Anda di halaman 1dari 29

REFERAT ILMU PENYAKIT DALAM

OBESITAS

Oleh:

Putu Diah Ratnasari


NPM: 20710038

Dosen Pembimbing:
dr. Ike Rahayu Widuri, Sp.PD

KSM ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
RSUD IBNU SINA KABUPATEN GRESIK
2021
LEMBAR PENGESAHAN

Nama : Putu Diah Ratnasari

NPM : 20710038

Fakultas : Kedokteran

Universitas : Wijaya Kusuma Surabaya

Tingkat : Program Pendidikan Profesi Dokter

Stase : Ilmu Penyakit Dalam

Judul Referat : Obesitas

Pembimbing : dr. Ike Rahayu Widuri, Sp.PD

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
RSUD Ibnu Sina Kab. Gresik

Disetujui Oleh :

dr. Ike Rahayu Widuri, Sp.PD

1i
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang atas rahmat-Nya
maka saya dapat menyelesaikan penyusunan tugas referat ini dengan judul “Obesitas”.
Dalam penulisan referat, saya merasa masih banyak kekurangan baik pada teknis penulisan
maupun materi, mengingat akan kemampuan yang saya miliki. Untuk itu kritik dan saran
dari semua pihak sangat saya harapkan demi penyempurnaan pembuatan referat ini.
Dalam penulisan referat ini saya menyampaikan ucapan terima kasih yang tak
terhingga kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan  penulisan referat ini,
khususnya kepada dr. Ike Rahayu Widuri, Sp.PD yang telah membimbing selama proses
penulisan tugas ini, keluarga tercinta yang telah memberikan dorongan dan bantuan serta
pengertian yang besar kepada penulis, dan rekan-rekan sekelompok, serta semua pihak
yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan dalam penulisan
tugas ini. Akhirnya penulis berharap semoga tugas ini bermanfaat untuk  pembaca dan
semua orang yang memanfaatkannya.

Gresik, 12 November 2021

Penulis

2i
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 01
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Obesitas 03
2.2 Faktor Penyebab Obesitas 05
2.3 Patofisiologi Obesitas 11
2.4 Klasifikasi Obesitas 12
2.5 Manifestasi Klinis Obesitas 13
2.6 Pendekatan Diagnostik Obesitas 13
2.7 Pemeriksaan Penunjang 14
2.8 Tatalaksana Obesitas 15
2.9 Dampak Obesitas pada Kesehatan 18
2.10 Prognosis Obesitas 19
2.11 Pencegahan Obesitas 20
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan 21
3.2 Saran 22
DAFTAR PUSTAKA 23

3i
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Adanya paradigma di Indonesia, dimana orang yang gemuk merupakan suatu
kebanggaan, gemuk sebagai kriteria mengukur kesuburan dan kemakmuran, sehingga
banyak orang yang ingin menjadi gemuk demi mempertahankan status sosialnya.
Padahal kenyataannya justru sebaliknya, kegemukan berhubungan erat dengan obesitas
dan penyakit.1
Obesitas menjadi masalah di seluruh dunia karena prevalensinya yang meningkat
pada orang dewasa dan anak baik di negara maju maupun negara sedang berkembang.
Penderita obesitas lebih banyak ditemukan pada remaja yang disebabkan karena
konsumsi makanan berlebihan serta kurang aktifitas fisik dan berolahraga.2
Sekitar 13% dari populasi orang dewasa di dunia mengalami obesitas pada tahun
2016. Prevalensi obesitas di seluruh dunia hampir tiga kali lipat antara tahun 1975 dan
2016. Pada 2016, diperkirakan 41 juta anak di bawah usia 5 tahun kelebihan berat
badan atau obesitas dan lebih dari 340 juta anak-anak dan remaja berusia 5-19
kelebihan berat badan atau obesitas. Tren masalah obesitas telah bergeser dari yang
sebelumnya terjadi pada negara-negara berpenghasilan tinggi yang sekarang meningkat
pada negara-negara berpenghasilan rendah. Kegemukan dan obesitas dikaitkan dengan
lebih banyak kematian di seluruh dunia daripada kekurangan berat badan. Secara
global ada lebih banyak orang yang mengalami obesitas daripada kekurangan berat
badan, ini terjadi di setiap wilayah kecuali bagian Afrika sub-Sahara dan Asia.3
Berdasarkan United Nations Children’s Fund (UNICEF) tahun 2012, negara
Indonesia menempati urutan kedua setelah Singapura dengan jumlah remaja obesitas
terbesar yaitu 12,2. Provinsi Aceh merupakan provinsi tertinggi prevalensi obesitas
dengan urutan nomor 23 dari 34 provinsi yang ada di Indonesia.4 Hasil Riset Kesehatan
Dasar (2013) menunjukkan bahwa prevalensi penduduk Indonesia mengalami obesitas
sebesar 15,4%. Prevalensi obesitas pada perempuan dewasa (>18 tahun) mengalami
peningkatan sebanyak 18,1% dari tahun 2007 (13,9%) menjadi 32,9%. Surabaya
merupakan kota dengan prevalensi penduduk yang mengalami obesitas dan obesitas
sentral terbanyak di Jawa Timur yaitu sebesar 27,3% dan 39,2%.5
Obesitas adalah suatu keadaan terjadinya penimbunan lemak yang berlebihan di
dalam tubuh.6 Pada umumnya obesitas merupakan faktor risiko untuk terjadinya

14
berbagai jenis penyakit degeneratif, seperti diabetes melitus, hipertensi, penyakit
jantung koroner dan berbagai jenis kanker. Obesitas tidak hanya terkait dengan
masalah kesehatan yang dapat menyebabkan diabetes, hipertensi, penyakit
kardiovaskuler dan kematian dini, tetapi juga terkait dengan masalah psikososial dan
beban sosial ekonomi. Perkembangan tren obesitas akan menyebabkan beban ekonomi
pada masyarakat.3

24
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Obesitas
Obesitas adalah kondisi di mana lemak tubuh berada dalam jumlah yang
berlebihan. Kondisi ini disebut sebagai penyakit kronik yang bisa diatasi. Obesitas juga
berhubungan dengan penyakit-penyakit yang dapat menurunkan kualitas hidup. 7
Obesitas merupakan keadaan yang menunjukkan tidak seimbangan antara tinggi dan
berat badan akibat kelebihan jaringan lemak dalam tubuh sehingga terjadi kelebihan
berat badan yang melampaui ukuran ideal.8
Obesitas merupakan penyakit dengan etiologi yang sangat kompleks dan belum
sepenuhnya diketahui. Keadaan ini terjadi jika makanan sehari-harinya mengandung
energi yang melebihi kebutuhan anak yang bersangkutan (positive energy balance).
Meskipun gen berperan penting dalam menentukan asupan makanan dan metabolisme
energi, gaya hidup dan faktor lingkungan dapat berperan dominan pada banyak orang
dengan kejadian obesitas.9
Obesitas adalah peningkatan lemak tubuh yang berlebihan. Obesitas disebabkan
adanya keseimbangan energi positif, sebagai akibat ketidakseimbangan antara asupan
energi dengan keluaran energi, sehingga terjadi kelebihan energi yang disimpan dalam
bentuk jaringan lemak. Obesitas merupakan penyakit multifaktorial yang diduga
bahwa sebagian besar obesitas disebabkan oleh karena interaksi antara 9 faktor genetik
dan faktor lingkungan, antara lain aktivitas fisik, gaya hidup, sosial ekonomi dan
nutrisional yaitu perilaku makan dan pemberian makanan padat terlalu dini pada bayi.10

2.2 Faktor Penyebab Obesitas


Obesitas merupakan masalah dengan faktor penyebab dari berbagai aspek.
Determinan obesitas di wilayah perkotaan menjadi faktor dari diri individu (internal)
dan faktor dari luar individu (eksternal).11
1. Faktor dari Diri Individu (Internal)
a. Faktor Internal yang Tidak Dapat Diubah
Faktor internal yang tidak dapat diubah terdiri dari genetik, jenis kelamin, usia,
ras, dan riwayat obesitas. Riwayat obesitas dibedakan menjadi riwayat keluarga
dan riwayat individu di masa lalu. Riwayat keluarga menggambarkan status
obesitas yang terdapat pada orang tua dan saudara kandung sedangkan riwayat

34
individu di masa lalu menjelaskan apakah individu tersebut pernah mengalami
obesitas atau tidak.11
1) Faktor Genetik
Beberapa gen terdeteksi lebih tinggi pada orang yang mengalami
obesitas. Gen Angiotensin Converting Enzyme (ACE) Deletion Allele (DA)
Genotype secara signifikan lebih tinggi pada kelompok yang mengalami
obesitas (p=0,02;). ACE dapat mengkatalis pembentukan hormon
Angiotensin II yang dapat meningkatkan pembentukan Fatty Acid Synthase
(FAS) yang mengatur sintesis lemak dan pembentukan jaringan adiposa.11
Gen lain yang juga dihubungkan dengan obesitas adalah Gen
Peroxisome Proliferator-Activated Receptor (PPAR). Allele minor dari
rs2016520 pada PPARδ berhubungan dengan IMT yang lebih rendah
(p<0,01) dan rs10865170 pada PPARƴ berhubungan dengan. PPARδ
memperbaiki kemampuan metabolik dengan meningkatkan HDL dan
menurunkan LDL, Trigliserida dan Insulin. PPARƴ berperan dalam
meningkatkan mekanisme adiposa.11
2) Jenis Kelamin
Prevalensi obesitas lebih banyak ditemukan pada perempuan
dibandingkan laki-laki. Seluruh penelitian yang mengaitkan jenis kelamin
dengan obesitas menunjukkan hal yang sama. Hal ini diduga berkaitan
dengan perilaku aktivitas fisik perempuan yang lebih rendah dibandingkan
laki-laki. Selain itu, perempuan lebih banyak menghasilkan hormon ghrelin,
terkait dengan siklus mentruasi.11
3) Pertambahan Usia
Pertambahan usia juga merupakan faktor risiko terjadinya obesitas
yang tidak dapat dihindari. Penelitian dari berbagai wilayah di dunia
menunjukkan obesitas lebih banyak terjadi pada kelompok dengan usia
yang lebih tua. Sebagian besar menemukan peningkatan risiko obesitas
dimulai pada usia 30 tahun ke atas.11
4) Ras dan Riwayat Keluarga
Ras dan riwayat keluarga menjadi faktor tidak dapat diubah, yang
meningkatkan risiko obesitas. Ras tertentu memiliki risiko yang lebih besar
mengalami obesitas. Beberapa suku tersebut adalah Suku Tamil di Sri
Lanka, African America, dan Hispanic Black. Kelompok yang memiliki

44
orang tua yang obesitas ditemukan memiliki prevalensi obesitas yang lebih
besar. Ras dan riwayat keluarga berhubungan dengan gen. Distribusi gen
ACE (I/D) signifikan pada ras yang berbeda. Suku kulit hitam memiliki
kemunculan gen ACE yang lebih tinggi dibandingkan suku kulit putih.11
5) Riwayat mengalami Obesitas
Kelompok yang mengalami obesitas pada usia 18 tahun secara
signifikan memiliki risiko yang lebih besar untuk mengalami obesitas.
Selain itu, orang dewasa yang mengalami kelaparan di masa anak-anak juga
lebih berrisiko mengalami obesitas.11

b. Faktor Internal yang Dapat Diubah


Selain faktor yang tidak dapat diubah, beberapa faktor internal yang
memengaruhi obesitas masih dapat diubah. Faktor internal yang dapat diubah
diklasifikasikan menjadi faktor karakteristik, seperti pendidikan, sosial
ekonomi, status pernikahan, dan kondisi fisiologis khusus, faktor sikap, dan
faktor perilaku. Faktor-faktor yang dapat diubah ini merupakan hal yang perlu
diperhatikan dalam penyusunan program intervensi untuk menangani masalah
obesitas di wilayah perkotaan. Selanjutnya, faktor-faktor ini akan dijelaskan
secara lebih terperinci.11
1) Faktor Pendidikan
Tingkat pendidikan berhubungan dengan obesitas, meskipun arah
hubungannya berbeda-beda pada masing-masing wilayah. Tingkat
pendidikan berbanding lurus dengan risiko obesitas pada wilayah India, Sri
Lanka, Indonesia dan beberapa negara di Afrika, namun, berbanding
terbalik di wilayah-wilayah di Amerika dan Perancis. Hal ini diperkirakan
karena perbedaan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di negara-negara
tersebut. Asosiasi positif antara tingkat pendidikan dan obesitas terjadi pada
negara berkembang sedangkan pada negara maju, asosiasi antara tingkat
pendidikan dan obesitas berlaku terbalik.11
2) Faktor Sosial Ekonomi
Sosial ekonomi dapat meliputi pekerjaan, pendapatan (individu dan
keluarga), besar pengeluaran pangan, dan kepemilikan kendaraan.
Fenomena yang sama terjadi seperti halnya faktor tingkat pendidikan. Di
wilayah negara-negara maju seperti Amerika dan Eropa, status sosial

54
ekonomi berbanding terbalik dengan terjadinya obesitas. Sedangkan pada
negara-negara di wilayah Asia dan Afrika, status sosial ekonomi
berbanding lurus dengan terjadinya obesitas. Kelompok subjek yang
memiliki kendaraan, baik mobil maupun sepeda motor, memiliki prevalensi
obesitas yang lebih besar.11
3) Status Pernikahan
Status pernikahan dan paritas memiliki dampak yang serupa
terhadap obesitas. Kelompok subjek yang sudah atau pernah menikah lebih
berisiko mengalami obesitas dengan indikator IMT, Lemak Tubuh maupun
Lingkar Pinggang.11 Demikian pula paritas yang meningkatkan risiko
terjadinya obesitas baik pada indikator IMT, Lingkar Pinggang, maupun
Lingkar Panggul.11 Di samping paritas, jumlah kehamilan dan kehamilan
pendek yang meliputi aborsi, keguguran, maupun kelahiran prematur, juga
berhubungan dengan kejadian obesitas.11
Penyakit tidak menular yang dimaksud pada penelitian ini adalah
kondisi fisiologis khusus yang diduga berhubungan dengan obesitas pada
orang dewasa. Kondisi-kondisi yang dimaksud antara lain asma, hipertensi,
hiperurisemia, dan hiperkolesterolemia. Kondisi-kondisi ini meningkatkan
risiko terjadinya obesitas pada orang dewasa di wilayah perkotaan.11
4) Faktor Perilaku
Faktor yang secara langsung berhubungan dengan obesitas adalah faktor
perilaku yang dibagi menjadi perilaku konsumsi dan perilaku aktivitas.
Perilaku konsumsi terdiri dari asupan energi dan zat gizi, konsumsi minyak
dan makanan digoreng, konsumsi buah dan sayur, kebiasaan makan di luar,
konsumsi gula tambahan, konsumsi minuman ringan dan minuman
beralkohol, serta kebiasaan merokok.11
a) Perilaku konsumsi
Asupan energi dan zat gizi makro berbanding lurus dengan kejadian
obesitas. Obesitas terjadi akibat penyimpanan kelebihan energi
dibandingkan dengan kebutuhan. Setiap kelebihan 3500 kkal, tubuh
akan menyimpan sekitas 500 gram jaringan adiposa. Namun demikian,
asupan zat gizi mikro, terutama vitamin larut lemak, berbanding terbalik
dengan kejadian obesitas baik dengan indikator IMT maupun indikator
lingkar pinggang. Penderita obesitas memiliki jumlah jaringan adiposa

64
yang lebih banyak dibandingkan orang normal. Jaringan adiposa adalah
tempat utama penyimpanan vitamin larut lemak di dalam tubuh. Dengan
banyaknya jaringan adiposa, maka vitamin larut lemak yang beredar di
dalam darah akan lebih sedikit.11
Konsumsi minyak dan makanan yang digoreng, meningkatkan
risiko terjadinya obesitas. Pola konsumsi tinggi lemak hewani juga
menyebabkan risiko obesitas yang lebih besar daripada pola konsumsi
tinggi serat dan biji-bijian. Lemak dan minyak adalah penyumbang
energi terbesar dibandingkan zat gizi lain. Karena asupan energi
meningkatkan risiko obesitas, maka dapat dengan mudah dipahami
bahwa asupan lemak juga meningkatkan risiko obesitas. Konsumsi
minyak lebih dari 30 ml per hari berhubungan dengan kejadian obesitas
pada orang dewasa di wilayah perkotaan.11
Konsumsi buah dan sayur menurunkan risiko terjadinya obesitas.
Sayur dan buah merupakan pangan sumber serat dan zat gizi mikro.
Asupan zat gizi mikro yang tidak adekuat, berhubungan dengan
kejadian obesitas pada orang dewasa. Berbagai zat gizi mikro, berperan
dalam metabolisme energi, yang mencegah terbentuknya simpanan
energi dalam bentuk jaringan adiposa. Sayur dan buah juga merupakan
pangan dengan densitas energi yang rendah. Konsumsi lebih banyak
buah berhubungan dengan asupan energi total yang lebih rendah dan
pada akhirnya menurunkan risiko terjadinya obesitas.11
Konsumsi gula tambahan, minuman ringan, kudapan, dan minuman
beralkohol berbanding lurus dengan kejadian obesitas pada masyarakat
perkotaan. Makanan dan minuman ini merupakan pangan dengan energi
yang relatif tinggi. Konsumsi dalam jumlah berlebih akan meningkatkan
asupan energi yang apabila tidak dibarengi dengan peningkatan
aktivitas fisik akan menyebabkan pembentukan jaringan adiposa.11
Kebiasaan merokok juga ditemukan berhubungan dengan obesitas.
Mekanisme hubungan antara kebiasaan merokok dan obesitas masih
diperdebatkan. Sebagian peneliti menemukan kebiasaan merokok
meningkatkan risiko obesitas, sementara yang lain menemukan hal
sebaliknya. Perilaku merokok meningkatkan akumulasi lemak
abdominal. Terlepas dari hubungan dengan obesitas, merokok

74
merupakan perilaku yang menyebabkan banyak risiko kesehatan, seperti
penyakit kardiovaskular dan beberapa jenis kanker, sehingga kebiasaan
ini sudah seharusnya dihindari.11
b) Perilaku aktivitas
Perilaku aktivitas yang juga merupakan faktor internal yang secara
langsung berhubungan dengan obesitas. Aktivitas fisik akan
meningkatkan pengeluaran energi yang didapatkan dari perilaku
konsumsi. Berbagai penelitian menegaskan hasil yang serupa, bahwa
aktif secara fisik menjadi faktor protektif terhadap tejadinya obesitas di
wilayah perkotaan. Sebaliknya, perilaku sedentari menjadi faktor yang
mendukung terjadinya obesitas. Salah satu perilaku sedentari yang
banyak diidentifikasi pada masyarakat perkotaan adalah screen time,
termasuk didalamnya kebiasaan menonton televise. Menonton televisi
lebih dari dua jam per hari meningkatkan risiko obesitas. Pada ibu
rumah tangga, salah satu faktor yang juga mendukung aktivitas
sedentari adalah adanya asisten rumah tangga yang membantu
pekerjaan di rumah. Hal ini menurunkan beban pekerjaan ibu rumah
tangga, namun dapat berdampak pada meningkatnya risiko obesitas.11
Durasi tidur merupakan faktor yang memiliki dampak khusus pada
metabolisme yang berhubungan dengan kejadian obesitas. Durasi tidur
ditemukan berhubungan dengan obesitas. Orang dewasa yang tidur 5-7
jam perhari memiliki risiko 1,21 kali untuk mengalami obesitas (OR
1,21; 95%CI: 1,05-1,39). Risiko menjadi lebih besar apabila durasi tidur
lebih pendek, kurang dari lima jam, dengan OR 1,73 (95%CI: 1,47-
2,03). Tidur yang baik dapat memperbaiki sistem metabolisme,
sehingga dengan durasi yang cukup, juga tidak berlebihan (>9 jam per
hari), tidur dapat menurunkan risiko terjadinya obesitas.11
Perilaku aktivitas yang juga perlu diperhatikan adalah kebiasaan
berkendara. Hal ini berkaitan dengan bagaimana kebiasaan transportasi
masyarakat perkotaan. Kelompok masyarakat yang terbiasa bepergian
dengan menggunakan kendaraan pribadi, lebih besar risikonya
mengalami obesitas. Demikian halnya dengan transportasi publik
seperti kereta maupun bis, walaupun tidak sebesar risiko pengendara
kendaraan pribadi, bepergian dengan transportasi publik risikonya

84
terhadap kejadian obesitas lebih besar dibandingkan dengan kelompok
yang terbiasa mengendarai sepeda atau berjalan kaki.11
5) Faktor Sikap
Perilaku konsumsi yang telah dijabarkan sebelumnya dipengaruhi
oleh berbagai faktor. Sikap individu merupakan faktor internal yang dapat
memengaruhi perilaku konsumsi. Faktor yang termasuk dalam domain
sikap antara lain, food concern, self efficacy, dan body image. Food
concern digambarkan sebagai perasaan khawatir akan ketersediaan pangan
untuknya dan keluarganya. Perasaan khawatir ini dapat muncuk akibat
pendapatan dan status sosial ekonomi yang rendah dan jumlah anak lebih
dari 3 orang. Kelompok subyek yang memiliki food concern berisiko 1,18
kali lebih tinggi untuk mengalami obesitas. Alasan yang paling mungkin
untuk menjelaskan hal ini adalah kemungkinan bahwa individu dengan
kekhawatiran akan kecukupan pangan akan mengonsumsi makanan secara
berlebihan setap kali ada kesempatan. Hal ini pada akhirnya berdampak
pada kelebihan asupan energi yang menjadi faktor langsung terjadinya
obesitas.11
Self efficacy adalah keyakinan diri bahwa dirinya dapat berperilaku
konsumsi yang baik dan sehat bagi dirinya. Keyakinan diri berbanding
terbalik dengan kemunculan obesitas. Keyakinan diri yang rendah untuk
memunculkan perilaku konsumsi yang sehat akan menghambat kemunculan
perilaku yang sehat, sehingga risiko obesitas dapat meningkat.11
Selanjutnya, body image atau citra tubuh merupakan persepsi diri
mengenai status gizi. Citra tubuh dapat bersifat positif maupun negatif.
Citra tubuh positif terjadi apabila persepsi individu sesuai dengan indikator
status gizi yang seharusnya digunakan. Pada pengukuran lain, citra tubuh
juga mengukur persepsi individu mengenai dirinya sendiri. Pada
pengukuran seperti ini, citra tubuh positif apabila persepsi individu
mengenai status gizinya, sesuai dengan status gizi yang didapatkan
berdasarkan indikator yang seharusnya. Seseorang yang memiliki persepsi
bahwa status gizi normal memiliki postur yang lebih besar dibandingkan
dengan IMT normal yang sesungguhnya (misalkan postur tubuh dengan
IMT 27), maka berisiko lebih besar mengalami obesitas.11

94
2. Faktor dari Luar Individu (Eksternal)
Faktor eksternal dapat memengaruhi munculnya obesitas melalui domain
perilaku konsumsi maupun perilaku aktivitas. Faktor eksternal seperti dukungan
keluarga dan food environment memengaruhi perilaku konsumsi. Faktor eksternal
yang lain, seperti densitas area, infrastruktur, dan perubahan lingkungan
memengaruhi risiko obesitas melalui perilaku aktivitas.11
a) Dukungan Keluarga
Dukungan keluarga memengaruhi sikap individu terhadap obesitas. Individu
yang memiliki orang-orang, misalnya ibu, yang memberikan dukungan positif
akan memiliki sikap yang positif. Sikap yang positif akan mendukung
kemunculan perilaku konsumsi maupun perilaku aktivitas yang lebih baik.
Sehingga, dukungan keluarga dapat memengaruhi kejadian obesitas.11
b) Food Environment
Food environment menggambarkan situasi lingkungan yang berkaitan
dengan pangan. Faktor ini dapat mendukung atau menghambat kemunculan
perilaku konsumsi individu di lingkungan tersebut. Penjualan makanan jajanan
menunjukkan ketersediaan pangan jajanan di suatu wilayah. Ketersediaan
makanan akan memengaruhi pemilihan makanan oleh masyarakat di suatu
wilayah. Ketersediaan pangan jajanan atau kudapan tinggi energi meningkatkan
risiko obesitas bagi kelompok yang tinggal di wilayah tersebut. Secara kualitatif,
adanya toko makanan menjadi hambatan terbesar bagi masyarakat yang
menginginkan berat badan ideal.11
c) Densitas Area
Akses terhadap restoran maupun minimarket dapat dijelaskan melalui dua
domain yang berbeda. Pertama, domain perilaku, yang menunjukkan kebiasaan
individu memanfaatkan keberadaan restoran maupun minimarket untuk
memenuhi kebutuhan pangannya. Kedua, adalah jumlah restoran maupun
minimarket pada wilayah tertentu, yang menunjukkan jarak yang perlu ditempuh
untuk mencapai restoran ataupun minimarket terdekat. Keduanya secara
konsisten meningkatkan risiko terjadinya obesitas.11
d) Perubahan Lingkungan
Perubahan lingkungan, seperti migrasi dan urbanisasi juga diketahui
berhubungan dengan obesitas melalui pengaruhnya terhadap food environment

104
serta sarana dan prasarana pendukung perilaku aktivitas. Kelompok yang pada
mulanya tinggal di wilayah pedesaan kemudian pindah ke wilayah perkotaan
lebih besar risikonya mengalami obesitas dibandingkan kelompok yang menetap
di pedesaan. Di kota-kota besar di Amerika Serikat menunjukkan bahwa
perpindahan ke wilayah perkotaan pada usia yang lebih muda menyebabkan
risiko obesitas menjadi lebih besar. Bukan hanya itu, wilayah pedesaan yang
berkembang dan mengalami kemajuan sehingga menyerupai wilayah perkotaan,
menyebabkan peningkatan prevalensi obesitas pada penduduknya.11

2.3 Patofisiologi Obesitas


Obesitas terjadi karena adanya kelebihan energi yang disimpan dalam bentuk
jaringan lemak. Gangguan keseimbangan energi ini dapat disebabkan oleh faktor
eksogen (obesitas primer) sebagai akibat nutrisional (90%) dan faktor endogen
(obesitas sekunder) akibat adanya kelainan hormonal, sindrom atau defek genetik
(meliputi 10%).12
Pengaturan keseimbangan energi diperankan oleh hipotalamus melalui 3 proses
fisiologis, yaitu: pengendalian rasa lapar dan kenyang, memengaruhi laju pengeluaran
energi, dan regulasi sekresi hormon. Proses dalam pengaturan penyimpanan energi ini
terjadi melalui sinyal-sinyal eferen (yang berpusat di hipotalamus) setelah
mendapatkan sinyal aferen dari perifer (jaringan adipose, usus dan jaringan otot).
Sinyal-sinyal tersebut bersifat anabolik (meningkatkan rasa lapar serta menurunkan
pengeluaran energi) dan dapat pula bersifat katabolik (anoreksia, meningkatkan
pengeluaran energi) dan dibagi menjadi 2 kategori, yaitu sinyal pendek dan sinyal
panjang. Sinyal pendek memengaruhi porsi makan dan waktu makan, serta
berhubungan dengan faktor distensi lambung dan peptida gastrointestinal yang
diperankan oleh kolesistokinin (CCK) sebagai stimulator dalam peningkatan rasa
lapar. Sinyal panjang diperankan oleh fat-derived hormon leptin dan insulin yang
mengatur penyimpanan dan keseimbangan energi. Apabila asupan energi melebihi
dari yang dibutuhkan, maka jaringan adiposa meningkat disertai dengan peningkatan
kadar leptin dalam peredaran darah. Leptin kemudian merangsang anorexigenic
center di hipotalamus agar menurunkan produksi Neuro Peptide Y (NPY), sehingga
terjadi penurunan nafsu makan. Demikian pula sebaliknya bila kebutuhan energi lebih
besar dari asupan energi, maka jaringan adiposa berkurang dan terjadi rangsangan
pada orexigenic center di hipotalamus yang menyebabkan peningkatan nafsu makan.

114
Pada sebagian besar penderita obesitas terjadi resistensi leptin, sehingga tingginya
kadar leptin tidak menyebabkan penurunan nafsu makan. Pengontrolan nafsu makan
dan tingkat kekenyangan seseorang diatur oleh mekanisme neural dan humoral
(neurohumoral) yang dipengaruhi oleh genetik, nutrisi, lingkungan, dan sinyal
psikologis. Mekanisme ini dirangsang oleh respon metabolik yang berpusat pada
hipotalamus. Seperti yang tampak pada gambar berikut:12

Gambar 2.3.1 pengaturan keseimbangan energi. Jaringan lemak menghasilkan sinyal


aferen yang mengaktifkan hipotalamus untuk mengatur nafsu makan dan
kekenyangan. Sinyal ini menurunkan intake makanan dan menghambat siklus
anabolik, dan mengaktifkan pemakaian energi dan mengaktifkan siklus katabolik.12

2.4 Klasifikasi Obesitas


Obesitas bisa terjadi karena tidak seimbangnya antara asupan energi dengan
pengeluaran energi sehingga berlebihnya asupan tersebut akan menumpuk di jaringan
adiposa, penumpukan kelebihan energi tersebut yang akan menjadi obesitas. Terdapat
dua kemungkinan timbulnya kelebihan energi tersebut yaitu berlebihnya asupan energi
atau kurangnya atau rendahnya pengeluaran energi.13
Akan terjadi keseimbangan tubuh (homeostatis) terhadap energi ketika seseorang
menyantap makanan, keseimbangan tersebut terjadi karena energi yang masuk
(melalui makanan) akan dikeluarkan melalui panas tubuh dan kegiatan lain yang
membutuhkan energi. Berlebihnya asupan energi karena masuknya makanan yang
terlalu berlebihan dan juga keluarnya energi lebih rendah yang disebabkan oleh
rendahnya metabolisme tubuh dan kurangnya aktivitas fisik. 13

124
Gangguan sistem keseimbangan disebabkan oleh dua faktor yaitu idiopatik ataupun
kelainan pada sistem hormonal dan sindrom atau defek genetik. Obesitas yang terjadi
karena idiopatik disebut obesitas idiopatik, sedangkan obesitas yang terjadi karena
adanya sebab yang jelas disebut obesitas endogen.13

Tabeb 2.4.1 Klasifikasi Obesitas14

OBESITAS IDIOPATIK OBESITAS ENDOGEN

>90% kasus <10% kasus

Perawakan tinggi (umumnya >50th Perawakan pendek (umumnya <50 th


persentil TB/U) persentil TB/U)

Riwayat obesitas umumnya positif Riwayat obesitas umumnya negative

Fungsi mental normal Fungsi mental seringkali retardasi

Usia tulang : normal atau advanced Usia tulang : terlambat (delayed)

Pemeriksaan fisik umumnya normal Terdapat stigmata pada pemeriksaan

2.5 Manifestasi Klinis Obesitas


Seseorang yang menderita obesitas biasanya mudah dikenali, terutama pada anak-
anak. Ciri yang khas pada obesitas diantaranya adalah wajah membulat, pipi tembem,
dagu rangkap, leher pendek, payudara membesar karena adanya deposit lemak, kedua
tungkai membentuk X serta pangkal paha bergesekan dan menempel yang akan
menimbulkan ulserasi, dan perut yang membuncit. Pada anak laki-laki penis terlihat
kecil karena tertutup oleh jaringan lemak.16
Distribusi lemak pada obesitas juga mempengaruhi bentuk fisik seseorang yang
menderitanya. Pada obesitas terdapat 3 bentuk distribusi lemak yaitu apple shape
body (android), pear shape body (gynoid), dan intermediate. Pada apple shape body,
distribusi lemak cenderung bertumpuk pada bagian atas tubuh (dada dan pinggang),
bentuk tubuh seperti ini juga beresiko tinggi mengalami penyakit kardiovaskular,
hipertensi dan diabetes. Pear shape body distribusi lemak cenderung lebih banyak

134
pada bagian bawah (pinggul dan paha). Sedangkan bentuk tubuh intermediate lemak
terdistribusi ke seluruh bagian tubuh secara hampir merata.16

2.6 Pendekatan Diagnostik Obesitas


Diagnosis obesitas ditegakkan dengan cara pengukuran Indeks Massa Tubuh
(IMT). IMT adalah indeks sederhana dari berat badan terhadap tinggi badan yang
digunakan untuk mengklasifikasikan kelebihan berat badan dan obesitas pada orang
dewasa. IMT didefinisikan sebagai berat badan seseorang dalam kilogram dibagi
dengan kuadran tinggi badan dalam meter kuadrat (m2). Pada pemeriksaan fisik harus
diperiksa tekanan darah , nadi, suhu tubuh, berat badan, tinggi badan, IMT, dan
lingkar perut.16

Berat Badan( Kg)


IMT =
Tinggi Badan ( m ) x Tinggi Badan(m)

Tabel 2.6.1 Klasifikasi WHO16

KLASIFIKASI IMT
Berat badan kurang (underweight) <18.5
Berat badan normal 18.5-22.9
Kelebihan berat badan (overweight)
Dengan risiko 23-24.9
Obesitas I 25-29.9
Obesitas II ≥ 30

IMT memiliki korelasi positif dengan total lemak tubuh, tetapi IMT bukan
merupakan satu-satunya indikator untuk mengukur obesitas. Selain IMT, metode lain
untuk pengukuran antropometri tubuh adalah dengan cara mengukur lingkar
perut/lingkar pinggang. Internasional Diabetes Federation (IDF) mengeluarkan
kriteria ukuran lingkar perut berdasarkan etnis.16

Gambar 2.6.2 Kriteria Ukuran Lingkar Pinggang Berdasarkan Etnis16

NEGARA/GRUP ETNIS LINGKAR PINGGANG (CM)

144
PADA OBESITAS
Eropa Pria >94, wanita >80
Asia Selatan, Populasi China, Pria >90, wanita>80
Melayu dan Asia-India
China Pria >90, wanita >80
Jepang Pria >85, wanita>80
Amerika Tengah Gunakan rekomendasi Asia Selatan,
hingga tersedia data spesifik
Sub-sahara Afrika Gunakan rekomendasi Eropa hingga
tersedia data spesifik
Timur Tengah Gunakan rekomendasi Eropa hingga
tersedia data spesifik

2.7 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk menyingkirkan adanya penyakit
endokrin lainnya sebagai penyebab obesitas. Skrining untuk keadaan komorbid
(sindroma metabolik), dan untuk melihat adanya komplikasi dari organ target.17

2.8 Tatalaksana Obesitas


Berikut adalah manajemen penanganan obesitas menurut IMT :17
Tabel 2.8.1 Manajemen penanganan obesitas

IMT 23.0-24.9 25.0-29.9 ≥ 30.0

Risiko Ringan Sedang Berat

Nutrisi ✔ ✔ ✔

Aktivitas fisik ✔ ✔ ✔

Terapi perilaku ✔ ✔ ✔

Medikasi ✔ ✔

Pembedahan ✔

154
1. Non Farmakologi
a. Perubahan gaya hidup
1) Terapi diet
Terapi diet bertujuan untuk membuat defisit kalori sebesar 500-1000
kkal/hari. Pendekatan terhadap pola makan bergantung pada penurunan
penyerapan energi total. Penentu utama dalam terapi diet adalah
komposisi total energi dari diet tersebut. Diet rendah kalori sangat efektif
dalam penurunan berat badan.17
2) Aktivitas fisik
Program aktivitas fisik harus dibuat berdasarkan status kesehatan dan
kondisi fisik pasien. Perlu juga diperhatikan asupan cairan pasien sebelum,
saat, dan sesudah melakukan aktifitas fisik. Pada tahap awal dapat
melakukan aktivitas fisik sedang selama 30-45 menit sehari sebanyak 3-5
kali seminggu. Aktifitas fisik dapat ditingkatkan sesuai kemampuan
pasien. Pasien juga harus melakukan latihan kekuatan otot dengan 1-3 set
latihan untuk otot-otot utama setidaknya dua kali dalam seminggu.17

b. Terapi perilaku
Diperlukan suatu strategi untuk menghadapi hambatan yang muncul.
Strategi spesifik tersebut meliputi pengawasan mandiri terhadap kebiasaan
makan dan aktivitas fisik, manajemen stres, stimulus kontrol, pemecahan
masalah, serta dukungan sosial.17
2. Farmakologi
Golongan obat yang biasa digunakan yaitu golongan gastrointestinal lipase
inhibitor dengan contoh obatnya Orlistat. Orlistat diakui dapat digunakan jangka
panjang membantu menghambat penyerapan lemak yang dikonsumsi.
Penggunaannya bersama dengan diet rendah kalori yang diawasi penyedia
layanan kesehatan.18
Mekanisme kerja orlistat menghambat lipase lambung dan pankreas secara
reversibel. Lipase ini memiliki peran penting dalam pencernaan lemak makanan.
Lipase bekerja dengan memecah trigliserida menjadi asam lemak bebas dan
monogliserida yang dapat diserap. Orlistat secara kovalen mengikat residu serin
dari situs aktif lipase dan menonaktifkannya. Inaktivasi lipase mencegah

164
hidrolisis trigliserida, sehingga asam lemak bebas tidak diserap. Mayoritas (lebih
dari 99%) obat terikat pada protein plasma (lipoprotein dan albumin adalah
protein pengikat utama.18
Dosis orlistat yang dianjurkan adalah 120 mg kapsul secara oral tiga kali
sehari. Pemberiannya harus selama atau dalam 1 jam setelah makan yang
mengandung lemak. Dosis lebih dari 120 mg belum menunjukkan manfaat
tambahan. Manfaat maksimal orlistat terjadi bila digunakan bersama dengan diet
dan olahraga. Berat badan mulai berkurang dalam 2 minggu setelah menggunakan
orlistat. Secara statistik, penurunan berat badan yang signifikan terjadi ketika
penggunaan orlistat lebih dari 2 bulan.18
3. Pembedahan
Indikasi dari pembedahan pada obesitas yakni BMI ≥ 35kg/m2; adanya satu
atau lebih penyakit komorbid yang dapat teratasi secara signifikan dengan
penurunan berat badan (imobilisasi, artritis, DM Tipe 2); berat badan tidak dapat
dikontrol setelah dilakukan pengontrolan diet, aktivitas fisik, terapi perilaku dan
obat-obatan.17

174
2.9 Dampak Obesitas pada Kesehatan
Obesitas memiliki efek yang merugikan terhadap kesehatan. Obesitas berkaitan
dengan peningkatan mortalitas, dengan peningkatan 50% - 100% risiko kematian oleh
semua sebab dibandingkan dengan normal, terutama disebabkan oleh kausa
kardiovaskular. Obesitas dan overweight bersama-sama adalah penyebab tersering
kedua yang dapat dicegah.15
1. Percepatan proses penuaan
Umur biologis adalah usia tubuh yang dipengaruhi oleh kondisi kesehatan secara
umum. Salah satu untuk menghitung umur biologis melalui komposisi lemak
dalam tubuh. Bila sel lemak berlebih maka dikeluarkannya zat-zat yang bersifat
oksidatif atau radikal bebas yang bisa menyebabkan umur sel lebih tua.15
2. Gangguan kecerdasan
Studi Human Brain Mapping melaporkan bahwa jaringan otak anak yang obesitas
4% lebih kurang dari anak dengan berat badan normal. Orang dewasa yang
menderita obesitas otaknya 8 tahun kelihatan lebih menua dari orang dewasa
dengan berat badan normal. Hal ini disebabkan oleh efek radikal bebas dan

184
gangguan pembuluh darah perifer karena kadar kadar lemak dan gula yang
tinggi.15
3. Resistensi insulin
Obesitas merupakan faktor risiko munculnya resistensi insulin yang akan
bermanifestasi munculnya hipertensi, dislipidemia, hiperuremia, disfungsi endotel
dan lipotoksisitas terhadap sel beta. Akibat obesitas sentral akan meningkatkan
kejadian DM tipe 2, penyakit kardiovaskuler dan gangguan pembekuan darah.
Sebesar 60% penderita DM tipe 2 berhubungan dengan obesitas.15
4. Kanker
Walaupun belum kuat bukti ilmiah hubungan sebab akibat obesitas ilmiah
hubungan sebab akibat obesitas dengan kanker namun banyak bukti penurunan
berat badan dan peningkatan aktivitas fisik dapat bermanfaat untuk mencegah
perkembangan sel kanker. Hal ini diduga melalui peranan Insulin-Like Growth
Factor (IGF) yaitu terjadinya peningkatan jumlah reseptor ini sehingga sel
menjadi lebih reaktif terhadap IGF.
5. Osteoartritis
Obesitas merupakan salah satu faktor resiko terjadinya osteoartritis lutut. Sendi
lutut merupakan tumpuan dari setengah berat badan seseorang selama berjalan.
Berat badan yang meningkat akan memperberat tumpuan pada sendi lutut.
Pembebanan lutut dapat menyebabkan kerusakan kartilago, kegagalan ligamen dan
struktur lain. Penambahan berat badan membuat sendi lutut bekerja lebih keras
dalam menopang berat tubuh. Sendi yang bekerja lebih keras akan mempengaruhi
daya tahan dari tulang rawan sendi. Rawan sendi akan rusak dan menyebabkan
sendi kehilangan sifat kompresibilitasnya dan menyebabkan terjadinya perubahan
biofisika yang berupa fraktur jaringan kolagen dan degradasi proteoglikan.15
6. Kolelithiasis
Individu dengan berat badan berlebih dan obesitas yang mengkonsumsi makanan
tinggi kalori dapat membuat terganggunya pengosongan kandungan empedu. Hal
tersebut membuat terganggunya motilitas kandung empedu, sehingga menjadi
pengendapan. Dimana pada orang dengan berat badan berlebih dan obesitas, kadar
kolesterol meningkat. Obesitas akan meningkatkan risiko batu empedu kolesterol
dengan meningkatkan sekresi kolesterol empedu, sebagai hasil peningkatan
aktivitas reduktase koenzim A-2 hidroksi-3 mthilglutaryl (HMGCoA).15
7. Kematian pada usia muda

194
Oleh karena luasnya dampak dari obesitas pada manusia sehingga angka
morbiditas meningkat dan akhirnya angka mortalitas juga meningkat. Laporan
OECD tahun 2010, mengungkapkan bahwa orang obesitas 8-10 kali lebih cepat
risiko meninggal dibanding orang yang tidak obesitas. Setiap kelebihan berat
badan 15 kg dari berat badan ideal maka akan meningkat risiko kematian sebesar
30%.15

2.10 Prognosis Obesitas


Kebanyakan penderita yang melakukan penurunan berat badan berhasil
menurunkan berat badannya dalam waktu jangka pendek, tetapi rata-rata kenaikan
berat badan kembali biasanya terjadi. Rata-rata program penurunan berat badan akan
menurunkan 10% dari berat badan asli dalam dua belas hingga empat belas minggu,
tetapi mayoritas akan mengalami kenaikan berat badan kembali sebanyak 60% dari
berat badan yang berkurang dalam satu tahun.17
Usia harapan hidup pada penderita obesitas sedang dapat berkurang dua hingga
lima tahun, dan seorang pria yang berusia dua puluh hingga tiga puluh tahun dengan
IMT >45 dapat kehilangan tiga belas tahun kehidupannya. Terlihat pula bahwa derajat
obesitas mempengaruhi sistem organ tertentu dipengaruhi oleh gen-gen kerentanan
yang bervariasi dalam populasi.17

2.11 Pencegahan Obesitas


Adapun, teknik makan yang perlu diperhatikan agar tidak mudah lapar dan nafsu
makan tetap terkendali, sebagai berikut :12
1. Makan perlahan
Makan dengan perlahan dapat membantu rasa kenyang lebih cepat. Cara ini dapat
merangsang tubuh memproduksi hormon leptin dan mengirimkan sinyal kenyang
ke otak untuk berhenti makan.12
2. Konsumsi lebih banyak protein
Protein mempunyai sifat lebih mengenyangkan daripada karbohidrat maupun
lemak, sehingga makanan sumber protein pada setiap menu makanan seperti telur,
baik telur rebus atau dadar, ikan, susu dan yoghurt dan lain-lain harus ada.12
3. Konsumsi karbohidrat kompleks
Karbohidrat kompleks memiliki kadar gula yang stabil karena mengandung
molekul gula yang kompleks dan tidak dicerna secara cepat. Hal ini membuat

204
tubuh memiliki energi dalam jangka waktu lebih lama karena kadar gula dalam
darah tidak berfluktuasi. Karbohidrat kompleks juga memberikan stimulus
serotonin pada tubuh, yakni senyawa yang mengendalikan emosi dan juga nafsu
makan. Contoh makanan mengandung karbohidrat kompleks di antaranya, beras
merah, gandum dan olahan ubi.12
4. Serat Makanan
Kaya serat seperti sereal, sayuran, dan buah-buahan segar dapat membantu rasa
kenyang lebih cepat, sekaligus membantu memperbaiki kesehatan pencernaan.12

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Obesitas merupakan kelainan metabolisme yang kompleks dan bersifat
multifaktorial, memberikan dampak negatif bagi kesehatan karena berbagai
komplikasi yang diakibatkannya. Obesitas merupakan masalah dengan faktor
penyebab dari berbagai aspek. Secara garis besar dikelompokkan menjadi faktor dari
dalam diri individu dan faktor dari luar diri individu.
Obesitas bisa terjadi karena tidak seimbangnya antara asupan energi dengan
pengeluaran energi sehingga berlebihnya asupan tersebut akan menumpuk di
jaringan adipose, penumpukan kelebihan energi tersebut yang akan menjadi obesitas.
Terdapat dua kemungkinan timbulnya kelebihan energi tersebut yaitu berlebihnya
asupan energi atau kurangnya atau rendahnya pengeluaran energi.

214
Seseorang yang menderita obesitas biasanya mudah dikenali, terutama pada anak-
anak. Ciri yang khas pada obesitas diantaranya adalah wajah membulat, pipi
tembem, dagu rangkap, leher pendek, payudara membesar karena adanya deposit
lemak, kedua tungkai membentuk X serta pangkal paha bergesekan dan menempel
yang akan menimbulkan ulserasi, dan perut yang membuncit. Pada anak laki-laki
penis terlihat kecil karena tertutup oleh jaringan lemak.
Diagnosis obesitas ditegakkan dengan cara pengukuran Indeks Massa Tubuh
(IMT). IMT adalah indeks sederhana dari berat badan terhadap tinggi badan yang
digunakan untuk mengklasifikasikan kelebihan berat badan dan obesitas pada orang
dewasa. Selain IMT, metode lain untuk pengukuran antropometri tubuh adalah
dengan cara mengukur lingkar perut/lingkar pinggang.
Manajemen pengelolaan obesitas yakni dimulai dengan terapi non farmakologis
yakni dengan diet, aktivitas fisik dan perubahan perilaku. Sementara dengan terapi
farmakologi bisa menggunakan golongan gastrointestinal lipase inhibitor dengan
contoh obatnya Orlistat. Orlistat diakui dapat digunakan jangka panjang membantu
menghambat penyerapan lemak yang dikonsumsi. Indikasi dari pembedahan pada
obesitas yakni BMI ≥ 35kg/m2; adanya satu atau lebih penyakit komorbid yang dapat
teratasi secara signifikan dengan penurunan berat badan.
Usia harapan hidup pada penderita obesitas sedang dapat berkurang dua hingga
lima tahun, dan seorang pria yang berusia dua puluh hingga tiga puluh tahun dengan
IMT >45 dapat kehilangan tiga belas tahun kehidupannya. Terlihat pula bahwa
derajat obesitas mempengaruhi sistem organ tertentu dipengaruhi oleh gen-gen
kerentanan yang bervariasi dalam populasi.

3.2 Saran
Perlu dilakukan edukasi kepada masyarakat oleh petugas kesehatan dan pihak-
pihak terkait untuk dapat meningkatkan program penyuluhan mengenai obesitas agar
masyarakat menjadi sadar dan tahu tentang obesitas beserta dampaknya bagi
kesehatan.

224
DAFTAR PUSTAKA

1. Guntur Hermawan. Hubungan Pola Pikir Masyarakat dengan Tingginya Angka


Kejadian Obesitas. Medan : Universitas Sumatra Utara;2010.
2. Wulandari. Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Obesitas Pada Remaja di
SMAN 4 Kendari. Jurnal. 2016;5(2):6–17.
3. Erviana dan Hidayati T. 2019. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Obesitas pada Orang Dengan Disabilitas Intelektual : A Literature Review.
Avicenna Journal of Health Research. Vol 2(1).h:17 – 25.
4. Riskesdas. Profil Data Kesehatan. In 2018
5. Kemenkes RI. Riset Kesehatan Dasar 2013 Dalam Angka Provinsi Jawa Timur.
(2013).
6. Sofa, M. 2018. Kejadian Obesitas, Obesitas Sentral, dan Kelebihan Lemak Viseral
pada Lansia Wanita. Amerta Nutr. Vol.2(3).h: 228-236

234
7. Adriani, Merryana & Wirjatmadi Bambang. (2016). Peranan Gizi Dalam Siklus
Kehidupan. Jakarta: Kencana.
8. Sumanto, Agus. 2016. Tetap Langsing dan Sehat Dengan Terapi Diet. Jakarta
Selatan : Agrimedia Pustaka
9. Jannah, N. 2019. Pola Makan Pada Remaja Dengan Obesitas di Gribig Malang 2019.
Skripsi. Universitas Muhammadiyah Malang
10. Sumbono Aung. 2016. Biokimia Pangan Dasar. Jakarta: Deepublish; 47-48
11. Safitri, D dan Rahayu, N. 2020. Determinan Status Gizi Obesitas pada Orang
Dewasa di Perkotaan: Tinjauan Sistematis. ARKESMAS. Vol. 5(1). h:2-10
12. Cahyaningrum, A. 2015. Leptin Sebagai Indikator Obesitas. Jurnal Kesehatan
Prima. Vol. 9(1). h: 1368-1369
13. Sjarif DR. 2011, Buku Ajar Nutrisi Pediatrik Dan Penyakit Metabolik, Badan
Penerbit IDAI, Jakarta.
14. Dewi, W. 2013. Analisis Faktor Penyebab Obesitas Dan Cara Mengatasi Obesitas
Pada Remaja Putri. Skripsi. Universitas Negeri Semarang.
15. Singh, D. 2017. Perbandingan Aktivitas Pada Status Obesitas Dan Non Obesitas Di
Sd Al-Azhar Medan. Skripsi. Universitas Sumatera Utara.
16. Kemenkes RI. 2019. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2018.
17. Alwi I, Salim S, Hidayat R, Kurniawan J, Tahapary D. 2019. Penatalaksanaan di
Bidan Penyakit Dalam Jilid IV. InternaPublishing. Jakarta.
18. Nugroho, H. 2021. Analisis Efektivitas Orlistat Terhadap Penurunan Berat Badan
Pada Penderita Obesitas. Skripsi. Universitas Muhammadiyah Surakarta.

244

Anda mungkin juga menyukai