Anda di halaman 1dari 31

Referat

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN FATTY LIVER

Oleh:

Sindy Mutiara Irawati

2011901041

Pembimbing:

dr. Dedi Yanto, Sp. PD

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


ILMU PENYAKIT DALAM RSUD BANGKINANG
PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER
UNIVERSITAS ABDURRAB
PEKANBARU
2021

1
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT

Judul:
Diagnosis dan Penatalaksanaan Fatty Liver

Penyusun:
Sindy Mutiara Irawati – 2011901041

Telah disetujui oleh


Pembimbing

(dr. Dedi Yanto, Sp. PD)

i
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan segala
limpahan rahmat, kasih sayang dan ridho-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
referat ini yang berjudul “Diagnosis dan Penatalaksanaan Fatty Liver”. Referat ini
disusun untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik departemen Penyakit Dalam Studi
Profesi Dokter Universitas Abdurrab di Rumah Sakit Umum Daerah Bangkinang.
Dengan selesainya referat ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Dedi
Yanto, Sp. PD selaku pembimbing yang telah memberikan masukan dan saran dalam
penyusunan referat dan teman-teman yang turut memberikan semangat dalam
penyelesaian referat ini. Karena keterbatasan yang ada, penulis menyadari bahwa
referat ini masih belum sempurna, oleh karena itu segala saran dan kritik yang bersifat
membangun sangatlah penulis harapkan untuk menyempurnakan referat ini di
kemudian hari. Terlepas dari segala kekurangan yang ada penulis berharap semoga
referat ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya.

Bangkinang, 04 Januari 2021

Sindy Mutiara Irawati

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................. ii

BAB I: PENDAHULUAN ...................................................................................................... iv

BAB II: TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................................1

2.1 Definisi...........................................................................................................................1

2.2 Epidemiologi ..................................................................................................................2

2.3 Etiologi...........................................................................................................................3

2.4 Klasifikasi ......................................................................................................................4

2.5 Faktor Risiko ..................................................................................................................5

2.6 Patogenesis dan Patofisiologi .........................................................................................6

2.7 Manifestasi Klinis ..........................................................................................................9

2.8 Diagnosis .....................................................................................................................10

2.8.1 Laboratorium .........................................................................................................11

2.8.2 Evaluasi Pencitraan ...............................................................................................11

2.8.3 Histologi ................................................................................................................14

2.9 Penatalaksanaan ...........................................................................................................17

2.9.1 Pengontrolan Faktor Risiko ...................................................................................18

2.9.2 Terapi Farmakologis..............................................................................................21

2.10 Prognosis ....................................................................................................................24

BAB III: KESIMPULAN ....................................................................................................25

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................................26

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Perlemakan hati non alkoholik merupakan kondisi yang semakin disadari dapat
berkembang menjadi penyakit hati lanjut. Spektrum penyakit perlemakan hati ini mulai
dari perlemakan hati sederhana (simple steatosis) sampai pada steatohepatis non
alkoholik (NASH), fibrosis, dan sirosis hati. Setelah mendapat berbagai nama seperti
penyakit Laennec non alkoholik, hepatitis metabolik dan hepatitis diabetes, akhirnya
steatohepatitis non alkoholik seperti yang diperkenalkan Ludwig dkk melaporkan
menjadi nama yang dipergunakan secara luas. Istilah tersebut muncul setelah Ludwig
dkk melaporkan sekelompok pasien yang dapat dikatakan tidak mengkonsumsi alkohol
tetapi memperlihatkan gambaran biopsi hati yang sulit dibedakan dengan hepatitis
akibat alkohol.

iv
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Sampai saat ini masih terdapat beberapa ketidaksepahaman dalam terminologi
penyakit perlemakan hati, misalnya mengenai pemilihan istilah perlemakan hati non
alkoholik (Non-alcoholic Fatty Liver = NAFL) atau penyakit perlemakan hati non
alkoholik (Non-alcoholic Fatty Liver Disease = NAFLD). NAFLD memiliki rentang
mulai dari simple steatosis, non alcoholic steatohepatitis (NASH), fibrosis, sirosis,
hingga karsinoma hepatoseluler. Penelitian terbaru menunjukkan NAFLD berkembang
menjadi NASH adalah sebesar 25%, dimana 25% penderita NASH dapat berkembang
lagi menjadi sirosis dan mengakibatkan liverfailure, hipertensi porta serta karsinoma
hepatoseluler.(1,2)

Dikatakan sebagai perlemakan hati apabila kandungan lemak di hati lebih dari 5%
dari seluruh berat hati. Karena pengukuran berat hati sangat sulit dan tidak praktis,
diagnosis dibuat berdasarkan analisis spesimen biopsi jaringan hati, yaitu
ditemukannya minimal 5-10% sel lemak dari keseluruhan hepatosit.(1)

Perubahan steatohepatitis (perlemakan hati) lebih khas dan lebih nyata pada
peminum alkohol dibandingkan pada non alkohol (NAFLD) namun dapat ditemukan
pula dengan derajat yang bervariasi pada perlemakan hati oleh sebab yang lain, yaitu (3):

• Ballooning hepatosit, adalah sel tunggal atau fokus-fokus sel tersebar


yang mengalami pembengkakan dan nekrosis, seperti halnya steatosis sel-
sel ini banyak ditemukan pada area sentrilobular atau area di sekitar vena
sentral.
• Jisim Mallory-Denk, terdiri atas gelendong kusut dari intermediate
filamen (tergolong dalam protein keratin ubiquitin 8 dan 18) dan terlihat
sebagai inklusi eosinofilik di dalam sitoplasma hepatosit yang degeneratif.

1
• Infiltrasi neutrofil, pada lesi ini infiltrasi sel radang terutama neutrofil di
antara lobulus hati dan terakumulasi di sekitar sel hati yang degeneratif,
terutama sel hati yang mengandungi jisim Mallory-Denk. Limfosit dan
makrofag juga dapat ditemukan pada area portal dan parenkim hati.

Kriteria lain yag juga sangat penting adalah pengertian non alkoholik. Batas
untuk menyatakan seseorang minum alkohol yang tidak bermakna sempat menjadi
perdebatan, tetapi lebih banyak ahli menyepakati bahwa konsumsi alkohol sampai 20
gram perhari masih bisa digolongkan sebagai non alkoholik.(3)

2.2 Epidemiologi(2)
Dari banyak penelitian terbukti bahwa abnormalitas tes fungsi hati akibat
perlemakan hati maupun steatohepatitis non alkoholik (NASH) merupakan kelainan
yang sangat sering ditemukan di masyarakat. Angka yang dilaporkan sangat bervariasi
karena metodologi survei yang berbeda-beda.

Prevalensi perlemakan hati non alkoholik berkisar antara 15-20% pada populasi
dewasa di Amerika Serikat, Jepang, dan Italia. Diperkirakan 20-30% di antaranya
berada dalam fase yang lebih berat (steatohepatitis non alkoholik). Sebuah penelitian
terhadap populasi dengan obesitas di negara maju mendapatkan 60% perlemakan hati
sederhana, 20-25% steatohepatitis non alkoholik dan 2-3% sirosis. Dalam laporan yang
sama disebutkan pula bahwa 70% pasien diabetes melitus tipe 2 mengalami
perlemakan hati, sedangkan pada pasien dislipidemia angkanya sekitar 60%.

Di Indonesia penelitian mengenai perlemakan hati non alkoholik masih belum


banyak. Lesmana melaporkan 17 pasien steatohepatitis non alkoholik, rata-rata
berumur 42 tahun dengan 29% gambaran histologi hati menunjukkan steatohepatitis
disertai fibrosis. Sebuah studi populasi dengan sampel cukup besar oleh Hasan dkk
mendapatkan prevalensi perlemakan hati non alkoholik sebesar 30,6%. Faktor risiko
penting yang dilaporkan adalah obesitas, diabetes melitus (DM), dan
hipertrigliseridemia.

2
Steatohepatitis non alkoholik dapat terjadi pada semua usia, termasuk anak-
anak, walaupun penyakit ini dikatakan paling banyak pada dekade keempat dan kelima
kehidupan. Jenis kelamin yang dominan berbeda-beda dalam berbagai penelitian,
namun umumnya menunjukkan adanya predileksi perempuan. Obesitas, DM tipe 2,
dan dislipidemia juga merupakan kondisi yang sering berkaitan dengan perlemakan
hati non alkoholik. Walaupun demikian, steatohepatitis non alkoholik dapat terjadi
pada individu yang tidak gemuk tanpa faktor risiko seperti di atas.

2.3 Etiologi(2)
Penyebab steatohepatitis, yaitu:

• Resistensi insulin, hyperinsulinemia


➢ Obesitas sentral
➢ Diabetes melitus tipe 2
• Medikasi
➢ Glukokortikoid
➢ Estrogen
➢ Tamoxifen
➢ Amiodarone
• Nutrisional
➢ Kelaparan
➢ Defisiensi protein (Kwashiorkor)
➢ Defisiensi kolin
• Penyakit hati
➢ Wilson disease
➢ Hepatitis kronis
➢ Indian Childhood Cirrhosis
➢ Jejunoileal bypass

3
2.4 Klasifikasi(3)
1. Alkoholic Fatty Liver Disease (AFLD)

Di negara barat > 60% penyakit hati kronik disebabkan oleh karena konsumsi
etanol yang berlebihan, dan sebanyak 40-50% kematian disebabkan oleh sirosis karena
alkohol. Perlemakan hati terjadi pada 90-100% peminum berat, dan 10-35% akan
berkembang menjadi hepatitis alkoholik. Perlemakan hati alkoholik dan fibrosis adalah
entitas yang berdiri sendiri-sendiri, sehingga tidak menyatakan suatu proses perubahan
yang berkelanjutan. Karsinoma sel hati dapat timbul pada 10-20% pasien dengan
sirosis alkoholik.

2. Non-alkoholic Fatty Liver Disease (NAFLD)

Adalah keadaaan terjadinya perlemakan hati pada seseorang yang bukan


peminum alkohol. Menurut American Association for the Study of Liver Diseases
(AASLD) memiliki syarat yaitu: (a) adanya bukti terdapatnya steatohepatitis, baik dari
pencitraan maupun dari histologi dan (b) tidak adanya penyebab sekunder akumulasi
lemak pada hati seperti konsumsi alcohol yang bermakna, penggunaan obat-obatan
yang bersifat steatogenik maupun kelainan herediter.

Secara histologi, NAFLD dikelompokkan lagi menjadi:

• Non-alcoholic Fatty Liver (NAFL)


Didefinisikan sebagai adanya steatosis hepatik tanpa adanya bukti kerusakan
hepatoseluler dalam bentuk hepatosit yang berbentuk seperti balon atau disebut
juga sebagai simple staetosis.
• Non-alcoholic Steatohepatitis (NASH)
Didefinisikan sebagai adanya steatohepatik dan peradangan dengan adanya
kerusakan hepatoseluler (seperti balon) dengan atau tanpa fibrosis.

4
NAFLD sendiri memiliki hubungan yang erat dengan kondisi medis lain seperti
sindroma metabolik, obesitas, penyakit kardiovaskular serta diabetes melitus.

2.5 Faktor Risiko(4)


Faktor-faktor yang dapat menyebabkan NAFLD adalah sebagai berikut:

a. Sitokin
Tumor necrosis factor -α (TNF -α) merupakan sitokin yang penting dalam
perkembangan penyakit hati. TNF -α memanggil sel inflamasi dan merangsang
produksi sitokin lainnya yang bertujuan untuk penyembuhan proses
fibrogenesis. Sitokin proinflamasi yang dirangsang oleh TNF -α seperti IL-1,
IL-6, IL-8 memiliki peranan dalam pathogenesis NAFLD.
b. Obesitas
Obesitas memiliki hubungan yang sangat kuat dengan kejadian NAFLD yang
tidak tergantung dengan konsumsi alkohol dan telah dijumpai hampir 30-95%
penderita NAFLD. Indeks massa tubuh merupakan salah satu prediktor
terhadap derajat infiltrasi lemak pada hati, perkembangan NASH meningkat
dengan adanya obesitas.
c. Dislipidemia
Hipertrigliseridemia dilaporkan pada pasien NAFLD sebesar 20-81% yang
tergantung dengan kondisi obesitas. Penurunan kolesterol HDL dan ekspresi
resistensi insulin dapat menjadi risiko ganda terhadap NAFLD.
d. DM Tipe 2
Merupakan faktor yang lebih umum menyebabkan NAFLD dan telah
dilaporkan prevalensi sebanyak 10-55%. Metode HOMA mengatakan bahwa
pasien NAFLD mengalami penurunan sensitivitas insulin endogenus dan
exogenous.
e. Sindrom metabolik dan resistensi insulin
Sindrom metabolik merupakan kombinasi 5 faktor risiko yaitu:

5
1) Obesitas visera (lingkar perut perempuan > 88 cm dan laki-laki > 102
cm)
2) Hipertensi (> 10/85 mmHg)
3) Hipertrigliserida (> 150 mg/dl)
4) Penurunan HDL kolesterol (laki-laki < 40 mg/dl : perempuan < 50
mg/dl)
5) Peningkatan glukosa ( > 110 mg/dl)

2.6 Patogenesis dan Patofisiologi


1. Alcoholic Fatty Liver Disease (AFLD)(3)

Konsumsi alkohol dalam jangka pendek paling banyak 80 g etanol per hari (5-
6 beers atau 8-9 ons dari 80 minuman keras) pada umumnya dapat menyebabkan
perubahan hati ringan dan reversibel bisa berupa perlemakan hati ringan. Konsumsi
etanol menahun 40-80 g per hari dianggap sebagai ambang batas dari faktor risiko
untuk terjadinya kerusakan hati berat. Perempuan lebih rentan terhadap kerusakan hati
dibandingkan dengan pria. Tampaknya risiko kerusakan hati yang terjadi sebanding
dengan frekuensi dan volume yang diminum. Sebagai contoh pesta mabuk-mabukan
dampaknya terhadap kerusakan hati lebih besar dibandingkan dengan mereka yang
minum dengan cara teratur dan dalam kadar rendah. Faktor individual seperti faktor
genetik kemungkinan besar berperan namun petanda yang dapat dipercaya akan
kemungkinan tersebut belum ada. Walaupun belum diketahuinya secara nyata faktor-
faktor yang berpengaruh pada kerusakan hati, namun dianjurkan agar tidak
mengkonsumsi alkohol diatas ambang aman.

Metabolisme etanol oleh enzim alkohol dehydrogenase dan sistem microsomal


ethanol-oxidizing dijelaskan bahwa induksi terhadap cytochrome P-450 pada peminum
alkohol menahun akan meningkatkan perubahan obat lain menjadi metabolit yang
bersifat toksik. Secara khusus efek tersebut dapat meningkatkan metabolisme

6
asetaminofen menjadi metabolit yang bersifat toksik kuat dan meningkatkan jejas hati
meskipun diberikan dalam dosis terapi.

Steatosis sel hati merupakan hasil dari beberapa mekanisme seperti (1)
terhindarnya substrat dari katabolisme dan mendekatnya substrat pada biosintesis fipid.
Sebab hasil metabolisme akan berlebihan berupa nicotinamide adenine dinucleotide
terreduksi yang merupakan hasil metabolisme etanol oleh alkohol dehidrogenase dan
asetaldehid dehidrogenase, (2) terjadi kegagalan dalam penyusunan (assembly) dan
sekresi lipoprotein, (3) peningkatan katabolisme lemak perifer.

Penyebab hepatitis alkoholik belum jelas, tetapi kemungkinan berawal dari satu
atau lebih hasil sampingan yang toksik dan hasil metabolisme etanol yang toksik:

• Acetaldehyde (Mayoritas dari metabolit etanol) menginduksi hasil sampingan


peroksidasi lipid dan asetaldehid-protein, yang dapat merusak kerangka sel dan
fungsi membran sel.
• Alkohol, langsung merusak susunan kerangka sel (seperti yang terlihat sebagai
badan Mallory-Denk, fungsi mitokondria dan kestabilan membran)
• Reactive Oxygen Spesiec (ROS), dihasilkan selama oksidasi etanol oleh sistem
microsomal ethanol oxidizing yang selanjutnya bereaksi dan merusak membran
sel dan protein. ROS juga diproduksi oleh neutrofil yang menyebuk ke area
hepatosit yang nekrotik.
• Inflamasi yang diperantarai sitokin, dan kerusakan sel hati pada umumnya
merupakan gambaran utama yang terjadi pada hepatitis alkoholik dan penyakit
hati alkoholik. TNF dianggap sebagai pemeran utama dalam terjadinya jejas,
IL-1, IL-6 dan IL-8 mungkin juga berperan. Perangsang utama munculnya
sitokin-sitokin pada penyakit hati alkoholik adalah reactive oxygen species,
seperti yang telah dijelaskan sebelumnya dan produk mikroba (contoh
endotoksin) yang berasal dari bakteri usus.

7
Karena pembentukan turunan asetaldehyde dan radikal bebas paling banyak di
area sentrilobular maka area ini merupakan area paling rentan terhadap jejas yang
bersifat toksik. Fibrosis akan terjadi di area sekitar sel dan disekitar sinusoid di dalam
lobulus. Apabila terjadi bersamaan dengan hepatitis virus terutama hepatitis C, maka
merupakan penyebab utama percepatan terjadinya penyakit hati pada alkoholik.
Prevalensi hepatitis C pada individu dengan penyakit alkoholik berkisar sekitar 30%
(dan sebaliknya).

Sirosis hanya terjadi pada sebagian kecil alkoholik kronik dengan alasan yang
belum diketahui. Pada semua individu alkoholik yang dapat melakukan pantangan
penuh memperlihatkan regresi fibrosis dan mikrolobulus akan berubah menjadi sirosis
makronodular, sirosis yang mengalami regresi jarang terjadi.

2. Non-alkoholic Fatty Liver Disease (NAFLD)(1)

Pengetahuan mengenai patogenesis steatohepatitis non-alkoholik masih belum


memuaskan. Dua kondisi yang sering berhubungan dengan steatohepatitis non
alkoholik adalah obesitas dan diabetes melitus, serta dua abnormalitas metabolik yang
sangat kuat kaitannya dengan penyakit ini adalah peningkatan suplai asam lemak ke
hati serta resistensi insulin. Hipotesis yang sampai saat ini banyak diterima adalah the
two hit theory yang diajukan oleh Day dan James.

Hit pertama terjadi akibat penumpukan lemak di hepatosit yang dapat terjadi
karena berbagai keadaan, seperti dislipidemia, diabetes melitus, dan obesitas. Seperti
yang diketahui bahwa dalam keadaan normal, asam lemak bebas dihantarkan
memasuki organ hati lewat sirkulasi darah arteri dan portal. Di dalam hati, asam lemak
bebas akan mengalami metabolisme lebih lanjut, seperti proses re-esterifikasi mejadi
trigliserida atau digunakan untuk pembentukan lemak lainnya. Adanya peningkatan
massa jaringan lemak tubuh, khususnya pada obesitas sentral, akan meningkatkan
pelepasan asam lemak bebas yang kemudian menumpuk di dalam hepatosit.
Bertambahnya asam lemak bebas di dalam hati akan menimbulkan peningkatan

8
oksidasi dan esterifikasi lemak. Proses ini terfokus di mitokondria sel hati sehingga
pada akhirnya akan mengakibatkan kerusakan mitokondria itu sendiri. Inilah yang
disebut hit kedua. Peningkatan stress oksidatif sendiri dapat juga terjadi karena
resistensi insulin, peningkatan konsentrasi endotoksin di hati, peningkatan aktivitas un-
coupling protein mitokondria, peningkatan aktivitas sitokrom P-450 2E1, peningkatan
cadangan besi dan menurunnya aktivitas anti oksidan. Ketika stres oksidatif yang
terjadi di hati melebihi kemampuan perlawanan anti oksidan, maka aktifasi sel stelata
dan sitokin pro inflamasi akan berlanjut dengan inflamasi progresif, pembengkakan
hepatosit dan kematian sel, pembentukan badan Mallory, serta fibrosis.

Meskipun teori two-hit sangat popular dan dapat diterima, agaknya


penyempurnaan akan terus dilakukan karena makin banyak yang berpendapat bahwa
yang terjadi sesungguhnya lebih dari dua hit.

2.7 Manifestasi Klinis


1. Alcoholic Fatty Liver Disease (AFLD)(3)

Perlemakan hati mungkin tidak berbahaya atau hanya menyebabkan


pembesaran hati ringan, bilirubin serum serta alkali fosfatase, kerusakan hati berat yang
membahayakan jarang terjadi. Berhenti sebagai peminum alkohol dan keteguhan untuk
melakukan diet yang adekuat merupakan tatalaksana yang mencukupi.

Di perkirakan bahwa seorang peminum berat memerlukan waktu cukup lama


15-20 tahun untuk menjadi sirosis alkoholik, namun hepatitis alkoholik dapat terjadi
hanya dalam waktu beberapa minggu atau bulan pada peminum yang terus menerus.
Awalnya terjadinya khas, bersifat akut dan sering diikuti dengan kesakitan terutama
pada peminum berat. Gejala dan abnormalitas hasil pemeriksaan laboratorium
bervariasi dari minimal hingga berat. Pada sebagian besar pasien ditemukan gejala
berupa malaise, anoreksia, rasa tidak enak dibagian atas abdomen, pembesaran hati
yang lunak, dan demam. Gambaran hasil laboratorium antara lain hyperbilirubinemia,
peningkatan fosfatase alkali, dan leukositosis neutrofilik.

9
Apa yang akan terjadi dalam jangka panjang pada pasien dengan gangguan hati
akibat alkohol, bervariasi. Angka harapan hidup 5 tahun mencapai 90% pada pasien
tanpa kuning, asites dan hematemesis namun akan turun menjadi 50-60% apabila
pasien terus menjadi peminum. Mereka yang sudah berada pada stadium lanjut dari
penyakit hati alkoholik, yang segera dapat menyebabkan kematian adalah:

• Gagal fungsi hati


• Perdarahan gastrointestinal massif
• Infeksi berulang
• Sindrom hepatorenal
• Karsinoma sel hati 3-6% kasus

2. Non-alkoholic Fatty Liver Disease (NAFLD)(1)

Sebagian besar pasien dengan perlemakan hati non alkoholik tidak


menunjukkan gejala maupun tanda-tanda adanya penyakit hati. Beberapa pasien
melaporkan adanya rasa lemah, malaise, keluhan tidak enak dan seperti mengganjal di
perut kanan atas. Pada kebanyakan pasien, hepatomegali merupakan satu-satunya
kelainan fisis yang di dapatkan. Umumnya pasien dengan perlemakan hati non
alkoholik ditemukan secara kebetulan pada saat dilakukan pemeriksaan lain, misalnya
dalam medical check-up. Sebagian lagi datang dengan komplikasi sirosis seperti asites,
perdarahan varises, atau bahkan sudah berkembang menjadi hepatoma.

2.8 Diagnosis(1)
Biopsi hati merupakan baku emas (gold standard) pemeriksaan penunjang
untuk menegakkan diagnosis dan sejauh ini masih menjadi satu-satunya metode untuk
membedakan perlemakan hati non alkoholik dengan perlemakan tanpa atau disertai
inflamasi. Masih menjadi perdebatan apakah biopsi hati perlu dilakukan sebagai
pemeriksaan rutin dalam proses penegakan diagnosis perlemakan hati non alkoholik.
Sebagian ahli mendukung dilakukannya biopsi karena pemeriksaan histopatologi
mampu menyingkirkan etiologi penyakit lain, membedakan steatosis dari

10
steatohepatitis, memperkirakan prognosis, dan menilai progresi fibrosis dari waktu ke
waktu. Alasan dari kelompok yang menentang biopsi hati antara lain prognosis yang
umumnya baik, belum tersedianya terapi yang benar-benar efektif, dan risiko serta
biaya dari tindakan biopsi itu sendiri. Oleh karenanya pemeriksaan radiologis dan
kimia darah terus menerus diteliti dan dioptimalkan sebagai metode pemeriksaan
alternatif yang bersifat non invasif.

2.8.1 Laboratorium(1)
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang bisa secara adekuat membedakan
steatosis dengan steatohepatitis, atau perlemakan hati alkoholik dengan perlemakan
hati non alkoholik. Peningkatan ringan sampai sedang, konsentrasi AST, ALT, atau
keduanya merupakan kelainan hasil pemeriksaan laboratorium yang paling sering
didapatkan pada pasien-pasien dengan perlemakan hati non alkoholik. Beberapa pasien
datang dengan enzim hati yang normal sama sekali. Kenaikan enzim hati biasanya tidak
melebihi empat kali (< 300 IU/L) dengan rasio AST;ALT < 1, tetapi pada fibrosis lanjut
rasio ini dapat mendekati atau bahkan melebihi satu. Perlu menjadi perhatian bebrapa
studi yang melaporkan bahwa konsentrasi AST dan ALT tidak memiliki korelasi
dengan aktivitas histologi, bahkan konsentrasi enzim dapat tetap normal pada penyakit
hati yang sudah lanjut. Pemeriksaan laboratorium lain seperti fosfatase alkali, gamma-
glutamiltransferase, feritin darah atau saturasi transferin juga dapat meningkat,
sedangkan hipoalbuminemia, waktu protrombin yang memanjang, dan
hiperbilirubinemia biasanya ditemukan pada pasien yang sudah terjadi sirosis.

Dislipidemia ditemukan pada 21-83% pasien dan biasanya berupa peningkatan


konsentrasi trigliserida. Karena diabetes merupakan salah satu faktor risiko perlemakan
hati non alkoholik, maka tidak jarang terdapat pula peningkatan konsentrasi gula darah.

2.8.2 Evaluasi Pencitraan(1)


Berbagai modalitas pencitraan telah dicoba untuk mendeteksi perlemakan hati.
Agaknya ultrasonografi merupakan pilihan terbaik saat ini, walaupun CT dan MRI juga

11
dapat digunakan. Pada USG, infiltrasi lemak di hati akan menghasilkan peningkatan
difus ekogenisitas (hiperekoik, bright liver) bila dibandingkan dengan ginjal.
Sensitifitas USG 89% dan spesifitas 93% dalam mendeteksi steatosis. Terbukti ketiga
teknik pencitraan di atas memiliki sensitifitas yang baik untuk mendeteksi perlemakan
hati non alkoholik dengan deposit lemak di hati melebihi dari 39%, tetapi tidak satu
pun dari ketiga alat tersebut dapat membedakan perlemakan hati sederhana dari
steatohepatitis.

Gambar 1. Gambaran USG steatohepatitis. Parenkim tampak hiperekogenik


dibandingkan dengan ginjal

Infiltrasi lemak di hati menghasilkan gambar parenkim hati dengan densitas


rendah yang bersifat difus pada CT, meskipun adakalanya berbentuk fokal. Gambaran
fokal ini dapat disalah artikan sebagai massa ganas di hati. Pada keadaan seperti itu
MRI bisa dipakai untuk membedakan nodul akibat keganasan dari infiltrasi fokal lemak
di hati.

12
Berdasarkan penilaian gambaran ekogenitas hati dan pembuluh darah
intrahepatic, secara USG perlemakan hati dapat dibedakan dalam 3 derajat, yaitu:

Tabel 1. Derajat perlemakan hati secara Ultrasonografi

Derajat Ringan Peningkatan ekogenitas difus parenkim


hati dibandingkan dengan korteks ginjal,
(Mild) tetapi pembuluh darah intrahepatik
masih tervisualisasi normal.

Derajat Sedang Peningkatan ekogenitas difus moderate


parenkim hati dengan visualisasi
(Moderate) pembuluh darah intrahepatik sedikit
kabur.

Derajat Berat Peningkatan ekogenitas hati nyata


dengan sulitnya visualisasi dari dinding
(Severe) vena porta dan diafragma. Bagian hati
yang lebih dalam juga mungkin sulit di
visualisasikan.

Gambar 2. Gambaran CT steatohepatitis. (Kiri) Pada gambaran non-kontras, hati


tampak lebih gelap dibandingkan limpa. (Kanan) dengan kontras

13
2.8.3 Histologi(1)
Secara histopatologis, perlemakan hati non alkoholik tidak dapat dibedakan
dengan kerusakan hati akibat alkoholik. Gambaran biopsi hati antara lain berupa
steatosis, infiltrasi sel radang, hepatocyte dan nekrosis, nukleus glikogen, Mallory’s
hyaline, dan fibrosis.

Ditemukannya fibrosis pada perlemakan hati non alkoholik menunjukkan


kerusakan hati lebih lanjut dan lebih berat. Dari berbagai penelitian terhadap gambaran
histologi hati yang pernah dilakukan terlihat bahwa fibrosis dalam berbagai derajat
ditemukan pada hampir 66% kasus ketika diagnosis ditegakkan, 25% di antaranya
dengan fibrosis berat (fibrosis septa atau sirosis) dan 14% sirosis nyata.

Gambar 3. (Kiri Atas) steatohepatitis makrovesikular; (Kanan Atas) baloning dengan


hialin Mallory dalam sel baloning; (Kiri Bawah) badan Mallory diwarnai dengan
antibodi ubiquitin; (Kanan Bawah) pewarnaan Masson trichrome menunjukkan
fibrosis periselular terutama di daerah sentrilobular

14
Karakteristik histologis perlemakan hati non alkoholik adalah ditemukannya
perlemakan hati dengan atau tanpa inflamasi. Perlemakan umumnya didominasi oleh
gambaran sel makrovesikular yang mendesak inti hepatosi ke tepi sel. Pada fase awal
atau steatosis ringan, lemak ditemukannya pada zona 3 hepatosit. Inflamasi merupakan
komponen dasar untuk menyatakan adanya steatohepatitis non alkoholik. Sel-sel
inflamasi tersebut terdiri dari netrofil dan sel mononuklear yang ditemukan pada
lobulus-lobulus hati. Bila sel-sel inflamasi tidak ditemukan berarti pasien masih berada
dalam tahap perlemakan hati saja. Adanya badan Mallory dan anak inti glikogen
merupakan variasi dari gambaran steatohepatitis non alkoholik. Biasanya badan
Mallory ini memiliki ukuran lebih kecil daripada yang biasa ditemukan pada
steatohepatitis alkoholik.

Tabel 2. Grading dan Staging Perlemakan Hati Non-Alkoholik


Grading untuk Steatosis

Grade 1 < 13% hepatosit terisi lemak

Grade 2 33 – 66% hepatosit terisi lemak

Grade 3 >66% hepatosit terisi lemak

Grading untuk Steatohepatitis

Grade 1, Ringan

Steatosis Didominasi makrovesikular, melibatkan hingga 66%


dari lobulus

Degenerasi balon Kadang kala terlihat di zona 3 hepatosit

Inflamasi lobular Inflamasi akut tersebar dan ringan (sel PMN), kadang
kala inflamasi kronik (sel MN)

Inflamasi Portal Tidak ada atau ringan

15
Grade 2, Sedang

Steatosis Berbagai derajat, biasanya campuran

Degenerasi balon Makrovesikular dan mikrovesikular jelas terlihat dan


terdapat di zona 3

Inflamasi lobular Adanya sel PMN dikaitkan dengan hepatosit yang


mengalami degenerasi balon, fibrosis periselular,
inflamasi kronik ringan mungkin ada

Inflamasi portal Ringan sampai sedang

Grade 3, Berat

Steatosis Meliputi >66% lobulus (panasinar), umumnya steatosis


campuran

Degenerasi balon Nyata dan terutama di zona 3

Inflamasi lobular Inflamasi akut dan kronik yang tersebar, sel PMN
terkonsentrasi di area zona 3 yang mengalami
degenerasi balon dan fibrosis perisinusioidal

Inflamasi portal Ringan sampai sedang

Staging untuk Fibrosis

Stage 1 Fibrosis perivenulaer zona 3, perisinusoidal, periselular,


ekstensif atau fokal

Stage 2 Seperti di atas, dengan fibrosis periportal yang fokal atau


ekstensif

Stage 3 Fibrosis jembatan, fokal atau ekstensif

Stage 4 Sirosis

Sampai saat ini masih terdapat perbedaan pendapat mengenai interpretasi


histopatologis steatohepatitis non alkoholik. Kontroversi terutama mengemukakan
dalam hal penentuan kriteria untuk membedakan perlemakan hati sederhana dengan

16
steatohepatitis non alkoholik. Disamping itu, meskipun penilaian derajat fibrosis
hampir seragam, para ahli patologi sering kali tidak sepaham menyangkut grading
inflamasi. Klasifikasi dari Brunt merupakan kriteria histopatologis yang banyak
dipakai untuk menentukan derajat steatohepatitis non alkoholik.

2.9 Penatalaksanaan(1,2)
Tatalaksana pasien dengan perlemakan hati non alkoholik menyangkut
beberapa strategi yaitu modifikasi gaya hidup, memperbaiki komponen dari sindroma
metabolik, farmakoterapi yang ditujukan untuk hati pada pasien risiko tinggi, dan
mengatasi komplikasi dari sirosis. Manajemen tersebut bergantung pada derajat
penyakit, seperti pasien dengan steatohepatitis dan fibrosis, membutuhkan modifikasi
gaya hidup yang lebih agresif, dan dapat di pertimbangkan farmakoterapi seperti
pioglitazon atau vitamin E.

Berikut adalah tatalaksana perlemakan hati non-alkoholik berdasarkan


beberapa kepustakaan terkini dan guideline yang dikeluarkan oleh World
Gastroenterology Organization (WGO) tahun 2014 dan American Association for the
Study of Liver Disease (AASLD), the American College of Gastroenterology (ACG),
dan American Gastroenterologycal Association (AGA) pada tahun 2012.

17
Gambar 4. Algoritma tatalaksana non-alcoholic fatty liver (NAFLD)

2.9.1 Pengontrolan Faktor Risiko


A. Penurunan berat badan

Penurunan berat badan menjadi tatalaksana awal bagi semua penderita


perlemakan hati non alkoholik. Promrat dkk. Melaporkan pada 31 orang dengan
obesitas serta NASH yang menjalani perubahan gaya hidup (pola makan dan aktivitas
fisik sedang selama 200 menit per minggu) menunjukkan perbaikan gambaran
histologis hati seperti pengurangan nekrosis, steatosis dan inflamasi. Secara umum,
penurunan berat badan sebanyak 3-5% akan memberikan perbaikan pada steatosis,
akan tetapi diperlukan penurunan berat badan lebih besar (10%) untuk memberikan

18
perbaikan inflamasi. Penurunan berat badan diharapkan terjadi secara bertahap yaitu
0,5 kg/minggu, karena dengan adanya penurunan dramatis (>1,6 kg/minggu)
diasosiasikan dengan adanya inflamasi portal dan progresivitas dari fibrosis.

Penggunaan orlistat untuk membantu penurunan berat badan, memberikan


beberapa hasil. Harison et al menunjukkan bahwa penggunaan orlistat meningkatkan
perbaikan enzim hati, histopatologi hati, dan membantu penurunan berat badan. Studi
lain menunjukkan bahwa pemberian orlistat dapat memperbaiki stetosis dan nilai
SGPT.

Operasi bariatric dapat dipertimbangkan pada pasien dengan obesitas morbid,


oleh karena itu dapat memberikan penurunan berat badan secara signifikan sehingga
dapat memicu perbaikan dari sindrom metabolik, diabetes melitus, steatosis, inflamasi,
dan fibrosis hati. Akan tetapi keputusan operasi anjang c sebaiknya
dipertimbangkan manfaat dan risiko pada masing-masing pasien.

B. Diet

Perubahan pola makan menjadi salah satu upaya untuk mnurunkan berat badan.
Ryan et al melaporkan efektivitas diet mediteranian dibandingkan dengan diet tinggi
karbonhidrat – rendah lemak, didapatkan peningkatan sensitivitas insulin serta
pengurangan steatosis hati meskipun tidak terjadi pengurangan berat badan. Panduan
rekomendasi diet lain untuk pasien perlemakan hati nonalkoholik adalah pengurangan
kalori sebanyak 600-800 kalori per hari atau restriksi kalori menjadi 25-30 kkal/kg/hari
dari berat badan ideal, protein sebesar 1-1,5 gr/kg/hari, dan restriksi karbonhidrat
menjadi 40-45% dari total kalori, restriksi lemak menjadi < 30% kalori dengan asam
lemak jenuh <10%, sebaiknya konsumsi buah dan sayuran dibandingkan dengan
makan tinggi fruktosa. Makanan rendah karbonhidrat di asosiasikan dengan reduksi
dari trigliserida dan serum aminotransferase.

19
C. Suplementasi diet

Penggunaan asam lemak Omega-3 diduga dapat memberikan perbaikan profil


lipid seperti menurunkan trigliserida, menurunkan resistensi insulin dan sintesis
sitokin, hal ini berkaitan dengan pathogenesis dari perlemakan hati non alkoholik.
Dalam meta analisis oleh Parker et al. didapatkan hasil yang beragam dari hasil
penggunaan asam lemak tidak jenuh omega-3, akan tetapi dapat diambil kesimpulan
bahwa pemberian suplemen omega-3 dapat menurunkan perlemakan pada hati akan
tetapi dosis optimal untuk efek tersebut belum diketahui secara pasti. Secara umum,
efek akan dicapai dengan penggunaan omega-3 lebih dari 0,83 gram/hari.

Vitamin E dikenal sebagai suatu antioksidan lipofilik, dan memberikan efek


dengan mereduksi peroksidase lemak, menangkal radikal bebas, dan menstabilisasi
membran fosfolipid sel. Vitamin E juga dapat menghambat ekspresi hepatic
transforming growth factor-β1 dan melindungi dari fibrosis hati. Menurut rekomendasi
tahun 2012, vitamin E sebesar 800 IU/hari direkomendasikan untk pasien dewasa non
diabetes dengan NASH. Akan tetapi tidak direkomendasikan pada pasien NASH
dengan diabetes, perlemakan hati non alkoholik tanpa biopsi hati, sirosis NASH, atau
sirosis kriptogenik. Efek positif dari pemberian vitamin E diduga akan menghilang saat
penghentian terapi, oleh karena itu mungkin diperlukan terapi jangka panjang. Akan
tetapi, penggunaan jangka Panjang diasosiasikan dengan peningkatan mortalitas oleh
berbagai sebab.

Penggunaan suplementasi diet lainnya seperti resveratrol, anthocyanin, ekstrak


the hijau, kafein, bawang putih, jahe, kayu manis, temulawak, vitamin D, dan probiotik
secara teoritis mungkin dapat memberikan manfaat pada perlemakan hati non
alkoholik. Hal ini berkaitan dengan beragam efek yang diberikan dari zat-zat tersebut
yang dapat memodulasi pathogenesis perlemakan hati non alkoholik. Akan tetapi,
penggunaan suplementasi tersebut belum didukung dari data yang kuat dari uji klinis.

20
D. Aktivitas Fisik

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dengan beraktivitas fisik saja tanpa


intervensi diet dapat memberikan perbaikan pada pasien dengan perlemakan hati
nonalkoholik. Hal ini dapat tercapai dengan efek pengurangan berat badan, mengurangi
lemak pada hati, serta meningkatkan sensitivitas insulin. Efek positif ini tetap
didapatkan walaupun tidak terdapat penurunan berat badan. WGO tahun 2014
merekomendasikan olahraga dengan intensitas sedang sebanyak 3-4 kali sehari, dengan
target pencapaian denyut nadi sebesar 60-75% dari denyut nadi maksimum menurut
umur.

2.9.2 Terapi Farmakologis


1. Metformin

Menurut rekomendasi tahun 2012 tidak direkomendasikan untuk diberikan


sebagai terapi pada pasien dengan NASH, oleh karena tidak memberikan perbaikan
histologi hati yang bermakna. Hasil dari berbagai penelitian mengenai metformin itu
sendiri memberikan hasil yang beragam, beberapa penelitian menunjukkan pemberian
metformin. Shields pada tahun 2009 melakukan suatu percobaan dengan
membandingkan efektifitas metformin (pemberian awal 500 mg/hari kemudian
dinaikkan menjadi 1000 mg/hari) disertai olahraga dan diet. Penelitian ini dilakukan
selama 12 bulan, dan didapatkan hasil bahwa metformin hanya memberikan sedikit
perbaikan pada fungsi hati dan gambaran histologi hati. Pada suatu studi yang
dilakukan oleh Shyangdan et al, menunjukkan bahwa pemberian metformin tidak
memberikan perbaikan yang bermakna pada perlemakan hati non alkoholik.

2. Thiazolidinedion

Pemberian thiazolidinedione menunjukkan penurunan inflamasi pada hati, akan


tetapi efek ini hanya terjadi selama pemberian obat, sehingga diperlukan pengobatan
jangka panjang. Dalam sebuah studi pada tahun 2010 yang mencakup 250 pasien

21
dengan NASH, pemberian pioglitazone 30 mg/hari memberikan perbaikan pada hasil
laboratorium fungsi hati dan penurunan inflamasi. Meskipun perbaikan ini masih
dibawah kelompok yang mendapat vitamin E 800 IU/hari. Pemberian rosiglitazone
selama 48 minggu pada penderita NASH, didapatkan perbaikan gambaran histologi
hati. Dalam suatu meta analisis tahun 2012, pioglitazone terbukti memberikan manfaat
dalam perbaikan degenerasi balon, inflamasi lobular, steatosis, dan nekroinflamasi dari
pasien NASH. Akan tetapi, pemberian rosiglitazone dikaitkan dengan peningkatan
risiko infark jantung dan kelainan jantung lainnya.

3. Penghambat dipeptil peptidase-IV (DPP-IV)

Penggunaan penghambat DPP-IV sekarang ini sedang diteliti untuk mengatasi


diabetes pada perlemakan hati non alkoholik, hal ini dengan harapan dapat
meningkatkan uptake glukosa di perifer. Penggunaan linagliptin selama 4 minggu pada
tikus obesitas dengan steatosis hati, didapatkan perbaikan gambaran histologi hati,
mengurangi infiltrasi makrofag lemak pada hati, dan terjadi perbaikan sensitivitas
insulin. Pemberian sitagliptin sebesar 100 mg/hari selama setahun pada 15 pasien
NASH dengan diabetes, menunjukkan perbaikan skor NASH, penurunan steatosis, dan
degenerasi balon. Penelitian lain juga menunjukkan pemberian sitagliptin selama 4
bulan, dapat memperbaiki kadar glukosa darah dan nilai HbA1c, SGPT, dan SGOT.

4. Statin

Penggunaan statin sangat bermanfaat dalam menurunkan angka kejadian


kardiovaskular pada kelompok beresiko, akan tetapi penggunaan statin pada pasien
dengan kondisi penyakit hati mendasar atau pasien dengan peningkatan kadar enzim
menjadi isu tersendiri. Pada tahun 2014 National Lipid Association Safety Task
Force,menyatakan aman untuk memberikan statin pada pasien dengan perlemakan hati
non alkoholik. Penggunaan atorvastatin bersamaan dengan vitamin C 1 gram dan
vitamin E 100 IU selama 1 tahun memperlihatkan perbaikan gambaran histologis hati
seperti pengurangan degenerasi balon dan inflamasi. Dari Guideline pada tahun 2012,

22
merekomendasikan bahwa statin dapat diberikan pada pasien dislipidemia dengan
NAFLD dan NASH, oleh karena kecilnya risiko peningkatan angka kejadian kerusakan
hati oleh statin. Oleh karena kurangnya data dalam menunjukkan efikasi statin sebagai
terapi perlemakan hati non alkoholik, maka tidak direkomendasikan penggunaan statin
secara spesifik untuk terapi perlemakan hati non alkoholik.

5. Ursodeoxycholic acid (UDCA)

Asam Ursodeoxycholic (UDCA) dilaporkan memiliki efek yang baik pada


percobaan terapi NASH karena adanya efek anti inflamasi, anti oksidan, dan hepato
protektif yang dimilikinya. Adanya penurunan dari hepatocellular phosphatidylcholine
(PC) terkait erat dengan terjadinya kerusakan hati pada NASH. Chamulitrat et al pada
tahun 2009 melakukan percobaan dengan mengkonjugasi UDCA dengan
lysophosphatidylethanolamide (UDCA-LPE) yang dirancang untuk meningkatkan PC.
Dari hasil studi ini UDCA-LPE terbukti secara in vitro dapat menghambat TNF alfa
yang memicu apoptosis dan memicu pertumbuhan hepatosit,sehingga disimpulkan
bahwa UDCA-LPE mungkin memiliki efek yang baik dalam terapi NASH. Pada tahun
2011, Pathil et al membuktikan bahwa UDCA-LE memiliki efek anti inflamasi yang
lebih poten dibandingkan dengan UDCA sendiri dalam terapi penyakit hati. Namun
demikian, beberapa uji klinis telah gagal dalam membuktikan perbaikan dari fungsi
hati dan fibrosis pada NASH. Hal ini mungkin terjadi akibat adanya dosis obat yang
suboptimal. Kombinasi UDCA dengan agen lain seperti vitamin E memiliki hasil
keluaran yang cukup baik meskipun terdapat studi yang membuktikan bahwa konsumsi
vitamin E dosis tinggi dapat meningkatkan mortalitas. Vlad Ratziu et al pada tahun
2011 melakukan percobaan pada 126 pasien dengan UDCA dosis tinggi, hasil dari
percobaan tersebut didapatkan UDCA dosis tinggi aman digunakan dan memperbaiki
kadar aminotransferase, penanda fibrosis, dan beberapa parameter metabolik.

23
2.10 Prognosis
Dari berbagai studi prognosis mortalitas jangka panjang pada penderita
NAFLD, hasilnya dapat disimpulkan sebagai berikut:

a. Dibandingkan populasi control yang seimbang, terdapat peningkatan angka


kematian pada penderita NAFLD
b. Penyebab kematian terbanyak pada NAFLD adalah berhubungan dengan
penyakit kardiovaskular
c. Pada penderita NASH terdapat peningkatan kematian yang berhubungan
dengan penyakit hati.

24
BAB III
KESIMPULAN

Dikatakan sebagai perlemakan hati apabila kandungan lemak di hati lebih dari
5% dari seluruh berat hati. Karena pengukuran berat hati sangat sulit dan tidak praktis,
diagnosis dibuat berdasarkan analisis spesimen biopsi jaringan hati, yaitu
ditemukannya minimal 5-10% sel lemak dari keseluruhan hepatosit.

Sampai saat ini masih terdapat beberapa ketidaksepahaman dalam terminologi


penyakit perlemakan hati, misalnya mengenai pemilihan istilah perlemakan hati non
alkoholik (Non-alcoholic Fatty Liver = NAFL) atau penyakit perlemakan hati non
alkoholik (Non-alcoholic Fatty Liver Disease = NAFLD). NAFLD memiliki rentang
mulai dari simple steatosis, non alcoholic steatohepatitis (NASH), fibrosis, sirosis,
hingga karsinoma hepatoseluler. Penelitian terbaru menunjukkan NAFLD berkembang
menjadi NASH adalah sebesar 25%, dimana 25% penderita NASH dapat berkembang
lagi menjadi sirosis dan mengakibatkan liverfailure, hipertensi porta serta karsinoma
hepatoseluler.

25
DAFTAR PUSTAKA
1. Hasan I. Perlemakan Hati Non Alkoholik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi
I, Simadibrata M, Setiati S, Editor, Buku Ajar Penyakit Dalam. Jilid I, ed ke-5.
Jakarta: Interna Publishing; 2009.

2. Adiwinata, Kristanto, Christianty, Richard & Edbert. 2015. Jurnal Penyakit Dalam
Indonesia: Tatalaksana Terkini Perlemakan Hati Non Alkoholik. Fakultas
Kedokteran Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.

3. Kumar, Abbas & Aster. 2003. Buku Ajar Patologi Robbins. Edisi 9. Jakarta: EGC.
4. Bisset RAL, Khan AN. Liver, biliary system, pancreas and spleen. In: Differential
Diagnosis In Abdominal Ultrasound. 2ed. London: Saunders WB.2002.
5. Sanyal AJ. Nonalcoholic fatty liver disease. In: Yamada T, textbook of
gastroenterology. 5th edition, volume 1. Chichester: Willey-Blackwell Publishing;
2009.

26

Anda mungkin juga menyukai