Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN BELAJAR MANDIRI

SKENARIO A BLOK 13

Disusun oleh :
Nama : Diva Putri Jeriantari
Kelas : Beta 2021
NIM : 04011282126085
Kelompok : A3
Dosen Pembimbing : dr. RM. Dewi, Sp.PD-KEMD.

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA


PALEMBANG
2022
Tatalaksana Hipertiroid et causa Grave Disease

Tatalaksana dalam kasus krisis tiroid sebagai dokter umum yang pertama adalah mengatasi
kegawatdaruratan yang ada dengan tatalaksana suportif (stabilisasi tanda vital) dan melakukan
rujukan dengan baik.
1
Tatalaksana suportif yang dapat dilakukan adalah denga𝑛 :
1. Kompres dingin, antipiretik (asetaminofen)
Pada pasien dengan krisis tiroid, biasa mengalami kondisi hipertiroid maupun infeksi
yang dapat memperparah kondisinya. Oleh karena itu, sebagai tenaga medis kita harus
terlebih dahulu melakukan penanganan pada tanda vital yang diakibatkan kondisi
tersebut, salah satunya adalah suhu tubuh yang meningkat. Pada pasien dengan suhu
tubuh yang meningkat dapat digunakan obat antipiretik seperti parasetamol
(asetaminofen). Dosis yang dapat diberikan adalah oral 0,5–1 gram setiap 4–6 jam
hingga maksimum 4 gram per hari.
2. Memperbaiki gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit: infus dekstrosa 5% dan NaCl
0,9%
Pada kondisi krisis tiroid, pasien juga memungkinkan untuk mengalami kondisi
peningkatan motilitas usus akibat dari hiperstimulasi simpatis yang menyebabkan pasien
mengalami diare. Pada kondisi diare pasien akan sangat mungkin mengalami dehidrasi
akibat banyak cairan yang harus terbuang. Oleh karena itu, sebagai dokter umum kita
juga harus bisa melakukan tatalaksana perbaikan keseimbangan cairan. Pada pasien
dewasa, sebagai pengganti energi dapat digunakan infus IV dekstrosa 5% dengan dosis
yang disesuaikan kebutuhan pasien dan dapat juga digunakan NaCl 0,9% pada pasien
yang membutuhkan pengganti cairan tubuh.
3. Mengatasi gagal jantung atau kondisi takikardi : O2, diuretik, digitalis
Tatalaksana pada pasien dengan gejala takikardia, riwayat penyakit kardiovaskuler, dan
pasien lanjut usia, dapat dimulai terlebih dahulu dengan beta adrenergik blocker.
Beberapa obat-obatan yang dapat digunakan adalah atenolol 25-50 mg per oral sekali
sehari karena bersifat kardioselektif (selektif beta-1), selain itu dapat juga digunakan
propranolol 10-40 mg secara oral setiap 6-8 jam, karena efek potensial untuk memblokir
konversi perifer T4 ke T3. adapun obat-obatan golongan calcium channel blockers,
seperti diltiazem dan verapamil dapat digunakan untuk mengontrol detak jantung.
Tatalaksana kedua yang dapat dilakukan adalah dengan mengantagonis aktivitas hormon tiroid
2
yang dilakukan dengan beberapa car𝑎 :
1. Obat antitiroid yang menghambat sintesis dan pelepasan hormon tiroid
2. Pengobatan yodium radioaktif (RAI) pada kelenjar tiroid
3. Tiroidektomi total atau subtotal
Ketiga opsi tersebut memiliki pro dan kontra, dan tidak ada konsensus mana yang merupakan
opsi terbaik. Sangat penting untuk mendiskusikan ketiga opsi secara mendetail dengan pasien
dan membuat keputusan individual.
1. Obat Anti Tiroid (Thionamides)
Karbimazol (turunan dari metimazol) dan propylthiouracil (PTU) adalah dua obat
yang banyak digunakan sebagai obat antitiroid. Tionamid ini menghambat iodinasi
tiroglobulin yang dimediasi Tiroid Peroksidase (TPO) di kelenjar tiroid, menghalangi
sintesis T4 dan T3. Saat ini obat yang menjadi pilihan utama sebagai antitiroid adalah
propiltiourasil karena dapat menghambat konversi perifer T4 menjadi T3 dan juga
penggunaannya pada pasien yang sensitif terhadap karbimazol. namun, PTU memiliki
efek samping yang dapat menyebabkan terjadinya agranulositosis dan trombositopenia,
sehingga pemberiannya haruslah tepat sesuai kondisi pasien. American Thyroid
Association (ATA) merekomendasikan propylthiouracil untuk pasien dengan badai tiroid
5
dan untuk pasien dengan reaksi minor terhadap terapi karbimazol yang menolak operasi.
PTU merupakan obat yang bekerja dengan mengganggu katalis tiroid peroksidase,
sehingga mencegah iodium teroksidasi di kelenjar tiroid yang mengakibatkan
berkurangnya sintesis hormon tiroid. PTU juga menghambat pembentukan tiroglobulin
dengan mengganggu reaksi penggabungan residu iodotyrosyl. Selain itu, ia memblokir
deiodinasi tiroksin perifer menjadi tri-iodothyronine. Farmakokinetik dari PTU ini sendiri
dimulai dalam proses absorpsi yang cepat dan mudah di saluran pencernaan dengan
bioavailabilitas sekitar 50-75% dan waktu untuk mencapai konsentrasi plasma puncak
adalah 1-2 jam. Dalam proses distribusinya PTU akan terkonsentrasi di kelenjar tiroid
dan dapat melewati plasenta serta memasuki ASI. pengikatan protein plasma selama
proses distribusi ini berkisar antara 80-85%. Metabolisme yang dilakukan tubuh terhadap
PTU ini berlangsung secara luas di hati melalui glukuronidasi menjadi konjugat asam
glukuronat. Terakhir, PTU akan disekresikan melalui urin sekitar 35% sebagai metabolit
4
dalam waktu paruh eliminasi sekitar 1-2 jam.
Karbimazol sebagai agen antitiroid akan berubah terlebih dahulu menjadi
thiamazol (metimazol) untuk dapat melaksanakan fungsinya sebagai antitiroid dalam
tubuh. Bentuk tersebut nantinya akan menghambat pengorganisasian iodida dan
penggabungan residu iodothyronine yang mengarah pada penekanan sintesis hormon
tiroid. Onset terjadi ketika karbimazol sudah berubah menjadi bentuk thiamazol dan
dalam waktu 12-18 jam, dengan durasi 36-72 jam. Farmakokinetik karbimazol dalam
tubuh diawali dalam proses absorpsi di saluran pencernaan dengan waktu untuk mencapai
konsentrasi plasma puncak adalah 1-2 jam. Kemudian akan di distribusikan ke kelenjar
tiroid dan dapat melewati plasenta serta memasuki ASI dengan volume distribusi 0,5
L/Kg dan terikat sedang pada protein plasma. Kemudian karbimazol ini akan di
metabolisme cepat dan lengkap di hati menjadi bentuk metabolit aktif (tiamazol) dan
mengalami resirkulasi enterohepatik. Setelahnya obat ini akan dieliminasi melalui urin
yang sekitar 90% nya akan diekskresikan dalam bentuk metabolitnya dan 10% melalui
4
feses. Adapun waktu paruh karbimazol adalah sekitar 3-6 jam.
Sebelum memulai pengobatan thionamide, pasien harus diberitahu tentang
kemungkinan efek samping termasuk reaksi alergi, neutropenia, dan hepatotoksisitas.
Sehingga pemeriksaan hitung darah lengkap dengan diferensial dan tes fungsi hati harus
dilakukan terlebih dahulu. Tionamid tidak boleh dimulai jika kadar transaminase awal
lebih dari lima kali batas atas normal atau jika jumlah neutrofil absolut (ANC) kurang
2
dari 1000/ml.
Untuk kadar dosis pada pemberian karbimazol dimulai dari 15-40 mg/hari secara oral.
Namun, pemberian dosis ini haruslah disesuaikan dengan kondisi pasien yang ada. Dosis
ini dilanjutkan sampai pasien mencapai keadaan eutiroid (fungsi kelenjar tiroid dalam
keadaan normal), biasanya setelah 4-8 minggu, kemudian secara berangsur-angsur dosis
dikurangi menjadi dosis pemeliharaan 5-15 mg. Pemakaian karbimazol kadang dapat
mengakibatkan rash dan pruritus, yang dapat diobati dengan pemberian antihistamin
tanpa menghentikan terapi, atau sebagai alternatif dapat diganti dengan pemakaian
propiltiourasil. Pasien juga diminta untuk segera melaporkan bila ditemukan adanya rasa
5
sakit tenggorokan yang dapat terjadi akibat agranulositosis.
Sedangkan untuk dosis pemberian PTU adalah 200-400 mg/hari secara oral yang
didasarkan pada tingkat keparahan hipertiroidisme pasien tersebut. Setelah fungsi tiroid
membaik, dosis tioamida dapat dikurangi berangsur-angsur dan dilanjutkan dengan dosis
5
pemeliharaan sebesar 50-150 mg/hari.
Selama pemberiaan obat antitiroid, pasien tetap dipantau dalam tes fungsi tiroid (TFT)
setiap empat hingga enam minggu untuk penyesuaian dosis thionamide. Setelah TFT
meningkat, kita dapat mengurangi dosis thionamide sebesar 30% sampai 50% sampai
dosis pemeliharaan tercapai. Setelah dosis pemeliharaan, TFT dapat diperiksa setiap tiga
bulan. Tionamid dapat dilanjutkan untuk reaksi kulit minor dengan atau tanpa
penggunaan bersamaan antihistamin, tetapi jika dalam pemantauan rutin tingkat
transaminasenya 3x diatas ambang batas atas, pilihan pengobatan alternatif termasuk
2
pembedahan atau terapi RAI harus dipertimbangkan.
2. Terapi RAI
Terapi ini merupakan salah satu terapi yang menjadi pertimbangan ketika terapi berupa
obat-obatan resisten. Terapi ini diindikasikan untuk pasien dewasa yang tidak hamil yang
berusia lebih dari 21 tahun, pasien yang tidak berencana untuk hamil dalam enam hingga
12 bulan ke depan setelah perawatan, pasien dengan kondisi komorbid yang berisiko
untuk operasi, dan pasien dengan kontraindikasi tioamida. Terapi ini dikontraindikasikan
selama kehamilan, menyusui, kanker tiroid yang hidup berdampingan, pada pasien
dengan orbitopati Graves sedang hingga berat, dan untuk individu yang tidak dapat
2
mengikuti pedoman keselamatan radiasi.
Blokade beta-adrenergik dan pretreatment dengan methimazole (pretreatment
propylthiouracil memiliki tingkat kegagalan yang tinggi untuk pengobatan RAI) harus
dipertimbangkan untuk pasien dengan peningkatan risiko komplikasi dari hipertiroidisme
dan pasien dengan kadar hormon tiroid yang sangat tinggi. Jika methimazole dimulai,
harus dihentikan tiga sampai lima hari sebelum pengobatan RAI. Ini dapat dimulai
kembali untuk pasien berisiko tinggi tiga hingga tujuh hari setelah perawatan. Tes
3
kehamilan diperlukan sebelum perawatan RAI.
I-131 diberikan sebagai kapsul atau cairan. Dosis I-131 dapat dihitung atau dapat
menggunakan dosis tetap. Dosis yang dihitung didasarkan pada volume tiroid, serapan
RAI, dan faktor lokal. Dosis tetap bisa 10-25 mCi dari I-131. Pasien harus diberikan
tindakan pencegahan keselamatan radiasi tertulis setelah pengobatan RAI untuk
menghindari paparan terhadap anggota rumah tangga atau anggota masyarakat, terutama
3
anak-anak, dan wanita hamil.
Setelah dilakukan terapi, TFT harus dipantau setiap empat sampai enam minggu selama
enam bulan atau sampai pasien menjadi hipotiroid. Setelah pasien mendapatkan dosis
levothyroxine yang stabil, TFT dapat diulang setiap enam sampai 12 bulan. Jika
hipertiroidisme berlanjut setelah enam bulan terapi RAI, ini dapat dianggap sebagai
3
kegagalan pengobatan, dan pengobatan berulang dengan RAI mungkin diperlukan.
3. Tiroidektomi
Tiroidektomi diindikasikan untuk pasien dengan gondok yang sangat besar (lebih dari 80
gram), gejala kompresi leher anterior, kanker tiroid yang mencurigakan, nodul tiroid
besar (lebih dari 4 cm), nodul dingin, adenoma paratiroid yang ada bersama, TRAb
3
sangat tinggi , dan orbitopati Graves sedang hingga berat.
3
Adapun langkah persiapan yang harus dilakukan adalaℎ :
a. Gunakan tionamid untuk mencapai keadaan eutiroid yang mendekati atau
sempurna sebelum operasi
b. Gunakan Beta-blocker sesuai kebutuhan
c. Gunakan kalium iodida, lima hingga tujuh tetes larutan Lugol atau satu hingga
dua tetes SSKI, dicampur dalam air atau jus tiga kali sehari, dimulai tujuh hingga
sepuluh hari sebelum operasi untuk mengurangi vaskularisasi
d. Kaji kadar kalsium dan Vitamin D dan ganti jika diperlukan
Tionamid dan beta-blocker harus dihentikan setelah operasi. Levothyroxine dimulai pada
1,6 mikrogram per kg berat badan, dan dosis disesuaikan berdasarkan tingkat TSH setiap
5
enam sampai delapan minggu.
Analisis Masalah

1. Apa indikasi dari pemberian obat PTU?


Indikasi utama dari pemberian propiltiourasil adalah hipertiroid. Akan tetapi, PTU juga
4
dapat digunakan untuk tambahan terapi radio-yodium (RAI) dan persiapan tiroidektomi.

2. Apa saja jenis obat yang dapat digunakan sebagai antitiroid dan apa perbedaanya?
Di Indonesia ada dua jenis obat yang banyak digunakan dalam penanganan antitiroid.
Kedua jenis tersebut adalah karbimazol (turunan dari metimazol) dan propiltiourasil.
Perbedaan keduanya terletak pada beberapa hal, diantaranya adalah administrasi,
4
farmakodinamik, farmakokinetik, serta interaksi obat.

Karbimazol Propiltiourasil

Administrasi Dapat dimakan dengan atau Dimakan bersama makanan


tanpa makanan, tetapi harus
konsisten.

Farmakodinamik Karbimazol sebagai agen PTU merupakan obat yang


antitiroid akan berubah terlebih bekerja dengan mengganggu
dahulu menjadi thiamazol katalis tiroid peroksidase,
(metimazol) untuk dapat sehingga mencegah iodium
melaksanakan fungsinya teroksidasi di kelenjar tiroid yang
sebagai antitiroid dalam tubuh. mengakibatkan berkurangnya
Bentuk tersebut nantinya akan sintesis hormon tiroid. PTU juga
menghambat pengorganisasian menghambat pembentukan
iodida dan penggabungan tiroglobulin dengan mengganggu
residu iodothyronine yang reaksi penggabungan residu
mengarah pada penekanan iodotyrosyl. Selain itu, ia
sintesis hormon tiroid. memblokir deiodinasi tiroksin
perifer menjadi tri-iodothyronine.

Farmakokinetik Onset : 12-18 jam Absorpsi : cepat dan mudah di


Durasi : 36-72 jam saluran pencernaan
Absorpsi : Saluran pencernaan Bioavailabilitas : sekitar 50-75%
Waktu untuk mencapai Waktu untuk mencapai
konsentrasi plasma puncak : 1-2 konsentrasi plasma puncak : 1-2
jam jam
Distribusi : Kelenjar tiroid dan Distribusi : terkonsentrasi di
dapat melewati plasenta serta kelenjar tiroid dan dapat
memasuki ASI melewati plasenta serta
Volume distribusi : 0,5 L/Kg memasuki ASI
Ikatan pada protein plasma : Pengikatan protein plasma :
terikat sedang 80-85%.
Metabolisme : cepat dan Metabolisme : secara luas di hati
lengkap di hati menjadi bentuk melalui glukuronidasi menjadi
metabolit aktif (tiamazol) dan konjugat asam glukuronat.
mengalami resirkulasi Sekresi : melalui urin sekitar
enterohepatik. 35% sebagai metabolit
Eliminasi : melalui urin yang Waktu paruh eliminasi : 1-2 jam.
sekitar 90% nya akan
diekskresikan dalam bentuk
metabolitnya dan 10% melalui
feses.
Waktu paruh : 3-6 jam.

Interaksi obat ● Mungkin memiliki ● Dapat mempotensiasi


sensitivitas silang efek antikoagulan oral
dengan propiltiourasil (misalnya warfarin).
(PTU). ● Penyekat β, digoksin dan
● Dapat meningkatkan teofilin secara bersamaan
efek antikoagulan. mungkin memerlukan
● Dapat meningkatkan penyesuaian dosis sesuai
kadar serum teofilin dengan perubahan status
yang dapat tiroid pasien.
menyebabkan toksisitas.
● Dapat meningkatkan
klirens prednisolon.
● Dapat mengurangi
pembersihan
eritromisin.

3. Bagaimana tatalaksana dari penyakit yang dialami pasien?


Tatalaksana dimulai dari koreksi penurunan tanda vital yang dialami pasien, seperti
kompres dingin, antipiretik (parasetamol), memperbaiki gangguan keseimbangan cairan
dan elektrolit dengan menggunakan infus dekstrosa 5% dan NaCl 0,9%, serta mengatasi
gagal jantung atau kondisi takikardi. Barulah setelah itu dilakukan penanganan pada
kondisi hipertiroidnya melalui beberapa cara yang harus dikaji sesuai dengan kondisi
pasien. Pilihan tersebut adalah penggunaan obat antitiroid yang menghambat sintesis dan
pelepasan hormon tiroid, pengobatan yodium radioaktif (RAI) pada kelenjar tiroid, atau
1,2,3
tiroidektomi total maupun subtotal.

4. Mengapa kondisi gaduh gelisah harus ditangani di instalasi gawat darurat?


Badai tiroid dikaitkan dengan peningkatan sensitivitas reseptor adrenergik terhadap
katekolamin endogen. Gemetar dan tremor, bersama dengan takikardia dan kecemasan,
merupakan manifestasi dari stimulasi adrenergik ini. Antagonis β-adrenergik non-selektif,
seperti propranolol, menunjukkan pengurangan gejala yang mengesankan.
Kesimpulannya, getaran yang dramatis adalah gejala pertama dari badai tiroid akibat
wabah penyakit Graves. Pengenalan dini gejala ini mungkin sangat penting untuk
mengidentifikasi keadaan darurat endokrin yang jarang namun berpotensi mengancam
3
jiwa ini.
Daftar Pustaka

1. Pokhrel, B., Bhusal, K. (2022). Graves Disease. US: StatPearls Publishing


2. DeGroot, L.J. (2016). Diagnosis and Treatment of Graves’ Disease. South Dartmouth
(MA): MDText.com
3. Burch, H.B., Cooper, D.S. (2015). Management of Graves Disease
4. Mims
5. Pionas

Anda mungkin juga menyukai