BAB I
PENDAHULUAN
Uveitis anterior merupakan peradangan iris dan bagian depan
badan siliar (pars plikata), kadang-kadang menyertai peradangan
bagian belakang bola mata, kornea, dan sklera. Penyebab uveitis
anterior dapat bersifat endogen maupun eksogen. Teori patologisnya
beragam, meliputi proses imunologik, komponen genetik, penyakit
infeksi mikroba, reaksi kompleks imun, reaksi toksik disebabkan oleh
tumbuhan dan obat-obatan, dan infeksi fokal, selama dekade terakhir
ini ditemukan penyebab baru uveitis anterior dan akibat tindakan
pembedahan dalam bola mata.1,2
Lebih dari 75% uveitis endogen tidak diketahui penyebabnya,
namun 37% kasus di antaranya ternyata merupakan reaksi
imunologik yang berkaitan dengan penyakit sistemik. Penyakit
sistemik yang berhubungan dengan uveitis anterior meliputi:
spondilitis ankilosa, sindroma Reiter, artritis psoriatika, penyakit
Crohn, kolitis ulserativa, dan penyakit Whipple.1,2
Gejala-gejala uveitis anterior meliputi: mata merah, fotofobia,
lakrimasi, rasa sakit, dan penglihatan kabur. Mata yang terkena
biasanya satu pihak, disertai dengan adanya flare dan sel di dalam
bilik mata depan; jarang dijumpai adanya hipopion. Variasi gejala
sering dijumpai, hal ini berhubungan dengan faktor penyebab.2,3
Dalam menentukan penyebab uveitis anterior, sering dijumpai
banyak kendala di Indonesia. Pemeriksaan cairan hasil parasentesis
dari bilik mata depan merupakan pemeriksaan yang lazim dikerjakan
untuk menegakkan diagnosis, namun hal tersebut masih sulit
diterima para pasien mengingat risiko tindakan juga tidak ringan.1,2,3
Penatalaksanaan pada uveitis anterior bertujuan untuk
mencegah kerusakan stuktur dan fungsi mata seperti sinekia anterior,
sinekia posterior, kerusakan pembuluh darah iris, katarak, glaukoma,
parut kornea, dan kekeruhan badan kaca.3,4,8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI MATA
Uvea merupakan lapisan vaskular di dalam bola mata yang
terdiri dari iris, korpus siliar, dan koroid. Bagian ini dilindungi oleh
kornea dan sklera. Uvea ikut memasok darah ke retina. Uvea dibagi
menjadi 2 bagian yaitu uvea anterior yang terdiri dari iris dan badan
siliar dan uvea posterior yaitu koroid. Dalam tinjauan pustaka ini
hanya dibahas mengenai uvea anterior saja.1,2
1. Iris
Iris adalah perpanjangan korpus siliare ke anterior. Iris berupa
permukaan pipih dengan apertura bulat di tengahnya yang disebut
dengan pupil. Iris terletak bersambungan dengan permukaan anterior
lensa, yang memisahkan kamera okuli anterior dan kamera okuli
posterior, yang masing-masing berisi humor aqueus. Di dalam stroma
iris terdapat sfingter dan otot-otot dilator.2
Secara histologis terdiri dari stroma yang jarang dan
diantaranya terdapat lekukan-lekukan di permukaan anterior yang
berjalan radier yang dinamakan kripta. Di dalam stroma terdapat sel
pigmen yang bercabang, banyak pembuluh darah dan serabut saraf.
Di permukaan anterior ditutupi oleh endotel, terkecuali pada kripta, di
mana pembuluh darah pada stroma dapat berhubungan langsung
dengan kamera okuli anterior. Di bagian posterior dilapisi oleh dua
lapisan epitel, yang merupakan lanjutan epitel pigmen retina. Warna
dari iris tergantung dari sel-sel pigmen yang bercabang yang terdapat
di dalam stroma yang jumlahnya dapat berubah-ubah dan juga epitel
pigmen yang jumlahnya tetap.1
Ada 2 otot yang ada di dalam iris antara lain otot sfingter pupil
(M. sphincter pupillae) yang berjalan sirkuler, yang terletak di dalam
dekat pupil dan dipersarafi oleh saraf parasimpatis (N. III), dan otot
dilatator pupil (M. dilatator pupillae) yang berjalan radier dari akar iris
ke pupil, terletak di bagian posterior stroma dan disarafi oleh saraf
simpatis.1
Pasokan darah ke iris berasal dari circulux major iris. Kapilerkapiler iris memiliki lapisan endotel yang tak berlubang sehingga
normalnya tidak membocorkan fluoresin yang disuntikkan secara
intravena. Persyarafan iris adalah melalui serat-serat nervus siliare.
Iris mengendalikan banyaknya cahaya yang masuk ke dalam mata.
Ukuran pupil pada prinsipnya ditentukan oleh keseimbangan antara
konstriksi akibat aktivitas parasimpatik yang dihantarkan melalui
nervus kranialis III dan dilatasi yang ditimbulkan oleh aktifitas
simpatik.2
Cahaya yang mengenai mata diterima oleh sel-sel batang dan
kerucut di retina, diteruskan oleh N. II ke kiasma optikum, radiasio
optika, setinggi korpus genikulatum lateral, serat pupilomotor
melepaskan diri ke brachium kolikulus superior, ke midbrain, komisura
posterior di daerah pretektalis, kemudian mengadakan semidikusasi
dan keduanya menuju ke nucleus Edinger Westphal di kedua sisi. Dari
sini keluar saraf eferen (saraf parasimpatis) yang memasuki N. III, ke
ganglion siliaris, serat saraf postganglioner melalui Nn. siliaris
brevis.1,2,3
2. Korpus Siliaris
Pada potongan melintang korpus siliare secara kasar berbentuk
cincin segitiga yang membentang ke depan dari ujung anterior
khoroid ke pangkal iris ( 6mm). Terdiri dari dua zona, yaitu zona
anterior dengan permukaan berjonjot lekuk dan menonjol yang
disebut dengan pars pikata ( 2mm), dan zona posterior yang datar
dengan permukaan licin disebut pars plana ( 4mm). Processus
siliaris ini berasal dari pars plikata. Processus siliaris ini terutama
terbentuk dari kapiler-kapiler dan vena yang bermuara ke vene-vena
vorteks. Kapiler-kapilernya besar dan berlobang-lobang sehingga
membocorkan fluoresin yang disuntikkan secara intravena. Ada dua
lapis epitel siliaris: satu lapisan tanpa pigmen di sebelah dalam, yang
merupakan perluasan neuroretina ke anterior, dan lapisan berpigmen
di sebelah luar, yang merupakan perluasan lapisan epitel pigmen
retina. Prosessus siliaris dan epitel siliaris pembungkusnya berfungsi
sebagai pembentuk humor aquaeus.2,3
Korpus siliaris mengandung otot polos yang tersusun
longitudinal, sirkular, dan radial. Otot-otot ini berfungsi untuk menarik
dan mengendorkan serabut zonula Zinni, yang menghasilkan
BACTERIAL/
VIRAL
SPIROCHETAL
Atypical
mycobacteria
Brucellosis
Cat scratch
disease
Leprosy
Leptospirosi
lovirus
Herpes
simplex
Herpes
zoster
Lyme
virus
Propionibact
erium
Human T
cell leukemia
disease
EpsteinBarr
Cytomega
Mumps
Syphilis
Rubeola
Tuberculosis
Vaccinia
Whipple's
HIV-1
West Nile
disease
FUNGAL
Aspergillosi
s
Blastomyco
sis
Candidiasis
Coccidioido-
PARASITIC
Acanthamo
eba
Cystercerco
sis
Onchocerci
asis
mycosis
Pneumocyst
Cryptococc
is carinii
osis
Toxocariasis
Histoplasmo Toxoplasmo
sis
sis
Sporotricho
sis
virus
Masih menurut Rosenbaum (2007) beberapa penyakit sistemik
dapat berhubungan dengan uveitis, penyakit-penyakit tersebut
diantaranya adalah:7
Spondyloarthritides
Crohn's disease
Sarcoidosis
Behcet's disease
Hypersensitivity reactions
Tubulointerstitial nephritis
Multiple sclerosis
Relapsing polychondritis
Sjgren's syndrome
Systemic vasculitis
Vogt-Koyanagi-Harada syndrome
AIDS
Blau syndrome
Uveitis anterior juga dapat disebabkan oleh infeksi fokal seperti:
2.2.5 Patofisiologi
Peradangan traktus uvealis banyak penyebabnya dan dapat
mengenai satu atau ketiga bagian secara bersamaan. Bentuk uveitis
paling sering terjadi adalah uveitis anterior akut (iritis), umumnya
unilateral dan ditandai dengan adanya riwayat sakit, fotopobia dan
penglihatan kabur, mata merah, dan pupil kecil serta ireguler.
Penyakit peradangan traktus uvealis umumnya unilateral, biasanya
10
11
mmHg. Sel radang dan fibrin dapat pula menyumbat sudut kamera
okuli anterior, sehingga alirannya terhambat dan terjadilah glaukoma
sekunder. Galukoma juga bisa terjadi akibat trabekula yang meradang
atau sakit.1,2,3
Elemen darah dapat berkumpuk di kamera okuli anteror dan
timbullah hifema (bila banyak mengandung sel darah merah) dan
hipopion (yang terkumpul banyak mengandung sel darah putihnya).
Elemen-elemen radang yang mengandung fibrin yang menempel
pada pupil dapat juga menagalami organisasi, sehingga melekatkan
ujung iris pada lensa. Perlekatan ini disebut sinekia posterior. Bila
seluruh iris menempel pada lensa, disebut seklusio pupil sehingga
cairan yang dari kamera okuli posterior tidak dapat melalui pupil
untuk masuk ke kamera okuli anterior, iris terdorong ke depan,
disebut iris bombe dan menyebabkan sudut kamera okuli anterior
menyempit, dan timbullah glaukoma sekunder. Perlekatan-perlekatan
iris pada lens menyebabkan bentuk pupil tidak teratur. Pupil dapat
pula diisi oleh sel-sel radang yang menyebabkan organisasi jaringan
dan terjadi oklusi pupil. Peradangan badan siliar dapat pula
menyebabkan kekeruhan pada badan kaca, yang tampak seperti
kekeruhan karena debu. Dengan adanya peradangan ini maka
metabolisme pada lensa terganggu dan dapat mengakibatkan
katarak. Pada kasus yang sudah lanjut, kekeruhan badan kaca pun
dapat mengakibtakan organisasi jaringan yang tampak sebagai
membrana yang terdiri dari jaringan ikat dengan neurovaskularisasi
dari retina yang disebut retinitis proloferans. Pada kasus yang lebih
lanjut lagi dapat mengakibatkan ablasi retina.2,3
Patofisiologi pasti dari uveitis tidak diketahui. Secara umum
uveitis disebabkan oleh reaksi imunitas. Uveitis sering dihubungkan
dengan infeksi seperti herpes, toksoplasmosis dan sifilis. Reaksi
imunitas terhadap benda asing atau antigen pada mata juga dapat
menyebabkan cedera pada pembuluh darah dan sel-sel pada traktus
12
13
biasanya jenis mutton fat biasanya terdapat pada uveitis anterior tipe
granulomatosa. Fresh KP atau KP baru terlihat berwarna putih dan
melingkar. Seiring bertambahnya waktu, akan berubah menjadi lebih
pucat dan berpigmen. Pupil mengecil dan mungkin terdapat
kumpulan fibrin dengan sel di kamera anterior. Jika terdapat sinekia
posterior, bentuk pupil menjadi tidak teratur.1
14
a. Anamnesis
Anamnesis dilakukan dengan menanyakan riwayat kesehatan
pasien, misalnya pernah menderita iritis atau penyakit mata lainnya,
kemudian riwayat penyakit sistemik yang mungkin pernah diderita
oleh pasien. Keluhan yang dirasakan pasien biasanya antara lain:
Nyeri dangkal (dull pain), yang muncul dan sering menjadi lebih
terasa ketika mata disentuh pada kelopak mata. Nyeri tersebut
dapat beralih ke daerah pelipis atau daerah periorbital. Nyeri
b. Pemeriksaan Oftalmologi
akuos
Konjungtiva : Terlihat injeksi silier/ perilimbal atau dapat pula
15
16
c. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium mendalam umumnya tidak
diperlukan untuk uveitis anterior, apalagi bila jenisnya nongranulomatosa atau menunjukkan respon terhadap pengobatan non
spesifik. Akan tetapi pada keadaan dimana uveitis anterior tetap tidak
responsif terhadap pengobatan maka diperlukan usaha untuk
menemukan diagnosis etiologiknya. Pada pria muda dengan
iridosiklitis akut rekurens, foto rontgen sakroiliaka diperlukan untuk
mengeksklusi kemungkinan adanya spondilitis ankilosa. Pada
kelompok usia yang lebih muda, artritis reumatoid juvenil harus selalu
dipertimbangkan khususnya pada kasus-kasus iridosiklitis kronis.
Pemeriksaan darah untuk antinuclear antibody dan rheumatoid factor
serta foto rontgen lutut sebaiknya dilakukan. Perujukan ke ahli
penyakit anak dianjurkan pada keadaan ini. Iridosiklitis dengan KP
mutton fat memberikan kemungkinan sarkoidosis. Foto rontgen toraks
sebaiknya dilakukan dan pemeriksaan terhadap enzim lisozim serum
serta serum angiotensine converting enzyme sangat membantu.3,6
Pemeriksaan terhadap HLA-B27 tidak bermanfaat untuk
penatalaksanaan pasien dengan uveitis anterior, akan tetapi
kemungkinan dapat memberikan perkiraan akan suseptibilitas untuk
rekurens. Sebagai contoh, HLA-B27 ditemukan pada sebagian besar
kasus iridosiklitis yang terkait dengan spondilitis ankilosa. Tes kulit
terhadap tuberkulosis dan histoplasmosis dapat berguna, demikian
pula antibodi terhadap toksoplasmosis. Berdasarkan tes-tes tersebut
dan gambaran kliniknya, seringkali dapat ditegakkan diagnosis
etiologiknya. Dalam usaha penegakan diagnosis etiologis dari uveitis
diperlukan bantuan atau konsultasi dengan bagian lain seperti ahli
radiologi dalam pemeriksaan foto rontgen, ahli penyakit anak atau
penyakit dalam pada kasus atritis reumatoid, ahli penyakit THT pada
ksus uveitis akibat infeksi sinus paranasal, ahli penyakit gigi dan
mulut pada kasus uveitis dengan fokus infeksi di rongga mulut, dan
lain-lain.3,6
17
18
Midriatik-sikloplegik
Semua sikloplegik merupakan agen antagonis kolinergik yang
19
Kortikosteroid
Semua orang setuju bahwa kortikosteroid merupakan terapi non
Uveitis posterior
Uveitis bilateral
Edema makula
Uveitis anterior kronik (JRA, Reiter)
Kelainan sistemik yang memerlukan terapi steroid sistemik
Pemakaian kortikosteroid dalam jangka waktu yang lama akan
20
a.
b.
c.
d.
Toxoplasmosis
Pengobatan anti toxoplasma yang paling ideal adalah terapi
kombinasi.
a) Pirimetamin
Dosis awal 75100 mg pada hari pertama, selanjutnya 2 kali 25
mg/hari selama 36 minggu.
b) Klindamisin
Sebagai pengganti pirimetamin, yang bekerja sinergik dengan
preparat sulfa. Secara invivo pada experimen obat ini dapat
menghancurkan kista toxoplasma pada jaringan retina.
Dosis: 3 kali 150300 mg/hari/oral. Pemberian sub-konjungtiva
klindamisin 50 mg dilaporkan memberi hasil baik.
c) Spiramisin
Diberikan pada wanita hamil dan anak-anak karena efek
samping yang minimal. Obat ini kurang efektif dalam mencegah
rekurensi.
d) Minosiklin
Dosis 12 kapsul sehari selama 46 minggu.
21
Infeksi virus
a) Herpes simplex
Pada keratouveitis Herpes simplex diberikan topikal antivirus
seperti asiklovir dan sikloplegik. Apabila epitel kornea
intact/sembuh maka dapat diberikan topikal steroid bersama
antivirus. Diberikan juga asiklovir 5 kali 200 mg/hari selama 23
minggu yang kemudian diturunkan 2 atau 3 tablet/hari.
Pada kasus retinitis Herpes simplex dan ARN (Acute retinal
necrosis) diberikan asiklovir intravena dengan dosis awal 5
mg/kgBB/kali yang dapat diberikan 3 kali per hari.
b) Herpes zoster
Diberikan asiklovir 5 kali 400 mg pada keadaan akut selama 10
14 hari. Kortikosteroid sistemik diberikan pada orang tua untuk
mencegah terjadi post herpetic neuralgia. Pada uveitis anterior
diberikan steroid dan sikloplegik topikal.
c) Sitomegalovirus
DHPG (Gancyclovir) 5 mg/kgBB/dalam 2 kali pemberian
intravena Foscarnet: 20 mg/kgBB/perinfus. Selama pemberian obat
harus diperhatikan beberapa hal diantaranya:
Berat badan. Bila berat badan naik dengan cepat berarti ada
penumpukan air, karena adanya Na retensi, makanya pada
pemberian kortekosteroid yang lama harus disertai pemberian
KCl.
22
bilik mata
Cortikosteroid topikal yang digunakan pada terapi
2.2.10 Prognosis
23
24
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Uveitis anterior merupakan peradangan iris dan bagian depan
korpus siliare (pars plikata), kadang-kadang menyertai peradangan
bagian belakang bola mata, kornea dan sklera.
Secara klinis (menurut cara timbul dan lama perjalanan
penyakitnya) uveitis anterior dibedakan menjadi uveitis anterior akut
dan uveitis anterior kronis.
Uveitis anterior kronik adalah peradangan pada traktus uvealis
bagian anterior yang dimulai secara berangsur-angsur, dan
perjalanan penyakitnya dapat berbulan-bulan maupun tahunan.
Penyebab terjadinya uveitis anterior dibagi menjadi beberapa
golongan antara lain: autoimun, infeksi, keganasan, dan lain-lain.
Gejala-gejala uveitis anterior meliputi: mata merah, fotofobia,
lakrimasi, rasa sakit, clan penglihatan kabur. Mata yang terkena
biasanya satu pihak, disertai dengan adanya flare dan sel di dalam
bilik mata depan; jarang dijumpai adanya hipopion. Variasi gejala
sering dijumpai, hal ini berhubungan dengan faktor penyebab.
Tujuan terapi uveitis anterior antara lain: mengembalikan tajam
penglihatan, mengurangi rasa nyeri di mata, mengeliminasi
peadangan atau penyebab pradangan, mencegah terjadinya sinekia
iris,m engendalikan tekanan intraokular.
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas, S. 2009. Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Edisi Ketiga. Cetakan
Ke-7. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.2009. Hal.173-4
2. Vaughan, D. G. & Asbury, T. 2004. Oftalmologi Umum, Jakarta:
Widya Medika.
3. Ghozie, M. 2002. Kornea, Uvea, dan Lensa, dalam Hand Book of
Ophtalmology. Yogyakarta.
4. Kanski, J.J. 2006. Clinical Ophthalmology, Third edition. London:
Butterworth Heineann.
5. American Optometric Association. 2004. Anterior Uveitis, dalam
Optometric Clinical Practice Guideline. St. Louis: American
Optometric Association.
6. Levinson. 2011. Uveitis, Anterior, Non-granulomatous. Medscape
Reference. Diakses dari
http://emedicine.medscape.com/article/1209595. Tanggal akses
30 november 2015.
7. Rosenbaum, J. T. 2011. Anterior Uveitis. Diakses dari
http://www.uptodate. com. Tanggal akses 30 November 2015.
8. Ardy, H. 1993. Diagnosis Etiologik Uveitis Anterior. Jakarta:
Majalah Cermin Dunia Kedokteran: 47-54.
9. http://www.ncku.edu.tw/ophth/chinese/docs/pdf/Uveitis.pdf