FAKULTAS KEDOKTERAN
MEDAN
2013
Kusta atau yang juga dikenal dengan penyakit Hansen’s adalah penyakit granulomatos kronik
yang menyerang saraf tepi dan kulit. Penyebabnya adalah bakteri tahan asam Mycobacterium
leprae yang pertama sekali ditemukan oleh peneliti dari Jerman, Gerhard Henrik Armauer
Hansen pada tahun 1873.1,2 WHO membagi kusta menjadi dua klasifikasi untuk kepentingan
pengobatan dan pengontrolan penyebaran. Pada tahun 1981 oleh kelompok studi kusta di
WHO, klasifikasi dibagi dua yaitu kusta tipe Multibasiler (MB) dan Pausibasiler (PB).1
Kusta endemis pada beberapa benua kecuali Antartika. Populasi terbanyak terdapat di
India dengan hampir duapertiga dari populasi kusta dunia. Menurut data regional WHO pada
tahun 2007 prevalensi di Afrika adalah 29.548, di Asia Tenggara 116.663, di Pasifik Barat
9.805. Pada semua penelitian populasi kusta, penyakit ini lebih umum pada pria dibandingkan
wanita dengan rasio 1:2. Umur rata rata penderita kusta tipe tuberkuloid lebih rendah
dibandingkan tipe lepromatous, tetapi pada kedua grup ini, kusta predominan pada usia muda
dengan umur rata rata adalah 35 tahun.1 Kusta adalah penyakit kronik dengan periode
inkubasi yang panjang. Rata-rata masa inkubasi adalah 2-5 tahun untuk kasus tuberkuloid,
dan 8-12 tahun atau sampai 20 tahun untuk kasus lepromatos.1,3
Diagnosis dari kusta berdasarkan gejala klinis dimana dijumpainya satu atau lebih dari
satu atau lebih tiga tanda kardinal : yaitu lesi kulit eritem atau hipopigmentasi yang anestesi;
penebalan saraf tepi dengan hilangnya sensasi pada daerah distribusi; dan pewarnaan kulit
yang positif untuk bakteri tahan asam.4,5 Pada daerah endemis lesi kulit selalu konsisten
dengan kusta jika terdapat kehilangan sensori saraf dengan atau tanpa penebalan saraf dan
pewarnaan slit kulit yang positif.4
Menurut WHO, kusta diklasifikasikan menjadi PB (pausibasiler) dan MB (multibasiler)
yang diperkenalkan pertama sekali pada tahun 1982 sebagai dasar untuk pengobatan dan
meminimalkan tingkat relaps.5 Klasifikasi ini berdasarkan manifestasi klinis dan pewarnaan
kulit. Dimana pada pasien dengan pewarnaan kulit yang negatif dimasukkan kedalam grup
PB, sedangkan pasien dengan pewarnaan kulit positif akan dimasukkan kedalam grup MB.5,6
Namun pewarnaan kulit tidak selalu nya tersedia sehingga untuk kepraktisan pengobatan
klasifikasi didasarkan pada bentuk klinis dan jumlah saraf yang terlibat. Pada sistem ini, jika
terdapat 1-5 lesi kulit dan keterlibatan saraf hanya satu akan dimasukkan kedalam lesi PB,
sedangkan apabila terdapat lesi kulit lebih dari 5 dan keterlibatan saraf lebih dari satu akan
masuk kedalam lesi MB.6,7 Klasifikasi kusta menurut Ridley-Jopling adalah berdasarkan
Sebelum memulai penanganan reaksi terlebih dahulu lakukan identifikasi tipe reaksi
yang dialami serta derajat reaksinya. Obat anti reaksi terdiri dari prednison, lamprene.
Penanganan reaksi ringan 1) Berobat jalan, istirahat dirumah 2) Pemberian
analgetik/antipiretik 3) MDT diberikan terus dengan dosis tetap 4)
Menghindari/menghilangkan faktor pencetus. Penanganan reaksi berat sama seperti reaksi
8
ringan namun diberikan obat anti reaksi. Skema pemberian prednison dapat dilihat pada
gambar 1 :
2 minggu pertama 40 mg/hari
2 minggu kedua 30 mg/hari
2 minggu ketiga 20 mg/hari
2 minggu keempat 15 mg/hari
2 minggu kelima 10 mg/hari
2 minggu keenam 5 mg/hari
Gbr 1. Skema pemberian prednison
Seorang wanita, usia 34 tahun, wiraswasta, datang ke poliklinik kusta RSUP Haji Adam
Malik Medan dengan keluhan utama timbul pembengkakan kemerahan pada pipi kiri dan
bercak kemerahan pada pipi kanan yang disertai nyeri sejak 1 minggu sebelum datang
berobat. Awalnya hanya berupa bercak merah yang timbul pada daerah bekas penyakit kusta
yang lama dan seiring waktu menjadi semakin membengkak dan bertambah nyeri. Satu
minggu ini pasien mengalami demam dan nyeri pada sendi terutama pada siku. Riwayat stress
tidak dijumpai. Pasien mengatakan bahwa dalam 1 bulan terakhir sering merasa letih akibat
faktor pekerjaan. Sebelumnya pasien telah berobat ke dokter umum dan mendapat obat makan
dan salep namun tidak ada perbaikan. Pada tahun 2008, pasien didiagnosis menderita kusta
tipe MB dan telah menyelesaikan pengobatan dengan MDT-MB secara teratur dalam 12
bulan. Pasien dinyatakan RFT (release from treatment) sejak bulan Agustus 2009.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran
kompos mentis, tekanan darah 120/80 mmHg, frekuensi nadi 100 x/menit, frekuensi
pernafasan 24 x/menit, dan suhu 37,8oC, status gizi baik, dan konjungtiva tidak pucat, sklera
tidak ikterik, tonsil tidak hiperemis. Berdasarkan pemeriksaan dermatologis didapatkan
makula eritematosa yang edematous anular dengan ukuran plakat, pada regio maksilaris
sinistra dan makula eritematosa anular dengan ukuran plakat pada regio maksilaris dekstra
(Gambar 1). Pada pemeriksaan neurologis ditemukan pembesaran saraf pada N. Ulnaris +/+
disertai nyeri tekan. Pada pemeriksaan fungsi sensibilitas didapatkan rasa raba berkurang pada
daerah lesi dan pada kedua telapak tangan. Pada telapak kaki dijumpai normal. Pada
pemeriksaan fungsi saraf motorik didapatkan kekuatan otot pada regio manus dan pedis
dekstra dan sinistra kuat.
Pasien kemudian didiagnosis banding dengan reaksi kusta tipe 1, kusta relaps, dan
reaksi kusta tipe 2, dengan diagnosis sementara reaksi kusta tipe 1.
Selanjutnya dilakukan pemeriksaan bateriologis (BTA) dari kedua cuping telinga dan
lesi namun tidak didapatkan adanya BTA. Kemudian diagnosis kerja menjadi reaksi kusta tipe
1 pada penderita kusta tipe MB yang telah RFT.
Kepada penderita di anjurkan untuk istirahat yang cukup serta mengurangi intensitas
pekerjaan kemudian diberikan pengobatan untuk reaksi kusta berupa prednison 40 mg/hari
(diberikan dosis tunggal pada pagi hari setelah makan) yang dosisnya diturunkan secara
Gbr
2. Foto pasien saat pertama datang, tampak makula eritematosa yang edematous pada
regio maksilaris sinistra dan makula eritem pada regio maksilaris dekstra
Pada kontrol kedua, 2 minggu setelah pengobatan, tampak makula eritematosa yang
edematous sudah mulai menyusut (Gambar 3). Keluhan demam dan nyeri sudah tidak
dijumpai. Kemudian prednison diturunkan menjadi 30 mg/ hari (dosis tunggal pada pagi hari),
antasida 3x1 tab, dan roboransi 1x 1 tab.
Pada kontrol ke 6, didapati makula eritematosa yang edematous pada regio maksilaris
sinistra telah menghilang dan ruam hanya berupa makula eritem, sedangkan pada regio
maksilaris dekstra tidak tampak kelainan (Gambar 5). Dosis prednison adalah 5 mg/ hari
selama 2 minggu (dosis tunggal pada pagi hari), antasida 3x1 tab dan roboransia 1x1 tab. Dan
kepada pasien dianjurkan untuk menghentikan pengobatan setelah 2 minggu kemudian.
Prognosis quo ad vitam bonam, quo ad funtionam bonam, quo ad sanationam dubia ad
bonam.
III. DISKUSI
Diagnosis reaksi pada kasus ini ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis.
Berdasarkan anamnesis diketahui pembengkakan kulit berwarna merah yang disertai nyeri
pada pipi sejak 1 minggu sebelum datang berobat. Awalnya hanya berupa bercak merah yang
timbul pada daerah bekas kusta yang lama dan seiring waktu menjadi semakin membengkak
dan bertambah nyeri. Satu minggu ini pasien mengalami demam dan nyeri pada sendi
terutama pada siku. Kepustakaan menyebutkan pada riwayatnya reaksi kusta mempunyai
gambaran khas berupa merah, panas, bengkak, nyeri dan dapat disertai gangguan fungsi
saraf.8 Kemudian dari anamnesis riwayat stress tidak dijumpai namun pasien mengatakan
bahwa dalam 1 bulan terakhir sering merasa letih akibat faktor pekerjaan. Dari kepustakaan
dikatakan bahwa penyebab pasti terjadinya reaksi adalah belum jelas, beberapa faktor
pencetus antara lain; penderita dalam kondisi stress fisik karena kehamilan, anemia, kurang
gizi dan kelelahan.8 Diduga, reaksi kusta pada pasien ini timbul akibat faktor kelelahan fisik
oleh karena pekerjaan, yang dialami oleh pasien sejak 1 bulan terakhir.
Reaksi kusta dapat terjadi sebelum, pada saat, maupun setelah pasien mendapatkan
pengobatan. Pada reaksi kusta tipe 1, lesi kulit yang sebelumnya menjadi lebih eritematosa,
atau dapat timbul lesi baru yang kadang-kadang disertai demam dan malaise, dapat disertai
ulserasi, atau edema pada tangan/kaki, saraf membesar, nyeri dan fungsinya dapat terganggu
1. Rea TH, Modlin RL. Leprosy. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA,
Paller AS, Leffell DJ, eds. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine 7th ed. New
York: McGraw-Hill; 2008. p. 1786-96
2. Zulkifli. Penyakit Kusta Dan Masalah Yang Ditimbulkannya. Available from :
http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-zulkifli2.pdf
3. Lockwood DNJ. Leprosy. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C. Rook’s
Textbook of Dermatology 7th ed. Italy: Blackwell Science; 2004. p. 29.1-29.21
4. Charles D, Stoppler MC. Leprosy (Hansen’s Disease). Available from :
http://www.medicinenet.com/script/main/art.asp?articlekey=101078. Last update :
6/11/2009
5. Bryceson A, Pfaltzgraff RE. Treatment. In Leprosy 3rd ed. Singapore: Longman;
1990. p. 77-91
6. Gautam VP. Treatment of Leprosy in India. J Postgrad Med July 2009;55:3:220-224
7. Sehgal NV, Sardana K, Dogra S. The Imperative of Leprosy Treatment in The Pre-
and Post- Global Leprosy Elimination Era: Appraisal of Changing The Scenario To
Current Status. Journal of Dermatological Treatment 2008;19:82-91
8. Depkes RI. Buku Pedoman Nasional Pengendalian Penyakit Kusta. 2007