REFLEKSI KASUS
DISUSUN OLEH:
N 111 16 113
PEMBIMBING:
1
dr. Patmawati.M.Kes, Sp. KJ
RSD MADANI
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2017
REFLESI KASUS
Gnagguan Mental dan Perilaku akibat Penggunaan Zat Multipel
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. J
Umur : 30 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Alamat : Penggau
Pekerjaan : Buruh
Agama : Islam
Status Perkawinan : Belum Kawin
Warga Negara : Indonesia
2
Pendidikan : SMP
Tanggal Pemeriksaan : 27 Maret 2017
Tempat Pemeriksaan : Bangsal Srikaya Rumah Sakit Daerah Madani
Tanggal Masuk RS : 20 Maret 2017 (ketiga kalinya)
B. Emosi terkait
Kasus ini menarik untuk dibahas karena pasien merupakan pasien
pengguna zat psikoaktif multipel.
C. Evaluasi
- Pengalaman baik : selama proses anamnesis pasien cukup
kooperatif
- Pengalaman buruk: tidak ada
D. Analisis
Golongan I:
a. Dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan.
b. Dalam jumlah terbatasuntuk kepentingan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan untuk reagensia diagnostik, serta
reagensia laboratorium setelah mendapatkan persetujuan menteri atas
rekomendasi Kepala BPOM (pasal 8).
c. Termasuk narkotika golongan I adalah opium, heroin, kokain, ganja,
metakualon, metamfetamin, amfetamin, MDMA, STP, fensiklidin.
Golongan II:
berpotensi tinggi menyebabkan ketergantungan
digunakan dalam pengobatan sebagai pilihan terakhir.
Termasuk dalam golongan ini adalah morfin, petidin, metadon.
Golongan III:
berpotensi ringan menyebabkan ketergantungan
Digunakan dalam terapi.
Termasuk dalam golongan ini adalah kodein, bufrenorfin.
Penggolongan Psikotropika[2]
5
ketergantungan. Contoh : MDMA (etcacy), LSD, Amfetamin (Shabu
) UU NO 35 thn 2009 MDMA, LSD, Amfetamin sdh nerupakan
kelompok narkotika
Psikotropika gol 2 adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan
dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan
serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma
ketergantungan. Contoh : fensiklidin dan methyl fenidate (sdh
masuk kelompok narkotika) dan sekobarbital
Psikotropika gol 3 adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan
banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi sedang, mengakibatkan
sindroma ketergantungan. Contoh : pentobarbital dan
flunitrazepam
Psikotropika gol 4 adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan
sangat luas digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakbatkan sindroma
ketergantungan. Contoh : diazepam, klobozam, fenobarbital,
barbital, klonazepam, klordiazepoxide, dan nitrazepam
Jenis Alkohol[2]
A : etanol 1-5%, (Bir)
B : etanol 5-20%, (Jenis-jenis minuman anggur)
C : etanol 20-45%, (Wiski, Vodka, TKW, Manson House, Johny Walker,
Kamput)
D. Metanol: spiritus desinfektan, zat pelarut atau pembersih
disalahgunakan berakibat fatal meskipun dalam konsentrasi rendah
7 MDMA MDMA
N Golongan Efek
o
7
ujung saraf, dan dpt mengakibatkan kematian.
Gejala putus obat : lesu, apatis, tidur
berlebihan, depresi, dan mudah tersinggung
4. Menetapkan Diagnosis
9
dikeluarkan WHO digolongkan dalam Mental and behavioral disorders
due to psychoactive substance use.
10
F18 : - Gangguan Mental dan Prilaku Akibat Penggunaan Pelarut yang
mudah menguap
F19 : - Gangguan Mental dan Prilaku Akibat Penggunaan Zat Multipel dan
Penggunaan Zat Psikoaktif lainnya.
Intoksikasi akut dikaitkan dengan tingkat dosis yang digunakan, individu dengan
kondisi organik tertentu yang mendasarinya (misal: insufisiensi ginjal atau hati)
yang dalam dosis kecil dapat menyebabkan efek intoksikasi berat yang tidak
proporsional.
11
F1x.1 Penggunaan yang merugikan
Adanya pola penggunaan zat psikoaktif yang merusak kesehatan, yang dapat
berupa fisik (seperti pada kasus hepatitis karena menggunakan obat melalui
suntikan diri sendiri) atau mental (misalnya episode gangguan depresi sekunder
karena konsumsi bert alcohol)
Pola penggunaan yang merugikan sering dikecam oleh pihak lain dan seringkali
disertai berbagai konsekuaensi social yang tidak diinginkan.
Kriteria Diagnosis
Diagnosis yang pasti ditegakkan, jika ditemukan tiga atau lebih gejala di bawah ini
dialami dalam masa setahun sebelumnya:
a. adanya keinginan yang kuat atau dorongan yang memaksa (kompulsi) untuk
menggunakan zat;
c. keadaan putus zat secara fisiologis (lihat Flx.3 atau Flx.4) ketika penghentian
penggunaan zat atau pengurangan, terbukti menggunakan zat atau golongan zat
yang sejenis dengan tujuan untuk menghilangkan atau menghindari terjadinya
12
gejala putus zat;
d. adanya toleransi, berupa peningkatan dosis zat psikoaktif yang diperlukan guna
memperoleh efek yang sama yang biasanya diperoleh dengan dosis lebih rendah
(contoh: individu dengan ketergantungan alkohol dan opiate yang secara rutin
setiap hari menggunakan zat tersebut secukupnya untuk mengendalikan
keinginannya);
F1x. 23 Kini abstinen, tetapi sedang dalam terapi obat aversif atau
penyekat
13
F1x. 3 Keadaan Putus Zat
Kriteria Diagnostik
Keadaan putus zat, dicatat sebagai diagnosis utama, bila hal ini merupakan
alasan rujukan dan cukup parah sehingga memerlukan perhatian medis
secara khusus.
Tahapan Terapi[3]
a. Fase penilaiaan: pada fase ini diperoleh informasi dari pasien, maka
perlu dilakukan evaluasi psikiatri yang komperhensif. Informasi juga
dapat dikumpulkan dari karyawan, teman sekolah, ataupun teman
kantor. Yang perlu dinilai meliputi: penilaiaan sistematik terhadap
tingkat intoksikasi, riwayat medik, psikiatri yang komperhensif, riwayat
terapi penggunaan NAPZA sebelumnya, riwayat penggunaan NAPZA
sebelumnya, penapisan melalui darah dan urin, skrining penyakit lain
b. Fase terapi detoksifikasi
c. Fase terapi lanjutan
14
toksisitas rendah, fase doetoksifikasi harus singkat, pasien menerima dengan
ikhlas dan baik. Namun belum ditemukan yang ideal sehingga
menggunakan agonis (metadon), buprenoprin, antagonis naltrekson.[3]
Tahap rehabilitasi: Ada tiga tahap rehabilitasi narkoba yang harus dijalani.
Pertama, tahap rehabilitasi medis (detoksifikasi) yaitu proses pecandu
menghentikan penyalahgunaan narkoba di bawah pengawasan dokter untuk
mengurangi gejala putus zat (sakau). Tahap kedua, yaitu tahap rehabilitasi
non medis dengan berbagai program di tempat rehabilitasi, misalnya
program therapeutic communities (TC).[3]
Prognosis
- jenis adiksi
- cepat lambatnya terapi
- pendidikan
- budaya
- lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
16
1. BNN, 2013. Pedoman Pencegahan penyalaguna NAPZA, Badan Narkotika
Nasional: Jakarta. From :http://www.bnn.go.id/, diakses pada 01 Februari
2016
2. Soetjipto, 2007 Berbagai macam adiksi dan penyalahgunaan narkoba
,indonesian phisician journal, 2007, vol.23 .N0.1., universitas airlangga.
3. Elvira S, Hadisukanto G, 2013. Buku Ajar Psikiatri Edisi Kedua. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
4. Sadock B, Shadock, Virginia. 2010. Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri
Klinis, Penerbit EGC. Jakarta
5. Maslim R, 2001. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari
PPDGJ-III. Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya, Jakarta.
6. BNN RI, 2014. Laporan akhir survei nasional perkembangan penyalahguna
narkoba tahun anggaran 2014. Badan Narkotika Nasional (BNN): Jakarta.
17