan hewan peliharaan. Dengan demikian mekanisme penularan penyakit
saluran pencernaan dapat dicegah.
Berbagai metode dapat digunakan untuk membuang limbah cair metode itu
mencakup :
a. Pembuangan dengan pengenceran di badan air yang besar
b. Penggunaan kolam pembuangan
c. Penggunaan sumur peresapan
d. Penggunaan system tangki pembusukan yang terdiri dari tangki pengendapan
ruang tunggal atau ruang ganda, diikuti bidang irigasi bawah tanah, parit
penyaring, pasir penyaring, dan penyaring tetes.
a. Pembuangan Dengan Sistem Pengenceran
Bila disuatu wilayah terdapat badan air permukaan yang besar seperti laut,
telaga dan sungai besar, limbah cair dari perumahan atau dari masyarakat dapat
dibuang ke badan air itu secara langsung atau setelah melalui pengolahan pada
tangki pembusukan. Dalam hal ini, pipa pemasukan limbah cair ke badan air harus
bermuara pada satu titik yang benar – benar berada dibawah permukaan air atau
air laut yang terendah, atau biasanya didekat dasar badan air penerima. Hal ini
untuk menjamin pengenceran secara sempurna limbah cair yang dihasilkan pada

15
musim panas, atau limbah lebih ringan yang biasanya akan naik dan tersebar
keseluruh badan air pelarut.
b. Penggunaan Kolam Buangan
Kolam pembuangan merupakan lobang tertutup yang menerima buangan
limbah cair pasar. Kolam buangan dapat berupa tipe kedap air atau tipe rembes air.
Kolam pembuangan kedap air digunakan untuk menampung limbah cair yang
harus dipindahkan secara berkala, kira – kira setiap 6 bulan. Tipe yang rembes air
digali sampai kelapisan tanah yang rembes air agar limbah cair yang masuk
kedalam nya meresap kedalam tanah. Bahan padat yang tertahan pada kolam
pembuangan akan berakumulasi dalam lubang dan secara berangsur – angsur akan
menutup pori – pori tanah.
Kolam pembuangan harus ditempatkan lebih rendah dari sumur, yaitu dengan
jarak minimum 15 meter untuk mencegah pencemaran bakteriologis pada sumur.
Untuk mencegah pencemaran kimiawi, jarak antara sumur dan kolam
pembuangan yang terletak lebih tinggi tidak boleh kurang dari 45 meter. Kolam
pembuangan tipe rembes air harus ditempatkan sekurang-kurngnya pada jarak 6 m
di luar fondasi rumah. Dinas Kesehatan tidak mengizinkan pembuatan kolam
pembuangan di daerah yang padat penduduknya karena di daerah padat ini sumur
digunakan sebagai sumber penyediaan air minum.
c. Penggunaan Sumur Peresapan
Sumur peresapan menerima efluen dari jamban air, kolam pembuangan dan
tangki pembusukan dan meresapkannya ke dalam tanah. sumur peresapan dapat
juga dibuat pada ujung terendah dari saluran peresapan efluen di bawah
permukaan tanah untuk menangkap efluen tangki pembusukan yang tidak meresap
di sepanjang saluran.
Penempatan sumur peresapan harus hati – hati. Sumur peresapan harus
ditempatkan pada tanah yang lebih rendah, sekurang – kurangnya pada jarak 15
meter dari sumber air minum dan sumur. Sama halnya dengan kolam
pembuangan, pembuatan sumur resapan biasanya tidak diizinkan oleh petugas
kesehatan di daerah yang padat penduduknya karena air tanahnya digunakan
untuk keperluan rumah tangga. Perhatikan gambar !

16
d. Penggunaan Sistem Tangki Resapan
Tangki pembusukan merupakan unit sarana yang paling bermanfaat dan
memuaskan di antara unit sarana pembuangan tinja dan limbah cair lain yang
menggunakan system aliran air, yang digunakan untuk untuk menangani buangan
dari rumah perorangan, kelompok kecil rumah, atau kantor yang terletak diluar
jangkauan system saluran limbah cair kota praja. Unit sarana itu terdiri dari
sebuah tangki pengendapan yang tertutup. Limbah cair kasar dimasukkan
kedalamnya melalui saluran limbah cair bangunan. Proses yang terjadi didalam
tangki pembusukan merupakan pengolahan tahap pertama, sedangkan yang terjadi
di bidang peresapan efluen merupakan pengolahan tahap kedua. Perlu di catat
bahwa semua limbah cair, termasuk yang berasal dari kamar mandi dan dapur,
dapat dimasukkan ke dalam tangki pembusukan tanpa membahayakan proses
normal yang terjadi. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa bertentangan dengan
keyakinan sebelumnya, limbah cair rumah tangga yang tidak mengandung tinja
dapat dan harus dibuang ke tangki pembusukan.
 Penangkap Lemak
Limbah cair dari dapur besar, seperti dapur hotel, rumah sakit, dan
kantor, kemungkinan mengandung banyak lemak yang dapat masuk ke tangki
pembusukan bersama – sama dengan efluen dan dapat menyumbat pori – pori
media penyaringan pada bidang peresapan. Dalam keadaan demikian, bak
penangkap atau perangkap lemak dapat dipasang diluar gedung, pada saluran
limbah cair gedung. Penangkap lemak itu berupa tangki pengapungan kecil
dengan inlet yang masuk kebawah permukaan cairan, dan outlet yang
ujungnya dipasang di dekat dasar. Pengoperasian penangkap lemak
berdasarkan prinsip bahwa limbah cair yang masuk lebih panas daripada
cairan yang sudah ada dalam bak dan didinginkan oleh nya. Akibatnnya,
kandungan lemak akan membeku dan naik ke permukaan, yang nantinya akan
diambil secara berkala. Oleh karena itu, penangkap lemak harus dibuat
sedemikian rupa untuk mempermudah pemeriksaan dan pembersihan.
Penangkap lemak tidak perlu dibuat untuk penanganan limbah cair dari
perumahan atau instalasi kecil lainnya.
 Saluran Limbah Cair Bangunan

17
Saluran limbah cair bangunan adalah bagian dari perpipaan horizontal
dari sitem drainase bangunan yang membentang mmulai dari satu titik yang
berjarak 1,5 m di luar sisi dalam pondasi tembok bangunan rumah sampai ke
sambungan saluran limbah cair umum atau unit pengolahan limbah cair
perorangan (tangki pembusukan, kolam pembuangan atau tipe sarana
pembuangan lainnya). Saluran limbah cair bangunan dapat dibuat dari beton
atau tanah liat yang di glasir dengan diameter minimum 15 cm, atau besi cor
dengan diameter minimum 10 cm. kemiringan minimum 1%, bila mungkin
diusahakan 2%. Kemiringan pada saat saluran memasuki tangki pembusukan
minimum 2%. Semua sambungan harus kedap air dan dilindungi dari
kerusakan akibat akar tumbuh – tumbuhan.
 Tangki Pembusukan
Kapasitas tangki pembusukan ditentukan dengan mempertimbangkan
faktor berikut.
1) Volume aliran limbah cair rata – rata per hari.
2) Waktu penahanan, 1 – 3 hari, biasanya 24 jam.
3) Volume ruang penyimpanan lumpur yang cukup besar, untuk pengurasan
setiap 2 – 3 tahun.

Volume aliran limbah cair rata – rata per hari tergantung pada
konsumsi air rata – rata didaerah yang bersangkutan. Pada umumnya, daerah
pedesaan lebih rendah daripada daerah perkotaan. Untuk daerah pedesaan,
angka volume aliran limbah cair rata – rata per hari sebesar 100 liter / orang.
Untuk tangki pembusukan perumahan yang terdiri dari satu ruangan, kapasitas
efektif sebaiknya tidak kurang dari 1900 liter. Perhatikan gambar !

18
 Tangki Ruang Ganda
Tangki pembusukan rumah tangga dengan tangki ruang ganda yang
direncanakan dengan semestinya mempunyai kinerja sama atau bahkan lebih
baik daripada tangki ruang tunggal dengan kapasitas sama, terutama pada
tangki kecil. Pengaruh fluktuasi aliran dan aliran balik mengurangi efisiensi
proses pengolahan primer pada tangki pembusukan kecil ruang tunggal. Oleh
karena itu, tangki pembusukan rumah tangga kecil, yang melayani kurang
dari 20 sampai 25 orang, sebaiknya menggunakan dua ruangan. Dalam hal ini,
bagian ruang inlet harus mempunyai kapasitas setengah sampai dua pertiga
kapasitas tangki, dan untuk instalasi kecil, kapasitas cairan pada bagian ruang
inlet tidak boleh kurang dari 1900 lliter.
Untuk tangki besar, yang melayani lebih dari 20 sampai 25 orang,
kebutuhan untuk membagi ruang tangki pembusukan tergantung pada derajat
pengolaahan yang dipersyaratkan oleh pejabat kesehatan setempat dan derajat
permeabilitas tanah. Hasil penelitian itu menyatakan tidak banyak keuntungan
yang dicapai dengan pembagian ruang tangki pembusukan, dan tangki ruang
tunggal yang direncanakan dengan baik akan menghasilkan efisiensi
penghilangan bahan padat tersuspensi lebih dari 60%.
 Pengaturan Outlet dan Inlet
Kedalam pemasukan inlet dan outlet ke dalam cairan tangki sangat
penting karena akan mempengaruhi volume ruang bebas dan akumulasi
lumpur. Untuk memperoleh hasil yang baik, outlet harus masuk ke bawah
permukaan sampai 40% dari kedalaman cairan. Pada tangki horizontal dan
berbentuk silinder, angka tersebut harus dikurangi menjadi 35%. Penahan inlet
atau tee harus masuk sedalam 30 cm dibawah permukaan air. Pemasangan
inlet dan outlet harus harus menjamin adanya ventilasi yang bebas pada
seluruh tangki, pipa inlet, dan pipa outlet. Inlet serta outlet harus muncul
sekurang – kurangnya 15 cm di atas garis air, dan harus menyisakan sekurang
– kurangnya 2,5 cm ruang bebas di bawah tutup tangki untuk keperluan
ventilasi. Penahan biasanya ditempatkkan pada jarak 20 – 30 cm dari pipa
inlet dan outlet, dan ujung – ujungnya ditempelkan pada dinding tangki.
Masuknya pipa inlet harus pada ketingggian 2,5 cm – 7,5 cm di atas
permukaan air. Penghubungan dua ruangan sebaiknya dilakukan dengan

19
menggunakan dengan menggunakan pipa L yang ujung bawahnya tidak lebih
rendah dari ujung bawah outlet.
 Bentuk Tangki
Benntuk tangki penting karena berpengaruh pada kecepatan aliran
yang melaluinya, kedalaman akumulasi lumpur, dan ada atau tidaknya sudut
mati. Tangki menjadi kecil yang menimbulkan aliran langsung dari inlet ke
outlet, dan mempersingkat waktu penahan. Tangki yang terlalu dangkal
menyebabkan ruang bebas lumpur menjadi terlalu kecil dan penampang
melintang efektif tangki terkurangi. Tangki yang terlalu lebar membentuk
kantung mati dalam ukuran yang besar di sudut – sudut tangki karena gerakan
air menjadi kecil. Tangki yang terlalu sempit meningkatkan kecepatan aliran
dan mengurangi efisiensi sedimentasi. Menurut hasil penelitian, tidak ada
perbedaan kinerja antara tangki berbentuk empat persegi panjang dengan
tangki berbentuk silinder yang besarnya dan kapasitas penampungan
lumpurnya sama. Tangki berbentuk empat persegi panjang harus dibuat
dengan panjang dua sampai tiga kali lebar tangki, kedalaman cairan 1,2 – 1,7
m. Ruang bebas di atas permukaan air biasanya di buat setinggi 30 cm.
 Penempatan Tangki
Tangki pembusukan harus ditempatkan sedemikian rupa sehingga
memudahkan penyaluran limbah cair dari rumah ke system pembuangan
efluen. Apabila system pembuangan efluen menggunakan system saluran
bawah tanah, lokasi tangki harus menjamin tersedianya tanah yang cukup luas
untuk pembuangan efluen, peletakan saluran dengan kemiringan cukup, dan
kedalaman setiap titik maksimum 75 cm. Tangki tidak boleh tertanam dalam
tanah lebih dari 30 – 45 cm karena perlu dilakukan pemeriksaan secara
berkala. Lubang pemeriksa harus dibuat sampai ke permukaan tanah, namun
harus dicegah masuknya air permukaan dan air hujan ke dalam tangki. Tangki
harus ditempatkan lebih rendah dan pada jarak sekurang – kurangnya 15 meter
dari sumur dan sumber penyediaan air bersih lain karena ada kemungkinan
terjadi kebocoran , terutama di sekitar pipa inlet dan outlet.
 Konstruksi Tangki
Tangki biasanya dibuat dari beton yang menjamin dan kerapatan air
yang memadai. Dasar dan tutup tangki dibuat dari beton. Dinding dibuat dari
pasangan batu bata, batu pecah, atau blok semen, dengan spasi dan plesteran
sisi dalam tangki dari campuran semen dan pasir (1:3). Campuran beton yang
digunakan harus terdiri dari semen, pasir, kerikil (1:2:4) dengan kandungan 23
20
liter air per sak (43 kg) semen. Dinding dan tulang beton memadai. Ukuran
lubang pemeriksa yang berbentuk bujur sangkar panjang sisinya minimum 50
cm dan untuk yang berbentuk bulat diameter 61 cm.
 Pembuangan Tangki
Efluen tangki pembusukan tidak boleh dibuang ke saluran terbuka atau
dibuang ke atas tanah untuk mengairi tanaman atau ke kolam ikan tanpa izin
pejabat kesehatan setempat. Untuk daerah pedesaan dan masyarakat kecil,
metode yang dapat dipilih untuk mengolah dan membuang efluen terbatas
pada :
 Metode pengenceran;
 Metode yang menggunakan sumur peresapan;
 Metode yang menggunakan saluran peresapan;
 Metode yang menggunakan parit penyaring;
 Metode yang menggunakan pasir peyaring; dan
 Metode yang menggunakan penyaring tetes.

Untuk menentukan metode yang paling cocok untuk kondisi khusus


daerah, perlu diketahui :

 Sifat tanah;
 Kedalaman permukaan air tanah;
 Tingkat permeabilitas tanah;
 Jarak system pembuangan efluen dari sumur dan sumber penyediaan air
lain;
 Volume dan kecepatan aliran air permukaan yang ada untuk pengenceran
(di sungai, kolam, dan badan air lain);
 Penggunaan air permukaan (untuk penyediaan air, memancing, mandi, dan
sebagainya);
 Luas tanah yang tersedia untuk pembuangan efluen;
 Jarak antar rumah;
 Kecenderungan arah angin;
 Tanaman penutup yang ada di tanah; dan
 Kemungkinan perluasan system pada masa yang akan datang.
e. Pembuangan Efluen Melalui Saluran Peresapan
Metode ini dilakukan dengan meresapkan efluen ke lapisan atas tanah melalui
pipa – pipa saluran dengan sambungan terbuka, yang ditempatkan pada parit dan
ditutup. Dengan cara ini, efluen dibersihkan oleh aktivitas bakteri saprofitik
aerobic dalam tanah dan merembeskan nya ke dalam tanah.
Namun metode ini tidak dapat digunakan pada :
1. Tanah yang tidak berpori;
2. Tanah yang permukaan air tanahnya dapat naik sampai 1,2 meter dari
permukaan tanah;
3. Tanah yang mengandung resiko bahaya pencemaran sumber penyediaan air;

21
4. Tanah yang terdiri dari tanah liat kedap; dan
5. Tanah yang lembab.
f. Bak Pembagi
Bak pembagi adalah bagian dari system pembuangan efluen yang menjamin
terbaginya efluen dari tangki pembusukan secara merata ke saluran peresapan.
Bak ini juga dapat berfungsi sebagai bak pemeriksa, untuk mengetahui banyaknya
bahan padat tersuspensi pada efluen dan adanya pembagian yang merata dari
efluen.
g. Saluran Peresapan
Saluran peresapan biasanya dibuat dari pipa berujung datar dengan diameter
10 cm dan panjang 30 – 60 cm, dapat juga digunakan pipa yang satu ujungnya
rata dan ujung lainnya melengkung. Pipa harus dipasang secara bersambungan
pada saluran dengan jarak 0,6 – 1,2 cm supaya efluen dapat keluar dari pipa.
Kedalaman pipa dalam tanah 30 – 75 cm. Kemiringan saluran tidak boleh terlalu
kecil atau terlalu besar. Biasanya digunakan kemiringan 0,16 – 0,32% atau 16,66
– 33,32 cm per 100 m dengan kemiringan maksimum 5%.
Luas dasar parit yang diperlukan harus dihitung dengan memperhatikan
besarnya angka peresapan dan angka kebutuhan luas bidang peresapan. Parit
tidak boleh terlalu panjang. Panjang maksimum yang dianjurkan adalah 30 m.
parit harus diletakkan lurus. Saluran peresapan harus diletakkan dengan jarak
minimum 7,5 m dari pohon besar untuk menghindari hambatan aliran akibat
masuknya air ke dalam pipa. Oleh karena itu, tanah di atas bidang peresapan
tidak boleh di tanami pepohonan. Tanaman yang boleh ditanam di atasnya hanya
rumput yang berakar pendek.

D. Pemeliharaan Sarana Pembuangan Tinja


Sarana pembuangan tinja, baik yang menggunakan system jamban maupun yang
menggunakan system aliran air, perlu dipelihara dengan baik. Apabila tidak, maka sarana
tersebut akan menjadi sumber penyakit, karena :
1. Apabila tidak dibersihkan / di gelontor setiap selesai di pakai, tinja yang tertinggal
pada sisi lubang pembuangan atau pada leher angsa akan menarik kedatangan lalat,
menimbulkan bau, serta pemandangan ynag tidak sedap;
2. Jamban yang tidak dirawat akan menimbulkan kesan kotor sehingga orang akan
segan bahkan takut untuk menggunakannya;
3. Lubang jamban yang terlambat di kuras akan menimbulkan kesulitan bagi pemakai
karena sulit di gelontor / di bersihkan.

22
Beberapa kegiatan yang dianjurkan dalam pemeliharaan sarana pembuangan tinja adalah
sebagai berikut :

1. Pembersihan halaman di sekitar rumah jamban dari sampah dan tumbuhan rumput
atau semak yang tidak di kehendaki.
2. Pembersihan lantai, dinding, dan atap rumah jamban secara teratur, minimal satu
mingggu sekali, dari lumut, debu, tanah, atau sarang laba – laba.
3. Penggelontoran tinja pada lubang pemasukan tinja atau leher angsa setiap selesai
penggunaan.
4. Pemantauan isi lubang jamban pada jamban cubluk, jamban air, jamban bor, dan
jamban kompos secara berkala terutama pada akhir periode pemakaian yang
direncanakan.
5. Pemantauan isi tangki pembusukan secara berkala (tiap 12 – 18 bulan pada tangki
pembusukan rumah tangga dan tiap 6 bulan pada tangki pembusukan sekollah dan
kantor pelayanan umum) untuk menjaga efisiensi kerjanya. Lakukan pengurasan
bila kedalaman busa serta lumpur sudah melebihi batas yang dipersyaratkan.
6. Hindarkan pemasukan sampah padat yang sukar atau tidak bisa di uraikan (kain –
kain bekas, pembalut wanita, logam, gelag dan sebagainya) dan bahan kimia yang
beracun bagi bakteri (karbol, Lysol, formalin, dan sebagainya) ke dalam lubang
jamban atau tangki pembusukan.
Dalam pemantauan tangki pembusukan dilakukan pengukuran jarak dasar busa
ke dasar outlet, dan kedalaman akumulasi lumpur di atas dasar tangki. Jarak antara
busa ke dasar outlet minimal 7,5 cm dan kedalaman akumulasi lumpur maksimal 50
cm.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Tinja berpotensi besar sebagai media penularan penyakit, terutama penyakit
saluran pencernaan. Oleh karena itu, berbagai faktor teknis dan non teknis harus

23
diperhatikan atau dipertimbangkan dalam perencanaan sarana pembuangan tinja.
Pembuangan tinja dengan sistem jamban banyak digunakan oleh masyarakat golongan
ekonomi menengah ke bawah karena bersifat sederhana dan bukan merupakan tipe
permanen.
Teknik pembuangan tinja dengan sistem aliran air (pengenceran, kolam
pembuangan, sumur peresapan, dan tangki pembusukan) dapat diterapkan di daerah di
mana terdapat persediaan air dan aliran air yang cukup besar.

B. Saran
Adapun saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut:
1. Pembuangan tinja sebaiknya dilakukan dengan baik dan memperhatikan kondisi
lingkungan sekitar sehingga tidak mencemari lingkungan sekitarnya seperti badan air
dan tanah.
2. Sebaiknya limbah tinja jangan dibuang ke badan air seperti sungai atau waduk, karena
dapat menimbulkan penyakit bagi masyarakat yang mengkonsumsi air di sungai atau
waduk tersebut.
3. Pemeliharaan sarana pembuangan tinja seharusnya dilakukan secara terus menerus
sejak mulai digunakan sampai akhir periode penggunannya.

24
DAFTAR PUSTAKA

Daryanto. 2004. Masalah Pencemaran. Bandung. PT. Tarsito.


Hindarko,S. 2003. Mengolah Air Limbah Sungai Tidak Mencemari Orang Lain. Jakarta.

ESHA.
Soeparman, H.M. 2001. Pembuangan Tinja Dan Limbah Cair. Jakarta . EGC

Anda mungkin juga menyukai