Oleh:
2011901041
Pembimbing:
1
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
Judul:
Diagnosis dan Penatalaksanaan Fatty Liver
Penyusun:
Sindy Mutiara Irawati – 2011901041
i
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan segala
limpahan rahmat, kasih sayang dan ridho-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
referat ini yang berjudul “Diagnosis dan Penatalaksanaan Fatty Liver”. Referat ini
disusun untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik departemen Penyakit Dalam Studi
Profesi Dokter Universitas Abdurrab di Rumah Sakit Umum Daerah Bangkinang.
Dengan selesainya referat ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Dedi
Yanto, Sp. PD selaku pembimbing yang telah memberikan masukan dan saran dalam
penyusunan referat dan teman-teman yang turut memberikan semangat dalam
penyelesaian referat ini. Karena keterbatasan yang ada, penulis menyadari bahwa
referat ini masih belum sempurna, oleh karena itu segala saran dan kritik yang bersifat
membangun sangatlah penulis harapkan untuk menyempurnakan referat ini di
kemudian hari. Terlepas dari segala kekurangan yang ada penulis berharap semoga
referat ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya.
ii
DAFTAR ISI
2.1 Definisi...........................................................................................................................1
2.3 Etiologi...........................................................................................................................3
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Perlemakan hati non alkoholik merupakan kondisi yang semakin disadari dapat
berkembang menjadi penyakit hati lanjut. Spektrum penyakit perlemakan hati ini mulai
dari perlemakan hati sederhana (simple steatosis) sampai pada steatohepatis non
alkoholik (NASH), fibrosis, dan sirosis hati. Setelah mendapat berbagai nama seperti
penyakit Laennec non alkoholik, hepatitis metabolik dan hepatitis diabetes, akhirnya
steatohepatitis non alkoholik seperti yang diperkenalkan Ludwig dkk melaporkan
menjadi nama yang dipergunakan secara luas. Istilah tersebut muncul setelah Ludwig
dkk melaporkan sekelompok pasien yang dapat dikatakan tidak mengkonsumsi alkohol
tetapi memperlihatkan gambaran biopsi hati yang sulit dibedakan dengan hepatitis
akibat alkohol.
iv
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Sampai saat ini masih terdapat beberapa ketidaksepahaman dalam terminologi
penyakit perlemakan hati, misalnya mengenai pemilihan istilah perlemakan hati non
alkoholik (Non-alcoholic Fatty Liver = NAFL) atau penyakit perlemakan hati non
alkoholik (Non-alcoholic Fatty Liver Disease = NAFLD). NAFLD memiliki rentang
mulai dari simple steatosis, non alcoholic steatohepatitis (NASH), fibrosis, sirosis,
hingga karsinoma hepatoseluler. Penelitian terbaru menunjukkan NAFLD berkembang
menjadi NASH adalah sebesar 25%, dimana 25% penderita NASH dapat berkembang
lagi menjadi sirosis dan mengakibatkan liverfailure, hipertensi porta serta karsinoma
hepatoseluler.(1,2)
Dikatakan sebagai perlemakan hati apabila kandungan lemak di hati lebih dari 5%
dari seluruh berat hati. Karena pengukuran berat hati sangat sulit dan tidak praktis,
diagnosis dibuat berdasarkan analisis spesimen biopsi jaringan hati, yaitu
ditemukannya minimal 5-10% sel lemak dari keseluruhan hepatosit.(1)
Perubahan steatohepatitis (perlemakan hati) lebih khas dan lebih nyata pada
peminum alkohol dibandingkan pada non alkohol (NAFLD) namun dapat ditemukan
pula dengan derajat yang bervariasi pada perlemakan hati oleh sebab yang lain, yaitu (3):
1
• Infiltrasi neutrofil, pada lesi ini infiltrasi sel radang terutama neutrofil di
antara lobulus hati dan terakumulasi di sekitar sel hati yang degeneratif,
terutama sel hati yang mengandungi jisim Mallory-Denk. Limfosit dan
makrofag juga dapat ditemukan pada area portal dan parenkim hati.
Kriteria lain yag juga sangat penting adalah pengertian non alkoholik. Batas
untuk menyatakan seseorang minum alkohol yang tidak bermakna sempat menjadi
perdebatan, tetapi lebih banyak ahli menyepakati bahwa konsumsi alkohol sampai 20
gram perhari masih bisa digolongkan sebagai non alkoholik.(3)
2.2 Epidemiologi(2)
Dari banyak penelitian terbukti bahwa abnormalitas tes fungsi hati akibat
perlemakan hati maupun steatohepatitis non alkoholik (NASH) merupakan kelainan
yang sangat sering ditemukan di masyarakat. Angka yang dilaporkan sangat bervariasi
karena metodologi survei yang berbeda-beda.
Prevalensi perlemakan hati non alkoholik berkisar antara 15-20% pada populasi
dewasa di Amerika Serikat, Jepang, dan Italia. Diperkirakan 20-30% di antaranya
berada dalam fase yang lebih berat (steatohepatitis non alkoholik). Sebuah penelitian
terhadap populasi dengan obesitas di negara maju mendapatkan 60% perlemakan hati
sederhana, 20-25% steatohepatitis non alkoholik dan 2-3% sirosis. Dalam laporan yang
sama disebutkan pula bahwa 70% pasien diabetes melitus tipe 2 mengalami
perlemakan hati, sedangkan pada pasien dislipidemia angkanya sekitar 60%.
2
Steatohepatitis non alkoholik dapat terjadi pada semua usia, termasuk anak-
anak, walaupun penyakit ini dikatakan paling banyak pada dekade keempat dan kelima
kehidupan. Jenis kelamin yang dominan berbeda-beda dalam berbagai penelitian,
namun umumnya menunjukkan adanya predileksi perempuan. Obesitas, DM tipe 2,
dan dislipidemia juga merupakan kondisi yang sering berkaitan dengan perlemakan
hati non alkoholik. Walaupun demikian, steatohepatitis non alkoholik dapat terjadi
pada individu yang tidak gemuk tanpa faktor risiko seperti di atas.
2.3 Etiologi(2)
Penyebab steatohepatitis, yaitu:
3
2.4 Klasifikasi(3)
1. Alkoholic Fatty Liver Disease (AFLD)
Di negara barat > 60% penyakit hati kronik disebabkan oleh karena konsumsi
etanol yang berlebihan, dan sebanyak 40-50% kematian disebabkan oleh sirosis karena
alkohol. Perlemakan hati terjadi pada 90-100% peminum berat, dan 10-35% akan
berkembang menjadi hepatitis alkoholik. Perlemakan hati alkoholik dan fibrosis adalah
entitas yang berdiri sendiri-sendiri, sehingga tidak menyatakan suatu proses perubahan
yang berkelanjutan. Karsinoma sel hati dapat timbul pada 10-20% pasien dengan
sirosis alkoholik.
4
NAFLD sendiri memiliki hubungan yang erat dengan kondisi medis lain seperti
sindroma metabolik, obesitas, penyakit kardiovaskular serta diabetes melitus.
a. Sitokin
Tumor necrosis factor -α (TNF -α) merupakan sitokin yang penting dalam
perkembangan penyakit hati. TNF -α memanggil sel inflamasi dan merangsang
produksi sitokin lainnya yang bertujuan untuk penyembuhan proses
fibrogenesis. Sitokin proinflamasi yang dirangsang oleh TNF -α seperti IL-1,
IL-6, IL-8 memiliki peranan dalam pathogenesis NAFLD.
b. Obesitas
Obesitas memiliki hubungan yang sangat kuat dengan kejadian NAFLD yang
tidak tergantung dengan konsumsi alkohol dan telah dijumpai hampir 30-95%
penderita NAFLD. Indeks massa tubuh merupakan salah satu prediktor
terhadap derajat infiltrasi lemak pada hati, perkembangan NASH meningkat
dengan adanya obesitas.
c. Dislipidemia
Hipertrigliseridemia dilaporkan pada pasien NAFLD sebesar 20-81% yang
tergantung dengan kondisi obesitas. Penurunan kolesterol HDL dan ekspresi
resistensi insulin dapat menjadi risiko ganda terhadap NAFLD.
d. DM Tipe 2
Merupakan faktor yang lebih umum menyebabkan NAFLD dan telah
dilaporkan prevalensi sebanyak 10-55%. Metode HOMA mengatakan bahwa
pasien NAFLD mengalami penurunan sensitivitas insulin endogenus dan
exogenous.
e. Sindrom metabolik dan resistensi insulin
Sindrom metabolik merupakan kombinasi 5 faktor risiko yaitu:
5
1) Obesitas visera (lingkar perut perempuan > 88 cm dan laki-laki > 102
cm)
2) Hipertensi (> 10/85 mmHg)
3) Hipertrigliserida (> 150 mg/dl)
4) Penurunan HDL kolesterol (laki-laki < 40 mg/dl : perempuan < 50
mg/dl)
5) Peningkatan glukosa ( > 110 mg/dl)
Konsumsi alkohol dalam jangka pendek paling banyak 80 g etanol per hari (5-
6 beers atau 8-9 ons dari 80 minuman keras) pada umumnya dapat menyebabkan
perubahan hati ringan dan reversibel bisa berupa perlemakan hati ringan. Konsumsi
etanol menahun 40-80 g per hari dianggap sebagai ambang batas dari faktor risiko
untuk terjadinya kerusakan hati berat. Perempuan lebih rentan terhadap kerusakan hati
dibandingkan dengan pria. Tampaknya risiko kerusakan hati yang terjadi sebanding
dengan frekuensi dan volume yang diminum. Sebagai contoh pesta mabuk-mabukan
dampaknya terhadap kerusakan hati lebih besar dibandingkan dengan mereka yang
minum dengan cara teratur dan dalam kadar rendah. Faktor individual seperti faktor
genetik kemungkinan besar berperan namun petanda yang dapat dipercaya akan
kemungkinan tersebut belum ada. Walaupun belum diketahuinya secara nyata faktor-
faktor yang berpengaruh pada kerusakan hati, namun dianjurkan agar tidak
mengkonsumsi alkohol diatas ambang aman.
6
asetaminofen menjadi metabolit yang bersifat toksik kuat dan meningkatkan jejas hati
meskipun diberikan dalam dosis terapi.
Steatosis sel hati merupakan hasil dari beberapa mekanisme seperti (1)
terhindarnya substrat dari katabolisme dan mendekatnya substrat pada biosintesis fipid.
Sebab hasil metabolisme akan berlebihan berupa nicotinamide adenine dinucleotide
terreduksi yang merupakan hasil metabolisme etanol oleh alkohol dehidrogenase dan
asetaldehid dehidrogenase, (2) terjadi kegagalan dalam penyusunan (assembly) dan
sekresi lipoprotein, (3) peningkatan katabolisme lemak perifer.
Penyebab hepatitis alkoholik belum jelas, tetapi kemungkinan berawal dari satu
atau lebih hasil sampingan yang toksik dan hasil metabolisme etanol yang toksik:
7
Karena pembentukan turunan asetaldehyde dan radikal bebas paling banyak di
area sentrilobular maka area ini merupakan area paling rentan terhadap jejas yang
bersifat toksik. Fibrosis akan terjadi di area sekitar sel dan disekitar sinusoid di dalam
lobulus. Apabila terjadi bersamaan dengan hepatitis virus terutama hepatitis C, maka
merupakan penyebab utama percepatan terjadinya penyakit hati pada alkoholik.
Prevalensi hepatitis C pada individu dengan penyakit alkoholik berkisar sekitar 30%
(dan sebaliknya).
Sirosis hanya terjadi pada sebagian kecil alkoholik kronik dengan alasan yang
belum diketahui. Pada semua individu alkoholik yang dapat melakukan pantangan
penuh memperlihatkan regresi fibrosis dan mikrolobulus akan berubah menjadi sirosis
makronodular, sirosis yang mengalami regresi jarang terjadi.
Hit pertama terjadi akibat penumpukan lemak di hepatosit yang dapat terjadi
karena berbagai keadaan, seperti dislipidemia, diabetes melitus, dan obesitas. Seperti
yang diketahui bahwa dalam keadaan normal, asam lemak bebas dihantarkan
memasuki organ hati lewat sirkulasi darah arteri dan portal. Di dalam hati, asam lemak
bebas akan mengalami metabolisme lebih lanjut, seperti proses re-esterifikasi mejadi
trigliserida atau digunakan untuk pembentukan lemak lainnya. Adanya peningkatan
massa jaringan lemak tubuh, khususnya pada obesitas sentral, akan meningkatkan
pelepasan asam lemak bebas yang kemudian menumpuk di dalam hepatosit.
Bertambahnya asam lemak bebas di dalam hati akan menimbulkan peningkatan
8
oksidasi dan esterifikasi lemak. Proses ini terfokus di mitokondria sel hati sehingga
pada akhirnya akan mengakibatkan kerusakan mitokondria itu sendiri. Inilah yang
disebut hit kedua. Peningkatan stress oksidatif sendiri dapat juga terjadi karena
resistensi insulin, peningkatan konsentrasi endotoksin di hati, peningkatan aktivitas un-
coupling protein mitokondria, peningkatan aktivitas sitokrom P-450 2E1, peningkatan
cadangan besi dan menurunnya aktivitas anti oksidan. Ketika stres oksidatif yang
terjadi di hati melebihi kemampuan perlawanan anti oksidan, maka aktifasi sel stelata
dan sitokin pro inflamasi akan berlanjut dengan inflamasi progresif, pembengkakan
hepatosit dan kematian sel, pembentukan badan Mallory, serta fibrosis.
9
Apa yang akan terjadi dalam jangka panjang pada pasien dengan gangguan hati
akibat alkohol, bervariasi. Angka harapan hidup 5 tahun mencapai 90% pada pasien
tanpa kuning, asites dan hematemesis namun akan turun menjadi 50-60% apabila
pasien terus menjadi peminum. Mereka yang sudah berada pada stadium lanjut dari
penyakit hati alkoholik, yang segera dapat menyebabkan kematian adalah:
2.8 Diagnosis(1)
Biopsi hati merupakan baku emas (gold standard) pemeriksaan penunjang
untuk menegakkan diagnosis dan sejauh ini masih menjadi satu-satunya metode untuk
membedakan perlemakan hati non alkoholik dengan perlemakan tanpa atau disertai
inflamasi. Masih menjadi perdebatan apakah biopsi hati perlu dilakukan sebagai
pemeriksaan rutin dalam proses penegakan diagnosis perlemakan hati non alkoholik.
Sebagian ahli mendukung dilakukannya biopsi karena pemeriksaan histopatologi
mampu menyingkirkan etiologi penyakit lain, membedakan steatosis dari
10
steatohepatitis, memperkirakan prognosis, dan menilai progresi fibrosis dari waktu ke
waktu. Alasan dari kelompok yang menentang biopsi hati antara lain prognosis yang
umumnya baik, belum tersedianya terapi yang benar-benar efektif, dan risiko serta
biaya dari tindakan biopsi itu sendiri. Oleh karenanya pemeriksaan radiologis dan
kimia darah terus menerus diteliti dan dioptimalkan sebagai metode pemeriksaan
alternatif yang bersifat non invasif.
2.8.1 Laboratorium(1)
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang bisa secara adekuat membedakan
steatosis dengan steatohepatitis, atau perlemakan hati alkoholik dengan perlemakan
hati non alkoholik. Peningkatan ringan sampai sedang, konsentrasi AST, ALT, atau
keduanya merupakan kelainan hasil pemeriksaan laboratorium yang paling sering
didapatkan pada pasien-pasien dengan perlemakan hati non alkoholik. Beberapa pasien
datang dengan enzim hati yang normal sama sekali. Kenaikan enzim hati biasanya tidak
melebihi empat kali (< 300 IU/L) dengan rasio AST;ALT < 1, tetapi pada fibrosis lanjut
rasio ini dapat mendekati atau bahkan melebihi satu. Perlu menjadi perhatian bebrapa
studi yang melaporkan bahwa konsentrasi AST dan ALT tidak memiliki korelasi
dengan aktivitas histologi, bahkan konsentrasi enzim dapat tetap normal pada penyakit
hati yang sudah lanjut. Pemeriksaan laboratorium lain seperti fosfatase alkali, gamma-
glutamiltransferase, feritin darah atau saturasi transferin juga dapat meningkat,
sedangkan hipoalbuminemia, waktu protrombin yang memanjang, dan
hiperbilirubinemia biasanya ditemukan pada pasien yang sudah terjadi sirosis.
11
dapat digunakan. Pada USG, infiltrasi lemak di hati akan menghasilkan peningkatan
difus ekogenisitas (hiperekoik, bright liver) bila dibandingkan dengan ginjal.
Sensitifitas USG 89% dan spesifitas 93% dalam mendeteksi steatosis. Terbukti ketiga
teknik pencitraan di atas memiliki sensitifitas yang baik untuk mendeteksi perlemakan
hati non alkoholik dengan deposit lemak di hati melebihi dari 39%, tetapi tidak satu
pun dari ketiga alat tersebut dapat membedakan perlemakan hati sederhana dari
steatohepatitis.
12
Berdasarkan penilaian gambaran ekogenitas hati dan pembuluh darah
intrahepatic, secara USG perlemakan hati dapat dibedakan dalam 3 derajat, yaitu:
13
2.8.3 Histologi(1)
Secara histopatologis, perlemakan hati non alkoholik tidak dapat dibedakan
dengan kerusakan hati akibat alkoholik. Gambaran biopsi hati antara lain berupa
steatosis, infiltrasi sel radang, hepatocyte dan nekrosis, nukleus glikogen, Mallory’s
hyaline, dan fibrosis.
14
Karakteristik histologis perlemakan hati non alkoholik adalah ditemukannya
perlemakan hati dengan atau tanpa inflamasi. Perlemakan umumnya didominasi oleh
gambaran sel makrovesikular yang mendesak inti hepatosi ke tepi sel. Pada fase awal
atau steatosis ringan, lemak ditemukannya pada zona 3 hepatosit. Inflamasi merupakan
komponen dasar untuk menyatakan adanya steatohepatitis non alkoholik. Sel-sel
inflamasi tersebut terdiri dari netrofil dan sel mononuklear yang ditemukan pada
lobulus-lobulus hati. Bila sel-sel inflamasi tidak ditemukan berarti pasien masih berada
dalam tahap perlemakan hati saja. Adanya badan Mallory dan anak inti glikogen
merupakan variasi dari gambaran steatohepatitis non alkoholik. Biasanya badan
Mallory ini memiliki ukuran lebih kecil daripada yang biasa ditemukan pada
steatohepatitis alkoholik.
Grade 1, Ringan
Inflamasi lobular Inflamasi akut tersebar dan ringan (sel PMN), kadang
kala inflamasi kronik (sel MN)
15
Grade 2, Sedang
Grade 3, Berat
Inflamasi lobular Inflamasi akut dan kronik yang tersebar, sel PMN
terkonsentrasi di area zona 3 yang mengalami
degenerasi balon dan fibrosis perisinusioidal
Stage 4 Sirosis
16
steatohepatitis non alkoholik. Disamping itu, meskipun penilaian derajat fibrosis
hampir seragam, para ahli patologi sering kali tidak sepaham menyangkut grading
inflamasi. Klasifikasi dari Brunt merupakan kriteria histopatologis yang banyak
dipakai untuk menentukan derajat steatohepatitis non alkoholik.
2.9 Penatalaksanaan(1,2)
Tatalaksana pasien dengan perlemakan hati non alkoholik menyangkut
beberapa strategi yaitu modifikasi gaya hidup, memperbaiki komponen dari sindroma
metabolik, farmakoterapi yang ditujukan untuk hati pada pasien risiko tinggi, dan
mengatasi komplikasi dari sirosis. Manajemen tersebut bergantung pada derajat
penyakit, seperti pasien dengan steatohepatitis dan fibrosis, membutuhkan modifikasi
gaya hidup yang lebih agresif, dan dapat di pertimbangkan farmakoterapi seperti
pioglitazon atau vitamin E.
17
Gambar 4. Algoritma tatalaksana non-alcoholic fatty liver (NAFLD)
18
perbaikan inflamasi. Penurunan berat badan diharapkan terjadi secara bertahap yaitu
0,5 kg/minggu, karena dengan adanya penurunan dramatis (>1,6 kg/minggu)
diasosiasikan dengan adanya inflamasi portal dan progresivitas dari fibrosis.
B. Diet
Perubahan pola makan menjadi salah satu upaya untuk mnurunkan berat badan.
Ryan et al melaporkan efektivitas diet mediteranian dibandingkan dengan diet tinggi
karbonhidrat – rendah lemak, didapatkan peningkatan sensitivitas insulin serta
pengurangan steatosis hati meskipun tidak terjadi pengurangan berat badan. Panduan
rekomendasi diet lain untuk pasien perlemakan hati nonalkoholik adalah pengurangan
kalori sebanyak 600-800 kalori per hari atau restriksi kalori menjadi 25-30 kkal/kg/hari
dari berat badan ideal, protein sebesar 1-1,5 gr/kg/hari, dan restriksi karbonhidrat
menjadi 40-45% dari total kalori, restriksi lemak menjadi < 30% kalori dengan asam
lemak jenuh <10%, sebaiknya konsumsi buah dan sayuran dibandingkan dengan
makan tinggi fruktosa. Makanan rendah karbonhidrat di asosiasikan dengan reduksi
dari trigliserida dan serum aminotransferase.
19
C. Suplementasi diet
20
D. Aktivitas Fisik
2. Thiazolidinedion
21
dengan NASH, pemberian pioglitazone 30 mg/hari memberikan perbaikan pada hasil
laboratorium fungsi hati dan penurunan inflamasi. Meskipun perbaikan ini masih
dibawah kelompok yang mendapat vitamin E 800 IU/hari. Pemberian rosiglitazone
selama 48 minggu pada penderita NASH, didapatkan perbaikan gambaran histologi
hati. Dalam suatu meta analisis tahun 2012, pioglitazone terbukti memberikan manfaat
dalam perbaikan degenerasi balon, inflamasi lobular, steatosis, dan nekroinflamasi dari
pasien NASH. Akan tetapi, pemberian rosiglitazone dikaitkan dengan peningkatan
risiko infark jantung dan kelainan jantung lainnya.
4. Statin
22
merekomendasikan bahwa statin dapat diberikan pada pasien dislipidemia dengan
NAFLD dan NASH, oleh karena kecilnya risiko peningkatan angka kejadian kerusakan
hati oleh statin. Oleh karena kurangnya data dalam menunjukkan efikasi statin sebagai
terapi perlemakan hati non alkoholik, maka tidak direkomendasikan penggunaan statin
secara spesifik untuk terapi perlemakan hati non alkoholik.
23
2.10 Prognosis
Dari berbagai studi prognosis mortalitas jangka panjang pada penderita
NAFLD, hasilnya dapat disimpulkan sebagai berikut:
24
BAB III
KESIMPULAN
Dikatakan sebagai perlemakan hati apabila kandungan lemak di hati lebih dari
5% dari seluruh berat hati. Karena pengukuran berat hati sangat sulit dan tidak praktis,
diagnosis dibuat berdasarkan analisis spesimen biopsi jaringan hati, yaitu
ditemukannya minimal 5-10% sel lemak dari keseluruhan hepatosit.
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Hasan I. Perlemakan Hati Non Alkoholik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi
I, Simadibrata M, Setiati S, Editor, Buku Ajar Penyakit Dalam. Jilid I, ed ke-5.
Jakarta: Interna Publishing; 2009.
2. Adiwinata, Kristanto, Christianty, Richard & Edbert. 2015. Jurnal Penyakit Dalam
Indonesia: Tatalaksana Terkini Perlemakan Hati Non Alkoholik. Fakultas
Kedokteran Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.
3. Kumar, Abbas & Aster. 2003. Buku Ajar Patologi Robbins. Edisi 9. Jakarta: EGC.
4. Bisset RAL, Khan AN. Liver, biliary system, pancreas and spleen. In: Differential
Diagnosis In Abdominal Ultrasound. 2ed. London: Saunders WB.2002.
5. Sanyal AJ. Nonalcoholic fatty liver disease. In: Yamada T, textbook of
gastroenterology. 5th edition, volume 1. Chichester: Willey-Blackwell Publishing;
2009.
26