Anda di halaman 1dari 13

Triantami Wijayenti (0411181419019)

Analisis Masalah
1.4. Apa penyebab dan mekanisme bercak merah menebal dan bertambah banyak? 10 4
Mekanisme infeksi M. leprae belum diketahui secara pasti. Makrofag dan sel Schwann
merupakan target utama M. leprae. M. leprae masuk ke dalam tubuh melalui sistem
respirasi. Selanjutnya, bakteri bermigrasi ke jaringan saraf dan masuk ke sel Schwann.
Bakteri mulai bermultiplikasi (sekitar 12-14 hari untuk 1 bakteri membelah menjadi 2)
di dalam sel, melepaskan diri dari sel terinfeksi dan masuk ke dalam sel yang belum
terinfeksi. Pada saat bakteri semakin banyak, bacterial load meningkat dan infeksi
mulai dikenali oleh sistem imun. Limfosit dan makrofag menginvasi jaringan terinfeksi.
Pada tahap ini, manifestasi klinis yang timbul berupa keterlibatan saraf dengan
gangguan sensasi dan bercak pada kulit. Bercak putih disertai mati rasa meluas dan
menyebar dikarenakan bakteri sudah menginvasi sel-sel yang lainnya yang masih sehat.
Penyakit kusta akan semakin menampakan dirinya ketika penderita kusta keluar di
waktu siang hari dengan terik matahari yang sangat menyengat dan pada saat itulah
bakteri berkembang biak dan menyebar bagian lesi kulit yang lain.

2.1. Bagaimana perkembangan lesi dari penyakit pada kasus? 4 10


Reaksi lepra adalah timbulnya tanda dan gejala (sign and simptoms) peradangan akut
pada lesi pasien lepra. Reaksi merupakan penyebab utama kerusakan saraf. Peradangan ini
disebabkan oleh sistem imun tubuh yang menyerang basil lepra.
Klinis reaksi ditandai dengan pembengkakan, kemerahan dan nyeri pada lesi, nyeri
saraf, sangat sering disertai kehilangan fungsi, timbul lesi-lesi baru. Sangat penting untuk
mengetahui adanya reaksi lepra dan mengobatinya, karena kerusakan saraf cepat terjadi dan
ekstensif. Reaksi mungkin merupakan episode akut hipersensitivitas terhadap antigen basil.
Ada 3 macam reaksi, yaitu:
1. Reaksi tipe 1 (reaksi reversal dan downgrading)
Reaksi tipe 1 ini merupakan hipersensitivitas seluler, disebabkan oleh peningkatan
aktivitas sistem imun tubuh dalam melawan basil, termasuk basil yang mati. Pada reaksi
ini dapat terjadi perubahan derajat imunitas seluler, dimana penyakit mengalami
pergeseran tipe lepra sepanjang spektrum, terutama pada tipe borderline (tipe BT, BB,
dan BL yang mempunyai status imunologi yang tidka stabil). Arah pergeseran spektrum
dapat ke kedua arah, yaitu:
a. Pergeseran ke arah kutub tuberkuloid, dimana terjadi peningkatan imunitas seluler
disebut reaksi reversal. Tipe ini biasanya terjadi setelah penyakit diobati.
b. Pergeseran ke arah kutub lepromatosa, dimana terjadi penurunan imunitas seluler
disebut reaksi downgrading. Tipe ini hanya terjadi pada pasien yang tidak
mendapat pengobatan adekuat, dan pada pria sering dipresipitasi oleh pubertas,
sedang pada wanita dipresipitasi oleh kehamilan dan melahirkan.
Gambaran klinis reaksi tipe 1:
a. Dekat kutub tuberkuloid: lesi kulit membengkak dan edem. Eritem sering disusul
dengan deskuamasi dan kadang ulserasi. Tidak semua lesi terlibat. Jika terjadi di
wajah mencakup mata dan hidung, maka terjadi edema konjungtiva, gatal dan
lakrimasi, serta hidung tersumbat. Jika pasien mengalami reaksi reversal, jarang
ditemukan lesi baru, lesi-lesi diskret dengan tepi tebal infiltratif. Dapat bertendensi
sembuh spontan. Jika mengalami reaksi downgrading maka timbul banyak lesi
baru. Pada saraf, beberapa saraf terlibat menjadi cepat bengkak dan sangat nyeri.
Sering terjadi parestesi dan nyeri. Hilangnya fungsi motoris terjadi cepat, jika tidak
diobati dengan cepat dapat permanen. Paralisis yang terjadi tiba-tiba pada n.
ulnaris, n. radialis dan n. poplitea lateralis prognosisnya lebih baik dibandingkan
paralisis n. fasialis. Gejala sistemik minimal, sering hanya edema pada tungkai dan
wajah.
b. Reaksi di tengah-tengah spektrum: reaksi pada lepra tipe BB dapat sangat berat
oleh karena itu ia paling banyak berhubungan dengan pergeseran tipe lepra. Lesi
kulit dengan cepat membengkak, eritem, dan edem. Lesi sangat nyeri. Banyak
timbul lesi baru. Saraf banyak terlibat, menjadi bengkak dan nyeri, diikuti
penyebaan kerusakan saraf dengan paresis yang ekstensif. Pasien dimobilisasi oleh
nyeri dan kelemahan badannya. Penyakit sistemik sering terjadi, dengan
kelemahan, malaise, dan edem generalisata terutama tangan, kaki, dan wajah.
c. Dekat kutub lepromatosa: reaksi lepra tipe 1 yang timbul pertama kali pada lepra
tipe BL biasanya menunjukkan gejala downgrading sebelumnya dan sekarang mulai
mendapat terapi. Reaksi dapat berlangsung beberapa bulan dan perlu penanganan
hati-hati.
Lesi kulit meningkat, cepat baik dalam jumlah maupun sifat, lesi menjadi merah,
mengkilat, dan tegang. Timbul lesi baru dan seluruh tubuh dapat terinfiltrasi.
Saraf, walaupun banyak saraf perifer terlibat, derajat infiltrasi seluler tidak banyak
dan kurang menyebabkan paralisis progresif. Namun pada beberapa pasien, saraf
sangat membesar, nyeri, dan rusak.
Penyakit sistemik: adanya demam, malaise, dan edema.
Pada pasien yang tidak diobati dapat terjadi rekasi downgrading dan menderita
akibat efek invasi basil pada mukosa traktus respiratorius, mata, testis, dan falang.
2. Reaksi tipe 2 (Eritema Nodosum Leprosum/ ENL)
Reaksi ini merupakan imunitas humoral, dan terjadi pergeseran tipe lepra
sepanjang spektrum. Reaksi tipe 2 terjadi akibat reaksi antigen-antibodi disertai
pembentukan kompleks imun pada tempat depot antigen di berbagai jaringan. Ini
menyebabkan terjadinya peradangan akut dimana ada fokus basil lepra. Reaksi ENL
terjadi pada pasien lepra tipe LL, dan kadang pada lepra tipe BL.

ENL

Reversal

TT BT BB BL LL
Ti Li
Gambar 11-3. Hubungan antara reaksi reversal dan enl pada berbagai tipe kusta.
Secara imunopatologis, ENL termasuk respons imun humoral, berupa fenomena
kompleks imun akibat reaksi antara antigen M. leprae + antibodi (IgM, IgG) +
komplemen  kompleks imun
Tampaknya reaksi ini analog dengan reaksi fenomena unik, tidak dapat
disamakan begitu saja dengan penyakit lain. Dengan terbentuknya kompleks imun ini,
maka ENL termasuk di dalam golongan penyakit kompleks imun, oleh karena salah satu
protein M. leprae bersifat antigenik, maka antibodi dapat terbentuk. Ternyata bahwa
kadar imunoglobulin penderita kusta lepramatosa lebih tinggi daripada tipe tuberkuloid.
Hal ini terjadi oleh karena pada tipe lepromatosa jumlah kuman jauh lebih banyak
daripada tipe tuberkuloid. ENL lebih banyak terjadi pada pengobatan tahun kedua. Hal
ini dapat terjadi karena pada pengobatan, banyak kuman kusta yang mati dan hancur,
berarti banyak antigen yang dilepaskan dan bereaksi dengan antibodi, serta
mengaktifkan sistem komplemen. Kompleks imun tersebut terus beredar dalam sirkulasi
darah yang akhirnya dapat melibatkan berbagai organ.
Pada kulit akan timbul gejala klinis yang berupa nodus eritema, dan nyeri dengan
tempat predileksi di lengan dan tungkai. Bila mengenai organ lain dapat menimbulkan
gejala seperti iridosiklitis, neuritis akut, limfadenitis, artritis, orkitis, dan nefritis akut
dengan adanya proteinuria. ENL dapat disertai gejala konstitusi dari ringan sampai berat
yang dapat diterangkan secara imunologik pula.
Perlu ditegaskan bahwa pada ENL tidak terjadi perubahan tipe. Lain halnya
dengan reaksi reversal yang hanya dapat terjadi pada tipe borderline (Li, BL,BB, BT,
Ti) sehingga dapat disebut reaksi borderline. Yang memegang peranan utama dalam hal
ini adalah SIS, yaitu terjadi peningkatan mendadak SIS. Meskipun faktor pencetusnya
belum diketahui pasti, diperkirakan ada hubungannya dengan reaksi hipersensitivitas
tipe lambat. Reaksi peradangan terjadi pada tempat-tempat kuman M. leprae berada,
yaitu pada saraf dan kulit, umumnya terjadi pada pengobatan 6 bulan pertama. Neuritis
akut dapat menyebabkan kerusakan saraf secara mendadak, oleh karena itu memerlukan
pengobatan segera yang memadai. Seperti pernah diterangkan terdahulu bahwa yang
menentukan tipe penyakit adalah SIS. Tipe kusta yang termasuk borderline ini dapat
bergerak bebas ke arah TT dan LL dengan mengikuti naik turunnya SIS, sebab setiap
perubahan tipe selalu disertai perubahan SIS pula. Begitu pula reaksi reversal, terjadi
perpindahan tipe ke arah TT dengan disertai peningkatan SIS, hanya bedanya dengan
cara mendadak dan cepat.
Penggunaan istilah downgrading untuk reaksi kusta, akhir-akhir ini sudah hampir
tidak terdengar lagi, tetapi pemakaiannya hanya untuk menunjukkan pergeseran ke arah
lepromatosa masih tetap berlaku, berarti bergerak secara lambat, tidak secepat reaksi.
Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi yang telah
ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relatif singkat. Artinya
lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi makin eritematosa, lesi
makula menjadi infiltrat, lesi infiltrat makin infiltratif dan lesi lama menjadi bertambah
luas. Tidak perlu seluruh gejala harus ada, satu saja sudah cukup. Adanya gejala neuritis
akut penting diperhatikan, karena sangat menentukan pemberian pengobatan
kortikosteroid, sebab tanpa gejala neuritis akut pemberian kortikosteroid adalah
fakultatif.
Kalau diperhatikan kembali reaksi ENL dan reversal secara klinis, ENL dengan
lesi eritema nodosum sedangkan reversal tanpa nodus, sehingga disebut reaksi lepra
nodular, sedangkan reaksi reversal adalah reaksi non-nodular. Hal ini paenting
membantu menegakkan diagnosis reaksi atas dasar lesi, ada atau tidak adanya nodus.
Kalau ada berarti reaksi nodular atau ENL, jika tidak ada berarti reaksi non-nodular atau
reaksi reversal reaksi borderline.
Gambaran klinis reaksi tipe 2 terjadi dengan spontan, tetapi paling sering pada
pasien dengan pengobatan cukup untuk mengurangi indek morfologi dibawah 5%.
Lebih separuh pasien lepra tipe LL dalam terapi menderita reaksi tipe 2, pada tipe BL
seperempatnya. Reaksi terjadi terutama pada waktu hamil dan laktasi, dan serangan
biasanya lama dan rekuren.
Reaksi ditandai ENL, berupa nodul eritem, nyeri, dapat superfisial atau dalam
sampai dermis. Dapat mengalami ulserasi mengeluarkan duh tubuh kuning tebal/kental
mengandung BTA polimorfik, tetapi steril pada biakan. Lesi paling banyak di wajah,
tungkai bagian ekstensor, namun dapat dimana saja. Lesi berlangsung beberapa hari dan
timbul lesi baru, jika memudar maka warna menjadi keabuan, sulit dilihat pada kulit
gelap. Pada ENL kronik ditemukan indurasi terutama di paha bagian ekstensor dan
lengan.
3. Reaksi tipe 3 (Lucio phenomenon)
Reaksi ini hanya terjadi pada Lucio leprosy yaitu bentuk murni dari lepra tipe LL,
merupakan reaksi paling berat, terutama mengenai orang Meksiko dan campuran
keturunan Spanyol dan Mediteranian, jarang di tempat lain.

4.2. Bagaimana penyebab dan mekanisme dari demam pada kasus? 10 4


Disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium Leprae.
Mekanisme demam:
Substansi penyebab demam adalah pirogen. Pirogen dapat berasal dari eksogen maupun
endogen. Pirogen eksogen berasal dari luar tubuh sedangkan pirogen endogen berasal dari
dalam tubuh. Pirogen eksogen, dalam kasus berupa infeksi bakteri Mycobacterium Leprae,
akan merangsang sel-sel makrofag, monosit, limfosit, dan endotel untuk melepaskan
interleukin (IL)-1, IL-6, Tumor Necrosing Factor (TNF)-α, dan interferon (IFN)-γ yang
selanjutnya akan disebut pirogen endogen/sitokin. Pirogen endogen ini, setelah berikatan
dengan reseptornya di daerah preoptik hipotalamus akan merangsang hipotalamus untuk
mengaktivasi fosfolipase-A2, yang selanjutnya melepas asam arakhidonat dari membran
fosfolipid, dan kemudian oleh enzim siklooksigenase-2 (COX-2) akan diubah menjadi
prostaglandin E2 (PGE2). Rangsangan prostaglandin inilah, baik secara langsung maupun
melalui pelepasan AMP siklik, menset termostat pada suhu tubuh yang lebih tinggi. Hal ini
merupakan awal dari berlangsungnya reaksi terpadu sistem saraf autonom, sistem
endokrin, dan perubahan perilaku dalam terjadinya demam (peningkatan suhu). Pusat
panas di hipotalamus dan batang otak kemudian akan mengirimkan sinyal agar terjadi
peningkatan produksi dan konservasi panas sehingga suhu tubuh naik sampai tingkat suhu
baru yang ditetapkan. Hal demikian dapat dicapai dengan vasokonstriksi pembuluh darah
kulit, sehingga darah yang menuju permukaan tubuh berkurang dan panas tubuh yang
terjadi di bagian inti akan memelihara suhu inti tubuh. Epinefrin yang dilepas akibat
rangsangan saraf simpatis akan meningkatkan metabolisme tubuh dan tonus otot. Mungkin
akan terjadi proses menggigil dan atau individu berusaha mengenakan pakaian tebal serta
berusaha melipat bagian-bagai tubuh tertentu untuk mengurangi penguapan.

7.1. Apa saja diagnosis banding dari penyakit pada kasus? 4 10


2. Lesi hipopigmentasi
a) Pitiriasis alba
b) Pitiriasis versikolor
c) Vitiligo
d) Mikosis fungoides
e) Sarkoidosis
3. Lesi papul atau nodul
a) Sifilis
b) Sarkoidosis
c) dermatofibroma
4. Lesi plak
a) Mikosis fungoides
b) Urtikaria
c) Psoriasis
d) Lupus vulgaris
e) Tinea korporis (pada lesi circinate erythematous plaque)
5. Pada lepra tipe LL
a) Lupus eritematous sistemik
6. Lesi anular
a) Tinea
b) Sifilis
c) sarkoidosis
7. Kelainan saraf
a) Neuropati periferal (akibat DM, kelainan nutrisi, vaskulitis, siringomielia)
b) Penyakit lain berhubungan dengan perubahan neuropatik
8. Reaksi tipe 1
a) Lupus eritematosus sistemik
b) Selulitis
c) Erupsi obat
9. Reaksi tipe 2
a) Panikulitis
b) Vaskulitis
c) Sarkoidosis
d) Eritema nodosum akibat tuberkulosis
1) Frambusia (Yaws) : lesi berupa beberapa benjolan (nodul) yang berkelompok di
tungkai, berwarna merah, permukaan kasar dan terdapat krusta berwarna kuning.
Kadang-kadang berulserasi dan sembuh membentuk parut atrofi berwarna agak putih.
Gambar wajah tampak lesi atrofi, hipopigmentasi, dan kadang-kadang sensasi terhadap
rasa raba dan nyeri agak terganggu.
2) Granuloma Multiforme : penyakit ini pada beberapa tingkatan sangat menyerupai
kusta. Pertama kali ditemukan dan terutama ditempat lain di dunia. Penyebabnya masih
belum diketahui, kemungkinan merupakan satu 12 varian dari granuloma anulare.
Tahap awal ditandai oleh adanya gatal (tidak terjadi pada kusta). Lesi menghilang
sendiri cepat atau lambat dan tidak ada respon terhadap pengobatan apapun. Fungsi
sensasi, pengeluaran keringat dan saraf perifer normal.
3) Pellagra : bercak dapat menyerupai kusta tipe PB yang sedang mengalami reaksi. Lesi
khas, simetris, tanpa keluhan dan seringkali dihubungkan dengan malnutrisi,
alkoholisme dan kemiskinan. Fungsi sensasi pengeluaran keringat dan saraf perifer
normal. Lesi tersebut (serta keadaan umum pasien) memberikan respon cepat dengan
pemberian asam nikotinat (McDougall dan Yuasa, 2005)
7.6. Bagaimana etiologi dari penyakit pada kasus? 10 4
Menurut Amirudin dalam Harahap (2000), Penyebab penyakit ini adalah Mikobakterium
lepra (Mycobacterium leprae, M. lepra). M. leprae merupakan basil tahan asam (BTA),
bersifat obligat intraselular, menyerang saraf perifer, kulit, dan organ lain seperti mukosa
saluran napas bagian atas, hati, dan sumsum tulang kecuali susunan saraf pusat. Masa
membelah diri M. leprae 12-21 hari dan masa tunasnya 40 hari – 40 tahun (Mansjoer dkk,
2000). Menurut Entjang (2003), bentuk batang, Gram positif, tahan asam (acidfast), tidak
bergerak, sampai sekarang belum dapat dibiakkan.
7.12. Bagaimana tatalaksana dari penyakit pada kasus? 4 10
Pengobatan Lepra tipe MB
Jenis dan dosis untuk orang dewasa :
Pengobatan Bulanan : Hari pertama (Dosis diminum di depan petugas)
a. 2 kapsul Rifampisin 300 mg (600 mg)
b. 3 kapsul Lampren 100 mg (300 mg)
c. 1 tablet Dapsone (DDS 100 mg)
Pengobatan Bulanan : Hari ke 2-28
a. 1 tablet Lampren 50 mg
b. 1 tablet Dapsone (DDS 100 mg)
1 blister untuk 1 bulan
Lama Pengobatan : 12 Blister diminum selama 12-18 bulan
Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Kusta
Hingga saat ini tidak ada vaksinasi untuk penyakit kusta. Dari hasil penelitian
dibuktikan bahwa kuman kusta yang masih utuh bentuknya, lebih besar kemungkinan
menimbulkan penularan dibandingkan dengan yang tidak utuh. Jadi faktor pengobatan
adalah amat penting dimana kusta dapat dihancurkan, sehingga penularan dapat dicegah.
Disini letak salah satu peranan penyuluhan kesehatan kepada penderita untuk
menganjurkan kepada penderita untuk berobat secara teratur (Zulkifli, 2003).
Sementara itu menurut Entjang (2000), usaha pencegahan pribadi adalah menghindari
kontak dengan penderita. Bila kontak ini tak dapat dihindari maka hygiene badan cukup
menjamin pencegahannya. Hygiene lingkungan yang baik dan makanan yang sehat cukup
kwalitas maupun kwantitasnya. Usaha pencegahan untuk masyarakat, dilaksanakan dengan
menghilangkan sumber penularan yaitu dengan mengobati semua penderita.
Pengobatan kepada penderita kusta adalah merupakan salah satu cara pemutusan mata
rantai penularan. Kuman kusta diluar tubuh manusia dapat hidup 24-48 jam dan ada yang
berpendapat sampai 7 hari, ini tergantung dari suhu dan cuaca diluar tubuh manusia
tersebut. Makin panas cuaca makin cepatlah kuman kusta mati. Jadi dalam hal ini
pentingnya sinar matahari masuk ke dalam rumah dan hindarkan terjadinya tempat-tempat
yang lembab (Zulkifli, 2003).
Mengingat bahwa pengobatan dapat menghentikan penularan maka pemberantasannya
dilakukan dengan tiga usaha pokok yaitu:
1. Mencari dan menemukan semua penderita (case finding) dalam masyarakat untuk
diberikan pengobatan yang sebaik-baiknya.
2. Mengobati dan mengikuti penderita (case holding)
a) Pengobatan dilaksanakan di poliklinik yang semudah mungkin dicapai penderita.
b) Bila penderita tidak datang berobat ke poliklinik, dilakukan kunjungan rumah untuk
diberikan pengobatan dan penerangan.
c) Setiap penderita pindah alamat harus diikuti dengan teliti agar ia tidak lepas dari
pengobatan dan perawatan. Hal ini perlu dilakukan karena jangka waktu
pengobatannya sangat lama, minimal tiga tahun terus menerus.
3. Pendidikan kesehatan tentang penyakit lepra kepada masyarakat :
a) Agar masyarakat mempunyai pengertian yang wajar tentang penyakit lepra tanpa
membesar-besarkannya maupun mengecilkannya.
b) Agar masyarakat dapat mengenal gejala penyakit lepra pada tingkat awal, sehingga
pengobatan dapat segera diberikan supaya memudahkan penyembuhan dan
mencegah terjadinya kecacatan.
c) Agar masyarakat tahu bahwa penyakit lepra dapat disembuhkan asal pengobatan
dilaksanakan secara teratur. Pentingnya pengobatan ini tidak hanya untuk
penyembuhan saja, melainkan juga untuk mencegah penularan kepada anggota
keluarga dan masyarakat sekitarnya.
Agar masyarakat menyadari bahwa penghuni serumah (contact person) harus
memeriksakan diri setiap tahun untuk menemukan kasus-kasus yang dini (Entjang , 2000).

Learning Issue
Tatalaksana Morbus Hansen

Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Kusta

Hingga saat ini tidak ada vaksinasi untuk penyakit kusta. Dari hasil penelitian dibuktikan
bahwa kuman kusta yang masih utuh bentuknya, lebih besar kemungkinan menimbulkan
penularan dibandingkan dengan yang tidak utuh. Jadi faktor pengobatan adalah amat penting
dimana kusta dapat dihancurkan, sehingga penularan dapat dicegah. Disini letak salah satu
peranan penyuluhan kesehatan
Sementara itu menurut Entjang (2000), usaha pencegahan pribadi adalah menghindari
kontak dengan penderita. Bila kontak ini tak dapat dihindari maka hygiene badan cukup
menjamin pencegahannya. Hygiene lingkungan yang baik dan makanan yang sehat cukup
kwalitas maupun kwantitasnya. Usaha pencegahan untuk masyarakat, dilaksanakan dengan
menghilangkan sumber penularan yaitu dengan mengobati semua penderita.
Pengobatan kepada penderita kusta adalah merupakan salah satu cara pemutusan mata
rantai penularan. Kuman kusta diluar tubuh manusia dapat hidup 24-48 jam dan ada yang
berpendapat sampai 7 hari, ini tergantung dari suhu dan cuaca diluar tubuh manusia tersebut.
Makin panas cuaca makin cepatlah kuman kusta mati. Jadi dalam hal ini pentingnya sinar
matahari masuk ke dalam rumah dan hindarkan terjadinya tempat-tempat yang lembab (Zulkifli,
2003).
Mengingat bahwa pengobatan dapat menghentikan penularan maka pemberantasannya
dilakukan dengan tiga usaha pokok yaitu:
1. Mencari dan menemukan semua penderita (case finding) dalam masyarakat untuk diberikan
pengobatan yang sebaik-baiknya.
2. Mengobati dan mengikuti penderita (case holding)
a. Pengobatan dilaksanakan di poliklinik yang semudah mungkin dicapai penderita.
b. Bila penderita tidak datang berobat ke poliklinik, dilakukan kunjungan rumah untuk
diberikan pengobatan dan penerangan.
c. Setiap penderita pindah alamat harus diikuti dengan teliti agar ia tidak lepas dari
pengobatan dan perawatan. Hal ini perlu dilakukan karena jangka waktu pengobatannya
sangat lama, minimal tiga tahun terus menerus.
3. Pendidikan kesehatan tentang penyakit lepra kepada masyarakat:
a. Agar masyarakat mempunyai pengertian yang wajar tentang penyakit lepra tanpa
membesar-besarkannya maupun mengecilkannya.
b. Agar masyarakat dapat mengenal gejala penyakit lepra pada tingkat awal, sehingga
pengobatan dapat segera diberikan supaya memudahkan penyembuhan dan mencegah
terjadinya kecacatan.
c. Agar masyarakat tahu bahwa penyakit lepra dapat disembuhkan asal pengobatan
dilaksanakan secara teratur. Pentingnya pengobatan ini tidak hanya untuk penyembuhan
saja, melainkan juga untuk mencegah penularan kepada anggota keluarga dan masyarakat
sekitarnya.
d. Agar masyarakat menyadari bahwa penghuni serumah (contact person) harus
memeriksakan diri setiap tahun untuk menemukan kasus-kasus yang dini (Entjang ,
2000).
4. Usahakan kondisi rumah (kondisi fisik bangunan, ventilasi, suhu, kelembaban, dan kepadatan
hunian) dalam kondisi yang memadai untuk mencegah M. leprae berkembang biak.

Tatalaksana Lepra

1. Lepra tipe PB
Jenis dan obat untuk orang dewasa
Pengobatan bulanan: Hari pertama (diminum didepan petugas)
a. 2 kapsul Rifampisin 300 mg (600 mg)
b. 1 tablet Dapsone (DDS 100 mg)
Pengobatan hari ke 2-28 (dibawa pulang)
a. 1 tablet dapson (DDS 100 mg) setiap hari
1 Blister untuk 1 bulan
Lama pengobatan : 6 Blister diminum selama 6-9 bulan

2. Lepra tipe MB
Jenis dan dosis untuk orang dewasa :
Pengobatan Bulanan: Hari pertama diminum di depan petugas)
a. 2 kapsul Rifampisin 300 mg (600 mg)
b. 3 kapsul Lampren/Klofazimin 100 mg (300 mg)
c. 1 tablet Dapsone (DDS 100 mg)
Pengobatan Bulanan: Hari ke 2-28
a. 1 tablet Lampren/Klofazimin 50 mg setiap hari
b. 1 tablet Dapsone (DDS 100 mg) setiap hari
1 blister untuk 1 bulan
Lama Pengobatan: 12 Blister diminum selama 12-18 bulan
3. Dosis MDT Menurut Umur
Pedoman praktis untuk pemberian
MDT bagi penderita kusta tipe PB digunakan bagan sebagai berikut :
Pedoman praktis untuk pemberian MDT bagi penderita kusta tipe MB digunakan bagan
sebagai berikut :

Dosis bagi anak berusia dibawah 5 tahun disesuaikan dengan berat badan:
a. Rifampisin: 10-15 mg/ kg BB
b. DDS: 1-2 mg/ kg BB
c. Clofazimin: 1 mg/ kg BB
Tipe PB  6 blister untuk 6-9 bulan
Tipe MB  12 blister untuk 12-18 bulan
Catatan
1. Pasien diberikan informasi mengenai kondisi pasien saat ini, serta mengenai pengobatan dan
pentingnya kepatuhan untuk eliminasi penyakit.
2. Kebersihan diri dan pola makan yang baik perlu dilakukan.
3. Pasien dimotivasi untuk memulai terapi hingga selesai terapi dilaksanakan.
4. Terapi menggunakan Multi Drug Therapy (MDT) pada:
a. Pasien yang baru didiagnosis kusta dan belum pernah mendapat MDT.
b. Pasien ulangan, yaitu pasien yang mengalami hal-hal di bawah ini:
i. Relaps
ii. Masuk kembali setelah default (dapat PB maupun MB)
iii. Pindahan (pindah masuk)
iv. Ganti klasifikasi/tipe
5. Obat penunjang (vitamin/roboransia) dapat diberikan vitamin B1, B6, dan B12.
6. Tablet MDT dapat diberikan pada pasien hamil dan menyusui. Bila pasien juga mengalami
tuberkulosis, terapi rifampisin disesuaikan dengan tuberkulosis.
7. Untuk pasien yang alergi dapson, dapat diganti dengan lampren, untuk MB dengan alergi,
terapinya hanya 2 macam obat (dikurangi DDS).

Status Reaksi

Apabila salah satu dari pertanyaan ini dijawab dengan “ya”:


1. Adakah nodul/ulkus?
2. Adakah bercak aktif/bengkak di daerah syaraf tepi?
3. Adakah nyeri tekan pada syaraf tepi?
4. Apakah kekuatan otot/rasa raba berkurang dalam 6 bulan terakhir?
5. Adakah lagopthalmus yang beru jerjadi dalam 6 bulan terakhir?
Maka segera berikan prednison tablet sesuai prosedur karena pasien sedang mengalami status
reaksi berat. Evaluasi tiap 2 minggu dan bila reaksi berat terjadi dalam masa pengobatan, MDT
tidak boleh dihentikan. Jika reaksi berat terjadi setelah terapi, MDT tidak perlu diulang.

Evaluasi Pengobatan

Evaluasi pengobatan menurut Buku Panduan Pemberantasan Penyakit Kusta adalah sebagai
berikut:
a. Pasien PB yang telah mendapat pengobatan MDT 6 dosis dalam waktu 6-9 bulan dinyatakan
RFT (Release From Treatment) tanpa diharuskan menjalani pemeriksaan laboratorium.
b. Pasien MB yang telah mendapat pengobatan MDT 24 dosis dalam waktu 24-36 bulan
dinyatakan RFT tanpa diharuskan menjalani pemeriksaan laboratorium.
c. RFT dapat dilaksanakan setelah dosis dipenuhi tanpa diperlukan pemeriksaan
(surveillance)dan dapat dilakukan oleh petugas kusta.
d. Masa pengamatan
Pengamatan setelah RFT dilakukan secara pasif:
i. Tipe PB selama 2 tahun.
ii. Tipe MB selama 5 tahun tanpa diperlukan pemeriksaan laboratorium
e. Hilang/Out of Control (OOC)
Pasien PB maupun MB dinyatakan hilang bilamana dalam 1 tahun tidak mengambil obat dan
dapat dikeluarkan dari register pasien.
f. Relaps (kambuh)
Terjadi bila lesi aktif kembalisetelah pernah dinyatakan sembuh atau RFT (Depkes dalam
Mansjoer dkk , 2000)

A.

Anda mungkin juga menyukai