Anda di halaman 1dari 21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pneumonia Covid-19

2.1.1 Virologi
Virus Corona merupakan virus RNA dengan ukuran partikelnya 60-140 nm
(Meng dkk., 2020; Zhu dkk., 2020). Xu dkk melakukan penelitian untuk
mengetahui penyebab terjadinya wabah Wuhan dengan memanfaatkan rangkaian
genom 2019-nCoV, yang berhasil diisolasi dari pasien terinfeksi di Wuhan.
Rangkaian genom 2019-nCoV kemudian selanjutnya dibandingkan dengan
SARSCoV serta MERS-CoV. Hasilnya, beberapa rangkaian genom 2019-nCoV
yang diteliti nyaris identik satu sama lain dan juga 2019-nCoV berbagi rangkaian
genom yang lebih homolog dengan SARS-CoV dibanding dengan MERSCoV.
Penelitian lebih lanjut oleh Xu dkk. (2020) dilakukan untuk mengetahui asal 2019-
nCoV dan hubungan genetiknya dengan virus Corona lain dengan menggunakan
analisis filogenetik.
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa 2019-nCoV termasuk dalam genus
betacoronavirus (Xu dkk., 2020). Penelitian serupa untuk mengetahui penyebab
wabah di Wuhan juga dilakukan oleh Zhu dkk (2020). Hasil mikrograf elektron
dari partikel untai negatif 2019-nCoV menunjukkan bahwa morfologi virus
umumnya berbentuk bola dengan beberapa pleomorfisme. Diameter virus
bervariasi antara 60-140 nm. Partikel virus memiliki protein spike yang cukup
khas, yaitu sekitar 9-12 nm dan membuat penampakan virus mirip seperti korona
matahari. Morfologi yang didapatkan oleh Zhu dkk. (2020) serupa dengan family
Coronaviridae. Hasil analisis filogenetik yang dilakukan oleh Zhu dkk (2020)
menunjukkan hasil yang sama dengan penelitian dari Xu dkk. (2020) bahwa virus
ini masuk dalam kelompok genus betacoronavirus dengan subgenus yang sama
dengan virus penyebab wabah Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) 2002-
2004 silam yaitu Sarbecovirus.
International Virus Classification Commisson menamakan agen kausatif ini
sebagai SARS-CoV-2 (Lingeswaran dkk, 2020; Susilo dkk, 2020). Mekanisme
dari virulensi virus corona berhubungan dengan protein struktural dan juga protein
non struktural. Virus Corona menyediakan messenger RNA (mRNA) yang

4
5

membantu proses translasi dari proses replikasi/transkripsi. Gen yang berperan


dalam proses transkripsi ini mencakup 2/3 rangkaian RNA 5’-end dan dua Open
Reading Frame (ORF) yang tumpang tindih, yaitu ORF1a dan ORF1b. Dalam
tubuh inang, virus Corona melakukan sintesis polyprotein 1a/1ab (pp1a/pp1ab).
Proses dari transkripsi pada sintesis pp1a/pp1ab berlangsung melalui kompleks
replikasi-transkripsi di vesikel membran ganda dan juga berlangsung melalui
sintesis dari rangkaian RNA subgenomik. Terdapat 16 protein non struktural yang
dikode oleh ORF. Bagian 1/3 lainnya dari rangkaian RNA virus, yang tidak
berperan dalam proses transkripsi, berperan dalam mengkode empat protein
struktural, yaitu protein S (spike), protein E (envelope), protein M (membrane),
dan protein N (nucleocapsid) (Gennaro dkk., 2020; Ye dkk., 2020).
Jalan masuk virus ke dalam sel merupakan hal yang esensial untuk
transmisi. Seluruh virus Corona mengode glikoprotein permukaan, yaitu protein
spike (protein S), yang akan berikatan dengan reseptor inang dan menjadi jalan
masuk virus ke dalam sel. Untuk genus betacoronavirus, terdapat domain
receptor binding pada protein S yang memediasi interaksi antara reseptor pada sel
inang dan virus. Setelah ikatan itu terjadi, protease di inang akan memecah protein
S virus yang selanjutnya akan menyebabkan terjadinya fusi peptida spike dan
memfasilitasi masuknya virus ke dalam tubuh inang (Letkodkk., 2020).
Mekanisme virulensi pada virus Corona berhubungan dengan fungsi protein non-
struktural dan protein struktural. Penelitian telah menekankan bahwa protein
nonstruktural mampu memblok respon dari imun innate inang. Protein E pada
virus memiliki peran krusial pada patogenitas virus. Protein E akan memicu
pengumpulan dan pelepasan virus (Gennaro dkk., 2020).

2.1.2 Patogenesis
Virus dapat melewati membran mukosa, terutama mukosa nasal dan laring,
kemudian memasuki paru dari traktus respiratorius. Selanjutnya, virus menyerang
organ target yang mengekspresikan Angiotensin Converting Enzyme dua (ACE2),
seperti paru-paru, jantung, sistem renal dan tractus gastrointestinal (Gennaro dkk.,
2020). Protein S pada SARS-CoV-2 memfasilitasi masuknya virus corona ke
dalam sel target. Masuknya virus bergantung pada kemampuan virus berikatan
dengan ACE2, yaitu reseptor membran ekstraselular yang diekspresikan pada sel
6

epitel, dan bergantung pada priming protein S ke protease selular, yaitu


TMPRSS2 (Handayani dkk., 2020; Kumar dkk., 2020; Lingeswaran dkk., 2020).
Protein S di SARS-CoV-2 dan SARS-CoV memiliki struktur tiga dimensi yang
hampir identik pada domain receptor-binding. Protein S pada SARS-CoV
memiliki afinitas ikatan yang kuat dengan ACE2 pada manusia. Pada analisis
lebih lanjut, ditemukan bahwa SARS-CoV-2 memiliki pengenalan yang lebih baik
terhadap ACE2 pada manusia apabila dibandingkan dengan SARS-CoV (Zhang
dkk., 2020). Periode inkubasi COVID19 antara 3-14 hari. Ditandai dengan kadar
leukosit dan limfosit yang masih normal atau sedikit menurun serta pasien belum
merasakan gejala. Selanjutnya, virus mulai menyebar melalui aliran darah,
terutama menuju ke organ yang mengekspresikan ACE2 dan pasien mulai
merasakan gejala ringan. Empat sampai tujuh hari gejala awal, kondisi pasien
mulai menjadi memburuk dengan ditandai timbulnya sesak, menurunnya limfosit,
dan perburukan lesi di paru. Jika fase ini tidak teratasi, dapat terjadi Acute
Respiratory Distress Syndrome (ARSD), sepsis, dan komplikasi lain.
Tingkat keparahan klinis diketahui berhubungan dengan status usia (diatas
70 tahun), komorbiditas seperti diabetes, penyakit paru obstruktif kronis,
hipertensi dan juga obesitas (Gennaro dkk., 2020; Susilo dkk., 2020). Sistem imun
innate dapat mendeteksi RNA virus melalui RIG-Ilike receptors, NOD-like
receptors, dan Toll-like receptors. Hal ini selanjutnya akan menstimulasi produksi
interferon (IFN), dan memicu munculnya efektor antiviral seperti sel CD8+, sel
Natural Killer (NK) serta makrofag. Infeksi dari betacoronavirus lainnya, yaitu
SARS-CoV dan MERS-CoV, dicirikan dengan replikasi virus yang cepat dan juga
produksi IFN yang terlambat, terutama oleh sel-sel dendritik, makrofag, dan sel
epitel respirasi yang selanjutnya diikuti oleh peningkatan kadar sitokin
proinflamasi seiring dengan progres penyakit (Allegra dkk., 2020; Lingeswaran
dkk., 2020).
Infeksi virus mampu memproduksi reaksi imun yang berlebihan pada inang.
Pada beberapa kasus, terjadi reaksi yang secara keseluruhan disebut “badai
sitokin”. Badai sitokin merupakan peristiwa reaksi inflamasi berlebihan dimana
akan terjadi produksi sitokin yang cepat dan dalam jumlah yang banyak sebagai
respon suatu infeksi. Dalam kaitannya dengan Covid-19, ditemukan adanya
7

penundaan sekresi sitokin dan kemokin oleh sel imun innate dikarenakan blokade
oleh protein non-struktural virus. Selanjutnya, hal ini akan menyebabkan
terjadinya lonjakan sitokin proinflamasi dan kemokin (IL-6, TNFa, IL-8, MCP-1,
IL-1 ß, CCL2, CCL5, serta interferon) melalui aktivasi makrofag dan limfosit.
Pelepasan sitokin ini memicu aktivasi sel imun adaptif seperti sel T, neutrofil, dan
sel NK bersamaan dengan terus terproduksinya sitokin proinflamasi. Lonjakan
sitokin proinflamasi yang cepat ini memicu terjadinya infiltrasi inflamasi jaringan
paru yang menyebabkan kerusakan paru pada bagian epitel dan endotel.
Kerusakan ini dapat berakibat pada terjadinya ARDS dan kegagalan multi organ
yang dapat menyebabkan kematian dalam waktu yang singkat (Gennaro dkk,
2020; Lingeswaran dkk, 2020). Seperti diketahui bahwa transmisi utama dari
SARS-CoV-2 adalah melalui droplet. Akan tetapi, terdapat kemungkinan
terjadinya transmisi melalui fekal-oral. Penelitian Xiao dkk. (2020) menunjukkan
bahwa dari 73 pasien yang dirawat karena Covid19, terdapat 53,42% pasien yang
diteliti positif RNA SARS- CoV-2 pada fesesnya. Bahkan, 23,29% dari pasien
tersebut tetap terkonfirmasi positif RNA SARS-CoV-2 di feses, meskipun pada
sampel pernafasan sudah menunjukkan hasil negatif. Lebih lanjut, penelitian juga
membuktikan bahwa terdapat ekspresi ACE2 berlimpah pada sel-sel glandular
gaster, duodenum, dan epitel rektum, serta ditemukan protein nukleokapsid virus
pada epitel gaster, duodenum dan rektum. Hal ini menunjukkan bahwa SARS-
CoV-2 juga dapat menginfeksi saluran pencernaan serta berkemungkinan untuk
terjadi transmisi melalui fekal-oral (Kumar dkk., 2020; Xiao dkk., 2020).

2.1.3 Manifestasi Klinis


Covid-19 menjadi perhatian penting pada bidang medis, bukan hanya
karena penyebarannya yang cepat dan berpotensi menyebabkan kolaps sistem
kesehatan, tetapi juga karena beragamnya manifestasi klinis pada pasien (Vollono
dkk., 2020). Spektrum klinis Covid-19 beragam, mulai dari asimptomatik, gejala
sangat ringan, hingga kondisi klinis yang dikarakteristikkan dengan kegagalan
respirasi akut yang mengharuskan penggunaan ventilasi mekanik dan support di
Intensive Care Unit. Ditemukan beberapa kesamaan manifestasi klinis antara
infeksi SARS-CoV-2 dan infeksi betacoronavirus sebelumnya, yaitu SARS-CoV
8

dan MERS-CoV. Beberapa kesamaan tersebut diantaranya demam, batuk kering,


gambaran opasifikasi ground-glass pada foto toraks (Gennaro dkk., 2020; Huang
dkk., 2020).
Gejala klinis umum yang terjadi pada pasien Covid-19, diantaranya demam,
batuk kering, dispnea, fatigue, nyeri otot, dan sakit kepala (Lapostolle dkk., 2020;
Lingeswaran dkk., 2020). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Huang dkk.
(2020), gejala klinis yang paling sering terjadi pada pasien Covid-19 yaitu demam
(98%), batuk (76%), dan myalgia atau kelemahan (44%). Gejala lain yang
terdapat pada pasien, namun tidak begitu sering ditemukan yaitu produksi sputum
(28%), sakit kepala 8%, batuk darah 5%, serta diare 3%. Sebanyak 55% dari
pasien yang diteliti mengalami dispnea. Gejala klinis yang melibatkan saluran
pencernaan juga dilaporkan Kumar dkk. (2020). Sakit abdominal merupakan
indikator keparahan pasien dengan infeksi COVID-19. Sebanyak 2,7% pasien
mengalami sakit perut, 7,8% pasien mengalami diare, serta 5,6% pasien
mengalami mual dan/atau muntah. Manifestasi neurologis pada pasien Covid-19
haruslah senantiasa dipertimbangkan.
Virus Corona dapat masuk pada sel yang mengekspresikan ACE2, yang
juga diekspresikan oleh sel neuron dan sel glial (Farley & Zuberi, 2020; Vollono
dkk., 2020). Pada penelitian Vollono dkk. (2020), didapatkan seorang pasien
wanita 78 tahun terkonfirmasi Covid-19 mengalami focal status epilepticus
sebagai presentasi awal. Pasien memiliki riwayat status epileptikus pada dua tahun
sebelumnya, akan tetapi pasien rutin diterapi dengan asam valproat dan juga
levetiracetam serta bebas kejang selama lebih dari dua tahun ini. Tidak ada gejala
saluran pernapasan seperti pneumonia dan pasien tidak membutuhkan terapi
oksigen. Penelitian oleh Farley dan Zuberi (2020) juga menunjukkan manifestasi
neurologis pasien terkonfirmasi Covid-19 yaitu status epileptikus pada pasien
lelaki usia 8 tahun dengan riwayat ADHD, motor tic, dan riwayat kejang
sebelumnya. CT toraks pada pasien dengan Covid-19 pada umumnya
memperlihatkan opasifikasi groundglass dengan ataupun tanpa gabungan
abnormalitas. CT toraks akan mengalami abnormalitas bilateral, distribusi perifer,
dan melibatkan lobus bawah. Penebalan pleural, efusi pleura, dan limfadenopati
merupakan penemuan yang jarang didapatkan (Gennaro dkk., 2020).
9

Individu yang terinfeksi namun tanpa gejala dapat menjadi sumber


penularan SARS-CoV-2 dan beberapa diantaranya mengalami progres yang cepat,
dan bahkan dapat berakhir pada ARDS dengan case fatality rate yang tinggi
(Meng dkk., 2020). Penelitian yang dilakukan Meng dkk. (2020) menunjukkan
bahwa dari 58 pasien tanpa gejala yang dites positif Covid19 pada saat masuk RS,
seluruhnya memiliki gambaran CT-Scan toraks abnormal. Penemuan tersebut
berupa gambaran opasitas ground-glass dengan distribusi perifer, lokasi unilateral
dan paling sering mengenai dua lobus paru. Setelah follow up dalam jangka waktu
singkat, 27,6% pasien yang sebelumnya asimptomatik mulai menunjukkan gejala
berupa demam, batuk, serta fatigue. Leukopenia ditemukan sebagai abnormalitas
yang paling sering terjadi. Berdasarkan penelitian Huang dkk. (2020), ditemukan
hitung sel darah putih kurang dari 4x10 9/L pada 25% pasien, serta limfositopenia
pada 63% pasien dengan hitung limfosit kurang dari 1x10 9/L dan Penelitian oleh
Guan dkk, (2020) juga menemukan leukopenia di 33,7% pasien, limfositopenia di
83,2% pasien, dan trombositopenia pada 36,2% pasien. Dilaporkan kasus
trombositopenia berat yang muncul pada masa perawatan pasien Covid-19 oleh
Nham dkk., (2020) dengan trombositopenia yang terjadi pada 16 dari 194 pasien
dan juga hitung platelet pada 3 dari 16 pasien tersebut kurang dari 50.000/mm 3.
Trombositopenia dapat terjadi oleh karena infeksi virus itu sendiri ataupun
disebabkan oleh obat yang digunakan untuk mengobati pneumonia.
Trombositopenia sendiri sering ditemukan pada infeksi virus.

2.1.4 Definisi Kasus dan Derajat Penyakit


Definisi operasional kasus Covid19 yaitu kasus suspek, kasus probable,
kasus konfirmasi, kontak erat (Burhan et al, 2020).
1. Kasus Suspek; seseorang yang memiliki salah satu dari kriteria berikut:
a. Seseorang yang memenuhi salah satu kriteria klinis DAN salah satu kriteria
epidemiologis:
Kriteria Klinis:
- Demam akut (= 380C)/riwayat demam* dan batuk; ATAU
- Terdapat tiga atau lebih gejala/tanda akut berikut: demam/riwayat demam,
batuk, kelelahan (fatigue), sakit kepala, myalgia, nyeri tenggorokan, coryza/
10

pilek/hidung tersumbat, anoreksia/mual/muntah, penurunan kesadaran,


diare, sesak nafas.
DAN Kriteria Epidemiologis:
- Pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat tinggal
ataupun bekerja di tempat berisiko tinggi penularan; ATAU
- Pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat tinggal
ataupun bepergian pada negara/wilayah Indonesia yang melaporkan
transmisi lokal; ATAU
- Pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala bekerja pada fasilitas pelayanan
kesehatan, baik melakukan pelayanan medis, dan non-medis, serta petugas
yang melaksanakan investigasi, pemantauan kasus dan kontak; ATAU
b. Seseorang dengan ISPA Berat,
c. Seseorang tanpa gejala yang tidak memenuhi kriteria epidemiologis dengan
hasil rapid antigen SARSCoV-2 positif.
2. Kasus Probable; seseorang yang memiliki salah satu dari kriteria berikut:
a. Seseorang yang memenuhi kriteria klinis DAN memiliki riwayat kontak erat
dengan kasus probable; ATAU terkonfirmasi; ATAU berkaitan dengan
kasus cluster COVID19.
b. Kasus suspek dengan gambaran radiologis sugestif ke arah COVID-19.
c. Seseorang dengan gejala akut anosmia atau ageusia (hilangnya kemampuan
indra perasa) dengan tidak ada penyebab lain yang dapat diidentifikasi.
d. Orang dewasa yang meninggal dengan distres pernapasan DAN memiliki
riwayat kontak erat dengan kasus probable atau terkonfirmasi, atau
berkaitan dengan cluster COVID-19
3. Kasus Konfirmasi; seseorang yang dinyatakan positif terinfeksi COVID-19
dengan kriteria sebagai berikut:
a. Seseorang dengan hasil RT-PCR positif
b. Seseorang dengan hasil rapid antigen SARS-CoV-2 positif DAN memenuhi
kriteria definisi kasus probable ATAU kasus suspek (kriteria A atau B)
c. Seseorang tanpa gejala (asimtomatik) dengan hasil rapid antigen SARS-
CoV-2 positif DAN Memiliki riwayat kontak erat dengan kasus probable
ATAU terkonfirmasi.
11

Kasus konfirmasi dibagi menjadi 2:


a. Kasus konfirmasi dengan gejala (simtomatik)
b. Kasus konfirmasi tanpa gejala (asimtomatik)
4. Kontak Erat; orang yang memiliki riwayat kontak dengan kasus probable
atau konfirmasi COVID-19. Riwayat kontak yang dimaksud antara lain:
a. Kontak tatap muka/berdekatan dengan kasus probable atau kasus
konfirmasi dalam radius satu meter dan dalam jangka waktu 15 menit atau
lebih.
b. Sentuhan fisik langsung dengan kasus probable ataupun konfirmasi (seperti
bersalaman, berpegangan tangan, dan lain-lain).
c. Orang yang memberikan perawatan langsung terhadap kasus probable atau
konfirmasi tanpa menggunakan APD yang sesuai standar.
d. Situasi lainnya yang mengindikasikan adanya kontak berdasarkan penilaian
risiko lokal yang ditetapkan oleh tim penyelidikan epidemiologi setempat.
Berdasarkan beratnya kasus, COVID-19 dibedakan menjadi kelompok tanpa
gejala, ringan, sedang, berat dan kritis (Burhan et al, 2020).
1. Tanpa gejala; kondisi ini adalah kondisi yang paling ringan. Pasien tidak
ditemukan gejala.
2. Ringan; pasien dengan gejala tanpa ada bukti pneumonia virus ataupun
tanpa hipoksia. Gejala yang muncul seperti demam, batuk, fatigue,
anoreksia, napas pendek, mialgia. Gejala tidak spesifik lain seperti sakit
tenggorokan, kongesti hidung, sakit kepala, diare, mual dan muntah,
penghidu (anosmia) atau hilang pengecapan (ageusia) yang muncul sebelum
gejala pernapasan juga sering dilaporkan. Pasien usia tua dan
immunocompromised gejala atipikal seperti fatigue, penurunan kesadaran,
mobilitas menurun, diare, hilang nafsu makan, delirium, dan tidak ada
demam.
3. Sedang; pada remaja ataupun dewasa: pasien dengan tanda klinis
pneumonia (demam, batuk, sesak, napas cepat) tetapi tidak ada tanda
pneumonia berat termasuk SpO2 lebih 93% dengan udara ruangan ATAU
anak: pasien dengan tanda klinis pneumonia tidak berat (batuk atau sulit
bernapas + napas cepat dan/atau tarikan dinding dada) dan tidak ada tanda
12

pneumonia berat). Kriteria napas cepat: usia <2 bulan, =60x/menit; usia 2–
11 bulan, =50x/menit; usia 1–5 tahun, =40x/menit; usia >5 tahun,
=30x/menit.
4. Berat /Pneumonia Berat; pada pasien remaja atau dewasa: pasien dengan
tanda klinis pneumonia (demam, batuk, sesak dan napas cepat) ditambah
satu dari: frekuensi napas > 30 x/menit, distres pernapasan berat, atau
SpO2< 93% pada udara ruangan ATAU Pada anak: pasien dengan tanda
klinis pneumonia (batuk atau kesulitan bernapas), ditambah setidaknya satu
dari berikut ini:
- Sianosis sentral atau SpO2 <93%;
- Distres pernapasan berat (seperti napas cepat, grunting, tarikan dinding dada
yang sangat berat);
- Tanda bahaya umum: ketidakmampuan menyusu atau minum, letargi
ataupun penurunan kesadaran, atau kejang.
- Napas cepat/tarikan dinding dada/takipnea: usia <2 bulan, =60x/menit; usia
2–11 bulan, =50x/menit; usia 1–5 tahun, =40x/menit; >5 tahun, =30x/menit.
- Kritis; pasien dengan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), sepsis
dan syok sepsis.

2.1.5 Alur Diagnosis dan Tatalaksana Pneumonia Covid-19


13

Gambar 2.1 Alur dan Tatalaksana Pneumonia Covid-19 (Burhan et al, 2020)
14

Gambar 2.2 Rangkuman Alur Penatalaksaan Pasien Covid-19 Berdasarkan


Beratnya Kasus (Burhan et al, 2020)

2.1.6 Terapi atau Tindakan Tambahan Lain


1. Anti IL-6 (Tocilizumab)
Tocilizumab bermanfaat untuk menekan dampak IL-6 terhadap peradangan
paru dan vaskular, karena itu perlu diberikan dini pada awal peradangan paru serta
sistemik. Tetapi dampak imunosupresannya dapat menyebabkan infeksi sekunder
sehingga pemberian terlambat pada pasien yang telah terventilator lama mungkin
perlu dihindari karena risiko VAPnya. Efek imunosupresi tocilizumab juga dapat
memperlama persistensi virus (prolong viral shedding), sehingga pemberian dini
pada saat virus masih berkembang juga berisiko. Karena itu pemilihan waktu yang
tepat penting bagi keberhasilan terapi Tocilizumab. Tocilizumab dapat diberikan
di awal pasien memasuki keadaan Covid-19 berat, yang umumnya terjadi setelah
sakit 1 minggu, dan jumlah virus mencapai puncaknya, atau dengan kata lain
jumlah dari virus berpotensi tidak akan bertambah lagi. Dosis tocilizumab yang
digunakan pada berbagai studi sangat bervariasi tapi sebagian besar menggunakan
dosis 8 mg/kgBB single dose atau dapat diberikan satu kali lagi dosis tambahan
bila gejala memburuk atau tidak ada perbaikan dengan dosis yang sama. Jarak
pemberian dosis pertama dan kedua minimal 12 jam. Maksimal pemberian 800
mg per dosis (Burhan et al, 2020).

2. Anti IL-1 (Anakinra)


Anakinra merupakan antagonis dari reseptor IL-1 rekombinan yang
memiliki mekanisme untuk menetralisasi reaksi hiperinflamasi yang terjadi di
15

kondisi ARDS yang disebabkan infeksi SARS-CoV-2. Pada sebuah studi klinis
yang melibatkan 52 pasien. Anakinra diketahui dapat menurunkan kebutuhan
pemakaian ventilasi mekanis invasif dan menurunkan kematian pasien COVID-19
tanpa efek samping yang serius. Dosis yang dapat diberikan adalah 100 mg per 12
jam selama 72 jam dilanjutkan dengan 100 mg per 24 jam selama 7 hari (Burhan
et al, 2020).

3. Antibiotik
Potensi penggunaan antibiotik yang berlebih pada era pandemik Covid-19
ini menjadi ancaman global terhadap meningkatnya kejadian bakteri multi-
resisten. Hingga saat ini belum dapat sepenuhnya dipahami bagaimana hubungan
langsung dari pandemik ini terhadap peningkatan angka total bakteri
multiresisten, namun dari beberapa telaah data kasus Covid-19 dari seluruh dunia,
terutama di Asia, 70% dari total pasien ini mendapatkan terapi antimikroba
meskipun pada kenyataannya kurang dari 10% yang terbukti benar-benar
mengalami ko-infeksi dengan bakteri maupun jamur. Rasionalisasi dari
penggunaan antibiotik pada covid-19 nampaknya mengacu kepada pengalaman
kejadian superinfeksi bakteri pada infeksi influenza, dimana 11-35% kasus
influenza yang dirawat terbukti mengalami ko-infeksi bakteri sekunder inisial
yang umumnya disebabkan infeksi Streptococcus pneumoniae dan
Staphylococcus aureus. Infeksi virus di saluran pernapasan sendiri dikatakan
dapat menjadi faktor predisposisi koinfeksi bakteri maupun jamur yang pada
akhirnya dapat berakibat buruk terhadap derajat keparahan hingga kematian.
Angka kejadian sesungguhnya dari ko-infeksi bakteri pada kasus covid-19 hingga
saat ini belum diketahui. Rekomendasi pemberian antibiotik bervariasi di masing-
masing negara dan juga kecenderungan yang ada adalah opsi untuk memberikan
antibiotik secara empirik. Antibiotik yang digunakan dan dianjurkan pada covid-
19 ialah azitromisin dan levofloksasin (Burhan et al, 2020).

4. Mesenchymal Stem Cell (MSCs)/ Sel Punca


Pada prinsipnya pemberian MSCs dapat menyeimbangkan proses inflamasi
yang terjadi di kasus ALI/ARDS yang ditandai dengan eksudat fibromixoid
16

seluler, inflamasi paru yang luas, edema paru, dan pembentukan membran hyalin.
MSCs bekerja sebagai imunoregulasi dengan nekan profilerasi sel T. Selain itu,
sel punca dapat berinteraksi dengan sel-sel dendritik sehingga menyebabkan
pergeseran sel Th-2 proinflamasi menjadi Th anti-inflamasi termasuk perubahan
dari profil stikoin menuju anti-inflamasi. Hingga saat ini, belum terdapat jenis
MSCs yang mendapat rekomendasi FDA Amerika sebagai pengobatan COVID-
19, serta penggunannya pun dibatasi hanya untuk kepentingan uji klinis,
expanded access programs ataupun emergency investigational new drug
application (Burhan et al, 2020).

5. Intravenous Immunoglobulin (IVIg)


Imunoglobulin intravena (IVIg) adalah konsentrat immunoglobulin G yang
diisolasi dari plasma donor normal. Terapi IVIG menjadi satu alternatif pilihan
terapi, terutama pada kasus COVID-19 berat. Penelitian untuk IVIG pada
COVID-19 belum terlalu banyak, dan Sebagian besar adalah laporan kasus
tunggal maupun serial serta studi observasional. Dari berbagai publikasi yang ada
saat ini tampaknya terapi dengan IVIg memberikan hasil yang baik, tetapi dengan
bukti yang masih sangat sedikit dianjurkan penggunaannya terbatas di kondisi
yang berat dan kritis dan lebih bersifat live saving. Dosis IVIg yang digunakan
pada berbagai studi ini sangat beragam, tapi sebagian besar studi ini menggunakan
IVIG dosis besar yaitu sekitar 0,3-0,5 gram/kgBB/hari selama 3 atau 5 hari
berturut-turut (Burhan et al, 2020).

6. Terapi Plasma Konvalesen


Terapi plasma konvalesen merupakan terapi antibodi yang bersifat pasif
yaitu memberikan antibodi penyakit infeksi tertentu pada sesorang dengan tujuan
untuk mengobati atau mencegah orang tersebut terhadap penyakit itu dengan
memberikan imunitas yang bersifat cepat. Plasma konvalesen diperoleh dari
pasien COVID-19 yang telah sembuh, diambil melalui metoda plasmaferesis serta
diberikan kepada pasien COVID-19 yang berat ataupun potensial mengancam
nyawa. Terapi plasma konvalesen diberikan bersamaan dengan terapi standar
COVID-19 (antivirus serta berbagai terapi suportif lainnya) dan bertujuan untuk
17

menurunkan angka kematian dengan memberikan antibodi yang spesifik. Hingga


kini, terapi plasma konvalesen pada kasus COVID-19 masih dalam tahap uji klinis
pada berbagai negara dengan protokol atau prosedur yang bervariasi (Burhan et
al, 2020).
Indikasi pemberian terapi plasma konvalesen pada berbagai uji klinis adalah
penderita COVID-19 yang berat, tetapi saat ini uji klinis pemberian pada pasien
COVID-19 sedang atau berisiko menjadi berat sudah/ sedang berjalan di beberapa
senter uji klinis pada seluruh dunia. Kontraindikasi terapi plasma konvalesen
adalah riwayat alergi terhadap produk plasma, kehamilan, perempuan menyusui,
defisiensi IgA, trombosis akut dan juga gagal jantung yang berat dengan risiko
yakni overload cairan. Kontraindikasi lainnya bersifat relatif seperti syok septik,
gagal ginjal dalam hemodialisis, koagulasi intravascular diseminata atau kondisi
komorbid yang dapat meningkatkan risiko trombosis pada pasien tersebut. Dosis
plasma konvalesen yang diberikan di berbagai negara/uji klinis sangat bervariasi
(Burhan et al, 2020).

7. N-Asetilsistein
Infeksi SARS-CoV-2 berhubungan dengan ketidakseimbangan oksidan dan
antioksidan yang mengakibatkan inflamasi dan kerusakan jaringan. Glutation
ialah antioksidan yang banyak ditemukan di tubuh dan berperan dalam
melindungi sel dari stres oksidatif. N-asetilsistein (NAC), yang sering digunakan
sebagai obat-obat mukolitik memiliki sifat antioksidan secara langsung maupun
secara tidak langsung melalui pelepasan gugus sistein sebagai senyawa prekursor
dalam proses sintesis glutation. Berbagai penelitian sebelumnya, data awal
penelitian terhadap COVID-19 dan ulasan patofisiologis mengarahkan bahwa sifat
antioksidan N-asetilsistein dapat bermanfaat sebagai terapi dan/atau pencegahan
COVID-19. Uji klinis NAC pada COVID19 masih sangat terbatas. Dosis yang
digunakan adalah di atas/sama dengan 1200 mg per hari oral ataupun intravena,
terbagi 2-3 kali pemberian (Burhan et al, 2020).

8. Kolkisin
18

Saat ini, terdapat beberapa penelitian yang berusaha menilai efektivitas dari
kolkisin untuk COVID-19. Ada beberapa hipotesis mekanisme kerja dari kolkisin
pada COVID-19, diantaranya adalah (1) menghambat ekspresi E-selectin dan L-
selecin (mencegah perlekatan netrofil jaringan); (2) mengubah struktur
sitoskeleton netrofil; (3) menghambat NLRP3 dari inflamasi (mengambat badai
sitokin); dan (4) mengambat netrofil elastase (mencegah aktivasi ataupun agregasi
platelet). Sebuah RCT dari Lopes menilai pemberian kolkisin sebagai terapi
adjuvant pada COVID-19 dibandingkan dengan yang mendapat terapi standar.
Penelitian menunjukkan bahwa kolkisin dapat menurunkan kebutuhan
penggunaan oksigen, menurunkan lama rawat, dan menurunkan CRP (Burhan et
al, 2020).

9. Spinorolakton
Reseptor ACE-2, regulasi sistem renin-angiotensin aldosterone (RAAS),
dan TMPRSS2 (transmembrane portease, serine 2) merupakan faktor yang
berpengaruh terhadap infektivitas dan juga kemampuan SARS-CoV-2 untuk
masuk ke dalam sel. Ekspresi ACE-2 dan juga regulasi RAAS mengalami
abnormalitas pada pasien hipertensi dan obesitas, sedangkan TMPRSS2
mengalami ekspresi yang berlebihan ketika terpapar androgen. Spironolakton
adalah salah satu jenis mineralokortikoid yang memiliki efek antagonis reseptor
androgen, antihipertensi, kardioprotektif, dan nefroprotektif. Spironolakton
dihipotesiskan mampu memitigasi abnormalitas ekspresi ACE-2, memperbaiki
keseimbangan ACE-2 yang tersirkulasi dan terikat pada membrane, mengambat
aktivitas TMPRSS2 yang termediasi androgen, dan memperbaiki disfungsi RAAS
yang berpotensi mengurangi pematangan virus. Oleh karena itu, spironolakton
berpotensi memberikan efek protektif terhadap SARS-CoV-2, terutama pada
stadium awal (Burhan et al, 2020).

10. Bronkoskopi
Bronkoskopi merupakan salah satu tindakan di bidang respirasi yang
dibatasi penggunaannya, mengingat COVID-19 merupakan penyakit yang sangat
infeksius sehingga tindakan ini belum menjadi rekomendasi baku untuk
19

penegakan diagnosis pneumonia viral. Tindakan bronkoskopi merupakan tindakan


yang dapat membuat aerosol atau droplet yang dapat menjadi media penularan
COVID-19 yang sangat menular sehingga sebisa mungkin sebaiknya ditunda
dengan mempertimbangkan berbagai hal terutama keselamatan dari tenaga
kesehatan serta indikasi tindakan bronkoskopi diagnostik maupun terapeutik.
Indikasi tindakan bronkoskopi pasien COVID-19 atau suspek COVID-19 adalah
terjadi kondisi kegawatdaruratan pada pasien COVID-19 atau suspek COVID-19
yang memerlukan tindakan bronkoskopi terapeutik, misalnya mucuous plug pada
pasien COVID-19 ataupun pasien suspek COVID-19 yang terintubasi, intubasi
sulit yang memerlukan panduan bronkoskopi maupun indikasi urgent lainnya
sesuai dari pertimbangan dokter penanggung jawab pasien (DPJP) atau tim terapi
(Burhan et al, 2020).

11. Therapeutic Plasma Exchange (TPE)


Pengobatan Covid 19 yang pada dasarnya sampai saat ini adalah supportif
terapi membuat beberapa modalitas terapi yang diperkirakan akan dapat
mengatasi hipersitokinemia atau cytokine storm menjadi suatu suatu pemikiran,
salah satunya therapeutic plasma exchange (TPE)/Plasmapheresis. TPE sendiri
ialah pemisahan plasma dari komponen darah lain yang mana TPE dapat
mengeluarkan antibodi, kompleks imun, lipoptotein, macromolecules, juga toksin
dan molekul inflamasi yang ada dalam plasma. Pada infeksi virus tdk diperlukan
TPE dikarenakan sifatnya yang self-limiting. Akan tetapi di beberapa kasus
autoimun hal ini masih digunakan untuk mengatasi badai sitokin yang sering
terjadi, walaupun evidence terkait hal ini lemah (Burhan et al, 2020).
20

Gambar 2.3 Pilihan Terapi dan Rencana Pemeriksaan Pasien Terkonfirmasi

2.2 Vaksinasi Covid-19

Vaksinasi merupakan salah satu cara paling efektif dalam mencegah


penyakit infeksi. Akibat pandemik, terdapat risiko berkurangnya pelaksanaan
vaksinasi yang diwajibkan, baik akibat meningkatnya beban sistem kesehatan
terhadap COVID-19 ataupun berkurangnya minat dari masyarakat akibat
pelaksanaan social distancing. Hal ini dikhawatirkan dapat menyebabkan
timbulnya outbreak baru dari vaccine preventable diseases, seperti hep A. Oleh
sebab itu, pelaksanaan vaksinasi harus diatur sedemikian rupa sehingga dijalankan
kondisi yang aman tanpa menyebabkan risiko penyebaran terhadap petugas
kesehatan serta masyarakat. Vaksinasi untuk COVID-19 saat ini masih dalam
pengembangan. Beberapa calon dari vaksin telah masuk uji klinis fase 3 dan
diperkirakan akan diedarkan 3-4 bulan yang akan datang. World Health
Organization (WHO) merekomendasikan vaksinasi influenza rutin setiap tahun
khususnya untuk individu risiko tinggi seperti lanjut usia, wanita hamil, anak-
anak, orang dengan penyakit kronis tertentu dan petugas kesehatan. Vaksinasi
influenza memang tidak secara spesifik dapat melindungi dari infeksi COVID-19.
(Burhan et al, 2020). Selama masa pandemi, vaksin boleh digunakan secara
darurat sebelum disetujui secara resmi. Apabila dalam kondisi darurat, dapat pula
dengan menggabungkan beberapa fase sehingga akan lebih cepat dikarenakan
kebutuhan. (Thanh Le et al, 2020; The New York Times, 2020).
21

2.3 Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari proses tahu dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan tersebut
terjadi melalui sistem panca indra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran,
penciuman, rasa dan raba. Pada dasarnya, sebagian besar dari pengetahuan
manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Definisi lain dari pengetahuan adalah
suatu proses mengetahui dan menghasilkan sesuatu. Pengetahuan merupakan hasil
dari usaha manusia untuk tahu, dengan kata lain pengetahuan adalah hasil
ungkapan apa yang diketahui atau hasil dari pekerjaan (Notoadmodjo, 2007;
Sudigdo, 2011).
Pengetahuan itu sendiri pada dasarnya dipengaruhi oleh faktor pendidikan
formal. Pengetahuan diketahui sangat erat kaitannya dengan pendidikan, dimana
diharapkan bahwa dengan pendidikan yang tinggi maka orang tersebut akan
semakin luas pula pengetahuannya. Akan tetapi perlu ditekankan, bukan berarti
seseorang yang berpendidikan rendah mutlak akan berpengetahuan rendah pula.
Pengetahuan seseorang tentang suatu objek mengandung dua aspek, yaitu aspek
positif dan negatif. Kedua aspek inilah yang akan menentukan sikap seseorang
semakin banyak aspek positif dan objek yang diketahui, maka akan menimbulkan
sikap makin positif terhadap objek tertentu (Notoadmodjo, 2007; Sudigdo, 2011).
Menurut Notoatmodjo pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang
penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Dari pengalaman dan penelitian
ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada
perilaku yang tidak didasari oleh suatu pengetahuan. Sebelum orang mengadopsi
perilaku baru (berperilaku baru didalam diri seseorang terjadi proses yang terjadi
berurutan), yakni awareness (kesadaran), interest (merasa tertarik), evaluation
(menimbang-menimbang), trial, dan adaption. Apabila penerimaan perilaku baru
atau adopsi perilaku melalui proses seperti ini, dimana didasari oleh pengetahuan,
kesadaran dan sikap yang positif, maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng
(longlasting). Sebaliknya, apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan
kesadaran akan tidak berlangsung lama. Jadi, Pentingnya pengetahuan disini
adalah dapat menjadi dasar dalam merubah perilaku sehingga perilaku itu
22

langgeng. Pada dasarnya, pengetahuan mempunyai enam tingkatan yaitu


(Notoadmodjo, 2007; Sudigdo, 2011):
1. Tahu
Tahu dapat diartikan mengingat suatu materi yang diketahui sebelumnya.
Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari ataupun
rangsangan, antara lain dapat menyebutkan, mendefinisikan dan mengatakan.
2. Memahami
Diartikan sebagai kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek
yang diketahui dan dapat menginterpretasikan secara benar. Orang telah
memahami objek, dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyampaikan, dan
meramalkan objek yang dipelajari.
3. Aplikasi
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang
telah dipelajari pada situasi dan kondisi yang sebenarnya.
4. Analisis
Analisis diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau
suatu objek dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam struktur organisasi,
dan masih ada kaitannya satu sama lainnya. Kemampuan tersebut dapat dilihat
dari penggunaan kata kerja seperti dapat menggambarkan, membedakan,
memisahkan, mengelompokkan dan sebagainya.
5. Sintesis
Sintesis merupakan kemampuan menghubungkan bagian-bagian ke dalam
bentuk keseluruhan yang baru, misalnya menyusun, merencanakan, meringkas,
menyesuaikan dan juga sebagainya terhadap teori dan rumusan-rumusan yang
telah ada.

6. Evaluasi
Evaluasi merupakan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian
terhadap suatu materi atau objek. Penilaian ini berdasarkan kriteria yang telah
ditentukan sendiri ataupun kriteria yang telah ada. Pengukuran pengetahuan dapat
dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan isi materi yang ingin
23

diukur dari subjek penelitian. Indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui
tingkat pengetahuan terhadap kesehatan, sebagai berikut:
a. Pengetahuan tentang sakit dan penyakit yang meliputi penyebab penyakit,
gejala atau tanda-tanda penyakit, bagaimana cara pengobatan, bagaimana
cara penularan, dan bagaimana cara pencegahan.
b. Pengetahuan tentang cara pemeliharaan kesehatan dan cara hidup sehat yang
meliputi pengetahuan tentang jenis-jenis makanan bergizi, manfaat makanan
bergizi, pentingnya olahraga, pentingnya istirahat cukup, penyakit-penyakit
atau bahaya merokok, narkoba, dan sebagainya.
c. Pengetahuan tentang kesehatan lingkungan berupa pengetahuan mengenai
manfaat air bersih, cara-cara pembuangan limbang yang sehat, akibat polusi
bagi kesehatan, dan manfaat pencahayaan.

2.4 Kerangka Teori

A B
Tingkat Pengetahuan
Penyuluhan Covid-19
Kader
24

1. Usia, Jenis Kelamin


2. Tingkat Pendidikan
3. Dan lain sebagainya

Gambar 2.4 Kerangka Konsep

Keterangan

= Diteliti

= Hasil

= Tidak diteliti

= Variabel pengganggu

Anda mungkin juga menyukai

  • MP Kepatuhan HT
    MP Kepatuhan HT
    Dokumen36 halaman
    MP Kepatuhan HT
    Anonymous aVzyk1QC
    Belum ada peringkat
  • BAB I Hemoroid
    BAB I Hemoroid
    Dokumen2 halaman
    BAB I Hemoroid
    Anonymous aVzyk1QC
    Belum ada peringkat
  • Format Surat Pernyataan PPPK
    Format Surat Pernyataan PPPK
    Dokumen1 halaman
    Format Surat Pernyataan PPPK
    sugeng wibowo
    Belum ada peringkat
  • BAB II Hemoroid
    BAB II Hemoroid
    Dokumen8 halaman
    BAB II Hemoroid
    Anonymous aVzyk1QC
    Belum ada peringkat
  • BAB V Hemoroid
    BAB V Hemoroid
    Dokumen1 halaman
    BAB V Hemoroid
    Anonymous aVzyk1QC
    Belum ada peringkat
  • BAB III Hemoroid
    BAB III Hemoroid
    Dokumen5 halaman
    BAB III Hemoroid
    Anonymous aVzyk1QC
    Belum ada peringkat
  • BAB IV Hemoroid
    BAB IV Hemoroid
    Dokumen1 halaman
    BAB IV Hemoroid
    Anonymous aVzyk1QC
    Belum ada peringkat
  • BAB IV BG Mol
    BAB IV BG Mol
    Dokumen3 halaman
    BAB IV BG Mol
    Auliadi Anshar
    Belum ada peringkat
  • Laporan Akhir Risma
    Laporan Akhir Risma
    Dokumen3 halaman
    Laporan Akhir Risma
    Anonymous aVzyk1QC
    Belum ada peringkat
  • Laporan Akhir Rizki
    Laporan Akhir Rizki
    Dokumen3 halaman
    Laporan Akhir Rizki
    Anonymous aVzyk1QC
    Belum ada peringkat
  • BAB I BG Mol
    BAB I BG Mol
    Dokumen2 halaman
    BAB I BG Mol
    Auliadi Anshar
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Dokumen6 halaman
    Bab Ii
    Anonymous aVzyk1QC
    Belum ada peringkat
  • Daftar Pustaka
    Daftar Pustaka
    Dokumen1 halaman
    Daftar Pustaka
    Anonymous aVzyk1QC
    Belum ada peringkat
  • Kata Penghantar
    Kata Penghantar
    Dokumen1 halaman
    Kata Penghantar
    Anonymous aVzyk1QC
    Belum ada peringkat
  • Bab Iv
    Bab Iv
    Dokumen2 halaman
    Bab Iv
    Anonymous aVzyk1QC
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Dokumen8 halaman
    Bab Ii
    Anonymous aVzyk1QC
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen2 halaman
    Bab I
    Anonymous aVzyk1QC
    Belum ada peringkat
  • Bab V
    Bab V
    Dokumen1 halaman
    Bab V
    Anonymous aVzyk1QC
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Dokumen8 halaman
    Bab Ii
    Anonymous aVzyk1QC
    Belum ada peringkat
  • Bab Iii
    Bab Iii
    Dokumen8 halaman
    Bab Iii
    Anonymous aVzyk1QC
    Belum ada peringkat
  • BAB III App
    BAB III App
    Dokumen6 halaman
    BAB III App
    Anonymous aVzyk1QC
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen2 halaman
    Bab I
    Anonymous aVzyk1QC
    Belum ada peringkat
  • BAB IV App
    BAB IV App
    Dokumen1 halaman
    BAB IV App
    Anonymous aVzyk1QC
    Belum ada peringkat
  • BAB I App
    BAB I App
    Dokumen1 halaman
    BAB I App
    Anonymous aVzyk1QC
    Belum ada peringkat
  • BAB III Covid Odah
    BAB III Covid Odah
    Dokumen5 halaman
    BAB III Covid Odah
    Anonymous aVzyk1QC
    Belum ada peringkat
  • BAB II App
    BAB II App
    Dokumen11 halaman
    BAB II App
    Anonymous aVzyk1QC
    Belum ada peringkat
  • Apendisitis
    Apendisitis
    Dokumen31 halaman
    Apendisitis
    Anonymous aVzyk1QC
    Belum ada peringkat
  • AKLIMA
    AKLIMA
    Dokumen8 halaman
    AKLIMA
    Anonymous aVzyk1QC
    Belum ada peringkat
  • BAB V Hernia Ririn
    BAB V Hernia Ririn
    Dokumen1 halaman
    BAB V Hernia Ririn
    Anonymous aVzyk1QC
    Belum ada peringkat