TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Virologi
Virus Corona merupakan virus RNA dengan ukuran partikelnya 60-140 nm
(Meng dkk., 2020; Zhu dkk., 2020). Xu dkk melakukan penelitian untuk
mengetahui penyebab terjadinya wabah Wuhan dengan memanfaatkan rangkaian
genom 2019-nCoV, yang berhasil diisolasi dari pasien terinfeksi di Wuhan.
Rangkaian genom 2019-nCoV kemudian selanjutnya dibandingkan dengan
SARSCoV serta MERS-CoV. Hasilnya, beberapa rangkaian genom 2019-nCoV
yang diteliti nyaris identik satu sama lain dan juga 2019-nCoV berbagi rangkaian
genom yang lebih homolog dengan SARS-CoV dibanding dengan MERSCoV.
Penelitian lebih lanjut oleh Xu dkk. (2020) dilakukan untuk mengetahui asal 2019-
nCoV dan hubungan genetiknya dengan virus Corona lain dengan menggunakan
analisis filogenetik.
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa 2019-nCoV termasuk dalam genus
betacoronavirus (Xu dkk., 2020). Penelitian serupa untuk mengetahui penyebab
wabah di Wuhan juga dilakukan oleh Zhu dkk (2020). Hasil mikrograf elektron
dari partikel untai negatif 2019-nCoV menunjukkan bahwa morfologi virus
umumnya berbentuk bola dengan beberapa pleomorfisme. Diameter virus
bervariasi antara 60-140 nm. Partikel virus memiliki protein spike yang cukup
khas, yaitu sekitar 9-12 nm dan membuat penampakan virus mirip seperti korona
matahari. Morfologi yang didapatkan oleh Zhu dkk. (2020) serupa dengan family
Coronaviridae. Hasil analisis filogenetik yang dilakukan oleh Zhu dkk (2020)
menunjukkan hasil yang sama dengan penelitian dari Xu dkk. (2020) bahwa virus
ini masuk dalam kelompok genus betacoronavirus dengan subgenus yang sama
dengan virus penyebab wabah Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) 2002-
2004 silam yaitu Sarbecovirus.
International Virus Classification Commisson menamakan agen kausatif ini
sebagai SARS-CoV-2 (Lingeswaran dkk, 2020; Susilo dkk, 2020). Mekanisme
dari virulensi virus corona berhubungan dengan protein struktural dan juga protein
non struktural. Virus Corona menyediakan messenger RNA (mRNA) yang
4
5
2.1.2 Patogenesis
Virus dapat melewati membran mukosa, terutama mukosa nasal dan laring,
kemudian memasuki paru dari traktus respiratorius. Selanjutnya, virus menyerang
organ target yang mengekspresikan Angiotensin Converting Enzyme dua (ACE2),
seperti paru-paru, jantung, sistem renal dan tractus gastrointestinal (Gennaro dkk.,
2020). Protein S pada SARS-CoV-2 memfasilitasi masuknya virus corona ke
dalam sel target. Masuknya virus bergantung pada kemampuan virus berikatan
dengan ACE2, yaitu reseptor membran ekstraselular yang diekspresikan pada sel
6
penundaan sekresi sitokin dan kemokin oleh sel imun innate dikarenakan blokade
oleh protein non-struktural virus. Selanjutnya, hal ini akan menyebabkan
terjadinya lonjakan sitokin proinflamasi dan kemokin (IL-6, TNFa, IL-8, MCP-1,
IL-1 ß, CCL2, CCL5, serta interferon) melalui aktivasi makrofag dan limfosit.
Pelepasan sitokin ini memicu aktivasi sel imun adaptif seperti sel T, neutrofil, dan
sel NK bersamaan dengan terus terproduksinya sitokin proinflamasi. Lonjakan
sitokin proinflamasi yang cepat ini memicu terjadinya infiltrasi inflamasi jaringan
paru yang menyebabkan kerusakan paru pada bagian epitel dan endotel.
Kerusakan ini dapat berakibat pada terjadinya ARDS dan kegagalan multi organ
yang dapat menyebabkan kematian dalam waktu yang singkat (Gennaro dkk,
2020; Lingeswaran dkk, 2020). Seperti diketahui bahwa transmisi utama dari
SARS-CoV-2 adalah melalui droplet. Akan tetapi, terdapat kemungkinan
terjadinya transmisi melalui fekal-oral. Penelitian Xiao dkk. (2020) menunjukkan
bahwa dari 73 pasien yang dirawat karena Covid19, terdapat 53,42% pasien yang
diteliti positif RNA SARS- CoV-2 pada fesesnya. Bahkan, 23,29% dari pasien
tersebut tetap terkonfirmasi positif RNA SARS-CoV-2 di feses, meskipun pada
sampel pernafasan sudah menunjukkan hasil negatif. Lebih lanjut, penelitian juga
membuktikan bahwa terdapat ekspresi ACE2 berlimpah pada sel-sel glandular
gaster, duodenum, dan epitel rektum, serta ditemukan protein nukleokapsid virus
pada epitel gaster, duodenum dan rektum. Hal ini menunjukkan bahwa SARS-
CoV-2 juga dapat menginfeksi saluran pencernaan serta berkemungkinan untuk
terjadi transmisi melalui fekal-oral (Kumar dkk., 2020; Xiao dkk., 2020).
pneumonia berat). Kriteria napas cepat: usia <2 bulan, =60x/menit; usia 2–
11 bulan, =50x/menit; usia 1–5 tahun, =40x/menit; usia >5 tahun,
=30x/menit.
4. Berat /Pneumonia Berat; pada pasien remaja atau dewasa: pasien dengan
tanda klinis pneumonia (demam, batuk, sesak dan napas cepat) ditambah
satu dari: frekuensi napas > 30 x/menit, distres pernapasan berat, atau
SpO2< 93% pada udara ruangan ATAU Pada anak: pasien dengan tanda
klinis pneumonia (batuk atau kesulitan bernapas), ditambah setidaknya satu
dari berikut ini:
- Sianosis sentral atau SpO2 <93%;
- Distres pernapasan berat (seperti napas cepat, grunting, tarikan dinding dada
yang sangat berat);
- Tanda bahaya umum: ketidakmampuan menyusu atau minum, letargi
ataupun penurunan kesadaran, atau kejang.
- Napas cepat/tarikan dinding dada/takipnea: usia <2 bulan, =60x/menit; usia
2–11 bulan, =50x/menit; usia 1–5 tahun, =40x/menit; >5 tahun, =30x/menit.
- Kritis; pasien dengan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), sepsis
dan syok sepsis.
Gambar 2.1 Alur dan Tatalaksana Pneumonia Covid-19 (Burhan et al, 2020)
14
kondisi ARDS yang disebabkan infeksi SARS-CoV-2. Pada sebuah studi klinis
yang melibatkan 52 pasien. Anakinra diketahui dapat menurunkan kebutuhan
pemakaian ventilasi mekanis invasif dan menurunkan kematian pasien COVID-19
tanpa efek samping yang serius. Dosis yang dapat diberikan adalah 100 mg per 12
jam selama 72 jam dilanjutkan dengan 100 mg per 24 jam selama 7 hari (Burhan
et al, 2020).
3. Antibiotik
Potensi penggunaan antibiotik yang berlebih pada era pandemik Covid-19
ini menjadi ancaman global terhadap meningkatnya kejadian bakteri multi-
resisten. Hingga saat ini belum dapat sepenuhnya dipahami bagaimana hubungan
langsung dari pandemik ini terhadap peningkatan angka total bakteri
multiresisten, namun dari beberapa telaah data kasus Covid-19 dari seluruh dunia,
terutama di Asia, 70% dari total pasien ini mendapatkan terapi antimikroba
meskipun pada kenyataannya kurang dari 10% yang terbukti benar-benar
mengalami ko-infeksi dengan bakteri maupun jamur. Rasionalisasi dari
penggunaan antibiotik pada covid-19 nampaknya mengacu kepada pengalaman
kejadian superinfeksi bakteri pada infeksi influenza, dimana 11-35% kasus
influenza yang dirawat terbukti mengalami ko-infeksi bakteri sekunder inisial
yang umumnya disebabkan infeksi Streptococcus pneumoniae dan
Staphylococcus aureus. Infeksi virus di saluran pernapasan sendiri dikatakan
dapat menjadi faktor predisposisi koinfeksi bakteri maupun jamur yang pada
akhirnya dapat berakibat buruk terhadap derajat keparahan hingga kematian.
Angka kejadian sesungguhnya dari ko-infeksi bakteri pada kasus covid-19 hingga
saat ini belum diketahui. Rekomendasi pemberian antibiotik bervariasi di masing-
masing negara dan juga kecenderungan yang ada adalah opsi untuk memberikan
antibiotik secara empirik. Antibiotik yang digunakan dan dianjurkan pada covid-
19 ialah azitromisin dan levofloksasin (Burhan et al, 2020).
seluler, inflamasi paru yang luas, edema paru, dan pembentukan membran hyalin.
MSCs bekerja sebagai imunoregulasi dengan nekan profilerasi sel T. Selain itu,
sel punca dapat berinteraksi dengan sel-sel dendritik sehingga menyebabkan
pergeseran sel Th-2 proinflamasi menjadi Th anti-inflamasi termasuk perubahan
dari profil stikoin menuju anti-inflamasi. Hingga saat ini, belum terdapat jenis
MSCs yang mendapat rekomendasi FDA Amerika sebagai pengobatan COVID-
19, serta penggunannya pun dibatasi hanya untuk kepentingan uji klinis,
expanded access programs ataupun emergency investigational new drug
application (Burhan et al, 2020).
7. N-Asetilsistein
Infeksi SARS-CoV-2 berhubungan dengan ketidakseimbangan oksidan dan
antioksidan yang mengakibatkan inflamasi dan kerusakan jaringan. Glutation
ialah antioksidan yang banyak ditemukan di tubuh dan berperan dalam
melindungi sel dari stres oksidatif. N-asetilsistein (NAC), yang sering digunakan
sebagai obat-obat mukolitik memiliki sifat antioksidan secara langsung maupun
secara tidak langsung melalui pelepasan gugus sistein sebagai senyawa prekursor
dalam proses sintesis glutation. Berbagai penelitian sebelumnya, data awal
penelitian terhadap COVID-19 dan ulasan patofisiologis mengarahkan bahwa sifat
antioksidan N-asetilsistein dapat bermanfaat sebagai terapi dan/atau pencegahan
COVID-19. Uji klinis NAC pada COVID19 masih sangat terbatas. Dosis yang
digunakan adalah di atas/sama dengan 1200 mg per hari oral ataupun intravena,
terbagi 2-3 kali pemberian (Burhan et al, 2020).
8. Kolkisin
18
Saat ini, terdapat beberapa penelitian yang berusaha menilai efektivitas dari
kolkisin untuk COVID-19. Ada beberapa hipotesis mekanisme kerja dari kolkisin
pada COVID-19, diantaranya adalah (1) menghambat ekspresi E-selectin dan L-
selecin (mencegah perlekatan netrofil jaringan); (2) mengubah struktur
sitoskeleton netrofil; (3) menghambat NLRP3 dari inflamasi (mengambat badai
sitokin); dan (4) mengambat netrofil elastase (mencegah aktivasi ataupun agregasi
platelet). Sebuah RCT dari Lopes menilai pemberian kolkisin sebagai terapi
adjuvant pada COVID-19 dibandingkan dengan yang mendapat terapi standar.
Penelitian menunjukkan bahwa kolkisin dapat menurunkan kebutuhan
penggunaan oksigen, menurunkan lama rawat, dan menurunkan CRP (Burhan et
al, 2020).
9. Spinorolakton
Reseptor ACE-2, regulasi sistem renin-angiotensin aldosterone (RAAS),
dan TMPRSS2 (transmembrane portease, serine 2) merupakan faktor yang
berpengaruh terhadap infektivitas dan juga kemampuan SARS-CoV-2 untuk
masuk ke dalam sel. Ekspresi ACE-2 dan juga regulasi RAAS mengalami
abnormalitas pada pasien hipertensi dan obesitas, sedangkan TMPRSS2
mengalami ekspresi yang berlebihan ketika terpapar androgen. Spironolakton
adalah salah satu jenis mineralokortikoid yang memiliki efek antagonis reseptor
androgen, antihipertensi, kardioprotektif, dan nefroprotektif. Spironolakton
dihipotesiskan mampu memitigasi abnormalitas ekspresi ACE-2, memperbaiki
keseimbangan ACE-2 yang tersirkulasi dan terikat pada membrane, mengambat
aktivitas TMPRSS2 yang termediasi androgen, dan memperbaiki disfungsi RAAS
yang berpotensi mengurangi pematangan virus. Oleh karena itu, spironolakton
berpotensi memberikan efek protektif terhadap SARS-CoV-2, terutama pada
stadium awal (Burhan et al, 2020).
10. Bronkoskopi
Bronkoskopi merupakan salah satu tindakan di bidang respirasi yang
dibatasi penggunaannya, mengingat COVID-19 merupakan penyakit yang sangat
infeksius sehingga tindakan ini belum menjadi rekomendasi baku untuk
19
2.3 Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari proses tahu dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan tersebut
terjadi melalui sistem panca indra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran,
penciuman, rasa dan raba. Pada dasarnya, sebagian besar dari pengetahuan
manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Definisi lain dari pengetahuan adalah
suatu proses mengetahui dan menghasilkan sesuatu. Pengetahuan merupakan hasil
dari usaha manusia untuk tahu, dengan kata lain pengetahuan adalah hasil
ungkapan apa yang diketahui atau hasil dari pekerjaan (Notoadmodjo, 2007;
Sudigdo, 2011).
Pengetahuan itu sendiri pada dasarnya dipengaruhi oleh faktor pendidikan
formal. Pengetahuan diketahui sangat erat kaitannya dengan pendidikan, dimana
diharapkan bahwa dengan pendidikan yang tinggi maka orang tersebut akan
semakin luas pula pengetahuannya. Akan tetapi perlu ditekankan, bukan berarti
seseorang yang berpendidikan rendah mutlak akan berpengetahuan rendah pula.
Pengetahuan seseorang tentang suatu objek mengandung dua aspek, yaitu aspek
positif dan negatif. Kedua aspek inilah yang akan menentukan sikap seseorang
semakin banyak aspek positif dan objek yang diketahui, maka akan menimbulkan
sikap makin positif terhadap objek tertentu (Notoadmodjo, 2007; Sudigdo, 2011).
Menurut Notoatmodjo pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang
penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Dari pengalaman dan penelitian
ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada
perilaku yang tidak didasari oleh suatu pengetahuan. Sebelum orang mengadopsi
perilaku baru (berperilaku baru didalam diri seseorang terjadi proses yang terjadi
berurutan), yakni awareness (kesadaran), interest (merasa tertarik), evaluation
(menimbang-menimbang), trial, dan adaption. Apabila penerimaan perilaku baru
atau adopsi perilaku melalui proses seperti ini, dimana didasari oleh pengetahuan,
kesadaran dan sikap yang positif, maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng
(longlasting). Sebaliknya, apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan
kesadaran akan tidak berlangsung lama. Jadi, Pentingnya pengetahuan disini
adalah dapat menjadi dasar dalam merubah perilaku sehingga perilaku itu
22
6. Evaluasi
Evaluasi merupakan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian
terhadap suatu materi atau objek. Penilaian ini berdasarkan kriteria yang telah
ditentukan sendiri ataupun kriteria yang telah ada. Pengukuran pengetahuan dapat
dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan isi materi yang ingin
23
diukur dari subjek penelitian. Indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui
tingkat pengetahuan terhadap kesehatan, sebagai berikut:
a. Pengetahuan tentang sakit dan penyakit yang meliputi penyebab penyakit,
gejala atau tanda-tanda penyakit, bagaimana cara pengobatan, bagaimana
cara penularan, dan bagaimana cara pencegahan.
b. Pengetahuan tentang cara pemeliharaan kesehatan dan cara hidup sehat yang
meliputi pengetahuan tentang jenis-jenis makanan bergizi, manfaat makanan
bergizi, pentingnya olahraga, pentingnya istirahat cukup, penyakit-penyakit
atau bahaya merokok, narkoba, dan sebagainya.
c. Pengetahuan tentang kesehatan lingkungan berupa pengetahuan mengenai
manfaat air bersih, cara-cara pembuangan limbang yang sehat, akibat polusi
bagi kesehatan, dan manfaat pencahayaan.
A B
Tingkat Pengetahuan
Penyuluhan Covid-19
Kader
24
Keterangan
= Diteliti
= Hasil
= Tidak diteliti
= Variabel pengganggu