Anda di halaman 1dari 40

b.

Aparatus lacrimalis dan tear film


1) Anatomi
Aparatus lacrimalis adalah struktur-struktur yang terlibat dalam produksi
dan drainase air mata yang terdiri dari glandula lacrimalis, punctum lacrimalis,
kanalikuli lacrimalis, saccus lacrimalis, dan ductus nasolacrimalis (Eva & Whitcher,
2018).

Gambar 2.1. Aparatus Lacrimalis


Tear film terdiri dari 3 lapisan: 1) Lapisan pertama adalah glikoprotein
dalam bentuk mucin yang melapisi sel epitel kornea dan konjungtiva, dihasilkan oleh
unicelluler goblet cells di konjungtiva; 2) lapisan kedua adalah akueosa yang
mengandung substasi larutan air (garam dan protein) dihasilkan oleh glandula
lacrimalis dan glandula aksesorius; 3) lapisan ketiga adalah lipid yang menghambat
penguapan dan membentuk sawar kedap air saat palpebra di tutup, dihasilkan oleh
glandula meibomian (Eva & Whitcher, 2018).

Gambar 2.2. Tear Film (Eva & Whitcher, 2018).


Volume air mata normal diperkirakan 7 ± 2 uL di setiap mata. Albumin
mencakup 60% dari protein total air mata, sisanya globulin dan lisozom. Terdapat
umunoglobulin IgA, IgG, dan IgE. K, Na, dan Cl terdapat di air mata dalam kadar
yang lebih tinggi daripada di plasma. Air mata juga mengandung glukosa (5mg/dl)
dan urea 0,04 mg/dl). PH air mata rata-rata adalah 7,35. Dalam keadaan normal air
mata bersifat isotonik. Osmolaritas air mata adalah 295-309 mosm/L (Eva &
Whitcher, 2007).
2) Fisiologi
o Sistem sekresi air mata
Volume terbesar air mata dihasilkan oleh glandula lacrimalis yang
terletak di fossa glandula lacrimalis di quadran temporosuperior orbita. Glandula
lacrimalis dibagi oleh kornu lateral aponeurosis levator menjadi lobus orbitalis
(yang lebih besar) dan lobus palpebralis (yang lebih kecil) masing-masing
dengan sistem ductusnya akan bermuara ke fornix temporal superior. Persarafan
kelenjar berasal dari nucleus lacrimalis di pons melalui nervus intermedius dan
nervus trigeminus cabang maxillaris (Eva & Whitcher, 2007).

Gambar 2.3. Glandula lacrimalis


Gambar 2.4. Inervasi Glandula Lacrimalis
Glandula lacrimalis aksesorius yaitu glandula krause dan wolfring
identik dengan kelenjar lacrimalis namun tidak memiliki ductus. Kelenjar ini
terletak di dalam konjungtiva terutama di fornix superior (Eva & Whitcher,
2007).

Gambar 2.4. Glandula lacrimalis Aksesorius (Khurana, 2007).


o Sistem ekresi air mata
Setiap kali berkedip, palpebra menutup seperti resleting, mulai dari
lateral menyebarkan air mata secara merata di atas kornea dan menyalurkan ke
sistem ekresi di medial palpebra, kemudian air mata yang sudah memenuhi
saccus konungtivalis akan memasuki punctum lacrimalis, kemudian air mata
tertarik ke dalam saccus lacrimalis karena terdapat tekanan negatif dalam saccus
lacrimalis saat berkedip atau menutup mata. Air mata kemudian berjalan ke
ductus nasolacrimalis karena pengaruh gaya berat dan elastisitas jaringan yang
akhirnya air mata di ekskresikan ke meatus nasal inferior (Eva & Whitcher,
2007).

Gambar 2.5. Berkedip Menyebabkan Air Mata Disalurkan Ke Aparatus


Lacrimalis
3) Penyakit
o Lakrimasi hipersekresi
Hipersekresi primer dapat terjadi akibat tumor atau peradangan pada
glandula lacrimalis. Hipersekresi sekunder akibat refleks lacrimasi karena faktor
psikogenik, dan iritasi epitel permukaan atau retina (Eva & Whitcher, 2018).
o Lakrimasi paradoksial “Crocodile tears”
Keadaan ini ditandai dengan berair mata saat makan. Etiologi kongenital,
namun keadaan ini biasanya didapat post bells palsy dan akibat regenerasi aberran
nervus facialis (Eva & Whitcher, 2018).
o Epifora
Epifora dalah mata berair secara berlebihan menyebabkan air mata
mengalir berlimpah melewati tepian palpebra. Disebabkan oleh emosi atau iritasi
fisik dan stenosis kanalikuli, obstruksi kanalikuli, dan obstuksi
ductusnasolacrimalis (Eva & Whitcher, 2007).
o Mata kering (Keratokonjungtivitis sicca)
a) Defisini
Keratokonjungtivitis sicca adalah kelinan defisiensi tear film yang
menyebabkan mata menjadi kering. Ditandai oleh ketidak stablian tear film
oleh karena produksinya yang kurang atau kualitas air mata yang buruk
sehingga penguapan lebih cepat terjadi.

b) Etiologi

Tabel 2.1. Etiologi Dry Eye


c) Manifestasi klinis
 Mata kering
 Mata merah
 Mata terasa terbakar (burning)
 Pedas di mata (stinging)
d) Klasifikasi

Tabel 2.2. Klasifikasi Dry Eye (Messmer, 2015).


e) Diagnosis
 Anamnesis gejala klinis
 Tear film break-up time with fluorescein
Metode invasive menggunakan fluoresein dan slit lamp dengan cobalt
blue fillter. Setelah berkedip, waktu diukur. Normalnya 20-30 detik, jika
waktu < 10 detik menandakan kelainan.
Gambar 2.6. Taer Film Break-up Time (Messmer, 2015).
 Pewarnaan permukaan mata dengan fluorescein atau lissamine green
- Pewarnaan fluorescein :melihat erosi epitel di konjungtiva dan kornea
- Pewarnaan lissamine green : melihat kerusakan sel superficial dengan
lapisan mucin yang rusak

Gambar 2.7. Pewarnaan Permukaan Mata (Messmer, 2015).


 Tes schirmer dengan atau tanpa anesthesia
Tes schirmer mengukur sekresi kelenjar lacrimalis. Kertas filter (35x5
mm) ditempatkan di konjungtival sacc 1/3 temporal palpebra inferior
dengan kelopak mata pasien menutup. Pembasahan strip diukur setelah 5
menit. Nilai < 5 menandakan ada kelainan.

Gambar 2.8. Tes Schirmer (Messmer, 2015).


 Pemeriksaan margin kelopak mata dan glandula meibomian
Bulu mata, margin kelopak mata, dan lubang glandula meibomian
diperiksa menggunakan slit lamp

Gambar 2.9. Meibomian Gland Dysfunction (Messmer, 2015).


f) Tatalaksana
o Non farmakologi
 Edukasi penyakit (definisi, etiologi, merupakan penyakit kronis,
pengobatan jangka panjang)
 Menghindari faktor resiko : asap rokok dan AC
 Menjaga kebersihan mata dan kelopak mata
o Farmakologi
 Artificial tears
Obat tetes mata dapat dibuat dari serum pasien sendiri (autologous
serum eyedrops) dengan konsentrasi 20-100%.
 Anti inflamasi
Diperlukan untuk mata kering sedang-berat
 Kortikosteroid topikal
Loteprednol etabonate, dexamethasone, prednisolon hanya
digunakan dalam jangka pendek
 Cyclosporine A topikal
Merupakan imunosupresan yang menghambat jalur kalsineurin
fosfotase. Cyclosporine A topikal akan meningkatkan produksi air
mata melalui pelepasan parasimpatetic neurotransmiter
 Tacrolimus
Merupakan immunosupresan, dengan dosis Tacrolimus 0,03 %
eyedrops 1-2x/hari
 Tetrasiklin
Merupakan bakteriostatik antibiotik dengan efek anti inflamasi.
Studi membuktikan tetrasiklin dapat mengobati glandula meibomian
disfungsional. Doksisiklin 40-400 mg/ hari
 Macrolides
Merupakan bakteriostatik antibiotik dengan efek anti inflamasi.
Studi membuktikan azitromisin 1% dapat mengobati glandula
meibomian disfungsional dan blefaritis.
 Omega fatty acid
Omega 3 dan omega 6 merupakan asam lemak esensial untuk
homeostasis permukaan bola mata
 Punctal plugs
Diletakan di punctum lacrimalis sehingga air mata tidak masuk ke
dalam ductus nasolacrimalis.
(Messmer, 2015).
c. Konjungtiva
1) Anatomi
Konjungtiva dibagi menjadi 3 bagian, yaitu: (Khurana, 2007).
 Konjungtiva palpebral
- Konjungtiva marginal
Memanjang dari margin palpebra ± 2 mm ke belakang palpebra hingga
sulcus subtarsalis. Merupakan zona transisi antara kulit dan konjungtiva.
- Konjungtiva tarsal
Konjugtiva yang tipis, transparan dan banyak vaskular.
 Konjungtiva orbital
Terletak longgar diantara konjungtiva tarsal dan fornix.
 Konjungtiva bulbar
Konjungtiva yang tipis, transparan, terletak longgar dan mudah bergerak.
Dipisahkan dari sklera anterior oleh jaringan episklera dan kapsul tendon.
Konjungtiva bulbar 3 mm ke arah kornea disebut konjungtiva limbal.
 Konjungtiva fornix
Merupakan konjungtiva gabungan dari konjungtiva bulbar dan
konjungtiva palpebra. Terletak di lingkatan kelopak mata. Dibagi menjadi fornix
superior, inferior, medial dan lateral.
Gambar 2. 10. Konjungtiva (Khurana, 2007).

Gambar 2.11. Microscopic Structure of Conjunctiva (Khurana, 2007).


Konjungtiva memiliki 2 tipe glandula yaitu : 1) glandula sekretori mucin :
goblet cells, crypts of henle, glandula manz yang mensekresi mucus; 2) glandula
lacrimalis asesorius: glandula krause dan wolfring (Khurana, 2007).
Vascularisasi konjungtiva : 1) periferal arteri arcade; 2) marginal arcade; 3)
arteri ciliari anterior (Khurana, 2007).
Gambar 2.12. Vascularisasi Konjungtiva (Khurana, 2007).
Inervasi konjungtiva : 1) zona circumcorneal : cabang nervus ciliaris yang
mensarafi kornea; 2) zona yang lain di inervasi oleh cabang nervus lacrimalis,
infratrocheal, supratrocheal, supraorbita dan frontal (Khurana, 2007).
2) Konjungtiva palpebra
o Papil
Papila berwarna kemerahan di konjungtiva tarsal. Setiap papila terdiri dari inti
pusat yang banyak pembuluh darah melebar dikelilingi oleh limfosit dan ditutupi
oleh epitel hipertrofi (Khurana, 2007).

Gambar 2.13. Cobble Stone Papil pada Konjungtivitis Vernal (Khurana, 2007).
Gambar 2.14. Giant Papil pada Konjungtivitis Alergi Kontak Lensa
(Khurana, 2007).
o Folikel
Folikel terbentuk karena agregasi trombosit dan sel di lapisan adenoid. Bagian
tengah folikel terdiri dari histiosit mononuklear, sedikit limfosit, dan sel leber.
Biasanya terlihat di konjungtiva tarsal superior dan konjungtiva fornix supeior,
tetapi dapat juga di konjungtiva fornix inferior, plika semilunar, dan caruncle
(Khurana, 2007).

Gambar 2.15. Folikel pada Konjungtivitis Clamidia Trachomatis(Khurana, 2007).

Gambar 2.16. Akut Folikular Konjungtivitis (Khurana, 2007).


Gambar 2.17. Benign Folikulosis pada Kronik Folikular Konjungtivitis
(Khurana, 2007).

Gambar 2.18. Perbedaan Papil dan Folikel (Khurana, 2007).


3) Konjungtiva bulbi
o Injeksi
 Injeksi konjungtiva : Vasodilatasi dengan hiperemis pada arteri konjungtiva
(dominan ke arah lateral)
Ditemukan pada penyakit konjungtivitis dan episkleritis (Frings, Geerling, &
Shargus, 2017).

Gambar 2.19. Injeksi Konjungtiva (Frings, Geerling, & Shargus, 2017).


 Injeksi siliar : Vasodilatasi dengan hiperemis pada arteri siliaris (dominan ke
arah medial mendekati kornea)
Ditemukan pada penyakit skleritis, uveitis, iritis dan glukoma sudut tertutup
(Frings, Geerling, & Shargus, 2017).

Gambar 2.20. Injeksi Siliar (Frings, Geerling, & Shargus, 2017).


o Perbedaan masing-masing injeksi

Gambar 2.21. Jenis Injeksi


Injeksi Konjungtiva Injeksi Siliar
Asal arteri konjungtiva arteri siliaris
posterior
Memperdarahi Konjungtiva bulbi Kornea segmen
posterior
Lokalisasi Konjungtiva Dasar konjungtiva
Warna Merah Ungu
Arah aliran Ke perifer (ke limbus) Ke sentral (ke kornea)
Konjungtiva Ikut bergerak Tidak bergerak
digerakkan
Dengan epinefrin Menciut Tidak menciut
Penyakit Konjungtiva Kornea, Iris, Glaukoma
Sekret (+) (-)
Pengelihatan (visus) Normal Menurun
Tabel 2.3. Perbedaan Injeksi Konjungtiva dan Injeksi Siliar
4) Penyakit
o Konjungtivitis
a) Definisi
Konjungtivitis adalah peradangan pada konjungtiva, merupakan
penyakit mata yang paling umum di dunia (Eva & Whitcher, 2018).
b) Klasifikasi - Etiologi
 Konjungtivitis infeksius
- Konjungtivitis viral : adenovirus
- Konjungtivitis bakteri : staphylococcus aureus, streptococcus
pneumonia, & haemophilus influenza
- Konjungtivitis bakteri spesial topik :clamidia trachomatis & neisseria
gonorrhoeae
 Konjungtivitis non infeksius
- Konjungtivitis alergi : reaksi alergi atau hipersensitivitas tipe 1
diperantarai Ig E
- Konjungtivitis yang berkaitan dengan penyakit sistemik : sjogren
syndrome, kawasaki disease, & steven-jhonson-syndrome
(Azari & Barney, 2013).
c) Manifestasi klinis
 Konjungtivitis viral
- Injeksi konjungtiva
- Sekret jernih
- Visus tidak menurun
- Gatal (-)
- Pembesaran KGB preauricular
- Folikel (+)

Gambar 2.22. Konjungtivitis viral


 Konjungtivitis bakteri
- Injeksi konjungtiva
- Sekret mukopurulen
- Papil (+)
- Dapat disertai membran/ pseudomembran

Gambar 2.23. Konjungtivitis Bakteri (Azari & Barney, 2013).


Gambar 2.24. Akut Membran Konjungtivitis (Khurana, 2007).
 Konjungtivititis chlamydial
- Injeksi konjungtiva
- Sekret purulen atau mukopurulen
- Mata lengket
- Folikel (+)

Gambar 2.25. Konjungtivitis chlamydia trachomatous (Khurana, 2007).


 Konjungtivitis gonococcal
- Injeksi konjungtiva
- Sekret hiperpurulen
- Disertai kelopak mata bengkak
- Papila (+)
Gambar 2.26. Konjungtivitis Gonococcal (Azari & Barney, 2013).
 Konjungtivitis alergi (Vernal)
- Injeksi konjungtiva
- Sekret serous
- Gatal (+)
- Cobble stone appearance (+)

Gambar 2.27. Konjungtivitis Vernal (Khurana, 2007).


(Azari & Barney, 2013).
d) Diagnoisis
Diagram 2.1. Algoritma Diagnosis Konjungtivitis (Azari & Barney, 2013).

e) Diagnosis banding
Tabel 2.4. Diagnosis Banding Konjungtivitis (Azari & Barney, 2013).
f) Tatalaksana
 Non farmakologi
- Edukasi penyakit
- Hindari faktor pencetus
- Menjaga kebersihan mata
- Tidak menggosok mata yang sakit atau gatal

 Farmakologi
Tabel 2.5. Tatalaksana Farmakologi Konjungtivitis (Azari & Barney, 2013).
o Subconjungtiva bleeding
a) Definisi
Perdarahan dibawah konjungtiva bulbar mengakibatkan darah
menutupi warna putih sklera (Khurana, 2007).
b) Etiologi
 Trauma
- Trauma lokal pada konjungtiva
- Perdarahan retrobulbar yang menyebar ke konjungtiva bulbar
 Inflamasi konjungtiva
Disebabkan oleh picornavirus, pneumococcal konjungtivitis, dan
leptospirosis
 Kongesti vena mendadak
Pecahnya kapiler vena secara tiba-tiba karena tekanan yang meningkat,
biasanya saat batuk atau serangan epilepsi
 Ruptur kapiler spontan
Terjadi karena penyakit vaskuler seperti atherosclerosis, hipertensi dan
DM
 Kelainan vaskular lokal
Disebabkan oleh telengiectasis, varicosities, dan aneurisma
 Diskrasia darah
Seperti anemia, leukemia, dan disproteinemia
 Gangguan perdarahan
Seperti purpura dan hemofilia
 Infeksi sistemik demama akut
Seperti malaria, tifoid, difteri, dan demam berdarah dengue
(Khurana, 2007).
c) Manifestasi klinis
 Mata merah : perdarahan berwarna merah terang atau gelap berbatas jelas
 Tidak nyeri
 Visus tidak menurun
 Darah diserap dalam waktu 7-21 hari, warna merah berubah menjadi oren
kemudia menjadi kuning.

Gambar 2.28. Subkonjungtiva Bleeding


(Khurana, 2007).
d) Tatalaksana
 Edukasi
 Kompres dingin di fase awal dan kompres hangat di fase akhir
 Obati penyebab
(Khurana, 2007).
o Episkleritis
a) Definisi
Episkleritis adalah peradangan di episklera, yang melibatkan kapsul
tenon tetapi bukan sklera yang mendasarinya (Khurana, 2007).
b) Etiologi
 Idiopatik
 Reaksi hipersensitivitas terhadap tuberkular endogen atau toksin
streptokokus
 Berhubungan dengan gout, rosea, dan psoriasis
(Khurana, 2007).
c) Manifestasi klinis
 Mata merah
 Mata tidak nyaman seperti berpasir, terbakar atau sensasi benda asing
 Visus tidak menurun
- Difus episklritis : mata merah menyebar difus
- Nodular episkleritis : nodul flat berwarna merah muda atau ungu
dikelilingi injeksi
Gambar 2.29. Episkleritis Difus dan Nodular (Khurana, 2007).
d) Diagnoisis
Tes fenilefrin (+) : pada pemberian fenilefrin 2,5% kemerahan mata
menghilang (Khurana, 2007).
e) Tatalaksana
 Kortikosteorid topikal eyedrops diamkan 2-3 jam : menjadikan mata
lebih nyaman
 Kompres dingin
 NSAID : Indometasin 25 mg 3x/ hari
(Khurana, 2007).
o Skleritis
a) Definisi
Skleritis adalah peradangan pada sklera, kejadianya jauh lebih sedikit
dibandingkan episkleritis (Khurana, 2007).
b) Klasifikasi
 Anterior skleritis (98%)
- Non-necritizing skleritis (85%)
 Difus
 Nodular
- Necrotizing skleritis (13%)
 With inflamation
 Without infalamtion
 Posterior skleritis (2%)
(Khurana, 2007).
c) Etiologi
 Gangguan kolagen autoimun
Pada penyakit rhematoid arthritis dan sistemik lupus eritematosus
 Gangguan metabolik
Pada penyakit asam urat dan tirotoksikosis
 Infeksi
Infeksi herpes zooster ophtalmikus dan staphylococcus kronis
 Penyakit granulomatous
Pada penyakit TBC, sifilis, dan sarkoidosis
 Diinduksi pembedahan mata
6 bulan post operasi mata
 Idiopatik
(Khurana, 2007).
d) Manifestasi klinis
 Mata merah : injeksi silier
 Nyeri mata sedang-berat
 Nyeri mata menjalar ke rahang dan pelipis
 Fotofobia (+)
 Lakrimasi (+)
Gambar 2.30. Skleritis
(Khurana, 2007).
e) Diagnoisis
Tes fenilefrin (-) : pada pemberian fenilefrin 2,5% kemerahan mata tetap atau
tidak menghilang (Khurana, 2007).
(Khurana, 2007).
f) Tatalaksana
 Non-necrositing skleritis
- Kortikosteroid topikal eyedrops
- NSID : Indometasin 100 mg 1 hari, dilanjut 75 mg hingga radang
mereda
 Necrositis skleritis
- Kortikosteroid topikal
- Kortikosteroid oral di tapering perlahan
(Khurana, 2007).
d. Limbus
Limbus adalah perbatasan antara kornea dan skelra. Limbus adalah area
peralihan dari stroma transparan bersatu dengan stroma opak. Regio ini memiliki
mikrovaskular bersama humor aquosus pada bilik anterior menyediakan metabolitnya
untuk sel kornea secara difusa. Pada limbus membran dan endotel selapis digantikan oleh
sistem kanal yang disebut trabeluka meswork yang mendrainase humor aquosus
(Suhardjo & Hartono, 2007; Mescher, 2011).

Gambar 2.31. Limbus (Khurana, 2007).


e. Kornea
1) Lapisan kornea
Kornea terdiri dari 5 lapisan yaitu: (Khurana, 2007).
 Epithelium
Squamous stratified dan bersatu dengan epitel konjungtiva bulbar di lumbus.
 Bowman’s membrane
Terdiri dari massa aseluler dari fibril kolagen yang terkondensasi. Lapisan ini
sekali hancur, tidak dapat diregenerasi.
 Stroma (substantia propria)
Lapisan yang tebal 0,5 mm (90% ketebalan kornea). Terdiri dari kolagen fibrils
(lamellae) tertanam dalam matriks terhidrasi dari proteoglikan. Di antara lamellae
terdapat keratosit, makrofag, histiosit dan leukosit.
 Descemen’s membrane (posterior elastic lamina)
Lapisan membran homogen yang kuat, tahan terhadap agen kimia, trauma dan
patologis. Oleh karena itu lapisan ini dapat mempertahankan integritas bola mata.
Lapisan ini terdiri dari kolagen dan glikoprotein. Lapisan ini dapat ber regenerasi.
Tampak Schwalbe’s line (ring) yang berbatasan dengan trabekula meshwork.
 Endothelium
Terdiri dari satu lapisan datar sel poligon. Sel-sel endotelial mengandung
mekanisme pompa aktif.

Gambar 2.32. Lapisan Kornea (Khurana, 2007).


Kornea adalah struktur avaskuler. Terdapat loop kecil dari pembuluh darah
ciliaris anterior, loop ini tidak ada di kornea namun di jaringan subkonjungtiva yang
tumpang tindih dengan kornea (Khurana, 2007).
Kornea dipersarafi oleh nervus ciliaris anterior merupakan cabang dari divisi
ophthalmic nervus trigeminus (Khurana, 2007).
2) Corneal scar
Corneal scar adalah jaringan parut hasil akhir dari penyembuhan luka pada
kornea. Dapat menyebabkan gangguan penglihatan permanen. Corneal scar ditandai
dengan nebula, macula, leukoma, adherent leucoma, ectatic cicatrix atau keractasia
yang merupakan corneal opacity (Khurana, 2007).

Gambar 2.33. Corneal Opacity (Khurana, 2007).


3) Corneal infiltrat
Corneal infiltrat adalah tanda peradangan akut. Infiltrat merupakan
tertimbunnya sel radang pada kornea sehingga warnanya menjadi keruh

Gambar 2.34. Corneal Infiltrat


4) Corneal edema
Kadar air kornea normal adalah 78%, hal itu dijaga konstan oleh
keseimbangan faktor yang menarik air ke kornea (tekanan intraokular & tekanan
pembengkakan/ swelling pressure dari matriks stroma) dan faktor yang menarik air
keluar kornea (pompa aktif dari endotelium kornea dan barier mekanisme dari epitel
& endotelium). Gangguan pada salah satu faktor di atas akan menyebabkan corneal
edema, dimana hidrasi diatas 78%, ketebalan pusat meningkat dan transparansi
berkurang (Khurana, 2007).

Gambar 2.35. Corneal Edema (Khurana, 2007).


5) Perbedaan corneal scar, corneal infiltrat, dan corneal edema
Dikatakan corneal infiltrat ketika terdapatnya timbunan sel radang pada
kornea sehingga warnanya menjadi keruh yang dapat memberikan uji plasido positif,
yang merupakan tanda peradangan akut. Corneal scar atau sikatrik kornea merupakan
jaringan parut pada kornea akibat penyembuhan luka. Corneal edema merupakan
keadaan dimana kornea menjadi menebal dan keruh, dapat terjadi pada glaukoma
kongenital, pascabedah intraokular, dekompensasi endotel kornea, trauma, infeksi
kornea (Khurana, 2007).
6) Penyakit
o Keratitis
a) Definisi
Keratitis adalah peradangan pada kornea yang ditandai dengan corneal
edema, cullar infiltasi, dan kongesti siliar (Khurana, 2007).
b) Klasifikasi - Etiologi
 Keratitis infektif
- Bakterial : staphylococcus aureus dan treptococcus alfa-hemoliticus
- Viral : herpes simpleks dan herpes zooster
- Fungal : aspergilus dan candida
- Protozoa : acanthamoeba
 Keratitis alergi
- Phlyctenular
- Vernal
- Atopik
 Keratitis tropic
- Exposure
- Neuroparalytic
- Keratomalasia
(Khurana, 2007).
Gambar 2.36. Jenis Keratitis (Eva & Whitcher, 2007).
c) Manifestasi klinis
 Keratitis bakterial
- Mata merah
- Visus turun
- Nyeri
- Fotofobia (+)
- Infiltrate (+)
- Hipopion +/-
Gamb
ar 2.37. Keratitis (ulcer corneal) Bakterial tanpa Hipopion dan dengan Hipopion
(Khurana, 2007).
 Keratitis HSV
- Riwayat HSV
- Mata merah
- Nyeri
- Lesi dendritik (seperti cabang pohon)

Gambar 2.38. Keratitis HSV (Eva & Whitcher, 20018).


 Keratitis herpes zooster
- Mata merah
- Vesikel di kulit sekitar mata
- Nyeri dermatomal
Gambar 2.39. Keratitis Herpes Zooster (Khurana, 2007).
 Keratitis fungal
- Riwayat trauma dengan tumbuhan
- Lesi satelit (+)

Gambar 2.40. Keratitis Fungal (Khurana, 2007).


d) Tatalaksana

Tabel 2.6. Terapi Keratitis (Eva & Whitcher, 2018).


o Corneal ulcer
a) Definisi
Corneal ulcer adalah ulserasi yang timbul di kornea, yang dapat
membentuk jaringan parut di kornea (Eva & Whitcher, 2007).
b) Patogenesis
Ketika epithelium kornea yang rusak diinvasi oleh agen-agen pathogen,
perubahan-perubahan pada kornea pada perkembangannya menjadi ulkus
kornea dapat dibedakan menjadi 4 tahap yaitu :
 Progresive infiltration
 Active ulceration
 Regression
 Cicatrization
(Khurana, 2007).
Gambar 2.41. Patogenesis Ulkus Kornea (Khurana, 2007).
c) Manifestasi klinis
Gejala keratitis + tes fluorescein (+)

Gambar 2.42. Corneal Ulcer (Eva & Whitcher, 2018).


DAFTAR PUSTAKA

Azari, A.A., & Barney, N.P. (2013). Conjunctivitis: a systematic review of diagnosis and
treatment. JAMA. 310 (16): 1721-1729.
Eva, P.R., & Whitcher, J.P. (2007). Vaughan & Asbury’s: Oftalmologi Umum. 17th Edision.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Eva, P.R., & Whitcher, J.P. (2018). Vaughan & Asbury’s: General Ophthalmology. 19th Edision.
New York: McGraw-Hill.
Frings, A., Geerling, G., & Shargus, M. (2017). Red eye: a guide for none-specialists. Dtsch
Arztebl Int: 114: 302-312.
Khurana, A.K. (2007). Ophthalmology. 4th Edition. New Delhi: New Age International.
Mescher, A. L. (2011). Histologi Dasar Junqueira: teks & atlas. Edisi ke- 12. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Messmer, E.M. (2015). The pathophysiology, diagnosis, and treatment of dry eye disease. Dtsch
Arztebl Int: 112: 71-82
Suhardjo, S.U., & Hartono. (2007). Ilmu Kesehatan Mata. Yogyakarta: Penerbit Buku
Kedokteran UGM.

Anda mungkin juga menyukai