Pembimbing:
dr. Annora Marsha Sunparta
Disusun Oleh:
PUSKESMAS PACIRAN
2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah, serta inayah-Nya kepada penyusun sehingga karya tulis ilmiah mini
project program internship ini dapat diselesaikan sesuai dengan rencana yang
diharapkan.
Tujuan penyusunan mini project ini adalah untuk memenuhi tugas
kepaniteraan klinik dan menambah pengetahuan bagi penulis dan pembaca dan
masyarakat.
Penyusun menyadari bahwa karya tulis ini jauh dari kata sempurna. Kritik dan
saran membangun dari pembimbing dan pembaca sangat diharapkan demi perbaikan
karya tulis ilmiah ini. Penyusun mengucapkan terima kasih kepada orang-orang yang
terlibat dalam penyusunan karya tulis ini. Semoga karya tulis diagnosa komunitas ini
dapat bermanfaat bagi pembaca yang membutuhkan demi kemajuan ilmu
pengetahuan, khususnya di bidang kedokteran.
ii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang ........................................................................................................... 1
1.2 Rumusan masalah ...................................................................................................... 2
1.3 Tujuan ........................................................................................................................ 2
1.4 Manfaat ...................................................................................................................... 2
iii
BAB IV METODELOGI PENELITIAN
4.1 Metode Penelitian .................................................................................................... 29
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian .................................................................................. 29
4.3 Populasi dan Sampel ................................................................................................ 29
4.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi ................................................................................... 29
4.5 Pengambilan data ..................................................................................................... 30
4.6 Tahapan Pelaksanaan Penelitian............................................................................... 30
4.7 Pengolahan dan Analisa Data .................................................................................. 31
4.8 Diagram Alur Penelitian .......................................................................................... 33
iv
BAB VI PENUTUP
6.1 Kesimpulan .............................................................................................................. 50
6.2 Saran ........................................................................................................................ 60
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
v
BAB I
PENDAHULUAN
1
panjang terhadap penyakit kronis di negara maju hanya sebesar 50% sedangkan di
negara berkembang jumlah tersebut bahkan lebih rendah. Ketidakpatuhan pasien
dalam pengobatan merupakan masalah kesehatan yang serius dan sering terjadi pada
pasien dengan penyakit kronis, seperti pada penyakit tuberkulosis paru Secara khusus
multidrug resistant TB (MDR-TB) dan extensively resistant memunculkan ancaman
serius terhadap kesehatan masyarakat (Dinkes Kab. Lamongan, 2018).
Pengobatan TB memerlukan waktu yang lama hingga 6 bulan. Pengobatan
yang seringkali menyebabkan ketidakpatuhan pasien. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui kepatuhan pasien TB yang menjalani pengobatan di Puskesmas,
Lamongan periode Februari-Maret 2023.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana pola kepatuhan kunjungan pasien Tuberculosis di puskesmas Paciran?
1.3 Tujuan Penelitian
Mengetahui pola kepatuhan kunjungan pasien Tuberculosis di puskesmas Paciran
1.4 Manfaat Penelitian
1.3.1 Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi siapa saja yang
membacanya untuk dijadikan sebagai tambahan pengetahuan.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
Adapun faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan dan berkaitan
dengan penyakit, yaitu : durasi penyakit, penyakit dengan durasi lama atau
penyakit kronis yang berhubungan dengan tingkat kepatuhan rendah. Kepatuhan
terhadap pengobatan akan menurun seiring dengan durasi terapi yang semakin
bertambah. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan tingkat
keparahan penyakit yang tinggi cenderung akan lebih patuh terhadap pengobatan
yang diberikan.
Berdasarkan sebuah penelitian ada beberapa faktor yang menjadi faktor
penentu kepatuhan dan ketidakpatuhan minum obat pasien, yaitu:
1. Faktor pasien
Kondisi usia yang sudah tua, biasanya menjadi faktor yang menyebabkan
pasien kurang patuh untuk memeriksakan dirinya setiap bulan.
2. Faktor obat
Pengobatan TB secara nasional dengan Obat Anti Tuberculosis (OAT)
diberikan kepada penderita secara cuma-cuma dan dijamin ketersediannya.
Adapun waktu yang di gunakan untuk terapi adalah 6-8 bulan. Hal tersebut
sering mengakibatkan pasien kurang patuh dan minumobat tidak teratur.
Pengobatan yang tidak teratur dan kombinasi yang tidak lengkap diduga telah
mengakibatkan kekebalan ganda kuma TB terhadap Obat Anti Tuberculosis.
3. Faktor lingkungan
Pasien TB yang dirawat di rumah oleh keluarga yang tidak begitu peduli
terhadap pengobatan, atau keluarga jauh akan lebih sering mengalami
ketidakpatuhan. Oleh karena itu, faktor perilaku positif akan cenderung
meningkatkan kepatuhan. Faktor hambatan praktikal, seperti tidak adanya
uang atau kondisi rumah yang jauh dengan tempat kontrol juga dapat menjadi
faktor penentu kepatuhan berobat.
4
2.3 Definisi Tuberculosis
Penyakit TB paru adalah penyakit infeksi menular langsung yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis (WHO, 2017). Sebagian besar kuman TB menyerang paru,
namun dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (IDI, 2014). Sedangkan tuberkulosis
paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, akan tetapi tidak termasuk
pleura (PDPI, 2011).
2.4 Klasifikasi TB
Lokasi anatomi penyakit
TB paru adalah kasus TB yang melibatkan parenkim aru atau
trakeobronkial. TB milier diklasifikasikan sebagai TB paru karena terdapat
lesi diparu (KEMENKES, 2014). Dari pemeriksaan dahak sekurang-
kurangnya 2 dari 3 sepsimen dahak menunjukkan hasil BTA positif, hasil
pemeriksaan satu specimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan
radiologik menunjukkan gambaran tuberculosis aktif, hasil pemeriksaan satu
specimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan positif (PDPI, 2011).
TB ekstraparu adalah kasus TB yang melibatkan organ diluar
parenkim paru seperti pleura, kelenjar getah benig, abdomen, saluran
genitourinaria, kulit, sendi, tulang, dan selaput otak (KEMENKES, 2014).
Riwayat pengobatan
Kasus baru adalah penderita yang belum pernah mendapat pengobatan
dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30
dosis harian) (KEMENKES, 2013).
Kasus dengan riwayat pengobatan sebelumnya adalah pasien yang
sebelumnya pernah mendapatkan OAT 1 bulan/lebih. Diklasifikasikan
berdasarkan hasil pengobatan terakhir sebagai berikut :
Kasus sembuh adalah pasien yang pernah mendapatkan OAT dan
dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap dan saat ini ditegakkan
diagnosa TB rekuren.
Kasus pengobatan gagal adalah pasien yang sebelumnya pernah
mendapatkan OAT dan dinyatakan gagal pada akhir pengobatan. BTA
5
positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir
bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan).
Kasus setelah putus obat (loss to follow up) adalah pasien yang pernah
menelan OAT 1 bulan atau lebih dan tidak meneruskan selama lebih
dari 2 bulan berturut-turut (WHO, 2017).
Hasil Pemeriksaan Uji Kepekaan Obat
Pada klasifikasi ini pasien dikelompokkan berdasarkan hasil uji
kepekaan contoh uji dari Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dan
dapat berupa (WHO, 2017):
Monoresistan (TB MR) adalah resistan terhadap salah satu jenis OAT
lini pertama.
Poliresistan (TB PR) adalah resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT
lini pertama selain isoniazid (H) dan rifampisin (R) secara bersamaan.
Multidrug resistan (TB MDR) adalah resisten terhadap isoniazid (H) dan
rifampisisn (R) secara bersamaan.
Extensive drug resistan (TB XDR) adalah TB MDR yang juga resisten
terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan resistan minimal
salah satu dari OAT lini kedua jenis suntikan seperti kanamisin,
kapreomisin, dan amikasin.
Resistan Rifampisin (TB RR) adalah resistan terhadap rifampisin
dengan atau tanpa resistan terhadap OAT jenis lain yang terdeteksi
menggunakan uji genotip (tes cepat) atau metode fenotip
(konvensional).
6
yang terdapat Mycobacterium tuberculosis sebagai bagian dari imunitas yang
dimediasi oleh sel. Hipersensitivitas tipe tertunda, juga berkembang melalui
aktivasi dan perbanyakan limfosit T. Makrofag membentuk granuloma yang
mengandung organisme.
Setelah kuman masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan, bakteri
TB paru tersebut dapat menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya, melalui
sistem peredaran darah, sistem saluran limfa, saluran nafas, atau penyebaran
langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya (WHO, 2017), (PDPI, 2011).
Patofisiologi TB paru dibagi menjadi dua proses antara lain :
Infeksi TB Paru Primer
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan bakteri
Mycobacterium tuberculosis. Droplet nuclei yang terhirup sangat kecil
ukurannya, sehingga dapat melewati sistem pertahanan muskuler bronkus, dan
terus berjalan sehingga sampai di alveolus dan menetap di sana. Infeksi dimulai
saat kuman Tuberkulosis berhasil berkembang biak dengan cara pembelahan diri
di paru, yang mengakibatkan peradangan di dalam paru. Saluran limfe akan
membawa kuman Tuberkulosis ke kelenjar limfe di sekitar hilus paru, dan ini
disebut sebagai komplek primer yang memakan waktu sekitar 4-6 minggu.
Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberculin
dari negatif menjadi positif (Depkes RI, 2011).
Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung dari banyaknya kuman yang
masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya
reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman TB
Paru. Meskipun demikian ada beberapa kuman akan menetap sebagai kuman
persister atau dormant (tidur). Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu
menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan, yang
bersangkutan akan menjadi penderita TB paru. Masa inkubasi yaitu waktu yang
diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan
(Depkes RI, 2011).
TB paru Post Primer
7
TB paru Post Primer biasanya muncul beberapa bulan ataupun beberapa
tahun setelah infeksi TB paru primer. TB paru inilah yang yang menjadi masalah
utama kesehatan masyarakat karena dapat menjadi sumber penularan penyakit
TB paru. Infeksi akan muncul apabila terdapat banyak kuman TB paru di dalam
tubuh baik yang aktif ataupun yang dormant (tidur). Saat tubuh memiliki daya
tahan yang menurun terkadang tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan
Mycobacterium tuberculosis sehingga terjadilah infeksi kembali oleh bakteri TB
paru tersebut. Infeksi tersebut akan menyebabkan kerusakan paru yang luas
karena terjadi kavitas atau efusi pleura (PDPI, 2018).
8
kompleks (complex-waxes), trehalosa dimikolat yang disebut “cord factor”, dan
mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam virulensi (PDPI, 2011).
Asam mikolat merupakan asam lemak berantai panjang (C60–C90) yang
dihubungkan dengan arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan dengan peptidoglikan
oleh jembatan fosfodiester. Unsur lain yang terdapat pada diniding sel bakteri tersebut
adalah polisakarida seperti arabinogalaktan dan arabinomanan. Struktur dinding sel yang
kompleks tersebut menyebebkan bakteri M.tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu
apabila sekali diwarnai, tahan terhadap upaya penghilangan zat warna tersebut dengan
larutan asam–alkohol (PDPI, 2011).
Sifat lain kuman adalah bersifat aerob. Mycobacterium tuberculosis dapat mati
jika mendapat paparan langsung sinar ultraviolet dalam waktu beberapa menit dan dapat
bertahan pada tempat gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat tertidur
atau tidak berkembang selama beberapa tahun yang disebut dormant (tidur) (PDPI,
2018).
2.7 Diagnosis TB Paru
Diagnosis Pasti TB ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis dan
pemeriksaan penunjang (sputum untuk dewasa, tes tuberkulin pada anak). Pada
anamnesa ditemukan keluhan dan gejala utama seperti batuk berdahak selama 2-3
minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur
darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan
menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam, meriang lebih
dari satu bulan (PDPI, 2018).
Pada pemeriksaan fisik juga ditemukan kelainan, terutama dari perkusi dan
auskultasi. Kelainan pada TB Paru tergantung luas kelainan struktur paru. Pada awal
permulaan perkembangan penyakit umumnya sulit sekali menemukan kelainan. Pada
auskultasi terdengar suara napas bronkhial/amforik/ronkhi basah/suara napas melemah
di apex paru, tandatanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum (IDI, 2014).
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai
keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk
penegakan diagnosis pada semua suspek TB dilakukan dengan mengumpulkan 3
spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa
dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS) (KEMENKES, 2014):
S (sewaktu) : Dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali.
9
Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi
pada hari kedua.
P (pagi) : Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun
tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK.
S (sewaktu) : Dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan dahak
pagi.
10
2.8 Manifestasi Klinis
Berdasarkan gejala penyakit TB paru dapat di bedakan menjadi dua
diantaranya (X3) :
Gejala sistemik/umum :
a. Batuk selama lebih dari 3 minggu atau dapat disertai dengan dahak.
b. Demam yang tidak terlalu tinggi berlangsung lama, biasanya
11
disarakan malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang
serangan demam seperti influenza dan bersifat hilang timbul.
c. Penurunan nafsu makan dan berat badan.
d. Perasaan tidak enak, malaise atau lemah
Gejala Khusus
a. Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan
sebagai bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru), akibat penekanan
kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara
“mengi”, suara nafas melemah yang disertai sesak.
b. Kalau ada cairan dirongga pembungkus paru-paru dapat disertai dengan
keluhan sakit dada.
c. Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang
yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit
diatasnya, pada muara ini akan keluar cairan nanah.
d. Pada anak-as nak dapat mengenai otak (selaput otak) dan disebut
sebagai meningitis atau radang selaput otak, gejalanya adalah demam
tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang
12
2. Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tepat (KDT) / Fixed Dose
Combination (FDC) akan lebih menguntungkan dan dianjurkan.
3. Obat ditelan sekaligus (single dose) dalam keadaan perut kosong.
4. Setiap praktisi yang mengobati pasien tuberkulosis mengemban
tanggung jawab kesehatan masyarakat.
5. Semua pasien (termasuk mereka yang terinfeksi HIV) yang belum
pernah diobati harus diberi paduan obat lini pertama (IDI, 2014).
13
mencegah terjadinya kekebalan obat.
b. Bila pengobatan tahap awal diberikan secara adekuat, daya penularan
menurun dalam kurun waktu 2 minggu.
c. Pasien TB paru BTA positif sebagian besar menjadi BTA negatif
(konversi) setelah menyelesaikan pengobatan tahap awal. Setelah terjadi
konversi pengobatan dilanjutkan dengan tahap lanjutan.
2. Tahap lanjutan menggunakan paduan obat rifampisin dan isoniazid.
a. Pada tahap lanjutan pasien mendapat 2 jenis obat (rifampisin dan
isoniazid), namun dalam jangka waktu yg lebih lama (minimal 4 bulan).
b. Obat dapat diminum secara intermitten yaitu 3x/minggu (obat program)
atau tiap hari (obat non program).
c. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga
mencegah terjadinya kekambuhan (IDI, 2014).
Pengobatan pada pasien TB paru sering dikenal dengan Anti Tuberkulosis
(OAT). OAT dapat dibagi menjadi dua yakni pada lini pertama yang terdiri
dari Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pyrazinamide (Z), Ethambutol (E),
Streptomisin (S). Sementara pada obat lini kedua terdiri dari Fluoroquinolone,
Kanamycin, Amikasin, Capreomycin, Viomycin, Etionamid, Asam Para
amino salicylate, Cycloserine, Tioasetazon, Macrolides, Klofazimin, dan
Linezolid.
Baris kedua diberikan kepada pasien yang telah resisten terhadap obat lini
pertama. Untuk OAT lini pertama, perawatan dapat dibagi menjadi 3 kategori
yakni kategori 1, kategori 2, dan kategori anak. Pengobatan TB paru oleh
kategori 1 ditargetkan pada pasien baru dengan TB paru (+), pasien TB paru
(-) radiografi dada (+) dan pasien TB paru ekstra. Untuk kategori 2 ditujukan
kepada penderita kambuh, gagal pengobatan dengan bimbingan OAT kategori
1 dan tindak lanjut yang hilang (Kemenkes RI, 2013).
Panduan OAT lini pertama yang digunakan oleh Program Nasional
Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia adalah sebagai berikut :
1. Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3 Artinya pengobatan tahap awal selama 2
14
bulan diberikan tiap hari dan tahap lanjutan selama 4 bulan diberikan 3
kali dalam seminggu. Jadi lama pengobatan seluruhnya 6 bulan.
2. Kategori 2 : 2HRZES/HRZE/5H3R3E3 Diberikan pada TB paru
pengobatan ulang (TB kambuh, gagal pengobatan, putus
berobat/default). Pada kategori 2, tahap awal pengobatan selama 3 bulan
terdiri dari 2 bulan RHZE ditambah suntikan streptomisin, dan 1 bulan
HRZE. Pengobatan tahap awal diberikan setiap hari. Tahap lanjutan
diberikan HRE selama 5 bulan, 3 kali seminggu. Jadi lama pengobatan 8
bulan.
3. OAT sisipan : HRZE Apabila pemeriksaan dahak masih positif (belum
konversi) pada akhir pengobatan tahap awal kategori 1 maupun kategori
2, maka diberikan pengobatan sisipan selama 1 bulan dengan HRZE
(IDI, 2014)
15
khusus.
2. Rifampisin
Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan
pengobatan simtomatik ialah :
Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang
Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah
kadang-kadang diare
Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan
Efek samping yang berat tapi jarang terjadi ialah :
Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT
harus distop dulu dan penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada
keadaan khusus
Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila
salah satu dari gejala ini terjadi, rifampisin harus segera dihentikan
dan jangan diberikan lagi walaupun gejalanya telah menghilang
Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas Rifampisin
dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air mata,
air liur. Warna merah tersebut terjadi karena proses metabolisme
obat dan tidak berbahaya. Hal ini harus diberitahukan kepada
penderita agar dimengerti dan tidak perlu khawatir.
3. Pirazinamid
Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan
sesuai pedoman TB pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi
(beri aspirin) dan kadang-kadang dapat menyebabkan serangan arthritis
Gout, hal ini kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi dan
penimbunan asam urat. Kadang-kadang terjadi reaksi demam, mual,
kemerahan dan reaksi kulit yang lain.
4. Etambutol
Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa
berkurangnya ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau.
16
Meskipun demikian keracunan okuler tersebut tergantung pada dosis yang
dipakai, jarang sekali terjadi bila dosisnya 15-25 mg/kg BB perhari atau 30
mg/kg BB yang diberikan 3 kali seminggu. Gangguan penglihatan akan
kembali normal dalam beberapa minggu setelah obat dihentikan. Sebaiknya
etambutol tidak diberikan pada anak karena risiko kerusakan okuler sulit
untuk dideteksi.
5. Streptomisin
Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang
berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping
tersebut akan meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan
dan umur penderita.
Tabel 2.3 Efek Samping Ringan OAT
2.11 Pencegahan
Pencegahan adalah proses, cara, tindakan mencegah atau tindakan
menahan agar sesuatu tidak terjadi. Dengan demikian, pencegahan merupakan
17
tindakan. Pencegahan identik dengan perilaku (Kemendikbud, 2018).
Adapun pencegahan lain menurut Perkumpulan Pemberantasan
Tuberkulosis Indonesia (PPTI) 2010, yaitu (PPTI, 2010):
Bagi Masyarakat
a. Makan makanan yang bergizi seimbang sehingga daya tahan tubuh
meningkat untuk membunuh kuman TBC.
b. Tidur dan istirahat yang cukup.
c. Tidak merokok, minum alcohol dan menggunakan narkoba.
d. Lingkungan yang bersih baik tempat tinggal dan sekitarnya.
e. Membuka jendela agar masuk sinar matahari disemua ruangan rumah
karna kuman TBC akan mati bila terkena sinar matahari.
f. Imunisasi BCG (Bacille Calmette-Guerin)bagi balita, yang tujuannya
untuk mencegah agar kondisi balita tidak lebih parah bila terinfeksi
TBC.
g. Menyarankan apabila ada yang dicurigai sakit TBC agar segera
memeriksakan diri dan berobat sesuai aturan sampai sembuh.
Bagi Penderita
a. Tidak meludah disembarang tempat.
b. Menutup mulut saat batuk dan bersin.
c. Berprilaku hidup bersih dan sehat.
d. Berobat sesuai aturan sampai sembuh.
e. Memeriksakan balita yang tinggal serumah agar segera diberikan
pengobatan pencegahan.
f.
2.12 Komplikasi
Pada pasien tuberkulosis dapat terjadi beberapa komplikasi, baik sebelum
pengobatan atau dalam masa pengobatan maupun setelah selesai pengobatan.
Beberapa komplikasi yang mungikin timbul adalah :
1. Batuk darah
2. Pneumotoraks
18
3. Luluh paru
4. Gagal napas
5. Gagal jantung
6. Efusi pleura (PDPI, 2011).
19
JUMLAH 27.45 37 91 309 15014 13167 11862 13180 12696
27.441 3
20
puskesmas (Lampiran III).
1. Dokter umum 3
2. Dokter gigi 1
3. Perawat 15
4. Bidan 18
5. Analis Kesehatan 1
21
6. Apoteker 2
7. Gizi 3
8. Perawat Magang 6
9. Sanitarian 1
10. Non Medis 7
Jumlah 57
22
Tabel 2.5 Pencapaian Program Pelayanan UKP Tahun 2020
23
tahun 2020 sebesar 75,60%, sedangkan pada sub program yan lain memiliki
pencapaian program yang cukup baik. UKM pengembangan yang terdapat di
Puskesmas Paciran meliputi:
1. Pelayanan Keperawatan Kesehatan Masyarat
2. Kesehatan Jiwa
3. Kesehatan Gigi
4. Kesehatan Tradisional
5. Kesehatan Indera (Mata dan Telinga)
6. Kesehatan Olahraga
7. Kesehatan Lansia
8. Upaya Kesehatan Kerja (UKK)
9. Kesehatan Matra
10. Kefarmasian
Tabel 2.7 Pencapaian Program Pelayanan UKM Pengembangan Tahun 2020
24
beberapa indikator untuk dijadikan sebagai ukuran keberhasilan pelaksanaan program
tersebut antara lain yaitu:
Tabel 2.8 Pelaksanaan Kegiatan Program PASTI TOB
NO KEGIATAN TARGET
1. Penemuan suspek penderita TB 75%
2 Penderita TB Paru BTA Positif yang dilakukan 100%
pemeriksaan kontak
3 Angka keberhasilan pengobatan pasien baru BTA >90%
positif
25
BAB III
KERANGKA KONSEP
26
Gambar 3.2 Kerangka Teori Penelitian (Notoadmojo,2010; Lestari dkk., 2017)
Profil Pasien :
Usia
Jenis Kelamin
Pekerjaan Pasien TB
Jarak rumah ke Puskesmas
27
Kepatuhan kunjungan
Patuh
Keterangan:
: Variabel independen
: Variabel dependen
: Berhubungan
28
sebagai ibu
rumah
tangga)
2. Bekerja
(pekerjaan
selain
sebagai ibu
rumah
tangga)
Jarak Jarak tempuh dari Instrumen Dibagi menjadi
rumah ke tempat tinggal observasi (Dwianty,
puskesmas pasien ke berdasarkan 2010):
Nominal
puskesmas catatan 1. Dekat (<3
(Dwianty, 2010). rekam km)
medis (RM) 2. Jauh (≥3 km)
Kepatuhan Ketaatan pasien Instrumen Kepatuhan
kunjungan dalam observasi kunjungan
pasien TB pengobatan TB berdasarkan pasien TB di
dengan ketentuan catatan Puskesmas
yang diberikan rekam diklasifikasikan
oleh dokter medis (RM) menjadi:
(Mulyani, 2016). 1. Patuh
(kunjungan
kontrol Nominal
minimal 1
kali tiap
bulan)
2. Tidak patuh
(tidak ada
kunjungan
dalam 1
bulan)
BAB IV
METODE PENELITIAN
29
secara prospektif. Sedangkan pengambilan data penelitian dengan metode rekam
medis yaitu dengan tujuan mendeskripsikan suatu keadaaan secara objektif dengan
melihat ke belakang.
30
4.5 Pengambilan Data
Data yang digunakan merupakan data sekunder yang diambil dari rekam medis
pasien di Puskesmas Paciran. Pengambilan data diawali dari perizinan ke kepala
bagian rekam medis.
31
Urgency, Seriousness, Growth (USG).
32
4. Tabulating adalah proses menempatkan data dalam bentuk tabel dengan
cara membuat tabel yang berisikan data sesuai dengan kebutuhan analisis.
5. Clearing bertujuan untuk memeriksa kemungkinan adanya kesalahan
kode atau ketidaklengkapan yang terjadi saat pemasukkan data kemudian
dilakukan pembetulan atau koreksi.
Keterangan :
x : hasil persentase
f : Karakteristik sampel
n : Total sampel
100% : bilangan konstanta tetap
4.8 Diagram Alur
Identifikasi masalah
Subjek penelitian (n = 9 )
Kesimpulan
34
5.1.1 Identifikasi Permasalahan
5.1.1.1 Data Demografi Lokasi Penelitian
Kecamatan Paciran termasuk dalam wilayah Kabupaten Lamongan.
Kecamatan ini terletak di sekitar gunung Kawi, setiap orang yang akan ke gunung
Kawi akan melewati kawasan ini. Ketinggian dari permukaan air laut ±400-900
meter. Kecamatan ini memiliki penduduk kurang lebih sekitar 300 ribu jiwa dengan
luas wilayah kurang lebih 1.055.636 hektare. Desa Paciran termasuk beriklim sedang
Suhu antara 18° - 23°.
Batas-batas Kecamatan Paciran berada diantara :
Selatan: Kromengan dan Wonosari
Barat: Wonosari dan Doko (Kabupaten Blitar)
Utara: Wagir
Timur : Kepanjen
Puskesmas Paciran memiliki Luas wilayah kerja 6.329,19 Ha. Terdiri dari
tanah sawah sebesar 1.699,90 Ha dan Pertanian/Tanah Kering 4.306,80 Ha. Data desa
yang berada dalam wilayah kerja Puskesmas Paciran berjumlah 9 desa, 37 dusun, 91
RW dan 309 RT.
Mayoritas penduduknya memeluk agama Islam dan bermatapencaharian
sebagai petani. Paciran memiliki fasilitas keagamaan sejumlah 53 masjid, 252
langgar, dua gereja Kristen, dan sembilan pura. Sementara fasilitas kesehatan terdiri
dari tiga puskesmas/pustu, tujuh polindes, 57 posyandu, dan 10 praktek bidan.
Sementara untuk sarana pendidikan, ada 38 TK, 37 SD, 11 SMP, satu SMA, satu
MA, dan dua SMK.
35
Berdasarkan data Standart Pelayanan Minimal (SPM) Puskesmas Paciran tahun
2020, didapatkan beberapa masalah yang masih dihadapi oleh UPT Puskesmas
Paciran, diantaranya sebagai berikut:
Tabel 5.1 Penentuan Identifikasi Masalah
Target Cakupan
No. Indikator
(%) (%)
5.1.1.3 Permasalahan
1. Pelayanan kesehatan TB
2. Pelayanan kesehatan Hepatitis
3. Pelayanan ODHA
Tiap isu diberikan nilai 1-5 pada tabel USG, dimana 5, sangat besar; 4, besar; 3,
sedang; 2, kecil; 1, sangat kecil. Selanjutnya isu yang memiliki total skor tertinggi
Kunjungan
pasien TB ke
1. 4 4 5 3 5 4 3 5 5 5 4 4 51 1
PKM belum
tercapai
Angka temuan
kasus TBC
2. yang terdata 5 4 4 3 3 3 5 5 4 5 4 5 50 2
dan terobati
masih rendah
Orang
beresiko
HIV/AIDS
3. 2 3 3 3 2 2 3 3 3 4 4 3 35 4
yang mendapat
pemeriksaan
masih rendah
Angka temuan
kasus Hepatitis
4. 5 3 3 4 3 3 4 4 5 5 4 5 48 3
yang terdata
masih rendah
Keterangan masalah:
Masalah 1: Target capaian tahun 2021 sebesar 100%, namun capaian riil hanya 75,5%.
Masalah 2: Target capaian tahun 2021 sebesar 100%, namun capaian riil hanya 63,4%.
Masalah 3: Target capaian tahun 2021 sebesar 100%, namun capaian riil hanya 86,03%
Masalah 4: Target capaian tahun 2021 sebesar 100%, namun capaian riil hanya 62,35%
37
5.1.3 Analisa Penyebab Masalah
38
Dari beberapa penyebab masalah di atas, maka ditetapkan pemecahan masalah
dengan melakukan brainstorming bersama petugas Puskesmas. Hasil brainstorming
diperoleh alternatif pemecahan masalah sebagai berikut:
Tabel 5.3 Alternatif Pemecahan Masalah
Program Sasaran Target Tujuan Metode
Penyuluhan Seluruh pasien Pasien TB, Meningkatkan Persentasi oleh
dengan media TB di instalasi Keluarga pengetahuan petugas
PROMKES rawat jalan pasien dan masyarakat kesehatan
”Ketuk PKM Paciran Lingkungan khususnya Dan Pemberian
Pintu” disekitar pasien penderita TB, poster.
keluarga dan
lingkungan
disekitar pasien
tentang apa itu
TB dan
pentingnya
dilakukan
pengobatan
secara rutin.
Aplikasi Seluruh pasien Pasien TB Meningkatkan Pemberian
“Absen TB di instalasi dapat di kepatuhan informasi
Yuk” rawat jalan skrining secara berobat dan Aplikasi TB
PKM Paciran menyeluruh memudahkan “Absen Yuk”
penderita setiap
akan berobat ke Dan cara
Puskesmas mengguanakn
Paciran Aplikasi TB
“Absen Yuk”
masalah dengan menggunakan metode USG. Skor nilai metode MCUA yaitu 1-5,
dengan keterangan nilai dimana 5, sangat besar; 4, besar; 3, sedang; 2, kecil; 1, sangat
39
kecil. Selanjutnya Prioritas Pemecahan Masalah yang memiliki total skor tertinggi
Penyuluhan
1. dengan media 4 4 5 5 5 4 5 5 5 5 5 4 60 1
PROMKES
“Absen Yuk!”
2. 5 4 4 4 5 4 5 5 4 5 5 5 60 1
Pelatihan TB
3. bagi Tenaga 4 3 3 3 4 4 4 4 4 4 4 4 49 2
Kesehatan
40
pasien, tapi juga sebagai pengingat untuk berobat sesuai jadwal yang
ditentukan.
3. G : Seberapa kemungkinannya isu tersebut menjadi berkembang
dikaitkan kemungkinan masalah penyebab isu akan makin memburuk
kalau dibiarkan
Tingginya angka penularan TB, akan memudahkan terjadinya MDR atau
Multi Drug Resistant, maka dari itu Penyuluhan PROMKES dan Aplikasi TB
“Absen Yuk” sebaiknya segera diterapkan.
41
Karakteristik responden yang terdiri dari jenis kelamin, usia, pekerjaan, dan jarak rumah ke
puskesmas dapat dilihat pada Tabel 5.6. Responden paling dominan berdasarkan jenis kelamin
adalah laki-laki dengan jumlah 5 orang (55,55%). Berdasarkan usia, sebagian besar responden
dalam kategori dewasa (20-60 tahun) dengan jumlah 8 orang (88,88%). Berdasarkan status
pekerjaan, sebanyak 5 orang (55,55%) berstatus bekerja. Berdasarkan jarak rumah ke puskesmas,
sebanyak 8 orang (88,88%) memiliki jarak rumah ke puskesmas yang jauh (≥3 km).
Berdasarkan tabel 5.6 dari 9 responden yang berobat di PKM Paciran didapatkan sebanyak
5 orang (55,6%) patuh berobat dan 4 orang (44,44 %) tidak patuh berobat. Kepatuhan berobat
pasien didapatkan dari daftar hadir pasien ke PKM Paciran yang tercatat dalam Rekam Medis.
Berdasarkan tabel 5.7 dari 9 responden yang berobat di PKM Paciran didapatkan sebanyak
5 orang (55,6%) patuh berobat dan 4 orang (44,44 %) tidak patuh berobat. Dan dari tabel diatas,
menunjukkan pasien perempuan (55,56%) lebih patuh berobat ke PKM Paciran dibandingan
42
pasien laki-laki (44,44%).
Berdasarkan tabel 5.9 dari 9 responden yang berobat di PKM Paciran didapatkan sebanyak
5 orang (55,6%) patuh berobat dan 4 orang (44,44 %) tidak patuh berobat. Dan dari tabel diatas
menunjukkan, pasien yang bekerja (55,56%) lebih patuh berobat ke PKM Paciran dibandingkan
pasien yang tidak bekerja (44,44%).
43
5.10 Profil Kepatuhan Pasien TB di PKM Paciran Berdasarkan Jarak Tempat Tinggal
dengan Puskesmas
Berdasarkan tabel 5.10 dari 9 responden yang berobat di PKM Paciran didapatkan
sebanyak 5 orang (55,6%) patuh berobat dan 4 orang (44,44 %) tidak patuh berobat. Dan dari
tabel diatas menunjukkan, pasien yag jarak rumahnya dengan PKM lebih dekat (100%) patuh
berobat ke PKM Paciran, sedangkan yang jarak rumahnya jauh dengan PKM, 50% patuh dan
50% nya pun patuh.
5.2 Pembahasan
5.2.1 Karakteristik Responden
Berdasarkan profil usia, pasien TB terbanyak pada usia dewasa yaitu terdapat 8 pasien
(88,89%). Hal ini sesuai dengan penelitian Kolappan C dkk yang melaporkan bahwa penuaan
berhubungan erat dengan angka kejadian TB, terutama untuk kelompok yang berusia diatas 45
tahun. Selain itu, survei lain yang diadakan di puskesmas Tuminting Manado tahun 2012 secara
konsisten melaporkan bahwa pravalensi TB lebih tinggi pada kelompok usia yang lebih tua
(Laily dkk, 2015).
Berdasarkan profil jenis kelamin pasien TB di Puskesmas Paciran, diperoleh data pasien
terbanyak berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 5 pasien (55,56%) dan perempuan sebanyak
4 pasien (44,44%). Menurut Kemenkes RI kasus BTA+ pada laki-laki hampir 1,5 kali lebih besar
dibandingkan kasus BTA+ pada perempuan. Penyebabnya dapat dikarenakan laki-laki memiliki
beban kerja yang berat, istirahat yang kurang, serta kebiasaan merokok dan minum alkohol
sehingga laki-laki lebih rentan terkena penyakit TB paru (Erawatyningsih dkk, 2009).
44
5.2.2 Profil Kepatuhan Pasien TB di PKM Paciran Berdasarkan Jenis Kelamin
Profil kepatuhan ditinjau dari jenis kelamin, menunjukkan pasien patuh lebih banyak pada
jenis kelamin Perempuan yakni sebanyak 4 pasien (75,0%). Hal ini sesuai denganPenelitian
Wulandari (2015) dan Rahmi et al (2019) dalam penelitian tersebut dikatakan bahwa pada laki-
jumlah penderita lebih banyak dibandingkan dengan perempuan, hal ini disebabkan karena laki-
laki mempunyai tanggung jawab menafkahi keluarga sehingga lebih sering berada diluar rumah.
Mobilitas yang tinggi pada laki-laki dibanding perempuan memungkinan tidak patuhnya lebih
besar juga disebabkan karena pada laki-laki biasanya memiliki kebiasaan merokok dan
mengkonsumsi alkohol sehingga menyebabkan penurunan atau melemahnya sistem imunitas
tubuh. Sedangkan perempuan memiliki tingkat kepatuhan tinggi dalam berobat karena
perempuan identik lebih rajin termasuk dalam berobat.
Hal ini juga didukung oleh penelitian Kondoy et al (2014) dimana dalam penelitiannya
jumlah pasien laki-laki lebih banyak yaitu 108 responden (63,2%) dibandingkan perempuan 63
responden (36,8%) penelitian tersebut juga didukung oleh penelitian Pant yang menyatakan
bahwa sebagian besar pasien TB yaitu sekitar 70% adalah laki-laki. Tingginya angka pasien laki-
laki memungkinkan penularan yang luas. Hal ini dikarenakan kelompok laki-laki kebanyakan
keluar rumah mencari nafkah, dengan frekuensi keluar rumah yang memungkinkan terjadinya
penularan penyakit TB Paru. Hal tersebut akan mempengaruhi proses penyembuhan yang
akibatnya dapat berdampak pada menurunya tingkat kepatuhan berobat pasien TB oleh karena
akan memperlama proses pengobatan (Kondoy, P etal, 2014).
45
5.2.4 Profil Kepatuhan Pasien TB di PKM Paciran Berdasarkan Pekerjaan
Profil kepatuhan ditinjau dari Pekerjaan, menunjukkan pasien patuh lebih banyak pada
pasien yang bekerja yakni sebanyak 4 pasien (80,0%). Rata-rata pekerjaan pasien ini ialah petani.
Kesibukan bekerja dalam rangka memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga menyebabkan
penderita sulit menyesuaikan program pengobatan dengan kegiatan sehari-hari dan lupa minum
obatnya (Amril, 2002 dalam Astuti, 2010). Suatu aktivitas rutin pada seseorang memungkinkan
mereka untuk menghabiskan waktu dengan pekerjaan sehingga waktu luangnya pun terbatas.
Bagi seseorang yang termasuk sibuk dalam pekerjaannya akan sangat sulit untuk meluangkan
waktu walaupun sekedar untuk meminum obatnya sendiri. Hal ini akan berbeda dengan
seseorang dengan pekerjaan yang mempunyai waktu luang yang cukup yang memungkinkan
untuk lebih teratur dalam meminum obat sesuai waktunya (Joniyansyah, 2009 dalam Astuti,
2010).
5.2.5 Profil Kepatuhan Pasien TB di PKM Paciran Berdasarkan Jarak Tempat Tinggal
dengan Puskesmas
Profil kepatuhan ditinjau dari Jarak Tempat Tinggal ke Puskesmas, menunjukkan pasien patuh
lebih banyak pada pasien yang berjarak > 3 Km 4 pasien (80,0%). Hal ini tidak selaras dengan
penelitian Niven (2002) menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi kepatuhan
berobat adalah faktor yang mendukung (enabling factor), yang terdiri atas tersedianya fasilitas
kesehatan, kemudahan untuk menjangkau sarana kesehatan serta keadaan sosial ekonomi dan
budaya. Jarak tempat tinggal ke tempat pelayanan kesehatan akan mempengaruhi pasien dalam
menyelesaikan pengobatan. Apabila tempat tinggal tidak berada dalam dalam wilayah pelayanan
kesehatan akan memperbesar risiko untuk tidak menyelesaikan pengobatan.
46
47
Gambar 5.1 Poster Penyuluhan PROMKES TB
48
Gambar 5.2 Poster Penyuluhan PROMKES TB
Aplikasi “Absen Yuk!” yang disarankan merupakan aplikasi yang bisa dirancang untuk
membantu pasien-pasien TB untuk selalu patuh berobat ke PKM Paciran, dan patuh
mengkonsumsi obat. Untuk isi yang diberikan pada aplikasi “Absen Yuk!” berupa :
Mengingatkan untuk berobat setiap bulannya
Pengingat untuk control sudah ada sejak 1 hari sebelum pasien control
49
Mengingatkan sudah dalam pengobatan selama berapa bulan
Pemberian Reward berupa Sertifikat karena suda control setiap bulannya
Kalender minum obat dan Kalender berobat
Edukasi ESO yang diminum
Edukasi mengapa tidak boleh tidak mengkonsumsi obat
Kata kata motivasi untuk pasien disetiap harinya.
Pengingat waktu untuk cek dahak kembali.
50
Gambar 5.4 Aplikasi ”Absen Yuk!”
BAB VI
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian, bisa disimulkan bahwa sebagian besar (55,56%) pasien
Puskesmas Paciran patuh terhadap pengobatan. Berdasarkan jenis kelamin, secara
keseluruhan pasien laki-laki lebih patuh dari perempuan (55,56 dibanding 44,44).
Berdasarkan pekerjaan, sebagian besar pasien yang patuh memiliki pekerjaan (80%). Dan
berdasarkan jarak rumah dengan puskesmas pasien, pasien yang jarak rumahnya dekat 100%
patuh dalam pengobatan. Namun, pasien yang jarak tempur rumah dengan puskesmas agak
jauh, tidak sepenuhnya tidak patuh.
Implementasi rencana pemecahan masalah yag diberikan berupa Penyuluhan
PROMKES “Ketuk Pintu” dan penggunaan aplikasi “Absen Yuk!”. Dimana harapannya,
implementasi yang diberikan akan membantu pasien untuk lebih patuh berobat dan
memberikan edukasi tentunya baik pada pasien maupu keluarga dan lingkungan disekitar
pasien.
6.2 Saran
Untuk pengembangan penelitian selanjutnya, peneliti menyarankan untuk:
1. Melakukan penelitian lanjutan dengan sampel yang lebih banyak mengenai Profil kepatuhan
kunjungan berobat pasien TB di Puskesmas Paciran agar dapat mewakili seluruh populasi
2. Melakukan penelitian lanjutan mengenai faktor sosiodemografi yang lainnya seperti
pendidikan terakhir, latar belakang keluarga, dan dukungan keluarga dah hubungannya
terhadap kepatuhan kunjungan pasien TB di Puskesmas Paciran.
3. Melakukan penelitian lanjutan mengenai evaluasi dari ”Ketuk Pintu” dan Aplikasi
”AbsenYuk!”
51
DAFTAR PUSTAKA
Amalia,Dhefina. 2020. Tingkat Kepatuhan Minum Obat Anti-Tuberkulosis pada Pasien TB Paru
Dewasa Rawat Jalan di Puskesmas Dinoyo. Lamongan
Bastable, Susan B. 2003. Nurse As Educator : Principles Of Teaching And
Learning For Nursing Practice. United States : Jones and Bartlett
Publishers.
Departement Kesehatan Republik Indonesia. 2011. TBC masalah Kesehatan Dunia. Jakarta:
BPPSDMK
Dinas Kesehatan Kabupaten Lamongan. 2018. Buku Saku Profil Kesehatan Kabupaten
Lamongan. Lamongan: Dinas Kesehatan Kabupaten Lamongan
Kementerian Kesehatan RI. 2013. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana
Tuberkulosis.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Pedoman Penanggulangan Penyakit TB Paru.
Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Kondoy, P, H, P et al., 2014. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kepatuhan Berobat
Pasien Tuberkulosis Paru di Lima Puskesmas di Kota Manado. Jurnal Kedokteran
Komunitas dan Tropik II (1).
Lestari S., Chairil, HM., 2017. Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Penderita TBC untuk
Minum Obat Anti Tuberkulosis. Motorik: Journal of health Science. 1(2)
Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2011. Tuberkulosis. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2018. Tuberkulosis. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia
Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia. 2010. Buku Saku Penanggulangan
Tuberkulosis.
Puskesmas Paciran. 2020. Profil Puskesmas Paciran 2020. Lamongan
52
Rahmi, N et al, 2019. Gambaran Kepatuhan Minum Obat Pasien Tuberculosis di Balai
Kesehatan Masyarakat (BALKESMAS) Wilayah Klaten. The 10th University Research
Colloqium. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Gombong.
Stanley. 2007. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Edisi 2. Edisi 2. Alih Bahasa :
Eny Meiliya dan Monica Ester. Jakarta, Penerbit buku kedokteran : EGC
World Health Organization. 2017. Guidance for National Tuberculosis Programmes on
Management of Tuberculosis
World Health Organization. 2017.Global Tuberculosis report. Ganeva : WHO
Wulandari, D, H. 2015. Analisis Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kepatuhan Pasien
Tuberkulosis Paru Tahap Lanjutan Untuk Minum Obat di RS Rumah Sehat Terpadu Tahun
2015
53
LAMPIRAN
Lampiran I : Dokumentasi
54