Anda di halaman 1dari 11

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Reaksi kusta merupakan fenomena imunologis yang dapat terjadi sebelum, saat dan
setelah pengobatan lengkap MDT(multi-drug treatment). Terdapat 2 jenis reaksi kusta yaitu
reaksi tipe 1 atau reaksi reversal dan tipe 2 atau eitema nodosum leposum (ENL). Kedua jenis
reaksi kusta ini dapat terjadi tepisah, tetapi dapat timbul pada pasien yang sama di saat
berbeda. Fenomena lucio sering dianggap sebagai reaksi kusta tipe 3 atau dikenal sebagai
reaksi kusta sangat berat. Reaksi kusta merupakan penyebab terbesar kerusakan saraf dan
kematian sebagian besar penderita kusta. Reaksi kusta jika dapat dideteksi pada saat yang
tepat maka komplikasi dapat dicegah. Reaksi tipe 1 umumnya terjadi pada kusta tipe
Borderline Tuberculoid (BT), Mid Borderline (BB), dan Borderline Lepromatosa (BL).
Pada reaksi tipe 1 ini, sistem imunologis seluler berperan penting. Sedangkan pada reaksi
tipe 2 peranan sistem imunologis humoral lebih dominan dan umumnya terjadi pada kasus
kusta tipe BL dan lepromatosa (LL) . Prevalensi reaksi kusta tipe 1 dan tipe 2 bervariasi
antara negara, 26% penderita kusta di Brasil mengalami reaksi kusta tipe 1 dalam dua tahun
pengobatan MDT. Sebuah studi di Brasil pada pasien reaksi kusta tipe 1 menunjukkan bahwa
59,5% tipe BL, 33,4% tipe BB dan 7,1% tipe LL. Sedangkan reaksi kusta tipe 2 (ENL)
sebanyak 37% di Brasil dan 19-26% di Asia terjadi pada pasien tipe BL dan LL

B. Tujuan
1. Makalah ini dibuat dengan tujuan sebagai berikut :
a. Untuk menjelaskan definisi reaksi kusta.
b. Untuk menjelaskan klasifikasi dan etiologi reaksi kusta.
c. Untuk menjelaskan patogenesis reaksi kusta.
d. Untuk menjelaskan manifestasi klinis reaksi kusta.
e. Untuk menjelaskan faktor pencetus reaksi kusta.
f. Untuk menjelaskan tata laksana reaksi kusta.
g. Untuk menjelaskan bagaimanakah pencegahan reaksi kusta

BAB II

1
PEMBAHASAN

A. Definisi
Reaksi kusta adalah episode akut dalam perjalanan kronis penyakit kusta merupakan
reaksi kekebalan cellular respons atau reaksi antigen-antibodi yang merugikan terutama jika
mengenai saraf tepi karena menyebabkan gangguan fungsi atau cacat. Reaksi kusta dapat
terjadi sebelum, selama, dan sesudah pengobatan MDT. Meskipun gambaran klinis,
bakteriologis, histopatologis maupun faktor pencetus reaksi kusta sudah diketahui jelas
namun penyebab pasti reaksi kusta belum diketahui. Reaksi ini mungkin menggambarkan
episode hipersensitivitas akut terhadap antigen basil kuman kusta yang mengganggu
keseimbangan imunitas pasien kusta.

B. Klasifikasi dan etiologi


Reaksi kusta dibagi menjadi 2 tipe yaitu reaksi tipe 1(reversal) dan reaksi tipe 2 (ENL)
a. Reaksi tipe 1
Reaksi ini lebih banyak terjadi pada pasien yang berada di spektrum borderline
(BL,BB,BT) karena tipe borderline ini merupakan tipe tidak stabil. Reaksi tipe ini
terutama terjadi selama masa pengobatan karena adanya peningkatan hebat respon
imun seluler secara tiba-tiba sehingga mengakibatkan terjadinya respons inflamasi
pada daerah kulit dan saraf yang terkena. Inflamasi pada jaringan saraf dapat
mengakibatkan kerusakan dan kecacatan.

b. Reaksi tipe 2.
Terjadi pada pasien tipe MB (lepromatous leprosy dan borderline lepromatous).
Reaksi tipe 2 merupakan reaksi humoral berupa antigen (basil M.leprae) dan antibodi
pasien kusta yang akan mengaktifkan sistem komplemen sehingga terbentuk
kompleks imun. Kompleks imun tersebut akan menimbulkan respon inflamasi dan
akan terdegradasi dalam beberapa hari. Kompleks imun tersebut dapat mengendap ke
berbagai organ, terutama pada lokasi dimana M.leprae berada dalam konsentrasi
tinggi , seperti pada kulit (ENL), saraf (neuritis), limfonodus (limfadenitis), tulang
(artitis), ginjal (nefritis), dan testis (orkitis). Gejala klinis ini berupa nodul, eritema,
dan nyeri dengan tempat predileksi di lengan dan tungkai. Gejala ini umumnya
menghilang dalam beberapa hari atau lebih dan mungkin diikuti dengan pembentukan
nodul baru, sedangkan nodul lama menjadi keunguan. Perjalanan reaksi dapat

2
berlangsung selama 3 minggu atau lebih, ENL dapat disertai gejala konstitusi dari
ringan sampai berat.
Fenomena lucio merupakan varian reaksi kusta yang jarang ditemukan. Dapat terjadi
pada pasien kusta lepromatosa non-nodular difus yang belum mendapatkan terapi atau
tidak meyelesaikan terapi. Gambaran klinis berupa plak merah kebiruan pada
ekstremitas yang kemudian mengalami infark yang dapat disertai atau tanpa bula.
Nekrosis jaringan kemudian sembuh meninggalkan jaringan parut. Bula yang besar
dapat menjadi ulkus dalam dengan tepi tidak teratur.
C. Patogenesis
Reaksi kusta tipe 1 merupakan delayed hypersensitivity reaction seperti halnya reaksi
hipersensitivitas tipe IV. Infeksi mycobakterium leprae dpat memicu ekspresi MHC kelas II
pada permukaan sel. Hal ini akan memicu limfosit CD4 membunuh sel terinfeksi dengan
mediasi sitokin seperti TNF. Pada dasarnya reaksi tipe 1 terjadi akibat perubahan
keseimbangan antara imunitas dan basil, hasilnya dapat terjadi upgrading reversal ataupun
downgrading. Reaksi tipe 1 ini diartikan reaksi reversal karena paling sering dijumpai pada
kasus-kasus yang mendapatkan pengobatan sedangkan down grading reaction lebih jarang
dijumpai karena berjalan lebih lambat dan umumnya dijumpai pada kasus-kasus yang tidak
mendapat pengobatan. Meskipun teoritis reaksi tipe 1 dapat terjadi pada semua bentuk kusta
subpolar, jauh lebih serIng terjadi pada bentuk BB sehingga disebut reaksi borderline. Reaksi
ini ditandai lesi yang bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu relatif singkat.
Lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi makula menjadi infiltrat dan lesi meluas.

Reaksi ENL atau tipe 2 merupakan komplikasi imunologis BL dan LL yang sulit
diatasi. Sebagian besar pasien dengan reaksi tipe 2 mengalami beberapa episode dalam
beberapa tahun baik sebagai episode akut yang multipel maupun ENL kronis. Reaksi tipe 2
berhubungan dengan bakteri yang hancur, antigen serta intensitas produksi antibodi.
Patogenesis reaksi tipe 2 belum jelas. Konsentrasi antigen bakteri yang tinggi dalam jaringan
akan meningkatkan kadar antibodi IgM dan Ig G penderita tipe lepromatosa. Mekanisme
imunopatologi penting pada reaksi kusta tipe 2 berupa formasi dan berkurang nya kompleks
imun serta aktivasi sistem komplemen dengan meningkatnya mediator inflamasi . Pada kusta
tipe lepramatosa aktivasi limfosit Th2 mempengaruhi produksi interleukin (IL)-4 dan IL-10
yang akan menstimulasi respon imun humoral dan intensitas produksi antibodi limfosit B.
Sebanyak 15%- 50% kusta tipe lepramatosa berkembang menjadi reaksi tipe 2. Beratnya
reaksi tipe 2 disebabkan oleh meningkatnya produksi sitokin oleh limfosit Th2 sebagai respon

3
imun tubuh untuk mengatasi peradangan. Tumor necrosis factor alpha (TNF-α) dan interferon
gamma (IFN-ϒ) merupakan komponen sitokin spesifik pada ENL. Sirkulasi TNF yang tinggi
terjadi pada reaksi tipe 2 diduga akibat sel mononuklear pada darah tepi yang dapat
meningkatkan jumlah TNF.

D. Manifestasi Klinis
Gejala reaksi tipe 1 dapat dilihat berupa perubahan pada kulit maupun saraf dalam
bentuk peradangan. Pada kulit umumnya sebagian atau seluruh lesi yang telah ada bertambah
aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relatif singkat. Dimana lesi hipopigmentasi
menjadi eritema , lesi eritema menjadi makin eritematosa, lesi makula/bercak menjadi
infiltrat/plakat, lesi plakat makin infiltratif dan lesi lama menjadi bertambah luas. Tidak perlu
seluruh gejala harus ada, satu saja sudah cukup. Pada saraf terjadi neuritis akut, berupa nyeri
pada saraf (nyeri tekan atau spontan) dan atau gangguan fungsi saraf.
Sedangkan pada reaksi kusta tipe 2 Gejala klinis ini berupa nodul, eritema, dan nyeri
dengan tempat predileksi di lengan dan tungkai. Gejala ini umumnya menghilang dalam
beberapa hari atau lebih dan mungkin diikuti dengan pembentukan nodus baru, sedangkan
nodus lama menjadi keunguan. Perjalanan reaksi dapat berlangsung selama 3 minggu atau
lebih, ENL dapat disertai gejala konstitusi dari ringan sampai berat.

Perbedaan reaksi tipe 1 dan reak si tipe 2


No Gejala tanda Reaksi tipe 1 Reaksi tipe 2
1 Tipe kusta Dapat terjadi pada kusta tipe Hanya pada kusta tipe MB
PB maupun MB
2. Waktu Biasanya segera setelah Biasanya setelah
timbulnya pengobatan mendapatkan pengobatan
yang lama umumnya lebih
dari 6 bulan
3. Keadaan Umumnya baik, demam Ringan sampai berat disertai
umum ringan (sub-febris) atau kelemahan umum dan
tanpa demam demam tinggi
4. Peradangan Bercak kulit lama menjadi Timbul nodul kemerahan,
dikulit lebih meradang (merah), lunak dan nyeri tekan.
bengkak, berkilat, hangat. Biasanya pada lengan dan

4
Kadang kadang hanya pada tungkai. Nodul dapat pecah
sebagian lesi. Dapat timbul
bercak baru.
5. Saraf Sering terjadi, umumnya Dapat terjadi
berupa nyeri syaraf dan atau
gangguan fungsi syaraf.
Silent neuritis (+)
6. Udem pada (+) (-)
ekstrimitas
7. Peradangan Anastesi kornea dan Iritis, iridoksiklitis, glaucoma,
pada mata lagoftalmos karena katarak dll
keterlibatan N, V dan N. VII.
8. Peradangan Hampir tdak ada Terjadi pada testis, sendi,
pada organ lain ginjal, kelenjar getah bening,
dll

E. Faktor pencetus reaksi tipe 1 dan tipe 2


Reaksi kusta dapat terjadi sebelum pengobatan, tetapi terutama terjadi selama atau
setelah pengobatan. Penyebab pasti terjadinya reaksi masih belum jelas. Diperkirakan
sejumlah faktor pencetus memegang peranan penting.

Reaksi tipe 1 Reaksi tipe 2


Pasien dengan bercak multipel dan Obat MDT kecuali lampren
Bercak luas pada wajah dan lesi BI > 4+
Saat puerpurium (karena peningkatan Kehamilan awal(karena stres mental),
CMI), selama kehamilan trisemester ke-3 trisemester ke-3 dan puerpurium (karena
(karena penurunan CMI). Paling tinggi 6 strs fisik), setiap masa kehamilan (karena
bulan pertama setelah melahirkan atau infeksi penyerta)
menyusui
Infeksi penyerta :hepatitis B dan C Infeksi penyerta: streptokokus, virus
Neuritis atau riwayat nyeri saraf Stres fisik dan mental
Lain-lain seperti trauma, operasi

5
Diperkirakan bahwa sejumlah faktor pencetus memegang peranan penting. Beberapa
diantaranya adalah:
1. Penderita dalam kondisi fisik, karena:
 Kehamilan, sesudah melahirkan atau masa nifas
 Sesusah mendapat imunisasi
 Anemia
 Diet kurang Gizi
 Kelelahan
 Penyakit infeksi penyerta misal: malaria, karies gigi, cacingan
2. Penderita dalam kondisi stres mental,karena:
 Masalah ekonomi, keluarga, dan lingkungan sosial
 Malu, cemas, takut

F. Tatalaksana
Sebagian besar pasien reaksi dapat ditangani oleh petugas pengelola program kusta
dipuskesmas, namun ada kalanya harus dirujuk. Hal tersebut tergantung pada:
 Tipe reaksi yang dialami dan berat ringannya reaksi tersebut
 Ada/tidaknya komplikasi atau kontra indikasi yang dapat mempengaruhi penanganan
reaksi
 Obat yang tersedia
 Tingkat kemampuan penanganan yang tersedia

Sebelum memulai penanganan reaksi, terlebih dahulu lakukan indentifikasi tipe reaksi yang
dialami serta derajat reaksinya. Hal ini dapat dinilai dari hasil kesimpulan pemeriksaan pada
formulir pencatatan pencegahan cacat (POD), seperti :
 Adanya lagoftalmos baru terjadi dalam 6 bulan terakhir
 Adanya nyeri raba saraf tepi
 Adanya kekuatan otot berkurang dalam 6 bulan terakhir
 Adanya rasa raba berkurang dalam 6 bulan terakhir
 Adanya bercak pecah atau nodul pecah
 Adanya bercak aktif (meradang) di atas lokasi saraf tepi

6
Bila terdapat salah satu dari gejala diatas berarti ada reaksi berat dan perlu diberikan obat anti
reaksi. Tujuan pengobatan ENL adalah mengendalikan inflamasi, rasa nyeri ,dan pencegahan
kecacatan. Kasus ringan dapat diobati tanpa kortikosteroid. Obat anti reaksi terdiri atas:
 Kortikosteroid
Prednison sering dipakai untuk pengobatan reaksi kusta tipe 2 berat,namun WHO
tidak menetapkan dosis.pada umumnya dosis awal prednison 15-30 mg/hari dikurangi
bertahap berdasarkan respon pasien.
 Thalidomide
Sangat efektif untuk reaksi kusta tipe 2 berat. Thalidomide mempunyai onset kerja
cepat. Thalidomide bekerja melalui TNF dan juga beberapa mekanisme lain.
Penggunaan thalidomide dapat mengurangi dosis kortikosteroid pada pasien reaksi
kusta tipe 2 yang berat. Dosis awal thalidomide 400 mg dikurangi menjadi 300 mg
secepat mungkin, dosis dapat dikurangi 100 mg per bulan. Pemeberian thalidomide
pada wanita hamil harus hati-hati karena mempunyai efek teratogenik. Di indonesia
obat ini tidak ada.
 Klofazimin atau Lampren
Merupakan anti inflamasi yang dapat digunakan untuk reaksi kusta 2 berat.
Klofazimin mempunyai onset kerja lambat. Dosis 300 mg perhari dapat mengontrol
reaksi kusta tipe 2, dosis ini tidak boleh diberikan lebh dari 12 bulan.

Tatalaksana reaksi ringan


Prinsip pengobatan reaksi ringan
1) Berobat jalan, istirhat di rumah
2) Pemberian analgetik/antipiretik , obat penenang bila perlu
3) MDT diberikan terus dengan dosis tetap
4) Menghindari/ menghilangkan faktor pencetus

Tatalaksana reaksi berat


1) Imobilisasi lokal/ istirahat di rumah
2) Pemberian analgetik/antipiretik , obat penenang bila perlu
3) MDT diberikan terus dengan dosis tetap, tidak diubah
4) Menghindari/ menghilangkan faktor pencetus
5) Memberikan obat anti reaksi (prednison, lampren)

7
6) Bila ada indikasi rawat inap pasien dikirim ke rumah sakit
7) Reaksi tipe 2 berat yang berulang diberikan prednison dan lampren.

Indikasi rujukan pasien ke rumah sakit


Berikut adalah kondisi reaksi yang sebaiknya dilakukan di unit rujukan:
1. ENL melepuh, pecah (ulserasi) suhu tubuh tinggi, neuritis.
2. Reaksi tipe 1 disertai bercak ulserasi atau neuritis
3. Reaksi yang disertai komplikasi penyakit lain yang berat misalnya hepatitis, DM,
hipertensi, tukak lambung berat.

G. Upaya Pencegahan
Pencegahan reaksi kusta dengan cara menjaga daya tahan tubuh dalam kondisi
optimal. Untuk mengurangi faktor resiko dan mengantisipasi jangan sampai terjadi reaksi
maka setiap penderita kusta sebaiknya diberikan diet bergizi dan seimbang, istirahat yang
cukup, manajemen stres baik fisik dan mental melalui konseling psikologi, olahraga yang
teraturi, minum vitamin dosis tinggi, serta dilakukan pemeriksaan secara teratur ke petugas
dan sarana kesehatan. Pentingnya pemberian informasi dan edukasi tentang reaksi kusta
kepada pasien dan keluarga bertujuan agar pasien kusta yang baru pertama kali mengalami
reaksi kusta, cepat mengenali dan memeriksakan diri ke sarana pelayanan kesehatan bila
reaksi kusta terjadi. Terutama pada pasien kusta yang pernah mengalami reaksi bisa
diharapkan dapat melakukan upaya pencegahan agar reksi kusta tidak berulang.

8
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Reaksi kusta adalah episode akut dalam perjalanan kronis penyakit kusta yang
merupakan reaksi kekebalan (cellular respons) atau reaksi antigen antibodi (humoral
respons) dengan akibat merugikan terutama jika mengenai saraf tepi karena menyebabkan
kecacatan. Dua jenis reaksi kusta yang sering yaitu reaksi tipe 1 atau reaksi reversal dan tipe
2 atau eritema nodosum leprosum (ENL). Reaksi tipe 1 umumnya terjadi pada kusta tipe
BT, BB, dan BL. Pada reaksi tipe ini sistem imunologis seluler memiliki peran penting.
Sedangkan pada reaksi tipe 2 sistem imunologis humoral memiliki peran lebih dominan dan
umumnya terjadi pada kasus kusta tipe BL dan LL. Faktor pencetus terjadinya reaksi kusta
antara lain: faktor nutrisi, faktor stres fisik dan mental seperti kelelahan, kehamilan, infeksi,
trauma,dll
Pengobatan reaksi kusta tipe 1 bertujuan untuk mengatasi inflamasi akut, rasa sakit,
dan kerusakan saraf. Sedangkan tujuan pengoabatan ENL adalah pengendalian inflamasi,
rasa nyeri, dan pencegahan episode selanjutnya. Penatalaksanaan reaksi kusta ada
tatalaksana pada kasus ringan dan berat. Sedangkan obat reaksi kusta antara lain:
kortikosteroid, thalidomide, klofazimin atau lampren. Pencegahan reaksi kusta antara lain
dengan menjaga daya tahan tubuh dalam kondisi optimal baik dari segi fisik maupun mental.
Pentingnya pemberian informasi dan edukasi tentang reaksi kusta kepada pasien dan keluarga
agar tidak berulang dan cepat memeriksakan diri ke sarana pelayanan kesehatan.

9
DAFTAR PUSTAKA

1. Wisnu IM, Sjamsoe-Daili ES, Menaldi SL. Ilmu penyakit kulit dan kelamin.7 th ed.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia:2015.
2. Kahawita IP,Walker SL.Lockwood DN.Leprosy type 1 reactions and erythema
nodosum leprosum.An Bras Dermatol.2008;83:75-82
3. Adhyatama,dr.dkk.Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit
Kusta.Jakarta:Kementrian Kesehatan RI:2012

10
11

Anda mungkin juga menyukai