Anda di halaman 1dari 15

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaaan bakterioskopik,
Digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan
pengamatan obat. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau
usapan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan ZIEHL
NEELSON. Bakterioskopik negative pada seorang penderita, bukan
berarti orang tersebut tidak mengandung basil M.Leprae. Pertama –
tama harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat
oleh basil setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tepat yang
diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin
sebaiknya minimal 4 – 6 tempat yaitu kedua cuping telinga bagian
bawah dan 2 -4 lesi lain yang paling aktif berarti yang paling
eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan cuping telinga tanpa
menghiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut karena pada
cuping telinga biasanya didapati banyak M. leprae1.

Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada


sebuah sediaan dinyatakan dengan indeks bakteri ( I.B) dengan
nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley. 0 bila tidak ada BTA dalam 100
lapangan pandang (LP).
1 + Bila 1 – 10 BTA dalam 100 LP
2+ Bila 1 – 10 BTA dalam 10 LP
3+ Bila 1 – 10 BTA rata – rata dalam 1 LP
4+ Bila 11 – 100 BTA rata –
rata dalam 1 LP 5+ Bila 101 –
1000BTA rata – rata dalam 1 LP
6+ Bila> 1000 BTA rata – rata
dalam 1 LP
Indeks morfologi adalah persentase bentuk solid dibandingkan
dengan jumlah solid dan non solid.
IM= Jumlah solidx 100 %/ Jumlah solid + Non solid
Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman tiap lesi 100
BTA, I.B 1+ tidak perlu dibuat IM karedna untuk mendapatkan 100
BTA harus mencari dalam
1.0 sampai 10.000 lapangan, mulai I.B 3+ maksimum harus
dicari 100 lapangan.

2. Pemeriksaan histopatologi

Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di


dalam darah ada yang mempunyai nama khusus, dan yang dari kulit
disebut histiosit. Apabila SIS nya tinggu, makrofag akan mampu
memfagosit M.Leprae. Datangnya histiosit ke tempat kuman
disebabkan karena proses imunologik dengan adanya faktor
kemotaktik. Kalau datangnya berlebihan dan tidak ada lagi yang
harus difagosit, makrofag akan berubah bentuk menjadi sel
epiteloid yang tidak dapat bergerak dan kemudian akan dapat
berubah menjadi sel datia Langhans. Adanya massa
epiteloid yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang disebut
tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan
cacat. Pada penderita dengan SIS rendah atau lumpuh, histiosit
tidak dapat menghancurkan M.Leprae yang sudah ada didalamnya,
bahkan dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sebagai sel
Virchow atau sel lepra atau sel busa dan sebagai alat pengangkut
penyebarluasan. 1
Gambaran histopatologi tipe tuberkoloid adalah tuberkel
dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya
sedikit dan non solid. Tipe lepromatosa terdpat kelim sunyi
subepidermal ( subepidermal clear zone ) yaitu suatu daerah
langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik.
Bisa dijumpai sel virchow dengan banyak basil. Pada tipe
borderline terdapat campuran unsur – unsur tersebut.

3. Pemeriksaan serologik:
Didasarkan terbentuk antibodi pada tubuh seseorang yang
terinfeksi oleh M.leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat
spesifik terhadap M.Leprae, yaitu antibodi anti phenolic glycolipid-
1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16kD serta 35kD. Sedangkan
antibodi yang tidak spesifik antara lain antibodi anti-
lipoarabinomanan (LAM), yang juga dihasilkan oleh kuman
M.tuberculosis.
Kegunaan pemeriksaan serologik ialah dapat membantu
diagnosis kusta yang meragukan, karena tanda klinis dan
bakteriologik tidak jelas.Pemeriksaan
serologik adalah MLPA (Mycobacterium Leprae Particle
Aglutination), uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-Sorbent Assay)
dan ML dipstick (Mycobacterium Leprae dipstick). 1

4.Tes lepromin
adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra tapi
tidak untuk diagnosis. Tes ini berguna untuk menunjukkan sistem
imun penderita terhadap M. leprae. 0,1 ml lepromin dipersiapkan
dari ekstrak basil organisme, disuntikkan intradermal. Kemudian
dibaca setelah 48 jam/ 2hari (reaksi Fernandez) atau 3 – 4 minggu
(reaksi Mitsuda). Reaksi Fernandez positif bila terdapat indurasi
dan eritema yang menunjukkan kalau penderita bereaksi terhadap
M. Leprae, yaitu respon imun tipe lambat ini seperti mantoux test
(PPD) pada tuberkolosis3.

Reaksi kusta

Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan


penyakit yang sebenarnya sangat kronik. 1. Penyakit kusta yang
merupakan suatu reaksi kekebalan (cellular response) atau reaksi
antigen antibody (humoral response). Reaksi ini dapat terjadi sebelum
pengobatan, tetapi terutama terjadi selama atau setelah pengobatan.
Dari segi imunologis terdapat perbedaan prinsip antara reaksi tipe 1
dan tipe 2, yaitu pada reaksi tipe 1 yang memegang peranan adalah
imunitas seluler (SIS), sedangkan pada reaksi tipe 2 yang memegang
peranan adalah imunitas humoral. 4

a. Reaksi tipe 1
Menurut Jopling, reaksi kusta tipe I merupakan delayed
hypersensitivity reaction yang disebabkan oleh hipersensitivitas
selular (reaksi reversal upgrading) seperti halnya reaksi
hipersensitivitas tipe IV. Antigen yang berasal dari kuman yang
telah mati (breaking down leprosy bacilli) akan bereaksi dengan
limfosit T disertai perubahan sistem imun selular yang cepat. Jadi
pada dasarnya reaksi tipe I terjadi akibat perubahan keseimbangan
antara imunitas dan basil.
Dengan demikian, sebagai hasil reaksi tersebut dapat terjadi
upgrading/reversal. Pada kenyataannya reaksi tipe I ini diartikan
dengan reaksi reversal oleh karena paling sering dijumpai terutama
pada kasus-kasus yang mendapatkan pengobatan,sedangkan down
grading reaction lebih jarang dijumpai oleh karena berjalan lebih
lambat dan umumnya dijumpai pada kasus-kasus yang tidak
mendapat pengobatan.
Meskipun secara teoritis reaksi tipe I ini dapat terjadi pada
semua bentuk kusta yang subpolar, tetapi pada bentuk BB jauh
lebih sering terjadi daripada bentuk yang lain sehingga disebut
reaksi borderline.
Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau
seluruh lesi yang telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi
baru dalam waktu yang relatif singkat. Artinya lesi hipopigmentasi
menjadi eritema, lesi eritema menjadi lebih eritematosa, lesi
makula menjadi infiltrat, lesi infiltrat makin infiltrat dan lesi lama
menjadi bertambah lesi luas. Tidak perlu seluruh gejala harus ada,
satu saja sudah cukup 4.
b. Reaksi tipe II
Reaksi tipe II disebabkan oleh hipersensitivitas humoral ,
yaitu reaksi hipersnsitivitas tipe III karena adanya reaksi kompleks
antigen-antibodi yang melibatkan komplemen. Terjadi lebih banyak
pada tipe lepromatous juga tampak pada BL. Reaksi tipe II sering
disebut sebagai Erithema Nodosum Leprosum (ENL) dengan
gambaran lesi lebih eritematus, mengkilap, tampak nodul atau
plakat, ukuran bernacam-macam, pada umunnya kecil, terdistribusi
bilateral dan simetris, terutama di daerah tungkai bawah, wajah,
lengan, dan paha, serta dapat pula muncul di hampir seluruh bagian
tubuh kecuali daerah kepala yang berambut, aksila, lipatan paha,
dan daerah perineum. Selain itu didapatkan nyeri, pustulasi dan
ulserasi, juga disertai gejala sistematik seperti demam dan malaise.
Perlu juga memperhatikan keterlibatan organ lain seperti saraf,
mata, ginjal, sendi, testis, dan limfe. 4

Tabel perbedaan reaksi kusta tipe 1 dan tipe 2 4

No. Gejala/tanda Tipe I (reversal) Tipe II (ENL)


1 Kondisi umum Baik atau demam ringan Buruk, disertai malaise dan
febris
2 Peradangan di Bercak kulit lama menjadi Timbul nodul kemerahan,
kulit lebih meradang (merah), lunak, dan nyeri tekan.

dapat timbul bercak baru Biasanya pada lengan dan


tungkai. Nodul dapat pecah
(ulserasi)
3 Waktu terjadi Awal pengobatan MDT Setelah pengobatan yang
lama, umumnya lebih dari
6 bulan
4 Tipe kusta PB atau MB MB
5 Saraf Sering terjadi Dapat terjadi
Umumnya berupa nyeri
tekan saraf dan atau
gangguan fungsi saraf
6 Keterkaitan Hampr tidak ada Terjadi pada mata, KGB,
organ lain sendi, ginjal, testis, dll
7 Faktor pencetus  Melahirkan  Emosi
 Obat-obat yang  Kelelahan dan stress
meningkatkan fisik lainnya
kekebalan tubuh  kehamilan

Tabel Perbedaan Reaksi Kusta Ringan dan Berat tipe 1 dan tipe 2 4

No Gejala/tanda Tipe I Tipe II


Ringan Berat Ringan Berat
1. Kulit Bercak : Bercak : Nodul : Nodul : merah,
merah, merah, merah,panas,nyeri panas, nyeri yang
tebal, tebal, bertambah parah
panas, panas, sampai pecah
nyeri nyeri yang
bertambah
parah
sampai
pecah
2 Saraf tepi Nyeri Nyeri pada Nyeri pada Nyeri pada perabaan
pada perabaan perabaan (-) (+)
perbaan (+)
(-)
3 Keadaan Demam Demam (+) Demam (+) Demam (+)
umum (-)
4 Keterlibatan - - - +
organ lain Terjadi peradangan
pada :
 mata :
iridocyclitis
 testis :
epididimoorchiti
s
 ginjal : nefritis
 kelenjar limpa :
limfadenitis
 gangguan pada
tulang, hidung,
dan tenggorokan
*bila ada reaksi pada lesi kulit yang dekat dengan saraf,
dikategorikan sebagai reaksi berat

PENATALAKSANAAN

Tujuan utama dari pengobatan yaitu untuk memutuskan mata rantai


penularan untuk menurunkan insiden terjadinya penyakit, mengobati dan
menyembuhkan penderita, mencegah timbulnya penyakit, dan untuk mencapai
tujuan tersebut, strategi pokok yang dilakukan didasarkan atas deteksi dini dan
pengobatan penderita4. Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi
rifampisin, klofazimin, dan DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan
untuk mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, mengurangi
ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat, dan untuk mengeliminasi
persistensi kuman kusta dalam jaringan. 4
Obat antikusta yang
paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS (Diaminodifenil sulfon)
kemudoan klofazimin dan rifampicin. Pada tahun 1998 WHO menambahkan 3
obat antibiotic lain untuk pengobatan alternative yaitu ofloksasin, minosiklin,
dan klaritomisin. Sejak tahun 1951 pengobatan tuberculosis dengan obat
kombinasi ditujukan untuk mencegah kemungkinan resistensi obaat sedangkan
MDT untuk kusta baru dimulai tahun 1971.

Klofazimin (lamprene) :
Dosis sebagai antikusta ialah 50mg setiap hari, atau 100 mg selang
sehari atau 3x100mg setiap minggu. Juga bersifat sebagai antiinflamasi
sehingga dapat dipakai pada penanggulangan E.N.L dengan dosis lebih
tinggi yaitu 200-300 mg/hari namun awitan kerja baru timbul setelah 2-3
minggu.
Efek sampingnya adalah warna kecokelatan pada kulit dan warna
kekuningan pada sclera sehingga mirip ikterus. Hal tersebut disebabkan
oleh klofazimin yang merupakan zat warna dan dideposit terutama pada
sel system retikuloendotelial, mukosa, dan kulit. Obat ini menyebabkan
pigmentasi kulit yang sering merupakan masalah dalam ketaatan berobat
penderita. Efek samping hanya terjadi dalam dosis tinggi, berupa
gangguan gastrointestinal yakni nyeri abdomen, nausea, diare, anoreksia,
dan vomitus.
Selain itu dapat terjadi penurunan berat badan.Perubahan warna
tersebut akan mulai menghilang setelah 3 bulan obat diberikan. 1

Ofloksasin:
Merupakan turunan flurokuinolon yang paling aktif terhadap
Mycobacterium leprae in vitro. Dosis optimal harian adalah 400 mg.
Dosis tunggal yang diberikan dalam 22 dosis akan membunuh kuman
Mycobacterium Leprae hidup sebesar 99,99%. Efek
sampingnya adalah mual, diare, dan gangguan saluran cerna lainnya.,
berbagai gangguan susunan saraf pusat termasuk insomnia, nyeri kepala,
dizziness, nervousness dan halusinasi. Walaupun demikian hal ini jarang
ditemukkan dan biasanya tidak membutuhkan penghentian pemakaian
obat.
Penggunaan pada anak, remaja, wanita hamil dan menyusui harus
hati-hati, karena pada hewan muda kuinolon menyebabkan artropati.
Selain ofloksasin dapat pula digunakan levofloksasin dengan dosis 500
mg sehari. Obat tersebut lebih baru, jadi lebih efektif. 1

Minosiklin:
Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidalnya lebih
tinggi daripada klaritromisin, tetapi lebih rendah daripada rifampicin.
Dosis standar harian 100 mg. Efek sampingna adalah pewarnaan gigi bayi
dan anak-anak, kadang-kadang menyebabkan hiperpigmentasi kulit dan
membran mukosa, berbagai simptom saluran cerna dan susunan saraf
pusat, termasuk dizzines dan unsteadiness. Oleh sebab itu tidak di
anjurkan untuk anak-anak atau selama kehamilan1
Klaritromisin:
Merupakan kelompok antibiotik makrolid dan mempunyai aktivitas
bakterisidal terhadap Mycobacterium leprae pada tikus dan manusia. Pada
penderita kusta lepromatosa, dosis harian 500 mg dapat membunuh 99 %
kuman hidup dalam 28 hari dan lebih dari 99,9% dalam 56 hari. Efek
sampingnya adalah nausea, vomitus dan diare yang terbukti sering di
temukan bila obat ini diberikan dengan dosis 2000 mg. 1
Penghentian pemberian obat lazim disebut Release From
Treatment (RFT). Setelah RFT dilanjutkan dengan tindak lanjut tanpa
pengobatan secara klinis dengan tindak lanjut tanpa pengobatan secara
klinis dan bakterioskopis minimal setiap tahun selama minimal 5
tahun. Kalau bakterioskopis tetap negative dan klinis tidak ada
keaktivan baru, maka dinyatakan bebas dari pengamatan atau disebut
Release From Control (RFC). 1

MDT untuk pausibasilar ( I, TT, BT ) adalah rifampicin 600 mg


setiap bulan dan DDS 100 mg setiap hari. Keduanya diberikan selama 6
bulan sampai 9 bulan. Selama pengobatam, pemeriksaan secara klinis
setiap bulan dan bakterioskopis setelah 6 bulan pada akhir pengobatan.
Pemeriksaan dilakukan minimal setiap tahun selama 2 tahun secara klinis
dan bakterioskopis. Kalau tidak ada keaktivan baru secara klinis dan
bakterioskopis tetap negative, maka dinyatakn RFC. 1

WHO pada tahun 1998 telah memperpendek masa pengobatan


untuk kasus Multibasilar menjadi 12 dosis dalam 12-18 bulan,
sedangkan pengobatan untuk kasus Pausibasilar dengan lesi kulit 2-5
buah tetap 6 dosis dalam 6-9 bulan. 1

Penderita multibasilar yang resisten dengan rifampisin biasanya


akan resisten pula dengan DDS sehingga hanya bisa mendapat klofazimin.
Dalam hal ini rejimen pengobatan menjadi klofazimin 50 mg, ofloksasin
400 mg dan minosiklin 100 mg setiap hari selama 6 bulan, dilanjutkan
klofazimin 50 mg ditambah ofloksasin 400 mg atau minosiklin 100 mg
setiap hari selama 8 bulan. 1

Bagi penderita MB yang menolak klofazimin dapat di berikan


ofloksasin 400 mg/hari atau minosiklin 100 mg/hari selama 12 bulan.
Alternatif lain ialah diberikan rifampicin 600 mg ditambah dengan
ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg dosis tunggal setiap bulan
selama 24 bulan. 1

WHO Recommended treatment regimens 6

6 month regimen for Paucibacillary (PB) Leprosy


*Menyesuaikan dosis tepat untuk anak kurang dari 10 tahun. Misalnya, dapson 25 mg

Dapson Rifampisin
Dewasa 100 mg 600 mg
50-70 kg Setiap hari Sebulan sekali di bawah
pengawasan
Anak 50 mg 450 mg
10-14 tahun * Setiap hari Sebulan sekali di bawah
pengawasan
setiap hari dan rifampisin 300 mg diberikan sebulan sekali di bawah pengawasan

12 month regimen for Multibacillary (MB) Leprosy

Dapsone Rifampisin Clofazimin


Dewasa 100 mg 600 mg 50 mg DAN 300 mg
50-70 kg Setiap Hari Sebulan sekali Setiap hari Sebulan sekali di
di bawah bawah
pengawasan pengawasan
Anak 50 mg 450 mg 50 mg DAN 150 mg
10-14 tahun * Setiap hari Sebulan sekali Setiap hari Sebulan sekali di
di bawah bawah
pengawasan pengawasan

*
Menyesuaikan dosis tepat untuk anak kurang dari 10 tahun. Misalnya,
dapson 25 mg sehari, rifampisin 300 mg diberikan sebulan sekali di
bawah pengawasan, klofazimin, 50 mg diberikan dua kali seminggu, dan
klofazimin 100 mg diberikan sebulan sekali di bawah pengawasan

Single Lesion Paucibacillary (SLPB) Leprosy (one time dose of 3


medications taken together)

Rifampisin Ofloxasin Minosiklin


Dewasa 600 mg 400 mg 100 mg
50-70 kg
Anak 300 mg 200 mg 50 mg
5- 14 tahun *

*Tidak dianjurkan untuk wanita hamil atau anak-anak kurang dari 5 tahun

Tipe PB4

Pengobatan MDT untuk kusta tipe PB dilakukan dalam 6 dosis


minimal yang diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah minum 6 dosis
maka dinyatakan RFT (released from treatment)
Anak Dewasa
Hari 1 : diawasi petugas Rifampisin 2caps Rifampisin 2caps
(300mg+150mg) + DDS 1 (2x300mg) + DDS 1 tab
tab (50mg) (100mg)
Hari 2-28 : di rumah DDS 1 tab (50mg) DDS 1 tab (100mg)
*Anak di bawah 10 tahun diberi dosis 1-2mg/kgBB

Tipe MB4

Mengobatan MDT untuk kusta tipe MB dilakukan dalam 24


dosis yang diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan. Setelah
selesai minum 24 dosis maka dinyatakan RFT meskipun secara klinis
lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteri positif.

Anak Dewasa
Hari 1 : diawasi petugas Rifampisin 2caps Rifampisin 2caps
(300mg+150mg) + (2x300mg) +
Klofazimin 3caps klofazimin 3caps
(3x50mg) + DDS 1 tab (3x100) + DDS 1 tab
(50mg) (100mg)
Hari 2-28 : di rumah Klofazimin 1 tab (50mg) Klofasimin 1cap
+ DDS 1 tab (50mg) (100mg) + DDS 1 tab

Pengobatan Reaksi Kusta:


Pengobatan E.N.L :
Obat yang paling sering dipakai adalah tablet kortikosteroid antara lain
prednison.
Dosisnya tergantung pada berat ringannya reaksi, biasanya prednison 15-
30 mg sehari, kadang-kadang lebih. Makin berat reaksinya makin tinggi
dosisnya, tetapi sebaliknya bila reaksinya terlalu ringan tidak perlu
diberikan. Sesuai dengan perbaikan reaksi, dosisnya diturunkan secara
bertahap sampai berhenti sama sekali. 1
Ada lagi obat yang dianggap
sebagai obat pilihan pertama yaitu thalidomide, tetapi harus berhati-hati
karena mempunyai efek teratogenik. Jadi tidak boleh diberikan kepada
orang hamil atau masa subur. Jika hal ini tidak mungkin, adalah penting
bahwa kehamilan dikeluarkan sebelum perawatan ini dimulai. Kontrasepsi
yang efektif harus digunakan selama 4 minggu sebelum dan setelah
pengobatan serta selama masa
pengobatan. Haruskah kehamilan terjadi meskipun tindakan pencegahan
ini, ada risiko tinggi kelainan berat janin. 1 Klofazimin
kecuali sebagai obat antikusta dapat juga dipakai sebagai anti-reaksi
E.N.L, tetapi dengan dosis yang lebih tinggi. Khasiatnya lebih lambat
dari kortikosteroid. Keuntungan lain klofazimin dapat dipakai sebagai
usaha untuk lepas dari ketergantungan kortikosteroid. 1

Pengobatan reaksi reversal:


Perlu diperhatikan, apakah reaksi ini disertai neuritis atau tidak.
Sebab kalau tanpa neuritis akut tidak perlu diberi pengobatan tambahan.
Kalau ada neuritis akut, obat pilihan pertama adalah kortikosteroid yang
dosisnya juga disesuaikan dengan berat ringannya neuritis, makin berat
makin tinggi dosisnya. Biasanya diberikan prednison 40- 60 mg sehari,
kemudian diturunkan perlahan-lahan. Pengobatan harus secepat-cepatnya
dan dengan dosis yang adekuat untuk mengurangi terjadinya kerusakan
saraf secara mendadak. 1
Anggoata gerak yang terkena neuritis akut harus diistirahatkan.
Analgetik dan sedativa kalau diperlukan dapat diberikan. Klofazimin
dan thalidomid untuk reaksi reversal kurang efektif, oleh karena itu
jarang dipakai. 1
Pencegahan Cacat:
Kerusakan saraf terutama berbentuk nyeri saraf, hilangnya
sensibilitas dan berkurangnya kekuatan otot. Cara terbaik untuk melakukan
pencegahan cacat adalah dengan melaksanakan diagnosis dini kusta,
pemberian pengobatan MDT yang cepat dan tepat. Selanjutnya dengan
mengenali gejala dan tanda reaksi kusta yang disertai gangguan saraf serta
memulai pengobatan dengan kortikosteroid sesegera mungkin. 1
Daftar Pustaka

1.

Anda mungkin juga menyukai