Anda di halaman 1dari 25

1

BAB I
PENDAHULUAN
Uveitis anterior merupakan peradangan iris dan bagian depan
badan siliar (pars plikata), kadang-kadang menyertai peradangan
bagian belakang bola mata, kornea, dan sklera. Penyebab uveitis
anterior dapat bersifat endogen maupun eksogen. Teori patologisnya
beragam, meliputi proses imunologik, komponen genetik, penyakit
infeksi mikroba, reaksi kompleks imun, reaksi toksik disebabkan oleh
tumbuhan dan obat-obatan, dan infeksi fokal, selama dekade terakhir
ini ditemukan penyebab baru uveitis anterior dan akibat tindakan
pembedahan dalam bola mata.1,2
Lebih dari 75% uveitis endogen tidak diketahui penyebabnya,
namun 37% kasus di antaranya ternyata merupakan reaksi
imunologik yang berkaitan dengan penyakit sistemik. Penyakit
sistemik yang berhubungan dengan uveitis anterior meliputi:
spondilitis ankilosa, sindroma Reiter, artritis psoriatika, penyakit
Crohn, kolitis ulserativa, dan penyakit Whipple.1,2
Gejala-gejala uveitis anterior meliputi: mata merah, fotofobia,
lakrimasi, rasa sakit, dan penglihatan kabur. Mata yang terkena
biasanya satu pihak, disertai dengan adanya flare dan sel di dalam
bilik mata depan; jarang dijumpai adanya hipopion. Variasi gejala
sering dijumpai, hal ini berhubungan dengan faktor penyebab.2,3
Dalam menentukan penyebab uveitis anterior, sering dijumpai
banyak kendala di Indonesia. Pemeriksaan cairan hasil parasentesis
dari bilik mata depan merupakan pemeriksaan yang lazim dikerjakan
untuk menegakkan diagnosis, namun hal tersebut masih sulit
diterima para pasien mengingat risiko tindakan juga tidak ringan.1,2,3
Penatalaksanaan pada uveitis anterior bertujuan untuk
mencegah kerusakan stuktur dan fungsi mata seperti sinekia anterior,
sinekia posterior, kerusakan pembuluh darah iris, katarak, glaukoma,
parut kornea, dan kekeruhan badan kaca.3,4,8

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI MATA
Uvea merupakan lapisan vaskular di dalam bola mata yang
terdiri dari iris, korpus siliar, dan koroid. Bagian ini dilindungi oleh
kornea dan sklera. Uvea ikut memasok darah ke retina. Uvea dibagi
menjadi 2 bagian yaitu uvea anterior yang terdiri dari iris dan badan
siliar dan uvea posterior yaitu koroid. Dalam tinjauan pustaka ini
hanya dibahas mengenai uvea anterior saja.1,2
1. Iris
Iris adalah perpanjangan korpus siliare ke anterior. Iris berupa
permukaan pipih dengan apertura bulat di tengahnya yang disebut
dengan pupil. Iris terletak bersambungan dengan permukaan anterior
lensa, yang memisahkan kamera okuli anterior dan kamera okuli
posterior, yang masing-masing berisi humor aqueus. Di dalam stroma
iris terdapat sfingter dan otot-otot dilator.2
Secara histologis terdiri dari stroma yang jarang dan
diantaranya terdapat lekukan-lekukan di permukaan anterior yang
berjalan radier yang dinamakan kripta. Di dalam stroma terdapat sel
pigmen yang bercabang, banyak pembuluh darah dan serabut saraf.
Di permukaan anterior ditutupi oleh endotel, terkecuali pada kripta, di
mana pembuluh darah pada stroma dapat berhubungan langsung
dengan kamera okuli anterior. Di bagian posterior dilapisi oleh dua
lapisan epitel, yang merupakan lanjutan epitel pigmen retina. Warna

dari iris tergantung dari sel-sel pigmen yang bercabang yang terdapat
di dalam stroma yang jumlahnya dapat berubah-ubah dan juga epitel
pigmen yang jumlahnya tetap.1
Ada 2 otot yang ada di dalam iris antara lain otot sfingter pupil
(M. sphincter pupillae) yang berjalan sirkuler, yang terletak di dalam
dekat pupil dan dipersarafi oleh saraf parasimpatis (N. III), dan otot
dilatator pupil (M. dilatator pupillae) yang berjalan radier dari akar iris
ke pupil, terletak di bagian posterior stroma dan disarafi oleh saraf
simpatis.1
Pasokan darah ke iris berasal dari circulux major iris. Kapilerkapiler iris memiliki lapisan endotel yang tak berlubang sehingga
normalnya tidak membocorkan fluoresin yang disuntikkan secara
intravena. Persyarafan iris adalah melalui serat-serat nervus siliare.
Iris mengendalikan banyaknya cahaya yang masuk ke dalam mata.
Ukuran pupil pada prinsipnya ditentukan oleh keseimbangan antara
konstriksi akibat aktivitas parasimpatik yang dihantarkan melalui
nervus kranialis III dan dilatasi yang ditimbulkan oleh aktifitas
simpatik.2
Cahaya yang mengenai mata diterima oleh sel-sel batang dan
kerucut di retina, diteruskan oleh N. II ke kiasma optikum, radiasio
optika, setinggi korpus genikulatum lateral, serat pupilomotor
melepaskan diri ke brachium kolikulus superior, ke midbrain, komisura
posterior di daerah pretektalis, kemudian mengadakan semidikusasi
dan keduanya menuju ke nucleus Edinger Westphal di kedua sisi. Dari
sini keluar saraf eferen (saraf parasimpatis) yang memasuki N. III, ke
ganglion siliaris, serat saraf postganglioner melalui Nn. siliaris
brevis.1,2,3

Gambar 2.1. Uvea Anterior (ditunjukkan dengan kotak merah).

2. Korpus Siliaris
Pada potongan melintang korpus siliare secara kasar berbentuk
cincin segitiga yang membentang ke depan dari ujung anterior
khoroid ke pangkal iris ( 6mm). Terdiri dari dua zona, yaitu zona
anterior dengan permukaan berjonjot lekuk dan menonjol yang
disebut dengan pars pikata ( 2mm), dan zona posterior yang datar
dengan permukaan licin disebut pars plana ( 4mm). Processus
siliaris ini berasal dari pars plikata. Processus siliaris ini terutama
terbentuk dari kapiler-kapiler dan vena yang bermuara ke vene-vena
vorteks. Kapiler-kapilernya besar dan berlobang-lobang sehingga
membocorkan fluoresin yang disuntikkan secara intravena. Ada dua
lapis epitel siliaris: satu lapisan tanpa pigmen di sebelah dalam, yang
merupakan perluasan neuroretina ke anterior, dan lapisan berpigmen
di sebelah luar, yang merupakan perluasan lapisan epitel pigmen
retina. Prosessus siliaris dan epitel siliaris pembungkusnya berfungsi
sebagai pembentuk humor aquaeus.2,3
Korpus siliaris mengandung otot polos yang tersusun
longitudinal, sirkular, dan radial. Otot-otot ini berfungsi untuk menarik
dan mengendorkan serabut zonula Zinni, yang menghasilkan

perubahan tegangan pada kapsul lensa. Ketegangan kapsul lensa


yang berubah akan menyesuaikan kekuatan lensa mata sesuai
dengan jarak benda yang dilihat agar bayangannya tepat di retina.3
Procesus siliaris mengandung terutama pembuluh kapiler dan
venanya yang menumpahkan darahnya ke luar melalui vena
vorticosa. Kapilernya besar dan mudah dirembesi larutan suntikan
fluresin. Pars plana terdiri atas selapis tipis otot siliaris dan pembuluh
siliar yang diselimuti epitel siliar. Serabut zonula berorigo di lekukan
dari procesus siliaris. Pembuluh darah dibadan siliar berasal dari
sirkulus iridis mayor, sedang syaraf sensoris berasal dari syaraf
siliaris.2,3

2.2 UVEITIS ANTERIOR


2.2.1 Definisi
Uveitis anterior didefinisikan sebagai peradangan yang
mengenai traktus uvealis bagian anterior yaitu iris (iritis) dan dapat
pula mengenai bagian anterior badan siliaris (iridosiklitis).4,6
Menurut American Optometric Association (AOA), uveitis
anterior adalah suatu proses inflamasi intraokular dari bagian uvea
anterior hingga pertengahan vitreus. Penyakit ini dihubungkan
dengan trauma bola mata, dan juga karena berbagai penyakit
sistemik seperti juvenile rheumatoid, artritis, ankylosing spondilitis,
Sindrom Reiter, sarcoidosis, herpes zoster, dan sifilis.5
Uveitis anterior kronik adalah peradangan pada traktus uvealis
bagian anterior yang dimulai secara berangsur-angsur, dan
perjalanan penyakitnya dapat berbulan-bulan maupun tahunan.1,2
2.2.2 Epidemiologi
Di Indonesia belum ada data yang akurat mengenai jumlah
kasus uveitis. Di Amerika Serikat ditemukan angka kejadian uveitis
anterior adalah 8-12 orang dari 100.000 penduduk per tahun.

Insidensinya meningkat pada usia 20-50 tahun dan paling banyak


pada usia sekitar 30-an.1,5
Menurun AOA, berdasarkan etiologinya ada beberapa faktor
resiko yang menyertai kejadian uveitis anterior antara lain, penderita
toxoplasmosis dan yang berhubungan dengan hewan perantara
toxoplasma. Beberapa penyakit menular seksual juga meningkatkan
angka kejadian uveitis anterior seperti sifilis, HIV, dan sindroma
Reiter.5
2.2.3 Etiologi
Penyebab terjadinya uveitis anterior dibagi menjadi beberapa
golongan antara lain: autoimun, infeksi, keganasan, dan lain-lain.
Penyebab autoimun terdiri dari: artritis Rhematoid juvenile, spondilitis
ankilosa, sindrom Reiter, kolitis ulseratif, uveitis terinduksi-lensa,
sarkoidosis, penyakit crohn, psoriasis. Penyebab infeksi terdiri dari:
sipilis, tuberkulosis, lepra, herpes zooster, hepes simpleks,
onkoserkiasis, adenovirus. Untuk penyebab keganasan terdiri dari:
sindrom masquerada, retinoblastoma, leukemia, limfoma, melanoma
maligna. Sedangkan yang lainnya berasal dari: iridopati, uveitis
traumatika, ablatio retina, gout, dan krisis glaukomatosiklitik.2
Selain itu menurut Rosenbaum (2007) etiologi dari uveitis
anterior digolongkan menurut agen penyebab infeksi, seperti dalam
tabel berikut:7

Tabel 2.1. Etiologi uveitis anterior menurut golongkan agen


penyebab infeksi

BACTERIAL/

VIRAL

SPIROCHETAL

Atypical

mycobacteria

Brucellosis

Cat scratch
disease

Leprosy

Leptospirosi

lovirus

Herpes
simplex

Herpes
zoster

Lyme

virus

Propionibact
erium

Human T
cell leukemia

disease

EpsteinBarr

Cytomega

Mumps

Syphilis

Rubeola

Tuberculosis

Vaccinia

Whipple's

HIV-1

West Nile

disease

FUNGAL
Aspergillosi
s
Blastomyco
sis
Candidiasis
Coccidioido-

PARASITIC
Acanthamo
eba
Cystercerco
sis
Onchocerci
asis

mycosis

Pneumocyst

Cryptococc

is carinii

osis

Toxocariasis

Histoplasmo Toxoplasmo
sis

sis

Sporotricho
sis

virus
Masih menurut Rosenbaum (2007) beberapa penyakit sistemik
dapat berhubungan dengan uveitis, penyakit-penyakit tersebut
diantaranya adalah:7

Spondyloarthritides

Crohn's disease

Sarcoidosis

Behcet's disease

Hypersensitivity reactions

Tubulointerstitial nephritis

Juvenile rheumatoid arthritis

Kawasaki disease, multiple sclerosis, and relapsing


polychondritis

Multiple sclerosis

Relapsing polychondritis

Sjgren's syndrome

Systemic lupus erythematosus

Systemic vasculitis

Granulomatous angiitis of the central nervous

Vogt-Koyanagi-Harada syndrome

AIDS

Blau syndrome
Uveitis anterior juga dapat disebabkan oleh infeksi fokal seperti:

gigi, telinga, hidung, tenggorokan, traktus urogenitalis, traktus


digestivus, kulit, dan lain-lain. Trauma perforata dan oftalmia
simpatika juga dapat menyebabkan uveitis anterior.2,4
2.2.4 Klasifikasi
Berdasarkan spesifitas penyebabnya uveitis anterior dapat
dibagi atas uveitis infeksius, uveitis non infeksius, dan uveitis tanpa
penyebab yang jelas. Uveitis infeksius dapat disebabkan oleh bakteri,
jamur, dan virus. Uveitis non infeksius dapat disebabkan oleh agen
non spesifik (endotoksin dan mediator peradangan lainnya), agen
spesifik pada mata (oftalia simpatika, uveitis imbas lensa), dan
penyakit sistemik seperti Behcet, sarkoidosis, sindroma Reiter, dan
lainnya.2,3
Berdasarkan asalnya uveitis anterior dibedakan menjadi, uveitis
eksogen dan uveitis endogen. Uveitis eksogen pada umumnya
dikarenakan oleh trauma, operasi intra okuler, ataupun iatrogenik.
Sedangkan uveitis endogen dapat disebabkan oleh fokal infeksi di
organ lain maupun reaksi autoimun.3,6

Secara klinis (menurut cara timbul dan lama perjalanan


penyakitnya) uveitis anterior dibedakan menjadi uveitis anterior akut
dan uveitis anterior kronis. Uveitis anterior akut biasanya timbulnya
mendadak dan perjalanan penyakitnya kurang dari 5 minggu.
Sedangkan yang kronik mulainya berangsur-angsur, dan perjalanan
penyakitnya dapat berbulan-bulan maupun tahunan.1,2
Klasifikasi uveitis anterior berdasarkan patologi anatominya
terdiri dari tipe granulomatosa dan non granulomatosa. Tipe
granulomatosa infiltratnya terdiri dari sel epiteloid dan makrofag.
Sedangkan tipe non granulomatosa infiltratnya terdiri dari sel plasma
dan limfosit.2,6
Klasifikasi uveitis anterior berdasarkan ICD-9-CM dibagi atas:

Uveitis anterior akut


o Uveitis anterior traumatik
o Uveitis anterior idiopatik
o Uveitis berhubungan dengan HLA-B27
o Sindrom Behcet
o Uveitis anterior terinduksi lensa
o Sindrom Masquerade

Uveitis anterior kronis


o Juvenile rheumatoid arthritis
o Uveitis anterior dengan uveitis posterior primer
o Fuchs heterocromic iridocyclitis

2.2.5 Patofisiologi
Peradangan traktus uvealis banyak penyebabnya dan dapat
mengenai satu atau ketiga bagian secara bersamaan. Bentuk uveitis
paling sering terjadi adalah uveitis anterior akut (iritis), umumnya
unilateral dan ditandai dengan adanya riwayat sakit, fotopobia dan
penglihatan kabur, mata merah, dan pupil kecil serta ireguler.
Penyakit peradangan traktus uvealis umumnya unilateral, biasanya

10

terjadi pada oreng dewasa dan usia pertengahan. Pada kebanyakan


kasus penyebabnya tidak diketahui. Berdasarkan patologi dapat
dibedakan dua jenis besar uveitis: yang non-granulomatosa (lebih
umum) dan granulomatosa.1,2
Uveitis non-granulomatosa terutama timbul di bagian anterior
traktus ini, yaitu iris dan korpus siliaris. Terdapat reaksi radang,
dengan terlihatnya infiltrat sel-sel limfosit dan sel plasma dengan
jumlah cukup banyak dan sedikit mononuklear. Pada kasus berat
dapat terbentuk bekuan fibrin besar atau hipopion di kamera okuli
anterior.2
Badan siliar berfungsi sebagai pembentuk cairan bilik mata
(humor aqueus) yang memberi makanan kepada lensa dan kornea.
Dengan adanya peradangan di iris dan badan siliar, maka timbullah
hiperemi yang aktif, pembuluh darah melebar, pembentukan cairan
bertambah, sehingga dapat menyebabkan glaukoma sekunder. Selain
oleh cairan bilik mata, dinding pembuluh darah dapat juga dilalui oleh
sel darah putih, sel darah merah, dan eksudat yang akan
mengakibatkan tekanan osmose cairan bilik mata bertambah dan
dapat mengakibatkan glaukoma. Cairan dengan lain-lainya ini, dari
bilik mata belakang melalui celah antar lensa iris, dan pupil ke
kamera okuli anterior. Di kamera okuli anterior, oleh karena iris
banyak mengandung pembuluh darah, maka suhunya meningkat dan
berat jenis cairan berkurang, sehingga cairan akan bergerak ke atas.
Di daerah kornea karena tidak mengandung pembuluh darah, suhu
menurun dan berat jenis cairan bertambah, sehingga di sini cairan
akan bergerak ke bawah. Sambil turun sel-sel radang dan fibrin dapat
melekat pada endotel kornea, membentuk keratik presipitat yang dari
depan tampak sebagai segitiga dengan endapan yang makin ke
bawah semakin besar. Di sudut kamera okuli anterior cairan melalui
trabekula masuk ke dalam kanalis Schlemn untuk menuju ke
pembuluh darah episklera. Bila keluar masuknya cairan ini masih
seimbang maka tekanan mata akan berada pada batas normal 15-20

11

mmHg. Sel radang dan fibrin dapat pula menyumbat sudut kamera
okuli anterior, sehingga alirannya terhambat dan terjadilah glaukoma
sekunder. Galukoma juga bisa terjadi akibat trabekula yang meradang
atau sakit.1,2,3
Elemen darah dapat berkumpuk di kamera okuli anteror dan
timbullah hifema (bila banyak mengandung sel darah merah) dan
hipopion (yang terkumpul banyak mengandung sel darah putihnya).
Elemen-elemen radang yang mengandung fibrin yang menempel
pada pupil dapat juga menagalami organisasi, sehingga melekatkan
ujung iris pada lensa. Perlekatan ini disebut sinekia posterior. Bila
seluruh iris menempel pada lensa, disebut seklusio pupil sehingga
cairan yang dari kamera okuli posterior tidak dapat melalui pupil
untuk masuk ke kamera okuli anterior, iris terdorong ke depan,
disebut iris bombe dan menyebabkan sudut kamera okuli anterior
menyempit, dan timbullah glaukoma sekunder. Perlekatan-perlekatan
iris pada lens menyebabkan bentuk pupil tidak teratur. Pupil dapat
pula diisi oleh sel-sel radang yang menyebabkan organisasi jaringan
dan terjadi oklusi pupil. Peradangan badan siliar dapat pula
menyebabkan kekeruhan pada badan kaca, yang tampak seperti
kekeruhan karena debu. Dengan adanya peradangan ini maka
metabolisme pada lensa terganggu dan dapat mengakibatkan
katarak. Pada kasus yang sudah lanjut, kekeruhan badan kaca pun
dapat mengakibtakan organisasi jaringan yang tampak sebagai
membrana yang terdiri dari jaringan ikat dengan neurovaskularisasi
dari retina yang disebut retinitis proloferans. Pada kasus yang lebih
lanjut lagi dapat mengakibatkan ablasi retina.2,3
Patofisiologi pasti dari uveitis tidak diketahui. Secara umum
uveitis disebabkan oleh reaksi imunitas. Uveitis sering dihubungkan
dengan infeksi seperti herpes, toksoplasmosis dan sifilis. Reaksi
imunitas terhadap benda asing atau antigen pada mata juga dapat
menyebabkan cedera pada pembuluh darah dan sel-sel pada traktus

12

uvealis. Uveitis juga sering dikaitkan dengan penyakit atau kelainan


autoimun, seperti lupus eritematosus sistemik dan artritis reumatoid. 5
Pada kelainan autoimun, uveitis mungkin disebabkan oleh
reaksi hipersensitifitas terhadap deposisi kompleks imun dalam
traktus uvealis. Berikut ini adalah beberapa kelainan yang dapat
menyebabkan uveitis anterior , yaitu Autoimun Artritis Reumatoid
Juvenilis, Spondilitis Ankilosa, Kolitis Ulserativa, Uveitis terinduksi
lensa, Sarkoidosis, Penyakit Crohn, Infeksi Sifilis, Tuberkulosis, Morbus
Hansen, Herpes Zoster, Herpes simpleks, Onkoserkiasis, Adenovirus
Keganasan Sindrom Masquerade (Retinoblastoma, Leukimia, Limfoma,
Melanoma maligna).5
2.2.6 Gejala Klinis dan Diagnosis
Gejala akut dari uveitis anterior adalah mata merah, fotofobia,
nyeri, penurunan tajam penglihatan dan hiperlakrimasi. Sedangkan
pada keadaan kronis gejala uveitis anterior yang ditemukan dapat
minimal sekali, meskipun proses radang yang hebat sedang terjadi.4
a. Uveitis Anterior Jenis Non-Granulomatosa
Pada bentuk non-granulomatosa, onsetnya khas akut, dengan
rasa sakit, injeksi, fotofobia dan penglihatan kabur. Terdapat
kemerahan sirkumkorneal atau injeksi siliar yang disebabkan oleh
dilatasi pembuluh-pembuluh darah limbus.1,4
Deposit putih halus (keratic presipitate/ KP) pada permukaan
posterior kornea dapat dilihat dengan slit-lamp atau dengan kaca
pembesar. KP adalah deposit seluler pada endotel kornea.
Karakteristik dan distribusi KP dapat memberikan petunjuk bagi jenis
uveitis. KP umumnya terbentuk di daerah pertengahan dan inferior
dari kornea. Terdapat 4 jenis KP yang diketahui, yaitu small KP,
medium KP, large KP dan fresh KP. Small KP merupakan tanda khas
pada herpes zoster dan Fuchs uveitis syndrome. Medium KP terlihat
pada kebanyakan jenis uveitis anterior akut maupun kronis. Large KP

13

biasanya jenis mutton fat biasanya terdapat pada uveitis anterior tipe
granulomatosa. Fresh KP atau KP baru terlihat berwarna putih dan
melingkar. Seiring bertambahnya waktu, akan berubah menjadi lebih
pucat dan berpigmen. Pupil mengecil dan mungkin terdapat
kumpulan fibrin dengan sel di kamera anterior. Jika terdapat sinekia
posterior, bentuk pupil menjadi tidak teratur.1

Gambar 2.3. Gambaran Keratic Presipitates pada Uveitis Anterior

b. Uveitis Anterior Jenis Granulomatosa


Pada bentuk granulomatosa, biasanya onsetnya tidak terlihat.
Penglihatan berangsur kabur dan mata tersebut memerah secara
difus di daerah sirkum kornea. Sakitnya minimal dan fotofobianya
tidak seberat bentuk non-granulomatosa. Pupil sering mengecil dan
tidak teratur karena terbentuknya sinekia posterior. KP mutton fat
besar-besar dapat terlihat dengan slit-lamp di permukaan posterior
kornea. Tampak kemerahan, flare dan sel-sel putih di tepian pupil
(nodul Koeppe). Nodul-nodul ini sepadan dengan KP mutton fat. Nodul
serupa di seluruh stroma iris disebut nodul Busacca.4,6
Diagnosis uveitis anterior dapat ditegakkan dengan melakukan
anamnesis, pemeriksaan oftalmologi dan pemeriksaan penunjang
lainnya.3,4,6

14

a. Anamnesis
Anamnesis dilakukan dengan menanyakan riwayat kesehatan
pasien, misalnya pernah menderita iritis atau penyakit mata lainnya,
kemudian riwayat penyakit sistemik yang mungkin pernah diderita
oleh pasien. Keluhan yang dirasakan pasien biasanya antara lain:

Nyeri dangkal (dull pain), yang muncul dan sering menjadi lebih
terasa ketika mata disentuh pada kelopak mata. Nyeri tersebut
dapat beralih ke daerah pelipis atau daerah periorbital. Nyeri

tersebut sering timbul dan menghilang segera setelah muncul.


Fotofobia atau fotosensitif terhadap cahaya, terutama cahaya

matahari yang dapat menambah rasa tidak nyaman pasien


Kemerahan tanpa sekret mukopurulen
Pandangan kabur (blurring)
Umumnya unilateral

b. Pemeriksaan Oftalmologi

Visus : Visus biasanya normal atau dapat sedikit menurun


Tekanan intraokular (TIO) pada mata yang meradang lebih
rendah daripada mata yang sehat. Hal ini secara sekunder
disebabkan oleh penurunan produksi cairan akuos akibat
radang pada korpus siliaris. Akan tetapi TIO juga dapat
meningkat akibat perubahan aliran keluar (outflow) cairan

akuos
Konjungtiva : Terlihat injeksi silier/ perilimbal atau dapat pula

(pada kasus yang jarang) injeksi pada seluruh konjungtiva.


Kornea : KP (+), Udema stroma kornea
Camera Oculi Anterior (COA) : Sel-sel flare dan/atau hipopion
Ditemukannya sel-sel pada cairan akuos merupakan tanda dari

proses inflamasi yang aktif. Jumlah sel yang ditemukan pada


pemeriksaan slitlamp dapat digunakan untuk grading. Grade 0
sampai +4 ditentukan dari :
0 : Tidak ditemukan sel
+1: 5-10 sel

15

+2: 11-20 sel


+3: 21-50 sel
+4: > 50 sel
Aqueous flare adalah akibat dari keluarnya protein dari
pembuluh darah iris yang mengalami peradangan. Adanya flare tanpa
ditemukannya sel-sel bukan indikasi bagi pengobatan. Melalui hasil
pemeriksaan slit-lamp yang sama dengan pemeriksaan sel, flare juga
diklasifikasikan sebagai berikut :
0 : Tidak ditemukan flare
+1: Terlihat hanya dengan pemeriksaan yang teliti
+2: Moderat, iris terlihat bersih
+3: Iris dan lensa terlihat keruh
+4: Terbentuk fibrin pada cairan akuous
Hipopion ditemukan sebagian besar mungkin sehubungan
dengan penyakit terkait HLA B27, penyakit Behcet atau penyakit
infeksi terkait iritis.

Gambar 2.4. Gambaran Hipopion pada Uveitis Anterior

Iris : dapat ditemukan sinekia posterior


Lensa dan korpus vitreus anterior : dapat ditemukan lentikular
presipitat pada kapsul lensa anterior. Katarak subkapsuler
posterior dapat ditemukan bila pasien mengalami iritis
berulang.

16

c. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium mendalam umumnya tidak
diperlukan untuk uveitis anterior, apalagi bila jenisnya nongranulomatosa atau menunjukkan respon terhadap pengobatan non
spesifik. Akan tetapi pada keadaan dimana uveitis anterior tetap tidak
responsif terhadap pengobatan maka diperlukan usaha untuk
menemukan diagnosis etiologiknya. Pada pria muda dengan
iridosiklitis akut rekurens, foto rontgen sakroiliaka diperlukan untuk
mengeksklusi kemungkinan adanya spondilitis ankilosa. Pada
kelompok usia yang lebih muda, artritis reumatoid juvenil harus selalu
dipertimbangkan khususnya pada kasus-kasus iridosiklitis kronis.
Pemeriksaan darah untuk antinuclear antibody dan rheumatoid factor
serta foto rontgen lutut sebaiknya dilakukan. Perujukan ke ahli
penyakit anak dianjurkan pada keadaan ini. Iridosiklitis dengan KP
mutton fat memberikan kemungkinan sarkoidosis. Foto rontgen toraks
sebaiknya dilakukan dan pemeriksaan terhadap enzim lisozim serum
serta serum angiotensine converting enzyme sangat membantu.3,6
Pemeriksaan terhadap HLA-B27 tidak bermanfaat untuk
penatalaksanaan pasien dengan uveitis anterior, akan tetapi
kemungkinan dapat memberikan perkiraan akan suseptibilitas untuk
rekurens. Sebagai contoh, HLA-B27 ditemukan pada sebagian besar
kasus iridosiklitis yang terkait dengan spondilitis ankilosa. Tes kulit
terhadap tuberkulosis dan histoplasmosis dapat berguna, demikian
pula antibodi terhadap toksoplasmosis. Berdasarkan tes-tes tersebut
dan gambaran kliniknya, seringkali dapat ditegakkan diagnosis
etiologiknya. Dalam usaha penegakan diagnosis etiologis dari uveitis
diperlukan bantuan atau konsultasi dengan bagian lain seperti ahli
radiologi dalam pemeriksaan foto rontgen, ahli penyakit anak atau
penyakit dalam pada kasus atritis reumatoid, ahli penyakit THT pada
ksus uveitis akibat infeksi sinus paranasal, ahli penyakit gigi dan
mulut pada kasus uveitis dengan fokus infeksi di rongga mulut, dan
lain-lain.3,6

17

Berikut adalah pemeriksaan dan indikasi pada penegakan


diagnosa dan etiologi uveitis anterior menurut George (2007) dan
AOA (2004):5

Radiografi thorak untuk Sarkoidosis dan TB

Tes darah rutin untuk membedakan penyebab bakteri atau virus


dan mengetahui keganasan seperti limfoma dan leukimia.

FTA-ABS test untuk Sifilis

VRDL untuk sifilis

Purified protein derivative (PPD) test untuk TB

Angiotensin-converting enzyme (ACE) test untuk Sarkoidosis

Antinuclear antibody (ANA) untuk SLE dan juvenile rheumatoid


arthritis.

HLA-B27 typing untuk ankylosing spondilytis, sindrom Reiter,


inflammantory bowel disease, psoriasis artritis, sindrom Behcet.

Gallium scan untuk Sarkoidosis

Anergy evaluation untuk Sarkoidosis

Toxoplasmosis enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)

MRI pada kepala akan membantu dalam penegakan cases of


intraocular (CNS) lymphoma.

Pada pasien dengan indikasi sarkoidosis dan pada pemeriksaan


radiografi thorak negatif, pemeriksaan CT thorak untuk
mengetahui hilar adenopathy.

2.2.7 Diagnosis Banding


Diagnosis banding uvetis anterior menurut Vaughan antara lain:2
a) Konjungtivitis: penglihatan tidak kabur, respon pupil normal,
ada tahi mata dan umumnya tidak ada sakit, fotofobia, atau
injeksi siliaris.
b) Keratitis atau keratokunjungtivitis: penglihatan dapat kabur dan
ada rasa sakit dan fotofobia. Beberapa penyebab keratitis

18

seperti herpes simpleks dan herpes zooster dapat menyertai


uveitis anterior sebenarnya.
c) Glaukoma akut: pupil melebar, tidak ada sinekia posterior, dan
korneanya beruap.
d) Setelah serangan berulang kali,uveitis non-granulomatosa
dapat menunjukkan ciri uveitis granulomatosa
2.2.8 Penatalaksanaan
Tujuan terapi uveitis anterior menurut AOA, antara lain:5
a) Mengembalikan tajam penglihatan,
b) Mengurangi rasa nyeri di mata,
c) Mengeliminasi peadangan atau penyebab pradangan,
d) Mencegah terjadinya sinekia iris,
e) Mengendalikan tekanan intraokular.
A. Terapi Non Spesifik
Tiga jenis obat yang digunakan sebagai terapi non spesifik pada
uveitis yaitu midriatik-sikloplegik, kortikosteroid, dan imunosupresan.

Midriatik-sikloplegik
Semua sikloplegik merupakan agen antagonis kolinergik yang

bekerja dengan menghambat neurotransmiter pada reseptor sfingter


iris dan korpus silier. Pada pengobatan uveitis anterior sikloplegik
bekerja dengan 3 cara yaitu:1,2
o Mengurangi nyeri karena imobilisasi iris
o Mencegah adesi iris ke kapsula lensa anterior (sinekia
posterior), yang dapat meningkatkan tekanan intraokular dan
menyebabkan glaukoma sekunder.
o Menyetabilkan blood-aqueous barrier dan mencegah
terjadinya flare.
Agen sikloplegik yang digunakan dalam terapi uveitis anterior
menurut AOA (2004) antara lain:5

19

o Atropine 0,5%, 1%, 2%


o Homatropin 2%, 5%
o Scopolamine 0,25%
o Cyclopentolate 0,5%, 1%, 2%.

Kortikosteroid
Semua orang setuju bahwa kortikosteroid merupakan terapi non

spesifik yang bermanfaat pada uveitis. Efek samping baik topikal


maupun sistemik telah kita ketahui, akan tetapi tidak ada salahnya
diingatkan kembali tentang cara kerja variasi efek anti inflamasi, efek
samping dan potensi preparat steroid yang dipakai dalam pengobatan
uveitis. Pengobatan peradangan intra okular dengan kortikosteroid
dimulai pada tahun 50-an. Ada 2 cara pengobatan kortikosteroid pada
uveitis yaitu, lokal: tetes mata, dan injeksi peri okular, dan secara
sistemik.3,4
Indikasi kortikosteroid sistemik:1,2,3
a)
b)
c)
d)
e)

Uveitis posterior
Uveitis bilateral
Edema makula
Uveitis anterior kronik (JRA, Reiter)
Kelainan sistemik yang memerlukan terapi steroid sistemik
Pemakaian kortikosteroid dalam jangka waktu yang lama akan

terjadi efek samping yang tidak diingini seperti Sindrom Cushing,


hipertensi, Diabetes mellitus, osteoporosis, tukak lambung, infeksi,
hambatan pertumbuhan anak, hirsutisme, dan lain-lain.
Pengobatan sitostatika digunakan pada uveitis kronis yang
refrakter terhadap steroid. Preparat sitostatika ini menekan respons
imun lebih spesifik dibandingkan kortikosteroid, tetapi pengobatan
sitostatika ini mempunyai risiko terjadinya diskrasia darah, alopesia,
gangguan gastrointestinal, sistitis hemoragik, azoospermia, infeksi
oportunistik, keganasan dan kerusakan kromosom.
Indikasi sitostatika:

20

a.
b.
c.
d.

Pengobatan steroid inefektif atau intolerable


Penyakit Behcet
Oftalmia simpatika
Uveitis pada JRA (Juvenile rheumatoid arthritis)

Kontra indikasi sitostatika :


1. Uveitis dengan etiologi infeksi
2. Bila tidak ada :
a. Internist/hematologist
b. Fasilitas monitoring sumsum tulang
c. Fasilitas penanganan efek samping akut
B. Terapi Spesifik

Toxoplasmosis
Pengobatan anti toxoplasma yang paling ideal adalah terapi

kombinasi.
a) Pirimetamin
Dosis awal 75100 mg pada hari pertama, selanjutnya 2 kali 25
mg/hari selama 36 minggu.
b) Klindamisin
Sebagai pengganti pirimetamin, yang bekerja sinergik dengan
preparat sulfa. Secara invivo pada experimen obat ini dapat
menghancurkan kista toxoplasma pada jaringan retina.
Dosis: 3 kali 150300 mg/hari/oral. Pemberian sub-konjungtiva
klindamisin 50 mg dilaporkan memberi hasil baik.
c) Spiramisin
Diberikan pada wanita hamil dan anak-anak karena efek
samping yang minimal. Obat ini kurang efektif dalam mencegah
rekurensi.
d) Minosiklin
Dosis 12 kapsul sehari selama 46 minggu.

Fotokoagulasi dengan laser apabila tidak ada respon terapi


medikamentosa.

21

Infeksi virus
a) Herpes simplex
Pada keratouveitis Herpes simplex diberikan topikal antivirus
seperti asiklovir dan sikloplegik. Apabila epitel kornea
intact/sembuh maka dapat diberikan topikal steroid bersama
antivirus. Diberikan juga asiklovir 5 kali 200 mg/hari selama 23
minggu yang kemudian diturunkan 2 atau 3 tablet/hari.
Pada kasus retinitis Herpes simplex dan ARN (Acute retinal
necrosis) diberikan asiklovir intravena dengan dosis awal 5
mg/kgBB/kali yang dapat diberikan 3 kali per hari.
b) Herpes zoster
Diberikan asiklovir 5 kali 400 mg pada keadaan akut selama 10
14 hari. Kortikosteroid sistemik diberikan pada orang tua untuk
mencegah terjadi post herpetic neuralgia. Pada uveitis anterior
diberikan steroid dan sikloplegik topikal.
c) Sitomegalovirus
DHPG (Gancyclovir) 5 mg/kgBB/dalam 2 kali pemberian
intravena Foscarnet: 20 mg/kgBB/perinfus. Selama pemberian obat
harus diperhatikan beberapa hal diantaranya:

Berat badan. Bila berat badan naik dengan cepat berarti ada
penumpukan air, karena adanya Na retensi, makanya pada
pemberian kortekosteroid yang lama harus disertai pemberian
KCl.

Tensi darah harus diperiksa setiap hari

Pemeriksaan kadar K, Na dalam darah

Pemeriksaan kadar gula dalam darah, harus dilakukan satu kali


dalam setiap minggu

Adanya mimpi buruk, merupakan tanda adanya psikose.


Berhasil tidaknya pengobatan tergantung oleh daya tahan

tubuh serta adanya virulensi dari faktor penyebab iridosiklitis. Oleh


karenanya pemberian kortikosteroid tidak akan berhasil apabila
tidak disertai pengobatan penyebabnya. Keadaan umum diperbaiki

22

untuk memperbaiki daya tahan tubuh. Istirahat di tempat tidur,


terlindung dari cahaya, tidak boleh membaca, dilarang minum
alkohol (dapat menyebabkan hiperemi), memakan makanan yang
mudah dicerna, dan memakai kaca mata hitam. Selain itu jangan
lupa memeriksa bagian-bagian tubuh yang lain seperti: gigi,
telinga, hidung, tenggorokan, traktus urogenitalis, traktus
digestivus, kulit, dan bagian lain. Hal ini dimaksudkan untuk
mengetahui penyebab dan juga mengobati penyebab tersebut. 2,3
2.2.9 Komplikasi
Ada empat komplikasi utama uveitis anterior antara lain:
katarak, glaukoma, band keratopathy, dan cystoid macular
edema (CME) (AOA,2004).5
-

Katarak subcapular posterior merupakan salah satu


komplikasi dari pengobatan uveitis anterior berupa

penggunaan kortikosteroid topikal jangka panjang.


Glaukoma sekunder yang terjadi dapat disebabkan oleh
beberapa mekanisme, antara lain:
Gangguan sirkulasi humor aqueous karena tersumbat

oleh sel radang


Sinekia posterior memungkinkan humor aqueous

terkumpul di belakang iris.


Sinekia anterior peripheral prograsif menutup sudut

bilik mata
Cortikosteroid topikal yang digunakan pada terapi

dapat meningkatkan tekanan intra okular


Rubeosis iridis menyebabkan neovaskular glaukoma
Band keratopathi terjadi pada uveitis yang lama. Terjadi

karena penumpukan calsium pada kornea anterior.


Edema kistoid makuler dapat terjadi pada uveitis anterior
yang lama. CME mungkin disebabkan karena penurunan
kadar prostaglandin.5

2.2.10 Prognosis

23

Dengan pengobatan, serangan uveitis non-granulomatosa


umumnya berlangsung beberapa hari sampai minggu dan
sering kambuh. Uveitis granulomatosa berlangsung berbulanbulan sampai tahunan, kadang-kadang dengan remisi dan
eksaserbasi, dan dapat menimbulkan kerusakan permanen
dengan penurunan penglihatan yang nyata. Prognosis bagi lesi
korioretinal perifer lokal jauh lebih baik, sering sembuh tanpa
gangguan penglihatan yang berarti.2

24

BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Uveitis anterior merupakan peradangan iris dan bagian depan
korpus siliare (pars plikata), kadang-kadang menyertai peradangan
bagian belakang bola mata, kornea dan sklera.
Secara klinis (menurut cara timbul dan lama perjalanan
penyakitnya) uveitis anterior dibedakan menjadi uveitis anterior akut
dan uveitis anterior kronis.
Uveitis anterior kronik adalah peradangan pada traktus uvealis
bagian anterior yang dimulai secara berangsur-angsur, dan
perjalanan penyakitnya dapat berbulan-bulan maupun tahunan.
Penyebab terjadinya uveitis anterior dibagi menjadi beberapa
golongan antara lain: autoimun, infeksi, keganasan, dan lain-lain.
Gejala-gejala uveitis anterior meliputi: mata merah, fotofobia,
lakrimasi, rasa sakit, clan penglihatan kabur. Mata yang terkena
biasanya satu pihak, disertai dengan adanya flare dan sel di dalam
bilik mata depan; jarang dijumpai adanya hipopion. Variasi gejala
sering dijumpai, hal ini berhubungan dengan faktor penyebab.
Tujuan terapi uveitis anterior antara lain: mengembalikan tajam
penglihatan, mengurangi rasa nyeri di mata, mengeliminasi
peadangan atau penyebab pradangan, mencegah terjadinya sinekia
iris,m engendalikan tekanan intraokular.

25

DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas, S. 2009. Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Edisi Ketiga. Cetakan
Ke-7. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.2009. Hal.173-4
2. Vaughan, D. G. & Asbury, T. 2004. Oftalmologi Umum, Jakarta:
Widya Medika.
3. Ghozie, M. 2002. Kornea, Uvea, dan Lensa, dalam Hand Book of
Ophtalmology. Yogyakarta.
4. Kanski, J.J. 2006. Clinical Ophthalmology, Third edition. London:
Butterworth Heineann.
5. American Optometric Association. 2004. Anterior Uveitis, dalam
Optometric Clinical Practice Guideline. St. Louis: American
Optometric Association.
6. Levinson. 2011. Uveitis, Anterior, Non-granulomatous. Medscape
Reference. Diakses dari
http://emedicine.medscape.com/article/1209595. Tanggal akses
30 november 2015.
7. Rosenbaum, J. T. 2011. Anterior Uveitis. Diakses dari
http://www.uptodate. com. Tanggal akses 30 November 2015.
8. Ardy, H. 1993. Diagnosis Etiologik Uveitis Anterior. Jakarta:
Majalah Cermin Dunia Kedokteran: 47-54.
9. http://www.ncku.edu.tw/ophth/chinese/docs/pdf/Uveitis.pdf

Anda mungkin juga menyukai