Anda di halaman 1dari 22

DEFINISI

Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya


tonus otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suafu toksin protein
yang kuat yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Terdapat beberapa bentuk
klinis tetanus termasuk di dalamnya tetanus neonatorum, tetanus generalisata dan
gangguan neurologis lokal.

MIKROBIOLOGI

Tetanus disebabkan oleh basil gram positif, Clostridium tetani. Bakteri ini
terdapat di mana-mana, dengan habitat alamnya di tanah, tetapi dapatjuga diisolasi
dari kotoran binatang peliharaan dan manusia . Clostridium tetani merupakan
bakteri gram posotifberbentuk batang yang selalu bergerak, dan merupakan
bakteri anaerob obligat yang menghasilkan spora. Spora yang dihasilkan tidak
berwarna, berbenfuk oval, menyerupai raket tenes atau paha ayam. Spora ini dapat
bertahan selama bertahuntahun pada lingkungan tertentu, tahan terhadap sinar
matahari dan bersifat resisten terhadap berbagai desinfektan dan pendidihan
selama 20 menit. Spora bakteri ini dihancurkan secara tidak sempurna dengan
mendidihkan, tetapi dapat dieliminasi dengan autoklav pada tekanan I atmosfir
dan 120'C selama 15 menit. Sel yang terinfeksi oleh bakteri ini dengan mudah
dapat diinaktivasi dan bersifat sensitif terhadap beberapa antibiotik (metronidazol,
penisilin dan lainnya). Bakteri ini jarang dikultur, karena diagnosanya berdasarkan
klinis. C I o s tr i dium t et an i metghasilkan efek-efek klinis melalui eksotoksin
yang kuat. Tetanospasmin dihasilkan dalam sel-sel yang terinfeksi di bawah
kendali plasmin. Tetanospasmin ini merupakan rantai polipeptida tunggal. Dengan
autolisis, toksin rantai tunggal dilepaskan dan terbelah untuk membentuk
heterodimer yang terdiri dari rantai berat ( I 00kDa) yang memediasi
pengikatannya dengan reseptor sel saraf dan masuknya ke dalam sel, sedangkan
rantai ringan (50kDa) berperan untuk meblokade peflepasan neurotransmiter.
Telah diketahui urutan genom dari Clostridium tetani. Struktur asam amino dari
dua toksin yang paling kuat yang pernah diketemukan yaitu toksin botulinum dan
toksin tetanus secara parsial bersifat homolog. Peranan toksin tetanus dalam tubuh
organisme belum jelas diketahui. DNA toksin ini terkandung dalam plasmid.
Adanya bakteri belum tentu mengindikasikan infeksi, karena tidak semua strain
mempunyai plasmid. Belum banyak penelitian tentang sensitihtas antimikrobial
bakteri ini.

EPIDEMIOLOGI

Tetanus terjadi secara sporadis dan hampir selalu menimpa individu non imun,
individu dengan imunitas parsial dan individu dengan imunitas penuh yang
kemudian gagal mempertahankan imunitas secara adekuat dengan vaksinasi
ulangan. Walaupun tetanus dapat dicegah dbngan imunisasi, tetanus masih
merupakan penyakit yang membebani di seluruh dunia terutama di negara
beriklim tropis dan negara-negara sedang berkembang, sering terjadi di Brazil,
Filipina, Vietnam, Indonesia, dan negara lain di benua Asia. Penyakit ini umum
terjadi di daerah pertanian, di daerah pedesaan, pada daerah dengan iklim hangat,
selama musim panas dan pada penduduk pria. Pada r,egara-negara tanpa program
imunisasi yang komprehensif, tetanus terjadi terutama pada neonatus dan anak-
anak. Walaupun WHO menetapkan target mengeradikasi tetanus pada tahun 1995,
tetanus tetap bersifat endemik pada 29tt 2912 TROPIKINFEKSI negara-negara
sedang berkembang dan WHO memperkirakan kurang lebih 1.000.000 kematian
akibat tetanus di seluruh dunia pada tahtn 1992, termasuk di dalamnya 580.000
kematian akibat tetatus neonatorum, 2 1 0.000 di Asia Tengg ara, dan 1 52. 000 di
Afrika. Penyakit ini jarang dijumpai di negara-negara maju. DiAfrika Selatan,
kira-kiraterdapat 300 kasus pertahun, kira-kira 12-15 kasus dilaporkan terjadi tiap
tahun di Inggris. Di Amerika Serikat sebagian besar kasus tetanus terj adi akibat
trauma akut, seperli luka tusuk, laserasi atau abrasi. Tetanus didapatkan akibat
trauma di dalam rumah atau selama berlani, berkebun dan aktivitas luar ruangan
yang lain. Trauma yang menyebabkan tetanus bisa berupa luka besar tapi dapat
juga berupa luka kecil, sehingga pasien tidak mencari perlolongan medis, bahkan
pada beberapa kasus tidak dapat diidentifikasi adanya trauma. Tetanus dapat
merupakan komplikasi penyakit kronis, seperti ulkus, abses dan gangren. Tetanus
dapat pula berkaitan dengan luka bakar, infeksi telinga tengah, pembedahan,
aborsi dan persalinan. Pada beberapa pasien tidak dapat diidentifikasi adanya port
d'entree. Pada akhir tahun 1940an dilaporkan 300 sampai 600 kasus per tahun di
Amerika Serikat. Pada tahun l94l insidensi tetanus mencapai 3.9 kasus per juta
populasi, kontras dengan angka insidensi tahunan antara tahun 1998-2000 yang
dilaporkan 0,16 perjuta populasi. Sejak tahun 1976 kurang dari 100 kasus
dilaporkan tiap tahun dan pada saat ini antara 50-J0 kasus per tahun dilaporkan di
Amerika Serikat. Resiko terjadinya tetanus paling tiggi pada populasi usia tua.
Survey serologis skala luas terhadap antibodi tetanus dan difteri yang dilakukan
antara tahun I 988- 1 994 menunj ukkan bahwa sec ara ke s elu ruhan, 7 2o/o
penduduk Amerika Serikat berusia di atas 6 tahun terlindungi terhadap tetanus.
Sedangkan pada anak antara6-l 1 tahun sebesar 97oh, persentase ini menurun
dengan bertambahnya usia; hanya 30Yo individu berusia di atas 70 tahun (pria
45oh,wanita2l %) yang mempunyai tingkat antibodi yang adekuat.

PATOGENESIS

Sering terjadi kontaminasi luka oleh sporu C.tetani. C.tetani sendiri tidak
menyebabkan inflamas dan port d'entrae tetap tampak tenang tanpa tanda
inflamasi, kecuali apabila ada infeksi oleh mikroorganisme yang lain. Dalam
kondisi anaerobik yang dijumpai pada jaringan nekotik dan terinfeksi, basil
tetanus mensekresi dua macam toksin: tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanolisin
mampu secara lokal merusak jaringan yang masih hidup yang mengelilingi
sumber infeksi dan mengoptimalkan kondisi yang memungkinkan multiplikasi
bakteri. Tetanospasmin menghasilkan sindroma klinis letanus. Toksin ini mungkin
mencakup lebih dari 5oh dari berat organisme. Toksin ini merupakan polipeptida
rantai ganda dengan berat 150.000 Da yang semula bersifat inaktif. Rantai berat
(100.000 Da) dan rantai ringan (50.000 Da) dihubungkan oleh suatu ikatan yang
sensitif terhadap protease dan dipecah oleh protease jaringan yang menghasilkan
jembatan disulfi da yang menghubungkan dua rantai ini. Ujung karboksil dari
rantai berat terikat pada membran saraf dan ujung amino memungkinkan
masuknya toksin ke dalam sel. Rantai ringan bekerja pada presinaptik unfuk
mencegah pelepasan neurotransmitter dari neuron yang dipengaruhi.
Tetanoplasmin yang dilepaskan akan menyebar pada jaringan di bawahnya dan
terikat pada gangliosida GDlb dan GTlb pada membran ujung saraf lokal. .Iika
toksin yang dihasilkan banyak, ia dapat memasuki aliran darah yang kemudian
berdifusi untuk terikat pada ujung-ujung saraf di seluruh tubuh. Toksin kemudian
akan menyebar dan ditransportasikan dalam axon dan secara retrogred ke dalam
badan sel di batang otak dan saraf spinal. Transpor terjadi perlama kali pada saraf
motorik, lalu ke saraf sensorik dan saraf otonom. Jika toksin telah masuk ke
dalam sel, ia akan berdifusi keluar dan akan masuk dan mempengaruhi ke neuron
di dekatnya. Apabila interneuron inhibitori spinal terpengaruh, gejala-gejala
tetanus akan muncul. Transpor intraneuronal retrogred lebih jauh terjadi dengan
menyebarnya toksin ke batang otak dan otak tengah. Penyebaran ini meliputi
transfer melewati celah sinaptik dengan suatu mekanisme yang tidakjelas. Setelah
intemalisasi ke dalam neuron inhibitori, ikatan disulfida yang menghubungkan
rantai ringan dan rantai berat akan berkurang, membebaskan rantai ringan. Efek
toksin dihasilkan melalui pencegahan lepasnya neurotransmitter. Sinaptobrevin
merupakan protein membran yang diperlukan untuk keluarnya vesikel intraseluler
yang mengandung neurotransmitter. Rantai ringan tetanoplasmin mer-upakan
metalloproteinase zink yatg membelah sinaptobrevin pada suatu titik tunggal,
sehingga mencegah perlepasan neurotransmitter. Toksin ini mempunyai efek
dominan pada neuron inhibitori, di mana setelah toksin menyeberangi sinapsis
untuk mencapai presinaptik, ia akan memblokade perlepasan neurotransmiter
inhibitori yaitu glisin dan asam aminobutirik (GABA). Interneuron yang
menghambat neuron motorik alfa yang pertama kali dipengaruhi, sehingga neuron
motorik ini kehilangan fungsi inhibisinya. Lalu (karena jalur yang lebih panjang)
neuron simpatetik preganglionik pada ujung lateral dan pusat parasimpatik juga
dipengaruhi. Neuron motorik juga dipengaruhi dengan carayarrgsama, dan
perlepasan asetilkolin ke dalam celah neuromuskuler dikurangi. Pengaruh ini
mirip dengan aktivitas toksin botulinum yang mengakibatkan paralisis flaksid.
Namun demikian, pada tetanus, efek disinhibitori neuron motorik lebih
berpengaruh daripada berkurangnya fungsi pada ujung neuromuskuler. Pusat
medulla dan TETANUS 2913 hipotalamus mungkin juga dipengaruhi.
Tetanospasmin mempunyai efek konvulsan korlikal pada penelitian pada hewan.
Apakah mekanisme ini berperan terhadap spasme intermiten dan serangan
autonomik, masih belumjelas. Efek prejungsional dari ujung neuromuskuler dapat
berakibat kelemahan di attara dua spasme dan dapat berperan pada paralisis saraf
kranial yang drjumpai pada tetanus sefalik, dan myopati yang terjadi setelah
pemulihan. Pada spesies yang lain, tetanus menghasilkan gejala karakteristik
berupa paralisis flaksid. Aliran eferen yang tak terkendali dari sarafmotorik pada
korda dan batang otak akan menyebabkan kekakuan dan spasme muskuler, yang
dapat menyerupai konvulsi. Refleks inhibisi dari kelompok otot antagonis hilang,
sedangkan otot-otot agonis dan antagonis berkonstraksi secara simultan. Spasme
otot sangatlah nyeri dan dapat berakibat fraktur atau ruptur tendon. Otot rahang,
wajah, dan kepala sering terlibat pertama kali karena jalur aksonalnya lebih
pendek. Tubuh dan anggota tubuh mengikuti, sedangkan otot-otot perifer tangan
dan kaki relatifj arang terlibat. Aliran impuls otonomik yang tidak terkendali akan
berakibat terganggunya kontrol otonomik dengan aktifitas berlebih saraf simpatik
dan kadar katekolamin plasma yang berlebihan. Terikatnya toksin pada neuron
bersifat ireversibel. Pemulihan membutuhkan tumbuhnya ujung saraf yang baru
yang menjelaskan mengapa tetanus berdurasi lama. Pada tetanus lokal, hanya
saraf-saraf yang menginervasi otot-otot yang bersangkutan yang terlibat. Tetanus
generalisata terjadi apabila toksin yang dilepaskan di dalam luka memasuki aliran
limfa dan darah dan menyebar luas mencapai ujung sarafterminal: sawar darah
otak memblokade masuknya toksin secara langsung ke dalam sistem saraf pusat.
Jika diasumsikan bahwa waktu transporl intraneuronal sama pada semua saraf,
serabut sarafyang pendek akan terpengaruh sebelum serabut saraf yang panjang:
hal ini menjelaskan urutan keterlibatan srabut saraf di kepala, tubuh dan
ekstremitas pada tetanus generalisata.

MANIFESTASI KLINIS

Tetanus biasanya terjadi setelah suatu trauma. Kontaminasi luka dengan tanah,
kotoran binatang, atau logam berkarat dapat menyebabkan tetanus. Tetanus dapat
terjadi sebagai komplikasi dari luka bakar, ulkus gangren, luka gigitan ular yang
mengalami nekrosis, infeksi telinga tengah, aborsi septik, persalinan, injeksi
intramuskular dan pembedahan. Trauma yang menyebabkan tetanus dapat
hanyalah trauma ringan, dan sampai 50% kasus trauma terjadi di dalam gedung
yang tidak dianggap terlalu serius untuk mencari pertolongan medis. Pada l5-
25o/o pasien, tidak terdapat bukti adanya perlukaan baru. Tetanus Generalisata
Tetanus generalisata merupakan benfuk yang paling umum dari tetanus, yang
ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan spasme generalisata. Masa inkubasi
bervariasi, tergantung pada lokasi luka dan lebih singkat pada Tetanus berat,
median onset setelah trauma adalahT hari; l5% kasus terjadi dalam 3 hari dan l0%
kasus terjadi setelah l4 hari. Terdapat trias klinis berupa rigiditas, spasme otot, dan
apabila berat disfungsi otonomik. Kaku kuduk, nyeri tenggorokan, dan kesulitan
untuk membuka mulut, sering merupakan gejala awal tetanus. Spasme otot
masseter menyebabkan trismus atau 'rahang terkunci'. Spasme secara progresif
meluas ke otot-otot wajah yang menyebabkan ekspresi wajah yang khas, 'risus
sardonicus' dan meluas ke otot-otot unfuk menelan yang menyebabkan disfagia.
Spasme ini dipicu oleh stimulus internal dan eksternal dapat berlangsung selama
beberapa menit dan dirasakan nyeri. Rigiditas otot leher menyebabkan retraksi
kepala. Rigiditas tubuh menyebabkan opistotonus dan gangguan respirasi dengan
menurunnya kelenturan dinding dada, Refleks tendon dalam meningkat. Pasien
dapat demam, walaupun banyak yang tidak, sedangkan kesadaran tidak
terpengaruh. Di samping peningkatan tonus otot, terdapat spasme otot yang
bersifat episodik. Konstraksi tonik ini tampak seperti konulsi yang terjadi pada
kelompok otot agonis dan antagonis secara bersamaan. Kontraksi ini dapat
bersifat spontan atau dipicu oleh stimulus berupa sentuhan, stimulus visual,
auditori atau emosional. Spasme yang terjadi dapat bervariasi berdasarkan
keparahannya dan frekuensinya tetapi dapat sangat kuat sehingga menyebabkan
fraktur atau ruptur tendon. Spasme yang terjadi dapat sangat berat, terus-menerus,
nyeri bersifat generalisata sehingga menyebabkan sianosis dan gagal nafas.
Spasme ini dapat terjadi berulangulang dan dipicu oleh stimulus yang ringan.
Spasme faringeal sering diikuti dengan spasme laringeal dan berkaitan dengan
terjadinya aspirasi dan obstruksi jalan nafas akut yang mengancam nyawa. Pada
bentuk yang paling umum dari tetanus, yaitu tetanus generalisata, otot-otot di
seluruh tubuh terpengaruh. Otot-otot di kepala dan leher yang biasanya pertama
kali terpengaruh dengan penyebaran kaudal yang progresif untuk mempengaruhi
seluruh tubuh. Diferensial diagnosisnya mencakup infeksi orofaringeal, reaksi
obat distonik, hipokalsemia, keracunan striknin, dan histeria. Akibat trauma
perifer dan sedikitnya toksin yang dihasilkan, tetanus lokal dijumpai. Spasme dan
rigiditas terbatas pada area tubuh tertentu. Mortalitas sangatlah berkurang.
Perkecualian untuk ini adalah tetanus sefalik di mana tetanus lokal yang berasal
dari luka di kepala mempengaruhi saraf kranial; paralisis lebih mendominasi
gamba,ran klinisnya, daripada spasme. Tetapi progresi ke tetanus generalisata
umum terjadi dan mortalitasnya tinggi. 2914 TROPIKINFEKSI Tetanus
neonatorum menyebabkan lebih dari 50oh kematian akibat tetanus di seluruh
dunia, tetapi sangat jarang terjadi di negara-negara maju. Neonatus, usia di bawah
I minggu dengan riwayat singkat berupa muntah, konvulsi dan tidak dapat
menerima minuman. Kejang, meningitis dan sepsis merupakan diagnosis
diferensialnya. Spasme bersifat generalisata dan mortalitasnya tinggi. Higiene
umbilikal yang buruk merupakan penyebabnya, namun kesemuanya dapat dicegah
dengan vaksinasi matemal, bahkan selama kehamilan. Sebelum adanya ventilasi
buatan, banyak pasien dengan tetanus berat yang meninggal akibat gagal nafas
akut. Dengan perkembangan perawatan intensif, menjadi jelas bahwa tetanus yang
berat berkaitan dengan instabilitas otonomik yang nyata. Sistem saraf
simpatetiklah yang paling jelas dipengaruhi. Secara klinis, peningkatan tonus
simpatik menyebabkan takikardia persisten dan hipertensi. Dijumpai
vasokonstriksi yang tampak j elas, hiperyireksia, keringat berlebihan. Badai
autonomik terjadi dengan adanya innstabilitas kardiovaskular yang tampak nyata.
Hiperlensi berat dan takikardia dapat terjadi bergantian dengan hipotensi berat,
bradikardia dan henti janfung berulang. Pergantian ini lebih merupakan akibat
perubahan resistensi vaskular sistemik daripada perubahan pengisian jantung dan
kekuatan jantung. Selama 'badai' ini, kadar katekolamin plasma meningkat sampai
l0 kali lipat mencapai kadar yang mirip dengan yang dijumpai pada
feokromositoma. Norepinefrin lebih terpengaruh daripada epinefrin.
Hiperaktivitas neuronal lebih mendominasi daripada hiperaktivitas medula
adrenal. Henti jantung mendadak kadang-kadang terjadi, tapi mekanisme yang
mendasarinya belumlahjelas. Di samping sistem kardiovaskuler, efek otonomik
yang lain mencakup salivasi profus dan meningkatnya sekresi bronkial. Stasis
gaster, ileus, diare, dan gagal ginj al curah tinggi (high output renalfailure)
semuaberkaitan dengan gangguan otonomik. Telah jelas adanyaketerlibatan
sistem saraf simpatis. Peranan sistem saraf parasimpatis kurang jelas. Tetanus
telah dilaporkan menginduksi lesi pada nukleus vagus, di mana pada saat yang
bersamaan terpapar toksin sehingga menyebabkan aktivitas vagal yang berlebihan.
Hipotensi, bradikardia dan asistol dapat muncul akibat meningkatnya tonus dan
aktivitas vagal. Komplikasi tetanus yang lain dapat berupa pneumoni aspirasi,
fraktur, ruptur otot, tromboplebitis vena dalam, emboli paru, ulkus dekubitus dan
rabdomiolisis. Tetanus Neonatorum Tetanus neonatorum biasanya terjadi dalam
bentuk generalisata dan biasanya fatal apabila tidak diterapi. Tetanus neonatorum
terjadi pada anak-anak yang dilahirkan dari ibu yang tidak diimunisasi secara
adekuat, terutama setelah perawatan bekas potongan tali pusat yang tidak steril.
Resiko infeksi tergantung pada panjang tali pusat, kebersihan lingkungan, dan
kebersihan saat mengikat dan memotong umbilikus. Onset biasanya dalam 2
minggu pertama kehidupan. Rigiditas, sulit menelan ASI, iritabilitas dan spasme
merupakan gambaran khas tetanus neonatorum. Di antara neonatus yang
terinfeksi.90 o/" meninggal dan retardasi mental terjadi pada yang bertahan hidup.
Tetanus Lokal Tetanus lokal merupakan bentuk yatg jarang dimana manifestasi
klinisnya terbatas hanya pada otot-otot di sekitar luka. Kelernahan otot dapat
terladi akibat peran toksin pada tempat hubungan neuromuskuler. Gejalagejalanya
bersifat ringan dan dapat bertahan sampai berbulan-bulan. Progresi ke tetanus
generalisata dapat terjadi. Namun demikian secara umum prognosisnya baik.
Tetanus Sefalik Tetanus sefalik merupakan bentuk yang jarang dari tetanus lokal,
yang terjadi setelah trauma kepala atau infeksi telinga. Masa inkubasinya I -2 hari.
Dijumpai trismus dan disfungsi satu atau lebih saraf kranial, yang tersering adalah
saraf ke-7. Disfagia dan paralisis otot ekstraokular dapat terjadi. Mortalitasnya
tinggi. Perjalanan Klinis Periode inkubasi (rentang waktu antara trauma dengan
gejala pertama) ruta-rata 7-10 hari dengan rentang 1-60 hari. Onset (rentang
waktu antara gejala pertama dengan spasme pertama) bervariasi arfiara 7-7 hari.
Inkubasi dan onset yang lebih pendek berkaitan dengan tingkat keparahan
penyakit yang lebih berat. Minggu peftama ditandai dengan rigiditas dan spasme
otot yang semakin parah. Gangguan ototnomik biasanya dimulai beberapa hari
setelah spasme dan bertahan sampai 1-2 minggu. Spasme berkurang setelah 2-3
minggu tetapi kekakuan tetap bertahan lebih lama. Pemulihan terjadi karena
fumbuhnya lagi akson terminal dan karena penghancuran toksin. Pernulihan bisa
memerlukan waktu sampai 4 minggu. Derajat Keparahan Terdapat beberapa
sistem pembagian derajat keparahan (Philllips, Dakar, Udwadia) yang dilaporkan.
Sistem yang dilaporkan olehAblett merupakan sistem yang paling sering dipakai.
Klasifikasi beratnya tetanus oleh Ablett: Derajat I (ringan) : Trismus ringan
sampai sedang, spastisitas generalisata, tanpa gangguan pernafasan, tanpa
spasrric, sedikit ata:utalpa disfagia Derajat II (sedang) : Trismus sedang, rigiditas
yang nampak jelas, spasme singkat ringan sampai sedang, gangguan pernafasan
sedang dengan frekuensi pernafasan lebih dari 30, disfagia ringan. TMAIYUS
29t5 Derajat III (berat) : Trismus berat, spastisitas generaisata, spasme refleks
berkepanjangan, frekuensi pemafasan lebih dari 40, serangan apnea, disfagiaberat
dan takikardia lebih daril20. Derajat IV (sangat berat) : Derajat tiga dengan
gangguan otonomik berat melibatkan sistem kardiovaskuler. Hipertensi berat dan
takikardia terjadi berselingan dengan hipotensi dan bradikardia, salah satunya
dapat menetap. Perubahan Fisiologi Kardiovaskular Terdapat relatif sedikit
penelitian tentang efek tetanus pada sistem kardiovaskular. Suatu problem adalah
bahwa efek hemodinamik dari komplikasi dan terapi dapat menutupi efek
sesungguhnya dari tetanus itu sendiri. Udwadia meneliti 27 pasien denganAblett
derajat IIVIV yang stabil dan tanpa terapi yang mempengaruhi hemodinamik.
Sembilan belas di antaranya dengan tetanus tanpa komplikasi, sedangkan delapan
yang lain dengan komplikasi (dengan pneumonia. sepsis, ARDS). Penelitiannya
yar.g berskala luas meliputi gambaran kardiovaskular dari tetanus, perubahan-
perubahan yang terjadi selama spasme yang tidak terkontrol, selama relaksasi
yang intensif, selama pemulihan dan pengaruh pemberian cairan pada tetanus
dibandingkan dengan sukarelawan sehat. Ia juga meneliti pasien-pasien selama
periode instabilitas kardiovaskular akibat'badai otonomik'. Tetanus berat tanpa
komplikasi ditandai dengan sirkulasi hiperkinetik. Takikardia bersifat universal
diserlai hiperlensi, meningkatnya indeks volume sekuncup janrung dan
meningkatnya indeks kardiak. Penemuan yang lain adalah resistensi vaskular
sistemik yang normal rendah dan tekanan pengisian sisi kiri dan kanan jantung
yang normal. Penemuan-penemuan ini mirip dengan yang ditemukan oleh James
dan Manson. Kondisi hiperkinetik diperberat selama peningkatan aktivitas spasme
dan kurangnya relaksasi. Abnotmalitas hemodinamik kurang jelas selama periode
relaksasi muskuler penuh tetapi pengukuran-pengukuran itu hanya secara bertahap
kembali ke nilai normalnya selama masa pemulihan. Pemberian cairan sebanyak
2000 ml meningkatkan tekanan pengisian jantung kiri dan indeks jantung, tapi
efek ini hanya bersifat sementara. Selama 'badai otonomik', dengan instabilitas
kardiovaskular yang jelas, pasien mengalami fluktuasi dari kondisi hiperstimulasi
dari hipertensi (tekanan arlerial mencapai 22011 20mmHg) dan takikardia (denyut
j antung 1 3 0- 1 90x/menit) sampai kondisi depresi berat dengan hipotensi
(mencapai 70130 mmHg), bradikardia (50-90x/menit) dan penurunan tekanan
vena sentralis (berkurang I sampai 6 cm H20). Pengawasan secara intensif
menunjukkan perubahan ini merupakan akibat perubahan yang cepat dan nyata
dari indek resistensi vaskular sistemik (Systemic vas cular resis tance
index/SVRI),turun dari 2300 menjadi kurang dari 1000 dine cm-t m-', Terdapat
sedikitperubahatpada indeks jantung dan tekanan pengisian jantung. Apabila
dibandingkan dengan derajatyang lebih berat, pasien dengan derajat IV kurang
mungkin menaikkan indeks kardiak atau indeksindeks kerja jantung sebagai
respons terhadap pemberian cairan atau selama peubahan resistensi vaskular yang
dijumpai selama 'badai otonomik'.Satu pasien dengan hipertensi berat berkepanj
angan dijumpai menunjukkan peningkatan resistensi vaskuler masif dengan SVRI
lebih tinggi dari 4500 dine cm-s m-2 Pada tetanus tanpa komplikasi, pengukuran-
pengukuran tersebut di atas bervariasi luas dengan tanpa konsistensi. Sirkulasi
hiperkinetik terutama disebabkan peningkatakn aktivitas simpatetik basal dan
peningkatan aktivitas otot dengan efek yang lebih lemah dari meningkatnya
temperatur. SVRI yang normal rendah disebabkan venodilatasi ekstensif dalam
otot yang aktis secara metabolik. Rasio ekstraksi oksigen tidak berubah pada
tetanus dan peningkatan kebutuhan oksigen dipenuhi dengan meningkatnya aliran
darah. Kontrol spasme yang buruk memperberat efek-efek ini. Pemberian cairar.
menyebabkan hanya peningkatan sementara tekanan pengisian jantung, indeks
kardiak dan LI/SWI, karena sirkulasi secara luas mengalami venodilatasi dan oleh
karena itu merupakan sistem kapasitansi yang tinggi apabila dibandingkan dengan
kontrol normal. Pada tetanus tanpa komplikasi, sistem kardiovaskular, oleh karena
itu menyerupai pasien normal yang melakukan aktivitas hsik intensif. Pasien
derajat IV tampak kurang menunjukkan peningkatkan kemampuan jantung dan
oleh karena itu lebih rentan terhadap hipotensi berat dan shok selama 'badai
vasodilatori akut'. Mekanismenya tidak jelas, tapi mungkin berkaitan dengan
berkurangnya stimulasi katekolamin secara mendadak atau efek langsung toksin
tetanus terhadap myokardium. Perubahan fungsi myokardium mungkin
disebabkan peningkatan kadar katekolamin yang menetap, tatapi fungsi yang
abnormal mungkin terjadi bahkan pada kondisi tanpa sepsis atau kadar
katekolamin yang tinggi. Perubahan Fisiologi Respirasi Rigiditas dan spasme
muskuler dari dinding dada, diagfragma dan abdomen menyebabkan adanya defek
restriktif. Adanya spasme faringeal dan laringeal merupakan pertanda adarrya
gagal nafas dan obstruksi jalan nafas yang mengancam jiwa. Ketidakmampuan
pasien untuk batuk, akibat rigiditas, spasme dan sedasi mengakibatkan atelektasis
dan resiko tinggi terjadinya pneumonia. Ketidakmampuan untuk menelan yang
berlebih, sekresi bronkial yang profus, spasme faringeal, peningkatan tekanan
intrabdominal dan stasis gaster, semuanya meningkatkan resiko aspirasi yang
umum terjadi pada pasien tetanus. Gangguan ventilasiiperfusi umum terjadi.
Akibatnya hipoksia merupakan keadaan yang umum dijumpai pada tetanus sedang
dan berat bahkan pada 2916 TROPIKINFEKSI keadaaan dimana gambaran foto
thorax bersih. Tekanan oksigen, udara pernafasan antara 5,3-6,1 kPa umum
dijumpai. Pada pasien yang diberikan pernafasan buatan, peningkatan gradien A-a
bersifat menetap. Penghantaran oksigen dan penggunaattya dapat terganggu
bahkan tanpa perubahan patologis paru tambahan. Sindroma distress pernafasan
akut mungkin terjadi sebagaui komplikasi spesifik tetanus. Perubahan ventilasi
ringan dapat disebabkan oleh penyebab yang bervariasi. Hiperventilasi dapat
terjadi karena ketakutan, gengguan otonomik, atau perubahan fungsi batang otak.
Hipokarbia (PCO, 4.0-4.6 kPa) umum terjadi pada tetanus ringan sampai sedang.
'Badai hiperventilasi' dapat berakibat hipokarbia berat (PCOr 0,15 U/ml dianggap
protektif dan pada kadar ini tetanus tidak mungkin terjadi, walaupun ada beberapa
kasus yang terjadi pada kadar antitoksin yang protektif. Diagnosis diferensialnya
mencakup kondisi lokal yang dapat menyebabkan trismus, seperti abses alveolar,
keracunan striknin, reaksi obat distonik (misalnya terhadap fenotiasin dan
metoklorpramid) tetanus hipokalsemik, dan perubahan-perubahan metabolik dan
neurologis pada neonatal. Kondisi-kondisi lain yang dikacaukan dengan tetanus
meliputi meningitisi ensefalitis, rabies dan proses intraabdominal akut (karena
kekakuan abdomen). Meningkatnya tonus pada otot sentral (wajah, leher, dada,
punggung dan perut) yang tumpang tindih dengan spasme generalisata dan tidak
terlibatnya tangan dan kaki secara kuat menyokong diagnosa tetanus. Jalan nafas
Respirasi Kardiovaskular Ginjal Gastrointe stinal Lain-lain Aspirasi.
Laringospasme/obstru ksi* Obstruksi berkaitan dengan sedatif Apnea. Hipoksia*
Gagal nafas tipe 1- (atelektasis, aspirasi. pneumonia) Gagal nafas tipe 2. (spasme
laringeal, spasme trunkal berkepanjangan, sedasi berlebihan) ARDS* Komplikasi
bantuan ventilasi berkepanjangan (seperti pneumonia) Komplikasi trakeostomi
(seperti stenosis trakea) Takikardia., hipertensi*, iskemia* Hipotensi*,
bradikardia. Takiaritmia., bradiaritmia* Asistol. Gagal jantung. Gagal ginjal curah
tinggi* (high output renal failure) Gagal ginjal oligouria* Stasis urin dan infeksi
Stasis gaster lleus Diare Perdarahan* Penurunan berat badan* Tromboembolus*
Sepsis dengan gagal organ multipel* Fraktur vertebra selama spasme Ruptur
tendon akibat spasme .Komplikasi yang mengancam jiwa 2917 TETAI\US

TERAPI

Strategi terapi melibatkan tiga prinsip penatalaksanaan: organisme yang


tedapat dalam tubuh hendaknya dihancurkan untuk mencegah pelepasan toksi
lebih lanjut; toksin yang terdapat dalam tubuh, di luar sistem sarafpusat
hendaknya dinetralisasi; dan efek dari toksin yang telah terikat pada sistem saraf
pusat diminimisasi.
Penatalaksanaan Umum

Pasien hendaknya ditempatkan di ruangan yang tenang di ICU, di mana


observasi dan pemantauan kardiopulmoner dapat dilakukan secara terus-menerus,
sedangkan stimulasi diminimalisasi. Perlindungan terhadap jalan nafas bersifat
vital. Luka hendaknya dieksplorasi, dibersihkan secara hati-hati dan dilakukan
debridemen secara menyeluruh.

Netralisasi dari Toksin yang Bebas

Antitoksin menurunkan mortalitas dengan menetralisasi toksin yang


beredar di sirkulasi dan toksin pada luka yang belum terikat, walaupun toksin
yang telah melekat pada jaringan saraf tidak terpengaruh. Immunoglobulin tetanus
manusia (TIG) merupakan pilihan utama dan hendaknya diberikan segera dengan
dosis 3000-6000 unit intramuskular, biasanya dengan dosis terbagi karena
volumenya besar. Dosis optimalnya belum diketahui, namun demikian beberapa
penelitian menunjukkan bahwa dosis sebesar 500 unit sama efektifnya dengan
dosis yang lebih tinggi. Imunoglobulin intravena merupakan alternatif lain
daripada TIG tapi konsentrasi antitoksin spesifft dalam formulasi ini belum
distandansasi. Paling baik memberikan antitoksin sebelum memanipulasi luka.
Manfaat memberikan antitoksin pada msisi proksimal luka atau dengan
menginfiltrasi luka belumlah jelas. Dosis tambahan tidak diperlukan karena waktu
paruh antitoksin yang panjang. Antibodi tidak dapat menembus sawar darahotak.
Pemberian antibodi intratekal masih merupakan eksperimen. Antitoksin tetanus
kuda tidak tersedia di Amerika Serikat, tapi masih dipergunakan di tempat lain.
Lebih murah dibanding antitoksin manusia, tapi waktu paruhnya lebih pendek dan
pemberiannya sering menimbulkan hipersensitifitas dan serum sickness
syndrome.

Menyingkirkan Sumber lnfeksi

Jika ada, luka yang nampak jelas hendaknya didebridemen secara bedah.
Walaupun manfaatnya belum terbukti, terapi antibiotik diberikan pada tetanus
untuk mengeradikasi selsel vegetataif, sabagi sumber toksin. Penggunaan penisilin
(10 sampai 12 jutaunit intravena setiap hari selama 10 hari) telah
direkomendasikan dan secara luas dipergunakan selama bertahun-tahun, tetapi
merupakan antagonis GABA dan berkaitan dengan konvulsi. Metronidazol
mungkin merupakan antibiotik pilihan. Metronidazol (500 mgtiap 6 jam atau 1
grtiap 12 jam) digunakan olehbeberapa ahli berdasarkan aktivitas antimikrobial
metronidazol yang bagus Metronidazole aman dan pada penelitian yang
membadingkan dengan penisilin menunjukkan angka harapan hidup yang lebih
tinggi dibandingkan dengan penisilin karena metronidazol tidak menunjukkan
aktivitas antagonis terhadap GABA seperti yang ditunjukkan oleh penisilin.
Eritromisin,tetrasiklin, kloramfenikol dan klindamisin dapat diterima sebagai
altematif, apabila pasien alergi terhadap penisilin.

Pengendalian Rigiditas dan Spasme

Banyak obat yang telah dipergunakan sebagai obat tunggal maupun


kombinasi untuk mengobati sapsme otot pada tetanus yang nyeri dan dapat
mengancam respirasi karena menyebabkan laringospasme atau konstraksi secara
terus-menerus otot-otot pernafasan. Regimen yang ideal adalah regimen yatg
dapat menekan aktivitas spasmodik tanpa menyebabkan sedasi berlebihan dan
hipoventilasi' Harus dihindari stimulasi yang tidak perlu, tetapi terapi utamanya
adalah sedasi dengan menggunakan benzodiazepin. Benzodiazepin memperkuat
agonisme GABA dengan menghambat inhibitor endogen pada reseptor GABAA.
Diazepam dapat diberikan melalui rute yang bervariasi, murah dan dipergunakan
secara luas, tapi metabolit kerj a panj angnya (oksazepam dan desmetildiazepam)
dapat terakumulai dan berakibat koma berkepanjangan. Telah dilaporkan
penggunaan dosis setinggi 100 mg per jam. Pilihan yang lain adalah lorazepam
dengan durasi aksi yang lebih lama dan midazoloam dengan waktu paruh yang
lebih singkat. Midazolam telah dipakai dengan akumulasi yang lebih ringan.
Sebagai sedasi tambahan dapat diberikan antikonvulsan, terutama fenobarbiton
yang lebih jauh memperkuat aktivitas GABAergik dan fenothiazin, biasanya
klorpromazin. Barbiturat dan klorpromaszin ini merupakan obat lini kedua.
Propozol telah dipergunakan sebagai sedasi dengan pemulihan yang cepat setelah
infus distop. Apabila sedasi saja tidak adekuat, paralisis teraputik dengan agen
pemblokade neuromuskuler dan ventilasi mekanik tekanan positif intermitten
mungkin dibutuhkan untuk jangka panjang. Namun demikian dapat terjadi
paralisis berkepanjangan setelah obat dihentikan dan kebutuhan pasien akan
paralisis berkesinambungan dan terj adinya komplikasi hendaknya dinilai terus-
menerus tiap hari. Secara tradisional, agen kerja panjang, pankuronium telah
dipergunakan. Namun demikian pankuronium menghambat pengambilan kembali
katekolamin dan dapat memperberat instabilitas otonomik pada tetanus berat.
Terdapat laporan terbatas tentang bertambah parahnya hipertensi dan takikardia
yang berkaitan dengan penggunaannya. Tetapi Dance melaporkan tidak terdapat
perbedaan dalam hal komplikasi pada mereka yang diterapi dengan pankuronium
apablla dibandingan dengan obat penghambat neuromuskular yang lain.
Vekuronium bebas dari efek samping kardiovaskular dan pelepasan histamin
tetapi secara relative bersifat kerja singkat. Telah dilaporkan penggunaan infus
atrakurium pada tetanus selama 71 hari. Pada pasien ini, dengan fungsi ginjal dan
liver yang normal, tidak terdapat akumulasi laudanosin, metabolit epilepto genik
dari atrakurium. Obat-obatan kerj a panj ang dipilih karena penggunaannya
mungkin dengan cara bolus intermiten daripada pemberian infus. Penggunaan
jangka panjang obat pemblokade neuromuskular aminosteroid (Vekuronium,
pankuronium, rekuronium) tarutama melalui infus berkaitan dengan neuropati dan
myopati kondisi kntis, tatapi hal ini belum dilaporkan terjadi pada pasien tetanus.
Di antara obat-obat baru, pipekuronium dan rokuronium merupakan obat kerja
panjang yang 'bersih" tapi mahal. Masing-masing obat ini belum dibandingkan
dalam uji klinis random. Penggunaan dantrolen unfuk mengontrol spasme yang
refrakter telah dilaporkan pada satu kasus. Obat-obat penghambat neuromuskular
tidak diperlukan setelah pemberian dantrolenn, spasme paroksismal berhenti dan
kondisi pasien membaik. Sebagai alternatif lain adalah propofol yang mahal dan
baklofen intratekal, yang sedang diteliti dengan harapan dapat memperpendek
periode paralisis teraputik. Sedasi dengan propafol telah diperbolehkan untuk
mengontrol spasme dan rigiditas tanpa penggunaan obat-obatan penghambat
neuromuskular. Pemeriksaan EMG dan fungsi neuromuskular selama bolus
propofol menunjukkan penurunan sebesar 80 % dalam aktivitas EMG tanpa
perubahan fungsi pada hubungan neuromuskular. Namun demikian, kadar obat
lebih dekat ke konsentrasi anestetik daripada konsenhasi sedatif dan ventilasi
mekanik mungkin dibutuhkan. Baklofen intrathekal (suatu agonis GABA") telah
dilaporkan pada sedikit kasus dengan tingkat keberhasilan yang bervariasi.
Dosisnya berkisar 500 sampai 2000 ug per hari, diberikan sebagai bolus atau
infus. Dosis dan bolus yang lebih besar berkaitan dengan efek samping yang lebih
banyak. Pada semua laporan, sejumlah bermakna pasien mengalami koma dan
depresi pernafasan yang membutuhkan ventilasi. Pada beberapa kasus, efek
samping bersifat reversibel dengan antagonis GABAA, flumazenil, tapi tidak
reliabel untuk diterapkan. Teknik peneraparmya bersifat invasif, mahal dan
fasilitas untuk ventilasi buatan harus tersedia segera. Suksinilkolin merupakan
alternatif, namun berkaitan dengan hiperkalemia. Pemberian magnesium sulfat
membutuhkan pemantauan neurologis (refleks patella) dan fungsi pernafasan serta
pengukuran kadar magnesium serum tiap hari.

Penatalaksanaan Respirasi

Intubasi atau trakeostomi dengan atau tanpa ventilasi mekanik mungkin


dibutuhkan pada hipoventilasi yang berkaitan dengan sedasi berlebihan atau
laringospasme atau untuk menghindari aspirasi oleh pasien dengan trismus,
gangguan kemampuan menelan atau disfagia. Kebutuhan akan prosedur ini harus
diantisipasi dan diterapkan secara elektifdan secara dini.

Pengendalian Disfungsi Otonomik

Banyak pendekatan yang berbeda dalam terapi disfungsi otonomik telah


dilaporkan. Sebagian besar dipresentasikan sebagai laporan kasus pada sejumlah
kecil kasus. Penelitian terkontrol dan komparatif masih jarang. Secara umum,
hasil yang terdapat masih lebih banyak berupa data hemodinamik daripada
kelangsungan hidup dan morbiditas. Sampai sejauh ini terapi optimal untuk
overaktivitas simpatis belum ditetapkan. Metode non farmakologis untuk
mencegah instabilitas otonomik didasarkan pada pemberian cairan sebanyak 8
l/hari. Sedasi sering merupakan terapi pertama. Benzodiazepin, atinkonr,ulsan dan
terutama morfin sering dipergunakan. Morfin terutama bermanfaat karena
stabilitas kardiovaskuler dapat terjadi tanpa gangguan jantung. Dosisnya berp a-
iasi attara20 sampai 1 80 mg per hari. Mekanisme aksi yang dipertimbangkan
adalah penggantian opioid endogen, pengurangan aktifitas refleks simpatis dan
pelepasan histamin. Fenothiazin, terutama, klorpromazin merupakan sedatif yang
berguna, antikolinergik dan antagonis a adrenergik dapat berperan terhadap
stabilitas kardiovaskular. Pada awalnya, obat-obatan pemblokade adrenergik B,
seperti propanolol dipergunakan untuk mengontrol episode hipertensi dan
takikardia, tapi hipotensi berat, edema paru berat dan kematian mendadak terjadi.
Labetolol, yang berefek kombinasi blokade adrenergik o, dan B juga telah
dipergunakan, tetapi tidak menunjukkan keuntungan apabila dibandingkan dengan
propanolol (mungkin karena aktivitas cr nya jauh lebih rendah daripada aktivitas I
nya) dan mortalitasnya tetap tinggi, serta dilaporkan menyebabkan kematian
mendadak. Pada tahuntahun terkini, obat kerja singkat, seperti esmolol telah
dipergunakan secara sukses, terutama pada kondisi hipertensi yang sangat berat.
Walaupun stabilitas kardiovaskular yang baik tercapai, konsentrasi katekolamin
arterial tetaplah tinggi. Kematian mendadak akibat henti jantung merupakan
karakteristik dari tetanus berat. Penyebabnya masih belum jelas, tapi penjelasan
yang dapat dipercaya mencakup mendadak hilangnya pacuan simpatis, kerusakan
jantung yang diinduksi oleh katekolamin, dan meningkatnya tonus parasimpatik
atau suatu 'badai". Blokade beta yang menentap dapat memicu penyebab-
penyebeb henti jantung ini karena aktivitas inotropik negatifatau aktivitas
vasokonstriksi tanpa hambatan yang menyebabkan gagal jantung akut, terutama
karena krisis simpatetik berkaitan dengan resistensi vaskular sistemik dan curah
jantung yang rendah atau normal. Penggunaan obat pemblokade adrenergik B saja
bersamaan dengan obat-obatan kerja panjang oleh karena itu tidak dapat
direkomendasikan. Obat-obatan pemblokade adrenergik u darr post ganglionik
seperti nethanidin, guanetidin dan fentolamin telah sukses dipergunakan dengan
propanolol bersama dengan obat-obatan lain yang mirip seperti trimetafan,
fenoksibenzamin, dan reserpin. Kerugian penggunaan kelompok obat ini adalah
bahwa hipotensi yang terinduksi mungkin sulit diatasi, takifilaksis terjadi, dan
lepas obat akan menyebabkan teqadinya hipertensi. Telah dilaporkan keberhasilan
penatalaksaan gangguan ototnomik dengan menggunakan atropin i.v. Dosis
mencapai 100 mg per jam dipergunakan pada 4 pasien. Penulis berargumentasi
bahwa tetanus merupakan penyakit dengan katekolamin berlebihan. Ia
berpendapat bahwa dosis yang amat tinggi ini, tidak hanya berakibat blokade
muskarinik, tapi juga nikotinik, sedasi sentral dan bahkan blokade neuromuskuler.
Blokade sistem saraf parasimpatis dilaporkan menurunkan sekresi dan keringat.
Agonis adrenergik u, klonidin telah dipergunakan secara parenteral dan oral
dengan keberhasilan yang bervariasi. Dengan bekerja secara sentral, ia
mengurangi pacuan simpatis, sehingga mengurangi tekanan artetial, frekuensi
denyut jantung dan pelepasan katekolamin dari medulla adrenal. Di perifer,
klonidin menghambat perlepasan norepinefrin dari ujung saraf pre-j unctional.
Pengaruh lain yang bermanfat mencakup anxiolisis dan sedasi yang tampak nyata.
Dua kasus dilaporkan menunjukkan hasil yang sebaliknya, satu dengan
pengendalian yang baik, satu dengan tanpa perbaikan dari instablilitas
hemodinamik. Gregokaros menggunakan klonidin i v 2 ug/kg tds dalam l7 - 27
pasienyang diterapi selama l2 tahun. Kelompok randomisasi yang mendapatkan
klonidin menunjukkan mortalitas yang lebih rendah secara bermakna apabila
dibandingkan dengan yang mendapatkan terapi konvensional. Pemberian
magnesium sulfat parenteral dan anestesia spinal atau epidural telah diterapkan,
namun pemberian dan monitornya sulit. Bupivakain epidural dan spinal teiah
dipergunakan untuk mengurangi instabilitas kardiovaskuler. Namun demikian
infus katekolamin diperlukan untuk mempertahankan tekanan arterial yang
adekuat. Magnesium sulfat telah dipergunakan untuk baik pada pasien yang
terpasang ventilator maupun tidak untuk mengontrol spasme. Magnesium
merupakan pemblokade neuromuskuler pre-sinaptik, yang memblokade pelepasan
katekolamin dari saraf dan medulla adrenal, mengurangi responsivitas reseptor
terhadap katekolamin yang terlepas, dan merupakan antikonvulsan sekaligus
vasodilator. Magnesium merupakan antagonis kalsium di myokardium dan pada
hubungan neuromuskuler dan menghambat perlepasan hormon paratiroid
sehingga mengakibatkan penurunan kadar kalsium senrm. Pada keadaan
overdosis, dapat menyebabkan paralisis dan kelemahan dengan sedasi sentral,
walaupun sedasi sentral ini rnasih bersifat kontroversial. Hipotensi dan
bradiaritmia dapat terjadi. Oleh karena itu, penting untuk mempertahankan kadar
magnesium ini dalam rentang terapi. Pada laporan oleh James dan Manson, pasien
dengan tetanus berat diteliti dan ditemukan bahwa magnesium sama tidak adekuat
sebagai sedatif dan relaksan, tetapi merupakan obat tambahan yang efektif untuk
mengontrol gangguan ototnomik. Konsentrasinya dalam serum sulit untuk
diprediksi dan diperlukan monitor kadar magnesium dan kalsium secara teratur.
Kelemahan otot nampak jelas dan ventilasi dibutuhkan pada semua kasus.
Attygalle dan Rodrigo meneliti pasien-pasien pada stadium awal penyakit,
walaupun pada akhirnya semua menjadi berat dan menjalani trakeostomi. Mereka
mempergunakan dosis magnesium yang sama dalam rangka mencoba
menghindari sedasi dan penggunaan ventilator takanan positif. Mereka
melaporkan pengendalian spasme dan rigiditas secara sukses. Konsentrasi
magnesium dalam darah dapat diprediksi dan dipertahankan dalam rentang terapi
dengan menggunakan tanda klinis berupa refleks tendon patella. Pada kedua
penelitian ini, tidak iiidapatinya hipoteqsi dan bradikardia merupakan penemuan
yang berlawanan dibandingkan dengan penelitian yang menggunakan beta bloker.
Keduapeneliti ini sepakatbahwa volume tidal dan kemampuan untuk batuk
terganggu dan sekresi meningkat. Bantuan ventilasi harus segera tersedia.
Dibutuhkan lebih banyak penelitian tentang peranan magnesium berkaitan dengan
efek fisiologisnya terhadap fungsi neuromuskuler pada keadaan tetanus maupun
mengetahui peranannya, jika ada dalam penatalaksaan rutin tetanus berat.
Beberapa macam obat potensial untuk dipergunakan pada masa yang akan datang.
Natrium Valproat memblokade GABA-aminotransferase, sehingga menghambat
katabolisme GABA. Pada penelitiarr terhadap hewan, Natrium Valproat
menghambat efek klinis dari toksin tetanus. ACE inhibitor mungkin memebantu
menhambat sistesis angiotensin II , yang meningkatkan sistensis norepinefrin dan
perlepasannya dari ujung saraf. Deksmetodimid, agonis a 2 adretergik yang lebih
poten daripada klonidin, rnungkin juga mempunyai efek dalam menurunkan
aktivitas simpati yang berlebihan. Yang terakhir, adenosin, vang menurunkan
perlepasan norepinefrin presinaptik dan melawan efek inotropik dari katekolamin,
bersifat potensial secara teoritis. Sampai saat ini penggunaannya pada kondisi
tetanus belum didiskusikan. Hipotensi dan bradikardia mungkin memerlukan
ekspansi volume, penggunaan vasopresor atau agen kronotropik atau insersi p ace
maker.

Penatalaksaan lntensif Suportif

Turunnya berat badan umum terjadi pada tetanus. Faktor yang ikut
menjadi penyebabnya mencakup ketidakmampuan untuk menelan, meningkatnya
laju metabolisme akibat pireksia dan aktivitas muskular dan masa kritis yang
berkepanjangan. Oleh karena itu, nutrisi hendaknya diberikan seawal mungkin.
Nutrisi enteral berkaitan dengan insidensi komplikasi yang rendah dan lebih
murah daripada nutrisi parenteral. Gastrostomi perkutaneus dapat menghindari
komplikasi berkaitan dengan pemberian makanan melalui tube nasogastrik, dan
mudah sekali dilakukan di ICU di bawah sedasi. Komplikasi infeksi akibat masa
kritis berkepanjangan mencakup pneumonia berkaitan dengan ventilator umum
terjadi pada tetanus. Melindungi jalan nafas pada tahap awal penyakit dan
mencegah aspirasi dan sepsis merupakan langkah logis untuk mengurangi resiko
ini. Ventilasi buatan sering diperlukan selama beberapa minggu, trakeostomi
biasanya dilakukan setelah intubasi. Metode dilatasi perkutaneus tampanya sesuai
pada pasien tetanus. Prosedur yang dapat dilakukan langsung di bed pasien ini
menghindari transfer pasien ke dan dari kamar operasi dengan resiko memicu
instabilitas otonomik. Pencegahan komplikasi respirasi mencakup perawatan
mulut secara cermat, fisioterapi dada, penghisapan trakheal secara teratur,
terutama karena salivasi dan ekskresi bronkhial sangat meningkat. Sedasi yang
adekuat penting sebelum melakukan intervensi pada pasein dengan resiko spasme
yang tidak terkontrol dan gangguan otonomik dan keseimbangan antara fisioterapi
dan sedasi mungkin sulit dicapai. Tindakan penting dalam penatalaksanaan rutin
pasien dengan tetanus, seperli halnya pasien kritisjangka panjang lain adalah
dengan profilaksis terhadap tromboembolisme, perdarahan gastrointestinal dan
dekubitus. Pentingnya bantuan psikologis hendaknya tidak diabaikan.
Penatalaksanaan Lain

Penatalaksanaan lain meliputi hidrasi, untuk mengontrol kehilangan cairan


yang tak nampak dan kehilangan cairan yang lain,yang mungkin signihkan;
kecukupan kebutuhan giziyang meningkat dengan pemberian enteral maupun
parenteral; fisioterapi untuk mencegah kontraktur; dan pemberian heparin dan
antikoagulan yang lain untuk mencegah emboli paru. Fungsi ginjal, kandung
kemih dan saluran cema hanrs dimonitor. Perdarahan gastrointestinal dan ulkus
dekubitus harus dicegah dan infeksi sekunder harus diatasi.

Vaksinasi

Pasien yang sembuh dari tetanus hendaknya secara aktif diimunisasi


karena imunitas tidak diinduksi oleh toksin dalam jumlah kecil yang
menyebabkan tetanus.

Farmakologi Obat-obatan yang Biasa Dipakai pada Tetanus

Diazepam. Dipergunakan sebagai terapi spasme tetanik dan kejang tetanik.


Mendepresi semua tingkatan sistem saraf pusat, termasuk bentukan limbik dan
retikular, mungkin dengan meningkatkan aktivitas GABA, suatu neurotransmiter
inhibitori utama. .

 Dosis dewasa: Spasme ringan: 5-10 mg oral tiap 4-6 jam apabila perlu
Spasme sedang: 5-10 mg i.v apabila perlu Spasme berat: 50-100 mg dalam
500 ml D5, diinfuskan 40 mgperjam .
 Dosis pediatrik: Spasme ringan: 0,1-0,8 mg/kglhari dalam dosis terbagi
tiga kali atau empat kali sehari. Spasme sedang sampai berat: 0,1-0,3
mg/kglhari i.v tiap 4 sampai 8 jam .
 Kontraindikasi: Hipersensitivitas, glaukoma sudut semprt. .
 Interaksi: Toksisitas benzodiazepin pada sistem saraf pusat meningkat
apabila dipergunakan bersamaan dengan alkohol, fenothiazin, barbiturat,
dan MAOI; cisapride dapat meningkatkan kadar diazepam secara
bermakna. .
 Kehamilan: KriteriaD-tidak aman pada kehamilan .
 Perhatian: Hati-hati pada pasien yang mendapatkan depresan sistem saraf
pusat yang lain, pasien dengan kadar albumin yang rendah atau gagal hati
karena, toksisitas diazepam dapat meningkat.

Fenobarbital. Dosis obat harus sedemikian rendah sehingga tidak menyebabkan


depresi pernafasan. Jika pada pasien terpasang ventilator, dosis yang lebih tinggi
diperlukan untuk mendapatkan efek sedasi yang diinginkan. .
 Dosis dewasa: I mg/kg lm tiap 4-6 jam, tidak melebihi 400mg/hari .
 Dosis pediatrik: 5 mgkg i.v/i.m dosis terbagi 3 atat 4 hari hari.
 Kontraindikasi: Hipersensitifi tas, gangguan fungsi hati, penyakit paru-
pam berat, dan pasien nefritis. .
 Interaksi: dapat menurunkan efek kloranfenikol, di gitoksin, kortiko steroi
d, karb amazepin, teofilin, verapamil, metronidazol, dan antikoagulan
(pasien yang telah mendapatkan antikoagulan harus ada penyesuaian
dosis; pemberian bersamaan dengan alkohol dapat menyebabkan efek
aditif ke sistem saraf pusat dan kematian; kloramfenikol, asam valproat,
dan MAOi dapat menyebabkan meningkatnya toksisitas fenobarbital:
rifampisin dapat menurunkan efek fenobarbital; induksi enzim mikrosomal
dapat menurunkan efek kontrasepsi oral pada wanita. .
 Kehamilan: KriteriaD-tidak aman pada kehamilan .
 Perhatian: Pada terapi jangkapanjang, monitor fungsi hati, ginjal dan
sistem hematopoitik; hati-hati pada demam, diabetes mellitus, anemia
berat, karena efek samping dapat terjadi; hati-hati pada miastenia gravis
danmiksedema.

Baklofen. Baklofen intratekal, relaksan otot kerja sentral telah dipergunakan


secara eksperimental untuk melepaskan pasien dari ventilator dan untuk
menghentikan infus diazepam. Baklofen intra thekal 600 kali lebih poten daripada
Baklofen per oral. Injeksi intratekal berulang bermanfaat untuk mengurangu
durasi ventilasi buatan dan mencegah intubasi. Mungkin berperan dengan
menginduksi hiperpolarisasi dari ujung aferen dan menghambat refleks
monosinaptik dan polisinaptik pada tingkat spinal. Keseluruhan dosis Baklofen
diberikan sebagai bolus injeksi. Dosis dapat diulang setelah 12 jam atau lebih
apabila spasme paroksismal kembali terjadi. Pemberian Baklofen secara terus-
menerus telah dilaporkan pada sejumlah keccil pasien tetanus .

 Dosis dewasa:< 55 th : 100 mcg IT > 55 th : 800 mcg IT .


 Dosis pediatrik: 16 th: seperti dosis dewasa .
 Kontraindikasi:Hipersensitihtas .
 Interaksi : Analgesik opiat, benzodiazepit, alkohol, TCAs, Guanabens,
MAOI, klindamisin, dan obat anti hipertensi dapat meningkatkan efek
Baklofen. .
 Kehamilan: C-Keamanan penggunaannya pada wanita hamil belum
diketahui. .
 Perhatian: Hati-hati pada pasien dengan disrefleksia otonomik.

Dantrolen. Dantrolen menstimulasi relaksasi otot dengan memodulasi konstraksi


otot pada derah setelah hubungan myoneural dan dengan aksi langsungnya pada
otot. Belum disetujui oleh FDA untuk dipergunakan pada tetanus tetapi telah
dilaporkan pada sejumlah kecil kasus. .

 Dosis dewasa: 1 mgkg i v selama 3 jam, diulang tiap 4-6 jam apabila
perlu. .
 Dosis pediatrik: 0,5 mg/kg i.v dua kali sehari pada permulaan, dapat
ditingkatkan sampai 0,5 mg,4< 8 tahun: tidak direkomendasikan < 45 kg:
4,4 mglkglhr oral/i.v dosis terbagi > 45 kg: sama seperti dosis dewasa .
 Kontraindikasi: hipersensitifitas, disfungsi hatiberat . Interaksi:
Bioavailabilitas menurun dengan antasida yang mengandung alumunium,
kalsium, besi, atau subsalisilat bismuth, tetrasiklin dapat meningkatkan
efek hipoprotrombinemik dari antikoagulan .
 Kehamilan: Kriteria D-tidak aman dipergunakan pada kehamilan .
 Perhatian: Fotosensitifitas dapat terjadi pada paparan jangka lama terhadap
sinar matahari, dosis hendaknya dikurangi pada gangguan ginjal, perlu
dipertimbangkan untuk memeriksa kadar obat dalam serum pada
pemakaian jangka panjang, penggunaan selama masa pembentukan gigi
(separuh masa kehamilan terakhir sampai usia 8 tahun dapat menyebabkan
perubahan warna gigi secara peflnanen.

Penisilin G. Berperan dengan mengganggu pembentukan polipeptida dinding otot


selama multiplikasi aktif, menghasilkan aktivitas bekterisidal terhadap
mikroorganisme yang rentan. Diperlukan terapi selama 10-14 hari. Dosis besar
penisilin i.v dapat menyebabkan anemia hemolitik, dan neurotoksisitas. Henti
jantung telah dilaporkan pada pasien yang mendapatkan dosis masif penisilin G. .

 Dosis dewasa: 10-24 juta unit /hari i.v terbagi dalam 4 dosis .
 Dosis pediatrik: 100.000-250.000 UkgAan i.vii rn dosis terbagi4kalihai .
 Kontraindikasi:hipersensitivitas .
 Kehamilan : Kriteria B-biasanya aman, tapi dipergunakan apabila
manfaatnya melebihi resiko yang mungkinterjadi .
 Perhatian: Hati-hati pada gangguan fungsi ginjal

Metronidazol aktif melawan bakteri anaerob dan protozoa. Dapat diabsorpsi ke


dalam sel dan senyawa termetabolisme sebagian yang terbentuk mengikat DNA
dan menghambat sintesis protein, yang menyebabkan kematian sel.
Direkomendasikan terapi selama l0-14 hari. Beberapa ahli merekomendasikan
metronidazol sebagai antibiotika pada terapi tetanus karena penisilin G juga
merupakan agonis GABA yang dapat memperkuat efek toksin. .

 Dosis dewasa: 500 mg per oral tiap 6 jam atau I g i.v tiap 12 jam, tidak
lebih dari4 glhai .
 Dosis pediatrik: l5-30 mg/kgBB,&rari i.v terbagi tiap 8-12 jam tidak lebih
dari 2 g,/hari .
 Kontraindikasi: Hipersensitifitas, trimester pertama kehamilan .
 Kehamilan: Kriteria B-biasanya aman, tapi dipergunakan apabila
manfaatnya melebihi resiko yang mungkinterjadi .
 Perhatian: penyesuain dosis pada penyakit hati, pemantauan kejang dan
neuropati perifer.

Doksisiklin. Menghambat sintesis protein dan pertubuhan bakteri dengan


pengikatan pada sub unit 30s atau 50s ribosomal dari bakteri yang rentan.
Direkomendasikan terapi selama l0-14 hari. .

 Dosis dewasa: 100 mgper oralliv tiap 12 jam .


 Dosis pediatrik: < 8 tahun: tidak direkomendasikan < 45 kg: 4,4 mglkglhr
oral/i.v dosis terbagi > 45 kg: sama seperti dosis dewasa .
 Kontraindikasi: hipersensitifitas, disfungsi hatiberat .
 Interaksi: Bioavailabilitas menurun dengan antasida yang mengandung
alumunium, kalsium, besi, atau subsalisilat bismuth, tetrasiklin dapat
meningkatkan efek hipoprotrombinemik dari antikoagulan .
 Kehamilan: Kriteria D-tidak aman dipergunakan pada kehamilan .
Perhatian: Fotosensitifitas dapat terjadi pada paparan jangka lama terhadap
sinar matahari, dosis hendaknya dikurangi pada gangguan ginjal, perlu
dipertimbangkan untuk memeriksa kadar obat dalam serum pada
pemakaian jangka panjang, penggunaan selama masa pembentukan gigi
(separuh masa kehamilan terakhir sampai usia 8 tahun dapat menyebabkan
perubahan warna gigi secara permanen.

Vekuronium. Merupakan agen pemblokade neuromuskular prototipik yang


menyebabkan terjadinya paralisis muskuler. Unhrk mempertahankan paralisis,
infus secara terus-menerus dapat diterapkan. Bayi lebih bersifat sensitif terhadap
aktivitas blokade neuromuskular, dan walalupun dosis yang sama dipergunakan,
pemulihan lebih lama pada 50o% kasus. Tidak direkomendasikan pada neonatus. .

 Dosis dewasa: 0,08-0,1 mg/kg iv, dapat dikurangi menjadi 0,05 mg/kg
apabilapasien telah diterapi dengan suksinilkolin.
 Dosis pemeliharaan untukparalisis: 0,025- 0,1 mg/kg/hari i v, dapat
dititrasi. .
 Dosis pediatrik: 7 minggu-l tahun: 0,08-1 mglkg/dosis diikuti dengan dosis
pemeliharaan sebesar 0,05-0,1 mg/ kg tiapl jam apabila perlul-10 tahun:
Mungkin membutuhkan dosis awal yang besar dan suplementasi yang
lebih sering >10 tahun: seperti dosis dewasa] .
 Kontraindikasi: Hipersensitifitas, miastenia gravis, dan sindroma yang
berkaitan .
 Interaksi : Apabila vekuronium dipergunakan bersama dengan anestesi
inhalasi, blokade neuromuskuler diperkuat, gagal hati dan gagal ginj al
serta penggunaan steroid secara bersamaa dapat menyebabkan blokade
berkepanjangan walaupun obat telah distop . Kehamilan: Kriteria C-
keamanan penggunaan pada kehamilan belum diketahui .
 Perhatian:Pada miastenia gravis atau sindoma miastenik, dosis kecil
vekuronium mungkin akan menberikan efek yang kuat.

PENCEGAHAN

Imunisasi Aktif

Imunisasi dengan tetanus toksoid yang diabsorbsi merupakan tindakan


pencegahan yang paling efektifdalam praktek. Angka kegagalan dari tindakan ini
sangat rendah. Sejak dikenalkannya imunisasi di Israel, insidensi tahunan tetanus
berkurang dari 2/100000 pada tahun 1950 menjadi 0,1/100000 pada tahun 1988.
Seperli halnya di Amerika Serikat, semua kasus tetanus yang dilaporkan terjadi
pada individu yang lidak diimunisasi. Titer protektif dari antibodi tetanus adalah
0,01 U/ml. Walaupun demikian tetanus dapat terjadi pada individu yang telah
diimunisasi, diperkirakan mencapai 4 per 100 juta individu yang imunokompeten.
Mekanisme terjadinya kegagalan imunisasi ini masih belum jelas. Beberapa teori
mencakup beban toksin yang melebihi kemampuan pertahanan imunitas pasien,
variabilitas antigenik antara toksin dan toksoid dan supresi selektif dari respons
imun. Semua individu dewasa yang imun secara parsial atau tidak sama sekali
hendaknya mendapatkan vaksin tetanus, seperti halnya pasien yang sembuh dari
tetanus. Serial vaksinasi untuk dewasa terdiri atas tiga dosis: dosis pertama dan
kedua diberikan dengan jarak4-8 minggu dan dosis ketiga diberikan 6 sampai 12
bulan setelah dosis pertama. Dosis ulangan diberikan tiap 10 tahun dan dapat
diberikan pada usia dekade pertengahan seperti 35,45 dan seterusnya.l Namun
demikian pemberian vaksin lebih dari 5 kali tidak diperlukan Untuk individu di
atas 7 tahun toksoid kombinasi tetanus dan difteri (Td) yang diadsorpsi, lebih
dipilih. Vaksin yang diadsorpsi lebih disukai karena menghasilkan titer antibodi
yang lebih menetap daripada vaksin cair.

Penatalaksanaan Luka

Penatalaksanaan luka yang baik membutuhkan perlimbangan akan


perlunya: 1) Imunisasi pasif dengan TIG dan 2) Imunisasi aktif dengan vaksin,
terutama Td untuk individu usia di atas 7 tahun. Dosis TIG sebagai imunisasi
pasifpada individu dengan luka derajat sedang adalah 250 unit intramuskuler yar,g
menghasilkan kadar antibodi serumprotektifpaling sedikit4 sampai 6 minggu;
dosis yang tepat untuk TAI, suatu produk yang berasal dari kuda adalah 3000
sampai 6000 unit. Vaksin dan TAI hendaknya diberikan pada tempat yang
terpisah dengan spuit injeksi yang berbeda.
Tetanus Neonatorum

Penatalaksanaan yang dimaksudkan untuk mencegah tetanus neonatorum


mencakup vaksinasi matemal, bahkan selama kehamilan; upaya untuk
meningkatkan proporsi kelahiran yang dilakukan di rumah sakit dan pelatihan
penolong kelahiran non medis.

PROGNOSIS

Penerapan metode untuk monitoring dan oksigenasi suportif telah secara


nyata memperbaiki prognosis tetanus. Angka fatalitas kasus dan penyebab
kematian bervariasi secara dramatis tergantung pada fasilitas yang tersedia.
Trujillo dkk melaporkan penurunan mortalitas dari 44%oke l5%o setelah adanya
penatalaksanaan ICU. Di negara-negara sedang berkembang, tanpa fasilitas untuk
perawatan intensifjangka panjang dan bantuan ventilasi, kematian akibat tetanus
berat mencapai lebih dari 50% dengan obstruksi jalan napas, gagal napfas dan
gagal ginjal merupakan penyebab utama. Mortalitas sebesar 100% dianggal
merupakan target yang dapat dicapai oleh negaranegara maju. Di Amerika Serikat
pada p eiode 1995-1991 dan 1998-2000 angka fatalitas kasus berturut-furut ll%
dan 160/o. Pada periode kedua terdapat 20 kematian di antara 7 I 3 kasus yang
diketahui hasil akhirnya (total 1 3 0 kasus). Perawatan intensif modern hendaknya
dapat mencegah kematian kaibat gagal nafas akut, tetapi sebagai akibatnya, pada
kasus yang berat, gangguan ototnomik menjadi lebih nampak. Trujillo
melaporkan bahwa 40%o kematian setelah adanya perawatan intensif adalah
akibat TET]ANUS 2923 henti jantung mendadak dar. 15o/o akibat komplikasi
respirasi. Sebelum adanya ICU, 80% kematian terjadi akibat gagal napas akut
yang terjadi awal. Komplikasi penting akibat perawatan di Icu meliputi infeksi
nosokomial, terutama pneumonia berkaitan dengan ventilator, sepsis generalisata,
tromboembolisme, dan perdarahan gastrointestinal. Mortalitas bervariasi
berdasarkan usia pasien. Prognosis buruk pada usia tua, pada neonatus dan pada
pasien dengan periode inkubasi yang pendek, interval yang pendek antara onset
gejala sampai tiba di RS. DI USA mortalitas pada pasien dewasa di bawah 30
tahun hampir 0, tetapi pada pasien di atas 60 tahun mencapai 52o/r. DiPofiigis,
antartahun 1986 sampaitahun 1990, mortalitas untuk semua umur bervariasi
antara32 sampai 59%. Di Afrika, morlalitas pada tetanus neonatorum tanta
ventilasi buatan dilaporkan 82o/opadatahun 1960 dan 63-79% pada tahun 1991 .
Dengan ketersediaan ventilasi buatan, morlalitas ny a dapat serendah I lo/o tetapi
penulis yang lain melporkan mortalitas yan gmencapai 40Yo. Mortalitas dan
prognosis juga tergantung pada status vaksinasi sebelumnya. Tetanus yang berat
umumnya membutuhkan perawatan ICU sampai 3-5 minggu, pasien mungkin
membutuhkan bantuan ventilasi j angka panj ang. Tonus yang meningkat dan
spasme minor dapat terjadi sampai berbulan-bulan, namun pemulihan dapat
diharapkan sempurna, kembali ke fungsi normalnya. Pada beberapa penelitian
pengamatan pada pasien yang selamat dari tetanus, sering drjumpai menetapnya
problem fisik dan psikologis.

KESIMPULAN

Tetanus merupakan penyakit yang jarang di Inggris, dan dapat dicegah


dengan vaksinasi. Tetanus tetap merupakan masalah kesehatan utama di dunia. Di
negara-negara maju, beberapa kasus terjadi tiap tahun pada pasien-pasien tua yang
tidak diimunisasi. Mortalitas pada kasus-kasus ini tetap tinggi. Penatalaksaan
intensif jangka panjang mungkin diperlukan, tetapi sebagian besar terapi
didasarkan pada bukti-bukti yang terbatas. Tantangan terapi utama adalah
pengendalian rigiditas dan spasme otot, terapi terhadap galgg:uarl ototnomik dan
pencegahan komplikasi berkaitan dengan masa kritis berkepanjangan. Pasien yang
selamat dari tetanus dapat kembali ke fungsi normalnya.

Anda mungkin juga menyukai