Anda di halaman 1dari 17

Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa

RSD Madani Palu

Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan Universitas Tadulako

REFLEKSI KASUS

Gangguan Mental dan Perilaku akibat Penggunaan Zat Multipel

DISUSUN OLEH:

ASHAR RANDY ADIL

N 111 16 113

PEMBIMBING:
1
dr. Patmawati.M.Kes, Sp. KJ

DIBUAT DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA

RSD MADANI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS TADULAKO

PALU

2017

REFLESI KASUS
Gnagguan Mental dan Perilaku akibat Penggunaan Zat Multipel

LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. J
Umur : 30 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Alamat : Penggau
Pekerjaan : Buruh
Agama : Islam
Status Perkawinan : Belum Kawin
Warga Negara : Indonesia
2
Pendidikan : SMP
Tanggal Pemeriksaan : 27 Maret 2017
Tempat Pemeriksaan : Bangsal Srikaya Rumah Sakit Daerah Madani
Tanggal Masuk RS : 20 Maret 2017 (ketiga kalinya)

Diagnosis Sementara : F19 Gangguan Mental dan Perilaku akibat


Penggunaan Zat Multipel, Sub diagnosis F19.50 Lir-skizofrenia
(Schizophrenic-like)
A. Deksripsi
Seorang laki-laki berumur 30 tahun dibawa ke Rumah Sakit
Madani pada tanggal 20 Maret 2017 oleh ayah dan pamannya dengan
keluhan gelisah dan sering bicara sendiri. Keluhan ini dialami sejak 1
tahun lalu namun 4 hari sebelum pasien masuk masuk rumah sakit
gejala yang dialami pasien semakin parah, pasien sulit tidur selama 4
hari, sakit kepala dan penglihatan kabur. Pasien mengakui bahwa 1
tahun yang lalu pasien mengkosumsi obat-obatan seperti THD, dextro
(pil koplo), sabu-sabu, meminum minuman beralkohol (cap tikus) dan
merokok. Pasien mengatakan ia pertama kali menggunakan obat-oabt
terlarang karena melihat teman-temannya lalu ia ditawari dan akhirnya
ia mulai memakai obat-obatan tersebut. Pertama kali pasien
menggunakan THD sebanyak 3 butir biasanya paling banyak 5 butir.
Selain itu pasien juga menggunakan dextro (pil koplo) paling banyak
4 pil, sabu-sabu biasanya cuma sedikit, cap tikus biasanya 5 botol
diminum bersama 2 temannya. Ayah pasien mengatakan hal ini sudah
diketahui keluarga sejak 1 tahun lalu ketika pasien mulai berbicara
sendiri, kemudian keluarga mencoba untuk menasihati agar tidak
menggunakan obat-obat terlarang lagi, namun pasien memberontak
dan kadang sudah tidak dapat mengontrol dirinya lagi sehingga ia
tetap menggunakan obat-obat terlarang tersebut. Pasien menggunakan
obat-obat tersebut tidk menentu, kadang hampir setiap hari, tapi
kadang seminggu sekali atau sebulan sekali. Menurut paman pasien,
sejak pasien menggunakan obat-obatan dan meminum minuman
3
beralkohol pasien mulai berbicara sendiri, gelisah dan susah untuk
dinasehati. Pasien juga mengatakan bahwa pada saat menggunakan
obat-obatan, pasien sering mendengar bisikan dan melihat ibunya
yang telah meninggal untuk mengajak pasien pergi ke surga, merasa
seperti melayang dan bergerak seperti robot. Sekarang pasien
mengaku, sudah tidak mengonsumsi obat-obatan maupun alkohol,
tetapi masih merokok.
Pada pemeriksaan status mental, tampak sorang laki-laki
memakai kaos berwarna coklat dan celana jeans. Perawatan diri
cukup. Perilaku dan aktivitas psikomotor pasien tenang pembicaraan
sesuai dengan yang ditanyakan, mood disforia, afek tumpul, empati
tidak dapat dirabarasakan. Ada halusinasi visual dan auditorik dan
tidak ada gangguan isi pikir. Tilikan derajat I.

B. Emosi terkait
Kasus ini menarik untuk dibahas karena pasien merupakan pasien
pengguna zat psikoaktif multipel.

C. Evaluasi
- Pengalaman baik : selama proses anamnesis pasien cukup
kooperatif
- Pengalaman buruk: tidak ada

D. Analisis

1. Pengertian dan Klasifikasi NAPZA


Narkotika dan Obat-obatan terlarang (NARKOBA) atau Narkotik,
Psikotropika, dan Zat Adiktif (NAPZA) adalah bahan/zat yang dapat
mempengaruhi kondisi kejiwaan/ psikologi seseorang (pikiran, perasaan,
dan perilaku) serta dapat menimbulkan ketergantungan fisik dan psikologi.
[1]

Menurut UU No. 35/2009; Narkotika adalah zat atau obat yang


berasal dari tanamanatau bukan tanaman, baik sintetis maupun
4
semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan
kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri,
dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam
golongan-golongan yang terlampir dalam undang-undang Narkotika.[1]
Psikotropika yaitu zat atau obat, baik alami maupun sintesis bukan
narkotik yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada
susunan saraf dan menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan
perilaku.[1]
Zat adiktif adalah bahan lain bukan narkotika atau psikotropika
yang pengunaannya dapat menimbulkan ketergantungan baik psikologis
atau fisik. Mis : rokok, cofein.[1]

Penggolongan Narkotika Menurut UU 35/2009[2]

Golongan I:
a. Dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan.
b. Dalam jumlah terbatasuntuk kepentingan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan untuk reagensia diagnostik, serta
reagensia laboratorium setelah mendapatkan persetujuan menteri atas
rekomendasi Kepala BPOM (pasal 8).
c. Termasuk narkotika golongan I adalah opium, heroin, kokain, ganja,
metakualon, metamfetamin, amfetamin, MDMA, STP, fensiklidin.
Golongan II:
berpotensi tinggi menyebabkan ketergantungan
digunakan dalam pengobatan sebagai pilihan terakhir.
Termasuk dalam golongan ini adalah morfin, petidin, metadon.
Golongan III:
berpotensi ringan menyebabkan ketergantungan
Digunakan dalam terapi.
Termasuk dalam golongan ini adalah kodein, bufrenorfin.

Penggolongan Psikotropika[2]

Psikotropika gol 1 adalah psikotropika yang hanya dapat digunakan


untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi serta
mempunyai potensi amat kuat, mengakibatkan sindroma

5
ketergantungan. Contoh : MDMA (etcacy), LSD, Amfetamin (Shabu
) UU NO 35 thn 2009 MDMA, LSD, Amfetamin sdh nerupakan
kelompok narkotika
Psikotropika gol 2 adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan
dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan
serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma
ketergantungan. Contoh : fensiklidin dan methyl fenidate (sdh
masuk kelompok narkotika) dan sekobarbital
Psikotropika gol 3 adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan
banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi sedang, mengakibatkan
sindroma ketergantungan. Contoh : pentobarbital dan
flunitrazepam
Psikotropika gol 4 adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan
sangat luas digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakbatkan sindroma
ketergantungan. Contoh : diazepam, klobozam, fenobarbital,
barbital, klonazepam, klordiazepoxide, dan nitrazepam
Jenis Alkohol[2]
A : etanol 1-5%, (Bir)
B : etanol 5-20%, (Jenis-jenis minuman anggur)
C : etanol 20-45%, (Wiski, Vodka, TKW, Manson House, Johny Walker,
Kamput)
D. Metanol: spiritus desinfektan, zat pelarut atau pembersih
disalahgunakan berakibat fatal meskipun dalam konsentrasi rendah

Klasifikasi Berdasarkan Cara Kerjanya:[3]

No Depresan Stimulant Halusinogen

1 Alcohol Amfetamin LSD, DMT

2 Benzodiazepine Metamfetamin Meskalin

3 Opioid Kokain PCP


6
4 Solven Nikotin Ketamin

5 Barbiturate Khat Kanabis (dosis


tinggi)

6 Kanabis Kafein Magic mushrooms

7 MDMA MDMA

2. Jenis-jenis NAPZA dan Efeknya[1]

N Golongan Efek
o

1 Narkotika Jangka Pendek : Mata selalu berair, gatal-gatal di


kulit, sulit bernafas, mual, muntah, pupil menyempit

Jangka Panjang : Nafas ringan dan pendek, memerah,


kulit selalu berkeringat, Penurunan suhu tubuh,
Kekakuan otot, Hipertensi, Hepatitis, Kejang, Koma,
Kematian

2 Psikotropika Siaga, percaya diri, euphoria (perasaan gembira


berlebihan), banyak bicara, tidak mudah lelah,
tidak nafsu makan, berdebar-debar, tekanan
darah menurun, dan napas cepat.
Overdosis : jantung berdebar-debar, panik,
mengamuk, paranoid (curiga berlebihan),
tekanan darah naik, pendarahan otak, suhu
tubuh tinggi, kejang, kerusakan pada ujung-

7
ujung saraf, dan dpt mengakibatkan kematian.
Gejala putus obat : lesu, apatis, tidur
berlebihan, depresi, dan mudah tersinggung

3 Alkohol Sulit berjalan, pandangan kabur, bicara tidak jelas,


respon motorik lambat, gangguan memori, Gangguan
hepar, Gangguan selaput otak dan fungsi otak,
Gangguan perkembangan sel otak

3. Gangguan Organobiologi dari penggunaan NAPZA


Zat psikoaktif, khususnya NAPZA memiliki sifat-sifat khusus
terhadap jaringan otak : bersifat menekan aktivitas fungsi otak (depresan),
merangsang aktivitas fungsi otak (stimulansia) dan mendatangkan
halusinasi (halusinogenik). Karena otak merupakan sentra perilaku
manusia, maka interaksi antara NAPZA (yang masuk ke dalam tubuh
manusia) dengan sel-sel syaraf otak dapat menyebabkan terjadinya
perubahan perilaku manusia. Perubahan-perubahan perilaku tersebut
tergantung sifat-sifat dan jenis zat yang masuk ke dalam tubuh.[3]
Otak memiliki puluhan neurotransmitter yang masing-masing
bertugas menghantarkan pesan sensasi khusus misalnya neurotransmitter
Dopamin (DA) menghantarkan pesan sensasi rasa nikmat ( senang, enak,
euphoria, dan gembira). DA setelah lepas dalam celah sinaptik akan
mengikat diri (binding) pada reseptor-reseptor khusus yang disebut
dopamine sehingga orang tersebut merasakan sensasi rasa nikmat.
Reseptor-reseptor yang berkait pada kenikmatan terdapat pada area otak
yang disebut sentra kenikmatan yaitu bernama nucleus acumbeus (NA)
8
ventral tegmental area (VTA) dan NA- frontal cortex cerebri. Area tersebut
sering dikaitkan dengan reward pathway.[3]
Beberapa jenis NAPZA menyusup ke dalam otak karena mereka
memiliki ukuran dan bentuk yang sama dengan natural neurotransmitter.
Di dalam otak, dengan jumlah atau dosis yang tepat, NAPZA tersebut
dapat mengunci dari dalam reseptor dan memulai membangkitkan suatu
reaksi berantai pengisian pesan listrik yang tidak alami yang menyebabkan
neuron melepaskan sejumlah besar neurotransmitter miliknya. Beberapa
jenis NAPZA lain mengunci melalui neuron dengan bekerja mirip pompa
sehingga neuron melepaskan lebih banyak neurotransmitter. Ada jenis
NAPZA yang menghadang reabsorbsi atau reuptake sehingga
menyebabkan kebanjiran yang tidak alami dari neurotransmitter.[3]
NAPZA memiliki neurotransmitter yang memiliki sifat khusus
sehingga penggunaan sekaligus berbagai jenis NAPZA dapat
mendatangkan kekacauan di dalam celah sinaptik. Beberapa jenis
neurotranmiter tersebut adalah : dopamine ( amfetamin, kokain, alcohol),
Serotonin ( LSD, alcohol), GABA ( Benzodiazepin, alcohol), endorphin
( opiate, alcohol), glutamate (alcohol) dan asetilkolin ( nikotin, alcohol).
Sepeerti telah disebutkan, riset menunjukkan penggunaan NAPZA yang
lama dan berulang-ulang menyebabkan terjadinya gangguan mekanisme
biokimiawi dan fungsi otak yang bermakna yang bertanggung jawab
terhadap fungsi generasi, modulasi dan pengendalian perilaku kognitif,
emosional dan sosial. Penyalahgunaan NAPZA dapat mengintervensi
fungsi otak sehingga terjadi gangguan mental emosional dan perilaku. [3]

4. Menetapkan Diagnosis

Dalam nomenklatur kedoteran, ketergantungan NAPZA adaah


suatu jenis penyakit atau disease entity yang dalam ICD 10 yang

9
dikeluarkan WHO digolongkan dalam Mental and behavioral disorders
due to psychoactive substance use.

Menurut DSM-IV menggolongkan gangguan ini dalam dua kategori[4]


a. Gangguan Penggunaan Zat (substance use disorders) penggunaan
maladaptif dari zat psikoaktif, tipe gangguan ini mencakup gangguan
penyalahgunaan zat (substance abuse) dan gangguan ketergantungan
zat (substance dependence).
b. Gangguan Akibat Penggunaan Zat (subtance induced disorders)
Gangguan fisiologis ataupun psikologis yang muncul karena
penggunaan zat psikoaktif, seperti intoksikasi, gejala putus zat,
gangguan mood, delirium, demensia, amnesia, gangguan psikotik,
gangguan kecemasan, disfungsi seksual, dan gangguan tidur.

Gangguan Mental dan Prilaku Akibat Penggunaan Zat Psikoaktif


(F10-F19)[5]

F10 : - Gangguan Mental dan Prilaku Akibat Penggunaan Alkohol

F 11 : - Gangguan Mental dan Prilaku Akibat Penggunaan Opioida

F12 : - Gangguan Mental dan Prilaku Akibat Penggunaan Kanabinoida

F13 : - Gangguan Mental dan Prilaku Akibat Penggunaan Sedativa atau


Hipnotika

F14 : - Gangguan Mental dan Prilaku Akibat Penggunaan Kokain

F15 : - Gangguan Mental dan Prilaku Akibat Penggunaan Stimulainsia lain


termasuk Kafein

F16 : - Gangguan Mental dan Prilaku Akibat Penggunaan Halusinogenika

F17 : - Gangguan Mental dan Prilaku Akibat Penggunaan Tembakau

10
F18 : - Gangguan Mental dan Prilaku Akibat Penggunaan Pelarut yang
mudah menguap

F19 : - Gangguan Mental dan Prilaku Akibat Penggunaan Zat Multipel dan
Penggunaan Zat Psikoaktif lainnya.

F1x.0 Intoksikasi Akut

Intoksikasi Akut: Intoksikasi akut merupakan suatu kondisi peralihan yang


timbul akibat penggunaan alcohol atauzat psikoaktif lain sehingga terjadi
gangguan kesadaran, fungsi kognitif, persepsi, afek atau perilaku,atau
fungsi dan respons psikofisiologis lainnya.

Kriteria Diagnosis Menurut PPDGGJ III

Intoksikasi akut dikaitkan dengan tingkat dosis yang digunakan, individu dengan
kondisi organik tertentu yang mendasarinya (misal: insufisiensi ginjal atau hati)
yang dalam dosis kecil dapat menyebabkan efek intoksikasi berat yang tidak
proporsional.

Disinhibisi sosial (penyimpangan perilaku yang masih dapat diterima masyarakat


seperti: pesta, atau upacara keagamaan).

Intoksikasi akut merupakan fenomena peralihan yang timbul akibat penggunaan


alcohol atau zat psikoaktif lain sehingga terjadi gangguan kesadaran, fungsi
kognitif, persepsi, afek atau prilaku, atau fungsi dan respons, psikofisiologis
lainnya.

Intensitas intoksikasi berkurang dengan berlalunya waktu dan pada akhirnya


efeknya menghilang bila tidak terjadi penggunaan zat lagi. Dengan demikian
orang tersebut akan kembali ke kondisi semula, kecuali jika ada jaringan yang
rusak atau terjadi komplikasi lainnya.

11
F1x.1 Penggunaan yang merugikan

Kriteria diagnosis menurut PPDGJ III

Adanya pola penggunaan zat psikoaktif yang merusak kesehatan, yang dapat
berupa fisik (seperti pada kasus hepatitis karena menggunakan obat melalui
suntikan diri sendiri) atau mental (misalnya episode gangguan depresi sekunder
karena konsumsi bert alcohol)

Pola penggunaan yang merugikan sering dikecam oleh pihak lain dan seringkali
disertai berbagai konsekuaensi social yang tidak diinginkan.

Tidak ada sindrom ketergantungan (F1x.2), gangguan psikotik (F1x.5) atau


bentuk spesifik lain dari gangguan yang berkaitan dengan penggunaan obat atau
alkohol

F1x.2 Sindrom Ketergantungan

Kriteria Diagnosis

Diagnosis yang pasti ditegakkan, jika ditemukan tiga atau lebih gejala di bawah ini
dialami dalam masa setahun sebelumnya:

a. adanya keinginan yang kuat atau dorongan yang memaksa (kompulsi) untuk
menggunakan zat;

b. kesulitan dalam mengendalikan perilaku menggunakan zat sejak awal, usaha


penghentian atau tingkat penggunaannya;

c. keadaan putus zat secara fisiologis (lihat Flx.3 atau Flx.4) ketika penghentian
penggunaan zat atau pengurangan, terbukti menggunakan zat atau golongan zat
yang sejenis dengan tujuan untuk menghilangkan atau menghindari terjadinya
12
gejala putus zat;

d. adanya toleransi, berupa peningkatan dosis zat psikoaktif yang diperlukan guna
memperoleh efek yang sama yang biasanya diperoleh dengan dosis lebih rendah
(contoh: individu dengan ketergantungan alkohol dan opiate yang secara rutin
setiap hari menggunakan zat tersebut secukupnya untuk mengendalikan
keinginannya);

e. secara progresif mengabaikan alternative menikmati kesenangan karena


penggunaan zat psikoaktif lain, meningkatnya jumlah waktu yang diperlukan
untuk mendapatkan atau menggunakan zat atau pulih dari akibatnya;

f. terus menggunakan zat meskipun is menyadari adanya akibat yang merugikan


kesehatannya

Diagnosis sindrom ketergantungan dapat ditentukan lebih lanjut dengan


kode lima karakter berikut:

F1x. 20 Kini abstinen

F1x. 21 Kini abstinen, tetapi dalam lingkungan yang terlindung (seperti


dalam rumah sakit, kumuniti terapeutik, lembaga permasyarakatan, dll)

F1x. 22 Kini dalam pengawasan klinis dengan terapi pemeliharaaan atau


dengan pengobatan pengganti

F1x. 23 Kini abstinen, tetapi sedang dalam terapi obat aversif atau
penyekat

F1x.24 Kini sedang menggunakan zat

F1x.25 Penggunaan berkelanjutan

F1x.26 Penggunaan episodic

13
F1x. 3 Keadaan Putus Zat

Kriteria Diagnostik

Keadaan putus zat merupakan indikator sindrom ketergantungan (lihat


Flx.2) dan diagnosis sindrom ketergantungan zat harus turut
dipertimbangkan.

Keadaan putus zat, dicatat sebagai diagnosis utama, bila hal ini merupakan
alasan rujukan dan cukup parah sehingga memerlukan perhatian medis
secara khusus.

Gejala fisik bervariasi sesuai dengan zat yang digunakan. Gangguan


psikologis(misalnya anxietas, depresi dan gangguan tidur). khas ialah
pasien akan melaporkan bahwa gejala putus zat akan mereda dengan
meneruskan penggunaan zat.

Tahapan Terapi[3]
a. Fase penilaiaan: pada fase ini diperoleh informasi dari pasien, maka
perlu dilakukan evaluasi psikiatri yang komperhensif. Informasi juga
dapat dikumpulkan dari karyawan, teman sekolah, ataupun teman
kantor. Yang perlu dinilai meliputi: penilaiaan sistematik terhadap
tingkat intoksikasi, riwayat medik, psikiatri yang komperhensif, riwayat
terapi penggunaan NAPZA sebelumnya, riwayat penggunaan NAPZA
sebelumnya, penapisan melalui darah dan urin, skrining penyakit lain
b. Fase terapi detoksifikasi
c. Fase terapi lanjutan

Terapi substitusi: sering juga di sebut terapi rumatan. Idealnya terapi


rumatan: rendah potensi untuk didiversikan, lama aksi cukup panjang,

14
toksisitas rendah, fase doetoksifikasi harus singkat, pasien menerima dengan
ikhlas dan baik. Namun belum ditemukan yang ideal sehingga
menggunakan agonis (metadon), buprenoprin, antagonis naltrekson.[3]
Tahap rehabilitasi: Ada tiga tahap rehabilitasi narkoba yang harus dijalani.
Pertama, tahap rehabilitasi medis (detoksifikasi) yaitu proses pecandu
menghentikan penyalahgunaan narkoba di bawah pengawasan dokter untuk
mengurangi gejala putus zat (sakau). Tahap kedua, yaitu tahap rehabilitasi
non medis dengan berbagai program di tempat rehabilitasi, misalnya
program therapeutic communities (TC).[3]

Epidemiologi penggunaan NAPZA di Indonesia


Prevalensi pengguna NAPZA semakin meningkat tiap tahun ke tahun dan
menunjukkan fenomena gunung es (ice berg fenomena) dimana kasus yang
tampak pada permukaan lebih sedikit dibandingkan kasus yang tidak
nampak.Berdasarkan perhitungan WHO, jumlah penyalaguna yang datang
hanya 10% dari jumlah penyalaguna sebenarnya.[6]
Dari hasil Laporan akhir BNN tentang survei nasional perkembangan
penyalahguna NAPZA tahun 2014. Dengan lokasi studi 17 provinsi di
Indonesia didapatkan Diperkirakan jumlah penyalahguna narkoba sebanyak 3,8
juta sampai 4,1 juta orang atau sekitar 2,10% sampai 2,25% dari total seluruh
penduduk Indonesia yang berisiko terpapar narkoba di tahun 2014. Jika
dibandingkan studi tahun 2011, angka prevalensi tersebut relatif stabil (2,2%)
tetapi terjadi kenaikan bila dibandingkan hasil studi tahun 2008 (1,9%). Hasil
proyeksi perhitungan penyalahguna narkoba dibagi menjadi 3 skenario, yaitu
skenario naik, skenario stabil, dan skenario turun. Pada skenario naik, jumlah
penyalahgunaakan meningkat dari 4,1 juta (2014) menjadi 5,0 juta orang
(2020). Sementara bila skenario turun akan menjadi 3,7 juta orang (2020).
Kontribusi jumlah penyalahguna terbesar berasal dari kelompok pekerja,
karena memiliki kemampuan finansial dan tekanan kerja yang besar sehingga
tingkat stress tinggi.Penyalahguna coba pakai memiliki proporsi terbesar,
15
terutama dari kelompok pelajar/mahasiswa. Sementara itu, pada kelompok
pecandu suntik, polanya cenderung stabil untuk 7 tahun ke depan. Hal yang
perlu dikhawatirkan pada penyalahguna narkoba suntik adalah pemakaian
bersama alat suntik yang beresiko tinggi tertular penyakit hepatitis dan
HIV/AIDS.[6]

Prognosis

Prognosis dari penyalahgunaan napza tergantung dari berbagai faktor antara


lain:

- jenis adiksi
- cepat lambatnya terapi
- pendidikan
- budaya
- lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA
16
1. BNN, 2013. Pedoman Pencegahan penyalaguna NAPZA, Badan Narkotika
Nasional: Jakarta. From :http://www.bnn.go.id/, diakses pada 01 Februari
2016
2. Soetjipto, 2007 Berbagai macam adiksi dan penyalahgunaan narkoba
,indonesian phisician journal, 2007, vol.23 .N0.1., universitas airlangga.
3. Elvira S, Hadisukanto G, 2013. Buku Ajar Psikiatri Edisi Kedua. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
4. Sadock B, Shadock, Virginia. 2010. Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri
Klinis, Penerbit EGC. Jakarta
5. Maslim R, 2001. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari
PPDGJ-III. Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya, Jakarta.
6. BNN RI, 2014. Laporan akhir survei nasional perkembangan penyalahguna
narkoba tahun anggaran 2014. Badan Narkotika Nasional (BNN): Jakarta.

17

Anda mungkin juga menyukai