Analisis Masalah
1.4. Apa penyebab dan mekanisme bercak merah menebal dan bertambah banyak? 10 4
Mekanisme infeksi M. leprae belum diketahui secara pasti. Makrofag dan sel Schwann
merupakan target utama M. leprae. M. leprae masuk ke dalam tubuh melalui sistem
respirasi. Selanjutnya, bakteri bermigrasi ke jaringan saraf dan masuk ke sel Schwann.
Bakteri mulai bermultiplikasi (sekitar 12-14 hari untuk 1 bakteri membelah menjadi 2)
di dalam sel, melepaskan diri dari sel terinfeksi dan masuk ke dalam sel yang belum
terinfeksi. Pada saat bakteri semakin banyak, bacterial load meningkat dan infeksi
mulai dikenali oleh sistem imun. Limfosit dan makrofag menginvasi jaringan terinfeksi.
Pada tahap ini, manifestasi klinis yang timbul berupa keterlibatan saraf dengan
gangguan sensasi dan bercak pada kulit. Bercak putih disertai mati rasa meluas dan
menyebar dikarenakan bakteri sudah menginvasi sel-sel yang lainnya yang masih sehat.
Penyakit kusta akan semakin menampakan dirinya ketika penderita kusta keluar di
waktu siang hari dengan terik matahari yang sangat menyengat dan pada saat itulah
bakteri berkembang biak dan menyebar bagian lesi kulit yang lain.
ENL
Reversal
TT BT BB BL LL
Ti Li
Gambar 11-3. Hubungan antara reaksi reversal dan enl pada berbagai tipe kusta.
Secara imunopatologis, ENL termasuk respons imun humoral, berupa fenomena
kompleks imun akibat reaksi antara antigen M. leprae + antibodi (IgM, IgG) +
komplemen kompleks imun
Tampaknya reaksi ini analog dengan reaksi fenomena unik, tidak dapat
disamakan begitu saja dengan penyakit lain. Dengan terbentuknya kompleks imun ini,
maka ENL termasuk di dalam golongan penyakit kompleks imun, oleh karena salah satu
protein M. leprae bersifat antigenik, maka antibodi dapat terbentuk. Ternyata bahwa
kadar imunoglobulin penderita kusta lepramatosa lebih tinggi daripada tipe tuberkuloid.
Hal ini terjadi oleh karena pada tipe lepromatosa jumlah kuman jauh lebih banyak
daripada tipe tuberkuloid. ENL lebih banyak terjadi pada pengobatan tahun kedua. Hal
ini dapat terjadi karena pada pengobatan, banyak kuman kusta yang mati dan hancur,
berarti banyak antigen yang dilepaskan dan bereaksi dengan antibodi, serta
mengaktifkan sistem komplemen. Kompleks imun tersebut terus beredar dalam sirkulasi
darah yang akhirnya dapat melibatkan berbagai organ.
Pada kulit akan timbul gejala klinis yang berupa nodus eritema, dan nyeri dengan
tempat predileksi di lengan dan tungkai. Bila mengenai organ lain dapat menimbulkan
gejala seperti iridosiklitis, neuritis akut, limfadenitis, artritis, orkitis, dan nefritis akut
dengan adanya proteinuria. ENL dapat disertai gejala konstitusi dari ringan sampai berat
yang dapat diterangkan secara imunologik pula.
Perlu ditegaskan bahwa pada ENL tidak terjadi perubahan tipe. Lain halnya
dengan reaksi reversal yang hanya dapat terjadi pada tipe borderline (Li, BL,BB, BT,
Ti) sehingga dapat disebut reaksi borderline. Yang memegang peranan utama dalam hal
ini adalah SIS, yaitu terjadi peningkatan mendadak SIS. Meskipun faktor pencetusnya
belum diketahui pasti, diperkirakan ada hubungannya dengan reaksi hipersensitivitas
tipe lambat. Reaksi peradangan terjadi pada tempat-tempat kuman M. leprae berada,
yaitu pada saraf dan kulit, umumnya terjadi pada pengobatan 6 bulan pertama. Neuritis
akut dapat menyebabkan kerusakan saraf secara mendadak, oleh karena itu memerlukan
pengobatan segera yang memadai. Seperti pernah diterangkan terdahulu bahwa yang
menentukan tipe penyakit adalah SIS. Tipe kusta yang termasuk borderline ini dapat
bergerak bebas ke arah TT dan LL dengan mengikuti naik turunnya SIS, sebab setiap
perubahan tipe selalu disertai perubahan SIS pula. Begitu pula reaksi reversal, terjadi
perpindahan tipe ke arah TT dengan disertai peningkatan SIS, hanya bedanya dengan
cara mendadak dan cepat.
Penggunaan istilah downgrading untuk reaksi kusta, akhir-akhir ini sudah hampir
tidak terdengar lagi, tetapi pemakaiannya hanya untuk menunjukkan pergeseran ke arah
lepromatosa masih tetap berlaku, berarti bergerak secara lambat, tidak secepat reaksi.
Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi yang telah
ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relatif singkat. Artinya
lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi makin eritematosa, lesi
makula menjadi infiltrat, lesi infiltrat makin infiltratif dan lesi lama menjadi bertambah
luas. Tidak perlu seluruh gejala harus ada, satu saja sudah cukup. Adanya gejala neuritis
akut penting diperhatikan, karena sangat menentukan pemberian pengobatan
kortikosteroid, sebab tanpa gejala neuritis akut pemberian kortikosteroid adalah
fakultatif.
Kalau diperhatikan kembali reaksi ENL dan reversal secara klinis, ENL dengan
lesi eritema nodosum sedangkan reversal tanpa nodus, sehingga disebut reaksi lepra
nodular, sedangkan reaksi reversal adalah reaksi non-nodular. Hal ini paenting
membantu menegakkan diagnosis reaksi atas dasar lesi, ada atau tidak adanya nodus.
Kalau ada berarti reaksi nodular atau ENL, jika tidak ada berarti reaksi non-nodular atau
reaksi reversal reaksi borderline.
Gambaran klinis reaksi tipe 2 terjadi dengan spontan, tetapi paling sering pada
pasien dengan pengobatan cukup untuk mengurangi indek morfologi dibawah 5%.
Lebih separuh pasien lepra tipe LL dalam terapi menderita reaksi tipe 2, pada tipe BL
seperempatnya. Reaksi terjadi terutama pada waktu hamil dan laktasi, dan serangan
biasanya lama dan rekuren.
Reaksi ditandai ENL, berupa nodul eritem, nyeri, dapat superfisial atau dalam
sampai dermis. Dapat mengalami ulserasi mengeluarkan duh tubuh kuning tebal/kental
mengandung BTA polimorfik, tetapi steril pada biakan. Lesi paling banyak di wajah,
tungkai bagian ekstensor, namun dapat dimana saja. Lesi berlangsung beberapa hari dan
timbul lesi baru, jika memudar maka warna menjadi keabuan, sulit dilihat pada kulit
gelap. Pada ENL kronik ditemukan indurasi terutama di paha bagian ekstensor dan
lengan.
3. Reaksi tipe 3 (Lucio phenomenon)
Reaksi ini hanya terjadi pada Lucio leprosy yaitu bentuk murni dari lepra tipe LL,
merupakan reaksi paling berat, terutama mengenai orang Meksiko dan campuran
keturunan Spanyol dan Mediteranian, jarang di tempat lain.
Learning Issue
Tatalaksana Morbus Hansen
Hingga saat ini tidak ada vaksinasi untuk penyakit kusta. Dari hasil penelitian dibuktikan
bahwa kuman kusta yang masih utuh bentuknya, lebih besar kemungkinan menimbulkan
penularan dibandingkan dengan yang tidak utuh. Jadi faktor pengobatan adalah amat penting
dimana kusta dapat dihancurkan, sehingga penularan dapat dicegah. Disini letak salah satu
peranan penyuluhan kesehatan
Sementara itu menurut Entjang (2000), usaha pencegahan pribadi adalah menghindari
kontak dengan penderita. Bila kontak ini tak dapat dihindari maka hygiene badan cukup
menjamin pencegahannya. Hygiene lingkungan yang baik dan makanan yang sehat cukup
kwalitas maupun kwantitasnya. Usaha pencegahan untuk masyarakat, dilaksanakan dengan
menghilangkan sumber penularan yaitu dengan mengobati semua penderita.
Pengobatan kepada penderita kusta adalah merupakan salah satu cara pemutusan mata
rantai penularan. Kuman kusta diluar tubuh manusia dapat hidup 24-48 jam dan ada yang
berpendapat sampai 7 hari, ini tergantung dari suhu dan cuaca diluar tubuh manusia tersebut.
Makin panas cuaca makin cepatlah kuman kusta mati. Jadi dalam hal ini pentingnya sinar
matahari masuk ke dalam rumah dan hindarkan terjadinya tempat-tempat yang lembab (Zulkifli,
2003).
Mengingat bahwa pengobatan dapat menghentikan penularan maka pemberantasannya
dilakukan dengan tiga usaha pokok yaitu:
1. Mencari dan menemukan semua penderita (case finding) dalam masyarakat untuk diberikan
pengobatan yang sebaik-baiknya.
2. Mengobati dan mengikuti penderita (case holding)
a. Pengobatan dilaksanakan di poliklinik yang semudah mungkin dicapai penderita.
b. Bila penderita tidak datang berobat ke poliklinik, dilakukan kunjungan rumah untuk
diberikan pengobatan dan penerangan.
c. Setiap penderita pindah alamat harus diikuti dengan teliti agar ia tidak lepas dari
pengobatan dan perawatan. Hal ini perlu dilakukan karena jangka waktu pengobatannya
sangat lama, minimal tiga tahun terus menerus.
3. Pendidikan kesehatan tentang penyakit lepra kepada masyarakat:
a. Agar masyarakat mempunyai pengertian yang wajar tentang penyakit lepra tanpa
membesar-besarkannya maupun mengecilkannya.
b. Agar masyarakat dapat mengenal gejala penyakit lepra pada tingkat awal, sehingga
pengobatan dapat segera diberikan supaya memudahkan penyembuhan dan mencegah
terjadinya kecacatan.
c. Agar masyarakat tahu bahwa penyakit lepra dapat disembuhkan asal pengobatan
dilaksanakan secara teratur. Pentingnya pengobatan ini tidak hanya untuk penyembuhan
saja, melainkan juga untuk mencegah penularan kepada anggota keluarga dan masyarakat
sekitarnya.
d. Agar masyarakat menyadari bahwa penghuni serumah (contact person) harus
memeriksakan diri setiap tahun untuk menemukan kasus-kasus yang dini (Entjang ,
2000).
4. Usahakan kondisi rumah (kondisi fisik bangunan, ventilasi, suhu, kelembaban, dan kepadatan
hunian) dalam kondisi yang memadai untuk mencegah M. leprae berkembang biak.
Tatalaksana Lepra
1. Lepra tipe PB
Jenis dan obat untuk orang dewasa
Pengobatan bulanan: Hari pertama (diminum didepan petugas)
a. 2 kapsul Rifampisin 300 mg (600 mg)
b. 1 tablet Dapsone (DDS 100 mg)
Pengobatan hari ke 2-28 (dibawa pulang)
a. 1 tablet dapson (DDS 100 mg) setiap hari
1 Blister untuk 1 bulan
Lama pengobatan : 6 Blister diminum selama 6-9 bulan
2. Lepra tipe MB
Jenis dan dosis untuk orang dewasa :
Pengobatan Bulanan: Hari pertama diminum di depan petugas)
a. 2 kapsul Rifampisin 300 mg (600 mg)
b. 3 kapsul Lampren/Klofazimin 100 mg (300 mg)
c. 1 tablet Dapsone (DDS 100 mg)
Pengobatan Bulanan: Hari ke 2-28
a. 1 tablet Lampren/Klofazimin 50 mg setiap hari
b. 1 tablet Dapsone (DDS 100 mg) setiap hari
1 blister untuk 1 bulan
Lama Pengobatan: 12 Blister diminum selama 12-18 bulan
3. Dosis MDT Menurut Umur
Pedoman praktis untuk pemberian
MDT bagi penderita kusta tipe PB digunakan bagan sebagai berikut :
Pedoman praktis untuk pemberian MDT bagi penderita kusta tipe MB digunakan bagan
sebagai berikut :
Dosis bagi anak berusia dibawah 5 tahun disesuaikan dengan berat badan:
a. Rifampisin: 10-15 mg/ kg BB
b. DDS: 1-2 mg/ kg BB
c. Clofazimin: 1 mg/ kg BB
Tipe PB 6 blister untuk 6-9 bulan
Tipe MB 12 blister untuk 12-18 bulan
Catatan
1. Pasien diberikan informasi mengenai kondisi pasien saat ini, serta mengenai pengobatan dan
pentingnya kepatuhan untuk eliminasi penyakit.
2. Kebersihan diri dan pola makan yang baik perlu dilakukan.
3. Pasien dimotivasi untuk memulai terapi hingga selesai terapi dilaksanakan.
4. Terapi menggunakan Multi Drug Therapy (MDT) pada:
a. Pasien yang baru didiagnosis kusta dan belum pernah mendapat MDT.
b. Pasien ulangan, yaitu pasien yang mengalami hal-hal di bawah ini:
i. Relaps
ii. Masuk kembali setelah default (dapat PB maupun MB)
iii. Pindahan (pindah masuk)
iv. Ganti klasifikasi/tipe
5. Obat penunjang (vitamin/roboransia) dapat diberikan vitamin B1, B6, dan B12.
6. Tablet MDT dapat diberikan pada pasien hamil dan menyusui. Bila pasien juga mengalami
tuberkulosis, terapi rifampisin disesuaikan dengan tuberkulosis.
7. Untuk pasien yang alergi dapson, dapat diganti dengan lampren, untuk MB dengan alergi,
terapinya hanya 2 macam obat (dikurangi DDS).
Status Reaksi
Evaluasi Pengobatan
Evaluasi pengobatan menurut Buku Panduan Pemberantasan Penyakit Kusta adalah sebagai
berikut:
a. Pasien PB yang telah mendapat pengobatan MDT 6 dosis dalam waktu 6-9 bulan dinyatakan
RFT (Release From Treatment) tanpa diharuskan menjalani pemeriksaan laboratorium.
b. Pasien MB yang telah mendapat pengobatan MDT 24 dosis dalam waktu 24-36 bulan
dinyatakan RFT tanpa diharuskan menjalani pemeriksaan laboratorium.
c. RFT dapat dilaksanakan setelah dosis dipenuhi tanpa diperlukan pemeriksaan
(surveillance)dan dapat dilakukan oleh petugas kusta.
d. Masa pengamatan
Pengamatan setelah RFT dilakukan secara pasif:
i. Tipe PB selama 2 tahun.
ii. Tipe MB selama 5 tahun tanpa diperlukan pemeriksaan laboratorium
e. Hilang/Out of Control (OOC)
Pasien PB maupun MB dinyatakan hilang bilamana dalam 1 tahun tidak mengambil obat dan
dapat dikeluarkan dari register pasien.
f. Relaps (kambuh)
Terjadi bila lesi aktif kembalisetelah pernah dinyatakan sembuh atau RFT (Depkes dalam
Mansjoer dkk , 2000)
A.