Anda di halaman 1dari 21

REFERAT

STATUS EPILEPTIKUS

Disusun Untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik


di Bagian Saraf RSAL Dr. Mintohardjo Jakarta

Disusun Oleh :
Bionardo 030.15.046
Nalendra Diwala Narayana 030.15.129
Puti Ridha Kurniawati Alfera 030.15.153
Ristianti Dwi Prawita 030.15.164
Yeni Susilawati 030.12.284
Risky Hadining Tias 030.14.168
Nia Nilawati 030.15.137

Pembimbing :
Dr. Budi Wahjono, Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF


RSAL DR. MINTOHARDJO JAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE 6 JANUARI – 8 FEBRUARI 2020
LEMBAR PENGESAHAN

Referat dengan judul:

Status Epileptikus

Disusun Untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik


di Bagian Saraf RSAL Dr. Mintohardjo Jakarta periode 6 Januari – 8 Februari 2020.

Disusun oleh:

Bionardo 030.15.046
Nalendra Diwala Narayana 030.15.129
Puti Ridha Kurniawati Alfera 030.15.153
Ristianti Dwi Prawita 030.15.164
Yeni Susilawati 030.12.284
Risky Hadining Tias 030.14.168
Nia Nilawati 030.15.137

Telah diterima dan disetujui oleh dr. Budi Wahjono, Sp.S selaku dokter pembimbing
Bagian Ilmu Penyakit Saraf di RSAL Dr. Mintohardjo Jakarta.

Jakarta, 30 Januari 2020

Mengetahui

dr. Budi Wahjono, Sp.S

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Kuasa atas kasih dan
karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan pembuatan referat ini. Penulis
mengucapkan terima kasih kepada seluruh staf pengajar di Bagian Ilmu Penyakit Saraf
RSAL Dr. Mintohardjo Jakarta, terutama kepada dr. Budi Wahjono, Sp.S atas segala
waktu dan bimbingannya yang telah diberikan kepada penulis. Penulis juga berterima
kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam penyelesaian penulisan
status ujian ini.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini tidaklah sempurna, oleh karena itu kritik
dan saran yang membangun diharapkan oleh pembaca sekalian. Akhir kata, penulis
berharap semoga status ujian ini bermanfaat untuk berbagai pihak yang telah
membacanya.

Penulis, 30 Januari 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................................. i
KATA PENGANTAR ..........................................................................................................ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 2
A. Definisi......................................................................................................................... 2
B. Epidemiologi ................................................................................................................ 2
C. Etiologi......................................................................................................................... 2
D. Faktor Risiko ................................................................................................................ 3
E. Klasifikasi .................................................................................................................... 3
F. Patofisiologi ................................................................................................................. 3
G. Manifestasi klinis ......................................................................................................... 6
H. Diagnosis...................................................................................................................... 8
I. Diagnosis Banding ....................................................................................................... 9
K. Tatalaksana .................................................................................................................. 9
L. Komplikasi ................................................................................................................. 14
M. Prognosis .................................................................................................................... 15
BAB III KESIMPULAN ................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 17

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Status epileptikus merupakan suatu kegawatdaruratan di bidang neurologi.


Bila tidak ditangani dengan baik, status epileptikus akan menyebabkan berbagai
macam komplikasi, sampai dengan kematian. Pada sekitar tahun 1950, tingkat
mortalitas status epileptikus mencapai 6-18%, namun dengan dikenalinya status
epileptikus sebagai suatu kondisi emergensi yang membutuhkan penanganan
segera, tingkat mortalitasnya jauh berkurang menjadi 4-5%; sebagian besar
merupakan akibat dari etiologi status epileptikus dan bukan akibat dari status
epileptikus itu sendiri. Karena itu, mengingat pentingnya pemahaman akan status
epileptikus, dalam referat ini akan dibahas definisi, etiologi, epidemiologi,
patofisiologi, manifestasi klinis, pemeriksaan penunjang, diagnosis, diagnosis
banding, tatalaksana, komplikasi, dan prognosis status epileptikus.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Pada konvensi Epilepsy Foundation of America (EFA), status epileptikus


didefinisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau lebih rangkaian kejang
tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang atau aktivitas kejang yang
berlangsung lebih dari 30 menit.1 Status epileptikus refrakter adalah status
epileptikus yang gagal berespon terhadap terapi, pada umumnya dengan setidaknya
2 jenis obat, salah satunya benzodiazepin.2 Status epileptikus refrakter super adalah
status epileptikus yang resisten pengobatan, atau yang rekuren meski telah diberi
antikejang intravena selama lebih dari 24 jam.3

B. Epidemiologi

Insiden status epileptikus pada anak diperkirakan sekitar 10-58 per 100.000
anak. Status epileptikus lebih sering terjadi pada anak usia muda, terutama usia
kurang dari 1 tahun dengan estimasi angka kejadian 1 per 1000 bayi.1

Status epileptikus febris adalah status epileptikus tersering pada anak.


Sekitar 30% anak yang mengalami status epileptikus merupakan episode kejang
pertama, dan 40% dari jumlah ini akan menderita epilepsi di kemudian hari. Secara
keseluruhan tingkat mortalitas status epileptikus <10% dan berhubungan dengan
etiologi pola kejang.2

C. Etiologi

Penyebab status epileptikus dibagi menjadi simptomatis dan idiopatik.


Penyebab simptomatis dibagi menjadi:1

• akut, seperti infeksi, hipoksia, gangguan glukosa atau keseimbangan


elektrolit, trauma kepala, pendarahan, stroke
• remote, bila terdapat riwayat kelainan sebelumnya, seperti ensefalopati
hipoksik iskemik, trauma kepala, infeksi, atau kelainan otak kongenital

2
• kelainan neurologi progresif, seperti tumor otak, kelainan metabolik,
penyakit autoimun misalkan vaskulitis
• epilepsi, penghentian antikonvulsan yang mendadak

D. Faktor Risiko

Epilepsi dan sakit kritis merupakan faktor risiko terjadinya status


epileptikus, karena pada pasien sakit kritis terjadi ketidakseimbangan elektrolit.
Sekitar 10-20% penderita epilepsi setidaknya akan mengalami satu kali episode
status epileptikus. Selain itu status epileptikus dapat menjadi manifestasi epilepsi
pertama pada 12% pasien baru epilepsi.1

Pasien yang sakit kritis yang menjadi faktor risiko status epileptikus
diantaranya adalah pasien dengan ensefalopati hipoksik-iskemik, trauma kepala,
infeksi SSP, penyakit kardiovaskular, penyakit jantung bawaan terutama post-
operatif, dan ensefalopati hipertensi.1

E. Klasifikasi
Klasifikasi status epilepticus dibagi menjadi :

a. Status epileptikus konvulsif: bangkitan dengan durasi lebih dari 5 menit atau
bangkitan berulang 2 kali atau lebih tanpa pulihnya kesadaran di antara
bangkitan.

b. Status epileptikus non-konvulsif: sejumlah kondisi saat aktivitas bangkitan


elektrografik memanjang (EEG status) dan memberikan gejala klinis non-
motorik termasuk perubahan perilaku atau awareness.

F. Patofisiologi

Status epileptikus terjadi akibat kegagalan mekanisme untuk membatasi


penyebaran kejang. Dapat berupa aktivitas neurotransmiter eksitasi yang berlebihan
seperti glutamat, aspartat, dan asetilkolin, dan/atau aktivitas neurotransmiter
inhibisi yang tidak efektif yaitu gamma-aminobutyric acid (GABA).1 Kejang
sendiri diakibatkan oleh malfungsi kanal ion pada sinaps sewaktu neurotransmisi.
Patofisiologi terjadinya kejang dapat dilihat pada Gambar 2.4

3
Gambar 1. Aktivitas neuron saat kejang4

Neuron dirangsang oleh sinyal yang abnormal. Hal ini menyebabkan


ketidakstabilan di membran neuron atau di koneksi antar neuron. Serangan epilepsi
bergantung dari potensial aksi yang didasari oleh natrium (1), dan depolarisasi dari
kalsium (2). Pembangkitan listrik mengaktivasi kanal kalsium, sehingga glutamat
masuk ke sinaps (3). Akumulasi glutamat mengaktivasi reseptor-reseptor, dan
dengan influks natrium dan kalsium melalui kanal yang dipagari oleh reseptor-
reseptor ini, terjadi hiper-eksabilitas (4). Kenaikan faktor inhibisi (GABA) yang
tidak terkontrol juga merupakan salah satu kunci dalam patofisiologi kejang, karena
penurunan inhibisi GABA diperlukan untuk memproduksi aliran listrik sinkron di
sel target (5).4

Pada status epileptikus terjadi peningkatan metabolisme serebral yang


ditandai dengan peningkatan konsumsi oksigen, glukosa dan ATP. Karena itu aliran
darah ke otak harus adekuat untuk menyalurkan substrat metabolik tersebut.5
Setelah 30 menit, aliran darah tidak lagi mampu mengkompensasi peningkatan
metabolisme serebral yang terjadi, sehingga kadar oksigen dalam otak tidak lagi
mencukupi (lihat Tabel 1). Hal ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan

4
kerusakan neuron. Status epileptikus juga dapat menyebabkan nekrosis dan
apoptosis neuron, yang terjadi karena meningkatnya kalsium intraselular dan faktor
pencetus apoptosis.2 Selain itu, kerusakan otak dapat juga disebabkan oleh GABA
yang diproduksi sebagai mekanisme kompensasi terhadap kejang. Karena itu
kejang yang berkelanjutan akan menyebabkan desensitisasi reseptor GABA
sehingga kejang mudah berulang. Keadaan ini diperparah jika terdapat hipertermi,
hipoksia, atau hipotensi.6

Tabel 1. Perubahan yang terjadi di otak dan sistemik saat status epileptikus
konvulsivus7

Fase kompensasi (<30 menit) Fase dekompensasi (>30 menit)

Peningkatan aliran darah ke otak Kegagalan autoregulasi serebral

Kebutuhan energi otak diimbangi oleh Disseminated intravascular


suplai oksigen dan glukosa coagulation (DIC)

Peningkatan konsentrasi glukosa di Hipoglikemia


otak

Peningkatan pelepasan katekolamin Hipoksia

Peningkatan curah jantung Asidosis

Hiponatremia

Hipo/hiperkalemia

Leukositosis

Penurunan tekanan darah

Penurunan curah jantung

Rhabdomiolisis

5
G. Manifestasi klinis

Tipe status epileptikus antara lain adalah tipe konvulsif (tonik general,
klonik, atau tonik-klonik), tipe nonkonvulsif (partial kompleks, absens), status
myoklonik, epilepsia partialis continua, dan status epileptikus neonatus. Tipe
konvulsif adalah tipe yang tersering.2

Status epileptikus non-konvulsif dapat bermanifestasi sebagai kondisi


bingung (confusional state), demensia, hiperaktivitas dengan gangguan perilaku,
penurunan kesadaran yang berfluktuasi, status mental yang berfluktuasi, halusinasi,
paranoid, katatonik furor, dan/atau gejala psikotik. Status epileptikus nonkonvulsif
harus dipertimbangkan terutama pada anak yang kurang responsif atau dengan
ensefalopati.2

• Status Epileptikus Tonik-Klonik Umum (Generalized tonic-clonic Status


Epileptikus)

– Ini merupakan bentuk dari Status Epileptikus yang paling sering


dihadapi dan potensial dalam mengakibatkan kerusakan.

– Setiap kejang berlangsung dua sampai tiga menit, dengan fase tonik
yang melibatkan otot-otot aksial dan pergerakan pernafasan yang
terputus-putus. Pasien menjadi sianosis selama fase ini, diikuti oleh
hyperpnea retensi CO2. Adanya takikardi dan peningkatan tekanan
darah, hyperpireksia mungkin berkembang. Hiperglikemia dan
peningkatan laktat serum terjadi yang mengakibatkan penurunan pH
serum dan asidosis respiratorik dan metabolik. Aktivitas kejang
sampai lima kali pada jam pertama pada kasus yang tidak tertangani.

• Status Epileptikus Klonik-Tonik-Klonik (Clonic-Tonic-Clonic Status


Epileptikus)

– Adakalanya status epileptikus dijumpai dengan aktivitas klonik


umum mendahului fase tonik dan diikuti oleh aktivitas klonik pada
periode kedua.

6
• Status Epileptikus Tonik (Tonic Status Epileptikus)

– Status epilepsi tonik terjadi pada anak-anak dan remaja dengan


kehilangan kesadaran tanpa diikuti fase klonik. Tipe ini terjai pada
ensefalopati kronik dan merupakan gambaran dari Lenox-Gestaut
Syndrome.

• Status Epileptikus Mioklonik.

– Biasanya terlihat pada pasien yang mengalami enselofati. Sentakan


mioklonus adalah menyeluruh tetapi sering asimetris dan semakin
memburuknya tingkat kesadaran. Tipe dari status epileptikus tidak
biasanya pada enselofati anoksia berat dengan prognosa yang buruk,
tetapi dapat terjadi pada keadaan toksisitas, metabolik, infeksi atau
kondisi degeneratif.

• Status Epileptikus Absens

– Bentuk status epileptikus yang jarang dan biasanya dijumpai pada


usia pubertas atau dewasa. Adanya perubahan dalam tingkat
kesadaran dan status presen sebagai suatu keadaan mimpi (dreamy
state) dengan respon yang lambat seperti menyerupai “slow motion
movie” dan mungkin bertahan dalam waktu periode yang lama.
Mungkin ada riwayat kejang umum primer atau kejang absens pada
masa anak-anak. Respon terhadap status epileptikus Benzodiazepin
intravena didapati.

• Status Epileptikus Non Konvulsif

– Kondisi ini sulit dibedakan secara klinis dengan status absens atau
parsial kompleks, karena gejalanya dapat sama. Pasien dengan status
epileptikus non-konvulsif ditandai dengan stupor atau biasanya
koma.
Ketika sadar, dijumpai perubahan kepribadian dengan paranoia,
delusional, cepat marah, halusinasi, tingkah laku impulsif

7
(impulsive behavior), retardasi psikomotor dan pada beberapa kasus
dijumpai psikosis.

• Status Epileptikus Parsial Sederhana

– Status Somatomotorik

• Kejang diawali dengan kedutan mioklonik dari sudut mulut,


ibu jari dan jari-jari pada satu tangan atau melibatkan jari-
jari kaki dan kaki pada satu sisi dan berkembang menjadi
jacksonian march pada satu sisi dari tubuh. Kejang mungkin
menetap secara unilateral dan kesadaran tidak terganggu.
Variasi dari status somatomotorik ditandai dengan adanya
afasia yang intermitten atau gangguan berbahasa (status
afasik).

– Status Somatosensorik

• Jarang ditemui tetapi menyerupai status somatomotorik


dengan gejala sensorik unilateral yang berkepanjangan atau
suatu sensory jacksonian march.

• Status Epileptikus Parsial Kompleks

– Dapat dianggap sebagai serial dari kejang kompleks parsial dari


frekuensi yang cukup untuk mencegah pemulihan diantara episode.
Dapat terjadi otomatisme, gangguan berbicara, dan keadaan
kebingungan yang berkepanjangan.

H. Diagnosis

Diagnosis status epileptikus ditegakkan berdasarkan definisinya, yaitu


kejang yang berlangsung terus-menerus selama minimal 30 menit atau kejang
berulang tanpa disertai pulihnya kesadaran diantara kejang.1

8
I. Diagnosis Banding
Diagnosa banding untuk status epileptikus antara lain adalah:5

• Infeksi
• Catscratch disease
• Kejang demam
• Tumor otak
• Meningitis
• Ensefalitis
• Sinkop

J. Pemeriksaan Penunjang

Semua pasien dengan status epileptikus memerlukan pemeriksaan


elektroensefalografi (EEG). EEG dapat membedakan status epileptikus dari
pseudoseizure, dan dapat menentukan fase status epileptikus. Pemeriksaan
laboratorium didasarkan pada usia dan etiologi yang dicurigai. Dapat diperiksa
pemeriksaan darah lengkap, kadar glukosa darah, elektrolit, kadar kalsium dan
magnesium terutama pada neonatus, analisa gas darah, screening toksikologi, dan
kadar antikejang dalam darah jika ada riwayat penggunaan obat antikejang.
Pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan adalah CT scan kepala, terutama pada
status epileptikus tonik-klonik general.5

K. Tatalaksana

Evaluasi tanda vital serta penilaian airway, breathing, circulation (ABC)


harus dilakukan seiring dengan pemberian obat antikonvulsan.8

• Stabilitas Penderita

Tahap ini meliputi usaha usaha mempertahankan dan memperbaiki fungsi


vital yang mungkin terganggu. Prioritas pertama adalah memastikan jalan napas
yang adekuat dengan cara pemberian oksigen melalui nasal canul atau mask
ventilasi. Tekanan darah juga perlu diperhatikan, hipotensi merupakan efek
samping yang umum dari obat yang digunakan untuk mengontrol kejang. Darah

9
diambil untuk pemeriksaan darah lengkap, gula darah, elektrolit, ureum, kreatinin.
Harus diperiksa gas-gas darah arteri untuk melacak adanya asidosis metabolic dan
kemampuan oksigenasi darah. Asidosis di koreksi dengan bikarbonat intravena.
Segera diberi 50 ml glukosa 50% glukosa iv, diikuti pemberian tiamin 100 mg IM.

Pada saat pasien mengalami kejang, diberikan diazepam per rektal dengan
dosis 5 mg suppositoria untuk pasien dengan berat badan(BB) < 12 kg, dan 10 mg
untuk BB ≥ 12 kg. Diazepam dapat diberikan maksimal 2 kali dalam jarak 5 menit.
Dalam waktu 10 menit, anak sudah harus masuk ke rumah sakit atau instalasi gawat
darurat (IGD). Bila kejang belum berhenti, diberi diazepam atau midazolam.
Diazepam diberikan 0,2-0,5 mg/kg secara intravena (IV) dengan kecepatan 2
mg/menit, maksimal diberikan 10 mg. Bila kejang berhenti sebelum obat habis,
obat tidak perlu dihabiskan. Midazolam diberikan 0,2 mg/kg secara IV atau buccal,
maksimal 10 mg. Pemberian secara buccal dapat menggunakan midazolam sediaan
IV/IM, diteteskan pada buccal kanan selama 1 menit dengan menggunakan spuit 1
cc yang telah dibuang jarumnya. Dosis midazolam buccal adalah 2,5 mg untuk bayi
usia 6-12 bulan, 5 mg untuk anak usia 1-5 tahun, 7,5 mg untuk anak usia 5-9 tahun,
dan 10 mg untuk anak usia minimal 10 tahun.1

Jika kejang masih berlanjut dalam 5 sampai 10 menit, dapat diberikan


fenitoin atau fenobarbital. Fenitoin diberikan 20 mg/kg secara IV yang diencerkan
dalam 50ml NaCl 0,9% selama 20 menit, maksimal diberi 1000 mg. Dosis fenitoin
dapat ditambah 5-10 mg/kg. Atau dapat diberikan fenobarbital 20 mg/kg secara IV
selama 5-10 menit, maksimal diberi 1000 mg. Dosis fenobarbital dapat
ditambahkan 5-10 mg/kg. Fenobarbital dapat diencerkan dengan NaCl 0,9% 1:1
dengan kecepatan yang sama. Bila kejang masih berlanjut selama 5-10 menit, bila
sebelumnya pasien diberi fenitoin, maka dapat diberikan fenobarbital 20 mg/kg.
Begitu pula sebaliknya.1

Bila kejang masih berlanjut sampai lebih dari 60 menit, pasien harus dirawat
di ICU karena kejang merupakan refrakter status epilekptikus. Terapi yang dapat
diberikan adalah midazolam, propofol, atau pentobarbital. Midazolam dibolus 100-
200 mcg/kg IV, maksimal diberikan 10 mg, dilanjutkan dengan infus kontinyu 100
mcg/kg/jam, dosis dapat dinaikan 50 mcg/kg setiap 15 menit. Dosis maksimal yang

10
dapat diberikan adalah 2 mg/kg/jam. Propofol dibolus 1-3 mg/kg, dilanjutkan
dengan infus kontinyu 2-10 mg/kg/jam, sedangkan pentobarbital dibolus 5-15
mg/kg, dilanjutkan infus kontinyu 0,5-5 mg/kg/jam.1

Bila kejang masih berlanjut sampai lebih dari 60 menit, pasien harus dirawat
di ICU karena kejang merupakan refrakter status epilekptikus. Terapi yang dapat
diberikan adalah midazolam, propofol, atau pentobarbital. Midazolam dibolus 100-
200 mcg/kg IV, maksimal diberikan 10 mg, dilanjutkan dengan infus kontinyu 100
mcg/kg/jam, dosis dapat dinaikan 50 mcg/kg setiap 15 menit. Dosis maksimal yang
dapat diberikan adalah 2 mg/kg/jam. Bila bebas kejang selama 24 jam setelah
pemberian midazolam, maka pemberiannya dapat diturunkan secara bertahap
dengan kecepatan 0,1 mg/jam dan dapat dihentikan setelah 40 jam bebas kejang.
Propofol dibolus 1-3 mg/kg, dilanjutkan dengan infus kontinyu 2-10 mg/kg/jam,
sedangkan pentobarbital dibolus 5-15 mg/kg, dilanjutkan infus kontinyu 0,5-5
mg/kg/jam.1

Bila pasien memiliki riwayat status epileptikus, namun saat datang dalam
keadaan tidak kejang, diberikan fenitoin atau fenobarbital 10 mg/kg IV dilanjutkan
dengan pemberian rumatan bila diperlukan. Terapi rumatan yang dapat diberikan
adalah fenitoin 5-10 mg/kg dibagi dalam 2 dosis atau fenobarbital 3-5 mg/kg/hari
dibagi dalam 2 dosis.1

Ketidakseimbangan elektrolit dapat menimbulkan atau memperparah


kejang. Kelainan yang sering terjadi adalah hiponatremi dan hipokalsemi. Tindakan
koreksi harus dilakukan secara hati-hati karena perubahan kadar serum yang
mendadak dapat menyebabkan kerusakan otak permanen. Koreksi hipokalsemi
dengan Ca glukonas 10% harus dipantau dengan EKG karena berisiko
menimbulkan aritmia.5

Hiponatremi harus dikoreksi berdasarkan etiologi dan patofisiologinya,


namun pada hiponatremi dengan kejang, diberikan bolus cairan saline hipotonik
untuk meningkatkan kadar serum natrium. Hiponatremi dapat menyebabkan
hipoksia, yang dapat memperparah edema serebral. Namun koreksi yang terlalu
cepat harus dihindarkan, dengan batas maksimum 12-18 mEq/L/jam. Digunakan

11
NaCl 3%, dengan perhitungan setiap ml/kg NaCl 3% akan meningkatkan natrium
1 mEq/L.9

Untuk hiperkalemi, jika kadar kalium darah >6,5 mEq/L, lakukan


pemeriksaan EKG. Prinsip terapi hiperkalemi adalah untuk mencegah aritmia
ventrikular, dan mengeluarkan kelebihan kalium darah. Kalsium menstabilisasikan
membran sel jantung, sehingga dapat diberikan secara IV dalam selang beberapa
menit. Bikarbonat menarik kalium ke intrasel, sehingga sangat efektif terutama
pada pasien dengan asidosis metabolik. Insulin juga memindahkan kalium ke
intrasel, namun pemberian insulin harus disertai dengan pemberian glukosa untuk
mencegah hipoglikemi. Selain itu, furosemide meningkatkan ekskresi kalium
renal.9

Pada hipokalemi, suplementasi kalium secara intravena harus diberikan


secara hati-hati untuk mencegah hiperkalemi. Pemberian secara oral lebih aman,
namun efeknya lebih lambat. Dosis kalium IV adalah 0,5-1 mEq/kg, diberikan
selama 1 jam, dosis oral adalah 2-4 mEq/kg/hari. Preparat yang sering digunakan
adalah KCl, namun pada pasien dengan asidosis, kalium sitrat atau kalium asetat
dapat digunakan.9

Hipoglikemia dengan kejang dapat dikoreksi dengan 4 ml/kg dextrosa 10%


bolus, dilanjutkan dengan infus kontiniu 6-8 mg/kg/menit. Kecepatan dapat
disesuaikan untuk menjaga kadar glukosa darah dalam batas normal.1

12
Gambar 2. Penatalaksanaan status epileptikus1

13
L. Komplikasi

Status epileptikus menyebabkan kerusakan pada neuron dan memicu reaksi


inflamasi, calcium related injury, jejas sitotoksik, perubahan reseptor glutamat dan
GABA, serta perubahan lingkungan sel neuron lainnya. Perubahan pada sistem
jaringan neuron, keseimbangan metabolik, sistem saraf otonom, serta kejang
berulang dapat menyebabkan komplikasi sistemik. Proses kontraksi dan relaksasi
otot yang terjadi pada status epileptikus konvulsif dapat menyebabkan kerusakan
otot, demam, rabdomiolisis, bahkan gagal ginjal. Selain itu, keadaan hipoksia akan
menyebabkan metabolisme anaerob dan memicu asidosis. Kejang juga
menyebabkan perubahan fungsi saraf otonom dan fungsi jantung seperti hipertensi,
hipotensi, gagal jantung, atau aritmia. Metabolisme otak pun terpengaruh. Mulanya
terjadi hiperglikemia akibat pelepasan katekolamin, namin 30-40 menit kemudian
kadar glukosa akan turun. Seiring dengan berlangsungnya kejang, kebutuhan otak
akan oksigen tetap tinggi, dan bila tidak terpenuhi akan memperberat kerusakan

14
otak. Edema otak pun dapat terjadi akibat proses inflamasi, peningkatan
vaskularitas, atau gangguan sawar darah otak.1

Komplikasi sekunder dapat terjadi akibat pemakaian obat anti-konvulsan,


diantaranya depresi napas dan hipotensi dari obat golongan benzodiazepin dan
fenobarbital. Propofol dapat menyebabkan propofol infusion syndrome yang
ditandai dengan rabdomiolisis, hiperkalemia, gagal ginjal, gagal hati, gagal jantung,
serta asidosis metabolik. Asam valproat dapat memicu ensefalopati hepatik dan
hiperamonia. Selain dari obat, komplikasi sekunder dapat juga terjadi akibat
perawatan intensif dan imobilisasi, seperti emboli paru, trombosis vena dalam,
pneumonia, gangguan hemodinamik dan pernapasan.1

M. Prognosis

Prognosis status epileptikus adalah tergantung pada penyebab yang


mendasari status epileptikus. Pasien dengan status epileptikus akibat penggunaan
antikonvulsan atau akibat alkohol biasanya prognosisnya lebih baik bila
penatalaksanaan dilakukan dengan cepat dan dilakukan pencegahan terjadi
komplikasi. Pasien dengan meningitis sebagai etiologi maka prognosis tergantung
dari meningitis tersebut.

Gejala sisa lebih sering terjadi pada status epileptikus simptomatis, 37%
menderita defisit neurologis permanen dan 48% menderita disabilitas intelektual.
Sekitar 3-56% pasien akan mengalami serangan berulang. Faktor risiko status
epileptikus berulang adalah; usia muda, ensefalopati progresif, etiologi simptomatis
remote, sindrom epilepsi.1

15
BAB III
KESIMPULAN

Status epileptikus merupakan kegawatdaruratan neurologi yang


membutuhkan penanganan segera karena dapat menyebabkan kerusakan saraf dan
otak irreversibel. Status epileptikus dapat disebabkan oleh berbagai macam
etiologi. Tipe tersering dari status epileptikus adalah tipe konvulsif. Pada anak,
pencetus status epileptikus yang tersering adalah demam.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Unit Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia.


Rekomendasi penatalaksanaan status epileptikus. Jakarta: Badan Penerbit
Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2016. h. 1-7.

2. Mikati MA, Hani AJ. Status epilepticus. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF,
Geme JWS, Schor NF. Nelson textbook of pediatrics. 20th ed. Philadelphia:
Elsevier; 2016. p. 2854-5.

3. Resus. Status epilepticus. Diunduh dari:


http://www.resus.com.au/2017/05/25/status-epilepticus/ pada 23 Januari
2020.

4. Waheed A, Pathak S, Mirza R. Epilepsy: a brief review. Diunduh dari:


http://www.pharmatutor.org/articles/epilepsy-brief-review pada 23 Januari
2020

5. Ramachandrannair R. Pediatric status epilepticus. Medscape. Diunduh dari:


emedicine.medscape.com/article/908394 pada 25 Januari 2020.

6. Appleton PR, Choonara I, Marland T, Phillips B, Scott R, Whitehouse W.


The treatment of convulsive status epilepticus in children. Arch Dis Child
2000; 83: 415-19.

7. Scott RC, Surtees RAH, Neville BGR. Status epilepticus: pathophysiology,


epidemiology, and outcomes. Diunduh dari:
http://adc.bmj.com/content/79/1/73 pada 27 Januari 2020

8. Ropper AH, Samuels MA. Adams and victor’s principles of neurology. 9th
ed. New York: McGraw Hill; 2009. 304-38.

9. Greenbaum LA. Electrolyte and Acid-Base Disorders. Dalam: Kliegman


RM, Stanton BF, Geme JWS, Schor NF. Nelson textbook of pediatrics. 20th
ed. Philadelphia: Elsevier; 2016. p. 353-63.

10. Sperling MA. Hypoglycemia. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, Geme
JWS, Schor NF. Nelson textbook of pediatrics. 20th ed. Philadelphia:
Elsevier; 2016. p. 787-8.

17

Anda mungkin juga menyukai